`BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/49032/3/BAB II.pdf · Korean...
Transcript of `BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/49032/3/BAB II.pdf · Korean...
36
`BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan salah satu acuan bagi penulis untuk
mendapatkan referensi dan rujukan untuk mengkaji teori yang digunakan dalam
penelitian. Peneliti mengangkat judul dari referensi lain yang berkaitan erat
dengan judul yang peneliti bahas sehingga hasil dari referensi dapat dijadikan
bahan perbandingan dalam menganalisis data yang diperoleh peneliti
a. Dalam jurnal Al Amroshy( 2014 ) Hegemoni Budaya Pop Korea pada
Komunitas Korea Lovers Surabaya ( KLOSS ), Al Amroshy membahas
mengenai munculnya fanatisme dari anggota KLOSS akan budaya pop Korea
tidak dapat lepas dari adanya hegemoni media yang dilakukan oleh pihak-
pihak yang lebih dominan di balik media, yaitu melalui ideologi image positif
Korea dan juga konsumerisme yang disebarkan dalam budaya pop Korea
yang kemudian dapat menciptakan kesadaran palsu yaitu munculnya
anggapan bahwa budaya pop Korea adalah suatu kebenaran dimana tidak ada
yang salah dengannya sehingga banyak hal - hal yang bisa didapatkan dari
mengkonsumsi tayangan dari Korea serta munculnya perasaan bahwa budaya
pop Korea merupakan suatu hal yang sangat mereka inginkan dan butuhkan
sehingga segala hal yang berkaitan dengan budaya pop Korea menjadi salah
satu prioritas utama yang harus dipenuhi.
b. Dalam jurnal Nadya (2016 ) menjelaskan pengaruhdari Korean Wave
terhadap Fanatisme kaum Muda Indonesia, Nadya membahas mengenai
37
Pengaruh dari Korean Wave terhadap perilaku kaum muda di Indonesia yang
sangat beragam, dimulai dari menunjukkan identitas mereka sebagai penyuka
Korean Wave, lalu membeli merchindes yang berhubungan dengan Korean
Wave, berpenampilan sama seperti Korean Idol-nya, mengakses internet
hingga berjam-jam lamanya untuk stalking idolanya, dan sampai berperilaku
anarkis di sosial media seperti fanwar.
c. Dalam jurnal Olivia (2013) Analisis Gaya Hidup Remaja Mengimitasi
Budaya Pop Korea Melalui Media Massa ( studi pada siswaSMA Negeri 9
Manado ) Olivia membahas mengenai budaya pop Korea yang sangat terlihat
mulai mendominasi remaja SMA Negeri 9 Manado dan tampak jelas mereka
mulai meninggalkan bahkan tidak peduli dengan budaya Indonesia sebagai
pegangan hidup keseharian. Mereka bahkan rela menghabiskan banyak waktu
untuk memperoleh informasi mengenai budaya ini daripada untuk
mempelajari dan memahami budaya sendiri. Hal ini temtunya membuktikan
bahwa adanya pergeseran budaya dan hal tersebut perlu ditindaklanjuti dari
sekarang. Selain itu musik yang trendi dan mengandung candu yang
menyenangkan dengan tarian – tarian yang energik dan menampilkan lekuk
tubuh membuat remaja SMA Negeri 9 Manado banyak yang menyukainya.
d. Dalam jurnal Tiara Putri Ayunita, Fizi Andriani (2018) Fanatisme remaja
perempuan penggemar musik K-pop. Pada jurnal penelitian tersebut terdapat
beberapa temuan yang sangat menarik yang menggambarkan bagaimana
penggemar remaja perempuan mampu mengekspresikan fanatisme musik K-
Pop. Ada berberapa perilaku yang menunjukkan bagaimana penggemar
remaja perempuan dalam mengekspresikan fanatisme musik K-Pop. Yaitu
dengan berberapa aktivitas yang dilakukan penggemar musik K-Pop.
38
Aktivitas-aktivitas tersebut antara lain mengikuti perkembangan
musik K-Pop melalui internet, menghadiri konser musik K-Pop , membeli
merchindes yang berkaitan dengan idola mereka, membeli mercehdiseofficial,
membeli album, ikut melakukan donasi yang mengatasnamakan idola dan
menghadiri event yang berkaitan dengan musik K-Pop. Ekspresi sebagai
penggemar dilakukan dengan cara mendukung grup idolanya dengan cara
membeli album nya. Penggemar musik K-Pop cenderung mengoleksi album
yang berkaitan dengan idola mereka, bahkan saat idol mereka baru debut
hingga sekarang, tidak hanya membeli album grup saja melainkan juga album
solois dari salah satu member boyband atauidol gruptersebut.
e. Dalam Jurnal Pintani Linta Tartila ( 2015)FanatismeFans Kpop Dalam Blog
Netizenbuzz, Pintani membahas Secara keseluruhan mengenaifanatismefans
yang digambarkan pada blogNetizenbuzzmerupakan perilaku maupun
aktivitas penggemar yang dilakukan secara berlebihan karena kekaguman
akan artis idolanya sesuai dengan pengertian fanatisme sendiri yaitu
keyakinan atau juga paradigma tentang sesuatu dapat bersifat positif maupun
negatif yang tidak berdasar pada teori atau realitas yang nampak dan
kemudian diyakini secara mendalam sehingga sangat sulit untuk diluruskan
atau diubah. Diluar dari perilaku maupun aktivitas seseorang, fans yang
menunjukkan afeksi kekagumannya tanpa melakukan tindakan dianggap
sebagai fans yang biasa dan bukan fans yang fanatik atau fans yang rela
melakukan apapun untuk idolanya. Fans biasanya akan melakukan Fanwar
apabila idolanya dijelek – jelekan oleh fandom lain
39
Tabel 2 Penelitian Terdahulu
no Penulis Hasil Relevansi
1. Al Amroshy (2014) Hegemoni Budaya Pop Korea pada Komunitas Korea Lovers Surabaya ( KLOSS )
Terjadinya konsumerisasi pada penggemar budaya K-pop mengakibatkan penggemar merasa bahwa budaya K-pop adalah budaya yang di inginkan sehingga mereka mulai mengikuti budaya Korea. Apalagi ketika melihat budaya Korea semuanya terlihat sangat menyenangkan seperti makanan, hiburan, kehidupan dsb
Relevansi dari kedua penelitian ini sama – sama memiliki hiperealitas dalam suatu komunitas penggemar K-Pop. Dimana dari sifat komsumerisme yang membeli barang – barang K-Pop,makan di restoran Korea hingga meniru apapun yang dikenakan oleh idolanya, media mampu mempengaruhi sudut pandang seseorang Perbedaan : Tidak menggunakan teori Hiperrealitas jean baudrillard
2. Nadya (2016 ) Pengaruh Korean Wave terhadap Fanatisme kaum Muda Indonesia
Gelombang Hallyu wave yang masuk ke Indonesia kemudian diterima oleh sebagian besar generasi muda mengakibatkan para generasi muda mengidolakannya dan tidak segan – segan melakukan fanwar jika idolanya di hina
Relevansinya yaitu bagi penggemar kpop mereka akan dengan senang hati membeli merchindes yang berkaitan dengan idolanya , menggunakan pakian seperti layaknya idol – idol korea dan sering kali para fans – fans yang terhubung dalam satu komunitas- komunitas yang sama ini saling fanwar atau saling berselisih paham untuk saling membanggakan idola mereka masing – masing Perbedaan : tidak mennggunakan teori hiperrealitas jean baudrillard dan dan hanya membahas perang antar fans(fanwar) saja
40
3. Olivia (2013) Analisis Gaya Hidup Remaja Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Media Massa ( studi pada siswaSMA Negeri 9 Manado )
Generasi muda khususnya siswa SMA Negeri 9 Manado mulai mengadopsi budaya korea dan meninggalkan budaya aslinya.
Relevansinya yaitu para penggemar kpop ini lebih suka dengan budaya korea dari pada budayanya sendiri, sehingga terjadi pergeseran budaya dimana budaya indonesia menjadi di nomor duakan atau tersisihkan oleh budaya korea, karena para remaja khususnya kpopers lebih tertarik dengan budaya korea terlebih lagi dengan musik dan tarian dan konsep –konsep unik yang di usung. Perbedaan : Tidak emnggunakan teori Hiperrealitas Jean baudrillard,penelitian tersebut lebih menjelaskan perubahan kehidupan sosial saja.
4. Tiara Putri Ayunita, Fizi Andriani (2018) Fanatisme remaja perempuan penggemar musik Kpop
Fanatisme remaja pada K-pop di luapkan dengan cara mengoleksi merchindes idolanya,menghadiri konser, hafal semualagu – lagu idolanya hingga selalu update berita seputar idolanya.
Relevansinya yaitu penggemar akan melakukan segala macam cara untuk menunjukan rasa fanatismenya kepada idolanya yaitu dengan menggunakan atribut yang berhubungan dengan idolanya, membeli album,melakukan aksi donasi atas nama idolanya,menghadiri konser dan lainnya. Hal tersebut dilakukan dengan suka rela dan bangga karena telah melakukan hal yang disukai olehidolanya. Perbedaan: Tidak menggunakan teori hiperrealitas jean
41
baudrillard
5. Pintani Linta Tartila ( 2015)Fanatisme Fans Kpop Dalam Blog Netizenbuzz
Netizen yang merasaidolanya di jelek – jelekan tidak segan – segan untuk melakukan fanwar di media sosial atau bahkan di dunia nyata.
Relevansinya yaitu ketika idola dari fandom tersebut mengalami pemberitaan yang negatif maka fans dariidola tersebut akan menyerang portal berita yang memberitakan idolanya dengan negatid bahkan fans tersebut tidak segan – segan untuk memboikot portal berita yang tersebut. Selain itu jika di ketahui fandom lain menghina atau menjelek – jelekan idolanyamaka fans tidak segan – segan untuk fanwar baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Perbedaan : tidak menggunakan teori hiperrealitas jean baudrillard
42
B. Tinjauan Pustaka
1. Hiperrealitas Budaya K-Pop
Budrillard (1983) menggambarkan bahwa dunia ini sebagai hiperrealitas,
sebagi contoh media sudah tidak lagi menjadi cermin realitas akan tetapi
sudah menjadi realitas atau bahkan lebih rill daripada realitas. Jean
Baudrillard menegaskan bahwa semua yang nyata kini telah menjadi simulasi
“All that is real becomes simulation”
Hiperrealitas merupakan konsep dimana realitas yang pada konstruksinya
tidak dapat dilepaskan dari produksi dan permainan tanda – tanda yang
melampaui dari realitas aslinya. Kondisi ini kemudian mengakibatkan
kepalsuan menyatu dengan keaslian. Hiperrealitas mampu menghadirkan
model – model kenyataan menjadi sebuah simulasi bagi penikmatnya
(simulacrum). Simulasi adalah suatu proses dimana representasi (gambaran)
atas dasar tanda – tanda realitas (sign of reality) dimana tanda – tanda tersebut
justru malah menggantikan objek itu sendiri(Kellner, 1989d:118).
Baudrillard menggunakan istilah simulacrum yang merupakan cara
pemenuhan kebutuhan masyarakat kontemporer akan sebuah tanda yang pada
akhirnya memiliki arti bahwa suatu realitas sengaja untuk diciptakan guna
menggambarkan suatu realitas, namun realitas sesungguhnya mungkin justru
tidak ada. Sehingga realitas yang palsu tersebut justru dianggap sebagai
realitas yang sesungguhnya(Ritzer,Goodman 2016:678).
43
Hiperrealitas budaya K-Pop merupakan fenomena dimana budaya K-Pop
sudah menjadi budaya asli dalam kehidupan sehari- hari. Budaya yang
kemudian melekat dalam diri individu sebagai identitas.
Hiperrealitas budaya K-Pop lahir akibat dari gebrakan yang di mulai dari
boygroup dan girlgroup , dengan menampilkan musik yang fresh yang
diiringi dengan tarian dan gerakan yang energik serta paras yang rupawan,K-
Pop berhasil membius banyak orang untuk menggemari , selain itu K-drama
atau drama Korean make up, fashion, Korean Food merupakan beberapa
faktor pendukung budaya K-Pop banyak di gemari dan juga menjadi bagian
dari penyebaran budaya K-Pop.
K-Pop termasuk dalam divisi global dalam produksi dan penyebaran
musik, di mana seluruh pasar musik belum tentu tersegmentasi sesuai dengan
selera musik dunia dalam berbagai cabang budaya seperti klasik dan juga
pop, musik kelas atas atau kelas bawah (Oh & Park, 2013: 8). Produksi musik
yang dijual di pasar diproduksi oleh sistem baru divisi global.
Hal ini membuat K-pop dapat dipersembahkan secara matang oleh
produsen sehingga mampu dinikmati secara luas bagi para konsumen global.
Keberhasilan Korea dalam menyebarkan K-Pop merupakan bagian dari
keberhasilan mengekspor kebudayaannya sebagai bagian dari industri
budaya. Strategi yang membuat K-Pop dapat menarik khalayak dan juga
penggemar secara global adalah jumlah (nomor), fisik, dan koordinasi antara
suara dan tarian (Oh & Park, 2013: 9). Setiap ekspresi artistik memiliki pola
44
dasar yang berasal dari seni tradisi yang sudah ada sejak lama ataupun
legenda yang berasal dari luar negara Korea (asing) yakni negara barat.
2. Penggemar K-Pop
Menurut KBBI Penggemar berasal dari kata dasar “gemar” yang memiliki
arti suka sekali atau sangat. Penggemar merupakan kesukaan seseorang
terhadap sesuatu yang memiliki daya tarik bagi yang menyukainya.
Penggemar dalam baha inggis diartikan sebagaai fans. Dalam dunia K-Pop,
fans sendiri memliki sebutan yaitu K-Popers. Di Korea Selatan idol K-Pop
membentuk komunitasnya sendiri, pada setiap boyband dan girlband memiliki
nama fandom resmi masing - masing yang dikeluarkan oleh agensi yang
menaungi boyband dan girlband terkait. Fandom adalah sebutan lain dari
sekelompok penggemar. Fandom merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjuk pada subkultur tertentu, berbagai hal dan berbagai kegiatan yang
berkenaan dengan penggemar dan juga kegemarannya (Zaini,2018:48).
Budaya populer seringkali cenderung untuk membentuk kelompok atau
komunitas penggemar, atau yang disebut dengan fandom. Fandom merupakan
fan, kependekan dari kata fanatic dan akhiran dom seperti dalam kingdom atau
freedom ( kebebasan). Dengan kata lain, fandom adalah komunitas penggemar
yang memiliki antusias dan memiliki ketertarikan terhadap hal yang sama.
Fandom merupakan subculture fans yang menawarkan ruang bagi komunitas
yang dapat memungkinkan orang-orang dengan latar belakang dan
pengalaman yang beragam membentuk ikatan diseputar minat yang sama.
Komunitas seperti ini membuat para penggemar tahu bahwa mereka tidak
45
sendirian dalam kegemaran dan minat mereka. Fandom dapat menciptakan
ruang terbatas dimana hanya orang-orang yang terlibat dapat mengekspresikan
diri mereka yang sebenarnya
Fandom terbagi menjadi 2 sebutan berdasarkan pada jenis kelamin yaitu
Fangirl meupakan sebutan bagi fans perempuan dan Fanboy merupakan
sebutan bagi fans laki - laki. Sebutan tersebut sangat familiar di kalangan
penggemar K-Pop.
3. K –Pop (Korean Populer )
K-Pop merupakan istilah kependekatan dari Korean Pop atau musik pop
Korea yang berasal dari Korea Selatan. Secara historis, perkembangan musik
modern di Korea Selatan, mempunya catatan yang sangat panjang. Hal ini
dapat dilihat dalam buku Keith Howard (2006), Korean Pop Musik: Riding the
Wave. Pada buku ini dapat digambarkan secara historis dinamika perjalanan
musik pop Korea pada masa pendudukan Jepang (1910-1945) hingga pada
tahun 1990-an. Perjalanan musik Korea dimulai dari pengaruh musik
tradisional hingga pada musik yang bersifat universal atau umum, terutama
musik Barat yang turut berperan besar dalam membawa musik Korea ke
tingkat global pada masa sekarang ini(Zaini,2018:503).
Munculnya musik modern Korea atau yang lebih terkenal dengan Korea
Pop (K-Pop). Menurut pengamat musik, Franki Raden (2014), perkembangan
K-pop tersebut karena adanya kesiapan infrastruktur dan mekanisme korea
selatan, Korea yang telah berhasil menanamkan kesadaran mengenai
pentingnya musik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sangat berhasil
46
dalam hal ini. Sehingga membuat konsumsi musik di Korea sangatlah tinggi,
baik untuk musik tradisional, pop, rock, jazz maupun musik
klasik(Zaini,2018:504)
Keberhasilan Korea membawa K-Pop ke tingkat internasional
membutuhkan waktu yang panjang dan tantangan yang harus dilalui dengan
kemauan keras para musisi Korea sendiri untuk mampu menghasilkan musik
yang sesuai dengan selera kaum muda yang sanagt dinamis. Namun, apabila
dilihat dalam perjalanan musik modern Korea, K-Pop menyebar ke
mancaranegara besamaan dengan menyebarnya budaya populer Korea yang
dikenal dengan gelombang Hallyu wave, di Indonesia sendiri lebih populer
dengan sebutan gelombang budaya Korea. Hallyu pertama kali diperkenalkan
di negara China, sebagai fenomena penyebaran budaya populer Korea,
terutama pada musik, drama TV, film, dan fashion di Asia Timur dan Asia
Tenggara, yang juga China termasuk kedalamnya, Taiwan dan Vietnam (Park
Jung-Sun, 2006: 244).
Kemudian dari fonomena ini muncul berbagai pengaruh dalam bidang
lainnya, seperti Korean food, Korean fashion dan Korean literature, Korean
Make Up dsb. Namun, dalam perkembangan K-Pop yang cukup populer dan
yang banyak mendapat perhatian dari masyarakat internasional adalah K-
drama dan K-Pop.
C. Landasan Teori : Hiperrealitas Jean Baudrillard
Hiperealitas merupakan untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran
hipotetis membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya
47
paskamodern berteknologi tinggi. Hiperealitas merupakan makna untuk
mempersifatkan bagaimana kesadaran mendefinisikan "kenyataan" sejati di dunia,
dimana keanekaragaman media dapat secara mengakar,membentuk dan
menyaring kejadian atau pengalaman yang sesungguhnya.
Bagi Jean Baudrillard, hiperealitas mampu mempertentangkan simulasi dan
representasi. Simulasi bagi Baudrillard adalah simulakrum dalam pengertian
khusus, yang disebutnya simulakrum sejati, pada pengertian bahwa sesuatu tidak
menduplikasi dari sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, namun
menduplikasi dirinya sendiri ( Tiffin, John; Nobuyoshi Terashima 2005).
Baudrilland juga menggambarkan bahwa dunia postmodern adalah dunia ini
di tandai oleh simulasi: kita hidup pada “zaman simulasi”( Baudrillard, 1983:4;
Der Derian, 1994). Proses simulasi ini dapat mengarah pada terciptanya simulacra
atau reproduksi objek atau perisiwa. Ketika pemisahan antara tanda dan realitas
mengalami implosi sulit untuk memperkirakan hal – hal yang riil dari hal – hal
yang menyimulasikan hal – hal rill tersebut.
Baudrillard (1983) menggambarkan bahwa dunia ini sebagai hiperrealitas.
Sebagai contoh media tidak lagi menjadi cermin suatu realitas melainkan menjadi
realitas atau bahkan lebih riil daripada realitas aslinya.Akibatnya adalah bahwa
hal – hal yang riil tersubordinasi dan pada akhirnya musnah seluruhnya.
Dalam hal ini Baudrillard memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan yang
dipandang mengalami resolusi masif dan “katastrofis”. Revolusi tersebut
melibatkan massa yang semakin pasif, daripada semakin membangkang
sebagimana massadalampemikiran marxis. Jadi,massa dipandang sebagai “lubang
48
hitam” yang menyerap seluruh makna,informasi, komunikasi,pesan dan lain
sebagainya, sehingga menjadikan mereka tidak bermakna massa dengan murung
mengikuti saja dan tanpa pedulipada usaha untuk dapat
memanipulasinya.(Kellner, 1989d:85 dalam Ritzer, Goodman,2016:678)
Menurut Baudrillard, konsep hiperrealitas sendiri dipengaruhi oleh beberapa
term-term sebelum menjadi hiperrealitas pada masyarakat pascamodern sebagai
berikut:
Konsep Hiperrealitas
Tanda ( Sign )
Tanda merupakan cerminan realitas.
Atau apa yang nampak oleh indera,bisa
di persepsikan sebagai indra kita
sendiri
Contoh:
Kenyataan yang sesungguhnya yang
kemudian di manipulasi oleh ralitas
semu yaitu indera manusia
Simulasi
Merupakan proses penciptaan bentuk nyata melalui model –model yang tidak memiliki asal usul atau realitas aslinya, sehingga manusia menciptakan khayalan fantasi yang tampak menjadi nyata.
Contoh:
Menggemari idol Korea tanpa mengetahui bagaimana tampak asli dari idolanya tersebut
Simulakra
Merupakan suatu duplikasi dari sebuah duplikasi yang aslinya sebenarnya tidak pernah ada sehinggaperbedaan antara yang asli dan yang palsu menjadi kabur
Contoh:
Menirukan gaya berpakaian, gaya make up dan gaya rambut dari boyband dan girlband korea atau bahkan melakukan perasi plastik agar mirip dengan idolanya
49
Terdapat beberapa konsep dalam teori Baudrillard dimana term – term
tersebut merupakan konsep dari Hiperrealitas antara lain:
a. Konsep simbol, tanda, dan Kode
Pada pemahaman dunia tradisional perbedaan antara tanda dengan objek yang
ditandai hampir tidak kelihatan, bahkan masih terdapat nilai yang sama.
Pengertian ini dimaksudkan bahwa relasi antara tanda dan objek yang ditandai
masih bersifat objektif, artinya nilai yang ada pada suatu tanda masih
menunjukkan pada nilai yang sama dengan objek yang ditandai. Misalnya saja
pembuatan alat-alat kerja masih menggunakan bahan dasarnya dari alam.
Citra (image)
Merupakan sesuatu yang nampak oleh indra. Baudrillard berbicara tentang citra secara khusus dalam hubungannya dengan peran sentral dari media dalam menyebarkan aneka bentuk simulasi ke dalam seluruh lapisan masyarakat.
Contoh:
Media mampu menciptakan dan mempengaruhi opini publik seperti midsalnya membentuk citra dari Boyband korea berusaha menampilkan image dan kesan yang bagus di depan media ,masyarakat dan di depan fansnya agar mereka dapat tetap terlihat baik
Fashion ( Life Style )
Jean Baudrillard menjelaskan fashion merupakan tahap akhir dari sebuah bentuk komoditas dengan percepatan danperkembangan pesan,informasi, tandadan model maka fashion merupakanlingkaran total dankomoditas dunia linier akan selesai. Secara spesifik fashion merujuk pada gaya hidup
Contoh:
Gaya hidup yangmengadopsi budaya korea seperti selera fashion, musik, make up, amkanan dan berpakaian
50
Referensi tanda masih pada realitas yang objektif. Tanda merupakan
cerminan dari realitas. Perkembangan selanjutnya, tahap kedua tanda telah
kehilangan statusnya sebagai simbol kesatuan yang normatif dan berubah menjadi
sarana yang terpisah dari realitas. Pada tahap ini tanda bukan lagi sebagai tiruan
langsung dari realitas melainkan sebagai manipulasi alat-alat produksi akibat
perkembangan teknologi dan industrialisasi. Misalnya, robot dan mesin otomatis
sebagai tiruan manusia sekaligus menggantikan pekerjaan manusia. Yang terjadi
di sini bukan lagi proses imitasi, akan tetapi proses produksi.
Realitas imitasi kemudian dapat menggantikan realitas produksi dan
industrialisasi. Tanda kini telah kehilangan referensinya. Dengan demikian jarak
antara tanda dengan objek yang ditandai semakin kabur. Tahap ketiga ini disebut
Baudrilard sebagai tahapan stadium simulasi tanda. Tanda sepenuhnya tidak lagi
merujuk pada suatu realitas objektif (alam dan kerja) melainkan dari dirinya
sendiri. Inilah tanda berakhirnya kerja, produksi dan ekonomi politik. Misalnya
mobil tidak lagi konsumsi seturut fungsi produksi dan kegunaannya dalam
kehidupan manusia, akan tetapi semata-mata menunjuk pada penentuan status
sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, tidak dikenal lagi distingsi antara
simbol dengan realitas objektif antara tanda dan yang ditandakan.
Akibatnya, Baudrillard memandang bahwa sistem objek konsumsi dan sistem
komunikasi pada dasarnya periklanan sebagai pembentukan “sebuah kode yang
signifikansi” yang mengontrol objek dan individu di tengah masyarakat. Klaim
sentralnya adalah bahwa objek menjadi tanda (sign) dan nilainya kemudian
ditentukan oleh aturan kode.
51
Dalam sistem pertandaan dunia kapitalisme, benda-benda diproduksi sebagai
tanda yang tidak lagi mengacu pada realitas di luar dirinya atau realitas aslinya,
melainkan sebagai artefak yang terbentuk melalui manipulasi teknis medium dan
unsur-unsur kodenya (code). Dunia realitas disaring, dikemas, difragmentasi dan
dielaborasikan menjadi hypersign, lewat mekanisme komodifikasi tanda-tanda.
Elemen-elemen tanda yang merupakan bagian dari realitas kini telah
dikombinasikan dan berbaur dengan elemen- elemen tanda yang bukan realitas
(fantasi, imajinasi, ideologi) sehingga mulai membentuk semacam realitas baru
yang tidak lagi berkaitan dengan realitas asli atau yang sesungguhnya
b. Simulakra dan Simulasi
Istilah simulacra (simulacrum) dan simulasi memiliki perbedaan yang sangat
tipis. The Oxford English Dictionary memberikan pengertian simulacra dengan
“aksi atau tindakan menirukan dengan maksud untuk menipu.” Selanjutnya
dikemukakan penjelasan lain: bahwa asumsi atau penampilan palsu, kemiripan
permukaan, tiruan dari sesuatu. Istilah atau konsep ini dipakai oleh Baudrillard
untuk menjelaskan situasi dari dunia postmodern ini, yang telah mengalami
kemunduran dan kejatuhan akibat hilangnya distingsi yang mendasar dari realitas.
Baudrillard mengungkapkan bahwa di era sekarang ini telah kehilangan
keasliannya dan secara cepat digantikan dengan pesona kepalsuan yang
ditawarkan oleh dunia. Inilah yang disebut sebagai “Era Simulasi” yang dibuka
oleh musnahnya dari segala yang bersifat referensial. Era simulasi telah
mengancam bentuk orisinil dari realitas dan sekaligus mampu mengubahnya
dalam bentuknya yang lain, tanpa substansi, tanpa makna dan tanpa kebenaran.
52
Era simulasi, secara radikal mampu menghapus perbedaan antara yang nyata
dengan yang fantasi, “yang real dengan yang imaginer” dan saling bercampur.
Penyatuan dan percampuran antara yang asli (real) dan yang palsu (imaginary) ini
kemudian membentuk sebuah kenyataan baru yang lebih benar dari yang benar,
lebih nyata daripada yang nyata. Batas yang dulunya nampak secara jelas, kini
sudah menjadi kabur, bahkan hancur ke dalam “longsoran simulacra”.
Sehingga secara garis besar simulacra merupakan perpaduan dan kesatuan
antara nilai, fakta, tanda, citra dan kode, yang tak dapat dibedakan lagi dari
masing-masing unsur tersebut. Konsep simulacra dari Jean Baudrillard hadir
akibat perkembangan teknologi dan perkembangan ekonomi, terutama dengan
pekembangan reproduksi mekanis, dan juga kemudian produksi elektronik dunia
virtual.
Penjelasan ini dapat ditelaah dari dunia medis dan kedokteran, yang mana
untuk seorang pemula atau seorang yang ingin menjadi dokter diberikan simulasi
manusia (tiruan manusia) sebagai contoh atau model untuk dapat melatih seorang
calon dokter dalam membedah melalui tiruan tersebut. Sehingga dengan
demikian, simulacra dapat didefenisikan sebagai “sebuah citra material” atau
gambaran yang dibuat sebagai perwujudan dari beberapa orang atau sesuatu yang
memiliki bentuk dan penampilan tertentu, akan teapi kurang menunjukkan sesuatu
yang real seperti keadaannya yang benar.
Dalam bukuSimulacra and Simulation, Baudrillard mengungkapkan bahwa
simulasi “bukan lagi sebuah teritori (territory), keberadaan referensial (referential
being), atau sebuah substansi (substance)”, melainkan sebuah “gerakan oleh
53
model dari yang riil (real) tanpa adanya keaslian”, di mana di dalamnya, “teritori
tidak lagi mendahului peta, akan tetapi peta yang mendahului teritori/wilayah.
Sehingga, bila dalam kenyataannya peta dibuat setelah mengetahui adanya sebuah
wilayah atau peta merupakan representasi dari sebuah wilayah, maka di dalam
sistem simulasi yang terjadi justru sebaliknya.
Dalam ruang lingkup simulasi, realitas dibentuk dari model-model dan
model-model itu dijadikan rujukan bagi nilai dan referensi bagi makna budaya,
sosial, dan politik, dimana kemudian disebarluaskan melalui media informasi
seperti televisi, iklan, film, internet dan juga lain sebagainya.
Baudrillard membagi simulacra dalam 3 tingkatan untuk membedakan antara
simulacra itu sendiri dengan simulasi, sekaligus ingin menunjukkan tahapan-
tahapan perkembangan simulacra atau perintah-perintah simulacra dalam
hubungannya dengan periode atau suatu massa tertentu, antara lain sebagai
berikut: Tingkatan pertama yaitu simulacra yang berlangsung sejak era
Renaissance hingga permulaan revolusi industri. Pada tingkatan ini, bahasa, tanda
dan objek merupakan representasi dari realitas alamiah dan mulai membentuk
yang imaginasi (tiruannya), sekaligus memiliki sifat yang transenden.
Representasi tersebut masih memiliki jarak dan perbedaan dengan realitas
alamiah tersebut. Sebagai contoh: karya seni, misalnya, masih dibuat berdasarkan
representasi dengan realitas alamiahnya atau realitas transenden. Lukisan-lukisan
berusaha menggambarkan sebuah realitas alamiah, yang walau tidak sama persis
dengan realitas, namun masih merepresentasikan realitas. Di sana ada sifat
transendensi yang dihasilkan.
54
Simulacra tingkat kedua, terjadi seiring perkembangan era industrialisasi.
Pada tingkatan ini terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dari berbagai
dampak negatif industrialisasi. Pada tingkatan ini berlaku mekanisme representasi
berkat adanya teknologi reproduksi dan segala bentuk materialisasi oleh kekuatan
mesin, yakni sebuah objek tiruan tidak lagi mempunyai jarak dengan objek yang
asli. Lukisan, misalnya, kini bisa digantikan dengan foto, yang memiliki
keserupaan dengan objek aslinya.
Mekanisme representasi pada tingkat ini merupakan mekanisme reproduksi
material yang mulai kehilangan aura transendensinya. Simulacra pada tingkat ini
sering disebut Baudrillard sebagai stadium akhir dari sebuah simulasi, yang mana,
terjadi berkat adanya dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
informasi, media massa, komunikasi global dan konsumerisme. Pada tingkatan ini
simulacra merupakan wujud silang antara tanda dan kode budaya, yang tidak bisa
lagi mempunyai representasinya atas realitas. Simulacra pada tingkatan ini yang
dinamakan secara khusus sebagai “simulasi”. Sehingga, menurut Baudrillard, kita
telah bergerak dari meniru benda-benda yang real (periode Renaissance dan
simulacra tingkat pertama), lalu memproduksi barang-barang yang real
(kapitalisme konsumen atau simulacra tingkat kedua), ke mereproduksi proses
peniruan itu sendiri (simulasi)
c. Hiperrealitas
Menurut Baudrillard, konsep mengenai hiperrealitas tidak dapat dilepas
dan dipisahkan dari istilah simulacra dan simulasi, karena masing-masing
pemahaman ini saling terkait satu sama lain dan jugamempunyai relasi yang
55
cukup dekat. Hiperrealitas dalam pengertiannya mengandung pemahaman
mengenai suatu realitas baru, yang melampaui dari realitas itu sendiri
ataupenciptaan melalui model-model sesuatu yang nyata tanpa memiliki asal usul
atau realitas.
Referensi dari duplikasi bukan lagi hanya sekedar realitas, melainkan juga
apa yang tidak nyata-yaitu, fantasi. Oleh sebab itu fantasi dapat disimulasi
menjadi (seolah-olah) nyata, maka perbedaan antara realitas dan yang fantasi
sudah tidak ada. Dengan ini, maka pengertian dari hiperrealitas dalam pemikiran
Baudrillard merupakan suatu kadaan atau situasi di mana yang nyata (real) tidak
lagi menjadi sebuah referensi bagi sebuah hiperrealitas melainkan tiruan dari
tiruan realitas yang semu (palsu) atau tiruan di atas tiruan model palsu. Sehingga
hiprrealitas bagi Baudrillard adalah simulasi dari realitas.
Hiperrealitas merupakan efek, keadaan atau pengalaman kebendaan atau juga
ruang yang dihasikan dari proses terjadinya tahapan simulasi itu sendiri. Awal
dari era hiperealitas, Baudrillard, ditandai dengan teah lenyapnya pertanda, dan
metafisika representasi; runtuhnya ideologi, dan kemudian bangkrutnya realitas
itu sendiri, yang kemudian diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan
fantasi, atau kenyataan atau realitas menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan
(fetish) objek yang hilang bukan lagi sebagai objek representasi, akan tetapi
ektase penyangkalan dan pemusnahan ritual itu sendiri.
Simulasi merupakan unsur utama dalam terbentuknya sebuah hiperrealitas.
Hiperrealitas seratus persen terdapat dalam simulasi dan ia tidak diproduksi, tetapi
“iaselalu siap untuk di reproduksi”. Hal itu berarti, hiperrealitas adalah sebuah
56
simulasi yang lebih nyata daripada yang nyata, lebih cantik daripada yang cantik,
lebih benar daripada yang benar.
Yasraf Amir Pilliang dalam sebuah jurnal edisi khusus Anthony Giddes,
menyatakan bahwa hiperrealitas merupakan sebuah cara untuk melampaui fungsi,
melampaui tujuan. Seseorang yang berjalan melewati garis finish; adalah sesuatu
yang pergi terlalu jauh. Dalam pengertian ini, hiperrealitas merupakan suatu
kondisi atau situasi di mana sesuatu, entah itu seks, komoditi, media atau apa pun
itu, berkembang melampaui tapal batas total yang seharusnya tidak boleh ia
lewati, ada semacam titik balik yang dihasilkannya sendiri, yang dapat
menghancurkan objektifnya sendiri.
Sehingga dengan demikian, hiperrealitas merupakan penghancuran atas objek
untuk mendapatkan objek. Dunia hiperealitas merupakan dunia yang sama sekali
disarati oleh silih bergantinya reproduksi objek-objek simulacrumobjek-objek
yang murni dari penampakannya, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya,
atau sama sekali tak mempunyai realitas sosial sebagai bahan untuk referensinya.
Di dalam dunia seperti ini subjek sebagai konsumer digiring ke dalam pengalaman
ruang hiperealitaspengalaman dengan silih bergantinya penempakan di dalam
ruang, berbaur dan meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi dan juga
nostalgia, sehingga perbedaan antara satu sama lainnya sulit untuk ditemukan.
Bagi Baudrillard bahwa apa yang direproduksi dalam dunia hiperealitas tidak
saja realitas yang hilang, namun juga dunia tak nyata seperti: fantasi, ilusi,
halusianasi, atau science fiction. Menurut Baudrillard hiperealisme dibentuk dari
bagian integral realitas yang dikodekan dan juga diabaikan, tanpa mengubah apa-
57
apa.Sehingga, maka hiperealitas merupakan duplikat atau kopi dari realitas yang
didekodifikasikan.
d. Citra (Image)
Salah satu keyword penting yang dipakai Baudrillard dalam pemikirannya
adalah kata “citra” atau “imaji” (image). Konsep dari “citra” mempunyai peranan
sentral dalam merefleksikan sebuah realitas dan hiperealitas. Kata ini tentu bukan
merupakan neologi Baudrillard, akan tetapi terdapat konsep orisinil yang
dipaparkan melalui kata - kata ini. Sebagaimana dalam kaitannya dengan realitas.
Baudrillard mengurutkan dengan cara bertahap dari fase citraan ini antara lain
Tahap pertama, citraan merupakan refleksi dasar dari realitas. Pada tatanan ini
pemalsuan atau peniruan terhadap yang asli telah terjadi, misalnya pemolesan dan
mencontoh yang asli. Di sini kontrol masyarakat hanya memberikan petanda pada
sebuah pemalsuan. Tahap kedua, citraan menutupi dan mendistorsi dari realitas.
Pada tahap ini dicirikan oleh produksi dan rangkaian reproduksi murni dari sebuah
objek, dan identik dengan “pengulangan objek yang sama” misalnya pada industri
mobil atau yang lainya masih menghasilkan reproduksi yang sama atau hampir
sama. Tahap ketiga, citraan menutup ketiadaan atau leyapnya dasar dari sebuah
realitas.
Pada tahapan ini didominasi oleh kode dan simulasi di dalamnya oleh
penciptaan model-model ketimbang produksi industri. Tahap yang terakhir,
citraan melahirkan sebuah ketidakberhubungan terhadap berbagai realitas apa pun,
citraan bukan lagi kemurnian simulacrum itu sendiri. Inilah yang disebut tahap
akhir budaya kita merupakan fraktal atau perkembangan yang tidak pernah selesai
58
dan mencekam dunia sosial. Namun pada dasarnya, Baudrillard sendiri tidak
terlalu menjelaskan secara khusus mengenai arti dari citra.
Thomas W. J. Mitchel kemudian mengusulkan beberapa tipologi citra secara
ontologis. Menurutnya, ada citra grafisyang berupa gambar, patung dan desain.
Ada pula citra optikal,yang berupa cermin atau gambar di layar dari sebuah
proyektor. Ada pula citra perseptual,yang berupa data, spesies, dan penampakan.
Ada lagi citra mental, yang berupa mimpi, memori, ide dan fantasi. Terakhir ,
terdapat citra verbal berupa metafora dan juga deskripsi.
Berdasarkan pada tipologi citra secara ontologisme ini, Yasraf Amir Piliang
membedakan lagi beberapa tipologi dari citra, yang berkembang dari tipologi citra
secara ontologism tersebut. Menurut Piliang, terdapat citra fatamorgana, citra
kamuflase dan citra nomad.Pertama, citra fatamorgana merupakan penampakan
visual yang memiliki sifat palsu, sebuah halusinasi tentang objek tertentu yang
diprasangka ada, akan tetapi sebenarnya tidak memiliki wujud yang konkrit
(berdasarkan hukum alam).
Secara semiotik dapat disebutkan bahwa penanda (signifier) tertentu,
melahirkan petanda (signified) yang palsu. Berati dengan kata lain, citra
fatamorgana merupakan petanda yang hampa, hasil dari halusinasi belaka. Citra
fatamorgana, bila diterapkan pada dunia teknologi, akan tampak secara nyata
dalam sistem televisi dan cyberspace yang melahirkan berbagai citra yang tampak
nyata juga, akan tetapi sebenarnya adalah palsu, karena tidak mempunyai rujukan
atau referensi pada realitas konkrit berdasakan hukum alam.
59
Kedua, citra kamuflase (camouflage image) atau disebut juga citra bunglon,
merupakan citra samaran yang menggunakan tanda-tanda dusta atau keplasuan
(false sign), yang menggiring orang kepada tanda-tanda yang palsu juga (pseudo
sign), atau mengarahkan orang pada tanda-tanda yang salah (false sign). Ketiga,
citra nomad (nomad image) merupakan sebuah citra yang terus berpindah-pindah
dengan cepat, dari sistem tanda yang satu ke sistem tanda yang lainnya, di mana
tanda-tanda tersebut seringkali saling bertentangan. Citra nomad inilah yang
dimaksudkan oleh Baudrillard dalam konsepnya tentang hiperrealitas, sehingga di
mana di dalamnya, gambaran-gambaran dari suatu objek atau peristiwa yang
berubah-ubah sedemikian cepatnya, sering terdapat persilangan antara gambaran
yang satu dengan gambaran yang lainnya, yang melahirkan realitas baru yang
bertentangan dengan representasi pada awalnya.
Dari pemaparan atas tahapan dari citraan sebagai bagian dari rangkaian
simulasi atas realitas dan beberapa tipologi dari citra tersebut dapat dikemukakan
bahwa citra merupakan gambaran mental tentang sesuatu yang terasa lebih
konkrit, entah gambaran tersebut berasal dari benda konkrit atau juga berasal dari
imajinasi yang telah dikonkritkan ke dalam bentuk tertentu di dalam benak
seseorang. Apabila disimak dengan baik, Baudrillard membicarakan tentang citra
secara khusus dalam hubungannya dengan peran sentral dari media dalam
menyebarkan berbagai bentuk simulasi ke dalam seluruh lapisan masyarakat.
e. Masyarakat simulakra Menurut Jean Budrillard
Pada era postmodern sebagaimana yang dikatakan Baudrillard telah
memasuki suatu tatanan baru yang sudah kehilangan tonggak penyangganya
60
(dasarnya atas realitas). Segala sesuatu yang bergerak tanpa tujuan dan finalitas
sekaligus berdinamisasi tanpa adanya arah yang pasti. Sebuah kerajaan simulasi
telah sepenuhnya mampu memimpin manusia di bawah kontrol dari sebuah tanda
dan kode.
Sistem makna dan nilai luhur dari sebuah tatanan masyarakat yang selama
ini menjadi tempat untuk berpijak memahami sebuah realitas, telah digantikan
dengan pedoman-pedoman umum yang terus berubah sebagai satu-satunya tolak
ukur sudut pandang dan sekaligus ikut menentukan. Berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi mutakhir yang menyatakan diri melalui dunia
periklanan, turirme, pasar bebas dan juga konsumerisme telah membuatcarut
marut sistem kebudayaan masyarakat secara menyeluruh dengan membangun
kembali sebuah sistem yang baru. Masyarakat di era ini telah berada sepenuhnya
di dalam penjara tanpa adanya sebuah makna, tanpa sebuah substansi, tanpa
sebuah realitas absolut yang terus-menerus berubah dan juga tanpa kebenaran.
Masyarakat simulacra merupakan masyarakat yang hidup dalam sistem
tanda atau citra simulasi tersebut. Karakter yang secara khas melekat pada diri
masyarakat simulacra adalah berada di bawah organisir dari tanda dan kode.
Masyarakat tidak lagi dapat untuk mengkonsumsi apa yang sebenarnya mereka
butuhkan melainkan apa yang hanya disampaikan oleh tanda dan kode kepadanya.
Dengan demikian fungsi dan nilai kegunaan dari suatu barang atau komoditas
tidak lagi mendapatkan tempat di hati masyarakat dewasa ini.
Masyarakat lebih cenderung untuk mengkonsumsi sesuatu yang dapat
mempengaruhi sekaligus membedakannya dalam sebuah tatanan hierarki sosial
61
masyarakat. Misalnya, ketika mengkonsumsi mobil dan pakaian, yang mana
mobil dan pakaian yang dibeli bukanah semata-mata karena kebutuhannya akan
pakaian dan mobil itu, akan tetapi tujuannya yang lebih jauh daripada itu, agar
masyarakat tertentu yang menggunakan pakaian mahal atau bermerek dan mobil
mewah (BMW) secara langsung dapat menggolongkannya ke dalam masyarakat
kelas atas (elit) dan membedakannya dari masyarakat yang lain di dalam kelas
sosial. Sehingga, mobil BMW dan pakain bermerek yang dikonsumsi menjadi
sistem tanda sekaligus menjadi nilai lebih dari sebuah tatanan masyarakat.
Kebutuhan yang semata-mata merupakan apa yang disampaikan oleh
tanda dan kode. Bahwa hari ini, yang mana sebuah sistem telah dibanjiri oleh apa
yang tidak dapat menentukan, dan segala realitas telah diikat oleh hiperrealitas
dari kode dan juga simulasi. Prinsip dari simulasi inilah yang menentukan kita
sekarang, sebuah model dari sebuah prinsip realitas.
Sehingga kenyataan demikian dipandang oleh Baudrillard sebagai sesuatu
yang penuh dengan ilusi, citra dan juga kepalsuan (simulasi). Yang riil lenyap
bukan semata- mata untuk menyelamatkan yang imajiner, akan tetapi demi yang
lebih riil dari yang riil itulah yang disebut hiperrealitas. Lebih benar dari yang
benar itu meruapakan simulasi. Dengan ini, prinsip realitas kemudian bergeser
dan diganti dengan prinsip dari simulasi. Realitas telah dihancurkanke dalam
longsoran simulasi yang kemudian bercampur menjadi satu, yang tertinggal
sekarang hanya sebuah realitas simulasi. Simulasi telah berubah menjadi yang
paling nyata dari yang nyata, yang lebih benar dari yang benar, lebih indah dari
yang indah.
62
Hiperrealitas dari penggemar kpop itu sendiri yang dinilai terlalu
berlebihan dalam mengartikan sebuah kekaguman kepada idol kpop maupun
budaya kpop. Tidak jarang kita banyak sekali menemukan banyak sekali
khususnya remaja – remaja yang menyukai kpop berdandan layaknya idol korea
atau meniru fashion korea. Misalnya saja mereka menggunakan rok minimalis dan
pakaian cropty , mengecat rambut, dan berbicara menggunakan bahasa korea,
mungkin bagi sebagian penggemar kpop itu dinilai wajar namun itu dikonstruksi
sebagai hal yang aneh karena ketidaksesuaian kebudayaan antara budaya korea
dengan budaya indonesia.
Penggemar akan menilai bahwa dirinya akan cocok berdadan layaknya idol
– idol korea seperti itu, namun pada kenyatanya itu tidak sesuai dengan cara
berpakaian dan berdandan yang sudah menjadi konstruksi bagi masyarakat
indonesia bahwa orang indonesia itu berambut hitam , menggunakan pakaian yang
tidak terbuka dan sopan, dan menggunakan bahasa indonesia atau bahasa daerah.
Bukan hanya bagi penggemar kpop , non penggemar kpop yang berpakaian
minimalis dan terbuka dengan gaya ala – ala kebarat – baratan pun juga akan
dinilai aneh oleh masyarakat indonesia sama dengan kpopers, masyarakat luas pun
yang menggunakan pakaian terbuka dan sangat minimalis pun akan dinilai aneh
atau dinilai tidak memiliki rasa sopan santun karena menggunakan pakaian yang
serba minimalis seperti itu.
Fenomena lain yang muncul dari hiperealitas penggemar kpop ini adalah
khayalan, mengapa demikian? Banyak dari penggemar kpop menyebut idol
mereka adalah “suami” atau pun “ kekasih” mereka akan melakukan segala cara
untuk menyenangkan idola mereka mulai dari memberikan hadiah , menghadiri
63
fanmeeting , menghadiri konser hingga melakukan vote pada ajang penghargaan
baik nasional maupun internasional agar idola mereka menang, para kpopers
sebenarnya menyadari bahwa bukan hanya dia saja yang menjadi “istri” atau
“kekasih” khayalan dari sang idol, ada ribuan bahkan berpuluh ribu penggemar
yang dipanggil sama oleh sang idol namun tetap saja para kpopers ini sangat
senang dengan sebuatan “istri” atau “kekasih” tersebut, mereka beranggapan
bahwa dengan sebutan itu mereka terasa memiliki sang idolanya tersebut.
Banyak dari penggemar ini memaksa idolanya untuk tidak memiliki kekasih
dan para idol ini pun juga mengetahui bahwa ketika sang idol memiliki kekasih
maka kepopuleran mereka seketika akan turun, karena para penggemar sangat
membenci apabila idolanya berkencan sehingga mereka akan berhenti
mengidolakan idol tersebut apabila mereka berkencan atau memiliki kekasih, hal
ini berkaitan dengan adanya rasa memiliki bahwa sang idol itu adalah miliknya,
bebrapa penggemar akan meninggalkannya karena merasa telah dikhianati oleh
sang idola mereka. Maka dari itu banyak idol yang berkencan atau memiliki
kekasih secara diam – diam agar mereka tidak menyakiti hati penggemarnya dan
menurunkan popularitasnya, ketika sang idol sudah ketahuan bahwa ia berkencan
atau memiliki kekasih tidak sedikit penggemar yang membully kekasih mereka.
Atau bahakan idola mereka hanya tertimpa rumor berkencan saja para penggemar
ini sudah membully orang yang dirumorkan berkencan dengan idola mereka.
Fenomena lain dari hiperealitas penggemar kpop ini adalah membangga –
banggakan idola mereka yang memiliki paras tampan atau cantik rupawan, dan
sebagaian besar kpopers juga mengetahui bahwa idol korea sebagian besar
memiliki wajah yang rupawan karena melakukan operasi plastik namun ini
64
tidaklah secara keseluruhan. Bagi non penggemar kpop mereka menilai bahwa
ketampanan idola kpop itu biasa saja karena mereka melakukan operasi plastik,
karena wajah asli para idol itu sebenarnya biasa – biasa saja dan tidak memiliki
daya tarik, selain itu baik pria maupun wanita korea mereka sama – sama
menggunakan kosmetik dimana hal itu dinilai sangat aneh bagi kebanyakan orang
ketika melihat seorang pria menggunakan produk – produk kecantikan yang
seharusnya digunakan oleh wanita. Hal tersebut akan dinilai berbeda oleh
penggemar kpop mereka akan bersih keras bahwa ketampanan idola mereka itu
bukan karena oplas melainkan karena make up yang mereka gunakan karena
tuntutan profesi yang mengharuskan idola mereka menggunakan make up, ada
juga penggemar yang menyadari bahwa idola mereka memang melakukan oplas
namun mereka menilai itu merupakan hak semua orang untuk terlihat tampan dan
cantik karena semua orang ingin terlihat tampan dan cantik.
Mereka akan membela idola mereka bahwa produk – produk kecantikan
yang idola mereka gunakan merupakan penunjang dari profesi mereka yang
mengharuskan mereka tampil fresh dan rupawan. Para penggemar ini akan
membela idola mereka mati – matian karena dimata mereka idola mereka adalah
hidup mereka. Mereka akan sangat marah ketika idola mereka di jelek – jelekan
dan tidak segan – segan bertengkar dengan seseorang yang menjelek – jelekan
idola mereka.
Fenomena yang baru – baru ini menjadi heboh baik bagi para penggemar
kpop maupun tidak adalah berita tentang meninggalnya vokalis utama dari grup
Shinee yaitu kim jonghyun yang menjadi trending topik di seluruh dunia. Hal
tentunya menjadi banyak diperbincangkan oleh masyarakat seluruh dunia,
65
pasalnya ketika berita meninggalnya jonghyun shinee ini mencuak ke publik tidak
sedikit dari penggemar shinee yang akrab dengan sebutan shawols ini yang juga
ikut – ikutan bunuh diri dan jumlahnya pun hingga sampai saat ini sudah
mencapai 150 jiwa lebih. Ini maka semakin menambah kenyataan bahwa
fenomena hiperealitas pada penggemar kpop ini merupakan hal yang sangat
menyeramkan ketika kita sendiri sebagai kpopers tidak bisa mengendalikan diri
kita sendiri dan membatasi diri ikita sendirin untuk bertindak sewajarnya.