BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PEMAAFAN...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PEMAAFAN...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemaafan dinyatakan sebagai sesuatu yang rumit
atau tidak dapat dilakukan dan juga dapat dilakukan. Dalam melaksanakan pemaafan terdapat aspek-aspek dan faktor-faktor yang mendukungnya. Bab ini akan
memberikan penjelasan mengenai pemaafan dan teori-teori yang mendasari pemaafan, serta bagaimana hubungan pemaafan dengan faktor empati dan faktor religiusitas yang
menjadi prediktornya.
2.1. PEMAAFAN (FORGIVENESS)
2.1.1. Definisi pemaafan
Para peneliti terdahulu telah menggunakan definisi yang berbeda-beda untuk pemaafan. Penelitian empiris pada
agama menyatakan bahwa pemaafan telah dipromosikan lebih dari seribu tahun dan telah dibantu menentukan
definisinya melalui budaya. Disamping itu, agama telah memengaruhi proses psikologi untuk memberi definisi tentang pemaafan (Macaskill, 2005).
Dalam tradisi Kristen, forgiveness didasarkan pada
pengalaman pengampunan ilahi, sehingga pemaafan dianggap berada dalam pusat keyakinan Kristen (Pargament & Rye, 1998 dalam Macaskill, 2005). Bukti yang mendukung
hal ini dinyatakan oleh McCullough dan Worthington (1999) bahwa individu yang religius menilai pemaafan lebih dapat dilakukan daripada individu yang tidak religius.
McCullough, Bono, dan Root (2005) menyatakan bahwa
para psikolog tampak setuju dengan beberapa poin tentang pemaafan (forgiveness) yang harus dibedakan dari mengampuni (pardoning), memaafkan (condoning),
memaafkan (excusing), melupakan (forgetting), dan menyangkal (denying). Sebagian besar lagi juga sependapat
bahwa forgiveness harus dibedakan dari konsep yang berkaitan dengan rekonsiliasi (reconciliation).
Walaupun demikian, ada beberapa definisi yang telah diberikan seperti: McCullough (McCullough, Bono, dan Root,
2005) mengusulkan bahwa seseorang memaafkan (forgiveness) adalah saat mengalami serangkaian perubahan motivasi untuk tidak menghindar dan tidak melakukan
balas dendam serta dapat berperilaku lebih baik terhadap transgresor. Pemaafan adalah perubahan serangkaian
motivasi dengan cara (a) semakin menurunnya motivasi untuk melawan yang dapat dilakukan dengan membalas dendam; (b) semakin menurunnya motivasi untuk
menghindari transgresor, dan (c) semakin meningkatnya motivasi oleh perdamaian dan niat baik pada transgresor (McCullough, Worthington & Rachal, 1997).
Pemaafan adalah sebuah perubahan prososial
intraindividu terhadap transgresor yang ditetapkan dalam sebuah hubungan yang khusus (McCullough, Pargament & Thoresen, 2000, dalam McCullough, Bono & Root, 2005)
serta perubahan prososial dalam motivasi untuk menghindari atau membalas dendam kepada transgresor (McCullough 2000 dalam Macaskill, 2005). Dipertegas lagi,
McCullough, Bono, dan Root (2007 dalam Sandage & Williamson, 2010), pemaafan adalah rangkaian perubahan
prososial dalam motivasi individu terhadap pelanggaran interpersonal dimana individu menjadi tidak terlalu menjauh (less avoidant) dan tidak terlalu mendendam (less vengeful) terhadap transgresor, dan mungkin, menjadi bersikap lebih baik (more benevolent).
Enright dan Coyle (1998) serta Enright, Gassin, dan
Wu (1992) mendefinisikan pemaafan sesuai pendapat seorang filosof yang bernama J. North, yaitu kemampuan untuk melihat transgresor dengan penuh iba, kebajikan dan
kasih dan dengan sengaja mengabaikan haknya.
Pemaafan adalah sejauh mana individu telah
memaafkan orang yang telah menyakiti (Wade, 1990 dalam Bedell, 2002).
Kebanyakan ahli kelihatannya setuju bahwa pemaafan adalah proses perubahan motivasi dimana individu menjadi
lebih positif dan membuang yang negatif (yakni menghindar – avoidance, dan balas dendam – revenge) pada individu
yang telah merugikannya di masa lalu (Worthington, 2005 serta McCullough, Root & Cohen, 2006).
Ada tiga fitur penting dalam pemaafan yang dinyatakan oleh McCullough dan Worthington (dalam Loewenthal, 2007):
1. Persepsi bahwa tindakan orang lain adalah hal yang
berbahaya, menyakitkan, tidak bermoral, atau tidak adil.
2. Persepsi ini mendatangkan respon emosional seperti kemarahan; respon emosional seperti keinginan untuk menyakiti transgresor; respon kognitif atau
perilaku, seperti tindakan agresif dan hilangnya rasa hormat.
3. Dengan pemaafan, respon emosional negatif, motivasional, kognitif, dapat melanjutkan hubungan
interpersonal yang prososial dan harmonis.
Dari beberapa definisi di atas, maka untuk tujuan
penelitian ini, definisi pemaafan yang akan digunakan yaitu memaafkan segala kekeliruan masa lalu yang menyakitkan
dengan berbuat lebih baik, tidak memiliki rasa dendam, dan menghentikan sikap menghindari dengan emosi yang positif.
2.1.2. Teori Pemaafan (forgiveness )
Adapun teori forgiveness yang peneliti paparkan
sebagai berikut :
Teori McCullough (Worthington, 2005 serta McCullough, Root & Cohen, 2006) adalah motivasi berbuat baik (benevolence motivations) yaitu bertambahnya dorongan
untuk berbuat baik dari kesalahan yang telah dilakukan dengan tidak menghindar dan tidak ingin membalas
dendam.
McCullough (dalam Wohl, DeShea & Wahkinney,
2008) menentukan pemaafan sebagai konstelasi motivasi
prososial. Individu dimotivasi untuk tidak menghindari pembuat kesalahan dan bukan untuk membalas dendam.
Selanjutnya saat melaksanakan pemaafan, ingatan kepada transgresor dan kejahatannya tidak lagi memotivasi mereka terhadap perilaku tersebut.
Worthington, Sharp, Lerner, dan Sharp (2006) menyatakan bahwa motif dalam hidup individu sering
bersaing dan dapat bertransformasi. Penggantian emosional (emotional replacement) yaitu penggantian emosi negatif dengan emosi positif dapat berkontribusi untuk mengubah
motif. Emosi positif sering berbaur bersama-sama untuk membentuk ekspresi positif yang kompleks dan emosi
negatif berbaur untuk membentuk ekspresi negatif yang kompleks pula (Damasio, 1999, dalam Worthington, Sharp, Lerner dan Sharp, 2006). Ketika berada pada emosi negatif
yang meliputi kemarahan, ketakutan, kebencian, permusuhan, kepahitan, maka tidak melakukan pemaafan (Worthington dan Scherer, 2004). Emosi positif yang
mengarah pada pemaafan telah diidentifikasi sebagai empati, simpati, kasih, cinta romantis, dan cinta altruistik
(Worthington dkk., 2001; Wade dan Worthington, 2002 dalam Worthington dan Scherer, 2004). Pengalaman sejumlah emosi positif diperlukan untuk menetralkan
unforgiveness sehingga forgiveness bisa terjadi sebagian saja atau sepenuhnya. Sesuai pendapat Worthington, Sharp,
Lerner, dan Sharp, (2006) menyatakan bahwa ketika stimulus diberikan setelah suatu transgresi, maka motivasi terpicu untuk hadir dan (mungkin) bertindak pada basis
kebajikan. Dengan demikian, motif balas dendam diubah dengan motif belas kasihan, kasih, altruisme, konsiliasi, dan
cinta.
Dari teori yang dinyatakan seperti di atas, maka peneliti
menggunakan teori McCullough karena individu akan melakukan pemaafan jika memiliki motivasi yang dipengaruhi oleh emosi.
2.1.3. Komponen/Dimensi Pemaafan
1) Komponen motivasional berkaitan dengan indikator berbuat lebih baik seperti keinginan hubungan yang
lebih baik, meninggalkan permusuhan, melanjutkan hubungan, mengesampingkan perbuatan yang tidak
baik, memiliki keinginan hubungan positif, melenyapkan perasaan sakit, dan kembali pada hubungan seperti semula.
2) Komponen prososial berkaitan dengan indikator tidak menghindari / tetap berdekatan, menganggap pribadinya tetap ada, percaya, dapat bersikap ramah,
dapat menjumpai/menemui, dan melanjutkan hubungan, serta tidak membalas dendam seperti tidak
memberi ganjaran, tidak mengingini kejadian yang buruk, mendapatkan yang baik, melakukan yang baik, tidak membalas dengan yang buruk.
3) Komponen emosi positif berkaitan dengan indikator peduli, persahabatan, perasaan senang, simpati, dan sayang yang sebelumnya emosi negatif berkaitan
dengan indikator menolak, menghindar, kasar, hina, takut, dan cemas.
Dalam penelitian ini akan menggunakan komponen-komponen pemaafan ini yaitu: motivasional, prososial, dan emosi positif.
Pemaafan mempunyai tiga komponen: motivasional,
prososial, dan emosi positif (McCullough, Rachal, Sandage, Worthington, Brown & Hight, 1998; McCullough, Root & Cohen, 2006; Orathinkal, Vansteenwegen, Enright &
Stroobant, 2007).
Legaree, dkk., (2007, dalam Hill, 2010) mengusulkan tiga
dimensi utama untuk pemaafan yang memiliki relevansi bagi terapis.
1) Dimensi yang berkaitan dengan apakah pemaafan merupakan hal penting (essential).
2) Dimensi yang berkaitan dengan apakah pemaafan merupakan hal yang diniati (intentional).
3) Dimensi yang meneliti keuntungan (beneficial) saat melakukan pemaafan.
2.1.4. Faktor-faktor yang memengaruhi pemaafan.
Individu yang melakukan pemaafan dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Menurut Wade dan Worthington (2003) faktor itu adalah:
1. Religiusitas (religiosity). Individu yang mendasarkan tingkah laku hidup sehari-hari / segala aspek
hidupnya dalam agama yang diyakininya dapat melakukan pemaafan. Individu yang memiliki
tingkat religiusitas yang tinggi dapat melakukan pemaafan. Keyakinan agama dengan pemaafan telah menunjukkan korelasi dengan indikator kesehatan
mental (Rye, dkk., 2000; Thoresen, dkk., 1998 dalam van Dyke & Elias, 2007).
2. Empati. Empati merupakan faktor utama penentu
pemaafan dalam diri individu untuk memposisikan dirinya berada dalam situasi dan kondisi yang
dialami oleh individu lain serta merasakan gejolak jiwa yang terjadi dalam diri transgresor.
3. Keramahan. Keramahan artinya baik hati,
maksudnya individu yang dapat mengerti keadaan individu lain dan memakluminya sehubungan
transgresi. Keramahan memungkinkan pemaafan. Berry, dkk., (2001 dalam Allemand, Irina, Daniel & Fincham, 2007) melaporkan bahwa pemaafan
berhubungan positif dengan keramahan. 4. Kemarahan. Kemarahan adalah emosi negatif yang
sering menstimulasi usaha untuk mengurangi tidak
memaafkan (unforgiveness). 5. Perasaan malu (shame-pronenes). Individu sebagai
pelaku kejahatan memiliki perasaan malu atas perbuatan yang dilakukannya telah melukai pihak
lain. Adanya perasaan malu yang dihasilkan transgression menjadi tidak berani bertemu dengan korban kejahatan maka semakin mempersulit
melakukan pemaafan. 6. Kedekatan hubungan dengan transgresor.
Berhubung pemaafan melibatkan perubahan pada dorongan negatif menjadi lebih positif terhadap transgresor, maka kedekatan hubungan individu
dengan transgresor akan memengaruhi proses tersebut. Kedekatan hubungan diantara mereka
dapat meningkatkan empati pada kedua pihak. Empati merupakan salah satu faktor utama dalam proses pemaafan, maka semakin dekat hubungan
antar kedua pihak maka semakin tinggi pula empati diantara mereka. Oleh karena itu, kedekatan hubungan di antara kedua individu dapat memicu
pemaafan. Semakin dekat hubungan, maka semakin memungkinkan individu menjadi lebih mudah
untuk memaafkan transgresor. 7. Kualitas hubungan interpersonal sebelum
transgresi. Hubungan interpersonal maksudnya
kedekatan antar individu yang tersakiti dengan pelaku. Ciri-ciri hubungan itu seperti kedekatan (closeness), komitmen (commitment), dan kepuasan
(satisfaction). Pasangan yang memiliki kualitas hubungan seperti ini akan lebih siap untuk
memaafkan satu sama lain jika terjadi serangan interpersonal. McCullough, Rachal, Sandage,
Worthington, Brown, dan Hight (1998) menyatakan bahwa hubungan romantis mungkin lebih bersedia untuk memaafkan karena mempunyai sumber daya
yang cukup besar dalam hubungan. Selain itu, mitra dalam hubungan berkualitas tinggi mungkin
memiliki orientasi jangka panjang yang mungkin memotivasi untuk mengabaikan rasa sakit dalam menjaga hubungan.
8. Reaksi transgresor (luka yang ditimbulkan oleh transgresor). Semakin besar luka yang dihasilkan
maka semakin sulit pula individu memaafkan transgresor.
9. Permintaan maaf. Individu akan menunjukkan pemaafan jika transgresor meminta maaf
kepadanya. Permintaan maaf menstimulasi emosi dalam diri korban dan menumbuhkan empati terhadapnya, sehingga dapat meningkatkan
pemaafan individu terhadap transgresor.
McCullough, dkk., (1998), mengemukakan lima faktor yang memengaruhi kondisi individu yang memaafkan
terhadap transgresi. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Sosial-kognitif. Pemaafan dapat ditentukan untuk
dilakukan melalui afektif empati dan perenungan (rumination) tentang pelanggaran. Pada saat perenungan, pikiran menjadi terganggu dan tidak
memungkinkan untuk mempertahankan hubungan sehingga memungkinkan menghindari dan
membalas dendam terhadap transgresor. Semakin individu merenung kejadian pada saat ia menerima transgresi, maka semakin ia menghindar dari
transgresor dan menuntut untuk membalas dendam terhadapnya. Bila perenungan dalam mengingat
kembali transgresi, dapat menimbulkan stres atau tekanan psikologis antar pribadi (Greenberg, 1995 serta Holman & Silver, 1996 dalam McCullough,
dkk., 1998) maka rumination tidak selamanya akurat karena seringkali hanya fokus pada membayangkan
pikiran transgresor, motif dan reaksi pada saat transgresi. Yang tepat adalah mempelajari respon individu saat rumination (Lawler, dkk., 2003 serta
Witvliet, dkk., 2001 dalam Witvliet, Hinze, & Worthington, 2008).
2. Kedekatan hubungan dengan transgresor (offense-related). Pelanggaran yang lebih berat menjadi lebih
sulit untuk dimaafkan (Darby & Schlenker, 1982 serta Weiner, dkk., 1991 dalam McCullough, dkk.,
1998). Selain itu, sejauh mana pelaku meminta maaf dan berusaha memaafkan pelanggaran sehingga menjadi hubungan maaf-memaafkan (Girard &
Mullet, 1997 serta Ohbuchi, Kameda, & Agaric, 1989 dalam McCullough, dkk., 1998). Individu penerima
permintaan maaf dari transgresor memungkinkan empati terhadapnya, sehingga dapat meningkatkan pemaafan individu terhadap transgresor
(McCullough, Worthington, dan Rachal, 1997). Empati merupakan salah satu faktor utama dalam proses pemaafan, maka semakin dekat hubungan
antar kedua pihak maka semakin tinggi pula empati diantara mereka. Oleh karena itu, kedekatan
hubungan di antara kedua individu dapat memicu pemaafan. Semakin dekat hubungan, maka semakin mudah memungkinkan individu memaafkan
transgresor.
3. Kualitas hubungan. Teori saling ketergantungan
(Kelley dan Thibault, 1978 dalam McCullough, dkk., 1998) menyatakan bahwa memaafkan dipahami
sebagai seperangkat hubungan konstruktif- motivasional yang berubah, tingkat keintiman atau kedekatan harus berhubungan positif dengan
pemaafan. Pertama, hubungan lebih dekat; kedua, hubungan berkualitas tinggi dengan orientasi jangka
panjang mungkin memotivasi untuk mengabaikan rasa sakit hati; ketiga, pada pasangan hidup dapat bergabung kembali; keempat, kualitas hubungan
memberi orientasi pada hubungan yang bermanfaat. Beberapa penelitian seperti Nelson, 1993; Rackley, 1993; Rolov dan Janiszewski, 1989 serta Woodman,
1991 (dalam McCullough, dkk., 1998) menunjukkan bahwa mitra lebih bersedia melakukan pemaafan
satu dengan yang lain dalam hubungan yang ditandai dengan kepuasan yang tinggi, kedekatan, dan komitmen.
4. Kepribadian (personality). Kepribadian mempenga-
ruhi proses terwujudnya pemaafan dengan memfasilitasi gaya hubungan tertentu seperti menyikapi balas dendam (Emmons, 1992 serta
Stuckless & Goranson, 1992 dalam McCullough, dkk., 1998), gaya umum menanggapi kemarahan (Tangney, Wagner, Hill-Barlow, Marschall &
Gramzow, 1996, dalam McCullough, dkk., 1998), atau memengaruhi beberapa kognisi dan tingkat
religiusitas (Heider, 1958 dalam McCullough, dkk., 1998). Selanjutnya, pemaafan berhubungan negatif dengan extraversion dan neurotisisme (Allemand,
Irina, Daniel & Fincham, 2007). Ada tiga aspek dari neurotisisme yang berhubungan negatif dengan
pemaafan yaitu kecemasan, emosionalitas, dan ketidakpercayaan (Walker & Gorsuch, 2002 dalam
Allemand, Irina, Daniel & Fincham, 2007). 5. Empati. Empati merupakan faktor utama penentu
pemaafan dalam diri individu untuk memposisikan
dirinya berada dalam situasi dan kondisi yang dialami oleh individu lain serta merasakan gejolak jiwa yang terjadi dalam diri transgresor (Mccullough,
Worthington & Rachal, 1997). Jadi, individu ini membantu transgresor dalam memahami gejolak
yang terjadi dalam diri transgresor.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
ada faktor-faktor yang memengaruhi pemaafan seperti religiusitas, kedekatan hubungan, kualitas hubungan,
kepribadian, dan empati. Juga, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pemaafan terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal sebagai faktor
dari dalam individu dan faktor eksternal sebagai faktor dari luar individu. Faktor internal yang memengaruhi pemaafan
misalnya empati, dan faktor eksternal yang memengaruhi pemaafan antara lain adalah agama, permintaan maaf dan kualitas hubungan interpersonal.
2.1.5.Tipe Pemaafan
Menurut Worthington (dalam Worthington & Scherer, 2004; Davis, Hook & Worthington, 2008; Worthington, David
& Frederick, 2010; Toussaint & Friedman, 2009) membedakan dalam dua tipe forgiveness, yaitu:
1. Pemaafan keputusan (decisional forgiveness). Decisional forgiveness muncul pada saat korban membuat pernyataan untuk lebih sedikit berperilaku
negatif dan lebih banyak berperilaku positif terhadap transgresor. Keputusan untuk tidak membalas
dendam, tidak menghindari transgresor, dan memperlakukan transgresor sebagai individu yang berharga walaupun mungkin tidak sepenuhnya
melakukan pemaafan secara emosional. Decisional forgiveness sebagai pernyataan niat yang tulus
dimediasi secara kognitif terhadap interaksi interpersonal.
2. Pemaafan emosional (emotional forgiveness). Emotional forgiveness berakar dari satu sub set emosi negatif dimana individu menggantikan emosi
negatif (seperti kemarahan, ketakutan, kesakitan dan kepahitan) dengan emosi positif (seperti simpati,
empati atau cinta). Emotional forgiveness dapat dilakukan pada saat individu kurang termotivasi untuk melakukan balas dendam, menghindar dari
transgresor, dan individu dapat merasakan kasih, iba, simpati, dan empati kepada transgresor. Maka
memaafkan dapat dilaksanakan.
Individu dapat melakukan pemaafan keputusan dan
pemaafan emosi secara beriringan artinya kadangkala tanpa disadari bahwa pemaafan emosional muncul dengan
sendirinya setelah adanya penyesalan. Lalu pemaafan keputusan mengikuti setelah pemaafan emosional. Demikian juga sebaliknya (Worthington dan Scherer, 2004).
Maka, dalam diri individu tidak dapat dinyatakan mana yang lebih awal yang menjadi suatu keharusan yang mesti terjadi tetapi pemaafan keputusan dan pemaafan emosional
tetap terlaksana pada saat melakukan pemaafan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemaafan dapat terjadi dalam individu sebagai keputusan dan emosional.
Fox dan Thomas (2008) menyatakan bahwa pemaafan dibagi ke dalam dua tipe yaitu:
1. Tipe spesifik. Tipe ini mengacu kepada pemaafan
dalam tindakan pelanggaran khusus saja. 2. Tipe kecenderungan (dispositional). Tipe ini mengacu
kepada tindakan pemaafan terkait dengan serangkaian mental yang berkaitan dengan waktu yang panjang dan kesehatan fisik. Brown dan Philips
(2005, dalam Fox dan Thomas, 2008), merekomendasikan tiga tipe kecenderungan pemaafan
(forgiveness dispositional) yaitu: a. Sikap pemaafan (attitudinal forgiveness)
maksudnya sikap umum dalam forgiveness.
b. Perilaku pemaafan (behavioral forgiveness) maksudnya ialah kecenderungan untuk pemaafan
dengan pelanggaran yang dilakukan masa lalu. c. Rencana pemaafan di masa mendatang (projective
forgiveness) maksudnya kemungkinan pemaafan
dilaksanakan sampai pada masa mendatang.
Jadi, Fox dan Thomas mengutarakan dua tipe pemaafan yaitu spesifik dan kecenderungan. Tetapi Brown dan Philips menambahkan tiga tipe di dalam tipe
kecenderungan. Pada tipe kecenderungan tersebut telah berhasil diidentifikasi menjadi konstruk penentu dalam
melaksanakan pemaafan, yaitu menjadi sikap, perilaku dan dapat dilaksanakan untuk waktu seterusnya.
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa individu yang melakukan pemaafan berdasarkan pada tipe dan masing-masing tipe memiliki fungsi tersendiri untuk
membentuk individu dalam melakukan pemaafan.
2.2. PERKEMBANGAN HIDUP
Penelitian yang akan dilakukan penulis berfokus pada
mahasiswa STTS yang dari batas usia mereka tidak dapat digolongkan berada pada satu level. Sesuai dengan data pendaftaran mahasiswa, usia mereka berada antara 16
sampai 60 tahun. Oleh karena itu, penulis akan membahas secara singkat mengenai batas usia mahasiswa dan tugas
perkembangannya.
2.2.1. Batasan Usia
Pada masa kini, belajar tidak lagi dibatasi pada usia sebab sepanjang hidup manusia ia dapat belajar.
Demikian pula dengan instansi pendidikan dapat memajukan sumber daya manusia dengan mengikuti
sistem belajar sepanjang hidup.
Masa transisi remaja dimulai kira-kira pada usia
10 sampai 13 tahun dan berakhir di usia antara 18 sampai 22 tahun (Santrock, 2003). Mönks dkk., (2002) membagi perkembangan dalam masa remaja ke dalam
tiga bagian besar yang secara global berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun; masa remaja awal (12-15
tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Remaja awal umumnya adalah mereka yang memasuki pendidikan di
bangku sekolah menengah tingkat pertama, remaja tengah memasuki pendidikan sekolah menengah atas dan remaja akhir adalah mereka yang lulus SMA atau
masuk perguruan tinggi dan mungkin mereka yang sudah bekerja (Dariyo, 2004). Hurlock (2003) secara
umum menyatakan bahwa masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa remaja dan akhir masa remaja. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13
sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 sampai 18 tahun, yaitu masa usia matang secara hukum. Papalia, Olds, dan
Feldman (2009) membagi perkembangan masa dewasa awal kira-kira 20 sampai 40 tahun. Sesuai dengan data
pendaftaran, mahasiswa STTS berada pada usia antara 16 sampai 60 tahun maka sebagai patokan dalam penelitian ini, penulis menggunakan batasan usia
mahasiswa pada akhir masa remaja sampai masa pertengahan dewasa yaitu antara 16 sampai 40 tahun.
Alasan batasan usia ini digunakan berhubung untuk mengurangi nilai ekstrim atau variabilitas.
2.2.2. Tugas Perkembangan Kehidupan.
Perkembangan ialah pola gerakan atau perubahan yang berlangsung sepanjang masa hidup, juga dalam
hubungannya dengan individu lain. Perkembangan itu dipengaruhi oleh proses-proses biologis, kognitif, dan sosioemosional yang saling memengaruhi (Santrock,
2002).
Para peneliti perkembangan hidup manusia
menganggap bahwa masa-masa akhir remaja hingga permulaan masa tua merupakan masa yang relatif
stabil, tetapi hasil penelitian membuktikan bahwa hal ini tidaklah selalu demikian. Pertumbuhan dan penurunan
terus terjadi disepanjang kehidupan, dengan tingkat keseimbangan yang berbeda untuk setiap individu.
Keputusan dan peristiwa yang terjadi selama masa akhir remaja yang berlanjut sampai masa dewasa awal, memiliki keterikatan erat dengan bagaimana
keseimbangan tersebut dapat tercapai (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
2.2.2.1. Ciri-ciri masa remaja.
Hurlock (1980) menuliskan bahwa pada masa
remaja mempunyai ciri-ciri tertentu dimana salah satunya berada pada periode perubahan. Ada beberapa
perubahan yang hampir bersifat universal:
1) Meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung
pada tingkat perubahan fisik dan psikologis karena perubahan emosi biasanya terjadi lebih cepat semasa awal masa remaja.
2) Perubahan tubuh, minat dan peran yang
diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesankan, menimbulkan masalah baru. Masa remaja akan tetap merasa ditumbuhi masalah, sampai ia sendiri
menyelesaikannya menurut kepuasannya.
3) Berubahnya nilai-nilai. Sebagian besar remaja tidak
lagi menganggap bahwa banyak teman merupakan petunjuk popularitas yang lebih penting daripada
sifat-sifat yang dikagumi dan dihargai oleh teman-teman sebaya, mereka telah mengerti bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas.
4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut
kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggungjawab akan akibatnya dan meragukan
kemampuan mereka untuk mengatasi tanggungjawab tersebut.
5) Penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan banyak berkaitan dengan
faktor perkembangan. Menurut Starbuck (dalam Jalaluddin, 2010) adalah:
a. Pertumbuhan pikiran dan mental. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul, sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan
norma-norma kehidupan lainnya. Agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat
pada ajaran agamanya. b. Perkembangan perasaan. Berbagai perasaan
telah berkembang pada masa remaja dan kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius. Bila
remaja kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agamanya maka akan lebih mudah didominasi dorongan seksual yang negatif.
c. Pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan remaja timbul konflik antara
pertimbangan moral dan material, dan remaja sangat bingung menentukan pilihannya. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan
akan materi, maka remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
d. Perkembangan moral. Perkembangan moral pada masa remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi.
e. Sikap dan minat. Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan dapat dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan
masa kecil serta lingkungan agama yang memengaruhinya.
f. Ibadah. Hasil penelitian Ross dan Kupky (dalam Jalaluddin, 2010) menyatakan hanya tujuh belas persen mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat
untuk berkomunikasi dengan Tuhan, duapuluh enam persen diantaranya menganggap bahwa
sembahyang hanya merupakan media untuk bermeditasi.
Pada penelitian ini, mahasiswa STTS termasuk remaja yang belum menikah maupun yang telah menikah. Mereka
berada dalam keadaan emosi yang masih meninggi, dibarengi dengan adanya masalah ketika berada dalam kelompok kerja dan asrama. Sementara itu, mereka sedang
belajar untuk menunjukkan tanggung jawab pribadi sebagai mahasiswa dan terhadap tugas kependetaan istimewa sebagai calon pendeta.
2.2.2.2. Perkembangan masa dewasa.
Selanjutnya, ada masa dimana individu meninggalkan rumah orang tuanya, memulai
pekerjaan atau karier, membina hubungan intim atau menikah, memiliki dan membesarkan anak, dan mulai memberikan kontribusi yang signifikan kepada
lingkungannya. Mereka membuat keputusan yang akan berdampak terhadap kehidupan mereka, seperti
kesehatan, kebahagiaan, dan kesuksesan. Namun transisi dari remaja menjadi dewasa sebagai individu yang bertanggung jawab, tidaklah terjadi secara
mudah dan segera. Sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan
mencapai usia 40 tahun, maka periode ini berada
pada masa dewasa awal.Dewasa awal merupakan satu tahap yang dianggap kritikal selepas masa remaja.
Individu memiliki pola kritik disebabkan pada masa ini berada pada tahap awal pembentukan karier dan keluarga, menerima dan memikul tanggungjawab yang
lebih berat. 1) Perkembangan kognitif
Model rentang kehidupan K. Warner Schaie tentang perkembangan kognitif (Schaei & Willis, 2000, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) dari
masa remaja sampai usia empat puluhan melalui tahap: a) Tahap perolehan - acquisitive stage (masa anak
dan remaja). Anak dan remaja memperoleh informasi dan keterampilan terutama hanya
sekedar mendapatkannya atau sebagai persiapan untuk turut serta di masyarakat.
b) Tahap pencapaian - achieving stage (akhir masa remaja atau awal dua puluhan hingga awal tiga
puluhan). Dewasa awal telah memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan menggunakannya untuk mengejar tujuan,
seperti karier dan keluarga. c) Tahap tanggungjawab – responsible stage (akhir
tiga puluhan hingga awal enam puluhan). Individu pada usia paruh baya menggunakan pikiran untuk memecahkan masalah praktis
yang berhubungan dengan tanggung jawab terhadap orang lain, seperti anggota keluarga
dan kerabat lainnya atau karyawan. d) Tahap eksekutif – executive stage ( tiga puluhan
atau empat puluhan hingga setengah baya).
Individu pada tahap eksekutif, yang mungkin tumpang tindih dengan tahap pencapaian dan
tanggung jawab, bertanggung jawab terhadap sistem masyarakat (seperti pemerintahan atau organisasi) atau geraka sosial. Mereka
berhadapan dengan hubungan kompleks pada banyak tingkatan.
2) Perkembangan kepribadian. Ada empat pendekatan klasik terhadap
perkembangan psikososial yang diwakili oleh model tahap normatif, model waktu peristiwa, model trait, dan model tipologis (dalam Papalia. Olds, dan
Feldman, 2009). a) Model tahap normatif (normative-stage models)
berpendapat bahwa orang dewasa mengikuti urutan dasar perubahan psikososial terkait usia yang sama. Penelitian model tahap normatif telah
menenmukan perubahan-perubahan besar yang dapat diramalkan dalam kepribadian ornag
dewasa. b) Model waktu peristiwa (timing-events models)
menyatakan bahwa perubahan tidak terlalu berkaitan dengan usia, sebagaimana pada kemunculan yang diduga atau tak terduga serta
saat terjadinya berbagai peristiwa hidup yang penting.
c) Model trait (trait models) memusatkan pada trait-trait mental, emosional, dan tingkah laku, seperti keceriaan dan sifat mudah marah. Kebanyakan
penelitian berbasis trait menemukan bahwa kepribadian orang dewasa biasanya dapat terlihat
berubah melalui kemunculan masa dewasa dan bila memang terjadi, melambat setelah masa tersebut.
d) Model tipologis (typological models) mengidentifikasi jenis, atau gaya, kepribadian yang
lebih luas, yang mewakili bagaimana sifat kepribadian diorganisasi pada seseorang. Model-model ini cenderung ditemukan stabil dalam
kepribadian.
Keempat pendekatan perkembangan kepribadian ini masih terus dikembangkan berhubung perkembangan kepribadian individu satu dengan
lainnya tidak dapat disamakan. Penelitian pada mahasiswa STTS melibatkan orang dewasa dimana individu yang satu dengan yang lainnya kemungkinan
berada dalam perkembangan kepribadian yang tidak dapat disamakan dan yang tidak lepas dari perbedaan
latar belakang hidup.
3) Perkembangan agama orang dewasa
Di usia dewasa biasanya seseorang sudah memiliki sifat kepribadian yang stabil, cara bertindak dan bertingkah laku agak bersifat tetap. Juga sudah
memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilih baik dari ajaran agama maupun norma-norma
lain dalam kehidupan. Sikap keberagamaan umumnya dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya.
Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekadar ikut-ikutan.
Ciri-ciri sikap keberagamaan pada orang dewasa (dalam Jalaluddin, 2010), sebagai berikut:
a) Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan
sekadar ikut-ikutan. b) Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma
agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan
tingkah laku. c) Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma
agama, mempelajari dan memperdalam pemahaman
keagamaan. d) Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas
pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
e) Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
f) Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan pada pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas
pertimbangan hati nurani. g) Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada
tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran
agama yang diyakininya. h) Terlihat adanya hubungan antara sikap
keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
Pada penelitian ini, mahasiswa STTS sebagian adalah orang dewasa yang telah menikah dan yang
belum menikah, yang telah memiliki gereja lokal dan yang belum memiliki, berasal dari berbagai daerah,
suku, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Sebagai mahasiswa, mereka memasuki tanggung jawab baik pada keluarga juga pada tugas serta tidak lepas dari
tuntutan hidup dalam masyarakat dan pemenuhan kebutuhan hidup. Tantangan besar untuk meraih keberhasilan sebagai mahasiswa bukanlah hal yang
mudah dan juga bila berhadapan dengan pergesekan hubungan diantara mereka.
Disadari atau tidak, setiap individu pasti menghadapi tugas-tugas perkembangannya masing-
masing sesuai golongannya dengan tantangan dan kesulitannya sendiri, serta dapat berada dalam hubungan baik atau tidak dengan individu lain. Dalam
tugas perkembangan hidup yang melewati suatu periode dan beranjak ke periode berikutnya, jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia, dan tetap
sehat dalam dirinya sendiri juga dalam hubungannya dengan individu lain.
2.3. EMPATI
2.3.1. Definisi empati
Eisenberg (2002) menyatakan bahwa empati adalah
sebuah respon afektif yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain dan yang mirip dengan perasaan orang lain. Empati juga sebagai
kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang lain.
Sedangkan penangkapan atau pemahaman keadaan emosi yaitu dimana empati terjadi ketika seseorang dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain namun tetap
tidak kehilangan realitas dirinya. Hal ini berarti emosi yang tergugah untuk ikut merasakan apa yang orang lain
rasakan dan bukannya membuat seseorang menjadi kehilangan identitas serta sikap dirinya.
Rosenberg (dalam Bradley, 2008) mendefinisikan empati adalah suatu usaha untuk memahami di dalam diri individu secara internal dan keadaan emosionalnya.
Sementara itu, sebagian besar peneliti mengenali empati pada satu set konsep yang multidimensi di mana konsep
afektif dan kognitif berkaitan (Bradley, 2008).
Istilah ”empati” diperkaya oleh Titchener sebagai
terjemahan konsep Lipps, einfuhlung (Stocks & Lishner, 2009). Istilah ini mengacu pada proses dimana individu
secara aktif memproyeksikan caranya sendiri ke dalam orang lain atau obyek lain. Empati dipahami sebagai kemampuan untuk saling memahami pengalaman pikiran,
emosi, dan pengalaman langsung dari orang lain tanpa mereka secara langsung sengaja dikomunikasikan. Empati
berbicara lebih memiliki pemahaman pribadi dari situasi atau kondisi seseorang. Empati penting di dalam membina hubungan, sebagai platform untuk komunikasi yang efektif
dan kemampuan untuk memahami, untuk mengembangkan solusi, menang, mempertahankan bisnis, menghindari atau
menyebarkan konflik, serta untuk mencapai dan mempertahankan hubungan pribadi.
Dari definisi-definisi di atas, sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka definisi empati yang akan digunakan yaitu kemampuan untuk saling memahami pengalaman
pikiran, emosi, dan pengalaman langsung dari orang lain sehingga dapat merasakan perasaan dan pikiran orang lain.
2.3.2. Aspek empati
Para ahli membedakan respon empati menjadi dua, yaitu respon kognitif dan respon afektif (Zahn-Waxler & Radke-Yarrow, dalam Toussaint & Webb, 2005). Davis
(1983) menyebutkan aspek kognitif terdiri dari pengambilan perspektif (perspective taking) dan imajinasi (fantasy),
sedangkan aspek emosional meliputi perhatian empatik (empathic concern) dan distress pribadi (personal distress). Adapun arti dari kedua aspek itu sebagai berikut :
1. Aspek kognitif.
a) Pengambilan perspektif (perspective taking). Kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis orang lain secara
spontan. Ada dua penekanan aspek kognitif yaitu penekanan pertama oleh Mead (dalam Davis,
1983), terdapat pada kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Penekanan yang kedua
oleh Coke (dalam Davis, 1983), bahwa pengambilan perspektif berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada
orang dewasa yaitu memahami apa yang dipikirkan orang lain.
b) Imajinasi (fantasy). Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam
mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal (membayangkan) dalam buku, film atau cerita yang dibaca serta apa yang diceritakan
individu lain dan yang ditontonnya. Pendapat Stotland (dalam Davis, 1983), menyatakan bahwa
imajinasi merupakan aspek kognitif yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong.
2. Aspek emosi
a) Perhatian empatik (empathic concern). Perasaan
empatik yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Aspek
ini juga merupakan cermin dari perasaan kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain.
b) Distress pribadi (personal distress). Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada
diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan.
Personal distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisasi menjadi rendah.
Eisenberg (2002), menyatakan bahwa empati melibatkan aspek afektif dan aspek kognitif.
a. Aspek afektif: merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu
ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan disakiti.
b. Aspek kognitif: aspek kognitif dalam empati
difokuskan pada proses intelektual untuk memahami sudut pandang (perspektif) orang lain dengan tepat
dan menerima pandangan mereka misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari
cara bicara, raut wajah, cara pandang dalam berpendapat.
Dalam penelitian ini penulis akan mempergunakan aspek empati yang dikemukakan Davis (1983) yaitu
pengambilan perspektif, imajinasi, perhatian empatik dan distress pribadi. Aspek-aspek empati dari Davis digunakan dengan alasan bahwa aspek-aspek tersebut bisa mencakup
keseluruhan aspek siswa.
2.3.3. Peranan empati terhadap forgiveness
Signifikansi empati pada individu dalam konteks psikologi positif untuk melakukan pemaafan dinyatakan
sebagai kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam keadaan psikologis orang lain dan untuk melihat situasi dari
sudut pandang orang lain (Hurlock, 1988). Keterlibatan empati dalam proses pemaafan berada pada tiga pemikiran berikut (McCullough, Worthington & Rachal, 1997):
1. Empati dapat membuat orang yang disakiti memahami perasaan bersalah dan tekanan yang atas
tindakannya yang menyakiti menjadi tersinggung sehingga hubungan rusak.
2. Empati dapat membuat orang yang disakiti
memahami bahwa orang yang telah menyakitinya merasa terisolasi atau kesepian karena hubungan yang telah rusak.
3. Empati dapat membuat orang yang disakiti ingin memperbaiki hubungannya dengan orang yang telah
menyakiti dan memahami bahwa orang tersebut juga menginginkan hal yang sama.
Empati pada individu dapat mewujudkan pemaafan dengan membayangkan bagaimana orang lain merasa dan membayangkan bagaimana bila mereka sendiri akan
merasakannya jika berada pada keadaan yang sama seperti tersebut (Batson, Early & Salvarini, 1997 dalam Takaku,
2001). Selain itu empati pada komponen afektif menyebabkan seseorang yang mengalami hal yang menyakitkan berganti fokus, dari fokus akan diri sendiri
kepada fokus akan diri orang lain sebagai transgresor (McCullough dalam Welton, Hill & Seybold, 2008). Ketika
pemahaman tentang pemaafan tumbuh, pelanggaran mungkin tampak lebih kecil (Exline, Baumeister, Zeil, Kraft
& Witvliet, 2008) dan bahkan mungkin mulai tampak untuk dimaafkan. Pergeseran seperti ini akan membuat pemaafan
lebih dimungkinkan. Selain itu pemaafan dapat dilakukan ketika korban mengalami empati setelah adanya permintaan maaf (Takaku, 2001). Permintaan maaf dianggap sebagai
suatu strategi yang relatif efektif untuk memulihkan hubungan yang rusak setelah didorong oleh emosi bersalah, perasaan malu (Gonzales, Pederson, Manning & Wetter,
1990; Itoi, Ohbuchi & Fukuno, 1996 serta Takaku, Weiner & Ohbuchi, 2001 dalam Hareli & Eisikovits, 2006).
Dalam memunculkan empati, diperlukan kerendahan hati untuk melihat diri sendiri sama dengan transgresor
atas dirinya yang keliru dan yang sedang tidak mampu. Hal senada diungkapkan oleh Hill, dkk., (dalam Welton, dkk., 2008) bahwa kerendahan hati memainkan peran dalam
pemaafan. Davis, Hook, Worhington, Jr., van Tongeren, Gartner, dan Jennings II (2010) dalam penelitiannya yang
memakai Relation Humility Scale (RHS) digunakan untuk menilai sejauh mana individu memiliki ukuran rendah hati
sedangkan skor RHS kerendahan hati yang ditemukan berkorelasi positif dengan empati terhadap transgresor, emosi positif terhadap orang tua, dan sifat pemaafan, dan
rasa syukur, dan berhubungan negatif untuk emosi negatif terhadap orang tua. Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat empati yang lebih tinggi diperlukan sebagai langkah
untuk mempermudah melakukan pemaafan (Macaskill, Maltby & Day, 2002; McCullough, Worthington & Rachal,
1997).
Literatur penelitian empati dengan pemaafan telah
menunjukkan bahwa pemaafan dapat dilaksanakan selain dalam konseling, juga secara klinis yang difasilitasi oleh empati (Hill, Hasty & Moore, 2011), empati sebagai elemen
dalam mewujudkan pemaafan (Konstam, Holmes & Levine, 2003), dan empati sebagai sikap kepribadian yang terlibat
dalam menghambat pemaafan (Rangganadhan & Todorov, 2010).
Dengan demikian, empati memiliki peran yang penting dan sentral yang menunjukkan konsistensi signifikansi
dalam memfasilitasikan pemaafan. Hasil penelitian yang dilakukan Hill (2010) pada antar keluarga dan pasangan
hidup menemukan bahwa permintaan untuk dimaafkan muncul yang penemuannya melalui empati. Proses pemaafan melalui empati dapat membantu penyembuhan
hubungan suami istri, anak dan orang tua, juga teman karib. Bila tidak ada hubungan yang sah maka proses pemaafan dan empati menjadi lebih sulit dan berbelit-belit.
2.4. RELIGIUSITAS
2.4.1. Defisini religiusitas
Ada dua alasan yang menyatakan bahwa religiusitas adalah sebuah konsep yang rumit dan sulit untuk didefinisikan. Pertama, ketidakpastian dan sifat tidak tepat
dari bahasa Inggris (Holdcroft, 2006). Bahasa sehari-hari dalam Thesaurus Roget (Lewis, 1978 dalam Holdcroft, 2006),
religiusitas ditemukan identik dengan istilah seperti religiusitas, ortodoksi, keyakinan iman, kesalehan, pengabdian, dan kekudusan. Kedua, dalam konsep
religiusitas melintasi disiplin ilmu, masing-masing definisi mendekati titik pandang yang berbeda-beda. Seorang teolog
akan mendefinisikan religiusitas dari sudut pandang iman, seorang pendidik agama fokus pada ortodoksi dan keyakinan. Para psikolog mungkin memilih dari dimensi
pengabdian, kesucian, dan kesalehan. Seorang sosiologi mempertimbangkan sebagai keanggotaan gereja, kehadiran di gereja, penerimaan, pengetahuan doktrinal, dan iman
(Holdcroft, 2006). Jadi, definisi religiusitas dibuat berdasarkan disiplin ilmu akademis untuk
mengidentifikasikan apa yang dapat dianggap seperti dimensi religiusitas.
Dalam Webster’s Dictionary, (2004) religiosity didefinisikan sebagai sangat peduli dengan agama yang
diungkapkan dengan praktek agama. Religiusitas merupakan pengakuan, persetujuan atau keyakinan akan pengalaman ketuhanan individu.
Religiusitas berasal dari kata sifat religion. Religi berasal dari kata religio dan legare. Legare berarti proses
pengikatan kembali atau menghubungkan kembali. Jadi religiusitas adalah sikap batin pribadi (personal) manusia
dihadapan Tuhan yang mencakup totalitas ke dalam pribadi manusia itu sendiri (Dister, 1988). Pearce (dalam Van Dyke & Elias, 2007) menjelaskan religiusitas sebagai janji individu
pada agama yang ia akui dan ajarannya, dengan sikap dan perilakunya yang mencerminkan komitmen individu.
Engebretson (dalam Van Dyke & Elias, 2007) menentukan religiusitas sebagai tingkat komitmen kepada
agamanya. Sedangkan menurut Davis (dalam Van Dyke & Elias, 2007), religiusitas mengimplikasikan kesetiaan pada suatu sistem tertentu akan kepercayaan, pemujaan, dan
ketaatan pada satu set doktrin suci, ketaatan sebagai keanggotaan bersama orang-orang yang memiliki kepercayaan tentang Tuhan, ketaatan hidup suci, dan
memiliki moralitas.
Menurut teori Silberman (2005, dalam Takaku, 2001), sistem pemaknaan cukup beragam berdasarkan tingkat religiusitas masing-masing individu itu sendiri. Dengan kata
lain, semakin religius seseorang, maka mereka ini lebih bisa menerima untuk belajar, meneladani dan mengadaptasi sistem pemaknaan agama yang dinilai dan diajarkan
melalui keyakinan yang dianut. Individu tersebut akan religius karena terhubung dengan kekuatan di atas alam
semesta (Tuhan, atau apapun yang diyakininya). Seperti Azar dan Mullet, (2002) menyatakan bahwa orang-orang yang menganut agama cenderung lebih memaafkan.
Jadi, definisi religiusitas yang dipakai dalam penelitian ini adalah komitmen individu kepada Tuhan
melalui agama yang diyakininya menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari sehingga menjadi
pegangan dalam berpikir, bertindak, dan dalam segala aspek hidup sehari-hari. Keberagamaan diperoleh melalui keyakinan dan pengetahuan yang mendalam sesuai yang
diyakini individu tersebut.
2.4.2. Konsep religiusitas.
Adapun konsep religiusitas adalah pada agama,
dimana agama dan religiusitas merupakan dua hal yang berbeda tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan karena
saling melengkapi dan saling mendukung (Mangunwijaya, dalam Setya, 2009). Agama lebih menunjukkan kepada kelambangan, kebaktian kepada Tuhan atau ”dunia atas”
dalam aspek resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan sebagainya yang meliputi segi-segi kemasyarakatan.
Sedangkan religiusitas lebih melihat aspek-aspek yang ada dalam lubuk hati, sikap personal yang sedikit lebih banyak bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa yakni cita
rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam pribadi manusia. Oleh karena itu, pada dasarnya religiusitas lebih berada di tingkat atas dan
lebih dalam dari agama yang tampak formal dan resmi.
Agama sebagai keyakinan menyangkut kehidupan batin seseorang (inner life) yang berhubungan dengan sistem nilai (Jalaluddin, 2010). Agama merupakan salah satu aspek
dalam diri manusia yang menjadi bahan acuan dan kendali dalam hidup seseorang. Sebagai kendali hidup, agama tidak
cukup hanya diketahui dan dipahami, tetapi dihayati dan dilaksanakan secara teratur dalam kehidupan manusia sehari-hari. Manusia mempunyai dorongan naluri untuk
meyakini dan melaksanakan aturan atau ajaran-ajaran dari agama yang diyakininya. Naluri inilah yang mendorong manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan religius.
2.4.3. Aspek Religiusitas
Allport dan Ross (dalam Gordon, Nikki, Lee, Jennifer, Jennifer, Rebecca & Julianne, 2007) menyatakan bahwa religiusitas memiliki dua aspek, yaitu:
a. Religiusitas intrinsik (intrinsic religiousity) maksudnya individu yang tinggi keimanannya
memandang agama sebagai prinsip utama yang membimbing kehidupannya dimana individu ”menghidupkan” agamanya karena kepercayaan
religiusnya mengarahkan dan menjadi pusat dalam dasar kehidupan sehari-hari. Jadi, melihat setiap
kejadian melalui pemahaman agama yang dimilikinya.
b. Religiusitas ekstrinsik (extrinsic religiousity) maksudnya individu memandang agama dari
perspektif instrumen, mempertimbangkan agama sebagai alat untuk menyenangkan, memberikan
komunitas, dan sebagai pemenuhan sosial dan hukum. Individu lebih ”menggunakan” agamanya pada konsekuensi emosional dan sosialnya.
McCullough dan Worthington (1999, dalam Davis, Hook & Worthington, 2008) mengemukakan bahwa keimanan cenderung menjadi hal yang positif saat dihubungkan
dengan forgiveness diberbagai kesempatan dan situasi. Aspek keimanan itu yaitu :
1. Kedekatan dengan Tuhan (Attachment to God)). Tuhan Yang Kuasa menjadi pusat agama individu dalam hal
utama, obyek utama, realitas utama, kebenaran utama. Tuhan dilihat secara pribadi diperlakukan secara personal dalam hubungan dekat yang dapat
mengalami ikatan emosional. Yang Kuasa dikarakteristikkan dengan pengalaman hubungan seperti komitmen, keintiman, kekaguman, ketinggian,
kedekatan, atau kesatuan dengan Yang kuasa. Hubungan kedekatan dengan Tuhan dapat dirusak
oleh kejahatan yang terjadi dari individu lain.
2. Koping religius (Religious Coping). Koping religius dipahami sebagai agama yang terpadu dalam
kehidupan sehari-hari dengan ketaatan pada kepercayaan dan nilai tertentu yang dimotivasi oleh
motif religius intrinsik dan ekstrinsik.
Glock dan Stark (Glock, 1962; Glock & Stark, 1965, 1966; Stark & Glock, 1968 dalam Reitsma, Scheepers & Te
Grotenhuis, 2006) menyatakan bahwa religiusitas terdiri dari empat dimensi, yaitu:
1. Dimensi praktek (the practice dimension). Dibagi ke dalam praktek umum (public) menggambarkan
sebagai anggota gereja dan kehadiran di gereja menghadiri ibadah keagamaan, dan praktek pribadi (private) yang menggambarkan doa.
2. Dimensi keyakinan (the belief dimension). Diukur sebagai keyakinan dogmatis dan keyakinan partikular.
Keyakinan dogmatis merupakan keyakinan pokok inti, dasar, simpel di dalam agama yang dianut. Misalnya,
Yesus adalah Allah dan manusia. Sedangkan keyakinan partikular merupakan hal yang khusus yang dimiliki oleh individu. Misalnya, saya harus ke
gereja setiap hari Minggu. 3. Pengalaman religius (religious experience). Dimensi ini
mengacu pada pengalaman yang melampaui realitas sehari-hari, dan kehidupan spiritual yang melampaui intelektual (religious emotions and revelation).
4. Dimensi konsekuensi (consequensial dimension). Dimensi ini mengacu pada pentingnya agama dalam
hidup sehari-hari.
Dalam penelitian ini akan digunakan empat dimensi religiusitas dari Glock dan Stark (dalam Reitsma,
Scheepers & Te Grotenhuis, 2006) yang terdiri dari dimensi praktek, dimensi keyakinan, pengalaman religius, dan
dimensi konsekuensi. Keempat dimensi ini digunakan dengan alasan bahwa pada dasarnya keterikatan atau hubungan yang terjalin antara individu dengan agamanya
akan terwujud pada keyakinannya, yang ditunjukkan nyata dalam praktek, yang dapat menjadi pengalaman, dan
dibuktikan konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penggunaan empat dimensi ini dalam mengukur religiusitas siswa dianggap sesuai.
2.4.4.Peranan religiusitas dalam forgiveness.
Signifikansi religiusitas bagi individu dalam konteks psikologi berdampak positif baik pada lingkungan sosial
juga pendidikan. Berfokus pada dimensi kognitif dari religiusitas ditemukan bahwa orientasi keagamaan dan sosial kognitif secara signifikan terkait dengan
kesejahteraan (Dezutter, dkk., 2006 dalam Holdcroft, 2006). Hasil temuan lain menyatakan bahwa adanya efek positif
dari pendidikan agama formal di sekolah (Kedem & Cohen, 1987 dalam Holdcroft, 2006), sementara itu Rest (dalam Holdcroft, 2006) menemukan bahwa pengetahuan agama
cenderung berkorelasi secara signifikan dengan penalaran moral namun keduanya mungkin berhubungan sebagian pada kemampuan kognitif. Individu yang mengekspresikan
keyakinan agama yang kuat melaporkan peristiwa kehidupan dengan sedikit stress dan kepuasan hidup yang
besar (Bergan & McConatha, 2000 dalam Holdcroft, 2006). Pemaafan secara historis telah dihubungkan dengan
beragam tradisi spiritual dan agama, maka pemaafan telah
dihubungkan secara positif dengan beberapa ukuran komitmen keagamaan, religiusitas intrinsik, kehadiran di gereja, dan kesehatan spiritualitas dalam beberapa
penelitian (Tsang, McCullough & Hoyt, 2005 dalam Sandage & Williamson, 2010).
Pada dasarnya religiusitas berakar pada agama yang dianut individu. Para ahli agama telah memperhatikan bahwa semua agama di dunia mempunyai struktur yang
mempromosikan pemaafan (McCullough dan Worthington, 1999; Rye, dkk., 2000 dalam McCullough, Bono & Root,
2005). Tsang, dkk., (2005, dalam McCullough, Bono & Root, 2005) memperhatikan bahwa agama dapat mempromosikan pemaafan dengan beberapa cara, diantaranya: pertama,
pemaafan diresepkan sebagai sebuah nilai yang mendorong emosi seperti kasih, empati, serta model tindakan pemaafan melalui kitab suci dan ritual. Kedua, agama dapat
menguduskan perilaku pemaafan dengan memberikan pandangan dimana individu menginterpretasikan peristiwa
dan hubungannya dalam cara-cara memfasilitasi pemaafan. Dari ungkapan tersebut, maka agama adalah suatu hal yang membawa orang kepada pikiran, perasaan, dan perilaku
berkenaan dengan pemaafan. Literatur penelitian menemukan hasil bahwa pemaafan
merupakan suatu kebajikan pada agama manapun juga, maka religiousness dan forgiveness dipandang sebagai sebuah konstruksi yang saling berkaitan (McCullough dan
Worthington, 1999; Rye dkk., 2000; Spilka, Hood,
Hunsberger & Gorsuch, 2003, dalam Rhoades, Mcintosh, Wadsworth, Ahlkivst, Burwell, Gudmundsen, Raviv & Rea,
2007). Individu yang religius seringkali percaya bahwa mereka harus melakukan pemaafan (McCullough dan Worthington, 1999, dalam Rhoades, dkk., 2007), dan
kerohanian pribadi secara positif berkaitan dengan kecenderungan untuk pemaafan (Gorsuch & Hao, 1993; Konstam dkk., (2003, dalam Rhoades, dkk., (2007). Selain
itu, individu yang memiliki religiusitas akan berpikir lebih religius dan menggunakan akal sehat dengan cara-cara yang
lebih mengesankan terkait dengan tindakan pemaafan (Enright, Santos & Al Mabuk, 1989, dalam Rhoades, dkk., 2007). Individu dengan kepercayaan pada religiusitas yang
lebih kuat lebih berkemungkinan untuk mengampuni orang lain (Luzombe & Karol, 2009). Mullet, (2003, dalam Luzombe & Karol, 2009) menyelidiki tentang keterlibatan religiusitas
diantaranya kepercayaan religius, kehadiran di gereja dan peraturan religius lainnya, hasilnya menyatakan bahwa
orang yang sangat kuat dengan agama khususnya orang yang tingkat kehadirannya di gereja tinggi, lebih berkemungkinan untuk melakukan pemaafan daripada
mereka yang tidak terlibat kuat dengan agama. McCoullough dan Worthington, (1999 dalam Gordon,
Frousakis, Dixon & Willet, 2008) menunjukkan bahwa seringkali penelitian mengindikasikan ketidakhubungan antara sikap positif individu yang religius terhadap
pemaafan dalam perilaku abstrak dan aktual saat dihadapkan dengan situasi yang sebenarnya membutuhkan pemaafan.
Penelitian yang dilakukan oleh Gorsuch dan Hao (1993)
mengidentifikasi dua faktor religiusitas, yaitu religiusitas personal (personal religious) dan kesesuaian dengan
religiusitas (religious conformity) dan diteliti hubungannya dengan pemaafan. Pada penelitian itu religiusitas personal mengacu pada kepentingan agama, kedekatan dengan
Tuhan, keanggotaan gereja, kehadiran di gereja, menggunakan agama untuk kenyamanan personal, dan
perlindungan. Hasilnya menunjukkan bahwa religiusitas personal berkorelasi signifikan dengan pemaafan,
dinyatakan bahwa individu yang tinggi religiusitas personal menunjukkan motivasi yang lebih kuat untuk pemaafan.
Hui dan Watkins (2006) yang mempelajari hubungan antara religiusitas dan forgiveness pada guru China Hong
Kong dengan 230 partisipan dan siswa 714. Hasil temuan mengindikasikan bahwa sejumlah pengaruh nilai budaya Cina dalam konseptualisasi forgiveness, di mana tindakan
religius memprediksi sikap terhadap forgiveness dan tindakan forgiveness. Tidak ada perbedaan signifikan dalam
pemaafan di antara penganut kepercayaan dan bukan penganut kepercayaan. Dilain pihak, forgiveness tidak
hanya merupakan nilai religius tetapi juga nilai sosial dan dipengaruhi oleh budaya seseorang. Sehubungan dengan
budaya Cina, forgiveness lebih berupa nilai sosial daripada nilai religiusitas. Penelitian tentang forgiveness di Republik
Rakyat Cina menyatakan bahwa kemauan orang untuk memaafkan dipengaruhi oleh solidaritas sosial yang lebih membutuhkan masyarakat kolektif daripada keimanan
karena agama yang jarang dipertimbangkan sebagai sumber dalam melakukan forgiveness.
Adapun dasar religiusitas yang dinyatakan oleh Davis, Hook, Worthington, (2008) serta Worthington, dkk., (2010)
melihat pada pengampunan yang ditulis dalam kitab suci Matius 6: 12, 14-15 tentang Doa Bapa Kami. Yesus meminta forgiveness dilakukan kepada sesama manusia. Yesus
membuat suatu kesatuan pengampunan besar dalam memaafkan orang-orang yang telah bersalah pada mereka.
Juga, pada Matius 5:44 Yesus meminta kepada pengikutNya untuk mengasihi musuh atau orang yang tidak menyenangi mereka.
Umat Kristiani mencari pemaafan dengan banyak alasan seperti yang dinyatakan oleh Worthington (dalam
Worthington, dkk. 2010) yaitu karena (a) terdapat mandat Alkitab untuk memaafkan, (b) adalah cara untuk mengasihi
musuh, (c) hal ini konsisten dengan nilai Kekristenan dalam keluarga, (d) ini adalah bagian hidup dalam tubuh Kristus, (e) adalah alat yang berguna untuk kesehatan fisik, mental,
hubungan, dan spiritual.
Sandage, Worthington, Hight dan Berry (2000, dalam McCullough, Bono & Root, 2005) menemukan bahwa
narsisme (lawan dari kerendahan hati) berkaitan negatif dengan pemaafan.
Jadi, beberapa hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan religiusitas memiliki peran dalam pemaafan. Maka penelitian ini dapat dimungkinkan untuk
menggunakan variabel religiusitas sebagai prediktor terhadap pemaafan.
2.4.5.Hasil penelitian terdahulu. Penelitian mengenai pemaafan tergolong penelitian
yang masih baru di Indonesia. Belum banyak penelitian yang dipublikasi mengenai pemaafan ini. Namun demikian,
publikasi mengenai penelitian ini telah banyak dilakukan oleh negara-negara asing, seperti Amerika, Afrika, Eropa, dan Belgia bahkan di beberapa negara Asia seperti Cina,
Jepang, Korea, Singapura dan Malaysia. Berikut akan dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai
pemaafan yang khususnya berkaitan dengan penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh penulis.
1) Empati dan pemaafan.
Macaskill, Maltby, dan Day, (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa individu pada tingkat empati yang lebih tinggi merasa bahwa lebih mudah
untuk melakukan pemafaan daripada mereka yang tingkat empatinya lebih rendah, dan individu yang tidak mampu berempati merasa sangat sulit untuk pemaafan. Hasil penelitian pada 324 mahasiswa lulusan Inggris, usia 18 sampai 51 tahun dengan skala sifat memaafkan
dan perilaku pemaafan pada diri sendiri dan pemaafan pada pihak lain dengan ukuran empati emosi menyatakan bahwa empati emosi berhubungan positif
dengan pihak lain tetapi tidak dengan pemaafan diri sendiri. Ditemukan pemaafan diri sendiri (α = .73),
pemaafan pihak lain (α= .75), dan empati emosi (α = .81). Wanita (M = 42.67, SD = 18.30) mencatat skor yang secara signifikan lebih tinggi pada ukuran empati emosi,
t (322) = -4.62, p = < .0001, η² = .061 daripada pria (M = 33.00, SD = 15.20). Dalam mengukur tingkat forgiveness
antara pria dan wanita secara terpisah dengan korelasi Pearson dinyatakan tidak menemukan korelasi signifikan, bagi pria r(99) = -.03, p > .05, untuk wanita,
r(223) = -.07, p > .05. Tetapi, sebuah hubungan positif yang relevan antara pemaafan pihak lain dan empati
emosi bagi pria, r(99) = -.23, p < .05, dan wanita r(223) = .33, p < .01. Jadi menurut temuan ini, empati secara
keseluruhan pada wanita mencatat skor yang lebih tinggi daripada pria, tetapi tidak terdapat perbedaan
jender pada keseluruhan nilai pemaafan.
Pada penelitian Wade dan Worthington (2003) yang
menggali prediktor yang potensial akan unforgiveness dan melakukan forgiveness untuk kejahatan khusus
pada 91 lulusan. Penelitian analisa regresi untuk menentukan alat prediksi unforgiveness, dimana empati untuk pelaku kesalahan memberi kontribusi yang
signifikan R² =.15, F(1,76) = 18.40, p<.001, β=.464, t(77) = -4.29, p<.001. Jadi, empati yang lebih tinggi pada
transgresor diprediksikan lebih sedikit unforgiveness. Welton, Hill, dan Seybold (2008) melakukan penelitian
kepada 126 orang dewasa = 63 pasangan yang bertengkar. Mereka melengkapi ukuran empati, pengambilan perspektif kognitif, dan kemarahan. Hasil
menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara tiga teknik, F(2,62) = 61.724, λ = .334 dari Wilks, ρ < .001.
Untuk ukuran TRIM (Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory), secara signifikan empati
memprediksi lebih banyak varian unik daripada pengambilan perspektif, t(60) = 2.68, ρ = .01, dan juga memprediksi lebih banyak varian unik dari kemarahan,
t(60) = 1.99, ρ = .05. Secara signifikan empati memprediksi lebih banyak varian unik daripada
pengambilan perspektif t(60) = 2.16, ρ = .04, dan juga memprediksikan lebih banyak varian unik daripada kemarahan, t(60) = 2.88, ρ = .005. Tidak terdapat
perbedaan signifikan saat membandingkan prediksi pengambilan perspektif dan kemarahan, t(60) = 0.50, ρ =
.62. Tidak terdapat perbedaan signifikan dengan ukuran FSI (Forgiveness Single Item). Prediksi empati dan
pengambilan perspektif adalah sama, t(60) = 0.07, ρ = .94; prediksi empati dan kemarahan adalah sama, t(60) = 1.12, ρ = .27; seperti halnya prediksi dari pengambilan
perspektif dan kemarahan adalah sama, t(60) = 1.11, ρ = .27. Fakta bahwa empati menjadi alat prediksi yang
terkuat akan pemaafan dapat menyatakan bahwa ini merupakan peran yang lebih penting daripada kemarahan atau pengambilan perspektif. Namun
kemungkinan lain, ukuran empati lebih akurat daripada ukuran kemarahan dan pengambilan perspektif.
Hasil penelitian empati dengan self-forgiveness
memperlihatkan sebuah hubungan negatif yang signifikan CR = -2.23, p < .05. dilakukan pada
mahasiswa psikologi (Rangganadhan & Todorov, 2010). Lawler-Row, Younger, Piferi, dan Jones (2006)
mengadakan penelitian kepada 108 mahasiswa psikologi di Universitas Tenesse, Knoxville. Tujuannya melihat peran gaya kasih orang dewasa (the role of adult attachment style) dalam tindakan memaafkan. Hasil penelitian menunjukkan pada ANOVA cukup signifikan:
individu securely attached lebih pemaaf daripada individu insecurely attached, F(1, 104) = 9.59, ρ < .003.
Sementara itu, juga dilakukan analisis membalas dendam dan menghindar. Hasil menunjukkan bahwa semua peserta berkeinginan besar untuk membalas
dendam terhadap pelanggaran nonparent dibanding parent, 8,8 > 7.2 ; F(1, 104) = 11.27, ρ < .001. Selain itu,
empati lebih banyak diungkapkan terhadap parents dibanding nonparents, 28.23 > 23.0; F(1, 104) = 20.6, ρ<
.0001. Namun, tidak ada perbedaan pada hubungan empati dengan attachment style. Analisis sifat mengukur
pemaafan, empati, dan emosional expressiveness menghasilkan dua perbedaan terkait dengan attachment style. Secure individuals mempunyai sifat forgiveness yang lebih tinggi daripada insecure individuals, 130.5 > 120.8; F(1,104) = 7.9, ρ < .006, dan securely attachment individuals mempunyai skor yang lebih tinggi daripada insecure individuals pada skala Expression of Positive
Emotion, 36.5 > 34.4; F(1, 104) = 4.3, ρ < .041. Mengenai Acts of Forgiveness (AF), empati tidak ada hubungan
dengan keadaan forgiveness, tetapi dengan ekspresi emosi positif berhubungan (related) (r = .24, ρ < .012).
McCullough, Root, dan Cohen (2006) mengemukakan hasil penelitian tentang pengaruh menulis kesalahan terhadap pemaafan dengan koreksi Bonferroni bahwa
benefit-finding (disesuaikan: M = -0.19, SD = 0.85, 95% Cl: -0.36, -0.02) secara signifikan (p = .035)
penghindaran yang lebih rendah dibandingkan skor niat baik dan (disesuaikan: M = -0,31, SD = 0,95, 95% Cl= -0.49, -0.12) secara signifikan (p = .02) skor balas
dendam yang lebih rendah dibanding kondisi fitur traumatic (disesuaikan: M=0,06, SD= 0,95, 95% Cl= -
0,13, 0,24. Dari beberapa penelitian di atas, ada penelitian yang
menemukan tidak ada hubungan, adanya hubungan
yang signifikan dan tingkat perbedaan pada jender dimana wanita lebih memaafkan daripada pria. Empati
sebagai mediator untuk melakukan pemaafan.
2) Religiusitas dan forgiveness
Rangganadhan dan Todorov (2010) dalam penelitiannya kepada 91 mahasiswa di Universitas
Macquarie, menemukan tidak ada ukuran yang terkait dengan religiusitas yang berkorelasi signifikan, tidak terdapat bukti bahwa mereka yang lebih religius juga
lebih forgiveness, t(148) = -.308, p > .05. Pada perbedaan gender, hasil menunjukkan tidak ada perbedaan
signifikan antara pria (M = 29.62, SD = 6.3) dan wanita (M = 27.63, SD = 6.2) dan self-forgiveness ditemukan
t(148) = 1.75, p = 0.57., tidak ada korelasi yang signifikan antara usia dan self-forgiveness r = .003.
Penelitian Orathinkal dan Vansteewegen (2007) yang dilakukan kepada pasangan yang baru saja menikah
dan menikah kembali sebanyak 787 dari wilayah Flanders di Belgia untuk mengukur tindakan forgiveness
dan religiusitas. Hasilnya menunjukkan bahwa religiusitas secara positif berkaitan (p = 0.0001, r = 0.15)
dengan tindakan forgiveness. Terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dari pasangan yang baru
saja menikah dan kaum dewasa yang menikah lagi (p = 0.0001 (t2) d = 0.61).
Penelitian yang dilakukan oleh Bedell (2002) menyelidiki korelasi antara religiusitas dengan
forgiveness bagi peserta Afrika-Amerika ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara religiusitas dan pikiran subdomain dari skala forgiveness (r = .34, p <
.02). Sedangkan untuk peserta Amerika Afrika tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel religiusitas
dan pikiran subdomain dari skala forgiveness. Sementara itu, korelasi antara religiusitas dengan
forgiveness bagi peserta Kaukasia terdapat hubungan yang signifikan antara variabel religiusitas pada diri (r = .54, p < .01) dan mitra (r = .48, p < .03). Bagi peserta
Kaukasia, tidak ada korelasi yang signifikan antara variabel religiusitas dan pikiran serta perilaku
subdomain dari skala pemaafan.
Penelitian kepada 475 umat Muslim, Kristen, dan
Yahudi serta penganut gerakan sekuler untuk meneliti hubungan antara religiusitas dengan pemaafan mengisi kuesioner berbasis internet (Fox & Thomas, 2008). Hasil
menunjukkan bahwa religiusitas berhubungan secara positif dengan forgiveness. Kelompok agama secara
signifikan melaporkan tingkah laku yang lebih tinggi dan tindakan proyektif untuk forgiveness dibanding
kelompok sekuler. Penemuan ini mengesankan bahwa keyakinan (faith) menjadi prediktor terkuat pada religiusitas untuk pemaafan.
2.5. Landasan teori
2.5.1. Empati dan religiusitas sebagai prediktor pada
pemaafan.
Di dalam memahami pemeliharaan hubungan interpersonal yang sehat meskipun kadang-kadang
menyakitkan, dapat dilakukan dengan pemaafan. Beberapa kesamaan mengenai konstituen psikologis akan proses
pemaafan muncul dari intervensi model yang dirancang untuk mempromosikan pemaafan. Untuk melakukan
pemaafan dibutuhkan suatu proses yang dapat mengoptimalkan ke arah yang positif. Keterhubungan yang berkaitan dengan pemaafan bisa memberikan dampak
positif dalam hubungan sosial.
Sampai saat ini empati menjadi salah satu faktor penting yang memfasilitasi dalam melaksanakan pemaafan. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting untuk
menyikapi kehidupan sosial (Goleman, 1995 dalam Ginting, 2009). Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa proses untuk memunculkan empati dapat dilaksanakan dengan
permintaan maaf, perasaan malu, rasa bersalah, kerendahan hati (Tangney & Fischer, 1995 dalam
Rangganadhan & Todorov, 2010; Exline & Zell, 2009; McCullough, Worthington & Rachal, 1997). Jika peserta dapat memikirkan transgresi yang telah dilakukan itu mirip
dengan apa yang mereka alami, maka pemaafan dapat ditingkatkan. Namun, jika peserta tidak dapat memikirkan
transgresi yang serupa, maka latihan membangun empati menjadi gagal (Witvliet, dkk., 2001). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Welton, Hill, dan Seybold (2008)
menunjukkan bahwa empati menjadi alat prediksi yang terkuat akan pemaafkan dan menyatakan bahwa empati merupakan peran yang lebih penting dan merupakan
ukuran yang lebih akurat daripada variabel kemarahan (anger).
McCullough (2001) menyatakan bahwa empati membantu perkembangan pemaafan dapat dilaksanakan oleh transgresor kepada transgresi dan empati memfasilitasi
pelaksanaan pemaafan. Di samping itu, dalam pengujian model hipotesis empati dengan forgiveness oleh McCullough,
Worthington, dan Rachal (1997) menyatakan bahwa empati sebagai mediator untuk melakukan pemaafan. Maka,
semakin tinggi tingkat empati individu semakin dapat melakukan pemaafan.
Exline, dkk., (2008) menemukan bahwa empati merupakan prediktor yang lebih universal dalam melakukan
forgiveness. Welton, Hill, dan Seybold (2008) menunjukkan hasil penelitian in vivo pada pasangan domestik 126 orang dewasa bahwa empati adalah prediktor signifikan
forgiveness. Hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa empati
pada wanita memiliki tingkat yang lebih tinggi, tetapi mereka tidak lebih pemaaf (forgiveness) dibandingkan
dengan laki-laki (Toussaint & Webb, 2005). Disamping itu ditunjukkan penemuan penelitian bahwa empati lebih kuat terkait dengan memaafkan pada pria dibandingkan pada
wanita (Toussaint & Webb, 2005 serta Fincham, dkk., 2002). Selain empati, religiusitas juga dapat mewujudkan
dilaksanakannya pemaafan baik pada diri sendiri juga kepada transgresor. Pargament dan Rye (dalam Macaskill, 2005) menyatakan bahwa agama telah menyediakan model
yang mampu melakukan pemaafan dalam ketidakadilan yang hebat dan agama telah memengaruhi proses psikologi untuk melakukan forgiveness. Tindakan pemaafan diakui
sebagai salah satu cara yang paling signifikan untuk memperbaiki dan membentuk kembali hubungan yang
efektif dengan anggota keluarga juga teman sekerja (Harvey, Brenner & Shiver, 1997 dalam Jose & Alfons, 2007). Sebagian besar agama di dunia memberikan ide bahwa
kesetiaan harus dinyatakan kepada orang lain dengan cara yang positif dan pro sosial (Armstrong, 1993 dalam Bradley,
2008). Hasil yang positif pada religiusitas telah ditemukan termasuk forgiveness (Gorsuch & Hao, 1993 serta McCullough & Worthington, 1999); penurunan dalam
perilaku kejahatan dan kriminal (Kerley, Matthews & Blanchard, 2005), dan berkontribusi pada hal-hal yang
bersifat sosial (Will & Cochran, 1995). Religiusitas juga ditemukan berhubungan dengan beragam hasil negatif, seperti meningkatnya praduga (Altemeyer, 2003 dalam
Bradley, 2008), dan tindakan diskriminasi (Jackson & Esses, 1997).
Terdapat bukti yang dapat dipertimbangkan bahwa keterlibatan religius berhubungan positif dengan banyak indeks kesehatan fisik dan mental (Koenig, McCullough &
Larson, 2001 dalam McCullough, Bono, & Root, 2006), ada kecenderungan dimana individu yang religius melakukan
forgiveness yang menjadi salah satu mekanisme dimana religiousness mendapatkan hubungannya dengan hasil kesehatan yang positif (Levin, 1996). Temuan lain, sifat
kepribadian yang tidak memaafkan atau pikiran yang tidak memaafkan secara akut berhubungan dengan masalah
kardiovaskuler (Lawler, dkk., 2003), kenaikan sekresi kortisol (Berry & Worthington, 2001). Selain itu, intervensi yang dirancang untuk membantu individu dapat melakukan
forgiveness telah menunjukkan perbaikan kesejahteraan psikologis, menghasilkan penurunan kegelisahan dan gejala
depresi, meningkatkan harga diri dan harapan (Enright & Coyle, 1998 dalam McCullough, Bono & Root, 2006).
Worthington, Sharp, Lerner, dan Sharp, (2006),
menyatakan bahwa forgiveness dihubungkan dengan penanganan emosi dimana tindakan forgiveness secara
emosional terjadi ketika transgresi menggantikan emosi-emosi negatif dengan emosi positif. Dengan demikian,
pengalaman rohani pada tingkat religiusitas yang membangkitkan emosi positif seperti kasih, empati, memungkinkan dapat mendorong terwujudnya forgiveness (Tsang, 2005, dalam McCullough, Bono & Root, 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bedell (2002),
menemukan bahwa variabel religiusitas adalah prediktor signifikan dalam melakukan pemaafan.
Lebih lanjut, dalam kajian empiris Pargamen (1997) menguraikan beberapa hubungan antara religiusitas dengan koping. Pertama, agama adalah mekanisme penguasaan yang sangat menonjol dalam situasi stress tinggi dan
ketidakmampuan individu dalam mengontrol. Kedua, koping religius sering memprediksi kesehatan psikologis. Ketiga,
meskipun beberapa mekanisme koping religius ditemukan dengan hasil yang memberi pengaruh positif pada kesehatan mental, namun beberapa hasil penelitian memberikan hal
yang non signifikan dan bahkan hubungan negatif antara religiusitas dengan indikator kesehatan mental.
Hingga saat ini, terdapat penelitian yang sangat minim pada hubungan religiusitas-empati, bahkan dengan variabel
lain umpamanya seperti pemaafan. Penulis hanya menemukan review religius-empati. Hambatan lain yang signifikan untuk memahami hubungan antara religius dan
empati adalah kurangnya kesepakatan dalam literatur tentang operasional konsep agama (Bradley, 2008). Banyak
agama mengajukan ide bahwa penganut agama harus memiliki kasih sayang, cinta, dan empati kepada orang lain (Hardy dan Carlo, 2005 dalam Bradley, 2008). Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa orientasi religius berhubungan positif dengan empati, tekanan personal (Khan, dkk., 2005 dalam Bradley, 2008). Sedangkan
orientasi religius ekstrinsik akan menuju pada jumlah keseluruhan empati, masalah empati, dan kemampuan
membayangkan yang lebih rendah (Khan, dkk., 2005 dalam Bradley, 2008). Dalam komitmen religius dihipotesakan akan mengekspresikan keadaan empati dan menghasilkan
forgiveness yang lebih tinggi, dimana balas dendam yang menjadi rendah (Witvliet, Hinze & Worthington, 2008).
Penelitian empiris telah menemukan bahwa religiusitas remaja berhubungan dengan empati (Francais & Pearson, 1987 dalam van Dyke & Elias, 2007), pandangan negatif dari
penggunaan narkoba dan alkohol (Francais & Mullen, 1993 serta Hadaway, Elifson & Peterson, 1984 dalam van Dyke &
Elias, 2007).
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa data penelitian terdahulu yang telah disebutkan di atas secara terpisah
telah menemukan empati dan religiusitas sebagai prediktor pada pemaafan. Sedangkan penelitian-penelitian terdahulu memiliki perbedaan lingkungan dan situasi dengan sampel
yang akan dilakukan pada saat ini. Di samping itu, penelitian ini juga akan melihat empati dan religiusitas
secara simultan menjadi prediktor forgiveness pada mahasiswa. Maka, pemaafan dapat dilaksanakan bila terdapat empati yang tinggi serta religiusitas yang tinggi.
Sejauh penelusuran peneliti sampai saat penulisan ini belum menemukan adanya penelitian empati dan
religiusitas secara simultan sebagai prediktor terhadap pemaafan pada mahasiswa. Hasil penelitian yang telah ada
belum menunjukkan data yang komprehensif.
2.5.2.Model Bangun Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka model bangun penelitian adalah sebagai berikut:
Religiusitas
Bagan Model Antar Variabel
2.6. Hipotesis
Berdasarkan pembahasan definisi, aspek, faktor dan
peranan serta landasan teori, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Empati dan religiusitas sebagai prediktor terhadap pemaafan secara simultan pada mahasiswa Sekolah Tinggi
Teologi Salatiga.
Empati
X1 Pemaafan