BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengetahuan 2.1.1...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengetahuan 2.1.1...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengetahuan
2.1.1 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menuturkan hasil pengalaman seseorang tentang sesuatu. Dalam
tindakan mengetahui selalu kita temukan dua unsur utama yaitu subjek
yang mengetahui (S) dan sesuatu yang diketahui atau objek pengetahuan
(O). Keduanya secara fenomenologis tidak mungkin dipisahkan satu
dari yang lain. Karena itu pengetahuan dapat kita katakan sebagai hasil
tahu manusia tentang sesuatu atau perbuatan manusia untuk memahami
objek yang ia hadapi (Kebung, 2011:40). Pengetahuan adalah hasil
kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan
dengan alat-alat tertentu. Pengetahuan ini bermacam-macam jenis dan
sifatnya, ada yang langsung dan ada yang tak langsung, ada yang bersifat
tidak tetap (berubah-ubah), subyektif, dan khusus, dan ada pula yang
bersifat tetap, obyektif dan umum. Jenis dan sifat pengetahuan ini
pengetahuan ini tergantung kepada sumbernya dan dengan cara dan alat
apa pengetahuan itu diperoleh, serta ada pengetahuan yang benar dan
ada pengetahuan yang salah. Tentu saja yang dikehendaki adalah
pengetahuan yang benar (Suhartono, 2007:55).
13
2.1.2 Tingkat Pengetahuan
Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan dalam
(Notoatmodjo, 2010: 50-52) mengatakan bahwa tingkat pengetahuan
didalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu:
1) Tahu (know). Dimana mengingat kembali suatu materi yang telah
dipelajari atau objek yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Misalnya tahu
bahwa buah tomat banyak mengandung vitamin C. Untuk
mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat
menggunakan pertanyaan-pertanyaan, misalnya: apa tanda-tanda
anak kurang gizi, apa penyebab penyakit TBC dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2010:50)
2) Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan
dalam menjelaskan dan mampu mengintepretasikan objek atau
materi yang telah dialami dengan benar. Misalnya, orang yang
memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan
hanya sekedar menyebutkan 3 M (mengubur, menutup dan
menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus
menutup, menguras dan sebagainya tempat-tempat penampungan
air bersih tersebut (Notoatmodjo, 2010:51).
3) Aplikasi (application), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menggunakan objek atau materi yang telah dipahami dalam situasi
atau kondisi nyata. Misalnya, seseorang yang telah paham tentang
proses perencanaan, dia harus dapat membuta perencanaan
program kesehatan ditempat dia bekerja atau dimana saja. Orang
14
yang telah paham metodologi penelitian, dia akan mudah membuat
proposal penelitian dimana saja dan seterusnya (Notoatmodjo,
2010:51).
4) Analisis (analysis), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjabarkan suatu materi atau objek dalam beberapa komponen,
tetapi masih dalam satu kaitannya dengan orang lain. Indikasi
bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat
analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau
memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan)
terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalkan dapat
membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa,
dapat membuat diagram siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2010:51).
5) Sintesis (synthesis), yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan dan
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya
dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat
sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dapat
membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca
(Notoatmodjo, 2010: 52).
6) Evaluasi (evaluation), dimana kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini dengan sendirinya
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-
norma yang berlaku dimasyarakat. Misalnya, seorang ibu dapat
15
menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau
tidak (Notoatmodjo, 2010: 52).
2.1.3 Sumber-Sumber Pengetahuan
Kebung (2011:43-45) mengatakan bahwa ada enam hal penting
sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan. Enam hal itu
antara lain:
1). Pengalaman Inderawi (Sense –experience)
Pengalaman inderawi dilihat sebagai sarana paling vital dalam
memperoleh pengetahuan. Justru melalui indera-indera kita dapat
berhubungan dengan berbagai macam objek di luar kita. Penekanan
kuat pada kenyataan ini dikenal dengan nama realism (hanya
kenyataan atau sesuatu yang sudah menjadi faktum dapat diketahui.
Kesalahan bisa terjadi kalau ada ketidakharmonisan dalam semua
peralatan inderawi (Kebung, 2011: 43).
2). Penalaran (Reasoning)
Penalaran merupakan karya akal yang menggabungkan dua
pemikiran atau lebih untuk memperoleh pengetahuan baru. Untuk
itu amat perlu didalami asas-asas pemikiran seperti: principium
identitatis atau asas kesamaan dalam arti sesuatu itu mesti sama
dengan dirinya sendiri (A=A). Principium contradictions atau asas
pertentangan. Apabila dua pendapat bertentangan, tidak mungkin
keduanya benar dalam waktu yang bersamaan, atau pada subyek
yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan
pada satu waktu. Dan principium tertii exclusi (asas tidak ada
kemungkinan ketiga). Pada dua pendapat yang berlawanan tidak
16
mungkin keduanya benar dan salah. Kebenaran hanya terdapat pada
satu di antara keduanya dan tidak perlu ada pendapat atau
kemungkinan ketiga (Kebung, 2011: 44)
3). Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kewibawaan atau kekuasaan yang sah yang dimiliki
seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Ia dilihat sebagai salah satu
sumber pengetahuan karena kelompoknya memiliki pengetahuan
melalui seseorang yang memiliki kewibawaan dalam pengetahuanya.
Karena itu pengetahuan ini tidak perlu diuji lagi karena kewibawaan
orang itu (Kebung, 2011: 44).
4). Intuisi (Intution)
Intuisi merupakan kemampuan yang ada dalam diri manusia (proses
kejiwaan) untuk menangkap sesuatu atau membuat pernyataan
berupa pengetahuan. Pengetahuan Intuitif tidak dapat dibuktikan
seketika atau lewat kenyataan karena tidak ada pengetahuan yang
mendahuluinya. Lawan dari pengetahuanintuitif adalah pengetahuan
diskursif. Pengetahuan ini tidak diperoleh secara langsung dan
sekonyong-konyong, tetapi tergantung pada banyak aspek lain.
Dengan kata lain saya sampai pada pengetahuan karena sekian
banyak mediasi sudah saya lewati (Kebung, 2011: 45)
5). Wahyu (Relation)
Wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh dari ilahi lewat para nabi
dan utusan-Nya demi kepentingan umat-Nya. Dasar pengetahuan
adalah kepercayaan akan sesuatu yang disampaikan oleh sumber
17
wahyu itu sendiri. Dari kepercayaan ini muncullah apa yang disebut
keyakinan (Kebung, 2011: 45).
6). Keyakinan (faith)
Kepercayaan menghasilkan apa yang disebut iman atau keyakinan.
Keyakinan itu mendasarkan diri pada ajaran-ajaran agama yang
diungkapkan lewat norma-norma dan aturan-aturan agama.
Keyakinan juga dilihat sebagai kemampuan kejiwaan yang
merupakan pematangan dari kepercayaan. Kepercayaan pada
umumnya bersifat dinamis dan mampu menyesuaikan diri dengan
konteks, padahal keyakinan pada umumnya bersifat statis. (Kebung,
2011: 45).
2.1.4 Bentuk dan Jenis Pengetahuan
Menurut Kebung (2011: 46-50), jenis pengetahuan dibagi menjadi:
1) Berdasarkan Obyek (Object-based)
Pengetahuan manusia dapat dikelompokkan dalam berbagai macam
sesuai dengan metode dan pendekatan yang mau digunakan.
a. Pengetahuan Ilmiah
Semua hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan
menggunakan metode ilmiah. Dalam metologi ilmiah dapat kita
temukan berbagai kriteria dan sistematika yang dituntut untuk
suatu pengetahuan. Karena itu pengetahuan ini dikenal sebagai
pengetahuan yang lebih sempurna (Kebung, 2011: 46).
b. Pengetahuan Non Ilmiah
Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara
yang tidak termasuk dalam kategori ilmiah. Kerap disebut juga
18
dengan pengetahuan pra-ilmiah. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa pengetahuan non ilmiah adalah seluruh hasil pemahaman
manusia tentang sesuatu atau obyek tertentu dalam kehidupan
sehari-hari terutama apa yang ditangkap oleh indera-indera kita.
Kerap juga terjadi perpaduan antara hasil pencerapan inderawi
dengan hasil pemikiran secara akali. Juga persepsi atau intuisi
akan kekuatan-kekuatan gaib. Dalam kaitan dengan ini pula kita
mengenal pembagian pengetahuan inderawi dan pengetahuan
akali (Kebung, 2011: 47).
2) Berdasarkan Isi (Content-Based)
Berdasarkan isi atau pesan kita dapat membedakan pengetahuan
atas beberapa macam sesuai dengan penjelasan Michael Polanyi,
yakni “tahu bahwa”, “tahu bagaimana”, “tahu akan” dan akhirnya
“tahu mengapa”
a. Tahu bahwa
Pengetahuan tentang informasi tertentu misalnya tahu bahwa
sesuatu telah terjadi. Kita tahu bahwa p dan p itu sesungguhnya
benar. Pengetahuan ini disebut juga sebagai pengetahuan
teoritis-ilmiah, walaupun tidak mendalam. Dasar pengetahuan
ini ialah informasi tertentu yang akurat (Kebung, 2011: 47).
b. Tahu Bagaimana
Misalnya bagaimana melakukan sesuatu (know-how). Ini berkaitan
dengan ketrampilan atau keahlian membuat sesuatu. Sering juga
dikenal dengan nama pengetahuan praktis, sesuatu yang
19
memerlukan pemecahan, penerapan dan tindakan (Kebung,
2011: 47-48).
c. Tahu Akan
Pengetahuan ini bersifat langsung melalui penganalan pribadi.
Pengetahuan ini juga bersifat sangat spesifik berdasarkan
pengenalan pribadi secara langsung akan obyek. Ciri
pengetahuan ini ialah bahwa tingkatan obyektifitasnya tinggi.
Namun juga apa yang dikenal pada obyek ditentukan oleh
subyek dan sebab itu obyek yang sama dapat dikenal oleh dua
subyek berbeda. Selain dari itu subyek juga mampu membuat
penilaian tertentu atas obyeknya berdasarkan pengalamannya
yang langsung atas obyek. Di sini keterlibatan pribadi subyek
besar. Juga pengetahuan ini bersifat singular, yaitu berkaitan
dengan barang atau obyek khusus yang dikenal secara pribadi
(Kebung, 2011: 48).
d. Tahu Mengapa
Pengetahuan ini didasarkan pada refleksi, abstraksi dan
penjelasan. Tahu mengapa ini jauh lebih mendalam dari pada
tahu bahwa, karena tahu mengapa berkaitan dengan penjelasan
(menerobos masuk di balik data yang ada secara kritis). Subyek
berjalan lebih jauh dan kritis dengan mencari informasi yang
lebih dalam dengan membuat refleksi lebih mendalam dan
meniliti semua peristiwa yang berkaitan satu sama lain. Ini
adalah model pengetahuan yang plaing tinggi dan ilmiah.
(Kebung, 2011: 48).
20
2.1.5 Metode-Metode Memperoleh Pengetahuan
Menurut Kebung (2011: 51-61) metode-metode memperoleh
pengetahuan adalah:
1) Rasionalisme
Rasionalisme adalah aliran berpikir yang berpendapat bahwa
pengetahuan yang benar mengandalkan akal dan ini menjadi dasar
pengetahuan ilmiah. Mereka memandang rendah pengetahuan yang
diperoleh melalui indera bukan dalam arti menolak nilai pengalaman
dan melihat pengalaman sebagai perangsang bagi akal atau pikiran.
Kebenaran dan kesesatan ada dalam pikiran kita dan bukannya pada
barang yang dapat dicerap oleh indera kita (Kebung, 2011: 51).
2) Empirisme
Bagi filsuf empiris, sumber pengetahuan satu-satunya adalah
pengalaman dan pengamatan inderawi. Data dan fakta yang
ditangkap oleh panca indera kita adalah sumber pengetahuan.
Semua ide yang benar datang dari fakta ini. Sebab itu semua
pengetahuan manusia bersifat empiris (Kebung, 2011: 55).
3) Kritisisme
Tiga macam pengetahuan, pertama, pengetahuan analitis, dimana
predikat sudah termuat dalam subyek atau predikat diketahui
melalui dua analisis subyek. Misalnya, lingkaran itu bulat. Kedua,
pengetahuan sintesis a posteriori, dalam mana predikat
dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman inderawi.
Sebagai missal, hari ini sudah hujan, merupakan suatu hasil
pengamatan inderawi. Dengan kata lain setelah membuat observasi
21
saya mengatakan S=P, ketiga, pengetahuan sintesis a priori yang
menegaskan bahwa akal budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan
secara serempak. Ilmu pasti juga ilmu alam bersifat sintesis a priori
(Kebung, 2011:58).
4) Positivisme
Positivisme selalu berpangkal pada apa yang telah diketahui, yang
faktual dan positif. Semua yang diketahui secara postif adalah semua
gejala atau sesuatu yang tampak. Karena itu mereka menolak
metafisika. Yang paling penting adalah pengetahuan tentang
kenyataan dan menyelidiki hubungan-hubungan antar kenyataan
untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari, dan
bukannya mempelejarai hakikat atau makna dari semua kenyataan
itu.Tokoh utama positivism adalah August Comte. Ia membagi
perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap
teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah (postif). (Kebung, 2011:
60-61).
2.2 Konsep Palang Merah Remaja (PMR)
2.2.1 Pengertian Palang Merah Remaja (PMR)
Palang Merah Remaja (PMR) merupakan kader dari Palang
Merah Indonesia (PMI) yang berada di lingkungan sekolah. PMR
merupakan sukarelawan untuk menolong warga masyarakat yang
membutuhkan khususnya dilingkungan sekolah (Munandar, 2008:36).
PMR merupakan wadah yang digunakan untuk mengembangkan bakat
sosial yang dimiliki siswa. PMR memberikan pertolongan kepada
22
siapapun saja yang membutuhkan pertolongan tanpa membeda-
bedakan. Kegiatan PMR merupakan kegiatan di bidang kemanusiaan
yang sangat erat kaitannya dengan orang lain, bahwa kewajiban seorang
anggota PMR dipersiapkan untuk selalu bekerjasama dengan semua
golongan masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan
(Rochmawati, 2013:73).
2.2.2 Prinsip Dasar Palang Merah Remaja (PMR)
Menurut Athorid (2016: 5), dalam menjalankan misinya
gerakan PMR tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan apapun. Oleh
karena itu sangat diperlukan adanya prinsip dasar yang dapat dijadikan
pedoman dan landasan moril bagi kehidupan organisasi yang diakui
dan di hormati secara internasional. Pada tahun 1921, Komite
Internasional Palang Merah atau ICRD mencoba menyusun Prinsip
Dasar yang dirasa perlu sebagai dasar dalam setiap tindakan gerakan.
Teks inilah yang menjelma menjadi prinsip-prinsip dasar gerakan
Palang Merah Remaja yang diproklamirkan dalam konferensi
Internasional palang merah di Wina Austria yaitu: Kemanusiaan,
Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan, dan
Kesemestaan.
23
2.2.3 Klasifikasi Palang Merah Remaja (PMR)
Menurut Susilo, Mulaydi, & Utami (2008: 9) Klasifikasi PMR dibagi
menjadi 3 yaitu:
1) PMR Mula
PMR mula adalah anggota PMR yang berusia 10-12 tahun, anggota
PMR mula berada di lingkungan Sekolah Dasar (SD)
2) PMR Madya
PMR madya adalah anggota PMR yang berusia 12-15 tahun,
anggota PMR madya berada di lingkungan Sekolah Menengah
Pertama (SMP)
3) PMR Wira
PMR Wira adalaah anggota PMR yang berusia 15-17 tahun, anggota
PMR wira berada di lingkungan Sekolah Menengah Atas (SMA).
(Susilo et al, 2008: 9)
2.2.4 Kurikulum Palang Merah Remaja (PMR)
Menurut Athorid (2016), Kurikulum PMR dibagi sesuai dengan
tingkatan, yaitu:
1) PMR MULA
PMR Mula wajib untuk mengetahui beberapa pengetahuan
pertolongan pertama yang terdiri dari: Pengentahuan dasar
pertolongan pertama (pengertian pertolongan pertama, tujuan
pertolongan pertama, peralatan dasar pertolongan pertama,
kewajiban penolongan pertama), pengetahuan dasar tubuh
manusia, pengetahuan dasar luka, pengetahuan dasar patah tulang,
24
peran PMR mula dalam pelayanan pertolongan pertama (Athorid,
2016).
2) PMR MADYA
PMR Madya wajib untuk mengetahui beberapa pengetahuan
pertolongan pertama yang terdiri dari: Pengetahuan dasar
pertolongan pertama (Pengertian pertolongan pertama, tujuan
pertolongan pertama, peralatan dasar pertolongan pertama,
kewajiban penolongan pertama), anatomi dan faal dasar, penilaian
penderita, luka, patah tulang, luka bakar, pemindahan penderita,
penyakit mendadak, peran PMR Madya dalam pelayanan
pertolongan pertama (Athorid, 2016).
3) PMR WIRA
Pengetahuan dasar pertolongan pertama (pengertian pertolongan
pertama, tujuan pertolongan pertama, peralatan dasar pertolongan
pertama, kewajiban penolongan pertama, anatomi dan faal dasar,
penilaian penderita, cedera jaringan lunak, cedera sistem otot
rangka, luka bakar, pemindahan penderita, kedaruratan medis,
keracunan, peran PMR WIRA dalam pelayanan pertolongan
pertama (Athorid, 2016)
2.2.5 Tri Bakti Palang Merah Remaja (PMR)
Menurut Athorid (2016: 1), Tri Bakti PMR terdiri dari:
1) Meningkatkan Ketrampilan Hidup Sehat
Salah satu kegiatan yang dilakukan di PMR adalah gaya hidup
bersih dan sehat yang didalamnya berisi tentang: Menjaga pola
makan, melakukan olah raga, tidak merokok dan tidak minum
25
beraalkohol, mengurangi kendaraan bermotor, menjaga
kebersihan kamar mandi, tempat cuci dan toilet (MCK), dan
pembuangan sampah dan limbah keluarga (Athorid, 2016:1).
2) Berkarya dan Berbakti di Masyarakat
Salah satu bakti PMR kepada masyarakat adalah memperbaiki
kondisi dan perilaku kesehatan masyarakat, mendukung kegiatan
pelayanan kesehatan, pemberian pemulihan jasa kesehatan, serta
menyelenggarakan latihan dan pendidikan dasar untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara
kesehatannya (Athorid, 2016:1).
3) Mempererat persahabatan nasional dan internasional
PMR merupakan salah satu organisasi kesehatan yang berada
diseluruh penjuru daerah yang ada di Indonesia. Sehingga setiap
anggota PMR. (Athorid, 2016: 1)
2.3 Konsep Perilaku
2.3.1 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau akitivitas manusia, baik yang
dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak
luar. Perilaku manusia antara satu dengan yang lain tidak sama baik
dalam hal kepandaian, bakat, sikap, minat maupun kepribadian. Perilaku
manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan
dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam
diri manusia. Perilaku adalah respon individu terhadap stimulasi, baik
26
yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Novita & Fransiska,
2011:74).
Menurut Notoatmodjo (2010: 20) Perilaku dari segi biologis
adalah suatu kegiatan atau aktivitas mahluk hidup yang bersangkutan.
Oleh sebab itu semua mahluk hidup mempunyai aktivitas masing-
masing. Manusia sebagai salah satu mahluk hidup mempunyai bentangan
kegiatan yang sangat luas, sepanjang kegiatan yang dilakukan manusia
tersebut antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca,
berpikir, dan seterusnya.
2.3.2 Klasifikasi Perilaku
Menurut Novita & Fransiska (2011:75-76) perilaku dibagi menjadi 2
yaitu:
1) Perilaku Tertutup
Respon terhadap stimulus belum dapat diamati oleh orang lain (dari
luar secara jelas). Bentuk respon tertutup misalnya perhatian,
perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap, bentuk tindakan tertutup
yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap (Novita &
Fransiska, 2011: 75).
2) Perilaku Terbuka
Respon terhadap stimulus dapat diamati orang lain atau dari luar dan
sudah berupa praktik (Novita & Fransiska, 2011: 76).
27
Menurut Supriyati & Ambarwati (2012: 77-78) perilaku dibagi menjadi 2
yaitu:
1) Perilaku Tertutup (covert behavior)
Yaitu respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung
atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap
yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum
dapat diamati secara jelas oleh orang lain (Supriyati & Ambarwati
2012: 77).
2) Perilaku terbuka (over behavior)
Yaitu respon seseorang terhdaap stimulus dalam bentuk tindakan
nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas
dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat orang lain, oleh sebab itu overt behavior, tindakan
nyata atau praktik (Supriyati & Ambarwati 2012: 78).
2.3.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku
Menurut Novita & Fransiska (2011:76-77) ada tiga faktor yang
mempengaruhi terjadinya tindakan yang positif, yaitu:
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor anteseden terhadap tindakan
yang menjadi dasar atau motivasi bagi tindakan, yang termasuk
dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi,
norma sosial, dan pengalaman (Novita & Fransiska: 76). Contoh
seseorang yang tidak mau mengimunisasi anaknya di posyandu,
28
faktor predisposisinya adalah bisa dikarenakan orang tersebut belum
tahu manfaat imunisasi (Hikmawati, 2011: 105).
2) Faktor pendukung
Faktor pendukung adalah faktor anteseden terhadap tindakan yang
memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana, yang
termasuk dalam faktor ini adalah ketrampilan, fasilitas, sarana, atau
prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya
tindakan seseorang atau masyarakat (Novita & Fransiska: 76).
Contoh seseorang yang tidak mau mengimunisasi anaknya di
posyandu, faktor pendukungnya bisa dikarenakan rumah orang
tersebut jauh dari posyandu/puskesmas (Hikmawati, 2011: 105).
3) Faktor Penguat
Faktor penguat adalah faktor penyerta tindakan atau yang datang
sesudah perilaku itu ada. Hal-hal yang termasuk dalam faktor ini
adalah keluarga, teman, petugas kesehatan dan sebagainya (Novita &
Fransiska: 76). Contoh seseorang yang tidak mau mengimunisasi
anaknya di posyandu, faktor penguatnya adalah bisa karena tokoh
masyarakat/ petugas kesehatan di sekitarnya tidak mengimunisasi
anaknya (Hikmawati, 2011: 105).
Menurut Supriyati & Ambarwati (2012: 94-95) Faktor yang
mempengaruhi perilaku ada dua yaitu: (1) Kebutuhan, Setiap individu
mempunyai kebutuhan dasar dan merupakan suatu hirarki dalam 5
tingkat yaitu kebutuhan fisiologi, rasa aman, cinta, saying, sosial, dihargai
dan dihormati serta aktualisasi diri (2) Dorongan/motivasi, kebutuhan
dasar manusia merupakan sumber kekuatan yang mendorong menuju
29
kearah tujuan tertentu secara disadari maupun tidak disadari. Dorongan
penggerak ini disebut motivasi. Motivasi bisa timbul dalam diri individu
atau datang dari lingkungan. Motivasi menunjukkan motif seseorang atau
kelompok. Misalnya karena ingin pandai seseorang mempunyai motivasi
untuk belajar dengan giat sehingga perilaku tersebut menunjukkan motif
belajar yang tinggi.
2.3.4 Komponen Perilaku
Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan dalam
(Fitriani, 2011: 128) membagi perilaku manusia dalam 3 komponen yaitu:
1) Komponen Kognitif (cognitive)
Komponen ini mengarahkan pada tingkat pengetahuan dan
kepercayaan . Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan komponen yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (Fitriani, 2011: 128).
Menurut Notoatmodjo (2010: 34-35) Kognitif adalah kejiwaaan
untuk mengenal objek atau stimulus diluar objek. Pengenalan objek
oleh manusia pada prinsipnya melalui dua cara, yakni: (1) Melalui
Indra: Mengenal objek melalui indra ini terdiri dari dua tahap yakni
diluar dan dipusat. Pengenalan objek terjadi diluar artinya terjadi
karena pengindraan dan pengamatan. (2) Melalui akal: Pengenalan
juga dapat terjadi melalui akal, yakni apabila orang mempunyai
pemahaman terhadap sesuatu tanpa melalui indra tetapi melalui
30
pikiran atau akal. Proses kognitif ini terdiri dari 3 tahap, yakni a)
Membentuk pengertian, b) Membentuk pendapat dan c) Membentuk
keputusan.
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan yakni: (1) Awareness (Kesadaran), yakni orang tersebut
menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu (2)
Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus (3) Evaluation
(menimbang-nimbang baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya).
Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi (4) Trial, orang
telah mencoba perilaku baru dan (5) Adoption, subjek telah
berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus (Fitriani, 2011: 129).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur
dari subjek penelitian atau responden. Teradpat tujuh faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu: pendidikan, pekerjaan,
umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar dan
Informasi (Mubarak, 2012: 83-84).
2) Komponen Afektif (Sikap)
Menurut Notoatmodjo (2010: 44-45) Afektif adalah keadaan
atau peristiwa kejiwaan yang dirasakan atau dinilai dengan senang
atau tidak senang, suka atau tidak suka, baik atau tidak baik, setujua
31
atau tidak setuju, dan sebagainya. Oleh sebab itu afektif bersifat
subjektif ketimbang objektif. Suatu hal, benda atau peristiwa bagi
seseorang itu baik atau menyenangkan, tetapi bagi orang lain hal
yang sama dinilai tidak menyenangkan atau tidak baik. Menurut
Fitriani (2011: 131-132) Sikap merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.
a) Komponen pokok sikap
Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok yaitu: (1) Kepercayaan
(keyakinan), ide, dan konsep terhadap sutau objek (2) kehidupan
emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan (3)
Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini bersama-
sama membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang
utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegangi
peranan penting (Fitriani, 2011:132).
b) Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan:
(1) Menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek) (2) Merespon
(respondingi) merupakan memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah
suatu indikasi dari sikap (3) Menghargai (Valuing) Mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga dan (4) Bertanggungjawab
32
(responsible) merupakan bertanggungjawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang
paling tinggi (Fitriani, 2011:133).
3) Komponen Konatif (Psikomotor)
Menurut Notoatmodjo (2010: 48) Konatif adalah suatu tenaga atau
kekuatan yang mendorong seseorang untuk bertindak, bergerak atau
berbuat, sebagai reaksi atau respons terhadap stimulus yang berupa
lingkungan, baik fisik maupun non fisik. Menurut Fitriani (2011:
134) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan
(overt behavior) untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan
nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan yaitu (a) Persepsi
(Perseption) mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek
tingkat pertama (b) Respon terpimpin (guided response) dapat
melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua (c)
Mekanisme (mechanism) apa bila orang telah melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan
kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga (d) Adopsi
(adoption) adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Pengukuran perilaku dapat
dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap
33
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan
yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni
dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Fitriani,
2011: 134).
2.4 Konsep Pertolongan Pertama
2.4.1 Pengertian Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama adalah perawatan yang diberikan segera
pada orang yang cedera atau mendadak sakit. Pertolongan pertama tidak
menggantikan perawatan medis yang tepat. Pertolongan pertama hanya
memberikan bantuan sementara sampai mendapatkan perawatan medis
yang kompeten, jika perlu, atau sampai kesempatan pulih tanpa
perawatan medis terpenuhi (Thygerson, Gulli & Krohmer, 2011:2).
Menurut Swasanti & Putra, (2015:14) Pertolongan pertama atau yang
disingkat (PP) diartikan sebagai pemberian pertolongan segera atau
secepatnya kepada korban (sakit, cedera, luka, dan kecelakaan) yang
membutuhkan pertolongan medis dasar. Pertolongan medis dasar adalah
tindakan pertolongan berdasarkan ilmu kedokteran sederhana yang
dapat dimiliki orang awam. Pertolongan medis dasar dilakukan oleh
orang pada jarak terdekat dengan korban. Pertolongan medis dasar
sifatnya hanya memberikan pertolongan darurat kepada korban,
perawatan lanjutan sebaiknya ditangani oleh tenaga medis professional.
34
2.4.2 Tujuan Pertolongan Pertama
Menurut Swasanti & Putra, (2015:16) Tindakan pertolongan pertama
pada korban merupakan langkah medis vital dengan tujuan untuk:
1) Menyelamatkan jiwa korban. Keselamatan jiwa korban adalah tujuan
paling utama dari sebuah tindakan pertolongan
2) Mencegah cacat berkelanjutan. Tindakan pertolongan darurat selain
ditujukan untuk menyelamatkan nyawa, juga untuk mencegah
kemungkinan cacat berkelanjutan. Setelah keselamatan nyawa korban
tercapai, seorang penolong harus memperhatikan kondisi korban
dimana terdapat kemungkinan-kemungkinan yang mengarah kepada
kecacatan yang berkelanjutan.
3) Memberikan rasa nyaman pada korban. Setelah dua poin tersebut di
atas tercapai, tindakan pertolongan diupayakan mengarah kepada
memberikan rasa nyaman pada korban. Rasa nyaman akan
mengurangi kondisi kepanikan korban, sehingga mental korban
terkondisikan.
4) Menunjang proses penyembuhan korban. Terakhir, tindakan
pertolongan diarahkan kepada proses penyembuhan. Sebelum
korban sampai difasilitas medis, korban berhak mendapatkan
tindakan pertolongan yang menunjang kesembuhan cedera (Swasanti
& Putra 2015:16).
2.4.3 Kewajiban Seorang Penolong Pertama
Menurut Athroid (2016: 68), kewajiban seorang penolong
pertama ada beberapa sebagai berikut: (1) Menjaga kesalamatan diri,
anggota tim, penderita dan orang di sekitarnya, (2) Menjangkau
35
penderita, (3) Mengenali dan mengatasi masalah yang mengancam
nyawa, (4) Meminta bantuan / rujukan, (5) Memberikan pertolongan
dengan cepat dan tepat sesuai dengan keadaan penderita, (6) Membantu
penolong yang lain, (7) Menjaga kerahasiaan medis penderita, (8)
Melakukan komunikasi dengan petugas lain yang terlibat (9)
Mempersiapkan penderita untuk ditransportasi / di rujuk ke fasilitas
kesehatan.
Sedangkan menurut Swasanti & Putra, (2015: 15) kewajiban
seorang penolong adalah:
1) Menjaga keselamatan diri. Dalam melakukan tindakan pertolongan,
seorang penolong wajib memperhitungkan risiko dan
mengutamakan keselamatan diri. Perbekalan dan persiapan sarana
keselamatan wajib diperhatikan sebelum melakukan tindakan
pertolongan.
2) Meminta bantuan. Upayakan meminta bantuan, terutama kepada
tenaga medis.
3) Memberikan pertolongan sesuai keadaan korban. Kondisikan
tindakan pertolongan sesuai kebutuhan dan tingkat keseriusan
kondisi. Tindakan pertolongan yang tidak tepat pada porsinya justru
akan membahayakan kesalamatan korban.
4) Mengupayakan transportasi menuju fasilitas medis terdekat
(Swasanti & Putra, 2015: 15).
36
2.4.4 Etika Penolong Pertama
Agar penolong dan korban merasa nyaman dalam melakukan tindakan,
harus dipatuhi etika tindakan pertolongan. Etika dalam melakukan
pertolongan menurut Swasanti & Putra (2015: 17) antara lain:
1) Menganalisis kondisi lingkungan. Dalam melakukan pertolongan
hendaknya harus diperhatikan kondisi lingkungan di sekitar korban.
Lingkungan yang dimaksud mencakup pengertian lingkungan fisik,
psikis, dan sosial. Perhatikan kondisi lingkungan fisik disekitar
korban. Lingkungan harus aman sehingga dalam melakukan tindakan
korban tidak membahayakan nyawa korban dan penolong.
Lingkungan psikis artinya mengupayakan perasaan aman dan
nyaman, baik bagi korban maupun penolong dalam melakukan
tindakan. Lingkungan sosial artinya kondisi sosial ketika terjadi
interaksi satu atau lebih orang disekitar korban yang dapat
mempengaruhi tindakan pertolongan yang dilakukan (Swasanti &
Putra, 2015: 17).
2) Memperkenalkan diri. Penolong wajib memperkenalkan diri kepada
korban. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa aman dan
nyaman korban, serta menghindari kemungkinan salah paham
(Swasanti & Putra, 2015: 17).
3) Meminta izin. Sebelum melakukan tindakan pertolongan, seorang
penolong harus meminta izin kepada korban (sadar),
keluarga/kerabat atau orang terdekat dengan korban. Apabila semua
pihak tersebut terdahulu menolak, sebaiknya penolong tidak
37
memaksa melakukan tindakan pertolongan (Swasanti & Putra, 2015:
17).
4) Merahasiakan kondisi korban. Seorang penolong wajib menjaga dan
merahasiakan kondisi korban, terutama yang bersifat pribadi dan
privasi (Swasanti & Putra, 2015: 17).
5) Meminta bantuan dan kesaksian orang lain. Tindakan pertolongan
hendaknya disaksikan dan dibantu oleh orang lain. Hal ini bertujuan
untuk menimilkan kemungkinan salah paham dan dapat pula
dijadikan sebuah kesaksian apabila ada gugatan dari pihak korban di
kemudian hari (Swasanti & Putra, 2015: 17).
2.4.5 Tindakan Pertolongan Pertama
Menurut Athorid (2016: 77-83), beberapa tindakan pertolongan pertama
yang dapat dilakukan oleh anggota PMR adalah:
1) Luka Lecet
a. Membersihkan luka dengan air mengalir atau antiseptik
b. Luka yang sudah dibersihkan dikeringkan terlebih dahulu
c. Kemudian diolesi dengan betadin
d. Selanjutnya luka dibalut dengan kassa steril, dan balutan diganti
setiap hari (Swasanti & Putra, 2015:36).
2) Luka Robek
a. Menghentikan perdarahan dengan melakukan penekanan pada
daerah luka.
b. Setelah perdarahan berhenti, bersihkan luka dengan antiseptik.
c. Olesi luka dengan betadine.
38
d. Terakhir tutup luka dengan kassa steril (Swasanti & Putra,
2013:37).
3) Luka Tusuk
a. Membersihkan luka dengan antiseptic
b. Basuh kulit disekitar luka hingga bersih dan bersihkan semua
benda termasuk bekuan darah
e. Tutup luka dengan kassa steril yang telah diberikan obat-obatan
seperti sofra-tulle atupun daryant-tulle (Swasanti & Putra, 2013:39).
4) Cedera Sistem Otot Rangka
Pedoman untuk pembidaian:
a. Sampaikan rencana tindakan kepada penderita
b. Pastikan bagian yang cedera dapat dilihat dan rawat perdarahan bila
ada
c. Nilai gerakan sensasi-sirkulasi pada bagian daerah luka sebelum
menggerakkan pembidaian
d. Siapkan alat seperlunya (bidai dan mitella)
e. Upayakan tidak mengubah posisi yang cedera
f. Jangan memasukkan bagian tulang yang patah
g. Ikatan jangan terlalu keras dan jangan longgar
h. Ikatan harus cukup jumlahnya dimulai dari sendi yang banyak
bergerak
a. Selesai dilakukan pembidaian dilakukan pemeriksaan GCS kembali,
bandingkan dengan pemeriksaan GCS yang pertama (Athorid,
2016: 79-81).
39
5) Terkilir Sendi
Pedoman untuk penanganan terkilir
a. Letakkan penderita dalam posisi yang nyaman, istirahatkan bagian
yang cedera
b. Tinggikan bagian yang cedera
c. Beri kompres dingin maksimum tiga menit, ulangi setiap jam bila
perlu
d. Balut tekan dan tetap tinggikan
e. Rawat sebagai patah tulang
b. Rujuk ke fasilitas kesehatan (Athorid, 2016: 81).
6) Luka Bakar
Penanganan Luka Bakar:
a. Alirkan air biasa ke daerah luka, bila ada bahan kimia alirkan air
terus menerus selama 20 menit atau lebih
b. Lepaskan pakaian dan perhiasan, jika pakaian melekat pada luka
bakar gunting sekitarnya jangan memaksa untuk melepasnya.
c. Tutup luka bakar, gunakan penutup luka steril (kasaa) jangan
memecahkan gelembung
d. Jangan gunakan mentega, odol, oli, kecap, kopi, air es.
e. Rujuk ke fasilitas kesehatan terdekat (Athorid, 2016: 83).
2.4.6 Peralatan Dasar Pertolongan Pertama pada Cedera
Untuk menjamim kesalamatn diri penolong sekaligus korban,
sebelum melakukan tindakan pertolongan hendaknya diperhatikan
kelengkapan fasilitas pertolongan. Fasilitas pertolongan darurat adalah
alat dan kelengkapan pengaman yang sekiranya diperlukan selama
40
tindakan. Standar alat keamanan pada P3K dibagi menjadi dua, yaitu
Alat Pelindung Diri dan peralatan pertolongan. Alat pelindung diri,
misalnya sarung tangan atau lateks, masker, kaca mata, dan lin-lain.
Peralatan pertolongan misalnya kasa steril, perban, plester, alcohol 70%,
gunting, selimut, senter, pinset, dan sebagainya. (Swasanti & Putra,
2015:18).
Menurut Thygerson, Gulli & Krohmer, (2011: 3-4) Perlengkapan
pada kit pertolongan pertama harus disesuaikan untuk mencakup
beberapa hal yang mungkin digunakan secara regular. Kit untuk dirumah
seringkali berbeda dengan kit ditempat kerja. Kit untuk di rumah dapat
berisi obat-obat pribadi dan sedikit perlengkapan lain. Kit untuk
ditempat kerja lebih banyak lagi isinya (seperti perban) dan tidak akan
berisi obat-obat pribadi. Daftar barang-barang utama dalam kit
pertolongan pertama diantaranya adalah: Perban strip adhesive, perban
segitiga, penutup mata steril, bantalan kassa steril, kassa gulung steril
yang sesuai, plester tahan air, plester adhesive berpori, perban gulung
elastik, pembersih kulit antiseptik, salep antibiotic, sarung tangan, masker
wajah, kantong dingin, kantong plastik dengan seal yang dapat ditutup
rapat, bidai lunak dengan bantalan, selimut darurat, gunting, pinset,
senter kecil dan kantong sampah bahan berbahaya. Meskipun kit
pertolongan pertama dapat berisi beberapa obat, seperti antihistamin dan
salep topical, terdapat peraturan setempat yang melarang pengunaan
obat-obat tersebut oleh penolong pertama tanpa izin tertulis
sebelumnya. Misalnya, guru, ketua tim aktivitas, dan pengemudi bis di
area tertentu mungkin tidak dapat memberikan obat-obatan tersebut
41
pada anak-anak tanpa izin tertulis khusus yang ditanda tangani oleh
orangtua atau walinya.
2.5 Konsep Cedera
2.5.1 Pengertian Cedera
Cedera merupakan kerusakan pada tubuh seperti memar, luka,
diskolasi otot, dislokasi sendi dan dislokasi tulang yang disebabkan oleh
benturan atau gerakan yang berlebihan sehingga otot, tulang atau sendi
tidak dapat menahan beban atau menjalankan fungsinya dengan baik.
Cedera banyak terjadi karena ketidaksengajaan. Diseluruh dunia cedera
yang tidak disengaja adalah penyebab kedua kecacatan untuk usia 10
hingga 24 tahun (Senterre, Dramaix & Leveque, 2014: 409). Cedera
merupakan kerusakan pada struktur dan fungsi: kulit, mukosa, otot,
saraf, pembuluh darah, serta bagian tubuh lainnya, yang disebabkan
oleh sebuah paksaan fisik maupun kimiawi. Aktivitas sehari-hari yang
padat, serta tingginya tingkat interaksi memmungkinkan kita mengalami
cedera kapanpun dan dimanapun. Banyak penyebab cedera seperti
terkena benda tajam, terkena benda tumpul, terjatuh, kecelakaan lalu
lintas, cedera pada pertandingan, dan lain sebagainya (Swasanti & Putra,
2015:35).
2.5.2 Mekanisme Cedera
Menurut Terry & Weaver (2013:309-310), mekanisme cedera berarti
tipe cedera dan seberapa besar kekuatan yang menimbulkan cedera yang
spesifik.
42
Berikut beberapa mekanisme cedera menurut Terry & Weaver (2013:
309-310).
1) Cedera Tumpul
Pukulan atau benturan langsung yang menyebabkan cedera yang
berat. Permukaan tubuh dan penyebabnya (yang melukai)
melakukan kontak langsung. Kasus yang sering terjadi dan
menimbulkan cedera berat adalah akselerasi/deselerasi cedera
kepala dan leher (Terry & Weaver, 2013:309).
2) Cedera Penetrasi
Cedera penetrasi disebabkan oleh benda asing seperti pisau, kaca,
dan benda tajam yang masuk dan menembus organ dan jaringan
sehingga menimbulkan kerusakan dalam tubuh (Terry & Weaver,
2013:309).
3) Cedera Perforasi
Cedera perforasi adalah cedera yang disebabkan karena benda asing
(yang mencederai) menembus hingga keluar tubuh sehingga
menyebabkan kerusakan bagian dalam yang berat, seperti pisau dan
peluru (Terry & Weaver, 2013:310).
2.5.3 Klasifikasi Cedera
Menurut Terry & Weaver (2013:310) Cedera diklasifikasikan menjadi
dua yaitu cedera primer dan cedera sekunder.
1) Cedera Primer
Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan akibat pada saat itu
juga, seperti kontusio/memar, luka gores, luka robek, perdarahan,
43
dan subluksasi. Cedera seperti ini biasanya ringan dengan kerusakan
saraf yang minimal/tidak ada (Terry & Weaver, 2013:310).
2) Cedera Sekunder
Cedera sekunder adalah cedera yang terjadi setelah cedera primer
seperti infeksi/sepsis yang menyebabkan peningkatan kerusakan
organ dan jaringan, bahkan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Kematian dapat terjadi secara cepat sehingga
membutuhkan observasi dan monitor keperawatan yang ketat
(Terry & Weaver, 2013:310).
2.5.4 Cedera yang Sering terjadi disekolah
Menurut salam et al (2016: 77) Cedera yang sering terjadi disekolah
antara lain cedera kendaraan bermotor, tenggelam, keracunan, jatuh,
luka bakar, dan kekerasan remaja. Cedera tersebut sering terjadi pada
saat para siswa sedang bermain saat jam istirahat. Menurut Thygerson
et al (2011) Cedera yang sering terjadi disekolah adalah cedera olah raga
(Keseleo, terkilir, patah tulang, dislokasi dan cedera kepala), luka gores,
luka robek luka bakar dan gigitan binatang.
2.6 Gambaran Tingkat Pengetahuan Anggota PMR tentang Tindakan
Pertolongan Pertama pada Cedera Siswa
Selama berada di sekolah anak-anak menghadapi banyak bahaya yang
dapat mengakibatkan kecelakaan dan cedera, termasuk pada kendaraan sekolah,
ketika memasuki sekolah, di kelas, di koridor, bahan yang digunakan selama
praktiukum di kelas, selama praktikum kerajinan, dalam permainan di lapangan
olahraga, dan ketika meninggalkan sekolah (Ergun et al, 2010: 338). Karena
44
anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu mereka di sekolah, mereka sering
mengalami cedera di sekolah dan cedera dapat mengakibatkan masalah
kesehatan yang serius (Agbo et al, 2015: 55).
Menurut Salminen et al (2013: 3-5) mengatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya cedera disekolah adalah (1) Faktor lingkungan
yang kurang baik seperti: Lapangan sekolah yang diaspal jauh lebih beresiko
untuk terjadinya cedera dan lingkungan sekolah yang sempit (2) Faktor peralatan
dan perlengkapan praktikum yang tidak memadai seperti peralatan praktikum
yang sudah tidak layak pakai dan siswa salah dalam menggunakan peralatan
tersebut dan (3) Faktor manusia itu sendiri. Menurut Ergun et al (2010:338).
Cedera pada siswa dapat mengganggu keamanan dan keberhasilan akademik.
Cedera mengakibatkan ketidakhadiran saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung dan peningkatan biaya medis serta waktu orang tua tidak bisa
bekerja.
Pertolongan Pertama adalah pertolongan yang dilakukan sesegera
mungkin setelah terjadi cedera atau penyakit akut. Pertolongan pertama dapat
dilakukan oleh siapa saja dan dalam situasi apapun (Zideman, et al, 2015:225).
Penelitian menunjukkan bahwa 35% kematian terjadi seteleh kecelakaan dan
54% kematian terjadi dalam waktu tiga puluh menit pertama. Bantuan biasanya
diberikan oleh orang yang berada ditempat kejadian perkara (Meitin & Mutlu,
2010:262).
Pengetahuan merupakan suatu informasi yang diketahui seseorang
melalui penginderaan yang dimilikinya. Dengan memiliki pengetahuan,
seseorang dapat melakukan tindakan yang tepat sesuai dengan pengalaman yang
diperolehnya melalui penginderaan (Kebung, 2011:40). Kalaiyarasan (2015: 219)
45
mengatakan bahwa memiliki pengetahuan tentang pertolongan pertama di antara
para siswa sangatlah penting sehingga mereka dapat membantu mereka sendiri
atau orang lain di jika terjadi cedera di lingkungan sekolah. Palang Merah Remaja
(PMR) adalah kader PMI (Palang Merah Indonesia) yang berada di sekolah-
sekolah. Salah satu tugas pokok dari PMR itu sendiri adalah melakukan
pertolongan pertama jika terjadi kejadian cedera di lingkungan sekolah
(Munandar, 2008:36). Peran PMR sangat penting karena mereka sebagai satu-
satunya petugas kesehatan yang berada di sekolah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Romadhona (2014),
didapatkan nilai korelasi antara tingkat pengetahuan siswa dengan tindakan
pertolongan pertama pada sinkop yaitu nilai korelasi Gamma 0,506 dengan p
value 0,041 (p < 0,05), artinya siswa yang mempunyai tingkat pengetahuan
tentang pertolongan pertama dapat melakukan tindakan pertolongan pertama
pada sinkop dibandingkan dengan siswa yang tidak mempunyai pengetahuan
pertolongan pertama.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mobarak et al (2015) dengan
judul First Aid Knowledge and Attitude of Secondary School Students in Saudi Arabia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang pernah mendapatkan pelatihan
pertolongan pertama pengetahuannya baik dengan skor 89,9 % dan siswa yang
tidak pernah mendapatkan pelatihan pertolongan pertama dengan skor 55,9%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shinde et al (2015) dengan judul
Knowledge of High School students in Pune about First Aid an the Effect of Training on
Them. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil pre tes pada siswa SMA tentang
tindakan pertolongan pertama 107 siswa cukup (67,7%), 47 siswa baik (29,7%),
dan 4 siswa terbaik (2,5%). Dengan demikian pengetahuan tentang
46
pertolongan pertama sangat mempengaruhi tindakan pertolongan pertama yang
dilakukan.