BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4940/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4940/3/BAB...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesejahteraan Psikologis
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis
Menurut Ryff dan Singer (2008) kesejahteraan psikologis merupakan
sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri
dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah lakunya
sendiri, dapat memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan
mereka, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup individu lebih bermakna, serta
berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri selengkap mungkin.
Huppert (2009) mendefinisikan kesejahteraan psikologis yaitu kebahagiaan
psikologis tentang hidup yang berjalan dengan baik, hal ini merupakan kombinasi
dari merasa lebih baik dan berfungsi dengan efektif. Snyder dan Lopez (dalam
Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008) mengatakan bahwa kesejahteraan
psikologis merupakan fungsi optimal dari fungsi psikologis seseorang yang
ditandai dengan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi
keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan dalam hidup, dan
hubungan seseorang pada obyek ataupun orang lain. Selain itu, Nopiando (2012)
menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kondisi tercapainya
kebahagian tanpa adanya gangguan psikologis yang ditandai dengan kemampuan
individu mengoptimalkan fungsi psikologisnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
kesejahteraan psikologis adalah kondisi dimana individu dapat mengoptimalkan
fungsi psikologisnya yang ditandai dengan memiliki sikap yang positif terhadap
diri sendiri dan orang lain, dapat mengatur lingkungannya dengan baik, memiliki
makna dan tujuan hidup, serta berjuang mengembangkan potensi yang dimiliki.
2. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis
Ryff & Singer (2008) mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis
dalam enam dimensi yaitu:
a. Penerimaan diri (Self Acceptance)
Penerimaan diri merupakan keadaan dimana individu menghargai diri
sendiri dengan positif dan memiliki kemampuan menerima diri apa adanya
atas keterbatasan yang ada dalam diri. Kemampuan tersebut memungkinkan
seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang
dijalaninya. Hal ini dapat ditunjukkan dari bagaimana individu memerima
kekurangan dari kepribadian, perilaku, sifat maupun fisiknya. Semakin tinggi
individu dapat menerima dirinya maka semakin tinggi pula sikap positif
terhadap diri sendiri, menerima berbagai aspek diri, termasuk kualitas baik
dan buruk sehingga merasa positif mengenai kehidupan masa lalu. Sebaliknya
semakin rendah penerimaan diri individu maka semakin merasa tidak puas
dengan dirinya, kecewa dengan apa yang sudah terjadi dalam kehidupan masa
lalu, bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu sehingga berharap ingin
berbeda dari diri yang sekarang.
b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relation with Others)
Hubungan positif dengan orang lain merupakan kemampuan
membangun dan menjaga hubungan yang baik dan hangat dengan orang lain.
Kondisi ini dapat ditunjukkan dengan adanya interaksi yang positif dengan
orang lain dan kemampuan untuk memahami orang lain dengan baik. Semakin
besar kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang lain maka akan
memiliki sifat hangat, puas, hubungan yang saling percaya dengan orang lain,
peduli dengan kesejahteraan orang lain, mampu menampilkan empati, afeksi
dan keintiman yang kuat, serta memahami hubungan manusia yang memberi
dan menerima. Sebaliknya individu yang tidak mampu menjalin hubungan
yang baik dengan orang lain maka hanya memiliki sedikit hubungan dekat dan
saling percaya dengan orang lain, merasa sulit untuk hangat, terbuka, dan
peduli terhadap orang lain, terisolasi dan frustasi dalam hubungan
interpersonal, tidak bersedia melakukan kompromi untuk memelihara
hubungan penting dengan orang lain.
c. Kemandirian (Autonomy)
Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk mengambil
keputusan sendiri tanpa campu tangan orang lain serta memiliki pendirian
tanpa harus memikirkan perbedaan pendapat dari orang lain. Selain itu,
seseorang yang memiliki otonomi yang baik memiliki ketahanan dalam
menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dalam diri, serta
mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal bukan tergantung pada
penilaian orang lain terhadap dirinya. Semakin tinggi kemampuan otonomi
individu maka dapat menentukan keputusan sendiri dan mandiri, mampu
menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara-cara
tertentu, mengatur perilaku dari dalam diri, dan dapat mengevaluasi diri
dengan standar pribadi. Sebaliknya semakin rendah kemampuan otonomi
individu maka individu khawatir mengenai harapan dan evaluasi dari orang
lain untuk membuat keputusan penting, dan mengikuti tekanan sosial untuk
berpikir dan bertindak dengan cara tertentu.
d. Penguasaan lingkungan (Environmental Mastery)
Penguasaan lingkungan merupakan kemampuan yang dimiliki
individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhannya. Individu tersebut mampu menghadapi kejadia-kejadian diluar
dirinya. Keadaan ini dibentuk dengan adanya tanggung jawab individu dalam
kehidupannya di masyarakat. Kemampuan penguasaan lingkungan individu
tinggi apabila memiliki rasa penguasaan dan mampu mengelola lingkungan,
dapat mengendalikan kegiatan eksternal yang rumit, menggunakan
kesempatan dilingkungan sekitarnya dengan efektif, dan mampu memilih atau
menciptakan konteks sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Apabila
kemampuan penguasaan lingkungan individu rendah maka mengalami
kesulitan dalam mengelola urusan sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah
atau memperbaiki konteks dilingkungan sekitarnya, tidak menyadari peluar di
lingkungan sekitarnya, dan kurangnya kesadaran akan kendali atas dunia
eksternal.
e. Tujuan hidup (Purpose of Life)
Tujuan hidup merupakan keadaan dimana individu memiliki konsep
dan arah dalam hidup yang menyatukan usaha dan tantangan yang dihadapi.
Individu yang memiliki tujuan hidup akan lebih mudah melakukan pencapaian
dalam hidupnya karena terdapat tujuan yang jelas yang sudah dirancang
sebelumnya. Apabila individu memiliki tujuan hidup yang tinggi maka akan
memiliki perasaan yang terarah, merasa ada makna dalam kehidupan masa
lalu, masa sekarang dan masa depan, memegang keyakinan yang memberikan
tujuan hidup, dan memiliki tujuan dan sasaran untuk hidup. Rendahnya tujuan
hidup individu akan berakibat pada kurangnya perasaan kebermaknaan dalam
hidup, hanya memiliki sedikit tujuan atau sasaran, tidak terarah, tidak melihat
tujuan dalam kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau keyakinan
yang memberikan arti hidup.
f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)
Pertumbuhan pribadi merupakan kemampuan individu untuk
mengembangkan potensi dalam diri. Individu memiliki dinamika
pembelajaran sepanjang hidup dan berkelanjutan untuk mengembangkan
kemampuannya secara berkesinambungan. Seperti memiliki pengalaman-
pengalaman baru yang dijadikan sebagai proses pembelajaran serta
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terus berkelanjutan dalam
hidup. Individu dengan pengembangan diri yang tinggi akan memiliki
perasaan berkembang secara terus menerus, melihat diri tumbuh dan
berkembang, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi diri sendiri,
berubah dari waktu ke waktu dengan cara mencerminkan bertambahnya
pengetahuan diri dan efektivitas. Sedangkan individu dengan pengembangan
diri rendah maka tidak dapat berkembang pada perbaikan, merasa bosan dan
tidak tertarik dengan kehidupan, dan merasa tidak mampu mengembangkan
berbagai sikap atau perilaku yang baru.
Menurut Ryan dan Deci (2001) aspek-aspek kesejahteraan psikologis adalah
sebagai berikut:
a. Otonomi (Autonomy)
Otonomi merupakan kemampuan membangun kekuatan dalam diri
dan kebebasan personal sehingga individu memiliki pendirian terhadap hal
yang diyakini tanpa harus mengikuti perbedaan pendapat dengan orang lain.
Individu memiliki tujuan yang didukung sendiri, mengejar bermacam-macam
tujuan dengan dilakukan secara efisien.
b. Kompetensi (Competence)
Kompetensi merupakan kemampuan individu melakukan tugas
tertentu karena kesadaran individu terhadap apa yang ada pada dirinya berupa
pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam suatu bidang tertentu.
c. Hubungan (Relatedness)
Hubungan merupakan kemampuan individu menjalin hubungan saling
percaya, hangat dengan orang lain, dan mendukung interpersonal untuk
kesejahteraan. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang
merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk
mencintai orang lain.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli yang telah diuraikan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yaitu
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup, pertumbuhan pribadi, dan kompetensi. Dari penjabaran
dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis di atas, peneliti menggunakan dimensi
teori kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Ryff dan Singer (2008)
untuk dijadikan acuan alat ukur, karena dimensi-dimensi tersebut dapat
menjelaskan lebih rinci tentang kesejahteraan psikologis.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis menurut
Ryff & Singer (2008) sebagai berikut:
a. Usia
Perbedaan usia mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ada
perbedaan kesejahteraan psikologis pada tiga kelompok umur yaitu dewasa
muda, dewasa menengah, dan dewasa akhir. Perbedaan kesejahteraan
psikologis pada ketiga kelompok umur tersebut dapat dilihat khususnya pada
dimensi penguasaan lingkungan, dimensi pertumbuhan pribadi, dimensi tujuan
hidup, dan dimensi otonomi. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Semakin bertambah usia
seseorang, maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh
karena itu, semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik
sesuai dengan keadan dirinya. Dibandingkan dengan individu yang berada
dalam kelas dewasa muda, individu yang berada dalam usia menengah
memiliki skor kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dalam dimensi
penguasaan lingkungan dan otonomi. Sedangkan individu yang berada dalam
usia dewasa akhir memiliki skor kesejahteraan psikologis yang lebih rendah
dalam dimensi keterarahan hidup dan dimensi pertumbuhan pribadi. Satu-
satunya dimensi yang tidak memperhatikan adanya perbedaan seiring dengan
pertumbuhan usia adalah dimensi penerimaan diri.
b. Jenis kelamin
Sejak kecil stereotipe gender telah tertanam dalam diri bahwa anak
laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu
perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif
terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2008). Tidaklah
mengherankan bahwa sifat-sifat stereotipe ini akhirnya terbawa oleh individu
sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung
dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa
untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan
kata lain, wanita lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain
daripada laiki-laki. Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, wanita
menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Sementara
dimensi yang lain yaitu penerimaan diri, kemandirian, penguasaan lingkungan,
tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan.
c. Status sosial ekonomi
Besarnya pendapatan dalam keluarga, tingkat pendidikan,
keberhasilan pekerjaan, status sosial dimasyarakat dapat mempengaruhi
kondisi kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis yang lebih baik
terdapat pada individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan jabatan
yang lebih tinggi dalam pekerjaannya, terutama untuk dimensi tujuan hidup
dan pertumbuhan pribadi. Adanya pendidikan dan status pekerjaan yang baik
memberikan ketahaan dalam menghadapi stress, tantangan dan kesulitan hidup.
Sebaliknya, dengan kurangnya pendidikan dan pekerjaan yang baik
menimbulkan kerentanan terhadap timbulnya gangguan kesejahteraan
psikologis (Papalia, 2008).
d. Budaya
Budaya dan masyarakat terkait dengan norma, nilai dan kebiasaan
yang berada dalam masyarakat. Budaya individualistik dan kolektivistik
memberikan perbedaan dalam kesejahteraan psikologis. Adanya perbedaan
kesejahteraan psikologis antara kebudayaan barat dan timur. Hal ini dibuktikan
memalui penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) melalui sampel warga
Korea (Timur) yang dibandingkan dengan sampel warga Amerika Serikat
(Barat). Warga Korea memiliki peringkat yang tinggi pada hubungan positif
dengan orang lain namun peringkat rendah pada penerimaan diri dan
pengembangan pribadi. Sedangkan, warga Amerika Serikat yang memiliki
budaya Barat pengembangan pribadi dan otonomi menduduki rating tertinggi.
Dimensi yang lebih berorientasi seperti penerimaan diri dan dimensi otonomi
lebih menonjol pada konteks budaya Barat yang lebih bersifat individualistik.
Sedangkan dimensi yang berorientasi seperti hubungan positif dengan orang
lain lebih menonjol pada budaya Timur yang dikenal lebih kolektif dan saling
tergantung. Budaya kolektif dapat membentuk hubungan sosial yang saling
menghargai, saling menghormati, kehangatan, saling percaya sehingga
berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan.
Selain faktor-faktor yang dipaparkan Ryff dan Singer (2008), hasil
penelitian lain juga telah menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis antara lain:
a) Perilaku Prososial
Perilaku prososial merupakan salah satu contoh bentuk perilaku positif
yang dapat memberi kontribusi positif pula dalam perkembangan moral
individu, dan dapat membantu individu memiliki sikap positif terhadap diri
sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku
sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan,
memiliki tujuan hidup yang bermakna, dan mengembangkan diri selengkap
mungkin selama masa kehidupan yang mengarah pada meningkatnya
kesejahteraan psikologis (Megawati & Herdiyanto, 2016). Perilaku prososial
seperti menolong di dalam keluarga telah dikaitkan dengan tingkat tujuan
hidup, penerimaan diri, dan hubungan yang positif dengan orang lain.
Sedangkan, perilaku menolong secara umum kepada orang lain telah dikaitkan
dengan tujuan hidup dan penerimaan diri.
b) Optimisme
Khoirunnisa dan Ratnaningsih (2016) menyatakan bahwa mahasiswa
yang memiliki optimisme dapat lebih percaya pada diri dan kemampuan yang
dimiliki dalam menghadapi masalah serta tuntutan akademik. Optimisme akan
mendorong mahasiswa untuk lebih positif dalam memandang masalah, serta
menumbuhkan kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan (adversity
quotient) dan meningkatkan motivasi berprestasi dalam mencapai tujuan.
Individu dengan optimisme yang baik juga akan memiliki penyesuaian diri
yang baik sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan
psikologis.
c) Dukungan Sosial
Rietschlin (dalam Taylor, 2009) memaparkan bahwa dukungan sosial
dapat berasal dari berbagai sumber diantaranya orang yang dicintai seperti
orang tua, pasangan, anak, teman, dan kontak sosial dengan masyarakat.
Dukungan sosial yang merupakan kehadiran orang lain dalam hidup individu
dapat membuat individu tersebut percaya bahwa dirinya dicintai, diperhatikan,
dan merupakan bagian dari kelompok sosial (Taylor, 2009). Individu dengan
dukungan sosial yang baik akan merasa nyaman dan merasa diterima oleh
lingkungannya sehingga akan memiliki kesejahteraan psikologis dalam derajat
yang lebih besar (Hardjo & Novita, 2015).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis menurut Ryff & Singer (2008) adalah
usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya. Sedangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang diperoleh dari beberapa
peneliti adalah perilaku prososial, optimisme, dan dukungan sosial.
B. Perilaku Prososial
1. Pengertian Perilaku Prososial
Bringham (1991) menyatakan bahwa perilaku prososial yaitu tindakan
yang mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Menurut
Asih dan Pratiwi (2010) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah tindakan
yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa
mempedulikan motif-motif si penolong. Selain itu, menurut Eisenberg dan Musen
(dalam Afrianti & Anggraeni, 2016) mendefinisikan bahwa tingkah laku prososial
adalah aksi sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau menguntungkan
sekelompok orang atau sekelompok individu. William (dalam Zainuddin &
Hidayat, 2008) mendefinisikan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki
intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari
kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis.
Selain itu, Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan bahwa perilaku
prososial adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan
sendiri. Perilaku prososial merupakan sebuah tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu manfaat langsung
kepada orang yang melakukan tindakan menolong tersebut dan bahkan mungkin
memberikan resiko bagi orang yang menolong (Baron, 2006).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
prososial adalah tindakan sukarela untuk menyokong kesejahteraan orang lain
seperti tindakan menolong dan memberikan manfaat bagi orang lain baik secara
material maupun psikologis tanpa memperhitungkan keuntungan langsung pada
orang yang melakukan perilaku tersebut.
2. Aspek-aspek Perilaku Prososial
Menurut Bringham (1991) aspek-aspek dari perilaku prososial adalah:
a. Persahabatan
Persahabatan merupakan kesediaan individu untuk ikut merasakan apa
yang dirasakan orang lain dan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan
orang lain seperti memberi kesempatan kepada orang lain untuk mencurahkan
isi hatinya. Persahabatan dapat ditunjukkan dalam perilaku saling bercerita
tentang pengalaman hidup, bersedia mendengarkan curahan hati ataupun
peduli dengan permasalahan-permasalahan orang lain. Contohnya meluangkan
waktu untuk mendengar keluh kesah teman.
b. Kerjasama
Kerjasama merupakan kesediaan individu melakukan pekerjaan atau
kegiatan secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan untuk mencapai
tujuan bersama. Kerjasama misalnya diskusi dan mempertimbangkan
pendapat orang lain guna mancapai tujuan bersama. Perilaku ini biasanya
saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong dan menyenangkan.
Kerjasama akan timbul jika orang menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan yang sama, mempunyai pengetahuan dan pengendalian terhadap
diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Contohnya
bekerjasama dengan teman kelompok dalam menyelesaikan suatu tugas
tertentu untuk mendapatkan nilai yang bagus.
c. Menolong
Menolong merupakan kesediaan individu untuk membantu orang lain
yang sedang berada dalam kesulitan. Adanya niatan membantu orang lain
dengan cara meringankan beban fisik atau psikologis yang dirasakan orang
tersebut. Perilaku ini dapat berupa kesediaan berbagi dengan orang lain,
memberitahu, menawarkan bantuan terhadap orang lain atau menawarkan
sesuatu yang menunjang keberlangsungannya kegiatan orang lain. Contohnya
membantu teman yang kesulitan memahami pelajaran tertentu.
d. Bertindak jujur
Bertindak jujur merupakan kesediaan individu untuk melakukan
sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang. Perilaku yang ditunjukkan
dengan perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau
mengurangi kenyataan yang ada. Contohnya memberikan kesaksian sesuai
dengan kejadian yang sesungguhnya terjadi.
e. Berderma
Berderma merupakan kesediaan individu untuk bermurah hati kepada
orang lain dengan cara memberikan sesuatu (biasanya berupa uang dan
barang) kepada orang yang membutuhkan atas dasar kesadaran diri. Perilaku
menyumbang ditunjukkan dengan memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh
orang lain yang benar-benar memerlukannya tanpa pamrih. Contohnya
memberikan secara sukarela sebagian barang miliknya kepada korban
bencana.
Menurut Staub (dalam Muryadi & Matulessy, 2012) aspek-aspek perilaku
prososial adalah:
a. Menolong (helping)
Menolong merupakan kegiatan membantu meringankan beban orang
lain dengan melakukan kegiatan fisik bagi orang yang ditolong. Menolong
meliputi membantu orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan kepada
orang lain atau melakukan sesuatu yang menunjang kegiatan orang lain.
Contohnya membantu dosen yang terlihat kerepotan membawa barang.
b. Berbagi perasaan (sharing)
Berbagi perasaan merupakan keadaan individu memberi kesempatan
dan perhatian kepada orang lain untuk mencurahkan isi hatinya atau kesediaan
untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan duka.
Berbagi diberikan bila penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada
tindakan, meliputi dukungan verbal dan fisik. Contohnya menyempatkan diri
untuk mendengarkan keluh kesah teman.
c. Menyumbang (donating)
Menyumbang merupakan kesediaaan individu untuk memberikan
secara sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.
Kesediaan untuk membantu dengan pikiran, tenaga maupun materi kepada
orang lain yang membutuhkan. Cohtohnya menyumbangkan uang atau barang
untuk beramal.
d. Peduli atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain (caring)
Peduli atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain merupakan
kepedulian individu terhadap permasalahan orang lain dengan adanya
kepekaan mengenai keadaan dengan orang-orang disekitar. Selain itu,
memberi sarana bagi orang lain untuk mendapatkan kemudahan dalam segala
urusan, punya kepedulian terhadap orang lain dengan mengindahkan dan
menghiraukan masalah orang lain. Keadaan ini juga dapat ditunjukkan dalam
bentuk simpati dimana seseorang benar-benar ikut merasakan kesedihan,
kesakitan maupun kesulitan yang dialami oleh orang lain. Contohnya adanya
perasaan sedih melihat teman yang sakit.
e. Kerjasama (cooperating)
Kerjasama merupakan kegiatan bersama orang lain termasuk diskusi
dan mempertimbangkan pendapat orang lain guna mencapai tujuan bersama.
Kerjasaam artinya hubungan antara dua orang atau lebih yang secara positif
saling tergantung berkenan dengan tujuan mereka. Sehingga gerak seseorang
dalam mencapai tujuan cenderung dapat meningkatkan gerak orang lain untuk
mencapainya. Contohnya bekerja secara sungguh-sungguh bersama teman-
teman dalam kelompok belajar.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
perilaku prososial yaitu persahabatan, kerjasama, menolong, bertindak jujur,
berderma, berbagi perasaan, menyumbang, dan peduli atau mempertimbangkan
kesejahteraan orang lain. Peneliti menggunakan aspek-aspek perilaku prososial
yang dikemukakan oleh Bringham (1991) sebagai alat ukur dalam penelitian ini
karena aspek yang diuraikan lebih sesuai dengan teori yang digunakan dalam
menjelaskan perilaku prososial. Aspek-aspek perilaku prososial yang
dikemukakan Bringham (1991) yaitu persahabatan, kerjasama, menolong,
bertindak jujur, dan berderma.
C. Hubungan antara Perilaku Prososial dan Kesejahteraan Psikologis
Ryff dan Singer (2008) mengemukakan 6 dimensi yang dapat
mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang yaitu penerimaan diri,
kemandirian, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, dan pertumbuhan pribadi. Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan
seseorang untuk mengembangkan dirinya yang mengarah pada meningkatnya
kesejahteraan psikologis. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah perilaku
positif seperti perilaku prososial. Piliavin (dalam Kumar, 2015) menyatakan
bahwa perilaku prososial merupakan salah satu faktor penting dalam
mengembangkan kesejahteraan psikologis.
Menurut Bringham (1991) aspek-aspek perilaku prososial yaitu
persahabatan, kerjasama, menolong, bertindak jujur, dan berderma. Aspek
persahabatan, yaitu kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan
orang lain. Kerjasama, yaitu kesediaan untuk melakukan kegiatan secara bersama-
sama berdasarkan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama. Aspek menolong,
yaitu kesediaan untuk membantu orang lain yang sedang berada dalam kesulitan.
Aspek bertindak jujur, kesediaan untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya,
tidak berbuat curang. Terakhir aspek berderma, yaitu kesediaan untuk bermurah
hati kepada orang lain dengan cara memberikan sesuatu (biasanya berupa uang
dan barang) kepada orang yang membutuhkan atas dasar kesadaran diri.
Helm (dalam Sari, 2012) menyatakan bahwa persahabatan yang berkualitas
sebagai keintiman dalam suatu hubungan ditandai dengan pemberian perhatian
kepada sahabat baik untuk kesejahteraan individu. Persahabatan dalam suatu
hubungan sosial berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan (Ryan & Desi,
2001). Persahabatan akan memunculkan ketulusan, kehangatan, saling percaya,
menghargai dan saling menghormati (Dariyo, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa
perilaku prososial pada aspek persahabatan memberi pengaruh positif terhadap
kesejahteraan psikologis pada aspek hubungan positif dengan orang lain.
Sementara itu, Muss (1988) mengungkapkan bahwa persahabatan yang akrab
dapat membuat remaja merasa tenteram dan merasa dirinya berharga sehingga
dapat meningkatkan kebahagiaan. Merasa berharga menunjukkan bahwa individu
dapat memandang positif dirinya dengan kata lain terpenuhinya aspek penerimaan
diri pada kesejahteraan psikologis. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan
oleh Kumar (2015) mengungkapkan bahwa mahasiswa baru melakukan tindakan
prososial untuk ketertarikan diri, persetujuan orang lain, pujian dan terhindar dari
kritik orang dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku prososial
pada aspek persahabatan memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan
psikologis pada aspek penguasaan lingkungan karena dapat melihat peluang untuk
mendapatkan pujian dari orang lain, dan tujuan hidup karena memiliki pandangan
untuk disetujui dan diterima oleh lingkungannya.
Pada aspek kerjasama, adanya aktivitas yang dilakukan bersama-sama dan
berbagi pengalaman bersama teman dapat meningkatkan kebahagiaan pada
individu (Demir & Weitekamp, 2007). Individu bekerjasama dengan orang lain
demi tercapainya suatu tujuan bersama membuat individu saling bersinergi, saling
percaya, dan membangun hubungan saling ketergantungan satu dengan yang lain.
Dengan demikian akan membawa individu pada hubungan yang positif dengan
orang lain. Dalam pencapaian tujuan bersama, individu akan berupaya
merealisasikan potensi yang ada pada dirinya sehingga mampu mengembangkan
pertumbuhan diri selengkap mungkin dan memiliki tujuan dalam hidupnya.
Papalia, Olds, dan Feldman (2008) menyatakan bahwa individu yang memiliki
tujuan hidup yang bermakna akan berjuang menjelajahi dan mengembangkan diri
selengkap mungkin. Apabila individu berhasil menuntaskan tugas-tugasnya,
maka akan menimbulkan fase bahagia, bangga, puas akan pencapaian yang telah
dilakukan sehingga menimbulkan penilaian positif pada diri sendiri yang
mengarah pada aspek penerimaan diri dan membawa ke arah keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas berikutnya (Havighurst, dalam Ali & Asrori, 2012).
Pada aspek menolong, Kumar (2015) menyatakan bahwa kecenderungan
menolong pada perilaku prososial memberikan pengaruh untuk kesejahteraan
psikologis. kesediaan individu untuk menolong orang lain yang sedang berada
dalam kesulitan karena mampu merasakan penderitaan orang lain. Orang yang
melakukan tindakan menolong karena mengetahui bahkan mungkin mampu
merasakan kebutuhan, keinginan, perasaan, dan penderitaan orang lain (Desmita,
2017). Mampu merasakan penderitaan orang lain akan memunculkan belas kasih
dan toleransi hidup terhadap sesama hingga menciptakan hubungan yang hangat
dengan orang lain. Selain itu, menolong orang lain dari kondisi buruk yang
dialami membuat individu sadar akan tuntutan hidup yang lebih tinggi yakni
mencapai perbaikan kualitas hidup. Pentingnya berbagi dipertimbangkan menjadi
salah satu aspek tertinggi dari kualitas kehidupan (Desmita, 2017). Dalam
mencapai kualitas hidup yang lebih baik, hidup individu menjadi terarah atau
memiliki tujuan hidup. Dalam mencapai tujuan hidup, individu mengembangkan
diri selengkap mungkin dengan potensi yang dimilikinya sehingga terjadi
pertumbuhan pribadi.
Setelah melakukan tindakan menolong, individu akan merasa bahagia,
bangga, dan puas pada diri karena dapat berguna bagi orang lain. Putra dan
Rustika (2015) menyatakan bahwa setelah memberikan pertolongan orang akan
merasa bangga akan apa yang telah dilakukan sehingga terjadi perubahan
penilaian diri. Penelitian yang dilakukan oleh Sarwono dan Meinarno (2009)
menyatakan bahwa orang dapat merasa lebih baik setelah memberikan
pertolongan. Perasaan bangga dan merasa lebih baik karena dapat berguna bagi
orang lain akan memunculkan penilaian positif pada diri sendiri yang mengarah
pada penerimaan diri individu. Selain itu, adanya pengamatan terhadap
permasalahan yang dialami orang lain akan memberikan pengalaman hidup bagi
penolong. Tingkah laku manusia dijelaskan sebagai hasil proses belajar terhadap
lingkungan (Sarwono & Meinarno, 2009). Individu belajar dari pengalaman orang
lain sehingga jika individu mengalami situasi yang sama maka dirinya dapat
mengetahui tindakan yang perlu dilakukan dalam mengatasi masalah-masalah
yang terjadi dilingkungannya. Hal tersebut berpengaruh pada kemampuan
individu dalam mengatasi masalahnya sendiri yang mengarah pada kemampuan
otonomi dan kemampuan penguasaan lingkungan sesuai dengan kebutuhannya.
Aspek selanjutnya yaitu bertindak jujur. Bertindak jujur artinya individu
merasa bertanggung jawab dalam merespon lingkungannya. Individu
berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan (Staub dalam Dayakisni &
Hudaniah, 2006) Kesediaan individu untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya
tanpa berbuat curang membuat individu bertindak secara sadar. Apabila individu
bertindak secara sadar maka akan mampu untuk menguasai dan mengendalikan
diri dengan lingkungan sekitarnya (Savitri & Listiyandini, 2017). Memiliki
tindakan yang baik seperti bertindak jujur membuat individu merasa bangga dapat
menjalani hidup dengan jujur yang mengarah pada pandangan positif pada diri
sendiri. Selain itu, bertindak jujur membuat individu menghargai kehidupannya
dan menyadari pentingnya perbaikan kualitas kehidupan sehingga dituntut untuk
dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki untuk pencapaian menjadi
pribadi yang lebih baik.
Aspek terakhir yakni berderma merupakan kemurahan hati individu untuk
memberikan secara sukarela sebagian barang yang dimiliki kepada orang yang
membutuhkan. Seseorang berbuat seimbang antara memberi dan menerima
didalam sebuah hubungan sosial (Sarwono & Meinarno, 2009). Memberi tanpa
mengharapkan balasan akan membuat individu merasa berguna bagi orang lain
sehingga menimbulkan pandangan yang positif bagi dirinya sendiri. Perilaku
individu tergantung pada caranya mengamati situasi sosial (Sarwono & Meinarno,
2009). Adanya perhatian dan pengamatan terhadap kesulitan yang dialami orang
lain membuat individu memiliki kemauan untuk memberikan bantuan dapat
mengembangkan kemampuan penguasaan lingkungan individu tersebut. Aspek
penguasaan lingkungan juga terpenuhi karena kepekaan dan kepedulian pemberi
bantuan terhadap lingkungannya yang membutuhkan bantuan. Selain itu, fokus
membantu orang lain keluar dari kondisi buruk yang dialami membuat individu
sadar akan tuntutan hidup yang lebih tinggi yakni mencapai perbaikan kualitas
hidup. Pentingnya berbagi dipertimbangkan menjadi salah satu aspek tertinggi
dari kualitas kehidupan (Desmita, 2017). Dalam mencapai kualitas hidup yang
lebih baik, hidup individu menjadi terarah atau memiliki tujuan hidup. Dalam
mencapai tujuan hidup, individu mengembangkan diri selengkap mungkin dengan
potensi yang dimilikinya sehingga terjadi pertumbuhan pribadi.
Hasil penelitian Megawati dan Herdiyanto (2016) mengenai “Hubungan
antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja” dengan
subjek penelitian adalah 214 remaja berusia 15-17 tahun menunjukkan terdapat
hubungan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being,
sumbangan efektif yang diberikan perilaku prososial terhadap psychological well-
being adalah sebesar 37,2% dan sisanya sebesar 62,8% disebabkan oleh faktor-
faktor lain. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyawati (2015)
mengenai “Hubungan antara perilaku prososial dengan kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) pada siswa kelas XI di SMK Muhammadiyah 2
Yogyakarta” dengan subjek penelitian 110 siswa menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara perilaku prososial dengan kesejahteraan psikologis,
variabel perilaku prososial memberikan kontribusi pada kesejahteraan psikologis
sebesar 43,6% sedangkan 56,4% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Penelitian lain yaitu dilakukan oleh Annisa (2014) tentang “Hubungan
antara perilaku psososial dengan psychological well-being pada mahasiswa
tingkat awal” dengan subjek penelitian yaitu 96 mahasiswa tingkat awal jurusan
psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada hubungan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-
being pada mahasiswa tingkat awal dengan koefisien korelasi r sebesar 0,476.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Rustika (2017) tentang “Peran
pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan
psikologis pada remaja akhir di program studi pendidikan dokter gigi fakultas
kedokteran Universitas Udaya” dengan subjek penelitian 129 remaja akhir
menunjukkan hasil bahwa sumbangan efektif variabel pola asuh autoritatif, efikasi
diri, dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis sebesar 66,6 %,
sisianya 33,4% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain. Variabel perilaku
prososial memiliki koefisien beta terstandarisasi sebesar 0,178 dengan nilai t
sebesar 2,805, menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku prososial
terhadap kesejahteraan psikologis.
D. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan positif antara perilaku
prososial dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa. Semakin tinggi
perilaku prososial, maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis pada mahasiswa.