BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Moeljatno, -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Moeljatno, -...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan unsur tindak pidana
1. Pengetian tindak pidana
Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu
pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian
yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap
istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi
atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana
dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,
sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan
pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini
bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti
khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan
sebagai ”hukuman”. 8
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau
misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi
dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para
sarjana. Sebagai gambaran umum pengertian kejahatan atau tindak pidana
yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso bahwa secara yuridis pengertian
kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang dan pelanggarannya dikenakan sanksi”, selanjutnya Djoko Prakoso
8 Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37
8
menyatakan bahwa secara kriminologis kejahatan atau tindak pidana adalah
“perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara psikologis
kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang abnormal yang
bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari
si pelaku perbuatan tersebut. 9
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan
”strafbaarfeit” untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit, sehingga
timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya
yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang dikemukakan oleh
Hamel dan Pompe.
Hamel mengatakan bahwa : ”Strafbaarfeit adalah kelakuan orang
(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan
kesalahan”. 10
Sedangkan pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit adalah
sebagai berikut : ”Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu
pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku”. 11
Dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal
dari kata ”straf” ini dan istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan
”wordt gestraft”, adalah merupakan istilah konvensional. Moeljatno tidak
9 Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, 1987. Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi
dalam Konteks KUHAP. Bina Aksara, Jakarta. hlm 137 10
Moeljatno, 1987. Op. Cit., hlm. 38. 11
Lamintang, 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung. hlm. 173-174.
9
setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang
inkonvensional, yaitu ”pidana” untuk menggantikan kata ”wordt gestraft”.
Jika ”straf” diartikan ”hukuman” maka strafrecht seharusnya diartikan
dengan hukuman-hukuman. Selanjutnya dikatakan oleh Moeljotno bahwa
”dihukum” berarti ”diterapi hukuman” baik hukum pidana maupun hukum
perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang
maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim
dalam lapangan hukum perdata. 12
Menurut Sudarto, bahwa ”penghukuman”
berasal dari kata ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapkan
hukum” atau ”memutuskan tentang hukum” (berechten). Menetapkan hukum
untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,
akan tetapi juga hukum perdata. 13
Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh
mengatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. 14
Sir Rupert Cross (dalam bukunya Muladi) mengatakan bahwa pidana
berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah
dipidana karena suatu kejahatan. 15
12 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Teori - teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni,
Bandung. hlm. 1. 13
Sudarto, 1990/1991. Hukum Pidana 1 A - 1B. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto. hlm. 3 14
Muladi, 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung. hlm. 22 15
Muladi, 1985. Loc. cit.
10
Dengan menyebut cara yang lain Hart mengatakan bahwa pidana
harus :
a. Mengandung penderitaan atau konsenkuensi-konsekuensi lain yang tidak
menyenangkan;
b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar
melakukan tindak pidana;
c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan
hukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh selain pelaku tindak pidana;
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan
suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. 16
Sejalan dengan perumusan sebagaimana dikemukakan tersebut di atas
Alf Ross mengatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang :
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang. 17
2. Unsur-unsur tindak pidana
Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana.
Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan
memenuhi syarat-syarat tindak pidana (strafbaarfeit). Menurut Sudarto,
pengertian unsur tindak pidana hendaknya dibedakan dari pengertian unsur-
unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang.
Pengertian yang pertama (unsur) ialah lebih luas dari pada kedua (unsur-
16
Ibid., hlm. 23. 17
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Op. cit., hlm. 4.
11
unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana
pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP. 18
Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada
umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu
unsur-unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur
”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan
unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu
harus dilakukan. 19
Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
18
Sudarto, 1990/1991. Op. cit., hlm. 43. 19
Lamintang, 1984. Op. cit., hlm. 183.
12
Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah :
a. Sifat melanggar hukum;
b. Kualitas si pelaku;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 20
Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit)
ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur tindak
pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis.
Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :
a. D. Simons, sebagai menganut pandangan monistis Simons mengatakan
bahwa pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar
gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een
toerekeningsvatbaar persoon”.
Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut di atas,
unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah :
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar
persoon). 21
Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan
adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :
20
Ibid., hlm. 184. 21
Sudarto, 1990/1991. Op. cit., hlm. 32.
13
1) Yang dimaksud dengan unsur subyektif ialah : perbuatan orang;
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka
umum”
Selanjutnya unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :
1) Orangnya mampu bertanggung jawab;
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari
perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu
dilakukan. 22
b. Van Hamel, menyatakan Stafbaarfeit adalah een weterlijk omschre en
mensschelijke gedraging onrechmatig, strafwardig en aan schuld te
wijten. Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
2) Bersifat melawan hukum;
3) Dilakukan dengan kesalahan dan
4) Patut dipidana.23
c. E. Mezger, menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk
adanya pidana, dengan demikian usnur-unsurnya yaitu :
4) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
5) Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat
subyektif);
22
Sudarto, 1990/1991. Loc. cit 23
Ibid., hlm. 33.
14
6) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
7) Diancam dengan pidana.
d. J. Baumman, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
perbuatan yang memenuhi rumusan delik : 1) Bersifat melawan hukum;
dan 2) Dilakukan dengan kesalahan. 24
Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal
responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana menurut
pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut :
a. H.B. Vos, menyebutkan Strafbaarfeit hanya berunsurkan :
1) Kelakuan manusia dan
2) Diancam pidana dengan undang-undang.
b. W.P.J. Pompe, menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit adalah
tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang,
jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum,
dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.
c. Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan
tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :
1) Perbuatan (manusia);
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan
syarat formil) dan
3) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang
tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat meteriil pun harus ada
pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut
24
Sudarto, 1990/1991. Loc. cit.
15
dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat
tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh
masyarakat.
Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada
pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. 25
Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak
mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana.
Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang
pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian. Bagi
orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana
sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis, sama
sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai
syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat atau
pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis semua syarat yang
diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.26
B. Pidana dan Pemidanaan
1. Pengertian pidana
Di dalam konteks pembicaraan masalah pengertian istilah pidana,
maka sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud
tentang perkataan pidana itu sendiri. Berkaitan dengan masalah pengertian
pidana, di bawah ini dikemukakan pendapat beberapa sarjana berkaitan
dengan pengertian kata atau istilah pidana tersebut. Pemakaian istilah
“hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat
25
Ibid., hlm. 27. 26
Ibid., hlm. 28.
16
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat
berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya
sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di
bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Oleh karena “pidana”
merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian
atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang
khas. 27
Menurut Wirjono Prodjodikoro, pidana adalah hal-hal yang
dipidanakan oleh instansi yang berkuasa yang dilimpahkan kepada seorang
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak
sehari-hari dilimpahkan.28
Sedangkan A. Ridwan Halim menggunakan
istilah delik untuk menterjemahkan strafbaarfeit, dan mengartikannya sebagai
suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang. 29
Menurut Van Hamel, arti dari pada pidana atau straf menurut hukum
positif adalah :
”Sesuatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuaaan yang berwenang menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata karena orang tersebut telah melanggar sesuatu peraturan
hukum yang ditegakkan oleh negara”.30
Simons mengakatan pidana atai straf dapat diartikan sebagai berikut :
”Sesuatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan
dengan pelanggaran terhadap sesuatu norma, yang dengan suatu putusan
27
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Op. Cit., hlm. 2 28
Wirjono Prodjodikoro, 1989. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Bandung, hlm. 1 29
A. Ridwan Halim, 1982. Hukum Pidana dan Tanya Jawab. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 31. 30
P.A.F. Lamintang, 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Alumni, Bandung. hlm. 47
17
hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”. 31
Algra Janssen,
merumuskan bahwa pidana atau straf adalah sebagai berikut :
”Alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan
kepada mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat
dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali
sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana
atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya iat telah
tidak melakukan suatu tindak pidana”. 32
Sejalan dengan perkembangan hukum dewasa ini, Sudarto
mempertanyakan istilah “pidana”. Dalam hal ini Sudarto menyatakan :
“Yang jelas harus disadari ialah bahwa pengertian pidana dari abad
kesembilan belas perlu diadakan revisi apabila kita menghendaki suatu
pembaharuan dalam hukum pidana kita. Pada waktu KUHP kita dibuat,
ialah lebih dari 60 tahun yang lalu, mengenakan pidana diartikan sebagai
pemberian nestapa secara sengaja. Ilmu hukum pidana dalam
perkembangannya, lebih-lebih dengan munculnya sanksi yang berupa
tindakan sebagai akibat dari pengaruh aliran modern maka di berbagi
negara akhirnya pengertian pidana demikian itu harus ditinjau
kembali”. 33
Sehubungan dengan pengertian pidana sebagaimana tersebut di atas,
Andi Hamzah mengemukakan bahwa menurut hukum positif di Indonesia,
rumusan ketentuan pidana tercantum dalam Bab II Pidana Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dinyatakan bahwa pidana
terdiri atas :
a. Pidana pokok:
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda;
31
Ibid., hlm. 48 32
Lamintang, 1984. Loc. Cit. 33
Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 80
18
5) Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman putusan hakim. 34
Sedangkan jenis pidana yang terdapat dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2005, agak sedikit berbeda
dengan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dikemukakan oleh Zainal Abidin, bahwa dari segi pengelompokannya
antara RKUHP 2005 dan KUHP sama yaitu diklasifikasikan kepada 2 (dua)
golongan yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok dalam
Pasal 65 RKUHP adalah :
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda;
e. Pidana kerja sosial.
Pidana mati menurut RKUHP 2005 Pasal 66 merupakan pidana pokok
anak tetapi bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pidana tambahan dalam RKUHP adalah :
1. Pencabutan hak tertentu;
2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
3. Pengumuman putusan hakim;
34
Andi Hamzah, 2006. KUHP & KUHAP. PT. Rineka Cipta, Jakarta. hlm. 6
19
4. Pembayaran ganti kerugian;
5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup. 35
Setelah memperhatikan dan mengadakan komparasi jenis pidana yang
tercantum dalam KUHP dan RKUHP 2005 tentang jenis-jenis pidana
sungguh terdapat perbedaan yang cukup mencolok. Urutan jenis pidana
pokok dalam RKUHP 2005 yaitu pidana mati bukan lagi menjadi pidana
pokok yang menempati urutan pertama melainkan menjadi pidana yang
sifatnya khusus. Demikian pula pidana tutupan menjadi pidana pokok kedua
setelah pidana penjara, lain halnya dengan KUHP yang menempati urutan
kelima. 36
2. Pemidanaan
Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana, karena
merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang
yang telah bersalah melakukan tindak pidana. ”A criminal law without
sentencing would morely be a declaratory system pronouncing people guilty
without any formal consequences following form that guilt”. Hukum pidana
tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat
yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi
tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan
pidana dan proses pelalsanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ”dapat
35
Zainal Abidin, 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. ELSAM,
Jakarta. hlm. 18-19 36
Zainal Abidin, Loc. Cit.
20
dicela”, maka di sini pemidanaan merupakan ”perwujudan dari celaan”
tersebut. 37
Secara teoritik, setiap pemidanaan harus didasarkan paling sedikit
pada keadaan-keadaan individual baik yang berkaitan dengan tindak pidana
maupun yang bersangkutan dengan pelaku tindak pidana. Dalam praktik tentu
saja hal ini akan bervariasi, baik orang perorangan maupun tindak pidana
pertindak pidana dan dengan demikian dapat dimengerti apabila tidak selalu
tercapai apa yang dinamakan pemidanaan yang konsisten (consistency of
sentencing). Sakalipun demikian sebenarnya yang harus dicapai adalah
konsistensi dalam pendekatan terhadap pemidanaan (consitency of aproach to
centencing).
Hal ini sangat penting untuk diperlukan, mengingat bahwa kegagalan
untuk menciptakan konsistensi ini akan menimbulkan rasa injustice. Karena
seorang pelaku tindak pidana mungkin akan memperoleh pidana yang lebih
berat dari yang lain, dan sebaliknya. Demikian pula pandangan masyarakat
terhadap persamaan hak dalam peradilan akan terganggu apabila terjadi
fluctuation in sentencing. 38
Badan legislatiflah yang bertugas menerapkan batas pemidanaan
(the limit of sentencing), sedangkan pengadilan yang menentukan bobot
pemidanaan (the level of sentencing). Bobot ini harus dirasakan dan untuk
adil harus mempertimbangkan pelbagai faktor sehingga terjadi apa yang
37
Chairul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Kencana Prenada Media, Jakarta. hlm. 125 38
Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.. hlm. 111
21
dinamakan pemidanaan yang patut (proper sentence). Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa pemidanaan pada dasarnya adalah suatu langkah yang
disebut discretion, namun hal ini tidak dapat diartikan sebagai perilaku
personal, tetapi merupakan langkah dan pendekatan untuk memutuskan
secara khusus atas daar kenyataan dan dibatasi oleh etika penalaran hukum
dan keadilan. 39
Menurut Sudarto, perkatan ”pemidanan” adalah sinomin dengan
perkataan penghukuman. Lebih lanjut Sudarto, mengatakan :
”Penghukuman berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan
sebagai penetapan hukum atau memutus beratkan tentang hukumnya.
Menetapkan/memutuskan hukumnya untuk suatu peristiwa tidak
hanya menyangkut bidang khusus hukum pidana saja, akantetapi juga
bidang hukum lainnya (hukum perdata, hukum administrasi dsb.).
sehingga menetapkan hukum dalam hukum pidana, maka istilah tersebut
harus disempitkan artinya. Pengertian penghukuman dalam perkara
pidana kerapkali sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/
penjatuhan pidana” oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini juga
mempunyai makna yang sama dengan “sentence” atau “veroordeling”,
misalnya dalam pengertian “sentence conditionaly” atau “voorwaardelijk
veroordeeid” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau
“dipidana bersyarat”. 40
Sedangkan W.A. Bonger, mengartikan pemidanaan adalah sebagai
berikut :
“Menghukum adalah mengenakan penderitaan. Menghukum sama artinya
dengan “celaan kesusilaan” yang timbul terhadap tindak pidana itu, yang
juga merupakan penderitaan. Hukuman pada hakikatnya merupakan
perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dengan
sadar. Hukuman tidak keluar dari satu atau beberapa orang, tapi harus
suatu kelompok, suatu kolektivitas yang berbuat dengan sadar dan menurut
perhitungan akal. Jasi “unsur pokok” baru hukuman , ialah “tentangan
yang dinyatakan oleh kolektivitas dengan sadar”.41
39
Muladi, 1995. Loc. Cit. 40
Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 72 41
W.A. Bonger, 1982. Pengantar Tentang Kriminologi. Terjemahan Oleh R.A. Koesnoen. PT.
Pembangunan, Jakarta. hlm. 24-25
22
3. Tujuan pemidanaan
Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan
tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum
adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-
sama yang akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan bahwa tujuan
pemidanaan adalah :
a. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan
kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti
orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di
kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie);
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan
suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya,
sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara,
masyarakat, dan penduduk, yakni :
1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna
2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak
pidana. 42
Romli Atmasasmita, mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori
restributif tujuan pemidanaan adalah :
a. Dengan pemidanaan maka si korban akan merasa puas, baik perasaan adil
bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan tersebut tidak
dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak
menghargai hukum. Tipe restributif ini disebut vindicative.
b. Dengan pemidanaan akan memberikan peringatan pada pelaku kejahatan
dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan
orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sah
atau tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe restributif ini disebut
fairness.
c. Pemidanaan dimaksudkan untk menunjukkan adanya kesebandingan
antara apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana
yang dijatuhkan. Tipe restributif ini disebut dengan proportionality.
42
Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 83
23
Termasuk ke dalam ketegori the grafity ini adalah kekejaman dari
kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam
kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena
kelalainnya. 43
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis,
terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan
pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak
dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial.
Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil
dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan
dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberpa tujuan yang bisa
dikasifikasikan berdaarkan teori-teori tentang pemidanaan. 44
Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang
surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi
telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi
tidak dapat berjalan. Maka pada tahun 1970 telah terdengar tekanan-tekanan
bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate
sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. 45
Dalam menetapkan tujuan pemidanaan Sholehuddin, mengemukakan
bahwa untuk menciptakan sinkroniasi yang bersifat fisik dalam tujuan
pemidanaan harus diperhatikan adanya 3 (tiga) faktor, yaitu : Sinkronisasi
43
Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar Maju,
Bandung. hlm. 83-84 44
Zainal Abidin, 2005. Op. cit. hlm. 10 45
Sholehuddin, 2002. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 61
24
struktural (structural synchronizaton), Sinkronisasi substansial (subtansial
synchronizaton), dan Sinkrinosasi kultural (cultural synchronizaton).46
Menurut Romli Atmasasmita, ada 4 (empat) tujuan pemidanaan
yang tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yaitu :
”Pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi
terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spriritual
berlandaskan Pancasila. Menurutnya dari keempat tujuan pemidanaan
tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkan Pasal 50 ayat (2) ang
menyebutkan, pemidanan tidak dimaksudkan utuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia”. 47
Menurut Muladi, dalam tujuan pemidanaan dikenal istilah restorative
justice model yang mempunyai beberapa karakteritik, yaitu :
a. Kajahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain
dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pencegahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan- hubungan hak, dinilai atas dasar
hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat memerlukan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun dalam penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku
tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
46
Ibid., hlm. 119 47
Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta, Bandung. hlm. 90
25
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan
ekonomis;
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. 48
C. Pengertian Narkotika
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor : 35 Tahun 2009
tentang Narkotika diuraikan bahwa Narkotika merupakan zat atau obat yang
sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun,
jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan
dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau
masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai
dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat
mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya
bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud Narkotika dalam
undang-undang tersebut adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dapat
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-
undang ini.
Sehubungan dengan pengertian Narkotika sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut
48
Muladi, 1995. Op. cit. hlm. 127-129
26
di atas, Mardani mengemukakan mengenai pengertian narkotika, bahwa yang
dimaksud dengan narkotika adalah sebagai berikut :
“Narkotika adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syarat,
mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit
dan nyeri, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, dapat
menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan
dan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika”. 49
Di samping telah diketahui tentang pengertian Narkotika, perlu juga
diketahui tentang pengertian Psikotropika, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yang
dimaksud dengan pengertian Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikotropika melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
Dalam pengertian tersebut menekankan adanya pembatasan ruang
lingkup psikotropika yang dipersempit, yaitu zat dan obat yang bukan narkotika,
dengan maksud agar tidak berbenturan dengan ruang lingkup narkotika. Karena
apabila tidak dibatasi demikian, nantinya akan mengalami kesulitan untuk
membedakan mana zat atau obat yang tergolong psikotropika dengan mana yang
tergolong narkotika.
Obat-obatan sebagaimana dimaksud memiliki kasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat, dan mempunyai hubungan kausalitas
pada aktivitas mental dan perilaku penggunanya. Mental dan perilaku pengguna
49
Mardani, 2008. Penyalaghunaan Narkotika dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 80
27
menunjukkan adanya perubahan yang khas dibandingkan yang bersangkutan
mengkonsumsi psikotropika. 50
Sehubungan dengan pengertian tentang Narkotika dan Psikotropika
sebagaimana tersebut di atas, di bawah ini disebutkan mengenai jenis-jenis
Narkoba antara lain :
a. Opium :
Adalah getah berwarna putih seperti susu yang ke luar dari kotak biji
tanaman Papaver Somniferum L yang belum masak. Jika buah candu yang
bulat telur itu kena torehan, getah tersebut jika ditampung dan kemudian
dijemur akan menjadi opiun mentah. Cara modern untuk memprosesnya
sekarang adalah dengan jalan mengolah jeraminya secara besar-besaran
kemudian jerami candu yang matang itu setelah diproses akan menghasilkan
alkolida dalam bentuk cairan, padat dan bubuk. 51
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
disebutkan bahwa Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri,
diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya megalami
pengolahan sekedar untuk membungkus dan pengangkutan tanpa
memperhatikan kadar morfinnya.
Opium masak terdiri dari :
1) Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui rentetan
pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian
50
Gatot Supramono, 2004. Hukum Narkoba Indonesia. Djambatan, Jakarta. hlm. 17 51
Andi Hamzah dan RM Surahman, 1994. Kejahatan Narkotika dan Psikotropika. Sinar Grafika,
Jakarta. hlm. 16
28
dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud
mengubahna manjadi suatu ekstra yang cocok untuk pemadatan.
2) Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah
candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
3) Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
b. Kokain
Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor : 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, disebutkan tanaman koka, tanaman darisemua jenis Erythroxylon
dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya. Daun koka, daun
yang belum atau sudah dikeringkan dalam bentuk serbuk dari semua tanaman
genus Erythoxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain
secara langsung atau melalui perubahan kimia. Koain mentah, semua hasil-
hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk
mendapatkan kokaina.
c. Morpin :
Jenis narkotika yang bahan bakunya berasal dari candu atau opium.
Sekitar 4-21% morpin dapat dihasilkan dari opium. Morpin adalah prototipe
analgetik yang kuat tidak berbau, rasanya pahit, berbentuk kristal putih, dan
warnanya makin berubah menjadi kecoklat-coklatan. 52
d. Heroin :
Heroin atau diacethyl morpin adalah suatu zat semi sintetis turunan
morpin. Proses pembuatan heroin adalah melalui proses penyulingan dan
proses kimia lainnya di laboratorium dengan cara acethalasi dengan
52
Satya Joewana, 1986. Gangguan Penggunaan Zat Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif Lainnya.
Karisma Indonesia, Jakarta. hlm. 25
29
aceticanydrida. Bahan bakunya adalah morpin, asam cuka, anhidraid atau
asetiklorid. 53
e. Shabu-shabu :
Shabu-shabu berbentuk seperti bumbu masak, yakni kristal kecil-kecil
berwarna putih, tidak berbau, serta mudah larut dalam air alkohol. Air shabu-
shabu juga termasuk turunan amphetamine yang jika dikonsumsi memiliki
pengaruh yang kuat terhadap fungsi otak. Pemakainya segera akan aktif,
banyak ide, tidak merasa lelah meski sudah bekerja lama, tidak merasa lapar,
dan tiba-tiba memiliki rasa percaya diri yang besar. 54
f. Ekstasi :
Adalah zat atau bahan yang tidak termasuk ketegori narkotika atau
alkohol. Ekstasi merupakan jenis zat adiktif. Adiktif mengandung arti bersifat
ketagihan serta menimbulkan ketergantungan pada pemakainya. 55
g. Putaw :
Barang sejenis heroin yang masih serumpun dengan ganja, hanya saja
kadar narkotika yang dikandung oleh putaw lebih rendah atau dapat disebut
heroin kualitas empat sampai enam. 56
h. Alkohol :
Alkohol termasuk zat adiktif, artinya zat tersebut dapat menyebabkan
ketahihan dan ketergantungan. Karena zat adiktifnya tersebut maka orang
53
Sumarno Ma’sum, 1987. Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat. CV.
Mas Agung, Jakarta. hlm. 78 54
Majalah Gatra, Edisi Oktober 1999, No. 159. Nazpa Penghancur Bangsa. Jakarta. hlm. 44 55
Mardani, 2008. Op.cit., hlm. 87 56
Majalah Gatra, 1999. Op.cit., hlm. 43
30
yang meminumnya lama kelamaan tanpa disadari akan menambah takaran
sampai pada dosis keracunan (intoksidasi) atau mabuk. 57
i. Sedativa/Hipnotika :
Di dunia kedokteran terdapat jenis obat yang berkhasiat sebagai
obat/penenang yang mengandung zat aktif nitrazepam atau barbiturat atau
senyawa lain yang khasiatnya serupa. 58
Dikemukakan oleh Simanjuntak, bahwa dalam lingkungan pergaulan,
apabila kita menjumpai seseorang yang menyalahgunakan bahan obat-obatan
tertentu, janganlah terlalu cepat memberikan vonis bahwa orang tersebut telah
addict. Kita harus lebih dahulu menyelidiki apakah “sifat” dari pemakaian obat
itu. Hal ini perlu ditegaskan sehingga kita tidak salah mengambil tindakan
kepada mereka. Sebab bagaimanapun, tidak ada orang yang ingin nama baiknya
menjadi rusak. Terhadap permasalahan sebagaimana tersebut di atas lebih lanjut
Simanjuntak mengemukakan untuk itu, kita harus membedakan para pemakai
obat-obatan ini, sebagai berikut :
a. Experimental users (golongan yang mencoba-coba)
Mereka hanya ingin mencoba saja, sesuai dengan naluri seorang
manusia. Mereka hanya didorong oleh rasa ingin tahu saja, sehingga
pemakaiannya biasanya hanya sekali-sekali dan dalam takaran kecil.
Biasanya hal ini akan berhenti dengan sendirinya.
57
Luthfi Baraza, Tanpa tahun. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Narkotika. Makalah
disampaikan dalam Seminar Narkotika di SMK IPTEK, Jakarta. hlm. 9 58
Ibid., hlm. 10
31
b. Social-recreational users (pemakai untuk sosial-rekreasi)
Pemakai yang hanya mempergunakan obat untuk keperluan sosial dan
rekreasi. Biasanya dilakukan bersama teman-teman untuk memperoleh
kenikmatan. Penggunaan obat-obat ini hanya di waktu-waktu tertentu saja,
misalnya ketika mengadakan pesta-pesta ataupun kegiatan-kegiatan tertentu.
Dalam hal ini tidak ada penjurusan kepada pemakaian yang berlebihan. Pada
golongan ini mereka masih mampu melakukan aktifitas sosial dengan
sempurna.
c. Circumstantial-situational users (pemakai karena situasi)
Mereka ini mempergunakan obat karena terdorong oleh sesuatu
keadaan. Misalnya dipakai oleh atlet, supir mobil jarak jauh untuk mencegah
mengantuk dan keletihan, pemain musik, pemain sandiwara, serdadu dalam
pertempuran. Tujuan mereka untuk memperbesar prestasi dan kemauannya.
Dalam hal ini penderita sering mengulangi perbuatannya sehingga risiko
menjadi “addict” lebih besar dari kedua golongan terdahulu. Obat yang
sering dipergunakan untuk maksud ini adalah “obat perangsang mental”
seperti Amphetamin.
d. Intensified drug users (pemakai obat yang intensif)
Pada golongan ini pemakaian obat bersifat kronis, sedikitnya sekali
sehari, dengan maksud untuk melarikan dari dari problem kehidupan. Mereka
mempunyai kecenderungan lebih buruk dari golongan circumstantial-
situasional users.
32
e. Compulsive drug users
Penggunaan obat pada golongan ini sangat sering, takarannya tinggi,
dan tidak lagi dapat melepaskan dirinya dari pengaruh obat tanpa goncangan
mental dan fisik. 59
Undang-Undang Nomor : 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengatur
tentang penggolongan Narkotika, perubahan penggolongan Narkotika
disesuaikan berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan
kepentingan nasional. Pengaturan Narkotika dalam tentang Narkotika adalah
meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan engan
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Yang dimaksud dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor : 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Prekursor Narkotika hanya untuk industri
farmasi.
a. Narkotika Golongan I
Adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
yang sangat tinggi membahayakan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II
Adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengatahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
59
B. Simandjuntak, 1981. Op.cit. hlm. 302-303.
33
c. Narkotika Golongan III
Adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan
diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan
atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan
akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya
generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan
bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada
akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat
merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun
2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.60
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam
Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor
Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
60
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
34
digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan
mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-
jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi
penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk
menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana,
baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh)
tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana
tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan
jumlah Narkotika.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula
mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang
dari tindak pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk
negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanan pencegahan dan
pemeberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor dan
upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih,
dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan
(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik
penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya
35
guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara
terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional,
maupun Internasional. Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta
masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunan
Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi
anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut
diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika. 61
D. Tindak Pidana Narkotika
Dikemukakan oleh Sudarto, pada hakikatnya hukum itu mengatur
masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang
diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Hukum dapat
mengkualifikasi sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskusikannya
sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan
masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah ialah perbuatan
yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah
61
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
36
justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang
sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum
yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Perhatian dan penggarapan
perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum. Terhadap perbuatan yang
melawan hukum tersedia sanksi.
Kalau tata hukum dilihat secara skematis, maka dapat dibedakan adanya
tiga sistem penegakan hukum, ialah sistem sistem penegakan hukum perdata,
sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi.
Sejalan dengan itu terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem
sanksi hukum pidana dan sistemsanksi hukum administrasi (tata usaha negara).
Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan
dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat)
penegak hukum, yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri pula. 62
Sehubungan dengan masalah tindak pidana Narkotika, Sumarno
Ma’sum, mengemukakan bahwa faktor terjadinya penyalagunaan narkotika
secara garis besar dikelompokan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :
1. Barang tersebut sangat mudah diperoleh baik secara sah atau tidak sah, di
samping itu, status hukumnya yang masih lemah, serta obatnya mudah
menimbulkan ketergantungan dan adiksi;
2. Faktor kepribadian, yang meliputi perkembangan fisik dan mental yang labil,
kegagalan dalam meraih cita-cita, masalah cinta, prestasi, jabatan dan lain-
lain, menutup diri cara lari dari kenyataan, kekurangan onformasi tentang
penyalahgunaan obat keras, berpetualang dengan sensasi yang penuh resiko
dalam mencarai identitas diri, kurangnya rasa disiplin serta kepercayaan
agamanya sangat minim;
62
Sudarto, 1986. Op. Cit., hlm. 111
37
3. Faktor lingkungan, yang meliputi rumah tangga yang rapuh dan kacau,
masyarakat yang kacau, tidak adanya tanggungjawab orang tua, kurangya
pencerahan dari orang tua, pengangguaran, serta sanksi hukum yang lemah. 63
Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum yang mempunyai
karakteristik sebagai ancamaan atau sebagai sebuah harapan. Sanksi akan dapat
memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosialnya. Di
samping itu, sanksi ialah merupakan penilaian pribadi seseorang yang ada
kaitannya dengan sikap perilaku serta hati nurani yang tidak mendapatkan
pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan
konsep tujuan dapat dikatakann bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau
perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum dalam kenyataan,
perpengaruh positif atau efektivitasnya yang tergantung pada tujuan atau maksud
suatu kaidah hukum. Suatu tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan dalam
suatu aturan dan belum tentu menjadi alasan yang sesungguhnya dari pembuat
aturan tersebut.64
Menurut Friedman agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap
tindak atau perilaku manusia, maka perlu diciptakan kondisi-kondisi yang harus
ada, antara lain hukum itu harus dapat dikomunikasikan. Komunikasi itu sendiri
merupakan suatu proses penyampaian dan menerimaan lambang-lambang yang
mengandung arti tertentu. Tujuan komunikasi adalah menciptakan pengertian
bersama dengan maksud agar terjadi perubahan pikiran, sikap ataupun
perilaku. 65
63
Sumarno Ma’sum, 1987. Op. Cit., hlm. 134. 64
Siswanto Sunarso, 2004.Op. cit., hlm. 90 65
Loc. Cit.
38
Menurut Siswanto Sunarso dalam bukunya Penegakan Hukum
Psikotropika mengemukakan sebagai berikut :
”Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum yang mempunyai
karakteristik sebagai ancaman atau sebagai sebuah harapan. Sanksi akan
memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosialnya. Di
samping itu, sanksi ialah merupakan penilaian pribadi seseorang yang ada
kaitannya dengan sikap perilaku dan hati nurani yang tidak mendapatkan
pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan
konsep tujuan dapat dikatakan bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak
atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah dalam kenyataan,
berpengaruh positif atau efektivitasnya yang tergantung pada tujuan atau
maksud suatu kaidah hukum. Suatu tujuan hukum tidak selalu identik
dinyatakan dalam suatu aturan dan belum tentu menjadi alasan yang
sesungguhnya dari pembuat aturan tersebut”. 66
Menurut Luthfi Baraza, terdapat tiga pendekatan untuk terjadinya
penyalahgunaan serta ketergantungan narkotika yaitu pendekatan oragnobiolgik,
psikodinamik dan psikososial. Ketiga pendekatan tersebut tidaklah berdiri
sendiri – sendiri melainkan berkaitan satu sama lain. Dari sudut pandang
oragnobiolgik, (susunan syaraf pusat otak) terdaji adiksi (ketagihan) hingga
dependensi (ketergantungan) dikenal dengan dua istilah, yaitu ganguan mental
organik atau sindrom otak organik; seperti gaduh, gelisah dan kekacauan dalam
fungsi kognitif (alam pikiran, efektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor
(perilaku) , yang disebabkan efek langsung terhadap susunan syaraf pusat
(otak).67
Seseorang akan menjadi ketergantungan narkotika, apabila seseorang
dengan terus menerus diberikan zat tersebut. Hal ini berkaitan dengan teori
adaptasi sekuler (neuroadaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah
teseptor dan sel-sel syarat bekerja keras. Jika zat dihentikan, sel yang masih
66
Siswanto Sunarso, 2004. Penegakan Hukum Psikotropika. Raja Grafindo, Jakarta. hlm. 90 67
Baraza, Luthfi, Tanpa tahun. Op. Cit. hlm. 2
39
bekerja keras tadi mengalami kehausan, yang dari luar tampak sebagai gejala-
gejala putus obat. Gejala putus obat itu memaksa orang untuk mengulangi
pemakaian obat tersebut.68
Dalam teori psikodinamik dinyatakan bahwa seseorang akan terlibat
penyalahgunaan narkotika sampai ketergantungan, apabila pada orang tersebut
terdapat faktor penyebab (factor contribusi) dan faktor pencetus yang saling
keterkaitan satu dengan yang lain. Faktor predisposisi seseorang dengan
gangguan kepribadian (anti sosial) ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap
orang lain. Selain itu, yang bersangkutan tidak mampu untuk berfungsi secara
wajar dan efektif dalam pergaulan di rumah, di sekolah, atau di tempat ia
bekerja, gangguan lain sebagai penyerta yaitu berupa rasa cemas dan depresi.
Untuk mengatasi ketidakmampuan serta menghilangkan kecemasan atau
depresinya, maka biasanya orang itu akan menggunakan norkotika. Semestinya
orang itu dapat mengobati dirinya dengan datang ke dokter/psikiater untuk
mendapatkan terapi yang tepat sehingga dapat dicegah keterlibatannya dalam
penggunaan narkotika.
Faktor kontribusi, seseorang dengan kondisi keluarga yang tidak baik
akan merasa tertekan, dan rasa terletak inilah sebagai faktor penyerta bagi
dirinya untuk terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Disfungsi keluarga yang
simaksud antara lain : keluarga tidak utuh, kedua orang tua terlalu sibuk,
hubungan interpersonal antara orang tua yang tidak harmonis. Sedangkan faktor
pencetus adalah bahwa pengaruh teman sebaya, tersedia dan mudah didapatinya
narkotika mempunyai andil sebagai faktor pencetus seseorang terlibat dalam
68
Baraza, Luthfi, Tanpa tahun. Loc. cit.
40
penyalahgunaan/ketergantungan narkotika. Dari sudut pandang psikososial,
narkotika terjadi akibat negatif dari interaksi tiga kutub sosial yang tidak
kondusif, yaitu kutub keluarga, kutub sekolah/kampus, dan kutub masyarakat. 69
Dikemukakan oleh Dadang Hawari bahwa mereka yang
menyalahgunakan narkotika dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu :
1. Mereka yang dusah mengidap ketergantungan primer, yaitu ditandai dengan
adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang
dengan kepribadian yang tidak stabil;
2. Mereka yang sudah ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan
narkotika sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya,
pada umumnya terjadi pada orang yang dengan kepribadian psikopatik (anti
sosial), kriminal dan pemakaian narkotika untuk kesenangan semata;
3. Mereka yang sudah ketergantungan reaktif, yaitu terutama terdapat pada
remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan serta tekanan teman
kelompok sebaya (peer group pressure).
Adanya pembagian ketiga golongan itu sangat penting dalam rangka penentuan
berat ringannya hukuman atau pidana yang bakal dijatuhkan kepada mereka
yang terlibat dalam penyalahgunaan nerkotika, apakah mereka tergolong sebagai
penderita (pasien), sebagai korban (victim), atau sebagai kriminal. 70
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dadang Hanawi, di
antara faktor-faktor yang berperan dalam penggunaan narkotika adalah :
1. Faktor kepribadian anti sosial atau psikopatik;
2. Kondisi kejiwaan yang mudah kecewa atau depresi;
3. Kondisi keluarga yang meliputi keutuhan keluarga, kesibukan orang tua,
hubungan orang tua dan anak;
4. Kelompok temana sebaya;
5. Nerkotika itu sendiri mudah diperoleh serta tersedianya pasaran baik secara
resmi maupun tidak resmi.71
69
Baraza, Luthfi, Tanpa tahun. Loc. cit. 70
Dadang Hawari, 1997. Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Dana Bakti
Primayasa, Yogyakarta. hlm. 102 71
Ibid., hlm. 141
41
Menurut Sudarsono yang menjadi penyebab seseorang
menyalahgunakan serta ketergantungan narkotika dilatarbelakangi oleh beberapa
sebab yaitu :
1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang
berbahaya seperti ngebut dijalanan dan bergaul dengan wanita;
2. Menunjukkan menentang orang tua, guru dan norma sosial;
3. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seks;
4. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman
emosional;
5. Mencari dan menemukan arti hidup;
6. Mengisi kekosongan dan kesepian hidup;
7. Menghilangkan kegelisahan, frustasi dan kepepet hidup;
8. Mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas;
9. Iseng-iseng saja dan rasa ingin tahu. 72
Dikemukakan oleh Bambang Poernomo, bahwa seseorang melakukan
sesuatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu
perbuatan mencocoki dalam rumusan undang-undang hukum pidana sebagai
perbuatan pidana, belumlah berarti ia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana,
tergantung kepada kesalahannya.
Dapat dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada syarat yang
menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai
sendi perbuatan pidana, dan perbuatan yang dilakukan itu dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan
pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang
terbukti dari alat bukti dengan keyakinan Hakim terhadap seorang tertuduh yang
dituntut di muka pengadilan.
72
Sudarsono, 1992. Kenakalan Remaja. Rineka Cipta, Jakarta. hlm. 67
42
Kaitannya dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum Vos
menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya perbuatan tidaklah mungkin
dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan hukumnya
perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Dalam hubungannya dengan
perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagaimana tersebut di atas
Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
(dijatuhi pidana) kalau ia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun
melakukan perbuatan pidana tidak selalu ia dapat dipidana. 73
Ketentuan Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika :
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman, (Pasal 111); Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, (Pasal 112)
2. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, (Pasal
113);
3. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, (Pasal 114)
4. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengakut, atau mentransito Narkotika Golongan I, (Pasal 115)
73
Bambang Poernomo, 1983. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 134.
43
5. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I
untuk digunakan orang lain, (Pasal 116)
6. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, (Pasal 117)
7. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, (Pasal
118)
8. Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, (Pasal 119)
9. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, (Pasal 20)
10. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II
untuk digunakan orang lain, (Pasal 121)
11. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan
III, (Pasal 122)
12. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III,
(Pasal 123)
44
13. Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, (Pasal 124)
14. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, (Pasal 125)
15. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III
untuk digunakan orang lain, (Pasal 126)
16. Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I, II, dan III bagi diri sendiri
(Pasal 127); Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor,
(Pasal 128)
17. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika
untuk perbuatan Narkotika; Memproduksi, menimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk
pembuatan Narkotika; Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika (Pasal 129)
18. Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana
Narkotika (Pasal 130); Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika (Pasal 131)
19. Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,
memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,
45
memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu
muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana Narkotika; Untuk menggunakan Narkotika (Pasal 133)
20. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak
melaporkan diri; Keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja
tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut (Pasal 134 ).
Penetapan jenis pidana oleh pembuat undang-undang antara lain
dimaksudkan untuk menyediakan seperangkat sarana bagi para penegak hukum
dalam rangka menanggulangi kejahatan. Di samping itu, dimaksudkan pula
untuk membatasi para penegak hukum dalam menggunakan saran berupa pidana
yang telah ditetapkan itu. Mereka tidak boleh mengguna sarana pidana yang
tidak lebih dahulu ditetapkan oleh pembuat undang-undang. Dengan demikian,
jenis pidana yang dipilih dan ditetapkan oleh pembuat undang-undang mengikat
dan membatasi para penegak hukum lainnya.
Apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil
pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kriminalitas, maka adalah wajar apabila penanggulangan perkembangan
kriminalitas agak “agak terganggu”. Hubungan antara gejala masa kini, yaitu
adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan
keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi Hakim dan Jaksa di lain
pihak, merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan
(centencing polity) yang cukup sulit.74
74
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Op. cit. hlm. 98-99.