BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut ...eprints.umm.ac.id/50222/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut ...eprints.umm.ac.id/50222/3/BAB...
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional
Hukum laut Internasional adalah aturan-aturan atau kaidah yang
mengatur tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan batas-batas
wilayah Negara yang berkaitan dengan laut, baik laut yang ada dalam suatu
wilayah Negara atau laut yang berada di luar wilayah Negara ( Laut Lepas ),
baik dari pemanfaatan sumber kekayaan laut nya maupun akibat negatif yang
ditimbulkan dari pemanfaatan sumber daya kekayaan lautnya.
Semenjak laut di manfaatkan sebagai kepentingan jalur pelayaran,
perdagangan dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan,
semenjak itulah para ahli hokum mulai mencurahkan perhatiaya pada hokum
laut. Sebagai hukum laut yang paling dini pada abad ke-12 telah dikenal
beberapa kompilasi peraturan-peraturan hokum yang dikenal di benua eropa
yang mengatur kekuasaan bangsa-bangsa atas laut dan berbagai kegiatan yang
berada di laut eropa. Di laut tengah Lex Rodhia atau hokum laut Rodhia
sudah dikenal sejak abad ketujuh.13
Sebelum Imperial Romawi kuno berada dalam masa puncak
kejayaanya Phonecia dan Rodhes mengaitkan kekuasaan atas laut dengan
kepemilikan atas laut. Pemikiran tersebut tidak terlalu besar pengaruhnya
kecuali hukum laut Rhodes tentang perdagangan, akibat berlakunya hukum
romawi pada abad pertengahan dimana pada abad itu tidak ada bangsa yang
13. Chairul Anwar. 1989 Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional.
Jakarta. Penerbit. Djambatan, Hal 1.
15
menentang kekuasaan mutlak romawi pada laut tengah. Peraturan-peraturan
hokum laut Rhodes yang berasal dari abad ke-2 atau ke-3 SM sangat
berpengaruh didaerah laut tengah dikarenakan prinsip-prinsip dari Rhodes
sangat diterima dengan baik oleh orang-orang Yunani dan Romawi.
Sejarah pertumbuhan hukum laut internasional ditandai dengan
muculnya pertarungan antara dua konsepsi hokum laut :14
a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik
bersama masyarakat dunia dan oleh karena itu tidak dapat diambil
atau dimiliki oleh siapapun.
b. Res Nulius, yang menyatakan laut itu tidak ada yang memiliki dan
oleh karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing
Negara.
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali
dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi lautan tengah dan
karenanya menguasai seluruh lautan tengah secara mutlak.15
Dengan
demikian menimbulkan suatu keadaan di mana lautan tengah menjadi lautan
yang bebas dari gangguan-gangguan bajak laut, sehingga semua orang dapat
menggunakan lautan tengah dengan aman yang sejahtera yang dijamin oleh
pihak Imperium Roma pemikiran hokum bangsa romawi didasarkan atas
doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia), yang
memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res
communis omnius di samping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar
pula untuk kebebasan menangkap ikan.
14. Hasyim Djalal. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum laut. Jakarta. Penerbit Bina
Cipta. Hal 11.
15
. Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Hukum Laut Internasional. Jakarta. Penerbit Bina Cipta.
Hal 3.
16
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communis omnium
tersebut di atas, tampak bahwa embrio kebebasan di laut lepas sebagai prinsip
kebebasan di laut lepas telah diletakan jauh sejak lahirnya masyarakat
bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah
hokum laut internasional merupakan tonggak bagi perkembangan hokum laut
internasioanal pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaanya di laut, banyak tanda-
tanda yang menunjukan bahwa dalam pandangan orang romawi laut itu dapat
dimiliki, dimana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap
ikan di perairan dekat pantainya telah diakui.16
Pemilikan suatu kerajaan dan
Negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasarkan atas konsepsi
res nullius.
Menurut konsepsi res nullius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat
memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Pendudukan ini dalam
hukum perdata romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation).
Keadaan yang dilukiskan diatas berakhir dengan runtuhnya Imperium
Romawi dan munculnya berbagai kerajaan dan Negara di sekitar lautan
tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari
yang lain. Walaupun penguasaan mutlak lautan tengah oleh Imperium
Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh Negara-
negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hokum Romawi.17
Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapapun yang
mengikuti perkembangan teori hokum internasional, asas-asas hokum
16. Hasyim Djalal. Op.Cit. Hal 12.
17
. Mochtar Kusumaatmadja. Op.Cit. Hal 4
17
Romawi yang disebut diatas mengilhami lahirnya pemikiran hokum laut
internasional yang berkembang di kemudian hari.
B. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terluas di dunia, sebagai
negara dengan kepulauan dan garis pantai terpanjang didunia, ini menjadi
salah satu keuntungan bagi negara indonesia, sektor maritim dan laut
indonesia sangat strategis baik dari faktor pariwisata, perdagangan, dan juga
menjadi jalur lintas nasional maupun internasional. Konsep negara kepulauan
Indonesia ini sendiri di dapat pada tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda. pada
saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada
dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di
dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Di masa lampau, perairan Indonesia diatur oleh Teritoriaal Zee En
Marietieme Kringen Ordonnantie Tahun 1939, tercantum dalam staatsblad
1939 No. 442 dan yang mulai berlaku tanggal 25 September 1939. Mengenai
laut wilayah, pasal 1 Ordonasi tersebut antara lain menyatakan bahwa :18
“Lebar laut Indonesia adalah 3 mil laut, diukur dari garis air rendah
dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia.”
Ketentuan yang dilahirkan di zaman penjajahan ini masih tetap kita
pakai sampai tahun 1957, walaupun lama sebelumnya sudah terasa bahwa
ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan kepentingan-kepentingan pokok
Indonesia, baik dibidang ekonomi, politik maupun dibidang keamanan.
18. Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global. Jakarta. Penerbit P.T Alumni. Hal. 378.
18
Penentuan batas laut yang demikian ini sudah tidak cocok lagi dengan
perkembangan zaman, tidak sesuai dengan kepentingan rakyat banyak
kaarena sifat khusus Indonesia yang merupakan Negara kepulauan serta
letaknya yang strategis. Kalau kita teruskan menganut dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan lama ini akibatnya akan sangat merugikan kepentingan-
kepentingan nasional kita. Bila cara pengukuran yang lama tetap dipakai yaitu
lebar laut wilayah yang di ukur dari garis pangkal air rendah maka sebagian
besar dari pulau-pulau kita akan mempunyai laut wilayahnya sendiri-sendiri
dan sebagai akibatnya di antara laut-laut wilayah tersebut terdapat pula
bagian-bagian laut lepas. Walaupun diantara ribuan pulau-pulau tersebut
masih banyak terdapat pulau-pulau yang jaraknya satu sama lain kurang dari
6 mil, jadi hanya akan merupakan kelompok pulau-pulau atau pulau-pulau
yang mempunyai laut wilayahnya sendiri-sendiri karena jaraknya satu sama
lain lebih dari 6 mil dan demikian mempunyai kantong-kantong laut lepas.19
Dari pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa banyaknya laut-laut
wilayah dengan kantong-kantong laut lepas dalam kepulauan Indonesia akan
menimbulkan banyak persoalan dan bahkan dapat membahayakan keutuhan
wilayah nasional. Dari segi keamanan, bentuk laut yang demikian akan
menimbulkan banyak kesulitan dalam melakukan pengawasan. Kita dapat
bayangkan betapa berat dan rumitnya tugas kapal-kapal perang atau kapal-kapal
pengawas pantai untuk menjaga perairan kita terhadap usaha-usaha penyelundupan,
kegiatan-kegiatan subversive asing dan usaha-usaha pelanggaran hukum lainya,
karena banyak dan berbelit-belitnya susunan kepulauan yang harus diawasi. Tugas
19. Ibid. Hal. 378-379
19
yang sudah berat ini di persulit lagi dengan adanya kantong-kantong laut lepas di
sana sini. Setiap waktu kapal-kapal pengawas harus menentukan posisinya apakah
berada di laut wilayah atau laut lepas karena pada saat itu peraturan hukum tentang
bagian-bagian laut tersebut berbeda satu sama lain.
Selanjutnya kantong-kantong laut lepas yang terdapat di antara pulau-
pulau dan kelompok pulau-pulau tersebut akan menyebabkan terdapatnya
pula kantong-kantong udara bebas di wilayah udara kita yang akan
menimbulkan pula persoalan-persoalan dari segi penerbangan. Adanya
kantong-kantong laut lepas menyebabkan wilayah udara kita tidak homogen
dan hal ini akan merupakan ancaman terhadap keamanan nasional.
Demikian demi untuk mengamankan kepentingan-kepentingan pokok
Indonesia, baik dari segi ekonomi, pelayaran, politik maupun dari segi
hankamnas pemerintah merasa perlu merombak ketentuan-ketentuan lama
dan mengumumkan ketentuan-ketentuan baru di bidang perairan nasional.
Ketentuan-ketentuan baru ini pada mulanya dikeluarkan dalam bentuk
pengumuman pemerintah tanggal 13 Desember 1957, yang kemudian dikenal
dengan nama Deklarasi Djuanda yang isinya sebagai berikut :20
Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan
pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian
yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan
demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada dibawah
kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan
Negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang
di ukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-
pulau Negara Republik Indonesia akan di tentukan dengan undang-undang.
20. Ibid. Hal. 381
20
Menurut pendapat penulis disini bahwa, lebar laut Indonesia menjadi
12 mil yang diukur dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau Indonesia terluar. Selanjutnya, wilayah Republik Indonesia
merupakan paduan tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara daratan
dan lautan serta udara diatasnya. Konsepsi baru ini kemudian diperkokoh
dengan undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960.
Jadi dengan ketentuan hukum yang baru ini, seluruh kepulauan dan
perairan Indonesia adalah suatu satu kesatuan dimana dasar laut, lapisan tanah
dibawahnya, udara diatasnya, serta seluruh kekayaan alamnya berada di
bawah kedaulatan Indonesia.
Berikut adalah ketentuan-ketentuan baru yang mengatur perairan
Indonesia sesuai Undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960 yang antara lain :21
1. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan
pedalaman Indonesia.
2. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis
luarnya di ukur tegak lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada
garis air rendah dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang
terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat
yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan Negara Indonesia tidak
merupakan satu-satunya Negara tepi, garis batas laut wilayah Indonesia
ditarik pada tengah selat.
3. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada
sisi dalam dari garis dasar.
4. Lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi
kendaraan asing.
Juga diterimanya dan berlakunya konsepsi hukum laut territorial 12 mil
adalah pada konsepsi hukum laut internasional I ( UNCLOS ) pada tahun 1958,
bahwa laut territorial di tetapkan 12 mil dari garis pangkal surut air pantai.22
21. Ibid. Hal. 382
22
. T.May Rudi. 2009. Hukum Internasional 2. Bandung. Penerbit Refika Aditama. Hal. 8
21
C. Kedaulatan Negara
Kedaulatan Negara adalah kekuasaan mutlak atau kekuasaaan
tertinggi atas penduduk dan wilayah bumi beserta isinya yang dipunyai oleh
suatu sistem negara nasional yang berdaulat. Kedaulatan Negara dalam Arti
kenegaraan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu negara
untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa campur tangan dari pemerintah
negara lain.23
Indonesia sebagai negara yang akan menjadi poros maritim
dunia melalui salah satu Nawacita yang rancangnya. Negara Indonesia
memang kaya akan hasil lautnya, sehingga banyak orang atau negara lain
yang selalu ingin memiliki dan memburu kekayaan hayati yang ada di pulau-
pulau Indonesia, contohnya saja kekayaan jenis ikan yang ada di Laut
Indonesia.
James J Sheehan24
mengemukakan pandangan yang sangat kritis,
tentang konsep permasalahan kedaulatan ( Sovereignty ) adalah tentang
definisi, kedaulatan adalah suatu konsep politik, namun demikian tidak
seperti halnya konsep tentang demokrasi atau monarki kedaulatan bukanlah
seperti tempat itu berada. Kedaulatan tidak sama halnya dengan parlemen
atau birokrasi, karena kedaulatan tidak menggambarkan institusi-institusi
yang menjalankan kekuasaan, kedaulatan juga tidak dapat disamakan dengan
tertib hokum maupun keadilan, karena kedaulatan tidak menggambarkan dari
tujuan pelaksanaan kekusaan, akan tetapi kedaulatan meliputi suatu hal dan
banyak hal.
Konsep kedaulatan adalah suatu hal yang berkaitan dengan hubungan
antara kekuasaan politik dan bentuk-bentuk otoritas lainya.25
kedaulatan dapat
dipahami dengan mencermati beberapa hal seperti ; Pertama kekuasaan
politik adalah berbeda dengan kerangka organisasi atau otoritas lain didalam
masyrakat seperti religious, kekeluargaan, dan ekonomi; Kedua kedaulatan
menegaskan bahwa otoritas public semacam ini bersifat otonom dan sangat
luas sehingga lebih tinggi dari institusi yang ada dalam masyrakat yang
bersangkutan dan independent atau bebas dari pihak luar.
23. Kilatina, Kedaulatan Negara, www.dictio.id, Akses 6 November 2018.
24
. Ibid.
25
. Sigit Riyanto. 2012. Kedaulatan Negara Dalam Kerangka Hukum Internasional.
Yogyakarta. Yustisia Jurnal Hukum. Vol. 1 No. 3. Fakultas Hukum. UGM. Hal 7.
22
Menurut penulis disini bahwa Kedaulatan, merupakan kekuasaan
mutlak atau kekuasaaan tertinggi atas penduduk dan wilayah bumi beserta
isinya yang dipunyai oleh suatu sistem negara nasional yang berdaulat.
Kembali pada kedaulatan Negara, berbicara tentang kedaulatan
Negara tentu tidak bisa dilepaskan dari dua orang penganut ajaran kedaulatan
neagara yaitu Jean Bodin dan George Jellinek. Keduanya memaparkan
tentang apa itu kedaulatan Negara :
Jean Bodin merupakan salah satu pelatak dasar ajaran kedaulatan,
menurut Jean Bodin kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi terhadap para
warga Negara dan rakyat, tanpa ada suatu pembatasan apapun dari sebuah
undang-undang, kedaulatan juga merupakan kekuasaan tertinggi untuk
menentukan hukum dalam suatu Negara. Jean Bodin juga mengatakan tidak
ada kedaulatan yang bersifat mutlak, yang ada hanyalah kedaulatan terbatas
baik di luar maupun di dalam negaranya, tetapi kedaulatan merupakan
kekuasaan tertinggi dari suatu Negara.26
Sedangkan Teori Kedaulatan Negara yang dikemukakan oleh Georg
Jellinek, Pada pokoknya Jellinek mengatakan bahwa hukum itu adalah
merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan Negara. Jadi
negaralah yang menciptakan hukum, maka Negara dianggap satu-satunya
sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan, diluar Negara tidak ada satu orangpun yang berwenang
menetapkan hukum.27
Dari pemaparan diatas disini penulis mengambil kesimpulan bahwa
pada intinya yang diungkapkan oleh para ahli adalah bawah kedaulatan
negara adalah hak yang dimiliki oleh suatu neagara, atas negaranya, guna
menerapkan aturan-aturan hukum untuk menjaga keamanan dan kedamaian
dalam suatu Negara dan harga diri suatu bangsa.
26. Usep Ranawidjaja. 1983. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. Penerbit Ghalla
Indonesia. Hal. 182.
27
. Soehino. 1998. Ilmu Negara. Yogyakarta. Penerbit Liberty. Hal. 155
23
D. Perbatasan Wilayah Negara
Kawasan perbatasan merupakan manifestasi utama dari pada
kedaulatan wilayah suatu Negara, kawasan suatu Negara mempunyai peranan
yang sangat penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan
sumber daya alam, serta keamanan dan keutuhan suatu wilayah Negara.
Menurut Pakar Perbatasan Guo, Perbatasan adalah garis khayalan yang
memisahkan dua atau lebih wilayah politik atau yuridiksi seperti negara, negara
bagian atau wilayah subtansional. Dibeberapa wilayah indonesia. Perbatasan
ditandai dengan tapal batas berupa tugu atau batu yang berukuran besar atau
kecil. Oleh karena itu wilayah perbatasan sebenarnya tidak hanya terbatas pada
dua atau lebih negara yang berbeda, namun dapat pula ditemui dalam suatu
negara, seperti kota atau desa yang berada di bawah dua yurisdiksi yang berbeda,
intinya, wilayah perbatasan merupakan area (baik kota atau wiilayah) yang
membatasi antara dua kepentingan yurisdiksi yang berbeda.28
E. Penarikan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia diatur dalam undang-
undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah
No. 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Kordinat Geografis Titik-titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008
Tentang Perubahan Atas Pemerintah No. 38 Tahun 2002 Tentang Daftar
Kordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
28. J.G. Strake. 2007 Pengantar Hukum Internasional. Jakarta. Penerbit PT. Sinar Grafika. Hal
58.
24
Garis pangkal diatur lebih lanjut oleh Pasal 3 Peraturan Pemerintah
No. 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Kordinat Geografis Titik-titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia. Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No 38
Tahun 2002 menyatakan bahwa Pemerintah menarik garis pangkal kepulauan
untuk menetapkan lebar laut territorial. Dalam Ayat 2 ditetapkan bahwa
penarikan garis pangkal kepulauan tersebut dilakukan dengan menggunakan :
a. Garis pangkal lurus kepulauan; b. Garis pangkal biasa; c. Garis pangkal
lurus; d. garis penutup teluk; e. Garis penutup muara sungai, terusan dan
kuala; dan f. Garis penutup pada pelabuhan.
Dari berbagai cara penarikan garis pangkal kepulauan diatas dapat
dikemukakan di sini bahwa :29
Pertama, Ketentuan mengenai garis pangkal lurus kepulauan terdapat
dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002. Dalam Pasal 3 Ayat
1 dikemukakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan merupakan garis
pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial, diantara pulau-
pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia. Garis pangkal
lurus kepulauan tersebut, menurut Ayat 2 merupakan garis lurus yang
menghubungkan tititk-titik terluar pada garis air rendah pada titik terluar
pulau terluar, karang kering terluar yang lainya yang berdampingan. Dalam
Ayat 6 ditegaskan bahwa perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal
lurus kepulauan tersebut di atas adalah perairan kepulauan dan perairan yang
terletak pada sisi luar garis pangkal lurus kepulauan adalah laaut territorial.
29. Didik Mohamad Sodik. 2011. Hukum Laut Internasional dan Pengaturanya di Indonesia.
Bandung. Penerbit PT. Refika Aditama. Hal. 51-60
25
Kedua, Pasal 4 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002
Tentang penarikan garis pangkal biasa menyatakan bahwa garis pangkal biasa
digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial dalam hal bentuk geografis
pantai suatu pulau terluar menunjukan bentuk yang normal pengecualian
terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 5,6,7, dan 8, menurut Ayat 2, garis
pangkal biasa tersebut adalah garis rendah sepanjang pantai yang ditetapkan
berdasarkan Hidrografis yang berlaku.
Ketiga, Pasal 5 peraturan Pemerintah No, 38 Tahun 2002 mengatur
cara penarikan garis pangkal lurus, Pasal 5 Ayat 1 Menetapkan bahwa garis
pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di
mana terdapat lekukan pantai yang tajam. Garis pangkal lurus tersebut,
menurut Ayat 2 adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada
garis air rendah yang menonjol dan bersebrangan di mulut lekukan pantai
tersebut.
Sementara itu cara-cara lain dalam penarikan garis pangkal kepulauan
juga terdapat dalam pasal 6 yang mengatur garis penutup teluk, pasal 7
tentang garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala, dam Pasal 8 yang
menetapkan garis penutup pelabuhan.
F. Laut Teritorial
Konsep laut teritorial ini ada dikarenakan kebutuhan untuk menumpas
pembajakan juga sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar Negara.
Prinsip ini mengijinkan bahwa setiap Negara berhak memperluas
yuridiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan.
26
Secara konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah territorial
daratnya. Sejak konferensi Den Haag 1930 kemudian konvensi hokum laut
internasional tahun 1958, Negara-negara pantai mendukung rencana untuk
konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hokum laut. Kemudian
ketentuan laut territorial dikondifikasikan dalam konvensi hokum laut
internasional tahun 1982 (UNCLOS), UNCLOS mengijinkan negara pantai
untuk menikmati yuridiksi ekslusif atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya
sejauh 12 mil diukur dari garis pangkal sepanjang pantai yang mengelilingi
Negara tersebut.30
Menurut konvensi baru ini, kedaulatan negara menyambung keluar
dari wilayah daratan dan perairan pedalamanya atau perairan kepulauanya ke
kawasan laut yang disebut laut teritorial. Kedaulatan ini menyambung ke
ruang udara di atas laut teritorial, demikian pula ke dasar lautan dan tanah
dibawahnya, serta negara-negara akan melaksanakan kedaulatanya atas laut
teritorial dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan konvensi Hukum Laut
Internasional 1982, dan aturan lain dari hukum internasional.31
Dari pemaparan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa batas laut
Teritorial ini ditentukan bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar dari
laut teritorialnya sampai ke batas 12 mil laut dari garis pangkal pantai.
G. Zona Tambahan
Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang
berdekatan dengan batas maritim atau teritorial, tidak termasuk kedaulatan
30. Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit. Hal 173.
31
. Chairul Anwar, Op.Cit. Hal 20.
27
Negara pantai , tetapi dalam zona tersebut Negara pantai dapat melaksanakan
hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah pelanggaran peraturan
perundang-undangan, bea cukai, fiscal, dan ke imigrasian di wilayah laut
teritorialnya. Sepanjang 12 mill atau tidak melebihi 24 mill dari garis
pangkal.
Zona tambahan di dalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa
suatu zona didalam laut lepas yang bersambungan dengan laut territorial
Negara pantai tersebut dapat melakukan pengawasan atau dapat menindak
pelanggaran di zona tersebut ;
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangan, yang berkenaan
dengan masalah bea cukai, fiscal dan keimigrasian;
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan perundang-undangan
seperti disebut di atas.
Didalam ayat (2) ditegaskan tentang lebar maksimum tentang zona
tambahan tidak boleh melebihi dari 12 mil laut di ukur dari garis pangkal, hal
ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya memiliki arti bagi Negara-negara
yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil ( ini menurut
konvensi laut jenewa 1958 ), dan tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan
baru dalam konvensi hukum laut internasional tahun 1982, menurut Pasal 33
ayat (2) konvensi hukum laut internasional 1982, zona tambahan itu tidak
boleh melebihi 24 mil dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu di
ukur.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan beberapa hal untuk
memperjelas posisi zona tambahan :32
1. Pertama, tentang tempat atau garis darimana zona tambahan itu di ukur,
yaitu dari garis pangkal menuju ke laut.
2. Kedua, tentang lebar dari zona tambahan, yaitu tidak boleh melebihi 24
mil laut di ukur dari garis pangkal.
32. Etty R. Agoes. 2008. Analisis dan Evaluasi Hokum Tentang Zona Tambahan. Jakarta.
Penerbit Pengayoman. Hal. 9.
28
3. Ketiga, oleh karena bagian laut dengan lebar maksimum 12 mil laut
diukur dari garis pangkal sudah ditetapkan sebagai laut territorial, maka
secara praktis bagian laut yang merupakan zona tambahan itu
tergantung dari lebar laut territorial yang dianut oleh masing-masing
Negara, kearah laut sampai batas 24 mil laut.
4. Keempat, pada zona tambahan Negara pantai hanya memiliki
kewenangan yang terbatas seperti yang ditegaskan pada ayat (1),
berbeda dengan di laut territorial dimana Negara pantai memiliki
kedaulatan yang dibatasi oleh kewajiban untuk mengakomodasikan hak
lintas damai bagi kapal-kapal asing.
Guna mencegah Negara pantai tidak menyamakan zona tambahan
dengan laut territorial, Brownlie mengemukakan pandangan Sir Gerald
Fitmaurice tentang pasal 24 Ayat 1 dari konvensi laut teritorial dan zona
tambahan 1958, mengenai kekuasaan pengawasan Negara pantai dimana
dikatakan bahwa yang dilaksanakan Negara pantai ialah suatu pengawasan
dan bukan suatu yuridiksi untuk :
a. Mencegah pelanggaran peraturan fiscal, imigrasi, dan kesehatan di
didalam laut territorial Negara tersebut.
b. Menghukum pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut diatas
yang dilakukan pada laut territorial Negara tersebut.33
Menurut penulis disini Dalam melaksanakan kekuasaan pengawasan
prosedur yang harus dilakukan negara pantai untuk melakukan pengawasan
adalah dengan pemeriksaan dilakukan pada waktu kapal masih berada di zona
tambahan. Batasan tersebut diperlukan untuk mencegah Negara pantai tidak
menyamakan zona tambahan dengan laut territorial.
33. Chairul Anwar, Op.Cit. Hal. 41.
29
H. Zona Ekonomi Eksklusif
Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut
teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis
pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.34
Berikut adalah hak-hak dari negara pantai pada Zona Ekonomi
Eksklusif ialah :
a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah
dibawahnya serta pada perairan diatasnya. Demikian pula terhadap semua
kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari
zona tersebut ( seperti produksi energi dari air, arus dan angin).
b. Yuridiksi, sebagimana yang ditetapkan dalam konvensi hukum laut
internasional, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset
ilmiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut.35
Menurut hemat penulis perlu dicatat bahwa, berlainan dengan laut
teritorial, zona ekonomi eksklusif tidak tunduk kepada kedaulatan penuh
negara pantai. Negara pantai hanya menikmati hak-hak berdaulat dan bukan
kedaulatan, di zona ekonomi eksklusif semua negara dapat menikmati
kebebasan berlayar dan terbang diatasnya serta kebebasan untuk meletakan
pipa dan kabel bawah laut, dan juga untuk penggunaan sah lainya yang
berkenaan dengan kebebasan tersebut.
Adapun hak-hak dan kewajiban negara lain pada Zona Ekonomi
Eksklusif ialah :36
34. Albert W. Koers. 1994. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.
Yogyakarta. Penerbit Gadjah Mada University Press. Hal 8.
35
. Ibid.
30
a. Kebebasan pelayaran dan penerbangan
b. Kebebasan meletakan kabel-kabel dibawah laut dan pipa-pipa dan
pemakaian laut lainya yang dibenarkan secara internasional dalam kaitan
dengan hal-hal tersebut di atas, seperti hal-hal yang bertalian dengan
operasi kapal, pesawat terbang, kabel-kabel laut, dan pipa-pipa.
I. Landas Kontinen
Landas kontinen merupakan istilah geologi yang kemudian menjadi
bagian dalam istilah hukum. Secara sederhana landas kontinen dapat
dijelaskan sebagai daerah pantai yang tanahnya menurun ke dalam laut
sampai akhirnya di suatu tempat tanah tersebut jatuh curam ke dalam laut dan
pada umumnya tidak terlalu dalam, agar sumber daya alam dari landas
kontinen dapat di manfaatkan dengan teknologi yang ada.
Berdasarkan Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982,37
dikatakan bahwa
landas kontinen Negara pantai terdiri dari dasar laut dan kekayaan alam yang
terdapat dibawahnya dari area laut yang merupakan penambahan dari laut
teritorialnya, yang mencakup keseluruhan perpanjangan alami dari wilayah
territorial daratnya ke bagian luar yang memagari garis continental, atau
sejauh 200 mil dari garis pangkal dimana garis teritorial di ukur jika bagian
luar yang memagari garis continental tidak bisa diperpanjang sampai pada
jarak tersebut.
Penjelasan pada Pasal 76 UNCLOS merupakan pencerminan dari
kompromi antara Negara-negara pantai yang memiliki landas kontinen yang
36. Chairul Anwar, Op.Cit. Hal 47
37
. Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982 Tentang Landas Kontinen
31
luas seperti kanada yang mendasarkan kriteria eksploitasibilitas sebagaimana
yang termuat dalam UNCLOS 1958 karena penjelasan pada UNCLOS 1958
tentang landas kontinen sangat berbeda dengan pengertian Pasal 76 UNCLOS
1982, sehingga Negara-negara pantai dengan landas kontinen yang luas tetap
mempertahankan posisi bahwa mereka memiliki hak diseluruh landas
kontinenya dengan Negara-negara yang menginginkan kawasan internasional
seluas mungkin.
Kemudian terkait dengan hak dan penggunaan landas kontinen sebuah
Negara pantai, hal tersebut diatur dalam Pasal 79 UNCLOS 1982. Negara
pantai yang bersangkutan hanya bisa menentukan jalur kabel atau pipa yang
akan di tanam akan tetapi tidak dapat melarang atau mengharuskan ketentuan
penanaman kabel atau pipa tersebut.
J. Macam-Macam Hak Lintas Kapal Asing Dalam Perairan Suatu Negara
UNCLOS 1982 telah membuat sebuah peraturan yang mengatur hak
lintas kapal asing di dalam perairan suatu Negara. Dalam peraturan ini
setidaknya dibuat 3 (tiga) jenis hak lintas, yaitu hak lintas damai, hak lintas
transit, hak lintas alur laut kepulauan.
1. Hak Lintas Damai ( The Right Of Innocent Passage)
Zaman dahulu laut dipandang sebagai entitas yang tidak dimiliki oleh
Negara manapun (res nullius), dan oleh karena itu setiap negara bebas
memanfaatkanya untuk apapun, seperti berlayar atau mencari sumber daya
alam, barulah ketika status hukum laut dipersoalkan, akhirnya melahirkan
pranata hokum laut, yakni laut territorial dan laut lepas. Laut territorial
32
merupakan kedaulautan dari suatu Negara sehingga membatasi kebebasan
berlayar dan ekplorasi sumber daya alam bagi kapal asing. sedangkan laut
lepas adalah bukan kedaulatan suatu negara masih diakui adanya
kebebasan sehingga kapal asing masih bebas berlayar (freeom of
navigation). Namun hal ini lah yang menjadi masalah, sebab ketiadaan
kebebasan berlayar pada suatu laut teritorial terutama untuk tujuan
perdagangan dan lalu lintas orang, mengakibatkan mengalami kendala
yang pada akhirnya merugikan negara-negara itu sendiri. Dan untuk
mengatasi masalah itu ditempuhlah jalan tengah, yakni laut teritorial tetap
merupakan kedaulatan dan wilayah negara pantai, tetapi bagi kapal-kapal
asing diberikan hak untuk tetap bisa berlayar, hak inilah yang kemudian
disebut sebagai hak lintas damai. Hak ini kemudian diakui, dihormati dan
diterima lalu dipraktekan secara luas serta dirasakan sebagai kaidah
hukum di semua Negara, dengan kata lain hak lintas damai sudah menjadi
kebiasaan hukum internasional dalam bidang hukum laut.
Pengaturan Hak Lintas Damai pada UNCLOS 1982 dapat dilihat
dalam bagian 3 (Pasal 17-26) yang terbagi kedalam tiga sub bagian, yakni
peraturan yang berlaku bagi semua kapal, peraturan yang berlaku bagi
kapal dagang dan pemerintah untuk tujuan komersial dan peraturan
berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah lainya untuk tujuan non
komersial. Selanjutnya pasal 19 UNCLOS 1982 memberikan pengertian
mengenai hak lintas damai. Lintas adalah damai selagi tidak merugikan
bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan bagi Negara pantai. Mengenai
hak lintas damai sendiri Indonesia telah mengundangkan Undang-undang
nomor 6 tahun 1962 tentang Perairan Indonesia dan Perarturan Pemerintah
33
nomor 36 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam
melaksanakan hak lintaas damai di perairan Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Komponen lintas damai hanya ada 2 (dua), Pertama adalah
kapal yang melintas laut (Perairan Kepulauan atau Laut Teritorial) tanpa
melintasi perairan pedalaman atau menghubungi pelabuhan atau fasilitas
pelabuhan diluar perairan pedalaman. Kedua kapal yang melanjutkan ke
atau dari perairan pedalaman atau singgah di pelabuhan tersebut atau
fasilitas pelabuhan.38
Selama dalam pelayaran kapal asing itu harus terus
menerus, langsung, serta dalam tempo yang secepat mungkin, meskipun
demikian, berhenti atau membuang jangkar dapat dibenarkan sepanjang
ada alas an yang lazim berlaku dalam dunia pelayaran.
2. Hak Lintas Transit (The Right Of Transit Passage)
Masalah Hak Lintas Transit ini muncul setelah adanya perluasan
yuridiksi negara atas laut dalam bentuk perluasan laut teritorial dari 3
(tiga) mill laut menjadi 12 (dua belas) mill laut, sebagai akibatnya selat-
selat strategis yang tadinya merupakan bagian dari laut bebas, kini menjadi
bagian teritorial dari suatu negara. Rezim baru ini disampaikan oleh
delegasi inggris pada pada tahun 1974 sebagai perumusan jalan tengah
atau kompromi antara rezim lintas damai dan proposal kebebasan
pelayaran yang diajukan oleh kelompok yang disebut sebagai Negara
kelompok selat di satu sisi dan Amerika Serikat serta Uni Soviet di sisi
lainya.39
Istilah transit terletak diantara kebebasan pelayaran.
38. Pasal 11Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
39
. Kresno Buntoro. 2014. Lintas Navigasi di Nusantara Indonesia. Jakarta. Penerbit Raja
Grafindo Persada. Hal 126.
34
Hak lintas Transit bagi kapal asing dapat dilakukan diselat yang
digunakan untuk pelayaran international (Strait Used For International
Navigation). Bab III UNCLOS 1982 menyebutkan penggunaan selat bagi
pelayaran international, tetapi tidak memberikan kriteria khusus untuk
menentukan selat yang digunakan sebagai pelayaran internasional,
konvensi hanya menjelaskan tentang hak dan kewajiban kapal dan pesawat
udara serta negara yang berbatasan dengan selat. Pasal 38 UNCLOS 1982
memberikan definisi lintas transit yang pelintasan terdiri dari tiga jenis
yaitu, 1. Lintas transit adalah penggunaan kebebasan pelayaran dan
penerbangan; 2. Pelintasanya hanya harus untuk tujuan transit tanpa
berhenti, langsung dan cepat; 3. Pelaksanaanya harus sesuai dengan aturan
UNCLOS 1982 yang membahas tentang selat sebagai pelayaran
internasioanal. Lintas transit adalah hak untuk semua kapal dan pesawat
untuk melewati selat yang digunakan sebagai pelayaran internasional.
Tidak ada batasan dan jenis kapal atau pesawat serta kebangsaan kapal dan
pesawat, mereka memiliki kebebasan pelintasan yang sama.
3. Hak Lintas Alur Laut Kepulauan (The Right Of Archipelagic Sea Lane
Passage)
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan di definisikan dalam Pasal 53 ayat 3
UNCLOS 1982 sebagai berikut :
“Hak pelayaran dan penerbangan secara normal yang hanya dapat digunakan
untuk transit yang terus menerus, langsung dan tidak terhalang dari satu
bagian laut bebas atau ZEE dan bagian laut lepas atau ZEE lainya”.40
40. Pasal 53 Ayat 3 UNCLOS 1982 tentang Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.
35
Berdasarkan ketentuan tersebut, alur laut kepulauan seperti bentuk hak
lintas lainya (lintas damai dan lintas transit) merupakan hak dari kapal dan
pesawat asing untuk melintas dengan cara normal (normal mode) secara
terus menerus dan tidak terhalang dari satu bagian laut bebas atau ZEE dan
bagian laut lepas atau ZEE lainya. Apabila Negara kepulauan tidak
menetapkan alur laut kepulauan, maka hak alur laut kepulauan dapat
dinikmati oleh kapal dan pesawat asing di rute yang digunakan sebagai
alur pelayaran internasional.
Indonesia telah menetapkan lintas alur laut kepulauan, penetapan ini
telah diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
antara lain Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban
Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan Melalui Rute Yang Telah Ditetapkan, Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian dan Petunjuk
Pelaksanaan Panglima TNI tentang Pengamanan Alur Laut Kepulauan
Indonesia.
Alur laut kepulauan Indonesia terdiri dari 3 (tiga) alur Utara-Selatan
yang disebut dengan: Alur Laut Kepulauan Indonesia I , Alur Laut
Kepulauan Indonesia II, Alur Laut Kepulauan Indonesia III. Alur laut
kepulauan Indonesia I mempunyai dua cabang yaitu I dan IA yang
menghubungkan dari/ke laut china selatan dan selat singapura dan ke
samudra hindia melalui selat sunda dan selat karimata. Alur laut Indonesia
36
II ditujukan untuk memfasilitasi pelayaran/penerbangan dari laut Sulawesi,
perairan Filipina dan samudra pasifik dari/ke samudra hindia dengan
melewati selat makasar dan selat Lombok. Alur laut kepulauan Indonesia
III mempunyai beberapa cabang sebagai alur pelayaran/penerbangan dari
laut timur dan laut arafuru ke samudra pasifik melalui laut sawu, laut
banda, laut seram dan laut Maluku.