BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Zaitun 2.1.1 Asal Usuleprints.umm.ac.id/42628/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Zaitun 2.1.1 Asal Usuleprints.umm.ac.id/42628/3/BAB II.pdf ·...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Zaitun
2.1.1 Asal Usul
Minyak zaitun adalah minyak yang dihasilkan dari perasan buah zaitun (Olea
europae L) yang awal mula dikembang biakkan di Cekungan Laut Tengah dan sudah
digunakan pada zaman nabi untuk memasak, kosmetik dan pengobatan. Awal mula
sejarah adanya minyak zaitun berawal dari Homer, seorang penyair legendaris Yunani
Kuno yang membuat dan menyebut minyak zaitun ini sebagai “emas cair” dalam
adikaryanya Odyssey. Penggunaan minyak zaitun untuk kesehatan jiwa maupun
kesehatan badan telah dimulai sejak 6000 tahun yang lalu.Hipocrates , “Bapak Ilmu
Pengobatan” mengatakan bahwa minyak zaitun memiliki nilai terapi yang tinggi bagi
kesehatan (Magdalena, 2014). Lebih dari 60 resep terapi penyembuhan pasien
menggunakan khasiat minyak zaitun telah dilakukan oleh Hipocrates sejak 400 SM
(Orey, 2008).
2.1.2 Klasifikasi Minyak Zaitun
Menurut Orey, (2008) Kualitas dari minyak zaitun dapat diklasifikasikan
menjadi 5 golongan yaitu:
1. Extra virgin: Jenis minyak zaitun yang dihasilkan dari zaitun berkualitas
wahid. Hanya boleh memiliki keasaman alami kurang dari 1%. Rasa buahnya
masih sangat kuat. Dan dipenelitian ini menggunakan minyak zaitun extra
virgin karena kualitas dan kemurniannya yang terjamin
2. Virgin: Jenis minyak zaitun yang diproses secara mekanik (dengan perasan)
tanpa panas, yang mengubah tingkat keasaman menjadi antara 1-5%.
9
3. Pure: Campuran dari minyak zaitun sulingan (diolah dengan uap dan bahan
kimia) dengan yang virgin. Tingkat keasaman berkisar 3-4% dan memiliki
harga yang lebih murah.
4. Extracted and refined: Dibuat dari sisa perasan pertama dengan menggunakan
pelarut kimia, ditambahkan minyak virgin sebagai penguat rasa.
5. Pomace: Dibuat dengan ekstraksi kimia dari residu yang terrsisa setelah
perasan dan pemrosesan kedua. Mengandung keasaman 5-10% dan
ditambahkan minyak virgin sebagai penguat rasa.
2.1.3 Kandungan Minyak Zaitun
Menurut Orey (2008) terdapat enam unsur super penyangga kesehatan dalam
minyak zaitun, pertama disebutkan bahwa minyak zaitun mengandungasam lemak
esensial yaitu 55-85% Asam Oleat, asam lemak tak jenuh tunggal. Sembilan persen
padanya adalah asam linoleat yakni sebuah asam lemak tak jenuh ganda. Sedangkan
0-1,5% lainnya diisi oleh asam linoleat yang juga tak jenuh ganda. Jenis jenis asam
lemak ini, tidak seperti lemak yang jenuh dan lemak sintetis, sehat bagi jantung dan
banyak lagi manfaat lainnya. Lemak tak jenuh ganda penting dalam respon imun, dan
asam lemak esensial didalam membran sel turut menjaga stabilitas karena perannya
dalam mengatur metabolisme. Asam lemak pada permukaan kulit juga berperan
terhadap kemampuan kulit yang anti air dan menjadi bakterisida (Boyle, 2009).
Kemudian ada asam lemak omega-3 dan omega-6 yang penting dalam mencegah
penyakit jantung dan terkandung dalam jumlah besar dalam minyak ikan seperti
salmon, juga minyak biji rami. Selanjutnya dalam minyak zaitun terdapat antioksidan
sebagaimana asam lemak esensial polifenol dalam minyak zaitun baik bagi tubuh dari
ujung rambut hingga ujung kaki. Begitu juga zat besi kemudian yang berhubungan
juga dengan penyembuhan luka bakar terdapat vitamin A,C,E dan K. Selain itu
10
menurut Orey (2008) minyak zaitun memiliki kandungan vitamin A, vitamin C,
vitamin E yang mampu menangkal radikal bebas. Sedangkan berdasarkan hasil uji
analisis minyak zaitun extra virgin di lab terpadu universitas muhammadiyah malang
(2013), pada penelitian sebelumnya didapatkan hasil kandungan vitamin A 38,789
SI/100 gram, kandungan Vitamin E 775,603 ppm, kandungan polifenol 400,274
ppm, kandungan oleochantal 176,977 ppm.
Vitamin A memiliki peran dalam pembentukan sel darah merah.vitamin ini
juga memiliki peran sebagai suatu antioksidan yang melawan reaksi radikal bebas dan
emiliki peran kunci dalam imunitas khususnya fungsi limfosit-T dan respon antibodi
terhadap infeksi. Setelahnya ada vitamin E yang penting untuk menjaga kesehatan
kulit dan pembuluh darah, sehingga vitamin ini dapat mempengaruhi perbaikan
jaringan (Widjianingsih dan Wirjatmadi, 2013), adapun juga vitamin C yang menurut
Boyle (2009) sangat penting untuk kesehatan sistem imun dan untuk penyembuhan
luka yang efisien, dan juga merupakan antioksidan penting.
2.2 Luka Bakar
2.2.1 Definisi
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera, suatu bentuk kerusakan atau
kehilangan jaringan yang disebabkan kontak langsung atau terpapar dengan sumber-
sumber panas (thermal), listrik, zat kimia, atau radiasi (Tutik, 2012).Luka bakar
merupakan suatu jenis trauma yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi
sehingga memerlukan perawatan yang khusus mulai fase awal hingga fase lanjut
(Brunicardi, 2015).
11
2.2.2 Mekanisme Cedera Luka bakar
Mekanisme Cedera luka bakar disebabkan beberapa faktor yang meliputi:
1. Luka Bakar Termal Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar
atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.
2. Luka Bakar Kimia Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya
jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan
banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini.
Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat – zat pembersih
yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang
digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer.Lebih dari 25.000 produk zat
kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
3. Luka Bakar Elektrik (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi
listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh
lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai
tubuh.
4. Luka Bakar Radiasi Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber
radioaktif. Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada
industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran.
Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah
satu tipe luka bakar radiasi (Rahayuningsih, 2012)
2.2.3 Derajat Luka Bakar
Menurut Sander (2010) Luka bakar berdasarkan tingkat kedalamannya dibagi
menjadi beberapa jenis, derajat satu terbatas pada lapisan dermis, derajat 2 dibagi
menjadi derajat 2 dangkal (IIA) dan dalam (IIB) dan derajat III meliputi epidermis
12
hingga dermis dan lapisan yang lebih dalam. Dan kedalaman luka ini akan menjadi
acuan untuk melakukan tindakan penanganan selanjutnya.
1. Luka bakar derajat I
a. Kerusakan jaringan terbatas di bagian permukaan (superficial) yaitu
epidermis.
b. Kering.
c. Hiperemis.
d. Nyeri (hiperesthesia) karena ujung saraf sensorik teriritasi.
e. Bullae negative.
f. Sembuh spontan 2-10 hari tanpa meninggalkan jaringan parut.
Gambar 2.1 Luka bakar derajat I (Sander, 2010)
2. Luka bakar derajat IIA Dangkal (Superfisial)
a. Kerusakan mengenai bagian epidermis dan sebagian (1/3 bagian
superficial) dermis.
b. Dermal-epidermal junction mengalami kerusakan sehingga terjadi
epidermolisis yang diikuti terbentuknya lepuh (bula, blister). Lepuh ini
merupakan karakteristik luka bakar derajat dua dangkal. Bila epidermis
terlepas (terkelupas), terlihat dasar luka berwarna kemerahan, kadang pucat
dan eksudatif.
13
c. Apendies kulit (integument, adneksa kulit) seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sbasea utuh.
d. Penyembuhan terjadi secara spontan umumnya memerlukan waktu antara
10-14 hari atau 7-20 hari, hal ini dimungkinkan karena membrane basalis
dan apendititis kulit tetap utuh. Membrane basalis dan apendititis
merupakan sumber proses ephitelialisasi.
Gambar 2.2 Luka bakar derajat IIA atau dangkal (Sander, 2010)
3. Luka bakar derajat IIB / Dalam (Deep partial thicknes burn)
a. Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis (2/3 bagian
superficial).
b. Apendies kulit (integument) seperti folikel, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea sebagian utuh.
c. Kerap dijumpai eskar tipis di permukaan. Berbeda dengan eskar pada luka
bakar gderajat tiga.
d. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendies kulit yang tersisa.
Biasanya penyembuhan memerlukan waktu lebih dari dua minggu atau 21
hari.
14
Gambar 2.3 Luka bakar derajat IIB atau dalam (Sander, 2010)
4. Luka bakar derajat III
a. Kerusakan meliputi seluruh ketebalan kulit (epidermis dan dermis) serta
lapisan yang lebih dalam.
b. Kulit yang terbakar tampak berwarna pucat atau lebih putih tua karena
terbentuk eskar.
c. Secara teoritis tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan kehilangan sensasi karena
ujung-ujung serabut saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
d. Apendises kulit (adneksa, integument) seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan.
e. Tahap penyembuhan lama. Proses epithelisasi spontan baik dari tepi luka
(membrana basalis), maupun dari apendises kulit (folikel rambut, kelenjar
keringat dan kelenjar sebasea yang memiliki potensi epithelialisasi) tidak
dimungkinkan terjadi struktur-struktur jaringan teersebut mengalami
kerusakan.
15
Gambar 2.4 Luka bakar derajat III (Sander, 2010)
2.2.4 Luas Luka Bakar
Munurut Rahayuningsih (2012) Terdapat beberapa metode untuk
menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine,(2) Lundand Browder, dan (3)
hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari
metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan
tubuh yang terkena luka bakar.Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode
yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940- an sebagai suatu
alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar.
Dasar dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomic,
dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 % (lihat gambar 1).
16
Gambar 2.5 Metode rules of nine dan lund and browder
Metode lund and browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian
tubuh menurut usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang
luas luka bakar
Gambar 2.6 Metode hand palm
17
Luas luka bakar selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga
digunakan cara lainnya yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara
menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan.
Satu telapak tangan mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.
2.2.5 Patofisiologi Luka bakar Superficial IIA
Pembuluh darah kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak dan
permeabilitas meninggi. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan aliran darah yang
melewati kapiler meningkat menjadikan kulit berwarna kemerahan dan terjadi
ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler menyebabkan oedem dan
menimbulkan bulae yang mengandung banyak elektrolit. Hal ini menyebabkan
berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar
menyebabkan kehilangan cairan akibat terjadinya evaporasi/penguapan yang
berlebihan, dan masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat dua
(Pusponegoro, 2005). Selain itu ujung-ujung syaraf sensorik teriritasi menyebabkan
timbulnya rasa nyeri (Noer, 2006; Tyas, 2010). Tanda-tanda klinis pada luka bakar
derajat II dangkal atau superficial (IIA) berupa adanya gelembung berisi cairan
(Bulla), berkeringat karena rangsangan pada kelenjar keringat, warna merah pada kulit
yang memucat dengan penekanan, dan nyeri bila terpapar udara (Anto, 2007;
Binasari, 2011).
2.2.6 Fase Luka Bakar
a. Fase Akut
Fase akut pada luka bakar disebut juga sebagai fase awal atau fase syok.
Dalam fase akut ini penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan
nafas), breathing (mekanisme bernafas) dan circulation (sirkulasi). Gangguan nafas
tidak hanya terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat
18
terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cidera inhalasi dalam 48-72 jam pasca
trauma. Cidera inhalasi adalah penyebab kematian utama pada penderita luka bakar
pada fase akut serining terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit akibat cidera
karena panas yang berdampak sistemik.
b. Fase Subakut
Fase subakut berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi
adalah adanya kerusakan atau lehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber
panas. Luka yang terjadi akan menyebabkkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi
2. Permasalahan pad penutupan luka dengan fokus perhatian pada luka yang
terbuka, jaringan epitel dan atau padastruktur organ fungsional.
c. Fase Lanjut
Fase lanjutan akan berlangsung sampai terjadinya jaringan parut akibat luka dan
pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Permasalahan yang muncul padafase ini
adalah adanya penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid,gangguan pigmentasi,
deformitas dan kontraktur.
2.2.7 Efek Luka Bakar
1. Kulit
Pada Kulit Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka
bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil
(smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami
injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan
tubuh (TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap
injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri luka bakar yang
luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh, seperti :
19
2. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif
(catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan
yang mengalami injuri. Substansi – substansi ini menyebabkan meningkatnya
permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes (to seep) kedalam sekitar jaringan.
Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan
permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai membran sel menyebabkan
sodium masuk dan potasium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan
tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracellular dan
interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume
cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik
pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar
dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung
meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya
hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit
meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler.
Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4- 20 kali lebih
besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa
dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml.
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang
intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik
dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi. Kurang
lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak
mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac output
kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan
20
hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak
output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal.
Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah
normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan
kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan
edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan
menurunnya GFR (glomerular filtration rate), yang menyebabkan oliguri. Aliran
darah menuju usus juga berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal
dan disfungsi gastrointestia pada klien dengan luka bakar yang lebih dari 25 %.
4. Sistem Imun
Fungsi sistem imun mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte,
suatu penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan
perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien
yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
5. Sistem Respiratori
Sistem Respiratori Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner,
mengakibatkan penurunan kadar oksigen arteri dan “lung compliance”.
a. Smoke Inhalation.
Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmoner yang seringkali
berhubungan dengan injuri akibat jilatan api. Kejadian injuri inhalasi ini diperkirakan
lebih dari 30 % untuk injuri yang diakibatkan oleh api. Manifestasi klinik yang dapat
diduga dari injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan
pembengkakan pada oropharynx atau nasopharynx, rambut hidung yang gosong,
21
agitasi atau kecemasan, takhipnoe, kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing,
dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk. Bronchoscopy dan
Scaning paru dapat mengkonfirmasikan diagnosis.Patofisiologi pulmoner yang dapat
terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang dihirup.
b. Keracunan Carbon Monoxide.
CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik
terbakar. Ia merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang
dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan terhirupnya
CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversibel berikatan dengan
hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan
dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran
oksigen dalam darah.
2.2.8 Penyembuhan Luka Bakar Pada Kulit
Kerusakan (cedera) pada kulit akan memicu suatu sekuens yang akan
memperbaiki jaringan yang rusak. Terdapat dua jenis penyembuhan, yaitu
penyembuhan epidermis untuk cedera yangtidak terlau dalam dan penyembuhan
mendalam, yaitu apabila cedera tidak hanya merusak jaringan dermis dansubkutan.
1. Penyembuhan epidermis
Penyembuhan epidermis sering terjadi apabila cedera terdapat hanya sebatas
epidermis. Sel-sel basal yang dipisahkan oleh daerah cedera cedera. Mekanisme
pengisian darah cedera ini diperantarai oleh EGF (epidermal growth factor) yang
akan menyebabkan sel basal berpoliferasi danmenyababkan penebalan epidermis
yang rusak.
22
2. Penyembuhan mendalam
Penyembuhan mendalam terjadi apabila cedera meliputi hingga ke daerah
dermis dan subkutis. Karena cederanya lebih luas dibandingkan dengan epidermis
saja, maka proses penyembuhannya lebih kompleks dibanding penyembuhan
epidermis. Selain itu, terbentuknya jaringan parut dapat membuat daerah
penyembuhan kehilangan fungsi fisiologisnya.
Fase Penyembuhan mendalam meliputi :
a. Fase Inflamatorik
Pada fase ini, terjadi peristiwa inflamasi (respon selular dan vaskular)
yang meliputi antara lain vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, serta rekrutmen sel-sel fagosit untuk mengiliminasi agen penyebab
cedera secara/jejas. Selain itu pada fase inflamatorik juga terjadi
penggumpalan darah untk menyatukan daerah yang terpisah akibat cedera.
Dan fase ini memakan waktu singkat hanya 5-10 menit
b. Fase Migratorik
Pada fase migratorik, yang biasanya terjadi dihari ke 3-4 akan memulai
perpindahan fibroblas untuk membentuk jaringan parut. Juga akan terbentuk
keropeng didaerah cedera.
c. Fase Proliferatif
Pada fase proliferatif, terjadi pertumbuhan sel-sel epitel di bawah
keropeng, deposisi fibroblas yang semakin banyak dan pembuntakn kapiler
kapiler baru. fase ini terjadi setelah 5 hingga 2 minggu atau ketika
penyembuhan secara spontan dimulai
23
c. Fase Maturasif
Fase maturasif membutuhkan waktu 2 minggu hingga 12 bulan, pada
fase ini, keropeng yeng terbentuk akan meluruh dan digantikan dangen
jaringan sehat dankulit kembali ke ketebalannya semula. Kolagen menjadi
lebih tersususun, fibroblas berkurang, dan kapiler darah telah normal kembali.
(Orey, 2008)
2.2.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
1. Usia
Semakin bertambah tua, mekanisme sel dalam penyembuhan mempunyai
respos lebih lambat dan bekerja dengan kurang efektif (Hermawan, 2008).Anak dan
dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua (WCTS, 2009).Orang tua
lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu
sintesis dari faktor pembekuan darah dan memperlambat inflamasi (Ismail, 2009).
2. Nutrisi
Pasien memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A,
dan mineral seperti Fe dan Zn (Ismail, 2009; WCST, 2009; Binasari, 2011). Pasien
yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena suplai
darah dalam jaringan adipose tidak adekuat (Ismail, 2009).
3. Infeksi
Luka yang terinfeksi akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh.
Tubuh selain harus bekerja dalam penyembuhan luka, juga harus bekerja dalam
melawan infeksi yang ada, sehingga tahap peradangan akan berlangsung lebih lama.
Luka yang sembuh juga tidak sebaik biasanya (Hermawan, 2008; Tyas, 2010).
4. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah.Seringkali pada luka secara bertahap
24
diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang
besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga
menghambat proses penyembuhan luka (Ismail, 2009; Widyasri, 2011).
5. Benda asing atau Mikroorganisme
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari
serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (sel darah putih), yang membentuk suatu
cairan kental yang disebut dengan nanah (pus) (Ismail, 2009; Tyas, 2010).
6. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada bagian tubuh akibat obstruksi dari aliran darah.Hal ini terjadi akibat dari balutan
pada luka terlalu ketat.Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi
pada pembuluh darah itu sendiri (Ismail, 2009; Tyas, 2010).
7. Diabetes
Penderita diabetes dengan kadar gula darah tidak terkontrol, bila mengalami
luka maka akan luka tersebut bukan saja sulit sembuh, tetapi juga akan bertambah
besar (Hermawan, 2008). Hambatan terhadap sekresi insulin mengakibatkan
peningkatan gula darah, nutrisi tida dapat masuk kedalam sel. Akibat hal tersebut
maka kanan terjadi penurunan protein-kalori tubuh (Ismail, 2009; Binasari, 2011).
8. Keadaan Luka
Keadaan luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan
luka.Perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, tiga peneliti
telah memulai tentang perawatan luka.Misalnya menunjukan bahwa lingkungan yang
lembab lebih baik daripada lingkungan kering (Ismail, 2009; widysari, 2011).
Lingkungan yang paling baik untuk proses penyembuhan luka secara alami bekerja
25
adalah lingkungan yang hangat, lembab, dan non toxic. Pengeringan luka
akanmenyebabkan semua proses penyembuhan berhenti (WCST, 2009).
Keseimbangan kelembapan pada permukaan luka adalah faktor kunci dalam
mengoptimalkan perbaikan jaringan. Keuntungan dari permukaan luka yang lembab
diantaranya adalah meningkatkan produksi faktor pertumbuhan, mengaktivasi
protease permukaan luka untuk mengangkat jarinan yang mati, meningkatkan
kecepatan angiogenesis dan proliferasi fibroblast, dan meningkatkan proliferasi dari
sel-sel epitel, sehingga dapat meningkatkan kecepatan penyembuhan (Tarigan dan
Pamila, 2007).
9. Daya Tahan Tubuh
Daya tahan tubuh yang menurun dapat disebabkan oleh berbagai sebab,
seperti obat dan kemoterapi, yang akan memperlambat penyembuhan luka. Karena
dalam proses penyembuhan, diperlukan system kekebalan tubuh untuk
membersihkan sisa-sisa jaringan yan mati dan membuat daerah luka siap untuk
diperbaiki (Hermawan, 2008).
10. Penyakit
Penyakit yang mempengaruhi seluruh tubuh akan membuat kemampuan
tubuh untuk memperbaiki sel-sel yang rusak akan terganggu. Penyembuhan luka akan
berjalan lebih lambat dari biasanya (Hermawan, 2008).
11. Radiasi
Radiasi akan menghambat pembentukan kolagen yang diperlukan dalam
penyembuhan luka. Luka yang menyembuh juga lebih rapuh dan terbuka kembali
(Hermawan, 2008).
12. Obat
Banyak obat dapat mempengaruhi penyembuhan luka, baik mempercepat
26
atau dapat juga memperlambat luka untuk sembuh.Oleh karena itu, diperlukan
pengetahuan dan keterampilan bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya dalam
memberikan advice kepada pasien dalam mempergunakan obat apapun (Hermawan,
2008).
Pada kondisi tertentu pemberian obat topikal pada kulit dengan cara
mengoleskan agen topikal dianggap lebih bermakna dengan tujuan obat yang
diberikan akan dapat mempercepat proses penyembuhan.Pemberian obat topikal
pada kulit memiliki tujuan yang lokal, seperti pada superficial epidermis. Jumlah
pemakaian obat topikal pada kulit ini harus cukup, jika pemakaiannya berlebihan
justru malah tidak berguna. Jumlah yang akan dipakai, sesuai dengan luas permukaan
kulit yang terkena infeksi (setiap 3% luas permukaan kulit membutuhkan 1 gram agen
topikal). Faktor-faktor yang berperan dalam penyerapan obat, diantaranya adalah:
Keadaan stratum korneum yang berperan sebagai sawar kulit untuk obat. Oklusi,
yaitu penutup kedap udara pada salep berminyak yang dapat meningkatkan penetrasi
dan mencegah terhapusnya obat akibat gesekan, usapan serta pencucian (Asmadi,
2008).
2.2.10 Penatalaksanaan Luka Bakar
Menurut buku “ buku pintar perawatan pasien luka bakar” disebutkan bahwa
secara umum penatalaksanaan luka bakar secara sistematik dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus 6c, yaitu clothing, cooling, chemophropylaxis, covering, dan
comforting.Pada pertolongan pertama dapat dilakukan langkah clothing dan cooling,
dan selanjutnya dilakukan pada fasilitas kesehatan.
1. Clothing, yaitu suatu upaya untuk menyingkirkan semua pakaian panas
atau terbakar. Apabila bahan pakaian yang menempel dan tidak dapat
dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase pembersihan
27
(cleaning)
2. Cooling, yaitu suatu upaya untuk mendinginkan daerah yang terkena luka
bakar dengan menguunakan air mengalir selama 20 menit. Harus dihindri
terjadinya hipotermia. Cara ini efektif sampai dengan 3 jam setalah
kejadian luka bakar, kompres dengan air dingin (air sering diganti agar
efektif tetap memberikan rasa dingin) yang berfungsi untuk
menghilangkan rasa nyeri pada luka yang terlokalisasi. Jangan
mengompres dengan menggunakan es karena dapat menyebabkan
pembuluh darah mengkerut (vasokontriksi) sehingga justru akan
memperberat derajat luka dan resiko hipotermia. Untuk luka bakar
karena zat kimia dan luka bakar didaerah mata, siram dengan air mengalir
yang banyaka selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar
berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air
mengalir.
3. Cleaning, adalah upaya untuk membersihkan luka dengan bantuan obat
anastesi untuk mengurangi rasa nyeri. Dengan mebuang jaringan yang
sudah mai atau dilakukan proses debridemen, proses penyembuhan akan
lebih cepat dan resikoainfeksi berkurang.
4. Chemoprophylaxis, yaitu memberikan agen anti tetanus yang dapat
diberikan pada luka yang lebih dalam dari superficial partial-thickness.
Pemberian krim silver sulfadiazine untuk penanganan infeksi, dapat
diberikan kecuali padaluka bkar superficial. Krim silver sulfadiazine tidak
boleh diberikan pada luka bakar yang mengenai wajah, riwayat alergi
sulfa, permpuan hamil, bayi baru lahir, dan ibu mneyusui dengan bayi
kurang dari 2 bulan.
28
5. Covering, yaitu penutupan luka bakar dengan kassa, yang disesuaikan
dengan derajat luka bakar. luka bkar superfisial tidak perlu ditutup
dengan kassa atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan
setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas
yang erjadi akibat hilangnyalapisan kulit akibat luka bakar.
6. Comforting, yaitu memberikan rasa nyaman pada klien dengan
memberikan obat penurun rasa nyeri atau analgetik. Faktor fisiologis
yang dapat mempengaruhi nyeri meliputi kedalaman luka, luas luka dan
tehapan penyembuhan luka.
2.2.11 Skin Care: Topical Treatments
Merupakan pengaplikasian zat topikal atau perangkat pengobatan untuk
meningkatkan integritas kulit dan meminimalisir terjadinya kerusakan integritas kulit
sesuai dengan “Nursing Interventions Classification” yang dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut (Bulecheck et al, 2008).
Tabel 2.2.11. SOP Topical treatments Menurut NIC
1. Hindari penggunaan sprai yang bertektur kasar.
2. Bersihkan dengan sabun antibakteri yang sesuai.
3. Usahakan agar pasien mengenakan pakaian yang tidak ketat.
4. Bersihkan kulit dengan medicated powder yang sesuai.
5. Lepas plester perekat dan bersihkan kotoran yang melekat.
6. Memberikan dukungan ke daerah mengalami pembengkakan (misalnya
dengan memberikan bantal dibawah lengan yang sesuai).
7. Oleskan minyak pelumas untuk melembabkan bibir dan mukosa mulut
sesuai dengan kebutuhan.
8. Menggosok punggung/leher sebagaimana mestinya.
29
9. Mengganti condom kateter yang sesuai.
10. Memberikan popok yang sesuai.
11. Berikan pembalut yang sesuai jika pasien mengalami inkontinensia.
12. Lakukan massage di sekitar daerah yang terkena.
13. Gunakan alat ostomy yang tepat.
14. Tutupi tangan dengan sarung tangan yang sesuai.
15. Menyediakan toilet yang bersih sesuai dengan kebutuhan.
16. Hindarkan pemberian kompres hangat.
17. Hindarkan penggunaan sabun yang bersifat alkali
18. Rendam dalam bak mandi berlarutan koloid jika dibutuhkan.
19. Jaga sprei agar tetap bersih, kering dan tidak kusut.
20. Lakukan mobilisasi pada pasien setiap 2 jam, sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan.
21. Gunakan perlengkapan tempat tidur yang dapat melindungi pasien.
22. Gunakan pelindung tumit yang sesuai.
23. Berikan bubuk pengering ke dalam lipatan kulit
24. Membrikan pengobatan yang sesuai pada daerah yang terluka,
sebagaimana mestinya.
25. Memberikan Acclusive dressing (Tegaderm atau duoderm) jika diperlukan.
26. Memberikan antibiotic topikal pada area luka sebagaimana mestinya.
27. Memberikan agen antiinflamasi topikal pada area luka sebagaimana
mestinya.
28. Berikan pelembab pada area yang terluka.
30
29. Berikan antijamur topikal ke daerah yang terkena.
30. Berikan agen debriding topikal ke daerah yang terkena.
31. Semprot kutil dengan nitrogen cair sesuai kebutuhan.
32. Periksa keadaan kulit setiap hari bagi mereka yang beresiko mengalami
kerusakan.
33. Dokumentasikan derajat kerusakan yang terjadi pada kulit.
34. Menambahkan kelembaban lingkungan dengan alat pelembab sesuai
kebutuhan.
2.3 Tikus Putih (Rattus Norvgicus)
Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan spesies mamalia pertama yang
didomestikasi untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Tikus putih mempunyai
kemampuan adaptasi yang baik dan cenderung tahan terhadap perlakuan berbagai
macam penelitian.Selain itu, tikus putih mempunyai kesamaan fisiologis dengan
mamalia (Maloloe, 1989; Fauziah, 2011).