BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Impulsive Buyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4742/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Impulsive Buyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4742/3/BAB II.pdf ·...
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Impulsive Buying
1. Definisi Impulsive Buying
Verplanken dan Herabadi (2001) mendefinisikan pembelian impulsive
sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang
cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh adanya konflik fikiran dan dorongan
emosional. Menurut Ma’ruf (2005) belanja impulsive atau impulsive buying adalah
proses pembelian barang yang terjadi secara spontan. Menurut Aprilia dan Septila
(2017) impulsive buying adalah proses pembelian yang dilakukan oleh konsumen
tanpa mempertimbangkan kebutuhan suatu produk dan tidak melewati tahap
pencarian informasi terhadap suatu produk serta sangat kental unsur emosionalnya.
Menurut Rook (1987) impulsive buying merupakan perilaku pembelian yang terjadi
ketika adanya dorongan secara tiba-tiba, kuat, dan keinginan membeli sesuatu
dengan segera. keinginan membeli sesuatu dengan segera tersebut diikuti oleh
adanya konflik emosional dan cenderung mengabaikan konsekuensi yang
diperoleh.
Berdasarkan beberapa definisi di atas Impulsive buying didefinisikan
sebagai proses pembelian barang yang terjadi secara spontan, pembelian Impulsive
sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang
cepat dan tidak direncanakan serta diikuti oleh adanya konflik fikiran dan dorongan
emosional.
17
2. Aspek-aspek Impulsive Buying
Verplanken dan Herabadi (2001) mengemukakan dua aspek impulsive
buying, yakni aspek kognitif dan aspek afektif. Kedua aspek ini merupakan aspek-
aspek yang dialami oleh pembeli sehingga menciptakan suatu prilku impulsive
buying (Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009):
a. Aspek kognitif
Aspek kognitif yang dimaksudkan adalah kekurangan pada unsur pertimbangan
dan unsur perencanaan dalam pembelian yang dilakukan. Hal ini didasari oleh
pernyataan Verplanken dan Herabadi (2001) bahwa aspek kognitif kurang mampu
mempertimbangkan dan merencanakan sesuatu ketika melakukan pembelian.
Menurut Herabadi, Verplanken & Knippenberg (2009) pembelian terfokus pada
harga dari suatu produk dan keuntungan yang diperoleh ketika membeli produk
tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Verplanken & Herabadi (2001) bahwa
pembayaran yang dilakukan mungkin tidak direncanakan atau dipertimbangkan
dengan matang untuk berbagai macam alasan, misalnya ketika pembayaran tak
terencana tampak tak direncanakan dalam waktu yang panjang atau dalam kasus
pengulangan pembayaran atau kebiasaan pembayaran.
b. Aspek afektif
Aspek afektif meliputi dorongan emosional yang secara serentak meliputi
perasaan senang dan gembira setelah membeli tanpa perencanaan (Verplanken &
Herabadi, 2001) lebih lanjut menambahkan, setelah itu juga secara tiba-tiba muncul
perasaan atau hasrat untuk melakukan pembelian berdasarkan keinginan hati, yang
sifatnya berkali-kali atau kompulsif, tidak terkontrol, kepuasan, kecewa, dan
18
penyesalan karena telah membelanjakan uang hanya untuk memenuhi
keinginannya.
Aspek-aspek dari impulsive buying menurut Rook (1995) adalah sebagai
berikut:
Spontanitas, yaitu dorongan yang terjadi secara tiba-tiba yang mengarahkan
individu pada keinginan untuk membeli.
a. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas, yaitu adanya perasaan yang memaksa individu
untuk membeli sesuatu.
b. Kegairahan dan stimulasi, yaitu perasaan ingin membeli yang muncul dari diri
sendiri dan keputusan membeli yang datang karena stimulasi dari luar diri sendiri.
c. Sinkronitas, yaitu saat adanya kolaborasi antara faktor internal dan eksternal yang
mendorong individu melakukan pembelian.
d. Animasi produk, yaitu fantasi dalam diri pembeli yang muncul karena adanya
pengalaman pembelian dan pemakaian dalam pikiran konsumen.
e. Kepuasan, yaitu perasaan yang dirasakan setelah melakukan pembelian.
f. Pertentangan antara kontrol diri dan kesenangan, yaitu perasaan yang berlawanan
antara pengendalian dan keinginan kuat untuk membeli.
g. Ketidak perdulian akan akibat, yaitu sikap mengabaikan dampak negatif yang
timbul akibat kebiasaan belanja.
Berdasarkan aspek-aspek dan elemen-elemen di atas mengenai impulsive
buying dapat disimpulkan yaitu: kognitif, afektif , spontanitas, kekuatan kompulsi
dan intensitas, kegairahan dan stimulasi, sinkronitas, animasi produk, kepuasan,
pertentangan antara kontrol diri dan kesenangan, ketidak perdulian akan akibat.
19
Dari aspek-aspek tersebut peneliti mengambil aspek-aspek impulsive buying
menurut Verplanken & Herabadi (2001) yaitu kognitif dan afektif dengan alasan
elemen-elemen impulsive buying menurut Verplanken & Herabadi (2001) lebih
mudah untuk dipahami dan sejalan dengan penelitian yang akan diteliti terkait
impulsive buying pada konsumen Mirota Kampus.
3. Faktor-faktor Impulsive Buying
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan Kunto (2013)
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi impulsive buying terhadap sebuah
department store, yaitu:
a. Promosi
Adalah usaha perusahaan untuk mempengaruhi calon pembeli melalui pemakaian
segala unsur atau bauran pemasaran.
b. Store Atmosphere (suasana toko),
Adalah suasan terencana yang sesuai dengan pasar sasarannya dan yang dapat
menarik konsumen untuk membeli.
c. shopping emotion
Emosi merupakan suatu perasaan yang tidak dapat dikontrol namun dapat
mempengaruhi perilaku atau kebiasaan seseorang.
Verplanken dan Herabadi (2001) menyebutkan beberapa faktor yang dapat
memicu pembelian impulsif. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. lingkungan pemasaran (tampilan dan penawaran produk).
b. variabel situasional (ketersediaan waktu dan uang).
c. variabel personal (mood, identitras diri, kepribadian, dan pengalaman pendidikan).
20
Dapat disimpulkan faktor-faktor impulsive buying yaitu: promotion, store
atmosphere, shopping emotion, lingkungan pemasaran, variabel situasiona, dan
variabel personal. Dari faktor-faktor diatas peneliti menggunakan teori menurut
Kurniawan & Kunto (2013) karena sejalan dengan penelitian peneliti dimana faktor
yang akan dijabarkan yaitu mengenai store atmosphere. Store Atmosphere dari
sebuah tempat atau lokasi merupakan faktor yang berpengaruh penting terhadap
keseluruhan pengalaman yang didapatkan dari lokasi yang bersangkutan. Store
Atmosphere (suasana toko) adalah suasan terencana yang sesuai dengan pasar
sasarannya dan yang dapat menarik konsumen untuk membeli (Kotler 2005). Store
atmosphere mempengaruhi keadaan emosi pembeli yang menyebabkan atau
mempengaruhi pembelian. Keadaan emosional akan membuat dua perasaan yang
dominan yaitu perasaan senang dan membangkitkan keinginan konsumen. Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriono (2018) yang berjudul pengaruh
store atmosphere terhadap impulse buying (studi pada Konsumen mall di kota
malang) di peroleh hasil bahwa store atmosphere berpengaruh signifikan terhadap
impulse buying dimana semakin positif store atmosphere maka akan semakin tinggi
impulse buying
.
B. Persepsi Store Atmosphere
1. Definisi Persepsi Store Atmosphere
Menurut Fahmi (2016) secara sederhana persepsi adalah reaksi yang timbul
dari suatu rangsangan terhadap suatu objek, yang lebih jauh bereaksi pada
keputusan. Rangsangan atau stimulus setiap orang dalam melihat setiap objek bisa
21
berbeda-beda. Perbedaan yang berbeda-beda tersebut melahirkan beragam persepsi.
Setiap persepsi yang dimiliki setiap orang bisa menjadi sangat subjektif dan itu
dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Kondisi dan situasi di mana seseorang berada
membentuk dan mempengaruhi pola fikir yang dimiliki oleh orang tersebut yang
selanjutnya ikut mempengaruhi penilaian dirinya dalam melihat setiap produk.
Persepsi seseorang melalui proses seleksi. Seleksi adalah proses memilih
dan menentukan marketing stimuli karena setiap individu adalah unik dalam
kebutuhan, keinginan, pengalaman, sikap dan karakter pribadi masing-masing
(Yuniarti, 2015). Berman dan Evans (1992) store atmosphere didefinisikan sebagai
perasaan atau kejiwaan seseorang pada saat memasuki toko. Calon konsumen sudah
mempunyai bayangan tentang suatu toko sebelum masuk mencari barang dan
mengetahui harganya, konsumen akan betah dalam toko atau cepat keluar lagi.
Menurut Mowen dan Minor (2002) store atmosphere merupakan unsur senjata lain
yang dimiliki toko. Setiap toko mempunyai tata letak fisik yang memudahkan atau
menyulitkan pembeli untuk berputar-putar didalamnya. Setiap toko mempunyai
penampilan. Toko harus membentuk suasana terencana yang sesuai dengan pasar
sasarannya dan yang dapat menarik konsumen untuk membeli. Penampilan toko
memposisikan toko dalam benak konsumen. Levy and Weitz (2001)
mengemukakan bahwa store atmosphere (suasana toko) merupakan penciptaan
suasana toko melalui visual, penataan, cahaya, musik dan aroma yang dapat
menciptakan lingkungan pembelian yang nyaman sehingga dapat mempengaruhi
persepsi dan emosi konsumen untuk melakukan pembelian.
22
Berdasarkan definisi-definisi di atas penulis menyimpulkan persepsi store
atmosphere merupakan reaksi yang timbul dari suatu rangsangan terhadap suatu
objek, yang lebih jauh bereaksi pada suatu keputusan, perasaan atau kejiwaan
seseorang pada saat memasuki toko. Setiap toko mempunyai tata letak fisik yang
memudahkan atau menyulitkan pembeli untuk berputar-putar didalamnya. Store
atmosphere sangat penting dalam suatu bisnis sebab hal ini berperan dalam
penciptaan suasana yang nyaman bagi konsumen dan membuat konsumen ingin
berlama-lama berada di dalam toko dan secara tidak langsung merangsang
konsumen untuk melakukan pembelian.
2. Elemen-elemen Store Atmosphere
Berman dan Evan (1992) mengemukakan store atmosphere (suasana toko)
terdiri dari empat elemen sebagai berikut:
a. General exterior
Yaitu bagian luar toko, karakteristik exterior mempunyai pengaruh yang kuat
pada toko sehingga harus direncanakan sebaik mungkin. Kombinasi dari exterior
ini dapat membuat bagian luar toko menjadi terlihat unik, menarik, menonjol dan
mengundang orang untuk masuk ke dalam toko, elemen-elemen exterior ini:
1) Store front (Bagian Depan Toko)
2) Marque (Simbol)
3) Entrance (Pintu Masuk)
4) Display Window (Tampilan Jendela)
5) Height and Size Building (Tinggi dan Ukuran Gedung)
1) Uniqueness (Keunikan)
23
2) Surrounding Area (Lingkungan Sekitar)
3) Parking (Tempat Parkir)
b. General interior
Yaitu bagian dalam toko, elemen penataan general interior penting karena posisi
inilah biasanya pengambilan keputusan untuk membeli diambil sehingga akan
mempengaruhi jumlah penjualan. Penataan yang baik yaitu yang dapat menarik
perhatian Konsumen dan membantu mereka agar mudah mengamati, memeriksa,
dan memilih barang-barang itu dan akhirnya melakukan pembelian. Ketika
konsumen masuk ke dalam toko, ada banyak hal yang akan mempengaruhi persepsi
mereka pada toko tersebut. general interior terdiri dari:
1) Flooring (Lantai)
2) Color and Lightening (Warna dan Pencahayaan)
3) Scent and Sound (Aroma dan Musik)
4) Fixture (Penempatan)
5) Wall Texture (Tekstur Tembok)
6) Temperature (Suhu Udara)
7) Width of Aisles (Lebar Gang)
8) Dead Area
9) Personel (Pramusaji)
10) Service Level (Tingkat Pelayanan)
11) Price (Harga)
12) Cash Refister (Kasir)
13) Technology Modernization (Teknologi)
24
14) Cleanliness (Kebersihan)
c. Store Layout (penataan toko)
Yaitu penataan toko, store layout adalah salah satu elemen penting yang ada
dalam faktor suasana toko, karena dengan melakukan store layout yang benar,
seorang pengusaha ritel mendapatkan perilaku konsumen yang diharapkan. Layout
toko mengundang masuk atau menyebabkan pelanggan menjauhi toko tersebut
ketika konsumen melihat bagian dalam toko melalui jendela atau pintu masuk.
Penataan toko yang baik akan mampu mengundang konsumen untuk betah
berkeliling lebih lama dan membelanjakan uangnya lebih banyak. Oleh karena itu
seorang pengusaha ritel harus dapat melakukan penataan toko dengan baik dan
benar supaya tujuan konsumen tercapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
merancang layout adalah sebagai berikut: Allocation of floor space for selling,
personel, and customers. Dalam suatu toko, ruangan yang ada harus dialokasikan
untuk:
1) Selling space (Ruangan Penjualan) Ruangan untuk menempatkan dan tempat
berinteraksi antara konsumen dan pramusaji
2) Personel Space (Ruangan Pegawai) Ruangan yang disediakan untuk memenuhi
kebutuhan pramusaji seperti tempat beristirahat atau makan
3) Customers Space (Ruangan Pelanggan) Ruangan yang disediakan untuk
meningkatkan kenyamanan konsumen seperti toilet, ruang tunggu.
d. Interior (Point of Purchase) Display
Yaitu penyedia informasi pada pelanggan, setiap jenis point of purchase display
menyediakan pelanggan informasi, menambah suasana toko dan melayani promosi.
25
Tujuan utamanya adalah meningkatkan penjualan dan laba toko tersebut banyak.
Oleh karena itu seorang pengusaha ritel harus dapat melakukan penataan toko
dengan baik dan benar, supaya tujuan konsumen tercapai. Interior point of interest
display terdiri dari:
1) Theme Setting Display (Dekorasi Sesuai Tema)
Dalam suatu musim tertentu retailer dapat mendesain dekorasi toko atau
meminta pramusaji berpakaian sesuai tema tertentu.
2) Wall Decoration (Dekorasi ruangan) Dekorasi ruangan pada tembok bisa
merupakan kombinasi dari gambar atau poster yang ditempel, warna tembok,
dan sebagainya yang dapat meningkatkan suasana toko.
Menurut Mowen dan Minor (2002), store atmosphere terdiri dari beberapa
elemen sebagai berikut:
a. Layout
Tata ruang toko (layout) dirancang untuk memudahkan gerak pelanggan,
membantu para retailer dalam menyajikan barang dagangan mereka, dan mampu
menciptakan suasana khusus. Tata ruang toko dapat mempengaruhi reaksi
konsumen dan perilaku pembelian. Misalnya, penempatan lorong-lorong
mempengaruhi lalu lintas. Lokasi item-item dan departemen relatif terhadap arus
lalu lintas dapat secara dramatis mempengaruhi penjualan.
b. Musik
Musik adalah salah satu dimensi dari servicescape, yang merupakan penentu
utama dari evaluasi layanan. Hal ini menunjukkan bahwa respon afektif konsumen
terhadap lingkungan pelayanan adalah mediator utama antara musik dan layanan
26
evaluasi. Dengan kata lain, musik dapat mempengaruhi keadaan emosional seorang
konsumen selama menunggu, dan karenanya, mengevaluasi pelayanannya.
Berbagai komponen musik seperti ekspresi waktu-terkait, ekspresi lapangan terkait,
dan ekspresi tekstur yang terkait juga diharapkan untuk mempengaruhi kognisi dan
perilaku konsumen.
c. Aroma
Menurut Mowen dan Minor (2002) para pembelanja lebih sering kembali ke
toko-toko yang diberi wewangian dan menganggap barang-barang yang di jual pada
toko tersebut mempunyai kualitas yang lebih baik daripada barang-barang yang
dijual di toko yang tidak diberi wewangian. Intensitas dan sifat wewangian yang
rupanya berpengaruh selama ini tidak melanggar atau berlebihan. Akan tetapi, para
manajer harus menjamin bahwa wewangian itu khas dan sama dengan tawaran
produk.
d. Tekstur
Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, yang
sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa, sebagai
usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan karya seni rupa secara nyata
ataupun semu. Dengan pengolahan tekstur atau bahan yang baik, maka tata ruang
luarnya akan menghasilkan kesan dan kualitas ruang yang lebih menarik dan
mampu mempengaruhi Konsumen yang berkunjung dan melakukan pembelian.
e. Desain bangunan
Menurut Mowen dan Minor (2002) desain bangunan dan desain koridor lalu
lintas di perkotaan, mal, dan toko-toko secara langsung mempengaruhi pergerakan
27
konsumen tanpa perilakunya terlebih dahulu dipengaruhi oleh keyakinan atau
perasaan. Berbagai studi lainnya mengemukakan bahwa suasana bangunan
mempengaruhi penghuninya. Menambah jumlah jendela dan membiarkan lebih
banyak sinar matahari masuk, meningkatkan keadaan suasana hati konsumen.
desain bangunan (eksterior) meliputi keseluruhan bangunan fisik yang bisa dilihat
dari bentuk.
Dapat disimpulkan elemen-elemen store atmosphere terdiri dari general
exterior, general interior, store layout (penataan toko), interior (Point of Purchase)
display, layout, musik, aroma, tekstur, dan desain bangunan. Dari elemen-elemen
store atmosphere diatas peneiti memilih elemen-elemen dari Berman and Evan
(1992) yaitu: general exterior, general interior, store layout (penataan toko),
interior (Point of Purchase) display karena sejalan dengan penelitian dan elemen-
elemen yang dibuat lebih detail sehingga memudahkan peneliti dalam pembuatan
instrumen pengumpulan data.
C. Hubungan Persepsi Store Atmosphere dengan Impulsive Buying
Verplanken dan Herabadi (2001) mendefinisikan impulsive buying sebagai
pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan
tidak direncanakan, diikuti oleh adanya konflik fikiran dan dorongan emosional.
Verplanken dan Herabadi (2001) mengemukakan dua aspek pembelian impulsive
buying, yakni aspek kognitif dan aspek afektif. Kedua Aspek ini merupakan aspek-
aspek yang dialami oleh pembeli sehingga menciptakan suatu perilaku impulsive
buying (Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009) dimana elemen-elemen
28
kognitif ini fokus pada konflik yang terjadi pada kognitif individu. Aspek kognitif
yang dimaksudkan adalah kekurangan pada unsur pertimbangan dan unsur
perencanaan dalam pembelian yang dilakukan. Hal ini didasari oleh pernyataan
Verplanken dan Herabadi (2001) bahwa aspek kognitif kurang mampu
mempertimbangkan dan merencanakan sesuatu ketika melakukan pembelian.
Menurut Herabadi, Verplanken dan Knippenberg (2009) pembelian terfokus pada
harga dari suatu produk dan keuntungan yang diperoleh ketika membeli produk
tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Verplanken dan Herabadi (2001) bahwa
pembayaran yang dilakukan mungkin tidak direncanakan atau dipertimbangkan
dengan matang untuk berbagai macam alasan, misalnya ketika pembayaran tak
terencana tampak tak direncanakan dalam waktu yang panjang atau dalam kasus
pengulangan pembayaran atau kebiasaan pembayaran.
Peranan impulsive buying konsumen memberikan kontribusi bagi kinerja
pendapatan toko-toko ritel dewasa ini, dan menjadi topik bahasan penting pada
banyak penelitian selama beberapa dekade terakhir, sebagai contoh pada penelitian-
penelitian berikut: Virvilaite, Saladiene, dan Bagdonaite (2009); Sharma,
Sivakumaran, dan Marshall (2006); Hausman (2000); Shoham dan Brencic (2000);
Beay dan Ferrell (1998); Rook dan Fisher (1995); Rook (1987); Bellenger,
Robertson dan Hirschman (1978); Cobb dan Hoyer (1986); Stern (1962) (dalam
Bong, 2011). Faktor yang dapat mempengaruhi impulse buying terhadap sebuah
department store adalah store atmosphere, store atmosphere (suasana toko) adalah
suasan terencana yang sesuai dengan pasar sasarannya dan yang dapat menarik
konsumen untuk membeli (Kotler 2005). Store atmosphere mempengaruhi
29
keadaan emosi pembeli yang menyebabkan atau mempengaruhi pembelian.
Keadaan emosional akan membuat dua perasaan yang dominan yaitu perasaan
senang dan membangkitkan keinginan konsumen. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Supriono (2018) yang berjudul pengaruh store atmosphere terhadap
impulse buying (studi pada Konsumen mall di kota malang) di peroleh hasil bahwa
store atmosphere berpengaruh signifikan terhadap impulse buying dimana semakin
positif store atmosphere maka akan semakin tinggi impulse buying. Store
atmosphere atau suasana toko itu sendiri merupakan salah satu stimulus dalam toko
(Greenland, Mcgoldrick, dalam bong, 2011). Suasana adalah suatu kondisi
kenyamanan yang diciptakan oleh manajemen toko yang ditujukan untuk pelanggan
sebagai bagian kualitas layanan, suasana toko yang dibentuk dengan tujuan agar
dapat menciptakan perasaan nyaman bagi konsumen selama berada di toko antara
lain dengan mengatur general exterior (bagian luar toko), general interior (bagian
dalam toko), store layout (penataan toko), dan interior (point of purchase) display
(Berman & Evan, 1992) konsumen yang merasa nyaman akan melihat-lihat barang
yang ada di toko sehingga memungkinkan konsumen untuk membeli barang-barang
yang lain di luar yang direncanakan (Kurniawan & Kunto, 2013).
Menurut Berman dan Evan (1992) terdapat empat aspek dari store
atmosphere yaitu general exterior (bagian luar toko), general interior (bagian
dalam toko), store layout (penataan toko), dan interior (point of purchase) display.
Aspek general exterior, merupakan store atmosphere yang berhubungan dengan
penilaian konsumen terhadap suatu toko. Menurut Berman dan Evan (1992)
exterior adalah bagian luar toko yang merupakan kombinasi dari store front (bagian
30
depan toko) marque (simbol), entrance (pintu masuk), display window (tampilan
jendela), height and size building (tinggi dan ukuran gedung), uniqueness
(keunikan), surrounding area (lingkungan sekitar), dan parking (tempat parkir).
Menurut Paramitha, Lestari, dan Mahadian (2015) Ketatnya persaingan di dunia
bisnis ritel membuat para pelaku bisnis harus memunculkan perbedaan dan
keunikan pada gerai atau outletnya untuk meningkatkan penjualan serta menjaga
loyalitas konsumen sehingga akhirnya konsumen melakukan pembelian pada ritel
tersebut. Minat beli diperoleh dari suatu proses belajar dan proses pemikiran yang
terbentuk dari suatu persepsi, namun persepsi yang dimiliki seorang konsumen
belum tentu akan mendorong konsumen tersebut untuk melakukan pembelian
(Paramitha, Lestari, & Mahadian, 2015). Menurut Hadiati (2014) persepsi
konsumen yang positif terhadap exterior suatu gerai membuat konsumen akan
menilai toko dari bagian depan toko yang mencerminkan kemantapan dan
kekokohan spirit perusahaan dan sifat kegiatan yang ada di dalamnya, serta dapat
menciptakan kepercayaan dan goodwill bagi konsumen yang termasuk bagian dari
exterior adalah bangunan luar, papan nama toko, pintu masuk, luas bangunan,
desain toko, fasilitas parkir, halaman toko, dan keamanan kendaraan. Dengan kata
lain store atmosphere bisa mempengaruhi perasaan atau mood dari para konsumen
yang berkunjung ke toko milik perusahaan sehingga mempengaruhi impulsive
buying konsumen untuk melakukan pembelian di suatu gerai (Hadiati, 2014).
Produsen harus jeli dalam melihat peluang pasar serta keinginan dan kebutuhan
pelanggan agar mampu memberikan nilai positif pada pelanggan sehingga tidak
beralih pada kompetitor (Putri, Kumadji, & Kusumawati, 2014). Menurut Putri,
31
Kumadji, dan Kusumawati (2014) konsumen yang memandang eksterior toko
negatif akan menghambat konsumen untuk memasuki toko dimana kesan yang
diperoleh akan berdampak pada keputusan pembelian konsumen dimana konsumen
akan tidak percaya pada suatu toko sehingga tidak terjadinya pembelian oleh
konsumen. Hasil respon sensor atas eksterior yang negatif yaitu penolakan untuk
berbelanja pada toko yang bersangkutan, sehingga akan merugikan perusahaan
(Donovan dkk, dalam Fuad & Hadiati, 2014)
General interior adalah bagian dalam toko yang merupakan kombinasi dari
flooring (lantai), color and lightening (warna dan pencahayaan), scent and sound
(aroma dan musik), fixture (penempatan), wall texture (tekstur tembok),
temperature (suhu udara), width of aisles (lebar gang), dead area, personel
(pramusaji), service level (tingkat pelayanan), price (harga), cash refister (kasir),
technology modernization (teknologi), dan cleanliness (kebersihan) (Berman &
Evan, 1992). Menurut Berman dan Evan (1992) Yang paling utama yang dapat
membuat penjualan setelah pembeli berada di toko adalah display. general interior
dari suatu toko harus dirancang untuk memaksimalkan visual merchandising,
display yang baik yaitu yang dapat menarik perhatian konsumen dan membantu
konsumen agar mudah mengamat, memeriksa, dan memilih barang dan akhirnya
melakukan pembelian. Menurut Putri, Kumadji, dan Kusumawati (2014) general
interior dari store atmosphere yang ditawarkan produsen jika dipersepsikan dengan
positif oleh konsumen akan memperoleh peluang besar bagi tempat yang
dikunjungi dan membuat konsumen tertarik di mana merupakan salah satu tujuan
awal suatu gerai, selanjutnya untuk mendorong hasrat konsumen untuk melakukan
32
pembelian sehingga mempengaruhi impulsive buying dalam suatu gerai. karena
adanya ransangan yang menarik dari toko sehingga konsumen melihat produk atau
merk tertentu, kemudian konsumen menjadi tertarik untuk mendapatkannya (Utami
dalam Kosyu, Hidayat & Abdillah, 2014). Rook, dkk (dalam Aprilia, 2014)
menemukan bahwa konsumen dengan suasanan hati positif lebih memungkinkan
untuk melakukan impulsive buying dibandingkan konsumen yang memiliki suasana
hati negatif. Suasana negatif di mana konsumen akan merasa tidak nyaman berada
di toko sehingga konsumen memutuskan untuk menjauh dari suatu gerai atau toko
sehingga tidak terjadinya impulsive buying pada konsumen (Verplanken &
Herabadi, 2001).
Store layout adalah tata ruang toko yang merupakan kombinasi dari selling
space (ruangan penjualan), personel space (ruangan pegawai), dan customers space
(ruangan pelanggan) (Berman & Evan, 1992). Menurut Berman dan Evan (1992)
perusahaan harus mempunyai rencana dalam penentuan lokasi dan fasilitas toko di
samping itu perusahaan juga harus memanfaatkan ruangan toko yang ada seefektif
mungkin. Melihat kondisi persaingan yang semakin ketat, setiap bisnis ritel modern
perlu meningkatkan kekuatan yang ada dalam perusahaannya dengan cara
memunculkan perbedaan atau keunikan yang dimiliki perusahaan dibandingkan
dengan pesaing untuk dapat menarik minat beli konsumen (Dessyana, 2013).
Menurut Fuad dan Hadiati (2014) Strategi store layout akan memposisikan sebuah
toko tidak hanya sebagai tujuan berbelanja melainkan juga sebagai tujuan
refreshing. Saat konsumen merasa nyaman yang dipersepsikan positif store layout
maka konsumen betah berlama-lama di dalam toko, dan memperbesar peluang
33
bahwa pihak konsumen akan melakukan pembelian lebih banyak sehingga
terjadinya impulsive buying, dinyatakan dapat menciptakan rasa nyaman serta citra
yang baik dimana dapat memuaskan psikologis konsumen (Yoopark, Macinnis,
dalam Fuad & Hadiati, 2014). Jumlah, variasi, dan keindahan produk-produk
pajangan adalah bagian dari stimuli untuk menciptakan rasa ingin tahu para
konsumen agar dapat menyentuh, menyelidiki, melakukan observasi lebih lanjut,
dan akhirnya memutuskan membeli yang mana tidak direncanakan sebelumnya
(Dimar, dalam bong, 2011). Menurut Utami, dalam Rosyida dan Anjarwati (2016)
salah satu penyebab impulsive buying yaitu stimulus dari tempat belanja yang
mengacu pada rangsangan suasana lingkungan toko yang sengaja dibuat oleh
perusahaan sehingga menciptakan daya tarik toko. Bila kecenderungan yang
dominan adalah meninggalkan toko, maka kenaikan gairah akan meningkatkan
keinginan untuk keluar yang telah dipersepsikan negatif oleh konsumen
sebelumnya, dan akhirnya akan merugikan perusahaan (Mowen & Minor, 2002).
Interior (point of purchase) display adalah dekorasi pemikat dalam toko
yang mempunyai dua tujuan, yaitu memberikan informasi kepada konsumen dan
menambah suasana toko, dimana apabila interior (point of purchase) display
dirancang dengan benar oleh perusahaan hal ini dapat meningkatkan penjualan dan
laba toko (Berman & Evan, 1992). Menurut Septila dan Aprilia (2017) Perilaku
membeli tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk
memenuhi hasrat dan konsep diri serta tuntutan gaya hidup. Menurut Verplanken
dan Herabadi (2001) Konsumen yang memandang positif terhadap penyediaan
pelanggan informasi akan memiliki persepsi positif terhadap suasana toko di mana
34
akan mempengaruhi impulsive buying. Contohnya, secara tiba-tiba muncul
perasaan atau hasrat untuk melakukan pembelian berdasarkan keinginan hati, yang
sifatnya berkali-kali atau kompulsif, tidak terkontrol, dan kepuasan pada konsumen
(Verplanken & Herabadi, 2001). Konsumen cenderung melihat penawaran-
penawaran di suatu gerai atau toko sebagai tawaran khusus sehingga tertarik secara
spontan untuk membeli, yang sebelumnya sama sekali tidak direncanakan
(Chevalier, dalam bong 2011). Ukuran gedung yang luas dapat mempengaruhi
point of purchase display dari suasana toko sehingga menciptakan suasana yang
nyaman bagi konsumen (Jones, Dimar, Beatie, Bellenger, dalam bong 2011).
Menurut Fuad dan Hadiati (2014) Konsumen yang mempersepsikan point of
purchase display yang negatif maka tanda-tanda yang digunakan untuk
memberikan informasi kepada konsumen oleh suatu gerai tidak berpengaruh pada
konsumen. Konsumen yang kurang puas dengan point of purchase akan segera
beralih pada gerai lain (Suharyono & Fanani, 2017). Sejalan dengan teori di atas
dan hasil penelitian Supriono (2018) yang berjudul Pengaruh Store Atmosphere
Terhadap Impulse Buying (studi pada pengunjung mall di kota malang) di peroleh
hasil bahwa store atmosphere berpengaruh signifikan terhadap impulse buying.
Hasil ini mendukung penelitian Kurniawan (2013) yang menyatakan bahwa Store
Atmosphere berpengaruh signifikan terhadap Impulse buying. Untuk lebih jelasnya,
hubungan antara persepsi store atmosphere dan impulsive buying dapat dilihat pada
bagan kerangka berfikir di bawah ini:
35
Bagan Kerangka Berfkir
Store Atmosphere
Exterior
Kognitif
Afektif
kurang mampu
mempertimbangkan dan
merencanakan sesuatu ketika
melakukan pembelian
terfokus pada harga dari suatu
produk dan keuntungan yang
diperoleh ketika membeli produk
tersebut.
pembayaran yang dilakukan tidak
direncanakan atau
dipertimbangkan dengan matang
meliputi dorongan emosional yang
secara serentak meliputi perasaan
senang dan gembira setelah
membeli tanpa perencanaan
secara tiba-tiba muncul perasaan
atau hasrat untuk melakukan
pembelian
hasrat untuk melakukan pembelian
berdasarkan keinginan hati, yang
sifatnya berkali-kali atau
kompulsif, tidak terkontrol,
kepuasan, kecewa, dan penyesalan
karena telah membelanjakan uang
hanya untuk memenuhi
keinginannya.
General
Interior
Store
Layout
(penataan
toko)
Interior
(Point of
Purchase )
Display
Impulsive Buying
36
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritis di atas, adapun hipotesis dalam penelitian ini
adalah terdapat hubungan positif antara persepsi store atmosphere dan impulsive
buying pada Konsumen Mirota Kampus. Semakin positif persepsi store atmosphere
maka akan semakin tinggi pula impulsive buying pada Konsumen Mirota Kampus,
sebaliknya semakin negatif persepsi store atmosphere maka akan semakin rendah
impulsive buying pada Konsumen Mirota Kampus.