BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Jalaneprints.umm.ac.id/48741/44/BAB 2.pdf · 2019. 8....
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Jalaneprints.umm.ac.id/48741/44/BAB 2.pdf · 2019. 8....
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu
lintas umum dan jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri. (UU 38/2004
Pasal 1). Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam
bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan,
serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jalan sebagai prasarana
distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara. (UU 38/2004 Pasal 5).
2.2 Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan pengikat yang
digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai adalah batu pecah
atau batu belah atau batu kali ataupun bahan lainnya. Bahan ikat yang dipakai adalah
aspal, semen ataupun tanah liat.
Menurut Hary (2011), Struktur perkerasan jalan terdiri dari beberapa lapis
material yang diletakkan pada tanah – tanah, komponen lapisan terdiri dari beberapa
macam bahan granuler yang memberikan sokongan penting dari kapasitas struktural
sistem perkerasan, khususnya untuk perkerasan lentur. Komponen material yang
berkualitas tinggi diletakkan dibagian atas, semakin kebawah kualitas material
semakin berkurang. Hal ini, karena tegangan akibat beban roda lalu – lintas,
disebarkan semakin kebawah semakin mengecil.
7
Perkerasan akan mempunyai kinerja yang baik, bila perencanaan dilakukan
dengan baik dan seluruh komponen – komponen utama dalam sistem perkerasan
berfungsi dengan baik
.
Gambar 2.1 Tampang melintang tipikal perkerasan lentur dan kaku
(Sumber : Hary, 20011)
Komponen – komponen perkerasan meliputi :
a. Lapis aus (wearing course) yang memberikan cukup kekesatan, tahanan gesek,
dan penutup kedap air atau drainase air permukaan.
b. Lapis perkerasan terikat atau tersementasi (aspal atau beton) yang memberikan
daya dukung yang cukup, dan sekaligus sebagai penghalang air yang masuk ke
dalam material tak terikat di bawahnya.
c. Lapis pondasi (base course) dan lapis pondasi bawah (subbase course) tak
terikat yang memberikan tambahan kekuatan (khususnya untuk perkerasan
lentur), dan ketahanan terhadap pengaruh air yang merusak struktur perkerasan,
serta pengaruh degradasi yang lain (erosi dan intrusi butiran halus).
8
d. Tanah dasar (subgrade) yang memberikan cukup kekakuan, kekuatan yang
seragam dan merupakan landasan yang stabil begi lapisan material perkerasan
di atasnya.
e. Sistem drainase yang dapat membuang air dengan cepat dari sistem perkerasan,
sebelum air menurunkan kualitas lapisan material granuler tak terikat dan
tanah-dasar.
2.3 Pengertian Perkerasan Kaku
Menurut Suryawan (2009), Perkerasan beton atau perkerasan kaku (rigid
pavement) terdiri dari pelat beton semen Portland yang terletak langsung di atas tanah
– tanah dasar, atau di atas lapisan material granular (subbase) yang berada di atas
tanah – dasar (subgrade). Tanah - dasar yang terletak di bawah lapis pondasi bawah
merupakan tanah – dasar yang dipadatkan dengan ketebalan tertantu.
Perkerasan beton semen adalah struktur yang terdiri atas pelat beton semen
yang bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan tulangan, atau menerus dengan
tulangan, terletak di atas lapis pondasi bawah atau tanah dasar, tanpa atau dengan
lapis permukaan beraspal.Struktur perkerasan beton semen secara tipikal
sebagaimana telihat pada gambar 2.2 berikut ini:
Gambar 2. 2 Tipikal struktur perkerasan beton semen
(Sumber : Bina Marga 2003)
Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis :
a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan (Jointed Unreinforced
Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan beton semen yang dibuat tanpa
9
tulangan dengan ukuran pelat mendekati bujur sangkar, dimana panjang
dari pelatnya dibatasi oleh adanya sambungan – sambungan melintang.
Panjang pelat dari jenis perkerasan ini sekitar 4 – 5 meter.
b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan (Jointed Reinforced
Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan beton semen yang dibuat
dengan tulangan ukuran pelatnya berbentuk empat persegi panjang, dimana
panjang dari pelatnya di batasi oleh adanya sambungan – sambungan
melintang. Panjang pelat jenis perkerasan ini sekitar 8 – 15 meter.
c. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan (Continously Reinforced
Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan beton semen yang di buat
dengan tulangan dengan panjang pelat menerus yang hanya dibatasi oleh
adanya sambungan – sambungan melintang. Panjang pelat dari jenis
perkerasan ini lebih besar dari 75 meter.
d. Perkerasan beton semen pra – tegang (Prestressed Concrete Pavement)
adalah jenis perkerasan beton semen menerus tanpa tulangan yang
menggunakan kabel – kabel pratekan guna mengurangi pengaruh susut,
muai, dan lenting akibat perubahan temperatur dan kelembaban.
Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari
pelat beton. Sifat daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton
semen. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air pemadatan,
kepadatan dan perubahan kadar air selama masa pelayanan (Pd T-14-2003).
2.4 Komponen Konstruksi Perkerasan Kaku
Pada konstruksi perkerasan beton semen, sebagai konstruksi utama adalah
berupa satu lapis beton semen mutu tinggi. Sedangkan lapis pondasi bawah (subbase
berupa cement treated subbase maupun granular subbase) berfungsi sebagai
konstruksi pendukung atau pelengkap.
10
Gambar 2. 3 Skema potongan melintang konstruksi perkerasn kaku
(Sumber : Aly, 2004)
Adapun komponen konstruksi perkerasan beton semen (rigid pavement) adalah
sebagai berikut :
1. Tanah Dasar (Subgrade)
Tanah dasar adalah bagian dari permukaan badan jalan yang di persiapkan
untuk menerima konstruksi di atasnya yaitu konstruksi perkerasan. Tanah dasar
ini berfungsi untuk penerima beban lalu lintas yang telah di salurkan / di
sebarkan oleh konstruksi perkerasan. Persyaratan yang harus di penuhi dalam
penyiapan tanah dasar (subgrade) adalah lebar, kerataan, kemiringan melintang
keseragaman daya dukung dan keseragaman kepadatan.
2. Lapis Pondasi (Subbase)
Lapis pondasi ini terletak di antara tanah dasar dan pelat beton semen mutu
tinggi. Sebagai bahan subbase dapat di gunakan unbound granular (sirtu) atau
bound granural (CTSB, cement treated subbase). Fungsi utama dari lapis ini
adalah sebagai lantai kerja yang rata dan uniform. Apabila subbase tidak rata,
11
maka pelat beton juga tidak rata, ketidak rataan ini dapat berpotensi sebagai
crack inducer.
3. Tulangan
Pada perkerasan beton semen terdapat dua jenis tulangan, yaitu tulangan
pada pelat beton untuk memperkuat pelat beton tersebut dan tulangan
sambungan untuk menyambung kembali bagian – bagian pelat beton yang telah
terputus (di putus). Adapun tulangan tersebut antara lain:
1) Tulangan Pelat
Adapun karaktersistik dari tulangan pelat pada perkerasan beton semen
adalah sebagai berikut :
Bentuk tulangan pada umumnya berupa lembaran atau gulungan.
Pada pelaksanaan di lapangan tulangan yang berbentuk lembaran
lebih baik dari pada tulangan yang berbentuk gulungan, kedua
bentuk tulangan ini di buat oleh pabrik.
Lokasi tulangan pelat beton terletak 14⁄ tebal pelat di sebelah
atas.
Fungsi dari tulangan beton ini yaitu untuk ‘’memegang beton’’
agar tidak retak (retak beton tidak terbuka) bukan untuk
menahan momen ataupun gaya lintang. Oleh karena itu tulangan
pelat beton tidak mengurangi tebal perkerasan beton semen.
2) Tulangan Sambung
Tulangan sambung ada dua macam yaitu tulangan sambung arah
melintang dan arah memanjang, sambungan melintang merupakan
sambungan untuk mengakomodir kembang susut kearah memanjang
pelat, sedangkan tulangan sambung memanjang merupakan sambungan
untuk mengakomodir gerakan lintang pelat beton.
12
Gambar 2. 4 Sambungan pada konstruksi perkerasan kaku
(Sumber : Aly, 2004)
Adapun ciri dan fungsi dari masing – masing tulangan sambungan adalah :
a. Tulangan Sambungan Melintang
Tulangan sambungan melintang disebut juga dowel.
Berfungsi sebagai sliding device dan load transfer device.
Berbentuk polos, bekas potongan rapid an berukuran besar.
Satu sisi dari tulangan melekat pada pelat beton, sedangkan satu sisi
yang lain tidak lekat pada pelat beton.
Lokasi di tengah tebal pelat dan sejajar dengan sumbu jalan.
b. Tulangan Sambung Memanjang
Tulangan sambungan memanjang disebut Tie Bar.
Berfungsi sebagai unsliding devices dan rotation devices.
Berbentuk deformed / ulir dan berbentuk kecil.
13
Lekat di kedua sisi pelat beton.
Lokasi ditengah tebal pelat beton dan tegak lurus sumbu jalan
4. Sambungan atau Joint
Fungsi dari sambungan atau joint adalah mengendalikan atau mengarahkan
retak pelat beton akibat shrinkage (susut) maupun wrapping (lenting) agar
teratur baik bentuk maupun lokasinya sesuai yang kita kehendaki (sesuai
desain). Pada sambungan melintang terdapat dua jenis sambungan yaitu
sambungan susut dan sambungan lenting. Sambungan susut di adakan dengan
cara memasang bekisting melintang dan dowel antara pelat pengecoran
sebelumnya dan pengecoran berikutnya. Sedangkan sambungan lenting
diadakan dengan cara memasang bekisting memanjang dan tie bar.
5. Bound Breaker di atas Subbase
Bound Breaker adalah plastik tipis yang di letakkan di atas subbase agar
tidak terjadi bounding antara subbase dengan pelat beton di atasnya. Selain itu,
permukaan subbase juga tidak boleh di – groove atau di – brush.
6. Alur Permukaan atau Grooving / Brushing.
Agar permukaan tidak licin pada permukaan beton di buat alur – alur
(tekstur) melalui pengaluran / penyikatan (grooving / brushing) sebelum beton
di semprot curing compound, sebelum beton di tutupi wet burlap dan sebelum
beton mengeras. Arah alur bisa memanjang maupun melintang.
2.5 Keuntungan Serta Kerugian Dari Perkerasan Kaku
Keuntungan dari perkerasan kaku adalah :
- Memiliki ketahanan yang baik terhadap keausan roda lalu lintas
- Dapat menahan beban kendaraan yang berat
- Memiliki ketahanan yang baik terhadap genangan air dan banjir serta
tahan terhadap pelapukan akibat cuaca.
14
- Biaya perawatan lebih murah dibanding jalan aspal karena tidak perlu
sering dilakukan.
- Dapat digunakan pada struktur tanah lemah tanpa perbaikan struktur
tanahnya terlebih dahulu.
Kerugiannya antara lain :
- Biaya lebih tinggi untuk jalan dengan lalu lintas rendah
- Rentan terhadap retak jika dikonstruksi diatas tanah dasar lunak
- Umumnya memiliki kenyamanan berkendara yang lebih rendah (manual
desain perkerasan jalan).
2.6 Kegagalan Perkerasan Kaku
Menurut Hary (2011), hancurnya perkerasan kaku dapat terjadi ketika pelat
retak – retak secara berlebihan. Retak pada perkerasan kaku dapat timbul akibat
tegangan – tegangan yang bekerja di pinggir atau sudut pelat beton. Lebar retak
bervariasi dari retak rambut (yang terjadi saat beton mengering), sampai retak
‘’lebar’’ (> 1,5 mm) yang menyebabkan hilangnya penguncian antar agregat,
masuknya air ke dalam struktur perkerasan. Retak ‘’sedang’’ lebar 0,5 mm dapat
menghilangkan derajat penguncian antar agregat. DoT (2001) mendefinisikan
kegagalan dari perkerasan beton tak bertulang bersambung (JPCP), bila salah satu
dari hal – hal berikut terjadi :
1. Suatu retak ‘’sedang’’ atau retak ‘’lebar’’ yang memotong pelat beton
dalam arah memanjang atau melintang.
2. Suatu retak ‘’sedang’’ arah memanjang dan arah melintang, yang
berpotongan, panjang keduanya melebihi 200 mm dan dimulai dari pinggir
perkerasan.
3. Retak lebar di sudut, dengan radius lebih dari 200 mm, berpusat di sudut
perkerasan.
15
2.7 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku
2.7.1 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku Metode Bina Marga 2003
Perencanaan perkerasan kaku dengan metode Bina Marga 2003 (Pd-T-14-
2003) atau Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen merupakan
pedoman perencanaan perkerasan kaku yang di keluarkan oleh Dapartemen Pekerjaan
Umum. Pedoman ini merupakan penyempurnaan petunjuk Perencanaan Perkerasan
Kaku (Rigid Pavement) tahun 1985 – SKBI 2.3.28.1985. Pedoman ini di adopsi dari
AUSTROADS, Pavement Design, A Guide to the Scructural Design of Pavement
(1992). Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode Bina Marga 2003 di uraikan
sebagai berikut :
1. Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai
dengan SNI 031731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-
1744-1989, masing-masing untuk perencanaan tebal perkerasan lama dan
perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil
dari 2 %, maka harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari beton kurus
(Lean-Mix Concrete) setebal 15 cm yang dianggap mempunyai nilai CBR
tanah dasar efektif 5 % (Pd T-14-2003).
2. Pondasi Bawah
Bahan pondasi bawah dapat berupa :
a. Bahan berbutir
b. Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled
Concrete)
c. Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete)
Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi
perkerasan beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus
perihal jenis dan penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan
16
tegangan pengembangan yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi
dengan lebar sampai ke tepi luar lebar jalan merupakan salah satu cara untuk
mereduksi prilaku tanah ekspansif.
Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit mempunyai
mutu sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan AASHTO M-155 serta SNI
03-1743-1989. Bila direncanakan perkerasan beton semen bersambung tanpa
ruji, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton kurus (CBK). Tebal
lapis pondasi bawah minimum yang disarankan dapat dilihat pada Gambar 2.
5 dan CBR tanah dasar efektif didapat dari Gambar 2.6.
Gambar 2. 5 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan
beton semen
Gambar 2. 6 CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah (Sumber : Bina Marga2003)
17
3. Beton Semen
Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural
strenght) umur 28 hari, yang didapat dari hasil pengujian balok dengan
pembebanan tiga titik (ASTM C-78) yang besarnya secara tipikal sekitar 3-5
MPa (30-50 kg/cm2).
Kuat tarik lentur beton yang diperkuat dengan bahan serat penguat seperti
serat baja, aramit atau serat karbon, harus mencapai kuat tarik lentur 5–5,5
MPa (50-55 kg/cm2). Kekuatan rencana harus dinyatakan dengan kuat tarik
lentur karakteristik yang dibulatkan hingga 0,25 MPa (2,5 kg/cm2) terdekat.
Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik-lentur beton
dapat didekati dengan rumus berikut :
fcf = K (fc’)0,50 dalam Mpa atau..............................(1)
fcf = 3,13 K (fc’)0,50 dalam kg/cm2..........................(2)
Dengan pengertian :
fc’ : kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf : kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K : konstanta, 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat
pecah.
Kuat tarik lentur dapat juga ditentukan dari hasil uji kuat tarik belah beton
yang dilakukan menurut SNI 03-2491-1991 sebagai berikut :
fcf = 1,37.fcs, dalam Mpa atau.................................(3)
fcf = 13,44.fcs, dalam kg/cm2..................................(4)
Dengan pengertian :
fcs : kuat tarik belah beton 28 hari.
Beton dapat diperkuat dengan serat baja (steel-fibre) untuk meningkatkan
kuat tariklenturnya dan mengendalikan retak pada pelat khususnya untuk
bentuk tidak lazim. Serat baja dapat digunakan pada campuran beton, untuk
jalan plaza tol, putaran dan perhentian bus. Panjang serat baja antara 15 mm
18
dan 50 mm yang bagian ujungnya melebar sebagai angker dan/atau sekrup
penguat untuk meningkatkan ikatan. Secara tipikal serat dengan panjang
antara 15 dan 50 mm dapat ditambahkan ke dalam adukan beton, masing-
masing sebanyak 75 dan 45 kg/m³. Semen yang akan digunakan untuk
pekerjaan beton harus dipilih dan sesuai dengan lingkungan dimana
perkerasan akan dilaksanakan (Pd T-14-2003).
4. Lalu – Lintas
Penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen,
dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai
dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana. Lalu-
lintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalu-lintas dan
konfigurasi sumbu, menggunakan data terakhir atau data 2 tahun terakhir.
Kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan beton semen adalah
yang mempunyai berat total minimum 5 ton.
Konfigurasi sumbu untuk perencanaan terdiri atas 4 jenis kelompok
sumbu sebagai berikut :
- Sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
- Sumbu tunggal roda ganda (STRG).
- Sumbu tandem roda ganda (STdRG).
- Sumbu tridem roda ganda (STrRG) (Pd-T-14-2003).
19
Gambar 2. 7 Konfigurasi Beban Sumbu
4.1 Lajur Rencana dan Koefisien Distribusi
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas
jalan raya yangmenampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar.Jika jalan
tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi
(C)kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel 2.1
berikut ini.
20
Tabel 2.1 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi (C)
kendaraan niaga pada lajur rencana
Lebar Perkerasan (Lp) Jumlah Lajur Koefisien Distribusi
1 Arah 2 Arah
Lp < 5,50 m 1 lajur 1 1
5,50 m Lp < 8,25 m 2 lajur 0,70 0,50
8,25 m Lp < 11,25 m 3 lajur 0,50 0,475
mLp < 15,00 m 4 lajur - 0,45
mLp < 18,75 m 5 lajur - 0,425
18,75 m Lp < 22,00 m 6 lajur - 0,40
(Sumber :Bina Marga2003)
4.2 Umur Rencana
Umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan
klasifikasi fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang
bersangkutan, yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit
Cost Ratio, Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau
cara lain yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah. Umumnya
perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20
tahun sampai 40 tahun (Pd-T-14-2003).
4.3 Pertumbuhan Lalu – Lintas
Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau
sampai tahap di mana kapasitas jalan dicapai denga faktor pertumbuhan
lalu-lintas yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
R = (1+i)UR – 1 / i.................................................(5)
Dengan pengertian :
R : Faktor pertumbuhan lalu lintas
21
i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %.
UR : Umur rencana (tahun)(Pd-T-14-2003).
Faktor pertumbuhan lalu-lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan
Tabel 2.2 berikut ini :
Tabel 2.2 Faktor pertumbuhan lalu- lintas (R)
Umur Rencana
(Tahun)
Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
(Sumber :Bina Marga2003)
4.4 Lalu – Lintas Rencana
Lalu-lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga
pada lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta
distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu jenis
sumbu secara tipikal dikelompokkan dalam interval 10 kN (1 ton) bila
diambil dari survai beban.
Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan
rumus berikut :
JSKN = JSKNH x 365 x R x C ...............................(6)
22
Dengan pengertian :
JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana .
JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan
dibuka.
R : Faktor pertumbuhan komulatif yang besarnya tergantung dari
pertumbuhan lalu lintas tahunan dan umur rencana.
C : Koefisien distribusi kendaraan (Pd-T-14-2003)
4.5 Faktor Keamanan Beban
Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor
keamanan beban (FKB). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan
adanya berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti telihat pada Tabel
2.3 beriku ini :
Tabel 2.3 Faktor keamanan beban (FKB)
No. Penggunaan Nilai
FKB
1
Jalan bebas hambatan utama (major freeway)dan jalan berlajur banyak,
yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume kendaraan niaga
yang tinggi. Bila menggunakan data lalu lintas dari hasil survey beban
(weight-in-motion) dan adanya kemungkinan route alternatif, maka nilai
faktor keamanan beban dapat dikurangi menjadi 1,15
1,2
2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume
kendaraan niaga menengah 1,1
3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah 1,0
(Sumber : Bina Marga 2003)
5. Bahu
Bahu dapat terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa
lapisan penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara
bahu dengan jalur lalu-lintas akan memberikan pengaruh pada kinerja
perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu beton semen, sehingga
akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi tebal pelat Yang
23
dimaksud dengan bahu beton semen dalam pedoman ini adalah bahu yang
dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu-lintas dengan lebar minimum 1,50 m,
atau bahu yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar 0,60 m, yang juga
dapat mencakup saluran dan kreb. (Pd-T-14-2003).
6. Sambungan
Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
- Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh
penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.
- Memudahkan pelaksanaan.
- Mengakomodasi gerakan pelat.
Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan antara
lain :
- Sambungan memanjang
- Sambungan melintang
- Sambungan isolasi
Semua sambungan harus ditutup dengan bahan penutup (joint sealer),
kecuali padasambungan isolasi terlebih dahulu harus diberi bahan pengisi
(joint filler) (Pd-T-14-2003).
6.1 Sambungan Memanjang dengan Batang Pengikat (tie bars)
Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan
terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang sekitar 3 -
4 m. Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan
mutu minimum BJTU24 dan berdiameter 16 mm.
Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
At = 204 x b x h dan
l = (38,3 x φ) + 75
24
Dengan pengertian :
At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan
(mm2).
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan
dengan tepi perkerasan (m).
h = Tebal pelat (m).
l = Panjang batang pengikat (mm).
φ = Diameter batang pengikat yang dipilih (mm).
Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 75 cm.
Tipikal sambungan memanjang diperlihatkan pada Gambar 2.8
Gambar 2. 8 Tipikal Sambungan Memanjang (Pd T-14-2003)
6.2 Sambungan Pelaksanaan Memanjang
Sambungan pelaksanaan memanjang umumnya dilakukan dengan cara
penguncian. Bentuk dan ukuran penguncian dapat berbentuk trapesium
atau setengah lingkaran sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.9
25
Gambar 2. 9 Ukuran standar penguncian sambungan memanjang (Pd T-14-2003)
Sebelum penghamparan pelat beton di sebelahnya, permukaan
sambungan pelaksanaan harus dicat dengan aspal atau kapur tembok untuk
mencegah terjadinya ikatan beton lama dengan yang baru.
6.3 Sambungan Susut Memanjang
Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari
dua cara ini, yaitu menggergaji atau membentuk pada saat beton masih
plastis dengan kedalaman sepertiga dari tebal pelat.
6.4 Sambungan Susut dan Sambungan Pelaksanaan Melitang
Ujung sambungan ini harus tegak lurus terhadap sumbu memanjang
jalan dan tepi perkerasan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan
melintang harus dipasang dengan kemiringan 1 : 10 searah perputaran
jarum jam.
26
6.5 Sambungan Susut Melintang
Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal
pelat untuk perkerasan dengan lapis pondasi berbutir atau sepertiga dari
tebal pelat untuk lapis pondasi stabilisasi semen sebagai mana
diperlihatkan pada Gambar 2.10 dan 2.11.
Gambar 2. 10 Sambungan susut melintang tanpa ruji (Pd T-14-2003)
Gambar 2. 11 Sambungan susut melintang dengan ruji (Pd T-14-2003)
Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung
tanpa tulangan sekitar 4 - 5 m, sedangkan untuk perkerasan beton
bersambung dengan tulangan 8 - 15 m dan untuk sambungan perkerasan
beton menerus dengan tulangan sesuai dengan kemampuan pelaksanaan.
27
Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji polos panjang 45 cm,
jarak antara ruji 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan
mempengaruhi gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut. Setengah
panjang ruji polos harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti lengket
untuk menjamin tidak ada ikatan dengan beton. Diameter ruji tergantung
pada tebal pelat beton sebagaimana terlihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Ukuran dan jarak batang dowel (ruji) yang disarankan
Tebal Pelat
Perkerasan
Dowel
Diameter Panjang Jarak
Inchi Mm Inchi Mm Inchi mm Inchi mm
6 150 ¾ 19 18 450 12 300
7 175 1 25 18 450 12 300
8 200 1 25 18 450 12 300
9 225 1 ¼ 32 18 450 12 300
10 250 1 ¼ 32 18 450 12 300
11 275 1 ¼ 32 18 450 12 300
12 300 1 ½ 38 18 450 12 300
13 325 1 ½ 38 18 450 12 300
14 350 1 ½ 38 18 450 12 300
(Sumber : Pd T-14-2003)
7. Prosedur Perencanaan Perkerasan Kaku
Prosedur perencanaan perkerasan beton semen didasarkan atas dua model
kerusakan yaitu :
1) Retak fatik (lelah) tarik lentur pada pelat.
2) Erosi pada pondasi bawah atau tanah dasar yang diakibatkan oleh
lendutan berulang pada sambungan dan tempat retak yang
direncanakan.
Prosedur ini mempertimbangkan ada tidaknya ruji pada sambungan atau
bahu beton. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan dianggap
28
sebagai perkerasan bersambung yang dipasang ruji. Data lalu lintas yang
diperlukan adalah jenis sumbu dan distribusi beban serta jumlah repetisi
masing-masing jenis sumbu/kombinasi beban yang diperkirakan selama umur
rencana.
Tebal pelat taksiran dipilih dan total fatik serta kerusakan erosi dihitung
berdasarkan komposisi lalu-lintas selama umur rencana. Jika kerusakan fatik
atau erosi lebih dari 100%, tebal taksiran dinaikan dan proses perencanaan
diulangi. Tebal rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil yang
mempunyai total fatik dan atau total kerusakan erosi lebih kecil atau sama
dengan 100%.
2.7.2 Perencanaan Tebal Perkersan Kaku Metode American Associal of State
Highway Transportation Officials atau AASHTO 1993
AASHTO (American Associal of State Highway Transportation Officials)
Guide For Design of Pevement Structures 1993 atau yang lebih dikenal dengan istilah
AASHTO 1993. AASHTO 1993 merupakan salah satu metode perencanaan
perkerasan kaku yang umum di gunakan.
Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode AASHTO 1993 terdiri dari :
- Analisa lalu lintas : mencakup umur rencana, lalu – lintas rata – rata,
pertumbuhan lalu lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent
single axle load.
- Terminal serviceability index.
- Initial serviceability.
- Reability.
- Standar normal deviasi.
- Standar deviasi.
- CBR dan Modulus Reaksi tanah dasar
29
- Modulus elastisitas beton, fungsi dan kuat tekan beton.
- Flexural strength.
- Drainage coefficient.
- Load transfer coefficient.
1. Analisa Lalu – lintas (Traffic Design)
a. Umur rencana
Umumnya perkerasan beton semen dapat di rencanakan dengan umur
rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun (Pd T-14-2003).
b. Vehicle Damage Factor (VDF)
Vehicle Damage Factor atau faktor daya rusak kendaraan adalah
perbandingan antara daya rusak oleh muatan sumbu suatu kendaraan
terhadap daya rusak oleh beban sumbu standar. Penentuan besarnya
nilai VDF di tentukan dengan rumus sebagai berikut :
VDF = (𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑚𝑏𝑢 𝐾𝑒𝑛𝑑𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛,𝑘𝑔
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟)4
Dimana :
Beban Sumbu Standar merupakan beban sumbu kendaraan
berdasarkan konfigurasi dan jenis sumbu.
Ketentuan Beban Sumbu Standar yang dengan ketentuan sebagai
berikut :
- Sumbu Tunggal Roda Tunggal : 5.400 kg
- Sumbu Tunggal Roda Ganda : 8.200 kg
- Sumbu Tandem Roda Ganda : 13.600 kg
- Sumbu Tripel Roda Ganda : 18.100 kg
Data dan parameter lalu – lintas yang di gunakan untuk perencanaan
tebal perkerasan meliputi :
- Jenis kendaraan.
- Volume lalu – lintas harian rata – rata
30
- Pertumbuhan lalu – lintas tahunan.
- Damage factor.
- Umur rencana.
- Faktor distribusi arah (DA).
- Faktor distribusi lajur (DL).
- Equivalent Single Axie Load, ESAL selama umur rencana (traffic
design).
Menrut AASHTO 1993, Faktor distribusi arah : DA = 0,3 – 0,7 dan
umumnya di ambil 0,5, faktor distribusi lajur (DL) mengacu pada
Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Faktor distribusi lajur (DL)
Jumlah lajur setiap arah DL (%)
1 100
2 80 - 100
3 60 – 80
4 50 - 75
(Sumber : AASHTO 1993)
Rumus umum desain traffic ESAL (Equivalent Single Axle Load) :
W18 = ∑ LHRNnN1 j x VDFj x DD x DL x 365
Dimana :
W18 = Traffic design pada lajur lalu – lintas, Equivalent Single Axle
Load.
31
LHRj = Jumlah lalu – lintas harian rata – rata untuk jenis kendaraan j
VDFj = Vehicle Damage Factor untk jenis kendaraan j.
DD = Faktor distribusi arah.
DL = Faktor distribusi lajur.
N1 = Lalu – lintas pada tahun pertama jalan di buka.
Nn = Lalu – lintas pada akhir umur rencana= Jumlah lalu – lintas
harian rata – rata 2 arah untuk jenis
2. California Bearing Ratio (CBR) atau Tanah Dasar
California Bearing Ratio (CBR), dalam perencanaan perkerasan kaku
digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar
(modulus of subgrade reaction : k).
CBR yang umumnya digunakan di Indonesia berdasar besaran 6% untuk
lapis tanah dasar, mengacu pada spesifikasi (versi Kimpraswil / Departemen
Pekerjaan Umum edisi 2004 dan versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta
edisi 2004). Akan tetapi tanah dasar dengan nilai CBR 5 % dan atau 4 % pun
dapat digunakan setelah melalui kajian geoteknik, dengan CBR kurang dari 6
% ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan, masalah
yang terpengaruh adalah fungsi tebal perkerasan yang akan bertambah, atau
masalah penanganan khusus lapis tanah dasar tersebut. (Sumber : AASHTO
1993)
3. Material Konstruksi Perkerasan
Material perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait dalam
perencanaan tebal perkerasan sebagai berikut :
1. Pelat beton
32
- Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2
- Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : fc’ = 350 kg/cm2
(disarankan)
2. Wet lean concrete
Wet lean concrete kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : fc’ = 105
kg/cm2 Sc’ digunakan untuk penentuan parameter flexural strength,
dan fc digunakan untuk penentuan parameter modulus elastisitas beton
(Ec).
4. Reliability
Reliability adalah Probabilitas bahwa perkerasan yang direncanakan akan
tetap memuaskan selama masa layannya. Penetapan angka Reliability dari 50
% sampai 99,99 % menurut AASHTO merupakan tingkat kehandalan desain
untuk mengatasi, mengakomodasi kemungkinan melesetnya besaran-besaran
desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability yang dipakai semakin tinggi
tingkat mengatasi kemungkinan terjadinya selisih (deviasi) desain. Besaran-
besaran desain yang terkait dengan ini antara lain : (Sumber : AASHTO 1993)
- Peramalan kinerja perkerasan.
- Peramalan lalu – lintas.
- Perkiraan tekanan gandar.
- Pelaksanaan konstruksi.
1. Kinerja perkerasan diramalkan pada angka desain Terminal Serviceability
pt = 2,5 (untuk jalan raya utama), pt = 2,0 (untuk jalan lalu-lintas rendah),
dan Initial Serviceability p0 = 4,5 (angka ini bergerak dari 0 – 5).
2. Peramalan lalu-lintas dilakukan dengan studi tersendiri, bukan hanya
didasarkan rumus empirik. Tingkat kehandalan jauh lebih baik
dibandingkan bila dilakukan secara empiris, linear, atau data sekunder.
33
3. Perkiraan tekanan gandar yang diperoleh secara primer dari WIM survey,
tingkat kehandalannya jauh lebih baik dibanding menggunakan data
sekunder.
4. Dalam pelaksanaan konstruksi, spesifikasi sudah membatasi tingkat /
syarat agar perkerasan sesuai (atau lebih) dari apa yang diminta desain.
Bahkan desain merupakan syarat minimum dalam spesifikasi.
Mengkaji keempat faktor diatas, penetapan besaran dalam desain
sebetulnya sudah menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi.
Tetapi tidak ada satu jaminan-pun berapa besar dari keempat faktor tersebut
menyimpang. Penetapan Reliability mengacu pada tabel 2.6. Standar normal
deviasi (ZR) mengacu pada tabel 2.7. sedangkan standar deviation rigit
pavement : So = 0,30 – 0,40.(AASHTO,1993)
Penetapan konsep Reliability dan Standar Deviasi :
Parameter realiability dapat ditentukan sebagai berikut :
- Berdasarkan parameter klasifikasi fungsi jalan
- Berdasarkan status lokasi jalan urban / rural
- Penetapan tingkat Reliability (R)
- Penetapan standar normal deviation (ZR)
- Penetapan standar deviasi (SO)
- Kehandalan dala lalu – lintas dan beban kendaraan
Tabel 2.6 Reliability (R) disarankan
Klasifikasi
jalan
Reliability : R (%)
Urban Rural
Jalan tol 85 - 99,9 80 - 99,9
Arteri 80 - 99 75 - 95
Kolektor 80 - 95 75 - 95
Lokal 50 - 80 50 - 80
(Sumber :AASHTO 1993)
34
Tabel 2.7 Standar normal deviation (ZR)
R(%) ZR R(%) ZR
50 -0,000 93 -1,476
60 -0,253 94 -1,555
70 -0,524 95 -1,645
75 -0,674 96 -1,751
80 -0,841 97 -1,881
85 -1,037 98 -2,054
90 -1,282 99 -2,327
91 -1,340 99,9 -3,090
92 -1,405 99,99 -3,750
(Sumber :AASHTO 1993)
5. Serviceability
Terminal Serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 2.8 dan Intial
serviceability untuk rigit pavement : (po) = 4,5 (AASHTO,1993)
Tabel 2.8 Terminal Serviceability Index
Percent of people Pt
stating unacceptable
12 3,0
55 2,5
85 2,0
(Sumber :AASHTO 1993)
Penetapan parameter serviceability :
- Initial serviceability : po = 4,5
- Terminal serviceability index : pt = 2,5
Jalur utama (major highways)
- Termiinal servicesbility index : pt = 2,0
35
Jalan lalu lintas rendah
- Total loss of serviceability : ΔPSI = po - pt
6. Modulus Reaksi Tanah Dasar
Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan
grafik penentuan modulus reaksi tanah dasar berdasar ketentuan CBR tanah
dasar, Setelah didapatkan nilai CBR rata – rata, maka Modulus of subgrade
reaction (k) dapat dihitung dengan rumus :
MR = 1.500 x CBR
K = MR
19,4
Dimana :
MR = Resilient modulus
Faktor loss of support (LS) mengacu pada tabel 2.9 (AASHTO 1993)
Tabel 2.9 Faktor loss of support
No Tipe material LS
1 Cement Treated Granular Base ( E = 1.000.000 – 2.000.000 psi ) 0 - 1
2 Cement Aggregate Mixtures ( E = 500.000 – 1.000.000 psi ) 0 - 1
3 Asphalt Treated Base ( E = 350.000 – 1.000.000 psi ) 0 - 1
4 Bituminous Stabilized Mixtures ( E = 40.000 – 300.000 psi ) 0 - 1
5 Lime Stabilized ( E = 20.000 – 70.000 psi ) 1 - 3.
6 Unbound Granular Materials ( E = 15.000 – 45.000 psi ) 1 - 3.
7 Fine grained / Natural subgrade materials ( E = 3.000 – 40.000 psi ) 2 - 3.
(Sumber :AASHTO 1993)
7. Modulus Elastisitas Beton
Modulus elastisitas beton adalah perbandingan antara tegangan dan
regangan beton. Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti nilainya
bervariasi tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis pembebanan, dan
karakteristik dan perbandingan semen dan agregat. Pada perkerasan kaku
rumus yang digunakan untuk mendapatkan modulus elastisitas beton yaitu :
36
EC = 57.000 √𝑓𝑐′
Dimana :
EC = Modulus elastisitas beton (psi).
Fc’ = Kuat tekan beton, silinder (psi).
Kuat tekan beton fc’ ditetapkan sesuai pada spesifikasi pekerjaan (jika ada
dalam spesifikasi)
Di Indonesia saat ini umumnya digunakan : fc’ = 350 kg/cm2
8. Flexural Strength
Flexural strength (modulus of rupture) ditetapkan sesuai pada Spesifikasi
pekerjaan. Flexural strength saat ini umumnya digunakan : Sc’ = 45 kg/cm2 =
640 psi.
9. Koefisien Drainase (Drainase Coefficient)
AASHTO memberikan 2 variabel untuk menentukan nilai koefisien
drainase :
Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good,
fair, poor, very poor. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air
dapat dibebaskan dari pondasi perkerasan. Penetapan variabel
pertama mengacu pada tabel 2.10
37
Tabel 2.10 Quality of drainage
Quality of drainage Tingkat penyerapan air
Excellent 2 jam
Good 1 hari
Fair 1 minggu
Poor 1 bulan
Very poor Air tidak terbatas
(Sumber :AASHTO 1993)
Variabel kedua : persentasi strutur perkerasan dalam satu tahun
terkena air sampai tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan
variasi < 1 %, 1 – 5 %, 5 – 25 %, > 25 %. Untuk mendapatkan
nilai variabel kedua dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut :
Pheff = 𝑇𝑗𝑎𝑚
24 x
𝑇ℎ𝑎𝑟𝑖
365 x WL x 100
Dimana :
Pheff = Persentasi hari efektif hujan dalam setahun yang akan
berpengaruh terkenanya perkerasan (dalam %).
Tjam = Rata – rata hujan per hari (jam).
Thari = Rata – rata jumlah hari hujan per tahun (hari)
WL = Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)
Selanjutnya koefisien drainase mengcu pada tabel 2.11
38
Tabel 2.11 Koefisien drainase
Percen of time pavement structure is exposed to moisture levels
approaching saturation
Quality of drainage < 1 % 1 - 5 % 5 - 25 % > 25 %
Excellent 1.25 - 1.20 1.20 - 1.15 1.15 - 1.10 1.10
Good 1.20 - 1.15 1.15 - 1.10 1.10 - 1.00 1.00
Fair 1.15 - 1.10 1.10 - 1.00 1.00 - 0.90 0.90
Poor 1.10 - 1.00 1.00 - 0.90 0.90 - 0.80 0.80
Very poor 1.00 - 0.90 0.90 - 0.80 0.80 - 0.70 0.70
(Sumber :AASHTO 1993)
Penetapan parameter koefisien drainase :
- Berdasarkan kualitas drainase.
- Kondisi Time pavement structure is exposed to moisture levels
approaching saturation dalam setahun.
10. Koefisien Penyaluran Beban (Load Transfer Coefficient)
Koefisien Penyaluran Beban (Load transfer coefficient) mengacu pada
tabel 2.12 (AASHTO 1993).
Tabel 2.12 Koefisien penyaluran beban
Bahu Aspal Tied PCC
Penyaluran beban Ya Tidak Ya Tidak
Jenis pekerjaan
Beton bersambung
tak 3,2 3,8 - 4,4 2,5 - 3,1 3,6 - 4,2
bertulang dan
bertulang
CRCP 2,9 - 3,2 N/A 2,3 - 2,9 N/A
(Sumber :AASHTO 1993)
Pendekatan penetapan parameter load transfer :
- Joint dengan dowel : J = 2,5 – 3,1
- Untuk overlay design : J = 2,2 – 2,6
39
11. Perhitungan Tebal Pelat
Perencanaan tebal perkerasan beton perlu di pilih kombinasi yang paling
optimum atau ekonomis dari tebal pelat beton dan lapis pondasi bawah.
Penentuan tebal perkerasan beton dapat di tentukan dengan persamaan :
Log10W18=ZRSo+7,35log10(D+1)-0,06+log10[
𝛥𝑃𝑆𝐼
4,5−1,5]
1+1,624𝑥107
(𝐷+1)8,46
+(4,22-0,32.pt)xlog10
𝑆𝑐.𝐶𝑑[𝐷0,75−1,132]
215,63𝑥𝐽𝑥[18,42
(𝐸𝑐𝑘)0,25]
Dimana :
W18 = Traffic design, Equivalent Single Axle Load (ESAL).
ZR = Standar normal deviasi.
So = Standar deviasi.
D = Tebal pelat beton (inches).
ΔPSI = Serviceability loss = po – pt
po = Initial serviceability.
Pt = Terminal serviceability index.
Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi).
Cd = Drainage coefficient.
J = Load transfer coefficient.
Ec = Modulus elastisitas (psi).
k = Modulus reaksi tanah dasar (pci)
12. Dowel dan Tie Bar
a. Dowel
Dowel alat pemindah beban yang biasanya di pakai adalah dowel baja
buat polos. Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan
yang dipasang dengan separuh panjang terikat dan separuh panjang
dilumasi atau dicat untuk memberikan kebebasan bergeser. Syarat
perancangan minimum dapat mengacu pada tabel 2.13. atau penentuan
diameter dowel dapat menggunakan pendekatan formula :
d = 𝐷
8
40
Dimana :
d = diameter dowel / ruji
D = Tebal pelat beton
Tabel 2.13 Ketentuan dimensi dan jarak pemasangan dowel
Tebal perkerasan (in) Diameter dowel
(in)
Panjang dowel
(in)
Jarak dowel
(in)
6 3/4 18 12
7 1 18 12
8 1 18 12
9 1 1/4 18 12
10 1 1/4 18 12
11 1 1/4 18 12
12 1 1/4 18 12
(Sumber :AASHTO 1993)
b. Tie bar
Tie bar (batang pengikat) adalah potongan baja profil yang dipasang
pada lidah alur dengan maksud untuk mengikat pelat agar tidak bergerak
horizontal. Tie bar dirancang untuk memegang plat sehingga teguh, dan
dirancang untuk menahan gaya – gaya tarik maksimum. Tie bar tidak
dirancang untuk memindah beaban. Jarak Tie bar dapat mengacu pada
tabel 2.14
41
Tabel 2.14 Ketentuan dimensi dan jarak pemasangan Tie bar
Jenis dan
mutu baja
Tegangan
kerja (psi)
Tebal
perkerasan
(in)
Diameter batang 1/2 in
Panjang
(in)
Jarak maximum (in)
Lebar
lajur 10
ft
Lebar
lajur 11
ft
Lebar
lajur 12
ft
Grade 40 30 .000
6 25 48 48 48
7 25 48 48 48
8 25 48 44 40
9 25 48 40 38
10 25 48 38 32
11 25 35 32 29
12 25 32 29 26
(Sumber :AASHTO 1993)
2.8 Rencana Anggaran Biaya
2.8.1 Pengertian Rencana Anggaran Biaya
Rencana anggaran biaya adalah :
- Perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta biaya-
biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan atau proyek tertentu.
- Merencanakan sesuatu bangunan dalam bentuk dan faedah dala penggunaannya,
beserta besar biaya yang diperlukan susunan-susunan pelaksanaan dalam
bidangadministrasi maupun pelaksanaan pekerjaan dalam bidang teknik
Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam penyusunan anggaran biaya antara
lain :
- Anggaran Biaya Kasar (Taksiran), sebagai pedomannya digunakan harga
satuannyatiap meter persegi luas lantai. Namun anggaran biaya kasar dapat juga
sebagaipedoman dalam penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang
dihitung secara teliti.
42
- Anggaran Biaya Teliti, proyek yang dihitung dengan teliti dan cermat sesuai
dengan ketentuan dan syarat-syarat penyusunan anggaran biaya(Nurcholid
Syawaldi).
2.8.2 Tujuan Rencana Anggaran Biaya
Untuk mengetahui harga bagian/item pekerjaan sebagai pedoman untuk
mengeluarkan biaya-biaya dalam masa pelaksanaan. Selain itu supaya bangunan yang
akan didirikan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien (Nurcholid Syawaldi).
2.8.3 Fungsi Rencana Anggaran Biaya
Sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan dan sebagai alat pengontrol
pelaksanaan pekerjaan (Nurcholid Syawaldi).
2.9 Analisa Harga Satuan Dasar (HSD)
Komponen untuk menyusun Harga Satuan Pekerjaan (HSP) memerlukan
analisa Harga Satuan Dasar(HSD) tenaga kerja,Harga Satuan Dasar(HSD) alat, dan
Harga Satuan Dasar(HSD) bahan. Berikut ini diberikan langkah-langkah
perhitunganHarga Satuan Dasar(HSD) komponen Harga Satuan Pekerjaan (HSP)
(Kementrian Pekerjaan Umum).
2.9.1 Langkah Perhitungan Harga Satuan Dasar (HSD) Tenaga Kerja
Untuk menghitung harga satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu bahan
rujukan harga standar untuk upah sebagai Harga Satuan Dasar (HSD) tenaga kerja.
Langkah perhitungan Harga Satuan Dasar (HSD) tenaga kerja adalah sebagai
berikut:
1. Tentukan jenis keterampilan tenaga kerja, misal pekerja (P), tukang (Tx), mandor
(M), atau kepala tukang (KaT)
2. Kumpulkan data upah yang sesuai dengan peraturan daerah (Gubernur, Walikota,
Bupati) setempat, data upah hasil survai di lokasi yang berdekatan dan berlaku
untuk daerah tempat lokasi pekerjaan akan dilakukan
3. Perhitungkan tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah dengan
memperhitungkan biaya makan, menginap dan transport
43
4. Tentukan jumlah hari efektif bekerja selama satu bulan (24 – 26 hari), dan jumlah
jam efektif dalam satu hari (7 jam).
5. Hitung biaya upah masing-masing per jam per orang
6. Rata-ratakan seluruh biaya upah per jam sebagai upah rata-rata per
jam(Kementrian Pekerjaan Umum).
2.9.2 Langkah Perhitungan Harga Satuab Dasar (HSD) Alat
AnalisisHarga Satuan Dasar(HSD)alat memerlukan data upah operator atau
sopir, spesifikasi alat meliputi tenaga mesin, kapasitas kerja alat (m³), umur ekonomis
alat (dari pabrik pembuatnya), jam kerja dalam satu tahun, dan harga alat. Faktor
lainnya adalah komponen investasi alat meliputi suku bunga bank, asuransi alat,
faktor alat yang spesifik seperti faktor bucket untuk Excavator, harga perolehan alat,
dan Loader, dan lain-lain(Kementrian Pekerjaan Umum).
2.9.3 Langkah Perhitungan Harga Satuan Dasar (HSD) Bahan
Untuk menghitung harga satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu
rujukan harga standar bahan atau Harga Satuan Dasar(HSD) bahan per satuan
pengukuran standar.
Analisis Harga Satuan Dasar(HSD) bahan memerlukan data harga bahan
baku, serta biaya transportasi dan biaya produksi bahan baku menjadi bahan olahan
atau bahan jadi. Produksi bahan memerlukan alat yang mungkin lebih dari satu alat.
Setiap alat dihitung kapasitas produksinya dalam satuan pengukuran per jam, dengan
cara memasukkan data kapasitas alat, faktor efisiensi alat, faktor lain dan waktu
siklus masing-masing. Harga Satuan Dasar(HSD)bahan terdiri atas harga bahan baku
atau Harga Satuan Dasar(HSD)bahan baku, Harga Satuan Dasar(HSD) bahan olahan,
dan Harga Satuan Dasar(HSD) bahan jadi. Perhitungan harga satuan dasar (HSD)
bahan yang diambil dari quarry dapat menjadi dua macam, yaitu berupa bahan baku
(batu kali/gunung, pasir sungai/gunung dll), dan berupa bahan olahan (misalnya
agregat kasar dan halus hasil produksi mesin pemecah batu dan lain sebagainya).
44
Harga bahan di quarry berbeda dengan harga bahan yang dikirim ke base
camp atau ke tempat pekerjaan, karena perlu biaya tambahan berupa biaya
pengangkutan material dari quarry ke base camp(Kementrian Pekerjaan Umum)