BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja

13
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan pada Pasal 1 angka (1) bahwa : “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.” 8 Dari pengertian tersebut, terdapat kata “setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan”, itu berarti tidak semua penduduk bisa dikatakan sebagai tenaga kerja, karena pada dasarnya tidak semua orang mampu melakukan pekerjaan. Orang yang tidak mampu melakukan pekerjaan inilah yang disebut sebagai bukan angkatan kerja. Jadi kesimpulannya tenaga kerja itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok angkatan kerja dan kelompok bukan angkatan kerja. 1. Angkatan kerja Angkatan kerja adalah setiap penduduk yang telah memasuki usia kerja, baik yang sudah bekerja, belum bekerja, atau sedang mencari pekerjaan. Penduduk yang termasuk dalam usia kerja adalah penduduk yang berusia antara 15 tahun sampai 64 tahun. 2. Bukan angkatan kerja Tenaga kerja yang bukan merupakan angkatan kerja adalah penduduk yang belum atau sudah memasuki usia kerja tetapi tidak berminat bekerja 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tenaga Kerja

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan menerangkan pada Pasal 1 angka (1) bahwa :

“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun masyarakat.”8

Dari pengertian tersebut, terdapat kata “setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan”, itu berarti tidak semua penduduk bisa dikatakan

sebagai tenaga kerja, karena pada dasarnya tidak semua orang mampu

melakukan pekerjaan. Orang yang tidak mampu melakukan pekerjaan inilah

yang disebut sebagai bukan angkatan kerja. Jadi kesimpulannya tenaga kerja

itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok angkatan kerja dan

kelompok bukan angkatan kerja.

1. Angkatan kerja

Angkatan kerja adalah setiap penduduk yang telah memasuki usia kerja,

baik yang sudah bekerja, belum bekerja, atau sedang mencari pekerjaan.

Penduduk yang termasuk dalam usia kerja adalah penduduk yang berusia

antara 15 tahun sampai 64 tahun.

2. Bukan angkatan kerja

Tenaga kerja yang bukan merupakan angkatan kerja adalah penduduk

yang belum atau sudah memasuki usia kerja tetapi tidak berminat bekerja

8Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

14

karena suatu alasan. Jika dilihat secara usia penduduk bukan angkatan

kerja adalah penduduk yang berusia antara 0-14 tahun dan penduduk yang

berusia lebih dari 64 tahun. 9

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tenaga

kerja adalah setiap orang yang terdiri dari kelompok angkatan kerja dan

kelompok bukan angkatan kerja yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa guna memenuhi kebutuhan sendiri maupun

masyarakat.

B. Pengertian Buruh atau Pekerja

Dahulu pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, istilah buruh digunakan

untuk orang-orang yang melakukan pekerjaan kasar seperti kuli, tukang,

mandor, orang-orang ni disebutnya sebagai Blue Collar. Sedangkan orang-

orang yang melakukan pekerjaan halus dan tidak pernah bergelut dengan

pekerjaan-pekerjaan kasar disebut dengan istilah karyawan/pegawai (White

Collar). Biasanya orang-orang yang termasuk White Collar ini adalah pekerja

(bangsawan) yang bekerja dikantor ataupun orang-orang Belanda dan Timur

Asing lainnya. Pembedaan tersebut membawa konsekuensi pada perbedaan

perlakuan serta pemenuhan hak-hak yang merupakan upaya Pemerintah

Hindia Belanda untuk memecah belah orang-orang pribumi.

Setelah Indonesia merdeka, tidak ada perbedaan istilah buruh antara Blue

Collar dengan White Collar. Semuanya adalah buruh yang mempunyai hak

9 Kumpulan Ilmu Ekonomi dan Bisnis, “Ketenagakerjaan”. (http://www.ilmu-ekonomi-

id.com/2016/09/ketenagakerjaan-pengertian-tenaga-kerja.html, diakses pada tanggal 17 Januari

2018), 2018.

15

dan kewajiban yang sama, tidak mempunyai perbedaan apapun.10

Penyebutkan istilah buruh pada masa lalu lebih cenderung kurang manusiawi

sebagai pihak yang ditekan oleh majikan dan bekerja pada sektor-sektor non

formal saja atau pekerja kasar seperti kuli, tukang, dan sejenisnya. Dalam

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, pengertian

pekerja diperluas yakni termasuk :

1. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima

upah maupun tidak.

2. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah

perusahaan.

3. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

Memperhatikan uraian tersebut, jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang

sudah bekerja yang dapat disebut sebagai pekerja/buruh. Undang-Undang RI

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 3

memberikan pengertian tentang pekerja/buruh adalah setiap orang yang

bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini

agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang

yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau

badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.11

Jadi berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

buruh atau pekerja adalah setiap tenaga kerja yang sudah bekerja pada sektor

formal maupun non formal dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk

apapaun.

10

Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2003), halaman 40. 11

Lalu Husni, op.cit., halaman 35.

16

C. Pengertian Pengusaha atau Majikan

Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat

populer karena perundang-undangan sebelum Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. Dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa majikan adalah

“orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh’’. Sama halnya dengan

istilah buruh, istilah majikan juga kurang sesuai dengan konsep Hubungan

Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang

selalu berada diatas, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis adalah

mitra kerja yang mempunyai kedudukan sama karena itu lebih tepat jika

disebut dengan istilah pengusaha.

Dalam pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan penjelasan pengertian

pengusaha yakni :

1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan milik sendiri.

2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.

3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam poin-poin

diatas yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia

17

Maksud dari pengertian di atas dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Orang perseorangan adalah orang pribadi yang menjalankan atau

mengawasi operasional perusahaan.

2. Persekutuan adalah suatu bentuk usaha yang tidak berbadan hukum seperti

CV, Firma, dan lain-lain, baik yang bertujuan untuk mencari keuntungan

atau tidak.

3. Badan hukum adalah suatu badan yang oleh hukum dianggap sebagai

orang, dapat mempunyai harta kekayaan secara terpisah, mempunyai hak

dan kewajiban hukum dan berhubungan hukum dengan pihak lain.

Contohnya yaitu PT (Perseroan Terbatas), Yayasan, Koperasi.12

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengusaha atau

majikan adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

berhubungan dengan pihak lain untuk menjalankan perusahaan atau

mengawasi operasional perusahaan dengan mempekerjakan pekerja/buruh.

D. Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja

1. Pengertian Hubungan Kerja

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh

berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan

perintah. Hubungan kerja ini terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara

pengusaha dengan pekerja/buruh.13

Menurut Pasal 1 Nomor 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : “Hubungan Kerja adalah hubungan

12

Danang Sunyoto, Hak dan Kewajiban bagi Pekerja dan Pengusaha , (Yogyakarta: Penerbit

Pustaka Yustisia, 2013), halaman 27-28. 13

Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Cetakan Keempat, (Semarang: Semarang

University Press, 2015), halaman 21.

18

antara pengusaha dan pekerja atau buruh berdasakan perjanjian kerja yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Hubungan kerja merupakan

sesuatu yang abstrak dan merupakan hubungan hukum antara pengusaha

dengan seorang pekerja atau buruh.

Hubungan kerja hanya lahir karena ada perjanjian kerja. Perjanjian

melahirkan perikatan, perikatan yang lahir karena perjanjian kerja inilah yang

merupakan hubungan kerja. Hubungan kerja hanya ada apabila salah satu

pihak dalam perjanjian dinamakan pengusaha dan pihak lainnya dinamakan

buruh atau pekerja. Digunakannya perkataan hubungan kerja, untuk

menunjukkan bahwa hubungan kerja antara majikan dengan buruh mengenai

kerja.14

Berdasarkan uraian mengenai hubungan kerja tersebut, dapat disimpulkan

bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah yang lahir

karena adanya perjanjian kerja.

2. Pengertian Perjanjian Kerja

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003

Pasal 1 ayat (14), perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh

dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak,

dan kewajiban para pihak.

Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1601 a,

pengertian perjanjian kerja dengan istilah persetujuan perburuhan: persetujuan

dengan mana pihak kesatu si buruh mengikatkan dirinya di bawah perintah

14

Abdul Rachmad Budiono, Hukum perburuhan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995), halaman 25.

19

pihak lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan

dengan menerima upah. Suatu perjanjian menjadi sah jika memenuhi

persyaratan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320

sebagai berikut:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

c. Suatu hal tertentu, dan

d. Suatu sebab yang halal.

Menurut Pasal 52 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2003 ayat (1), perjanjian kerja dibuat atas dasar :

a. Kesepakatan kedua belah pihak,

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan

tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dan menurut Pasal 52 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2003 ayat (1), perjanjian kerja dibedakan menjadi perjanjian tertulis

dan perjanjian lisan.15

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

perjanjian kerja adalah perjanjian tertulis atau lisan antara pekerja/buruh

dengan pengusaha untuk melakukan pekerjaan dengan menerima upah.

15

Danang Sunyoto, op.cit., halaman 94-95.

20

E. Hak-Hak Pekerja

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan dan beberapa undang-undang serta peraturan

pemerintah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, dimana hak merupakan

suatu hal yang selayaknya diterima oleh pekerja sesuai kesepakatan atau

perjanjian dengan pihak pemberi kerja, dalam hal ini menerima upah atau

penghasilan lainnya.

Sedangkan menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak adalah

sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan

atau status dari seseorang.16

Hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut :

1. Hak mendapat upah atau gaji

2. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan

3. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya

4. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah

keahlian dan ketrampilan lagi

5. Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta

perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 tentang

Jamsostek)

6. Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja

12 bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu

organisasi majikan

16

Ibid, halaman 35.

21

7. Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan

hubungan industrial.17

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak-hak

pekerja adalah sesuatu yang harus diberikan kepada pekerja sesuai dengan

kesepakatan atau perjanjian kerja.

F. Perselisihan Hubungan Industrial

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004

Pasal 1, perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi 4 yaitu :

1. Perselisihan mengenai hak

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Pasal

1 ayat (2), pengertian perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul

karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau

penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

2. Perselisihan kepentingan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Pasal

1 ayat (3), pengertian perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang

timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat

mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang

ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama.

17

Ibid, halaman 46.

22

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Pasal

1 ayat (4), pengertian perselisihan pemutusan hubungan kerja merupakan

perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat

mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu

pihak.

4. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Pasal

1 ayat (5), pengertian perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh

hanya dalam satu perusahaan adalah perselisihan antara serikat

pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya

dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai

keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.18

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

perselisihan hubungan industrial adalah perselisihan yang timbul karena tidak

terpenuhinya hak, tidak adanya kesesuaian pendapat dalam perjanjian kerja

dan pengakhiran hubungan kerja, dan tidak adanya persesuaian paham dalam

keserikatpekerjaan.

G. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Tata cara penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) sesuai UU

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(UU PHI), yaitu:

18

Ibid, halaman 143-144

23

1. Perundingan Bipartit

Perundingan dua pihak antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan

buruh atau serikat buruh. Bila dalam perundingan bipartit mencapai kata

sepakat mengenai penyelesaiannya maka para pihak membuat perjanjian

bersama yang kemudian didaftarkan pada PHI setempat. Namun apabila

dalam perundingan tidak mencapai kata sepakat, maka para pihak yang

berselisih harus melalui prosedur penyelesaian perundingan tripartit.

2. Perundingan Tripartit

Perundingan antara pekerja, pengusaha dengan melibatkan pihak ketiga

sebagai fasilitator dalam penyelesaian PHI diantara pengusaha dan

pekerja. Perundingan tripartit bisa melalui mediasi, konsiliasi dan

arbitrase, yaitu sebagai berikut :

a. Mediasi

Penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau

lebih mediator dari pihak Depnaker, yang antara lain mengenai

perselisihan hak, kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat

buruh dalam satu perusahaan. Dalam mediasi, bilamana para pihak

sepakat maka akan dibuat perjanjian bersama yang kemudian akan

didaftarkan di PHI.

Namun bilamana tidak ditemukan kata sepakat, maka mediator akan

mengeluarkan anjuran secara tertulis. Jika anjuran diterima, kemudian

para pihak mendaftarkan anjuran tersebut ke PHI. Di sisi lain, apabila

para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran maka pihak yang

24

menolak dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang lain melalui

PHI.

b. Konsiliasi

Penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang

konsiliator (yang dalam ketentuan UU PHI adalah pegawai perantara

swasta bukan dari Depnaker sebagaimana mediasi) yang ditunjuk oleh

para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para

pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya.

Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk

berupa anjuran.

c. Arbitrase

Penyelesaian perselisihan di luar PHI atas perselisihan kepentingan

dan perselisihan antar serikat buruh dalam suatu perusahaan dapat

ditempuh melalui kesepakatan tertulis yang berisi bahwa para pihak

sepakat untuk menyerahkan perselisihan kepada para arbiter.

Keputusan arbitrase merupakan keputusan final dan mengikat para

pihak yang berselisih, dan para arbiter tersebut dipilih sendiri oleh para

pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga

Kerja.

3. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

Bagi pihak yang menolak anjuran mediator dan juga konsiliator, dapat

mengajukan gugatan ke PHI. Tugas PHI antara lain mengadili perkara

Perselisihan Hubungan Industrial, termasuk perselisihan PHK, serta

25

menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian

Bersama yang dilanggar.19

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulan bahwa penyelesaian

perselisihan hubungan industrial adalah penyelesaian antara pengusaha dan

pekerja untuk menyelesaian perselisihan baik melalui musyawarah atau

langsung ke pengadilan hubungan industrial.

19

Yunus Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT Bina Sumber Daya

Manusia, 1995), halaman 145.