BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. - Setia Budirepository.setiabudi.ac.id/3469/1/BAB II.pdf · sel-sel...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. - Setia Budirepository.setiabudi.ac.id/3469/1/BAB II.pdf · sel-sel...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Talasemia
1. Pengertian Talasemia
Talasemia adalah kelompok penyakit keturunan sebagai akibat dari
ketidakseimbangan sintesis salah satu dari keempat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin. Talasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum
tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin.
Hemoglobin merupakan protein yang kaya zat besi yang berada di dalam sel darah
merah dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai energi (Herdata, 2009).
Pengobatan utama penyakit ini ialah pemberian tranfusi darah dengan
mempertahankan hemoglobin di atas 10 g/dl, tetapi jumlah zat besi yang
tertimbun dalam organ-organ tubuhnya akibat tranfusi, menjadi salah satu
penyebab kematian. Penimbunan zat besi dalam organ-organ tubuh seperti hati,
jantung, kelenjar endokrin dan lain-lain, menyebabkan gangguan fungsi organ
tersebut. Tranfusi yang berulang-ulang inilah sebenarnya yang menimbulkan
banyak komplikasi dalam penanganan penderita talasemia. Kadar besi darah
(ferritin) terus meningkat bila tidak diberikan obat kelasi untuk mengeluarkan besi
dari tubuh. Penimbunan besi dalam hati mengganggu fungsi hati, demikian pula
dalam pankreas menimbulkan gejala diabetes. Dalam kelenjar endokrin,
penimbunan besi mengganggu pertumbuhan atau perkembangan seksualnya
(Herdata, 2009).
2. Penggolongan Talasemia
Talasemia digolongkan menjadi dua berdasarkan rantai asam amino yang
mengalami kerusakan yaitu alfa talasemia (melibatkan rantai alfa) paling sering
ditemukan pada orang kulit hitam dan beta talasemia (melibatkan rantai beta)
sering ditemukan pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara (Tamam,
2009). Talasemia berdasarkan rantai asam amino digolongkan menjadi talasemia
mayor dan talasemia minor.
7
2.1 Talasemia Mayor. Talasemia mayor merupakan penyakit yang
ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita
kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut,
sel-sel darah merah menjadi cepat rusak dan umurnya sangat pendek sehingga
pasien memerlukan tranfusi darah untuk memperpanjang hidupnya (Tamam,
2009).
2.2 Talasemia Minor. Individu hanya membawa gen penyakit talasemia,
namun individu hidup normal, tanda-tanda penyakit halasemia tidak muncul
talasemia minor akan bermasalah, bila ia menikah dengan talasemia minor juga
akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak menderita talasemia mayor.
Penderita talasemia minor menunjukan gejala anak menjadi anemia, lemas, loyo
dan sering mengalami pendarahan. Talasemia minor sudah ada sejak lahir dan tapi
tidak memerlukan tranfusi darah di sepanjang hidupnya (Dewi, 2009).
3. Gejala Talasemia
Talasemia berbagai jenis memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya
bervariasi. Penderita talasemia sebagian besar mengalami anemia yang ringan.
Gejala yang lebih berat pada penderita beta-talasemia mayor yaitu sakit kuning
(jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran
limpa. Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan
pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang
menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita talasemia tumbuh
lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya
yang normal. Penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani tranfusi,
maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang
pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung. Pemeriksaan darah digunakan
untuk memastikan seseorang mengalami talasemia atau tidak, dilakukan dengan
pemeriksaan darah. Gejala talasemia dapat dilihat pada banyak anak usia 3 bulan
hingga 18 bulan. Penderita halasemia mayor apabila tidak dirawat dengan baik
umur hidupnya hanya 8 tahun saja. Satu-satunya perawatan dengan tranfusi darah
seumur hidup. Tranfusi darah apabila tidak dilaksanakan seumur hidup penderita
akan lemas, lalu meninggal (Tamam, 2009).
8
Pengobatan pada talasemia berat diperlukan tranfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani tranfusi, harus
menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya
sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan.
Penderita talasemia yang berat mungkin diperlukan pencangkokan sumsum
tulang, terapi genetik masih dalam tahap penelitian (Permono, 2006).
4. Pencegahan Talasemia
Penderita dan keluarga dengan riwayat talasemia perlu dilakukan
penyuluhan genetik untuk menentukan resiko memiliki anak yang menderita
talasemia. Pasien talasemia yang mendapat pengobatan secara baik dapat
menjalankan hidup layaknya orang normal di tengah masyarakat. Penumpukan zat
besi di dalam tubuh bisa dikeluarkan dengan bantuan obat, melalui urine. Penyakit
talasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan, jika suami atau
istri merupakan pembawa sifat (carrier) talasemia, maka anak mereka memiliki
kemungkinan sebesar 25 % untuk menderita talasemia. Penderita talasemia laki-
laki apabila istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di
laboratorium untuk memastikan apakah janinnya mengidap talasemia atau tidak
(Permono, 2006).
5. Pengobatan Talasemia
Obat yang digunakan untuk mengurangi penimbunan besi adalah
deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian obat usia anak 3 tahun
melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral. Penimbunan zat besi pada
jaringan menyebabkan terjadinya hemosiderosis (Priyantiningsih, 2010).
Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena dalam 1 liter
darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut menambah jumlah zat
besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma terikat pada tranferin,
kemampuan transferin mengikat zat besi sangat terbatas sehingga apabila terjadi
kelebihan zat besi maka seluruh transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi
dalam yang plasma berada dalam bentuk tidak terikat atau NTBI (non-transferrin
bound plasma iron) yang dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas
hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran invitro. Kelebihan zat besi
terbanyak terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di
9
jantung karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal
jantung yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi dihati
yang berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati (Priyantiningsih, 2010).
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari penimbunan zat
besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar ferritin
serum > 1000 μg/L. Penderita talasemia lebih beresiko terkena hemokromatosis
sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati (Herdata, 2009).
B. Ferritin
1. Definisi Ferritin
Ferritin adalah protein berbentuk globular dan mempunyai dua lapisan
dengan diameter luarnya berukuran 12 nm dan diameter dalamnya berukuran 8
nm. Besi tersimpan di dalam protein ferritin tersebut. Protein melepas zat besi dari
cadangan di jaringan sesuai kebutuhan dan akan menyimpan kelebihan zat besi
untuk mencegah efek kerusakan akibat zat besi yang berlebihan (Supariasa, 2001).
Kadar ferritin normal 30-300 ng/mL untuk pria dan 15-200 ng/mL, dan
wanita dewasa adalah 30 ug/L. Kadar ferritin yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hemokromatosis sedangkan kadar ferritin yang terlalu
rendah dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi. Kadar ferritin serum
berguna dalam mengevaluasi simpanan total zat besi dalam tubuh. Pemeriksaan
feritrin ini juga dapat mendeteksi dini defisiensi anemia zat besi dan anemia
akibat penyakit kronis yang menyerupai defisiensi zat besi (Sapariasa, 2001).
2. Serum Ferritin
Serum ferritin merupakan cadangan besi di dalam tubuh. Pemeriksaan
kadar ferritin dilakukan sebagai diagnosis defisiensi besi. Untuk penilaian status
zat besi dalam hati perlu mengukur kadar ferritin. Banyaknya ferritin yang
dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya
simpanan zat besi di dalam hati. Metode yang digunakan untuk menentukan kadar
ferritin dalam darah dengan immunoradiometric assay, radio immuno assay atau
enzyme-binked immuno assay yang tidak menggunakan isotop tetapi enzim
(Saparisa, 2001).
10
Manfaat dari pemeriksaan yaitu untuk memantau perkembangan defisiensi
besi pada kondisi anemia, mendiagnosis hipokromik dan anemia mikrositik dan
mendeteksi kelebihan besi. Pemeriksaan kadar ferritin dapat dilakukan dengan
metode Immunochemiluminescent dengan persayaratan sampel volume 300-500
uL sampel serum atau plasma. Penyimpanan sampel pada suhu 2-8 ºC untuk
waktu 7 hari dan –20 ºC untuk waktu 2 minggu. Untuk pemeriksaan ferritin dalam
laboratorium dilakukan sentrifus sampel yang keruh atau mengandung endapan
sebelum diperiksa dengan kecepatan 10.000 g selama 10 menit (Saparisa, 2010).
3. Pemeriksaan ferritin dengan metode Elisa
Elisa (Enzyme-linked immunosorbent assay) atau nama lainnya (EIA)
enzyme immunoassay merupakan teknik biokimia yang banyak digunakan di
bidang imunologi untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen pada suatu
sampel. Metode Elisa bisa digunakan untuk melabel suatu antigen atau
mengetahui antibody dalam tubuh (Alan, 2006). Fungsi dari test Elisa yaitu untuk
mengetahui keberadaan suatu antigen dengan antibodi dan untuk mengukur kadar
antigen atau antibodi dengan menggunakan alat spektrofotometer. Kompleks
antigen-antibodi yang terjadi pada well microplate dan setelah pemberian substrat,
enzim yang terikat pada antibodi ke dua pada kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk akan memberikan perubahan warna pada cairan tersebut, sehingga akan
memberikan optical density (OD) yang berbeda. OD dapat dinyatakan meningkat
atau menurun berdasarkan pengenceran material standart, sehingga akan
menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan untuk
mengestimasi kadar protein tersebut (Alan, 2006).
C. Darah
1. Definisi Darah
Darah adalah cairan tubuh pada manusia dan hewan lainnya yang
mengangkut senyawa penting seperti nutrisi dan oksigen ke dalam sel dan
mentranster produk buangan metabolik dari sel. Bagian intraseluler adalah cairan
yang disebut plasma dan di dalamnya terdapat unsur padat yaitu sel darah.
Volume darah secara keseluruhan kira kira merupakan 1/12 berat badan. Darah
11
terdiri atas 55% adalah cairan, sedangkan 45% sisanya terdiri atas sel darah.
Volume darah pada manusia adalah berkisar 70-1000 ml/kg berat badan. Darah
digunakan sebagai bahan-bahan pemeriksaan hematologis dan pemeriksaan-
pemeriksaan lain (Evelyn, 2004).
Bahan pemeriksaan dari darah biasanya berupa serum atau plasma. Serum
di dalamnya tidak terdapat fibrinogen atau dapat dikatakan bahwa serum adalah
plasma dikurangi fibrinogen. Serum adalah komponen bukan berupa sel darah,
juga bukan faktor koagulasi. Bahan-bahan yang masih terdapat dalam serum
adalah elektrolit (seperti K; Na; Cl), kreatinin dan ureum. Sedangkan plasma
didapat dengan cara menambahkan antikoagulan ke dalam darah, sehingga di
dalamnya masih terdapat fibrinogen. Plasma darah adalah cairan berwarna kuning
yang dalam reaksi bersifat sedikit alkali. Fungsi plasma sebagai medium
(perantara) untuk penyaluran makanan, mineral, lemak, glukase dan asam amino
ke jaringan. Fungsi lainya sebagai medium untuk mengangkat bahan buangan
urea, asam urat dan karbon dioksida (Evelyn, 2004).
2. Tranfusi Darah
Tranfusi darah adalah proses pemindahan atau pemberian darah dari
seorang (donor) kepada orang lain (resipien). Transfusi bertujuan mengganti darah
yang hilang akibat pendarahan, luka bakar, mengatasi shock dan mempertahankan
daya tahan tubuh terhadap infeksi (Setyadi, 2010). Pelayanan transfusi darah
adalah upaya pelayanan kesehatan meliputi perencanaan, pengarahan, dan
pelestarian pendonor darah, penyediaan darah, pendistribusian darah dan tindakan
medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan (Amiruddin, 2015). Pertimbangan utama dalam transfusi
darah, khususnya yang mengandung eritrosit adalah kecocokan antigen-antibodi
eritrosit. Golongan darah AB secara teoritis merupakan resipien universal, karena
memiliki antigen A dan B dipermukaan eritrositnya sehingga serum darahnya
tidak mengandung antibodi (baik anti-A maupun anti-B). Golongan darah O
secara teoritis merupakan donor universal, karena memiliki antibodi anti-A dan
anti-B (Setyadi, 2010).
12
Crossmatch merupakan pemeriksaan utama yang dilakukan sebelum
tranfusi yaitu memeriksa kecocokan antara darah pasien dan donor sehingga darah
yang diberikan benar-benar bermanfaat bagi kesembuhan pasien (Amiruddin,
2015). Pemeriksaan yang dilakukan sebelum tranfusi bertujuan agar sel-sel darah
yang ditranfusikan di tubuh pasien masih dalam kondisi hidup dan tidak
menimbulkan kerusakan pada sel darah pasien (Setyadi, 2010). Uji crossmatch
penting bukan hanya pada tranfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan
terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (Yuan, 2011).
Tahapan yang dilakukan pada uji crossmatch antara lain identifikasi
contoh darah pasien yang benar, mengecek riwayat pasien, memeriksa golongan
darah pasien, donor darah yang sesuai golongan darah pasien, pemeriksaan
crossmatch, pelabelan yang benar sebelum darah dikeluarkan (Setyadi, 2010).
Fungsi dari crossmacth adalah mengetahui ada tidaknya reaksi antara darah donor
dan pasien sehingga menjamin kecocokan darah yang akan ditranfusikan bagi
pasien. Mendeteksi antibodi yang tidak diharapkan dalam serum pasien yang
dapat mengurangi umur eritrosit donor menghancurkan eritrosit donor, mengecek
akhir setelah uji kecocokan golongan darah ABO (Yuan, 2011).
Golongan darah ABO pasien dan donor jika sesuai, baik mayor maupun
minor tes tidak bereaksi. Golongan darah pasien dan donor berlainan misalnya
donor golongan darah O dan pasien golongan darah A maka pada tes minor akan
terjadi aglutinasi. Mayor crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk
melindungi keselamatan penerima darah dan sebaliknya dilakukan demikian
sehingga complete antibodies maupun incomplete antibodies. Reaksi silang yang
dilakukan hanya pada suhu kamar saja, tidak dapat mengesampingkan aglutinin
rhesus yang hanya bereaksi pada suhu 37 ºC (Yuan, 2011).
D. Histopatologi Hati
1. Fungsi Hati
Hati merupakan organ metabolisme terpenting dalam proses sintesis,
penyimpanan, dan metabolisme. Salah satu fungsi hati adalah detoksifikasi
(menawarkan racun tubuh), sehingga hati sangat mudah menjadi sasaran utama
13
toksikasi. Hati merupakan organ berbentuk baji dengan berat rata-rata 1,5 kg atau
2,5% berat badan dewasa normal. Menurut Price, (1995) hati merupakan organ
plastis lunak yang tercetak oleh struktur sekitarnya dan dapat menerima 1.500 ml
darah per menit, yakni 28% dari output jantung (Diaz, 2006).
Penyakit hati tergolong sebagai salah satu penyakit yang menjadi problem
nasional di Indonesia dan di negara-negara berkembang pada umumnya, bahkan
merupakan permasalahan yang hangat di negara-negara maju. Berdasarkan
laporan dari semua RSUP tipe A dan B di seluruh Indonesia, ternyata penyakit
hepar menempati urutan ketiga setelah penyakit infeksi dan penyakit paru, bahkan
penyakit hepar merupakan penyebab kematian yang tergolong tinggi (Hadi, 1989).
Fungsi hati dibagi ke dalam 2 asinus yang berseberangan. Hepatosit pada
zona satu lebih berhubungan dengan peran RME (Receptor Mediated
Endocytosis) dan sintesa protein. Zona satu berfungsi untuk metabolisme stokrom
P-450. Hepatosit di dalam zona satu lebih rentan terhadap racun, seperti garam
logam (Hayes, 2007). Sel hati bisa menjadi tempat penyimpanan lemak,
karbohidrat, dan protein yang dapat didaur ulang untuk digunakan kembali ketika
terjadi keadaan kekurangan asupan makanan. Beberapa mineral penting seperti
besi, copper, cobalt, dan zink disimpan dihati. Apotransferin merupakan protein
plasma yang paling banyak disekresikan oleh hati yang mempunyai daya afinitas
yang sangat tinggi terhadap ferritin. Hati merupakan organ tubuh yang berkaitan
erat dengan metabolisme nutrisi dan xenobiotik sehingga sering terpapar oleh
beragam senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Hati juga merupakan organ utama
yang terganggu karena hati adalah tempat penyimpanan utama cadangan besi
(Bacon et al., 1999).
2. Hemosiderosis
Tempat penyimpanan zat besi selain di hepatosit adalah otot skelet dan sel
retikulo endotelial. Kelebihan ferritin zat besi akan didepositkan sebagai
hemosiderin (Lawrence, 2011). Kelebihan zat besi terjadi ketika akumulasi besi
melebihi kebutuhan fisiologis yang mengarah ke pengendapan besi berlebih dalam
jaringan (hemosiderosis). Hemosiderosis merupakan masalah utama yang di alami
oleh pasien yang memelukan tranfusi berulang. IO merupakan kondisi dimana
14
jumlah besi yang berlebihan terakumulasi dalam jaringan yang dapat
menyebabkan kerusakan parenkim dan disfungsi organ (Powell et al, 2005).
Keadaan IO adalah keadaan dimana zat besi dalam tubuh total > 5 gram.
Sementara simpanan normal zat besi hanya 3-4 gram. Kelebihan besi terjadi
akibat meningkatnya absorpsi saluran pencernaan. Besi berlebih disimpan dalam
banyak organ (hemosiderosis). Akumulasi ini dapat menyebabkan kerusakan
organ seperti toksisitas hati dan meningkatkan resiko kegagalan hati atau
karsinoma hepatoseluler pada manusia (Messner et al., 2009).
Keadaan penimbunan besi menyebabklan kadar besi dalam darah, saturasi
transferin dan ferritin akan meningkat melampaui transferin binding capacity
(TBC) hingga menyebabkan reaksi radikal bebas yang bersifat toksik. Kelebihan
besi mampu membentuk Reaktif oksigen spesies (ROS) seperti radikal hidroksil
dan radikal bebas superoksida mampu menginisiasi peroksidasi lipid dari
membram sel dan kerusakan oksidatif dari protein (Pietrangelo, 2003).
Senyawa radikal bebas seperti superoksid radikal menyebabkan pelepasan
besi dari ferritin sehingga besi terdapat dalam bentuk ferro. Terdapatnya zat-zat
reduktan seperti superoksid dan hidrogen peroksida, maka besi dalam bentuk
NTBI (non-transferin bound iron) atau besi yang dilepaskan dari ferritin berperan
dalam pembentukan senyawa hidroksil radikal (OH) melalui reaksi Fenton
(Kartoyo et al., 2003).
Penimbunan besi akut atau kronis dapat meningkatkan produksi NO (nitric
oxide). Besi mampu meningkatkan ekspresi nitric oxide synthase (NOS) dalam
hati (Chander et al., 2006). Keadaan stres oxidatif, ROS dapat menstimulus
pengeluaran nitric oxide. Nitric oxide kemudian terdegradasi lebih membentuk
nitrogen reaktif spesies oxida dan dapat merusak sel. Nitric oxide juga
memberikan kontribusi pada disfungsi organ akibat penimbunan besi. Kerusakan
hati oleh besi juga diakibatkan oleh rusaknya enzim ALT (alanine transaminase)
dan AST (aspartate transaminase) dapat menjadi indikator kerusakan hepatosit
mitokondria. Pemberian Ferro sulfat berlebih ini terjadi dibeberapa organ seperti
hati, jantung, dan limpa. Kondisi iron overload salah satunya terdapat pada kasus
penyakit talsemia yang mendapat tranfusi darah,sehingga dapat memicu
kerusakan organ (Chander et al., 2006).
15
3. Tes Fungsi Hati
Tes fungsi hati adalah sekelompok tes darah yang mengukur enzim atau
protein tertentu di dalam darah. Tes fungsi hati digunakan untuk membantu
mendeteksi, menilai dan memantau penyakit atau kerusakan hati. Tes fungsi hati
dilakukan secara berkala atau dilakukan jika memiliki risiko perlukaan hati atau
muncul gejala-gejala tertentu seperti jaundice (ikterus). Amino transferase adalah
sekelompok enzim yang bekerja sebagai katalisator dalam proses pemindahan
gugus amino dari suatu asam alfa amino asam alfa keto Transaminase termasuk
enzim plasma non fungsional dengan tidak melakukan fungsi fisiologik di dalam
darah. Dua macam enzim aminotransferase yang sering digunakan dalam
diagnosis klinik kerusakan sel hati adalah Aspartat Aminotransferase (AST) yang
disebut SGOT (Serum Glutamic Oxaloasetic Transaminase) dan Alanin
Aminotransferase (ALT) yang juga disebut SGPT (Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase ). AST/SGOT adalah enzim yang sebagian besar terdapat dalam
otot jantung dan hati, sebagian ditemukan dalam otot rangka, ginjal dan pancreas.
Pelepasan enzim yang tinggi dalam serum menunjukkan adanya kerusakan
terutama pada jaringan jantung dan hati. ALT/SGPT adalah suatu enzim yang
ditemukan terutama pada sel-sel hepar, efektif dalam mendiagnosa kerusakan
hepatoseluler (Chander et al., 2006).
Tubuh mempunyai multifungsi sehingga tes faal hati beraneka ragam
apabila jaringan hati mengalami kerusakan dapat dilakukan pemeriksaan SGOT
(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic
Transaminase). Enzim SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan atau intergrasi
sel-sel hati. Adanya peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat
kerusakan sel-sel hati, semakin tinggi peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT,
semakin tinggi tingkat kerusakan sel-sel hati. SGOT atau AST harga normalnya
pada laki-laki 5-17 U/L dan perempuan 5-15 U/L. SGOT dalam darah meninggi
biasanya karena ada hemolisis dan pada bayi baru lahir. Kenaikan 10-100 kali
lipat dari normal bila terjadi Infark yang disebabkan oleh otot jantung, hepatitis
yang disebabkan oleh virus, nekrosis yang disebabkan oleh sel hati karena
keracunan dan sirkulasi darah terganggu sehingga dapat terjadi shock atau
hipoksemia. SGPT dalam darah harga normalnya pada laki-laki 5-23 U/L dan
16
perempuan 5-19 U/L. SGPT dalam darah meningkat karena ada hepatitis yang
disebabkan oleh virus, nekrosis sel hati karena keracunan, dan shock atau
hipoksemia (Darmanto, 2001).
4. Kerusakan Hati
Kerusakan pada hati, otot jantung, otak, ginjal dan rangka dideteksi
dengan mengukur kadar SGOT. Penderita radang pankreas, malaria, infus lever
stadium akhir, penyumbatan pada saluran empedu. Kerusakan otot jantung, orang-
orang yang selalu mengkonsumsi obat-obatan seperti antibiotik dan obat TBC,
kadar SGOT yang tinggi, kadar SGPT pada penderita hepatitis. Sirosis adalah
penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal
oleh jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasisi sel hati, yang tidak berkaitan
dengan vaskulatur normal. Nodul-nodul regenerasi ini dapat berukuran kecil
(mikronodular) atau besar (makronodular). Sirosis dapat mengganggu sirkulasi
darah intrahepatik dan pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan kegagalan
fungsi hati secara bertahap (Chander et al., 2006).
5. SGPT
SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) atau AT (aspartat
aminotranferase) merupakan enzim yang terdapat dihati, otot jantung, otak, ginjal
dan otot-otot rangka (Bastiansyah, 2008). Aspartat aminotransferase atau
glutamate oksalo-asetat transferase (SGOT). Reaksi antara asam aspartat dan
asam alfaketoglutamat membentuk AT. Enzim ini banyak digunakan di jantung,
hati, otot rangka, ginjal dan otak. Apabila terjadi kerusakan pada hati, enzim ini
akan masuk ke sirkulasi darah sehingga bahan pemeriksaan dapat berupa serum.
(Kurniawan 2014,). SGPT adalah singkatan dari Serum Glutamik Piruvat
Transaminase, SGPT atau juga dinamakan ALT (Alanin Aminotransferase)
merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk
mendiagnosis destruksi hepatoselular. Enzim ini dalam jumlah yang kecil
dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes
SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan parenkim hati akut.
Pada penyakit kronis nilai SGOT lebih tinggi dari pada nilai SGPT. Nilai SGPT
normal pada hewan uji tikus adalah 17,5-35 U/L (Raymond, 2008).
17
6. Tes Darah
Jenis yang paling umum dari tes laboratorium untuk penyakit hati adalah
tes darah dan akan menjadi salah satu tes pertama yang dianjurkan oleh dokter
Anda. Tes ini dapat mengungkapkan hal berikut jumlah darah. Jumlah darah Anda
mungkin menunjukkan penurunan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.
Ini menegaskan bahwa ada penyakit hati lanjut yang menekan produksi sel darah,
kenaikan enzim hati. Serum enzim AST (aspartat amionotransferase) dan ALT
(alanine aminotransferase). Ini adalah enzim yang diproduksi oleh hati. Terlalu
banyak enzim ini berarti ada masalah dengan hati. Hal ini dapat disebabkan oleh
cedera atau peradangan pada hati. Enzim hati dapat naik karena penyakit lemak
hati alkohol dan non-alkohol. Peningkatan GGT (gamma glutamyl transferase)
dan ALP (alkaline Phosphatase). Enzim yang meningkat selama penyakit hati
biasanya dikeluarkan dari saluran empedu dan meningkatan bilirubin. Kadar
kenaikan bilirubin pada penyakit hati. Bilirubin sampai ke hati di mana mereka
akan diekstraksi. Tingkat bilirubin yang lebih tinggi berarti meningkatkan faktor
pembekuan dan risiko perdarahan serta mudah memar. Rendahnya tingkat
albumin Albumin adalah protein yang dibuat oleh hati.
E. Tanaman Mangga Kweni
1. Sistematika Tanaman Mangga Kweni (Mangifera odorata Griff )
Klasifikasi tanaman menurut Integrated Taxonomic Information System
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliopsida
Subdivisi : Spematophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Family : Anarcadiaceae
Genus : Mangifera
Spesies : Mangifera odorata
18
2. Nama Daerah
Buah ini dikenal dengan nama-nama yang serupa diberbagai bahasa daerah
yaitu kweni, asam membacang, macang, lekup, kuwini, ambacang, embacang,
lakuik, kuweni, kebembem, kaweni, kawini, bembem, kaweni, kuweni, kweni,
kabeni, beni, bine, pao kabine, pao kaeni, Kuwini, weni, mangga kuini, kuini,
guin, koini, kowini, koine, guawe stinki, sitingki, hitingki (Pracaya, 2011).
3. Morfologi
Mangga kweni tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan yang agak
tinggi, tumbuh baik di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 1.000 dari
permukaan laut. Kweni biasanya diperbanyak dengan biji. Tumbuhan ini
berbentuk pohon, berumur panjang (perenial). Batang berkayu (lignosus),
silindris, tegak, kulit pecah-pecah, permukaan kasar, percabangan simpodial. Arah
tumbuh batang tegak lurus, arah tumbuh cabang ada yang condong ke atas ada
yang mendatar. Pohon berukuran sedang, dengan ketinggian 10-15 meter.
Berbatang lurus dengan tajuk bundar atau bundar telur melebar. Bagian tanaman
apabila dilukai mengeluarkan getah berbau terpentin, semula bening kemudian
menjadi coklat kehitaman. Getah ini bersifat menggatalkan bila terkena kulit.
Daun tunggal tersebar, bentuk lonjong sampai lanset, 12-35 x 4-10 cm, dengan
ujung daun meluncip pendek, bertangkai 3-7 cm yang pangkalnya menggembung.
Helai daun menjangat, dengan urat-urat daun yang tampak jelas (Pracaya, 2011).
Daun mangga kweni merupakan daun tidak lengkap karena hanya
memiliki tangkai daun (petiolus) dan helaian daun (lamina), lazimnya disebut
daun bertangkai. Daun tunggal tersebar, berbentuk memanjang (oblongus), karena
memiliki panjang dan lebar = 2,5-3 : 1 (11,5-35 x 4-10cm). Daun bertulang
menyirip, ibu tulang daun (costa) dan tulang-tulang cabang (nervus lateralis)
tampak jelas, urat-urat daun (vena) tidak terlihat jelas. Memiliki daun bertepi rata
(integer), daging daun tebal dan kaku seperti kulit (coriaceus). Permukaan daun
licin mengkilat (nitidus) (Pracaya, 2005).
4. Kandungan Kimia
Daun mangga memiliki banyak kandungan kimia seperti alkaloid,
flavonoid, tanin, kuinon, steroid, triterpenoid, polifenol, monoterpen dan
19
seskuiterpen (Syah et al., 2015). Daun mangga mengandung berbagai senyawa
kimia seperti fenol, flavonoid, tanin, saponin, alkaloid dan steroid (Nuryanto et
al., 2014). Salah satu senyawa fenol yang ditemukan pada mangga adalah
mangiferin dan dapat ditemukan pada semua bagian tanaman mangga yakni buah
(Luo et al., 2012), batang (Morais et al., 2012) dan daun (Jutiviboonsuk dan
Sardsaengjun, 2010). Mangiferin merupakan senyawa fenolik yang memiliki
banyak aktivitas farmakologi dan menjadi salah satu fitokimia yang sangat
penting (Luo et al., 2012). Daun mangga secara tradisional telah digunakan untuk
mengobati berbagai penyakit seperti leukorea, disentri, bonkritis, gangguan
tenggorokan, optalmia, asma, laksatif, diuretik dan afrodisiak (Rahadiantoro,
2014).
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang
ditemukan di alam dan yang memiliki potensial sebagai antioksidan serta
bioaktivitas sebagai obat. Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua
bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan
biji. Kebanyakan flavonoid ini berada di dalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga.
Namun ada juga flavonoid yang terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar
bau berang-berang dan sekresi lebah. Penyebaran flavonoid pada golongan
tumbuhan yaitu angiospermae, klorofita, fungi, briofita (Markham, 1988). Karbon
yang difotosintesis sekitar 2% oleh tumbuhan (1 x 109 ton/tahun) diubah menjadi
flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya. Sebahagian besar tanin pun
berasal dari flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang
terbesar. Flavonoid merupakan senyawa 15 karbon yang umumnya tersebar di
seluruh dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan
telah diidentifikasi. Kerangka dasar flavonoid biasanya diubah sedemikian rupa
sehingga terdapat lebih banyak ikatan rangkap, menyebabkan senyawa itu dapat
menyerap cahaya tampak, dan ini yang membuatnya berwarna. Sebagian besar
flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terikat pada molekul gula sebagai
glikosida dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai berupa senyawa
tunggal, biasanya ditemukan campuran yang terdiri dari flavonoid yang berbeda
klas. Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai fungsi sebagai pigmen warna, fungsi
20
fisiologis dan patologi, aktivitas farmakologi dan flavonoid dalam makanan.
Senyawa flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga
baik untuk pencegahan kanker. Kegunaan lain dari flavonoid ini adalah untuk
melindungi sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi, anti fertilitas,
antidiabetes, diuretik dan sebagai antibiotik (Ulya, 2007).
Struktur dasar senyawa flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang
terdiri dari 15 atom karbon, dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai
propana (C3) sehingga bentuk susunan C6–C3–C6. Flavonoid dapat dideteksi
berdasarkan warnanya dibawah sinar tampak atau sinar ultraviolet, karakterisasi
flavonoid dilakukan dengan pengukuran-pengukuran spektrofotometri (Luo et al.,
2012).
5. Mangiferin
Mangiferin dapat ditemukan dalam beberapa varietas tanaman mangga.
Mangiferin merupakan senyawa golongan xanton yaitu xanthone C-glucosyl.
Mangiferin memiliki cincin aromatik terkondensasi yang berikatan dengan
glukosa melalui ikatan C-C. Struktur mangiferin, tetrahydroxyxanthone,
ditemukan oleh Iseda pada tahun 1957 (Talamond et al., 2008). Struktur
mangiferin memenuhi persyaratan aturan Lipinski sebagai kandidat obat yaitu
memiliki berat molekul kurang dari 500, nilai log P=2,73, ikatan donor
hidrogennya kurang dari 5 dan ikatan hidrogen aseptor kurang dari sepuluh., berat
molekul 422,342 g/mol. Mangiferin juga memiliki bioavailabilitas yang tinggi
pada pemberian obat secara per oral (Mirza et. al., 2013).
Mangiferin merupakan produk alam yang memiliki beberapa aktivitas
farmakologi seperti antioksidan, analgesik, antidiabetes, antiinflamasi, antitumor,
antimikroba dan peningkat stamina atau daya tahan tubuh. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa mangiferin dapat mencegah terjadinya penyakit
kardiovaskuler mangiferin dengan rumus C19H18O11 dengan struktur kimia
sebagai berikut :
21
Gambar 1. Struktur mangiferin (Jutiviboonsuk dan Sardsaengjun, 2010).
F. Simplisia
1. Pengertian Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang
telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian
tanaman dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi yang spontan keluar
dari tanaman, atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu yang
masih belum berupa zat kimia murni (Anonim, 2004).
Simplisia ada yang lunak seperti rimpang, daun, akar, kelembak dan ada
yang keras seperti biji, kulit kayu, kulit akar. Simplisia yang lunak mudah
ditembus oleh cairan penyari, karena itu pada penyarian tidak perlu diserbuk
sampai halus. Sebaliknya pada simplisia yang keras, perlu dihaluskan terlebih
dahulu sebelum dilakukan penyarian. Simplisia yang terlalu halus akan
memberikan kesulitan pada proses penyarian (Anonim, 2004).
2. Pengumpulan Simplisia
Simplisia berdasarkan bahan bakunya dapat diperoleh dari tanaman liar
atau dari tanaman yang dibudidayakan. Simplisia diambil dari tanaman yang
dibudidayakan maka keseragaman umur, masa panen dan galur (asal usul, garis
keturunan) tanaman dapat dipantau. Tetapi jika pengambilan simplisia dari
tanaman liar akan banyak kendala dan variabilitas yang tidak bisa dikendalikan
seperti asal tanaman, umur, dan tempat tumbuh (Siswanto, 2004).
Waktu panen sangat erat hubunganya dengan pembentukan senyawa aktif
di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat adalah pada
saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah besar.
22
Senyawa aktif terbentuk maximal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu
(Siswanto, 2004).
3. Pencucian Simplisia
Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat,
terutama bahan bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan bahan yang
tercemar pestisida. Pencucian bisa dilakukan dengan menggunakan air yang
berasal dari beberapa sumber mata air, sumur.
Pernyataan Frazier (1978) mengatakan bahwa untuk pencucian yang
dilakukan sebanyak satu kali akan menurunkan mikroba sebanyak 25 %. Namun,
pencucian yang dilakukan sebanyak tiga kali akan menurunkan mikroba sebanyak
58%.
4. Pengeringan
Proses pengeringan simplisia, terutama bertujuan untuk menurunkan kadar
air sehingga bahan tersebut tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri,
menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat
aktif, memudahkan dalam hal pengolalaan proses selanjutnya. Cara pengeringan
untuk bahan berupa daun yang akan diambil minyak atsirinya maka cara
pengeringan yang dianjurkan adalah menghindari penguapan terlalu cepat dan
proses oksidasi udara (Gunawan & Mulyani, 2004).
G. Hewan Percobaan
Penelitian ini digunakan tikus putih jantan sebagai hewan percobaan
karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil
karena tidak dipengaruhi siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih
betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang
lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina
(Sugiyanto, 1995).
1. Sistematika hewan percobaan
Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan (Sugiyanto, 1995)
diklasifikasikan sebagai berikut :
23
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Classis : Mammalia
Ordo : Rodentia
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus
2. Karakteristik hewan percobaan
Tikus putih merupakan hewan yang paling banyak digunakan dalam
penelitian terutama dalam percobaan toksisitas. Hal tersebut disebabkan antara
tikus putih dan manusia mempunyai fisiologis dan anatomi yang hampir sama,
sedangkan kebanyakan proses biokimia dan biofisik juga sabegitma berdasarkan
fungsi fisiologiknya (Koeman, 1987).
Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan
sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit
dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar.
Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia disekitarnya. Ada dua sifat
yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan yang lain, yaitu tikus putih
tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus
bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu
(Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus
putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar
dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium tikus putih
lebih menguntungkan daripada mencit (Mangkoewidjojo, 1988).
H. Terapi Pengkelat Besi
1. Deferasirox
Deferasirox digunakan untuk mengatasi tingginya kadar zat besi pada
tubuh yang disebabkan oleh transfusi darah berulang. Deferasirox juga mengatasi
24
tingginya kadar zat besi pada pasien dengan kelainan darah yang tidak
memerlukan tranfusi darah (non-transfusion dependent thalassemia). Deferasirox
dapat dikonsumsi dengan diminum dan termasuk golongan obat-obatan iron
chelating agents. Deferasirox dapat bekerja dengan bereaksi dengan zat besi, yang
kemudian kelebihan zat besi akan dikeluarkan melalui tinja. Deferasirok disimpan
pada suhu ruangan, jauhkan dari cahaya langsung dan tempat yang lembap, tidak
boleh dibekukan.
Dosis umum dewasa untuk kelebihan zat besi yaitu awal 20 mg/kg sekali
sehari, dosis pemeliharaan 20-40 mg/kg/hari, dosis maksimum 40 mg/kg/hari.
Dosis umum dewasa untuk talasemia yaitu 10 mg/kg diminum sekali sehari.
Terapi Deferasirox dapat dipertimbangkan jika pasien dengan sindrom non-
transfusion dependent thalassemia memiliki liver iron concentration (LIC)
kurang dari 5 mg zat besi per gram dari liver dry weight (Fe/g dw) dan serum
ferritin lebih besar dari 300 mcg/L.
Penatalaksanaan terapi deferasirok yaitu sebelum menjalani terapi
dilakukan biopsi liver dengan metode yang disetujui FDA untuk mengidentifikasi
pasien untuk terapi deferasirox, serum ferritin dilakukan pengukuran dua kali
dalam satu bulan, serum transaminases dan bilirubin, pemeriksaan mata.
Pengaturan dosis deferasirok yaitu jika baseline LIC lebih besar dari 15 mg Fe/g
dipertimbangkan untuk meningkatkan dosis menjadi 20 mg/kg/hari setelah 4
minggu, dilakukan pemberhentian pemberian deferasirok apabila serum ferritin di
bawah 300 mcg/L dan pengukuran LIC untuk mengamati LIC turun menjadi
kurang dari 3 mg Fe/g, setelah 6 bulan terapi, jika LIC tetap lebih besar dari 7 mg
Fe/g dw, tingkatkan dosis Deferasirox sampai maksimum 20 mg/kg/hari. Jangan
melebihi dosis maksimum 20 mg/kg/hari, apabila setelah 6 bulan terapi, LIC 3-7
mg Fe/g dw, lanjutkan terapi Deferasirox kurang dari 10 mg/kg/hari. Terapi
deferasirok dihentikan apabila nilai LIC kurang dari 3 mg Fe/g dw kemudian
dilakukan pengamatan jumlah darah, fungsi hati dan fungsi ginjal. Dilakukan
pengulangan terapi apabila nilai LIC hentikan terapi Deferasirox dan lanjutkan
pengamatan LIC lebih dari 5 mg Fe/g dw.
Efek samping penggunaan deferasirok yaitu rasa mual, muntah, diare,
pusing, sakit kepala, demam dan sakit perut atau lambung. Pengobatan deferasirok
25
dihentikan apabila timbul efek samping gatal-gatal, kesulitan bernapas,
pembengkakan wajah, bibir, lidah, atau tenggorokan, rasa kantuk, pusing,
perubahan mood, pembengkakan, kenaikan berat badan yang pesat, sesak napas,
jarang buang air kecil atau tidak sama sekali, perdarahan pada lambung,
perdarahan pada tinja, batuk darah atau muntah yang terlihat seperti ampas
kopi,meningkatnya rasa haus dan buang air kecil, kehilangan napsu makan,
kelelahan dan konstipasi, permasalahan pada penglihatan atau pendengaran
(Priyatingingsih, 2010).
2. Deferoksamin
Deferoksamine merupakan obat untuk keracunan besi yang diberikan
kepada penderita secara rutin mendapatkan tranfusi darah, misalnya penderita
talsemia. Penderita talasemia mendapatkan deferoksamine dengan pertimbangn
adanya bahaya keracunan besi. Besi pada penderita talasemia ini berasal dari sel
darah merah. Penggunaan deferoksamine yaitu disuntikkan langsung ke dalam
pembuluh darah vena dikarenakan tidak dapat diserap di usus.
Efek samping dari penggunaan deferoksamine yaitu sakit pada saat buang
air kecil, diare, demam dan katarak. Deferoksamine tidak boleh diberikan kepada
wanita hamil dan penderita gagal ginjal. Deferoksamine tersedia dalam bentuk
vial 500 mg dengan dosis pada ntoksikasi akut dosis awal 1 gram, diikuti 500
mgsetiap 4 jam. Dosis maksimal tidak melebihi 6 gram dalam 24 jam intra
muskular atau intra vena. Dosis harian yaitu 500-1000 mg secara intra muscular.
Dosis standar deferoksamin adalah 40 mg/kgBB melalui infus subkutan
dalam 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil selama 5 atau 6
malam/minggu. Lokasi infus yang umum adalah di abdomen, daerah deltoid,
maupun paha lateral. Penderita yang menerima regimen ini dapat
mempertahankan kadar ferritin serum < 1000 µg/L.
3. Deferipron
Terapi obat deferipron standar menggunakan dosis 75 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis. Kelebihan deferipiron dibanding deferoksamin adalah efek
proteksinya terhadap jantung. Anderson, 2001 menemukan bahwa pasien
talasemia yang menggunakan deferipron memiliki insiden penyakit jantung dan
kandungan besi jantung yang lebih rendah daripada mereka yang menggunakan
26
deferoksamin. Deferipron digunakan sebagai terapi overload besi, dengan efek
samping yaitu gangguan pencernaan.
Efek samping penggunaan deferipron gangguan lambung diatasi dengan
pengurangan dosis ditingkatkan dosis secara bertahap sesuai dengan
meningkatnya toleransi perubahan urin menjadi merah kecoklatan. Efek samping
lainya yaitu neutropenia, agranulositosis, defisiensi seng, arthropati. Dosis
dewasa dan anak di atas 6 tahun yaitu 25 mg/kg BB 3 kali maksimal 100 mg/kb
BB perhari.
4. Ferro Sulfat (FeSO4)
Besi merupakan unsur penting yang terlibat dalam berbagai reaksi
biokimia penting mulai dari respirasi seluler sampai sintesis DNA dan berfungsi
sebagai proses metabolisme. Besi mempunyai beberapa fungsi sesensial di dalam
tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai
reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Besi sangat penting bagi kehidupan, namun
apabila jumlahnya dalam tubuh berlebihan dapat menimbulkan toksisitas. Tempat
pertama dalam tubuh yang mengontrol pemasukan besi adalah usus halus. Bagian
dari usus ini berfungsi untuk absopsi dan sekaligus ekskresi besi yang tidak
diserap (Pietrangelo, 2003).
Besi diabsorpsi dalam bentuk ferro (Fe²⁺ ) , dimana bentuk ferro (Fe²⁺ )
lebih mudah diabsorpsi dari pada dalam bentuk ferri (Fe³⁺ ). Besi yang telah
diabsorpsi, didalam plasma akan diikat oleh tranferin untuk diedarkan ke seluruh
sel yang membutuhkan atau disimpan di dalam sel dalam bentuk ferritin
(kompleks besi-protein larut air) dan hemosiderin (kompleks besi-protein tidak
larut air. Ferritin menyimpan dan mengatur pelepasan besi. Ferritin akan
menyimpan kelebihan besi bila didarah dan dijaringan terdapat banyak besi (Palar
et al, 2004). LD₅ ₒ garam besi peroral pada tikus berkisar antara 200-2000 mg/kg
BB (Prayitno et al, 2010).
I. Ekstrak dan Ekstraksi
1. Pengertian
Ekstrak adalah sediaan kental, cair dan kering yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati dan hewani dengan pelarut
27
yang sesuai kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan sisa
endapan atau serbuk diatur untuk ditetapkan standarnya (Ansel, 1981). Sebagai
cairan penyari dapat digunakan air, eter, atau campuran etanol dan air (Anief,
1994).
Macam-macam ekstrak yaitu ekstrak cair, adalah sediaan cair yang dibuat
dari hasil trikan simplisia, ekstrak kental, adalah sediaan kental yang dibuat dari
simplisia kemudian diuapkan pelarutnya dan ekstrak kering, adalah sediaan
berbentuk bubuk yang dibuat dari hasil tarikan simplisia yang diuapkan
pelarutnya hingga kering (Voigt, 1995).
Ekstraksi adablah cara yang digunakan untuk menarik satu atau lebih zat
dari bahan asal menggunakan pelarut yang selektif. Hasil dari ekstraksi disebut
ekstrak, merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan masa yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Tujuan
utama ekstraksi adalah mendapatkan atau memisahkan zat-zat yang memiliki
khasiat pengobatan agar lebih mudah dipergunakan dan disimpan dibandingkan
simplisia asal, dan tujuan pengobatannya lebih terjamin. Zat berkhasiat dalam
simplisia pada umumnya terdapat dalam keadaan tercampur sehingga diperlukan
penyarian dan cairan penyari yang cocok (Syamsuni, 2006).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menggunakan cara yang cocok, diluar pengaruh
cahaya matahari langsung. Penyarian dengan campuran etanol dan air dilakukan
dengan cara maserasi atau perkolasi (Anonim, 1979). Ekstrak kental adalah suatu
bentuk sediaan ekstrak yang liat jika keadaan dingin dan sulit untuk dituang,
dengan kandungan air sekitar 30% (Voigt, 1995).
2. Metode Ekstraksi
2.1 Maserasi. Maserasi merupakan suatu metode ekstraksi yang umum
digunakan untuk memperoleh senyawa kimia dari suatu sampel dengan
perendaman. Serbuk direndam dan ditempatkan pada suhu kamar selama 3 hari
dengan pengadukan berkesinambungan. Larutan kemudian difiltrasi (disaring)
28
sehingga zat aktif yang tertarik berada pada filtrat tersebut (Handa et al., 2008).
Keuntungan yaitu pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan
mudah. Sedangkan kelemahannya waktu pengerjaan yang lama (Voigt, 1995).
Cairan penyari yang biasa digunakan dalam ekstraksi adalah etanol dengan
konsentrasi tertentu. Etanol dapat digunakan untuk menyari zat yang kepolaran
relatif tinggi sampai relatif rendah. Etanol dapat menyari zat yang tidak tersari
oleh air yaitu lemak, terpenoid, antrakinon, kumarin, flavonoid polimetil, resin,
klorofil, isoflavon, alkaloid bebas, kurkumin dan fenol lain. Flavonoid bentuk
aglikon bersifat non-polar dan bentuk glikosidanya bersifat polar (Harborne,
2006).
2.2 Infudasi. Infudasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk
menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah
tercemar oleh kuman dan kapang. Maka dari itu sari yang didapat dengan cara ini
tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Cara ini sering digunakan oleh perusahaan
obat tradisional dengan modifikasi.
2.3 Penyarian berkesinambungan. Penyarian berkesinambungan adalah
proses yang menggabungkan proses untuk menghasilkan ekstrak cair dan proses
penguapan. Alatnya berupa tabung yang disambung dengan labu atau disebut
soxhlet. Cara ini lebih menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk
simplisia tetapi melalui pipa samping (Anonim, 2000).
Penyarian dengan metode soxhletasi, karena soxhletasi membutuhkan
pelarut yang sedikit, karena penyarian terjadi berulang-ulang maka zat yang
tersari di dalam pelarut lebih banyak dan untuk penguapan pelarut digunakan
pemanasan (Voigt 1995). Untuk pelarut yang digunakan dalam metode ini adalah
alkohol 70%, karena alkohol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah
bahan aktif optimal, dimana bahan pengotor hanya dalam skala kecil turut dalam
cairan pengekstraksi. Alkohol merupakan pelarut yang serbaguna untuk ekstraksi.
Campuran alkohol dengan sedikit air lebih disukai untuk membuat sediaan
farmasetik (Voigt 1995). Campuran pelarut ini disebut juga pelarut hidroalkohol,
campuran ini merupakan kombinasi yang fleksibel untuk mengekstraksi bahan
aktif secara optimal. Selain itu dapat memberikan perlindungan terhadap
29
kontaminasi bakteri dan mencegah pemisahan bahan yang diesktraksi (Voigt,
1995).
3. Pemilihan Pelarut
Pemilihan pelarut pada saat ekstraksi didasarkan pada sifat dari senyawa
yang di ekstraksi. Pada saat isolasi semua senyawa yang terdapat dalam Ekstrak
terambil, baik yang bersifat polar maupun non polar. Untuk memisahkan
senyawa-senyawa tersebut dilakukan fraksinasi berdasarkan kelarutannya dalam
suatu pelarut (Gandjar, 2009).
4. Pemurnian
Pemurnian merupakan proses akhir dari isolasi. Pemurnian dapat
dilakukan dengan metode kromatografi dan kristalisasi. Tujuan dari pemurnian
adalah mendapatkan satu komponen murni pelarut n-heksan dan etil asetat
berdasarkan tingkat kepolaran pelarut (Gandjar, 2009).
J. Landasan Teori
Penyakit talasemia merupakan salah satu penyakit kelainan genetik berupa
kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau
umurnya lebih pendek. Beta (β) talasemia adalah kelainan darah yang ditandai
gangguan sintesis β globin sehingga produksi sel darah merah menjadi menurun.
Penurunan produksi sel darah merah dapat menyebabkan anemia dan harus
dilakukan penanganan dengan dilakukan tranfusi darah secara teratur agar
keadaan kembali normal. Tranfusi darah secara rutin dapat meningkatkan zat besi
dalam tubuh yang dapat menyebabkan disfungsi organ. Terapi tambahan berupa
terapi pengkelat besi dilakukan untuk mengurangi penimbunan zat besi dalam.
Terapi ini biasanya menggunakan obat pengkhelat besi seperti Deferoxamin
(Herdata, 2009).
Pencegahan dapat dilakukan dengan edukasi tentang penyakit talasemia,
skrining, konseling genetika pranikah, dan diagnosa prenatal. Hal tersebut dapat
mengurangi terjadinya penurunan talasemia karena belum ada terapi yang tepat
untuk mengobati talassemia. Pengobatan menjadi pilihan utama untuk penderita
penyakit β talassemia. Terapi pengkelat besi dengan obat kimia seperti
30
deferoxamin sebagai terapi tambahan untuk mengurangi penimbunan zat besi
dalam darah karena tranfusi darah yang dilakukan terus menerus. Obat ini selain
harganya mahal juga memberikan efek samping berupa gangguan pertumbuhan,
alergi, gangguan GIT, netropenia, athralgia, gangguan ginjal, rash dan lain lain
(Herdata, 2009).
Berdasarkan penelitian sebelumnya mangiferin yang terkandung dalam
tanaman beberapa varietas mangga dapat menjadi agen pengkelat besi terutama
pada pasien talasemia dengan mekanisme terjadinya ikatan kompleks antara
mangiferin dengan besi yang berlebih pada pasien talasemia, dieksresikan keluar
tubuh. Daun mangga kweni yang mengandung mangiferin diisolasi menggunakan
metode ekstraksi soxhletasi (ekstraksi cair cair/ECC). Ekstrak yang dihasilkan
kemudian dipartisi menggunakan pelarut dengan kenaikan polaritas untuk
mendapatkkan fraksi yang mengandung mangiferin. Fraksi yang dihasilkan
tersebut kemudian ditambahkan pada serum darah penderita talasemia dan
dianalisis ikatan kelat menggunakan alat spektroskopi dibawah sinar UV dengan
panjang gelombang 280-480 nm.
K. Hipotesa
Berdasarkan uraian di atas dapat disusun hipotesis dalam penelitian ini bahwa :
1. Ekstrak etanol daun mangga kweni mengandung zat aktif Mangiferin dan
mempunyai kemampuan pengkelat besi.
2. Ekstrak etanol daun mangga kweni mampu menurunkan kadar feritin pada
serum tikus yang diinduksi ferro sulfat.
3. Ekstrak etanol daun mangga kweni mempengaruhi histopatologi hati tikus
yang diinduksi ferro sulfat.