BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pendidikan Inklusi...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pendidikan Inklusi...
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Program Pendidikan Inklusi
2.1.1 Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi adalah sistem layanan
pendidikan yang mensyaratkan ABK belajar di
sekolah terdekat bersama teman seusianya, sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah
yang menampung semua murid di sekolah yang
sama, sekolah menyediakan program pendidikan
yang dapat mengakomodasi sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid,
keberhasilan anak dibantu dengan adanya dukungan
dari para guru (Wathoni, 2005: 101). Hal ini juga
diungkapkan oleh Kustawan (2012: 7) pendidikan
inklusi adalah sistem pendidikan yang terbuka bagi
semua individu serta mengakomodasi semua
kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing
individu. Didukung juga dengan pendapat Ilahi
(2013: 23) yang menjelaskan bahwa pendidikan
inklusi merupakan konsep pendidikan yang tidak
membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak
karena keterbatasan fisik maupun mental.
15
Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan
inklusi juga dapat dimaknai sebagai satu bentuk
reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti
diskriminasi, perjuangan persamaan hak, keadilan
dan perluasan akses pendidikan, meningkatkan
mutu pendidikan, sebuah upaya strategis
penuntasan wajib belajar 9 tahun, serta sebagai
upaya mengubah sikap masyarakat terhadap ABK
(Ilahi, 2013: 25). Permendiknas No. 70 tahun 2009
didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki keterbatasan,
memiliki cerdas dan bakat istimewa untuk
mendapatkan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Ahsan (2014)
mendefinisikan dalam terjemahan bahasa Indonesia,
bahwa “pendidikan inklusif sekarang dianggap
sebagai strategi yang layak untuk menciptakan
pembelajaran lingkungan yang ramah untuk anak-
anak/ penyandang cacat, anak-anak dari etnis yang
berbeda dan keragaman bahasa, anak-anak yang
berasal dari latar belakang yang kurang beruntung
secara sosial dan juga isu-isu gender”. Hal ini juga di
dukung oleh pernyataan dari Direktorat Pembinaan
16
PKLK Dikdas dalam Sartika dan Ismanto (2016: 51)
menyebutkan bahwa pendidikan inklusif diberikan
kepada “semua anak terlepas dari kemampuan
ataupun ketidakmampuan mereka, jenis kelamin,
status sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya
atau bahasa dan agama menyatu dalam komunitas
sekolah yang sama”.
Dari uraian diatas, pendidikan inklusi merujuk
pada suatu sistem layanan pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus untuk
belajar di sekolah-sekolah terdekat, konsep terbuka
bagi semua serta tidak membeda-bedakan latar
belakang kehidupan anak. Sekolah penyelenggara
pendidikan inklusi adalah sekolah yang menampung
semua murid yang sama, mengakomodasi semua
kebutuhan kondisi masing-masing individu karena
keterbatasan fisik maupun mental, serta sekolah
juga menyediakan program pendidikan yang layak
dan menantang, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid, dengan
dukungan yang diberikan oleh guru dapat membantu
agar anak-anak berhasil.
Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan
inklusi merupakan satu bentuk reformasi pendidikan
dan dianggap sebagai sebuah strategi yang layak
17
untuk menciptakan pembelajaran lingkungan ramah
untuk anak, penyandang cacat, serta semua anak
dapat terlepas dari kemampuan dan
ketidakmampuan mereka kemudian menyatu dalam
satu komunitas sekolah yang sama, tanpa
memandang adanya perbedaan diantara satu sama
lainnya.
Pendidikan inklusi dalam penelitian ini,
peneliti memberikan batasan penelitian yaitu
terkhusus pada ABK yang ada di SMP Negeri 7
Salatiga. ABK yang dimaksud yaitu anak-anak yang
mengalami hambatan keterbatasan fisik maupun
mental.
2.2 Tujuan dan Manfaat Program Pendidikan
Inklusi
Menurut Alfian (2013: 75) program pendidikan
inklusi di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan:
a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada semua anak (termasuk anak
berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan
yang layak sesuai dengan kebutuhannya
b. Membantu mempercepat program wajib belajar
pendidikan dasar
18
c. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar
dan menengah dengan menekan angka tinggal
kelas dan putus sekolah.
d. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah
terhadap pembelajaran
e. Memenuhi amanat konstitusi/ peraturan
perundang-undangan:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1)
2) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2);
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003;
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002;
5) Permendiknas No 70 tahun 2009
Manfaat program pendidikan inklusi menurut
Lab PAUD Inklusi Fakultas Psikologi UGM
menerapkan prinsip pendidikan inklusi yang
melibatkan anak dari berbagai latar belakang
kemampuan belajar dan kondisi jasmani, yaitu:
a. Bagi anak berkebutuhan khusus: 1) memiliki
perasaan bersatu dengan anak-anak lain dan
terhindar dari label negatif akibat pemisahan
pendidikan; 2) mempunyai kesempatan belajar
menyesuaikan diri dengan teman sebaya; 3)
mendapat pengalaman hidup yang nyata dan
19
realistis sebagai persiapan kehidupan di
masyarakat; 4) Dapat belajar langsung dari teman
sebaya tentang berbagai macam kemampuan.
b. Bagi anak tidak berkebutuhan khusus: 1) dapat
mengembangkan kecerdasan emosional dengan
berkembangnya rasa empati dan solidaritas; 2)
memiliki kesempatan belajar secara
langsung,nyata, serta objektif mengenai berbagai
karakteristik teman sebaya; 3) menyadari bahwa
setiap individu adalah unik dengan ciri
karakteristik yang khas dan kemampuan yang
berbeda-beda.
2.3 Implikasi Manajerial Program Pendidikan
Inklusi
Direktorat PPK-LK (2011: 11) untuk
mengoptimalkan layanan pendidikan di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif, dalam
pengelolaannya perlu memperhatikan hal-hal
berikut:
1. Sekolah menerapkan sistem manajemen berbasis
sekolah dalam perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengoordinasian, pengawasan dan
pengevaluasian, baik yang berkaitan dengan
peserta didik, kurikulum, ketenagaan, sarana dan
prasarana serta penataan lingkungan
20
2. Sekolah menyiapkan sistem pengelolaan kelas
yang mampu mengakomodasi heterogenitas
kebutuhan khusus peserta didik
3. Sekolah menyediakan kondisi kelas yang hangat,
ramah, menerima keanekaragaman dan
menghargai perbedaan
4. Guru memiliki kompetensi pembelajaran bagi
semua peserta didik termasuk kompetensi
pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan
khusus
5. Guru memiliki kemampuan dalam
mengoptimalkan peran orang tua, tenaga
professional, organisasi profesi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan komite sekolah dalam
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran di sekolah.
2.4 Karakteristik Pendidikan Inklusi
Zakia (2015: 111-112) menyatakan Pendidikan
Inklusi memiliki karakteristik, yaitu:
(1) Pendidikan Inklusi adalah proses yang berjalan
terus dalam usahanya menemukan cara-cara
merespon keragaman individu anak;
(2) Pendidikan inklusi berarti memperoleh cara-cara
untuk mengatasi hambatan-hambatan anak
dalam belajar;
21
(3) Pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak
mendapat kesempatan untuk hadir (di sekolah),
berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar
yang bermakna dalam hidupnya; dan
(4) Pendidikan inklusi diperuntukkan bagi anak-anak
yang tergolong marginal, esklusif dan
membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam
belajar.
Direktorat PPK-LK (2011: 10-11) menyatakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan
pada beberapa prinsip sebagai berikut: 1)
Pemerataan dan peningkatan mutu (Pendidikan
inklusi memungkinkan pemerataan layanan
pendidikan dan pemberian akses pada semua anak);
2) Keberagaman (Pendidikan diupayakan
menyesuaikan kebutuhan dan karakteristik siswa
yang berbeda); 3) Kebermaknaan (Pendidikan
menciptakan kelas yang ramah, menerima,
keragaman dan menghargai perbedaan, serta
bermakna bagi kemandirian peserta didik); 4)
Keberlanjutan (Diselenggarakan secara berkelanjutan
pada semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan); 5)
Keterlibatan (Penyelenggaraan pendidikan inklusi
22
harus melibatkan seluruh komponen pendidikan
terkait).
Kualitas pendidikan inklusi sangat berpengaruh
pada mutu pendidikan, maka dari itu komponen
dalam berbagai bidang harus diperhatikan,
komponen-komponen tersebut antara lain:
1. Kurikulum
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan
pendidikan, karena kurikulum merupakan acuan
untuk berjalannya suatu pendidikan. Kurikulum
yang digunakan untuk program pendidikan
inklusi berdasarkan pada standar nasional
pendidikan. Untuk pelaksanaannya, kurikulum
yang telah ditentukan harus dimodifikasi sesuai
dengan kebutuhan, perkembangan dan
karakteristik peserta didik. Modifikasi dilakukan
untuk menyederhanakan kurikulum pada
realitas yang komplek, selain itu modifikasi
dilakukan untuk memfokuskan pada praktek
pembelajaran. Adapun tim pengembang
kurikulum terdiri dari kepala sekolah, guru
kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan
khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang
terkait (Ilahi, 2013; 171, Kemendikbud, 2012: 42,
Tarmansyah, 2007: 145).
23
2. Tenaga Pendidik (Guru)
Sekolah yang menyelenggarakan program
pendidikan inklusi harus memenuhi standar
kualifikasi yang telah ditentukan dan guru harus
memiliki kompetensi dalam menangani anak
berkebutuhan khusus. Guru yang yang berperan
dalam pelaksanaan program pendidikan meliputi
guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru
pembimbing khusus (GPK) (Kemendikbud, 2012:
43, Kustawan, 2012: 73)
3. Peserta Didik
Tujuan pendidikan inklusi agar setiap peserta
didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, sosial dan memiliki bakat istimewa atau
potensi kecerdasan mendapatkan hak belajar
yang sama dengan anak normal lainnya
(Kemendikbud, 2012: 40).
4. Pendekatan Pembelajaran
Guru berperan untuk menciptakan lingkungan
belajar yang menarik dan menyenangkan bagi
semua anak. Kelas yang inklusi dapat diartikan
sebagai suatu tempat belajar yang menyenangkan
dan merangsang anak untuk belajar (Maftuhatin,
2014: 208).
24
5. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang ramah esensinya pada
seorang guru yang memahami setiap anak
didiknya sebagai individu yang memiliki
keunikan, kemampuan, minat, kebutuhan, dan
karakteristik yang berbeda-beda, pemahaman
tersebut sangat penting dalam menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif. Kompetensi
dan materi pelajaran disesuaikan dengan potensi
atau kebutuhan individu yang bersangkutan.
Terlaksananya proses pembelajaran yang ramah
didasarkan oleh pelaksanaan observasi dan
asesmen yang terencana (Maftuhatin, 2014: 208).
6. Sistem Evaluasi
Setting pendidikan inklusif, sistem penilaian yang
diharapkan di sekolah yaitu sistem penilaian yang
fleksibel. Penilaian yang disesuaikan dengan
kompetensi semua anak termasuk anak
berkebutuhan khusus. Penilaian dapat berupa
data kuantitatif dan kualitatif. Penerapan sistem
evaluasi di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif tergantung terhadap kurikulum yang
dipakai disekolah itu, artinya jika sekolah
memakai kurikulum duplikasi, maka sistem
evaluasinya pun disamakan dengan yang
25
diberlakukan anak pada umumnya. Dan jika,
sekolah itu memakai kurikulum modifikasi
tentunya sistem evaluasinya pun harus
dimodifikasi sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan soal
ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, tehnik
cara evaluasi, atau tempat evaluasi dan lain-lain.
Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi
adalah perubahan dalam kriteria kelulusan,
sistem kenaikan kelas, bentuk raport, ijazah dan
lain-lain (Maftuhatin, 2014: 209).
7. Sarana dan Prasarana
Sekolah yang melaksanakan program pendidikan
inklusi hendaknya menyediakan sarana dan
prasarana yang memadai dan dapat menjamin
kebutuhan peserta didik, sehingga proses
pembelajaran dapat dilakukan dengan baik
khususnya bagi anak berkebutuhan khusus
(Kustawan, 2012: 80).
8. Keuangan
Keuangan merupakan salah satu faktor penting
bagi terlaksana program pendidikan inklusi di
sekolah, karena pemenuhan sarana dan
prasarana, untuk proses pelaksanaan program,
26
kegiatan identifikasi input siswa, modifikasi
kurikulum, pemberdayaan peran masyarakat, dan
pemberian insentif tenaga pendidik membutuhkan
biaya (Kartikha, 2016).
2.5 Evaluasi Program
2.5.1 Konsep Evaluasi Program
Ada beberapa pendapat tentang evaluasi
program antara lain: Menurut Widoyoko (2013: 10)
menyatakan evaluasi program merupakan rangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara
cermat untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan
atau keberhasilan suatu program dengan cara
mengetahui efektifitas masing-masing komponennya,
baik terhadap program yang sedang berjalan
maupun program yang telah berlalu. Sejalan dengan
hal ini Suharsimi (2010: 18) menjelaskan Evaluasi
program adalah upaya untuk mengetahui tingkat
keterlaksanaan suatu kebijaksanaan secara cermat
dengan cara mengetahui efektivitas masing-masing
komponennya. Selanjutnya Tayibnapis (2008)
menambahkan suatu evaluasi program harus
mengumpulkan informasi yang valid, informasi yang
dapat dipercaya, informasi yang berguna untuk
program yang dievaluasi. Informasi dari program
27
yang ingin dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan
kondisi nyata sehingga evaluasi dapat berjalan
sesuai dengan tujuan dan mendapatkan hasil yang
maksimal.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat di
pahami bahwa evaluasi program adalah rangkaian
kegiatan dalam upaya untuk mengumpulkan
informasi yang dilakukan dengan sengaja dalam
tingkat keterlaksanaan secara cermat, valid dan
dapat dipercaya serta berguna untuk di evaluasi,
untuk mengetahui tingkat keberhasilan kebijakan
suatu program dengan cara mengetahui efektivitas
dari masing-masing komponen terhadap program
yang sedang berjalan maupun program yang berlalu
sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai tujuan dan
mendapat hasil yang maksimal.
Berkaitan dengan evaluasi program Pendidikan
Inklusi, penelitian ini berupaya untuk
mengumpulkan dan menganalisis informasi
mengenai pelaksanaan program Pendidikan Inklusi
sehingga dapat diketahui faktor-faktor penghambat
program Pendidikan Inklusi, dirumuskan
rekomendasi mengenai cara-cara mengatasi
hambatan yang pada akhirnya dapat bermanfaat
28
dalam mengambil keputusan tentang keberlanjutan
dan perbaikan Program Pendidikan Inklusi.
2.5.2 Tujuan Evaluasi Program
Suharsimi (2010) menjelaskan bahwa tujuan
diadakannya evaluasi adalah untuk mengetahui
keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator
program ingin mengetahui bagian mana dari
komponen dan subkomponen program yang belum
terlaksana dan apa sebabnya. Secara umum
penelitian evaluasi diperlukan untuk merancang,
menyempurnakan, dan menguji pelaksanaan suatu
praktik pendidikan (Sukmadinata, 2010: 121).
Sejalan dengan pendapat tersebut Wirawan (2012:
22) menyatakan bahwa evaluasi dilaksanakan untuk
mencapai berbagai tujuan sesuai dengan objek
evaluasinya, tujuan melaksanakan evaluasi yaitu: a)
mengukur pengaruh program terhadap masyarakat,
b) menilai apakah program telah dilaksanakan sesuai
dengan rencana, c) mengukur apakah pelaksanaan
program sesuai dengan standar, d) evaluasi program
dapat mengidentifikasi dan menemukan mana
dimensi program yang jalan dan mana yang tidak
berjalan.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat
dipahami bahwa tujuan Evaluasi program adalah
29
untuk mengetahui, merancang keterlaksanaan
berbagai tujuan kegiatan program untuk
menyempurnakan sesuai dengan objek evaluasinya.
Evaluator ingin mengetahui dan menguji tujuan dari
pelaksanaan evaluasi dengan melihat bagaimana
komponen dan subkomponen dalam suatu praktik
yang belum terlaksana dalam bidang pendidikan
dengan mengukur, menilai, megidentifikasi dan
menemukan mana dimensi program yang jalan dan
mana yang tidak berjalan.
Taylor-Powell, dkk (Arikunto dan Jabar, 2009:
86) mengidentifikasi beberapa dimensi umum yang
biasanya ingin digali dalam tujuan evaluasi suatu
program, yaitu:
1. Dampak/ pengaruh program. Dalam dimensi ini,
evaluator akan mengkaji seberapa jauh program
yang akan, sedang atau telah dijalankan memiliki
konsekuensi terhadap konteks, partisipan dan
subjek, sistem atau lainnya
2. Implementasi program. Evaluator melakukan
kajian terhadap seberapa jauh pelaksanaan
program ini akan dan sedang dijalankan
3. Konteks program. Evaluator mengamati dan
mengkaji kondisi konteks (lingkungan) dari
program yang akan, sedang dan telah dijalankan,
30
seberapa jauh keterkaitannya dan apa saja
konteksnya
4. Kebutuhan program. Evaluator mrnkaji tentang
faktor-faktor penentu keberhasilan program dan
keberlanjutan program dan keberlanjutannya di
masa yang akan datang
2.5.3 Manfaat Evaluasi Program
Evaluasi program sangat penting dan
bermanfaat untuk memberikan sebuah rekomendasi
dari evaluator kepada pengambil keputusan untuk
menentukan tindak lanjut dari program yang sedang
berjalan atau telah dilaksanakan. Menurut Arifin
(2009: 4) menguraikan manfaat evaluasi program
yaitu dapat memberikan informasi yang akurat dan
objektif bagi pembuat kebijakan untuk mengambil
keputusan. Keputusan yang diambil yaitu: a)
menghentikan program, b) merevisi program, c)
melanjutkan program, d) menyebarluaskan program.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Arikunto
dan Jabar (2009: 22) hasil dari evaluasi program
bermanfaat untuk memutuskan: 1) menghentikan
program, karena dipandang bahwa program tidak
ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana
sebagaimana yang diharapkan; 2) merevisi program,
karena terdapat bagian-bagian yang kurang sesuai
31
dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya
sedikit); 3) melanjutkan program, karena
pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala
sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan
memberikan hasil yang bermanfaat; 4)
menyebarluaskan program, karena program tersebut
berhasil dengan baik jika dilaksanakan lagi di tempat
dan waktu yang lain.
Dari penjelasan diatas, manfaat evaluasi
program adalah memberikan informasi yang akurat
dan objektif bagi pembuat kebijakan untuk
mengambil keputusan, dengan keputusan yang
dapat diambil ialah menghentikan program, merevisi
program, melanjutkan program dan menyebarluas
program.
Ada beberapa model evaluasi yang dikenal dan
digunakan untuk mengevaluasi di bidang
pendidikan. Model evaluasi muncul karena adanya
usaha eksplanasi secara kontinu yang diturunkan
dari perkembangan pengukuran dan keinginan
manusia untuk berusaha menerapkan prinsip-
prinsip evaluasi pada cakupan yang lebih abstrak
pada bidang ilmu pendidikan, perilaku dan seni
(Sukardi, 2010). Model-model evaluasi menurut
Arikunto dan Jabar (2009: 40-41) yang banyak
32
digunakan yaitu Goal Oriented Evaluation Model
dikembangkan oleh Tyler, Goal Free Evaluation Model
dikembangkan oleh Scriven, Formatif Sumatif
Evaluation Model dikembangkan oleh Michael
Schiven, Countenance Evaluation Model and
Responsive Evaluation Model dikembangkan oleh
Stake, CSE-UCLA Evaluation Model menekankan
pada “kapan” evaluasi dilakukan, CIPP Evaluation
Model dikembangkan Stufflebeam dan Discrepancy
Model dikembangkan oleh Malcolm Provus.
2.6 Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy
Evaluation Model)
Evaluasi terhadap Program Pendidikan Inklusi
pada dasarnya membutuhkan jenis model yang
sesuai. Dilihat dari substansinya bahwa evaluasi ini
berupaya untuk melihat rancangan, pengoperasian,
hasil sementara dan hasil akhir dari program yang
dijalankan. Pada bagian akhir evaluasi yang
dilakukan akan memberikan rekomendasi terhadap
program yang dijalankan. Jika dilihat dari setiap
substansi yang ada, tidak semua model evaluasi yang
sama dapat digunakan pada evaluasi program.
Berdasarkan atas pertimbangan tersebut,
evaluasi pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi
menggunakan Model Kesenjangan (Discrepancy
33
Model) yang dikembangkan oleh Malcolm Provus
(1971) dalam bukunya berjudul Discrepancy
Evaluation. Provus percaya bahwa evaluasi
merupakan suatu seni (arts) melukiskan
ketimpangan antara standar kinerja dengan kinerja
yang terjadi (Wirawan, 2012: 106).
Kata discrepancy adalah istilah bahasa inggris,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “kesenjangan”. Model yang dikembangkan
oleh Malcolm Provus ini merupakan model yang
menekankan pada pandangan adanya kesenjangan
di dalam pelaksanaan program, evaluasi program
yang dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya
kesenjangan yang ada di setiap komponen. Evaluasi
yang menekankan pada kesenjangan yang
sebetulnya merupakan persyaratan umum bagi
semua kegiatan evaluasi, yaitu mengukur adanya
perbedaan antara yang seharusnya dicapai dengan
yang sudah rill di capai (Arikunto & Jabar, 2009: 48).
Malcolm Provus memandang evaluasi ini
sebagai proses yang mencakup (a) Kesepakatan
tentang standar tertentu; (b) menentukan ada/ tidak
ada kesenjangan yang muncul antara performasi dan
aspek program dengan perangkat standar tertentu;
(c) menggunakan informasi tersebut sebagai dasar
34
membuat keputusan untuk mengembangkan,
melanjutkan, atau menghentikan program tersebut
(Fitzpatrick, Sanders & Worthen dalam Wahyu, 2015:
182). Berdasarkan pemahaman tersebut, peneliti
memandang bahwa Model Evaluasi Kesenjangan
(Discrepancy Evaluation Model) memiliki beberapa
keunggulan, yaitu: 1) model ini merupakan prosedur
dari problem solving, 2) dapat melakukan
perbandingan pada pencapaian program, 3) dapat
membuat pertimbangan atas kekurangan dan
kelebihan suatu program berdasarkan standar yang
telah ditetapkan, 4) dapat mengidentifikasi standar
yang akan digunakan selanjutnya.
Komponen yang perlu diperhatikan pada
evaluasi model kesenjangan menurut Malcolm
Provus adalah sebagai berikut: 1) desain merupakan
kegiatan dalam merumuskan program yang
didalamnya melibatkan siswa, staff dan sumber daya
yang ada untuk melakukan suatu aktivitas dalam
mencapai tujuan. 2) instalasi merupakan rancangan
yang menentukan sebuah program sebagai standar
untuk mempertimbangkan langkah-langkah proses
pelaksanaan program. 3) proses merupakan kegiatan
evaluasi yang mengupayakan memperoleh data
tentang sejauh mana program telah berjalan dalam
35
mencapai tujuan yang diharapkan. 4) produk
merupakan hasil dari tujuan program yang telah
dicapai. 5) analisis biaya dan manfaat merupakan
suatu kegiatan membandingkan penggunaan biaya
yang dikeluarkan dengan hasil yang dicapai (Clare
Rose & Glenn F Nyre, 1977: 15, Wirawan, 2012).
Pada penelitian ini, peneliti memberikan batasan
evaluasi pada tahap desain, instalasi, proses dan
produk.
Menurut Suharsimi (2010) Tujuan dari
evaluasi kesenjangan adalah (1) untuk menentukan
apakah program perlu diperbaiki, dipertahankan
atau dihentikan, (2) untuk mengidentifikasi
kelemahan (sesuai dengan standar yang dipilih) dan
untuk mengambil tindakan perbaikan dengan
penghentian program sebagai pilihan terakhir, (3)
langkah-langkah dalam evaluasi kesenjangan.
2.7 Penelitian Yang Relevan
Berikut ini beberapa hasil penelitian yang
relevan dengan penelitian evaluasi Program
Pendidikan Inklusi dan dapat dijadikan sebagai
bahan referensi, antara lain:
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Mitiku et
all (2014) dengan judul “Challenges and Opportunities
36
to Implement Inclusive Education”. Hasil penelitian
menemukan bahwa walaupun ada beberapa peluang
yang mendukung pendidikan inklusi, hal itu tidak
dapat dianggap sebagai jaminan karena kurangnya
kesadaran, komitmen, dan kerjasama. Serta ada
tantangan nyata yang menghambat implementasi
penuh dari pendidikan inklusif. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa tantangan lebih besar daripada
kesempatan pada implementasi penuh dari
pendidikan inklusif dan harus ada kerjasama yang
kuat antar pemangku kepentingan, LSM, dan badan-
badan yang bersangkutan untuk mewujudkan
perjalanan menuju pendidikan inklusi.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Sunardi,
dkk (2011) dengan judul “The Implementation of
Inclusive Education for Students with Special Needs in
Indonesia”. Hasil penelitian menunjukkan,
kebanyakan sekolah-sekolah telah mengembangkan
rencana strategis (untuk program inklusif), namun
masih banyak sekolah yang belum menata ulang
struktur organisasi mereka.
Selain penelitian diatas, Sari (2012),
menghasilkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14
Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai
mana mestinya. Dalam mengidentifikasi, asesmen,
37
RPP, PPI, tanggung jawab dan peranan guru, sarana
dan prasarana penting dilakukan serta menjadi
penentu keberhasilan program inklusi di SD Negeri
14 pakan Sinayan Payakumbuh. Sebaiknya para
guru, GPK, kepala sekolah memang benar-benar
melakukan tanggung jawabnya dan tahu tugasnya
sebagai penyelenggaraan sekolah inklusi.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Sartika dan
Ismanto (2016), dengan hasil penelitian bahwa
program pendidikan inklusi sudah memenuhi
kebutuhan siswa, fasilitias khusus tidak mencukupi
bagi anak berkebutuhan khusus, kompetensi guru
cukup baik, belajar secara umum dengan
memperhatikan setiap individu, prestasi akademik
dan non akademik adalah siswa dengan kebutuhan
khusus yang cukup baik.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Maftuhatin
(2014) dengan judul “Evaluasi Pembelajaran ABK di
Kelas Inklusif di SD Plus Darul ‘Ulum Jombang”.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa evaluasi
pembelajaran sudah cukup bagus karena guru
sudah menerapkan dua metode dalam evaluasi yaitu
dengan soal yang disamakan dengan reguler dan
yang kedua dengan soal sesuai dengan kebutuhan
38
mereka, disertai dengan portofolio yang mencatat
perkembangan mereka selama pembelajaran.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh
Sulistyadi (2014) dengan judul “Implementasi
Kebijakan Penyelenggaraan Layanan Pendidikan
Inklusif di Kabupaten Sidoarjo”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jalannya implementasi
kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Kabupaten Sidoarjo telah terlaksana sebagaimana
yang diharapkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Widyawati
(2013). Hasil penelitiannya menujukkan bahwa
sekolah sudah mendapat izin dan juga panduan
untuk melaksanakan program inklusif. Infrastruktur
khusus tidak memadai, kurikulum sudah
dimodifikasi, penelitian khusus belum tersebar
merata dan tidak ada asisten khusus di sekolah.
Kompetensi guru cukup memadai dalam menangani
anak dengan kebutuhan khusus, perlakuan
perorangan, keuangan hanya dengan dana BOS,
tidak ada pemantauan terus menerus dari
departemen pemerintah terkait. Anak berkebutuhan
khusus yang berprestasi dan tidak berprestasi sudah
dilayani dengan baik. Kemudian peneliti memberikan
rekomendasi untuk sekolah serta departemen
39
pemerintah terkait demi kelanjutan pelaksanaan
program.
Penelitian yang dilakukan oleh Lukitasari
(2017) dengan judul “Evaluasi Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota Salatiga”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa implementasi
kebijakan pendidikan inklusif di Salatiga ini dinilai
baik, yaitu dengan pencapaian 65%. Komunikasi
merupakan aspek yang paling baik adalah sumber
daya. Dampak kebijakan ini terlihat dari
meningkatnya jumlah peserta didik ABK di sekolah
regular dari tahun ke tahun dan berkurangnya
diskriminasi yang dialami siswa ABK oleh teman
sebaya, guru dan masyarakat.
Berdasarkan penelitian Mitiku et al (2014)
Memandang kurangnya kesadaran, komitmen, dan
kerjasama. Serta ada tantangan nyata yang
menghambat implementasi penuh dari pendidikan
inklusif. Sunardi, dkk (2011) menunjukkan, dalam
hal manajemen institusi, kebanyakan sekolah-
sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis
(untuk program inklusif), secara resmi mengangkat
para koordinator, melibatkan beberapa kelompok
terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat
kegiatan rutin. Sari (2012), dalam penelitiannya
40
menyimpulkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14
Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai
mana mestinya. Sartika dan Ismanto (2016)
menunjukkan hasil konteks evaluasi menunjukkan
bahwa program telah memenuhi kebutuhan PI dan
orang tua siswa dengan kebutuhan khusus, hasil
input evaluasi menunjukkan bahwa fasilitas khusus
tidak mencukupi, hasil proses evaluasi menunjukkan
bahwa Departemen Pendidikan Palangka Raya baru
memantau dan mengevaluasi, evaluasi produk
menunjukkan bahwa prestasi akademik dan non
akademik adalah siswa dengan kebutuhan khusus
yang cukup baik. Maftuhatin (2014) menunjukkan
bahwa evaluasi pembelajaran sudah cukup bagus.
Sulistyadi (2014) hasil penelitian menyimpulkan
bahwa jalannya impelementasi kebijakan
penyelenggaraan pendidikan telah terlaksana
sebagaimana yang diharapkan. Widyawati (2016)
hasil penelitian menyimpulkan infrastruktur khusus
tidak memadai, kurikulum sudah di modifikasi,
pelatihan khusus belum tersebar merata, kompetensi
guru sudah cukup memadai namun tidak ada
asisten khusus disekolah, tidak ada pemantauan
dari pemerintah terkait dan pembiayaan hanya dari
dana BOS, sehingga perlu adanya perbaikkan demi
41
keberlanjutan program. Lukitasari (2017) hasil
penelitian menunjukkan bahwa impelementasi
kebijakan pendidikan inklusi di kota Salatiga dinilai
baik dengan pencapaian 65%, terlihat dari
meningkatnya jumlah peserta didik ABK dan
kurangnya diskriminasi terhadap siswa ABK.
Penelitian diatas menyatakan bahwa sekolah
yang menyelenggara program pendidikan inklusi
telah mengembangkan rencana strategis untuk
program inklusi dengan memodifikasi berbagai
komponen seperti kurikulum dan pembelajaran.
Namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami
kendala. Sekolah belum mampu menyediakan tenaga
pendidik yang terampil sesuai dengan kebutuhan
siswa ABK. Tidak ada atau kurangnya Guru
Pembimbing Khusus (GPK) bagi sekolah inklusi
dalam proses pembelajaran bagi siswa. Sarana dan
prasarana sekolah tidak dapat menyediakan
pelayanan kepada semua siswa yang memiliki
kebutuhan khusus.
Dari penelitian diatas maka peneliti tertarik
untuk meneliti tentang pendidikan inklusi. Penelitian
yang dilakukan oleh peneliti memiliki persamaan
penelitian dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya
adalah mengevaluasi Program Pendidikan Inklusi.
42
Perbedaan dengan penelitian yang terdapat di atas.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan
model evaluasi yang berbeda. Dimana penelitian ini
menggunakan Model Evaluasi Kesenjangan
(Discrepancy Evaluation Model).
Model Evaluasi Kesenjangan memiliki
kelebihan dalam tahap menganalisis berdasarkan
komponen-komponen yang ditentukan. Model
Evaluasi Kesenjangan dapat mengidentifikasi adanya
kesenjangan di dalam pelaksanaan program antara
yang seharusnya dicapai dengan yang sudah rill di
capai. Model evaluasi ksenjangan memiliki
karakteristik khusus disbandingkan dengan model-
model evaluasi yang lain. Model ksenjangan
merupakan model yang “luwes” karena dapat
digunakan pada semua jenis program, dapat
disimpulkan bahwa model kesejangan tepat dan
sesuai digunakan untuk mengevaluasi program
layanan (Arikunto & Jabar, 2008: 58-59).
Model Evaluasi Kesenjangan memiliki beberapa
keunggulan, yaitu: 1) model ini merupakan prosedur
dari problem solving, 2) dapat melakukan
perbandingan pada pencapaian program, 3) dapat
membuat pertimbangan atas kekurangan dan
kelebihan suatu program berdasarkan standar yang
43
telah ditetapkan, 4) dapat mengidentifikasi standar
yang akan digunakan selanjutnya. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pendidikan inklusi di SMP Negeri 7
Salatiga dievaluasi dengan menggunakan Model
Evaluasi Kesenjangan.
2.8 Kerangka Berpikir
Evaluasi terhadap penyelenggaraan program
Pendidikan Inklusi di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga
bertujuan untuk mengukur sejauh mana efektivitas
program tersebut. Model evaluasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah model evaluasi
Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model).
Berdasarkan tujuan penelitian ini, kegiatan
evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan
inklusi berupaya untuk menganalisis keadaan rill
pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP
Negeri 7 Salatiga dengan standar yang telah
ditetapkan, berdasarkan Permendiknas No 70 Tahun
2009 tentang pendidikan inklusi melalui empat
komponen yaitu tahap desain, instalasi, proses dan
produk dalam model evaluasi kesenjangan.
Hasil dari analisis keempat komponen dalam
model tersebut, nanti akan menghasilkan sebuah
kesimpulan terhadap hasil evaluasi pelaksanaan
program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga.
44
Apabila hasil evaluasi tidak sesuai maka dilakukan
perbaikan. Apabila hasil evaluasi sesuai kriteria
maka dipertahankan. Kemudian, pada akhirnya
memberi kesimpulan untuk dapat dijadikan
rekomendasi dalam berkelanjutan program.
Berdasarkan uraian tersebut, kerangka berpikir
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga
Evaluasi Program Pendidikan Inklusi
Keadaan rill
Pelaksanaan program
pendidikan inklusi di
SMP Negeri 7 Salatiga
Permendiknas No 70
Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusi
Model Evaluasi Kesenjangan
(Discrepancy Evaluation Model)
Hasil
Evaluasi
Program
Tidak Sesuai Sesuai Kriteria
Diperbaiki Dipertahankan
n
Kesimpulan sebagai rekomendasi/
perbaikan Program