BAB II Tinjauan Pustaka

download BAB II Tinjauan Pustaka

of 12

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Pangan Fungsional

    Sampai saat ini, belum ada definisi yang baku mengenai pangan

    fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi

    profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan yang

    berlaku di berbagai negara. Pangan fungsional meliputi produk yang segar atau

    utuh sampai produk pangan hasil olahan, fortifikasi zat gizi dalam makanan, dan

    suplemen makanan. Jepang adalah negara pertama yang mendefinisikan

    makanan fungsional sebagai makanan bergizi yang juga mengandung bahan

    atau unsur yang berperan untuk membantu fungsi tubuh tertentu. Dewan

    informasi makanan internasional (The International Food Information Council)

    mendefinisikan makanan fungsional sebagai makanan yang menguntungkan

    bagi kesehatan, selain fungsinya sebagai zat gizi dasar (Silalahi 2006).

    Menurut Goldberg (1994), pangan fungsional didefinisikan sebagai

    pangan, baik makanan maupun minuman, yang dapat dikonsumsi sebagai

    komponen dalam diet sehari-hari dan bukan berbentuk kapsul, tablet ataupun

    bubuk akan tetapi berbentuk cairan atau minuman dan mempunyai khasiat

    menyembuhkan atau mencegah penyakit selain khasiat zat-zat gizi yang

    dikandungnya. Manfaat yang diharapkan antara lain mencegah dari timbulnya

    penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, regulasi kondisi ritme tubuh,

    penyehatan kembali (recovery), serta memperlambat proses penuaan.

    Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM 2011)

    menyebutkan bahwa pangan fungsional diartikan sebagai pangan olahan yang

    mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah

    mempunyai fungsi fisiologis tertentu diluar fungsi dasarnya dan terbukti tidak

    membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan olahan yang

    mencantumkan klaim kesehatan dikelompokkan sebagai pangan fungsional.

    Pangan fungsional menurut BPOM harus memenuhi persyaratan berikut

    yaitu, mengandung jenis komponen pangan dalam jumlah yang sesuai dengan

    batasan yang ditetapkan, memiliki karakteristik sensori seperti penampakan,

    warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen,

    serta disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman.

    Komponen pangan yang diizinkan sebagai komponen pangan fungsional adalah

    serat pangan, fitosterol dan fitostanol, gula alkohol, asam folat, dan kalsium.

  • Pangan olahan yang menggunakan komponen selain yang diizinkan serta

    mempunyai klaim lain harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu.

    Teh

    Teh adalah minuman yang banyak dikonsumsi manusia dalam jumlah

    kira-kira

  • sedangkan teh hijau dikonsumsi terutama di China, Jepang, India, dan beberapa

    negara di Afrika Utara dan Timur Tengah. Produksi teh Oolong dan konsumsinya

    terbatas pada bagian tenggara Cina dan Taiwan. Walaupun sebagian besar teh

    yang diproduksi merupakan keempat bentuk olahan teh tersebut, tapi saat ini

    pengolahan teh sudah mengalami diversifikasi menjadi beberapa teh yang

    berbeda seperti teh dengan flavor, teh organik, teh dekafein, teh herbal, teh

    aromatik, dan berbagai variasi teh lainnya (Karori et al 2007).

    Teh Hijau

    Teh hijau merupakan nama teh yang dibuat dari daun tanaman teh

    (Camellia sinensis) yang dipetik dan mengalami proses pemanasan (steaming)

    untuk mencegah terjadinya oksidasi enzimatis dari enzim polifenol oksidase

    sehingga teh hijau memiliki kandungan katekin lebih tinggi dibandingkan jenis teh

    lainnya. Konsumsi dari teh hijau khususnya populer di negara-negara Asia.

    Keterkaitan konsumsi teh hijau dengan aktivitas anti-inflamatori, anti-proliferasi,

    dan anti-atherosklerotis telah menjadikan ekstrak teh hijau sebagai suplemen,

    nutrasetikal, dan pangan fungsional (Armoskaite et al 2011).

    Proses pengolahan teh hijau pada dasarnya terdiri atas empat tahap,

    yakni pelayuan, penggulungan, pengeringan, dan sortasi. Teh hijau telah dikenal

    sebagai minuman fungsional karena khasiat dari komponen aktif yang

    terkandung di dalamnya, terutama teh hijau yang kaya akan polifenol. Komposisi

    kimia teh hijau disajikan dalam Tabel 1 berikut ini :

    Tabel 1 Komposisi kimia teh hijau

    Komposisi Kandungan

    Air 3.1 g Protein 29.1 g Lemak 4.1 g Karbohidrat 33.8 g Kafein 3.5% Tanin 10% Vitamin C 100-150 mg Vitamin B1 150-600 mg Vitamin B2 1.3-1.7 mg Vitamin B3 1.0-2.0 mg Vitamin B5 5.0-7.5 mg Vitamin B6 50-76 mg Biotin 50-80 mg Vitamin E 30-80 mg Vitamin K 40-80 mg Vitamin B12 15-25 mg Inositol 1.0 mg

    Sumber : Sulistyo et al. (2003) dalam Ananda (2009)

  • Peneliti menyatakan bahwa polifenol pada teh hijau dapat menghambat

    enzim pertumbuhan kanker. Manfaat kesehatan potensial yang terkait dengan

    konsumsi teh sebagian telah dikaitkan dengan sifat antioksidan polifenol teh.

    Polifenol adalah antioksidan yang sangat kuat, salah satu fungsinya dapat

    mengatasi radikal bebas yang merupakan molekul sangat tidak stabil yang

    berada dalam tubuh. Wan et al (2008) menyebutkan bahwa polifenol pada teh,

    khususnya katekin dan theaflavin, dapat menjalankan aktivitas antioksidan

    terutama melalui pengikatan radikal bebas, ion logam transisi kelat, dan modulasi

    oksidan atau antioksidan enzim untuk gen.

    Menurut Brannon (2007), teh hijau merupakan minuman yang banyak

    mengandung fitokimia, diantaranya adalah polifenol, yang merupakan bagian

    dari flavonoid. Teh hijau (Camellia sinensis) telah dikenal sebagai sumber

    antioksidan potensial yang bermanfaat untuk kesehatan karena dalam daun teh

    mengandung senyawa antioksidan. Karakteristik teh hijau dikenal dengan

    kandungan polifenol flavonoid yang tinggi dengan 20-30% dari berat keringnya

    adalah katekin. Enam kelompok utama katekin adalah epicatechin (EC),

    epigallocatechin (EGC), epicatechin gallat (ECG), epigallocatechin gallat

    (EGCG), gallocatechin (GC), gallocatechin gallat (GCG). Yashin et al (2011)

    menyebutkan bahwa epigallocatechin gallat (EGCG) merupakan katekin paling

    dominan dalam teh hijau yang dapat mencapai hingga 50% dari berat katekin.

    Rohdiana (2012) menyatakan bahwa aktivitas EGCG menyumbang 32% dari

    potensi antioksidan teh.

    Tanaman Murbei

    Murbei termasuk dalam famili moraceae, dan berasal dari Cina. Tanaman

    murbei tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 mdpl dan memerlukan cukup

    sinar matahari. Tumbuhan yang sudah dibudidayakan ini menyukai daerah-

    daerah yang cukup basa seperti di lereng gunung, tetapi pada tanah yang

    berdrainase baik. Tanaman ini kadang ditemukan tumbuh liar. Tanaman spesies

    Morus memberikan peran besar dalam bidang medis, ekonomi, industri, klinis,

    dan domestik. Bagian dari tanaman murbei yang biasa digunakan adalah daun,

    ranting, buah, dan kulit akar yang dapat digunakan sebagai obat. Daun murbei

    juga diketahui sebagai ramuan kuno obat tradisional Cina untuk mengobati

    berbagai macam penyakit. Sebagai contoh, daun murbei digunakan untuk

    menurunkan demam dan melindungi hati (Atmosoedarjo 2000, Kumar dan

    Chauhan 2008).

  • Beberapa jenis murbei yang dibudidayakan untuk ulat sutera di antaranya

    adalah jenis Morus nigra, Morus multicaulis, Morus australis, Morus alba, Morus

    alba var. Macrophylla dan Morus bombycis. Murbei putih atau Morus alba,

    terkenal sebagai sumber makanan utama bagi ulat sutra dan secara luas

    dibudidayakan di Cina. Buah murbei putih, yang juga ditemukan di Amerika

    Serikat Timur, berwarna putih hingga merah muda, tidak seperti buah merah atau

    hitam kebanyakan spesies Morus lainnya. Daun, kulit akar, cabang, buah dan

    juga bagian lain, termasuk getah dan abu kayu, dari tanaman murbei putih ini

    banyak digunakan dimanfaatkan sebagai bahan dalam persiapan obat.

    Menurut Atmosoedarjo (2000), seiring dengan berkembangnya teknologi

    di bidang pertanian, maka kemudian bermunculan varietas-varietas murbei yang

    baru hasil seleksi dan adaptasi, salah satunya adalah Morus alba var. Kanva.

    Murbei varietas Kanva merupakan salah satu dari jenis murbei putih (Morus

    alba). Murbei varietas Kanva memiliki daun berwarna hijau dengan pucuk hijau

    kekuningan. Bentuk daun murbei varietas Kanva adalah oval dengan tepi daun

    bergerigi, berukuran sedang, dan permukaan daun tidak mengkilap. Memon et al

    (2010) menyebutkan bahwa pada famili Morus, Morus alba merupakan salah

    satu spesies yang memiliki potensi dalam pengukuran antioksidan.

    Tanaman murbei (Morus alba L.) telah dibudidayakan di berbagai negara

    termasuk Turki, Azerbaidjan, Iran, Pakistan, India, China, Korea, dan Jepang

    baik untuk produksi buah maupun daunnya. Daun murbei dapat dikonsumsi

    dengan berbagai cara. Di Cina, Jepang dan Korea, daun dari spesies murbei

    dikonsumsi sebagai pangan nutrasetikal antihiperglikemik untuk pasien dengan

    diabetes melitus. Pembuatan teh murbei yang berasal dari daun murbei juga

    banyak dikomersialkan di negara China, Jepang dan Thailand untuk digunakan

    sebagai minuman kesehatan. Konsumsi teh yang terbuat dari daun murbei di

    Thailand semakin meningkat selama dekade terakhir ini (Memon et al 2010,

    Kumar dan Chauhan 2008).

    Daun murbei juga diketahui mengandung sejumlah besar zat gizi. Daun

    murbei mengandung sejumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.

    Kumari et al (2009) menyebutkan bahwa daun murbei juga dipertimbangkan

    sebagai daun yang kaya zat gizi dan memiliki rasa yang lebih lezat dibandingkan

    dengan sayuran hijau lainnya seperti sayur bayam. Tabel 2 berikut adalah tabel

    yang menunjukkan komposisi zat gizi daun murbei :

  • Tabel 2 Komposisi zat gizi daun murbei

    Komposisi Kandungan

    Protein kasar 6.38-10.73% Lemak kasar 0.73-1.30% Kadar abu 2.14-3.39% Serat kasar 2.24-3.49% Karbohidrat 11.02-16.27% Energi 76-120 kkal/100g Asam askorbat 142.99-370.08 mg/100g Beta karoten 3.91-14.79 mg/100g Kalsium 236.89-730.11 mg/100g Besi 3.81-6.80 mg/100 g Seng 0.99-1.26 mg/100g Mangan 0.68-1.30 mg/100g Tembaga 0.007-0.30 mg/100g

    Sumber : Kumari et al (2009)

    Selain kandungan zat gizi yang cukup lengkap, daun murbei juga

    diketahui memiliki nilai komponen fenol yang tinggi. Daun murbei dilaporkan kaya

    akan kandungan flavonoid yang memiliki aktifitas biologis yang berbedatermasuk

    dalam hal kapasitas antioksidan. Berdasarkan penelitian Damayanthi et al

    (2007), pada daun murbei segar maupun teh murbei ditemukan kandungan

    theaflavin, tanin serta kafein. Ketiga senyawa tersebut merupakan flavonoid yang

    khas terdapat pada daun teh (Camellia sinensis). Penelitian Memon et al (2010)

    menemukan bahwa terdapat aktivitas antioksidan yang cukup tinggi pada ekstrak

    buah dan daun murbei. Aktivitas antioksidan dari daun murbei dilaporkan efektif

    dalam mengikat radikal bebas dan menghambat modifikasi oksidatif pada LDL

    kelinci dan manusia.

    Stevia (Stevia rebaudiana)

    Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan tumbuhan hijau kecil yang tumbuh

    hingga tinggi 65-80 cm. Berbagai spesies dari stevia mengandung komponen

    yang memiliki potensi sebagai pemanis dan Stevia rebaudiana merupakan

    spesies yang paling manis di antara jenis stevia lainnya. Stevia merupakan

    tanaman semi lembab subtropikal yang dapat tumbuh dengan mudah seperti

    tanaman sayur lain di kebun (Madan et al 2010).

    Stevia merupakan tanaman paling manis di dunia karena daunnya

    mengandung diterpene glikosida yang memiliki rasa manis tetapi tidak

    dimetabolisme dan tidak mengandung kalori. Beberapa diterpene glikosida yang

    terkandung dari daunnya adalah agylicone, steviol termasuk stevioside,

    rebaudioside A, rebaudioside B, rebaudioside C, rebaudioside E, steviobioside,

    dulcoside A, isosteviol, dan dihydroisosteviol yang masing-masing memiliki

    tingkat kemanisan berbeda-beda antara 50-450 kali lipat lebih manis dari

  • sukrosa. Penggunaan stevia sebagai pemanis pada awalnya ditemukan di

    beberapa bagian di Amerika Sentral dan Selatan yang merupakan tempat asli

    tumbuhan ini. Selama beberapa ratus tahun ini, daun stevia telah digunakan oleh

    penduduk lokal Guarani Indian di area kecil di Paraguay (perbatasan Brazil)

    sebagai pemanis. Mereka biasa menggunakan stevia sebagai pemanis pada teh

    hijau lokal (Kumar et al 2007, Goyal et al 2010).

    Jepang mulai memasarkan steviosida sebagai pemanis pada tahun 1970-

    an ketika pemanis kimia dilarang dan diganti dengan stevia. Beberapa produk

    pangan di Jepang seperti makanan laut, minuman ringan, dan permen sudah

    menggunakan stevia sebagai pemanis. Sejak saat itu, budidaya dari tanaman ini

    mulai meluas ke negara lain termasuk Cina, Malaysia, Singapura, Korea Selatan,

    Taiwan, Thailand, Paraguay, Brazil, Amerika Serikat, Canada, dan Eropa. Para

    ahli dan peneliti di Jepang telah melakukan lebih dari 40.000 studi klinis dan

    menemukan bahwa Stevia aman untuk digunakan. Di negara Brazil, Korea, dan

    Jepang ekstrak daun stevia dan steviosida telah resmi diakui sebagai zat aditif

    makanan (Thomas dan Glade 2010, Goyal et al 2010).

    Daun stevia juga diketahui mengandung zat gizi yang melimpah termasuk

    mineral. Berikut adalah komposisi kandungan zat gizi yang dianalisis

    berdasarkan berat kering daun stevia :

    Tabel 3 Komposisi zat gizi daun stevia per 100 gram

    Komposisi Kandungan

    Proksimat

    Air 7 g Energi 270 kkal Protein 10 g Lemak 3 g Karbohidrat total 52 g Abu 11 g Serat kasar 18 g

    Mineral

    Kalsium 464.4 mg Fosfor 11.4 mg Besi 55.3 mg Natrium 190 mg Kalium 1800 mg

    Anti nutrisi

    Asam oksalat 40-80 mg Tannin 15-25 mg

    Sumber : Savita et al (2004)

    Selain mengandung zat gizi, Thomas dan Glade (2010) menyebutkan

    bahwa ekstrak daun stevia dilaporkan memiliki derajat aktivitas antioksidan yang

    tinggi. Selain itu, dapat menghambat pembentukan hiperoksida pada minyak

  • sarden dengan potensi yang lebih hebat dari DL--tokoferol maupun ekstrak teh

    hijau. Tanaman ini sudah banyak digunakan di beberapa wilayah di dunia seperti

    Brazil dan Paraguay, sebagai pengendali alami diabetes. Selain itu, Stevia juga

    telah digunakan untuk membantu mengendalikan berat badan pada penderita

    obesitas (Goyal et al 2010).

    Senyawa Fenol

    Senyawa fenol secara luas terdistribusi dalam tanaman. Senyawa fenol

    mengandung sedikitnya satu cincin aromatik dengan sedikitnya satu grup

    hidroksil (OH) yang menempel pada cincin aromatik tersebut. Lebih dari 8000

    senyawa fenol telah diidentifikasi. Senyawa fenol bervariasi dari cincin aromatik

    tunggal hingga polifenol komplek yang memiliki lebih dari satu cincin. Senyawa

    fenol merupakan metabolit sekunder tanaman yang terlibat dalam berbagai

    fungsi fisiologis khusus. Senyawa ini mempunyai peran penting bagi mekanisme

    pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan tanaman. Senyawa ini mampu

    memodulasi aktivitas berbagai enzim. Keterlibatan senyawa fenol dalam proses

    biokimia dan fisiologis, tidak hanya pada tanaman, tetapi juga pada hewan dan

    manusia (Webb 2006).

    Senyawa fenol tidak dapat diproduksi dalam tubuh manusia sehingga

    untuk memperolehnya dapat melalui diet sehari-hari. Senyawa fenol dalam

    pangan secara umum telah dikelompokkan sebagai komponen non-gizi dan

    potensinya dalam meningkatkan kesehatan manusia. Pengetahuan mengenai

    peran teurapetik dari antioksidan fenol sangat esensial dalam pengembangan

    pangan fungsional yang mengacu pada peningkatan pangan konvensional

    dengan penambahan manfaat kesehatan (Maisuthisakul 2006).

    Senyawa fenol terdiri dari komponen monomer yang sederhana seperti

    asam fenolat dan komponen polifenol yang lebih komplek seperti tanin yang

    terhidrolisa dan tanin yang terkondensasi. Flavonoid merupakan grup fenol

    terbesar dan banyak ditemukan di epidermis daun dan buah-buahan. Flavonoid

    merupakan polifenol yang memiliki dua cincin aromatik yang tersambung

    bersama dengan tiga jembatan karbon yang biasanya ditemukan dalam bentuk

    glikosida. Flavonoid memiliki peran sebagai pigmentasi dan melindungi tanaman

    dari kerusakan sinar. Flavonoid (Maisuthisakul 2006).

    Menurut Webb (2006), flavonoid bersifat larut air dan merupakan

    metabolit sekunder dalam tanaman dan biasanya ditemukan dalam bentuk

    glikosida. Pada dasarnya, flavonoid bersifat termostabil, tetapi proses

  • pemasakan dapat menyebabkan senyawa tersebut larut ke dalam cairan hasil

    pemasakan sehingga terjadi perubuhan struktur kimia. Flavonoid berkontribusi

    tinggi terhadap cita rasa dan warna dari beragam buah dan sayuran serta produk

    turunannya seperti wine, teh, dan coklat. Flavonoid dibagi menjadi beberapa

    subdivisi yaitu :

    Flavonol seperti quercetin, kaempferol, isorhamnetin, luteolin, dan

    myricetin yang banyak ditemukan dalam sayuran hijau, bawang, apel,

    tanaman beri, teh, dan minuman anggur merah.

    Flavon yang tidak terdistribusi banyak di tanaman, tetapi ditemukan di

    peterseli dan seledri.

    Flavanol yang terdiri dari katekin monomer sederhana yang

    ditemukan dalam teh hijau, apel, dan aprikot hingga kompleks polimer

    yang dikenal sebagai proanthrocyanidins yang ditemukan dalam apel,

    coklat, dan minuman anggur merah.

    Anthrocyanidin yang merupakan pigmen yang bertanggung jawab

    pada pemberian warna merah, biru, atau ungu dari beberapa buah

    dan bunga seperti anggur dan ceri. Senyawa tersebut melindungi dari

    kerusakan akibat cahaya dan dapat membantu dalam menarik

    serangga ke bunga.

    Flavonon yang merupakan fenol yang muncul dengan konsentrasi

    yang tinggi pada buah citrus.

    Isoflavonon yang banyak ditemukan dalam kacang kedelai dan sayur-

    sayuran.

    Senyawa fenol memiliki aktivitas biologis yang berbeda, tetapi peran yang

    paling penting adalah sebagai aktivitas antioksidan. Dalam tubuh senyawa fenol

    dapat berperan sebagai antioksidan yang menangkap radikal bebas. Senyawa

    fenol bertindak sebagai antioksidan karena kemampuannya menyumbangkan

    elektron serta efektifitasnya menstabilisasi radikal bebas dalam mencegah

    terjadinya oksidasi pada tingkat selular dan fisiologi. Aktivitas antioksidan fenol

    dalam pangan tidak hanya tergantung pada jumlah dan lokasi grup hidroksil,

    tetapi juga pada faktor seperti interaksi dengan komponen pangan lainnya dan

    kondisi lingkungan. Pada berbagai jenis penelitian, komponen fenol

    menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih kuat dari vitamin C, vitamin E dan

    karotenoid (Webb 2006).

  • Penelitian secara in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa flavonoid

    memiliki aktivitas antioksidan. Flavonoid mengandung sejumlah kelompok

    hidroksil fenol yang melekat pada struktur cincin, yang memberi aktivitas

    antioksidan. Variabilitas dari flavonoid didasarkan pada hidroksilasi dari cincin

    piron, adanya ikatan rangkap, jumlah hidroksil dalam cincin A dan cincin B, dan /

    atau atom yang terikat ganda pada oksidgen oksigen yang melekat ke posisi 4

    dari cincin C. Flavonoid dapat bersifat monomer, dimer, atau oligomer. Flavonoid

    polimer, yang dikenal sebagai tanin, dibagi menjadi dua kelompok, terkondensasi

    dan terhidrolisa. Tanin terkondensasi adalah polimer flavonoid sedangkan tanin

    terhidrolisa mengandung asam galat (Maisuthisakul 2006).

    Flavonoid dan asam fenolat bertindak sebagai antioksidan dengan

    beberapa cara. Cara utama adalah dengan memecah reaksi rantai radikal bebas.

    Interaksi antara flavonoid dan asam fenolat dengan antioksidan lainnya seperti

    asam askorbat dan tokoferol merupakan salah satu cara fenol dalam bertindak

    sebagai antioksidan. Katekin dan epimer bertindak sebagai antioksidan kuat

    dengan secara langsung menghilangkan superoksida anion radikal. Kaempferol

    dan quercetin beserta turunannya juga diketahui menunjukkan aktivitas

    antiradikal yang kuat (Webb 2006, Maisuthisakul 2006).

    Antioksidan

    Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang

    dapat memberikan elektronnya dengan cuma-cuma kepada molekul radikal

    bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi

    berantai dari radikal bebas. Senyawa ini dapat menunda, menghambat, atau

    mencegah oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan mengurangi stres

    oksidatif. Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan karena kuantitas

    dari oksigen yang reaktif muncul secara berlebihan pada tingkat yang dibutuhkan

    untuk fungsi sel normal. Oksidasi pada sistem biologis dapat mengarahkan pada

    penurunan kualitas makanan, disfungsi sel membran, penyakit jantung koroner,

    kanker, kerusakan DNA, dan penuaan (Karori et al 2007).

    Secara ideal, antioksidan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :

    (1) tidak mempunyai efek fisiologis yang berbahaya; (2) tidak menyebabkan

    terbentuknya flavor, odor atau warna yang tidak disukai pada lemak atau

    makanan; (3) efektif pada konsentrasi rendah; (4) larut dalam lemak; (5) tahan

    terhadap proses pengolahan; (6) mudah diperoleh; dan (7) ekonomis (Muchtadi

    et al 1993).

  • Antioksidan merupakan senyawa yang terdapat secara alami dalam

    hampir semua bahan pangan. Senyawa ini berfungsi untuk melindungi bahan

    pangan dari kerusakan karena terjadinya reaksi oksidasi lemak atau minyak yang

    menjadikan bahan pangan berasa dan beraroma tengik. Antioksidan di dalam

    makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau

    dua komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi

    selama pengolahan, dan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami

    dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Kumalaningsih

    2006).

    Berdasarkan fungsinya bagi tubuh, antioksidan dibagi menjadi tiga, yaitu

    antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer bekerja untuk

    mencegah pembentukan senyawa radikal baru, yaitu mengubah radikal bebas

    yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya sebelum senyawa

    radikal bebas bereaksi. Contoh antioksidan primer adalah SuperoksidaDismutase

    (SOD), Glutation Peroksidase (GPx) dan protein pengikat logam. Antioksidan

    sekunder bekerja dengan cara mengkelat logam yang bertindak sebagai pro-

    oksidan, menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh

    antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, -caroten. Antioksidan tersier

    bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan radikal bebas.

    Contoh antioksidan tersier adalah enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan

    metionin sulfida reduktase (Ananda 2009).

    Menurut Fennema (1996) untuk hasil maksimal, antioksidan-antioksidan

    primer biasanya dikombinasikan dengan antioksidan fenol atau dengan berbagai

    agen pengkelat logam lainnya. Suatu kesinergisan terjadi ketika antioksidan-

    antioksidan bergabung sehingga menghasilkan aktivitas yang lebih besar

    dibandingkan aktivitas antioksidan yang diuji sendiri-sendiri. Dua jenis

    antioksidan sangat dianjurkan. Antioksidan yang satu untuk menangkap atau

    meredam radilkal bebas; antioksidan yang lain mengkombinasikan aktivitas

    sebagai peredam radikal bebas dan sebagai agen pengkelat.

    Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu

    antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia)

    dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Beberapa

    contoh antioksidan sintetik yang diijinkan penggunaannya secara luas diseluruh

    dunia untuk digunakan dalam makanan adalah Butylated Hidroxyanisol (BHA),

    Butylated Hidroxytoluene (BHT), Tert-Butylated Hidroxyquinon (TBHQ) dan

  • tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan yang telah diproduksi

    secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck 1991).

    Antioksidan alami meliputi flavonoid, asam oksiaromatik, vitamin C dan E,

    karotenoid dan senyawa lain. Dalam beberapa tahun terakhir, flavonoid semakin

    terkenal karena memiliki sifat antikarsinogenik, antisklerotis, antialergenik

    properti, dan aktivitas antioksidan yang beberapa kali lebih kuat daripada -

    tokoferol, vitamin C, dan -karoten. Kombinasi dari flavonoid alami yang

    terkandung dalam sayuran, tanaman beri, buah, padi-padian, biji-bijian, kacang-

    kacangan, dan lain-lain terbukti efektif. Flavonoid disintesis oleh tanaman untuk

    melindungi diri dari proses oksidatif dan selama evolusi jangka panjang mereka

    membentuk kombinasi yang optimal (Yashin et al 2011).