BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik 2.1...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik 2.1...
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam
hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin (NKF,
2016). Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan-lahan kearah yang semakin
buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya.
Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan
gagal ginjal kronis (Wilson, 2005, dalam Nurani & Mariyanti, 2013).
Gagal Ginjal Kronik adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat
persisten dan irrever-sibel (Mansjoer, 2000, dalam Nurani & Mariyanti, 2013).
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National Kidney
Foundation (2016), penyakit gagal ginjal kronik dikarenakan adanya kerusakan
struktural atau fungsional ginjal dan/atau penurunan laju filtrasi glomerulus kurang
dari 60mL/menit/1,73m2 yang berlangsung lebih dari tiga bulan. Kerusakan ginjal
didefinisikan sebagai kelainan patologis atau penanda kerusakan, termasuk kelainan
pada darah atau tes urine atau studi pencitraan.
12
2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National
Kidney Foundation (2016), terdapat dua penyebab utama dari penyakit ginjal kronis
yaitu diabetes dan tekanan darah tinggi, yang bertanggung jawab untuk sampai dua-
pertiga kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan
kerusakan banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh
darah, saraf dan mata. Tekanan darah tinggi, atau hipertensi, terjadi ketika tekanan
darah terhadap dinding pembuluh darah meningkat. Jika tidak terkontrol, atau kurang
terkontrol, tekanan darah tinggi bisa menjadi penyebab utama serangan jantung,
stroke dan penyakit ginjal kronis. Begitupun sebaliknya, penyakit ginjal kronis dapat
menyebabkan tekanan darah tinggi.
Penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis baru dari data tahun 2014
berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRR) masih sama dengan tahun
sebelumnya. Penyakit ginjal hipertensi meningkat menjadi 37% diikuti oleh Nefropati
diabetika sebanyak 27%. Glomerulopati primer memberi proporsi yang cukup tinggi
sampai 10% dan Nefropati Obstruktif pun masih memberi angka 7% dimana pada
registry di negara maju angka ini sangat rendah. Masih ada kriteria lain-lain yang
memberi angka 7%, angka ini cukup tinggi hal ini bisa diminimalkan dengan
menambah jenis etiologi pada IRR. Proporsi penyebab yang tidak diketahui atau E10
cukup rendah.
13
Gambar 2.1 Penyakit Gagal Ginjal (Etiologi/Comorbid Di Indonesia 2014 (IRR,
2014).
Berikut penjelasan tentang patofisiologi terjadinya gagal ginjal kronik
berdasarkan etiologi penyebab terjadinya.
1. Diabetes Melitus
Toto (2003) mengatakan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab utama
gagal ginjal dan juga penyebab kematian pada pasien gagal ginjal kronik.
Diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan diabetes nepropati yang
merupakan penyebab gagal ginjal. Tjekyan (2014) mengatakan bahwa ginjal
mempunyai banyak pembuluh-pembuluh darah kecil. Diabetes dapat merusak
pembuluh darah tersebut sehingga pada gilirannya mempengaruhi kemampuan
ginjal untuk menyaring darah dengan baik. Kadar gula yang tinggi dalam darah
membuat ginjal harus bekerja lebih keras dalam proses panyaringan darah, dan
mengakibatkan kebocoran pada ginjal. Awalnya, penderita akan mengalami
kebocoran protein albumin ke dalam urin (albuminaria) yang dikeluarkan oleh
urine, kemudian berkembang dan mengakibatkan fungsi penyaringan ginjal
14
menurun. Pada saat itu, tubuh akan mendapatkan banyak limbah karena
menurunnya fungsi ginjal yang nantinya akan menyebabkan gagal ginjal.
Apabila kondisi ini tidak dapat diatasi dan berlangsung terus menerus dapat
meningkatkan stadium dari gagal ginjal dan selanjutnya akan menyebabkan
kematian (Tjekyan, 2014).
2. Hipertensi
Budiyanto (2009 dalam Ekantari, 2012) mengatakan bahwa hipertensi dan gagal
ginjal saling mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal,
sebaliknya gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada arteriol di
seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal,
arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan
ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh
darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang
menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik sendiri sering
menimbulkan hipertensi. Sekitar 90% hipertensi bergantung pada volume dan
berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara kurang dari 10%
bergantung pada renin (Ekantari, 2012).
3. Penyebab lain
Kondisi lain yang mempengaruhi ginjal adalah Glomerulonefritis, sekelompok
penyakit yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada unit penyaringan
ginjal. gangguan ini adalah jenis yang paling umum ketiga penyakit ginjal.
penyakit warisan, seperti penyakit ginjal polikistik, yang menyebabkan kista
15
besar terbentuk di ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya. Malformasi yang
terjadi sebagai bayi berkembang di dalam rahim ibunya. Misalnya, penyempitan
dapat terjadi yang mencegah aliran normal urin dan menyebabkan urin
mengalir kembali ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan dapat merusak
ginjal. Lupus dan penyakit lain yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.
Penghalang yang disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor atau
pembesaran kelenjar prostat pada pria serta infeksi saluran kencing berulang
(NKF, 2016).
Gambar 2.2 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Hipertensi
Perubahan struktur arteriol
Fibrosis dan Hialinisasi pada
dinding pembuluh darah
Arteriosklerosis
Iskemik pada pembuluh darah
intrarenal
Glomerolus rusak dan atrofi tubulus
Seluruh nefron rusak
(Nefrosklerosis)
Glomerolus gagal menyaring
Penurunan GFR
Gagal Ginjal
Gagal Ginjal Kronik Kematian
Diabetes Melitus
Peningkat gula dalam tubuh
Pengkatan kinerja ginjal
Ginjal tidak bisa mengkompensasi
lagi
Pada ginjal
Terus menerus
16
2.1.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National
Kidney Foundation (NKF) tahun 2016 terdapat 5 stage pada penyakit gagal ginjal
kronik. Berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang
merupakan ukuran dari tingkat fungsi ginjal.
Tabel 2.1 Stage Gagal Ginjal Kronik
STAGE GAGAL GINJAL
Stage Deskripsi Laju filtrasi Glumerolus (GFR)* (mL/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal (misalnya, protein dalam urin) dengan GFR normal
90 atau lebih dari di atasnya
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR
60 - 89
3a Penurunan moderat GFR 45 - 59
3b Penurunan moderat GFR 30 - 44
4 penurunan parah GFR 15 - 29
5 Gagal ginjal Kurang dari 15
(NKF, 2016).
2.1.4 Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik
Siapapun bisa mendapatkan penyakit ginjal kronis pada usia berapa pun.
Namun, beberapa orang mungkin lebih mudah mengalami dari pada yang lain untuk
mengembangkan penyakit ginjal (National Kidney Foundation (NKF), 2016).
Kemungkinan memiliki peningkatan risiko untuk penyakit ginjal diantaranya :
1. Diabetes Melitus
Diabetes merupakan faktor komorbiditas hingga 50% pasien dan sebesar 65%
pasien gagal ginjal kronik meninggal yang menjalani hemodialisis memiliki
riwayat penyakit diabetes (Dikow 2002, dalam Ekantari, 2012).
17
2. Hipertensi
Budiyanto (2009, dalam Ekantari, 2012) mengatakan bahwa hipertensi dan
gagal ginjal saling mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal,
sebaliknya gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi.
3. Anemia
Anemia banyak dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia terjadi pada
awal perkembangan penyakit gagal ginjal dan mengakibatkan fungsi ginjal
memburuk sehingga menjadi kronis (Ekantari, 2012).
4. Ras
Memiliki ras kelompok populasi yang memiliki tingkat tinggi diabetes atau
tekanan darah tinggi, seperti Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Asia,
Kepulauan Pasifik, dan Indian Amerika (National Kidney Foundation (NKF),
2016).
2.1.5 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik
1. Kepatuhan Diet
Kepatuhan diet merupakan satu penatalaksanaan untuk mempertahankan
fungsi ginjal secara terus menerus dengan prinsip rendah protein, rendah
garam, rendah kalium dimana pasien harus meluangkan waktu menjalani
pengobatan yang dibutuhkan (Sumigar, Rompas, & Pondaag, 2015).
2. Terapi Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya laal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Price & Sylvia, 2006, dalam Husna, 2010).
18
3. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada GFR kurang dari 15 mL/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006, dalam
Husna, 2010).
2.2 Konsep Hemodialisa
2.2.1 Definisi Hemodialisa
Ginjal yang sehat membersihkan darah dan mengeluarkan cairan ekstra dalam
bentuk urin. Ginjal juga membuat zat-zat yang menjaga tubuh sehat. Dialisis
menggantikan beberapa fungsi ini ketika ginjal tidak lagi bekerja. Dialisis adalah cara
membersihkan darah ketika ginjal tidak bisa lagi melakukan pekerjaan. Dialisis
menghilangkan limbah pada tubuh, ekstra garam, dan air, serta membantu untuk
mengontrol tekanan darah. Ada dua jenis dialisis yaitu hemodialisis dan dialisis
peritoneal. Dokter adalah orang terbaik untuk memberitahu kapan ketika pasien
harus memulai menjalani terapi dialysis (National Kidney Foundation (NKF), 2016).
Hemodialisa adalah suatu bentuk terapi pengganti pada pasien dengan
kegagalan fungsi ginjal, baik yang bersifat akut maupun kronik (National Kidney
Foundation (NKF), 2016). Pasien yang menderita gagal ginjal juga dapat dibantu
dengan bantuan mesin hemodialisis yang mengambil alih fungsi ginjal.Pasien gagal
ginjal yang menjalani terapi hemodialisa, mem-butuhkan waktu 12-15 jam untuk
dialisa setiap minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan
berlangsung terus-menerus sepanjang hidupnya (Bare & Smeltzer, 2002, dalam
Nurani & Mariyanti, 2013).
19
2.2.2 Waktu Pelaksaanaan Hemodialisa
Di pusat dialisis, hemodialisis biasanya dilakukan 3 kali per minggu selama
sekitar 4 jam pada suatu waktu. Orang-orang yang memilih untuk melakukan
hemodialisis di rumah mungkin melakukan perawatan dialisis lebih sering, 4-7 kali
per minggu selama berjam-jam lebih pendek setiap kali. Berdasarkan data dari
Indonesian Renal Registry (IRR, 2014), jumlah tindakan hemodialisis berdasarkan Durasi
Se-Indonesia dari tahun 2007 – 2014, durasi tindakan hemodialisis 3 -4 jam adalah
durasi hemodialisis terbanyak, hal ini masih di bawah standar durasi tindakan
hemodialisis yang sebaiknya 5 jam untuk frekuensi 2 kali seminggu. Pada diagram di
bawah baru 48,5 % tindakan hemodialisis yang mempunyai durasi >4 jam.
Gambar 2.3 : Jumlah tindakan hemodialisis berdasarkan Durasi Se-Indonesia
dari tahun 2007 – 2014 (IRR, 2014).
Dokter akan memberikan resep yang memberitahu pasien berapa banyak
perawatan yang dibutuhkan. Penelitian telah menunjukkan bahwa mendapatkan
jumlah yang tepat dari dialisis meningkatkan kesehatan pasien secara keseluruhan,
20
membuat pasien keluar dari rumah sakit dan memungkinkan pasien untuk hidup
lebih lama. Tim asuhan dialisis pada pasien yang menjalani hemodialisis akan
memantau pengobatannya dengan tes laboratorium bulanan untuk memastikan
pasein mendapatkan jumlah yang tepat dari dialisis (National Kidney Foundation
(NKF), 2016). Salah satu langkah tim asuhan dialisis pada pasien tersebut adalah
dengan menggunakan rasio pengurangan urea (URR). Pengukuran lain bisa
menggunakan Kt / V (diucapkan kay tee lebih vee). Dalam memastikan bahwa
pasien mendapatkan cukup dialisis:
1. Kt / V harus setidaknya 1,2 atau
2. URR harus setidaknya 65 persen.
2.2.3 Diet pada Pasien Hemodialisa
Kepatuhan diet merupakan satu penatalaksanaan untuk mempertahankan
fungsi ginjal secara terus menerus dengan prinsip rendah protein, rendah garam,
rendah kalium dimana pasien harus meluangkan waktu menjalani pengobatan yang
dibutuhkan (Sumigar, Rompas, & Pondaag, 2015).
Secara umum, pasien dialisis disarankan untuk meningkatkan asupan protein
dan membatasi jumlah kalium, fosfor, natrium, dan cairan dalam diet mereka. Pasien
dengan diabetes atau kondisi kesehatan lain mungkin memiliki pembatasan diet
tambahan. Sangat penting untuk berbicara dengan Anda ahli gizi tentang kebutuhan
diet individu. Tim asuhan dialisis akan memantau pengobatan pasien dengan tes
laboratorium bulanan untuk memastikan pasien mendapatkan jumlah yang tepat dari
dialisis dan bahwa pasien memenuhi tujuan dietnya (National Kidney Foundation, 2016).
21
2.2.4 Komplikasi Penggunaan Hemodialisa
Hemodialisa terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa
metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk memperpanjang
umur pasien. Prosedur hemodialisis bukan berarti tanpa resiko. Meskipun
hemodialisis aman dan bermanfaat untuk pasien, namun bukan berarti tanpa efek
samping. Berbagai permasalahan dan kompilkasi dapat terjadi saat pasien menjalani
hemodialisis (Armiyati, 2012).
Komplikasi intradialisis yang umum dialami pasien saat menjalani hemodialisis.
Komplikasi intradialisis yang umum dialami pasien saat menjalani hemodialisis adalah
hipotensi, hipertensi, kram, mual, dan muntah, sakit kepala, nyeri dada, nyeri
punggung, demam dan menggigil ( Armiyati, 2012; Al Nazly et al, 2013). Komplikasi
intradialisis dapat menimbulkan ketidaknyamanan, meningkatkan stres dan
mempengaruhi kualitas hidup pasien serta berbagai komplikasi intradialisis dapat
terjadi sejak hemodialisis dimulai sampai diakhiri, mulai jam pertama sampai jam
terakhir (Jablonski, 2007, dalam Armiyati, 2009).
2.3 Konsep Stres
2.3.1 Definisi Stres
Stres adalah reaksi non-spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan
(stimulus stressor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sangat individual,
sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapanya bagi orang lain.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kemtangan berpikir, tingkat pendidikan, dan
kemampuan adaptasi seseorang terhadap lingkungannya. Tekanan stres (stressor)
akan membebani individu dan mengakibatkan gangguan keseimbangan fisik ataupun
22
psikis. Batas kritis tekanan yang menimbulkan stres sangat bervariasi antar individu
(hartono, 2007).
2.3.2 Faktor Penyebab Stres
Secara umum faktor penyebab stres menurut Hartono (2007), digolongkan
menjadi beberapa kelompok berikut :
1. Tekanan fisik: kerja otot/olahraga yang berat, kerja otak yang terlalu lama, dan
sebagainya.
2. Tekanan psikologis: hubungan suami istri/orang tua-anak, persaingan antar
saudara/teman kerja, hubungan sosial lainnya, etika moral, dan sebagainya.
3. Tekanan sosial ekonomi: kesulitan ekonomi, rasialisme, dan sebagainya.
Selama manusia hidup, setiap saat akan menemui kesulitan atau tantangan, yang
oleh masyarakat umum disebut problem kehidupan. Sangat banyak bentuk problem
kehidupan yang dapat menyebabkan stres, antara lain adalah problem keluarga,
problem lingkungan/ situasi, problem pekerjaan/pelajaran, problem keuangan,
problem kesehatan, dan sebagainya.
2.3.3 Jenis Stres
Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respons yang
saling terkait, baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang
mengalaminya (Nasir & Muhith, 2011). Terdapat empat jenis stres, antara lain
sebagai berikut:
1. Frustasi
Kondisi dimana seseorang merasa jalan yang akan ditempuh untuk meraih
tujuan terhambat.
23
2. Konflik
Kondisi ini muncul ketika dua atau lebih perilaku saling berbenturan, di mana
masing-masing perilaku tersebut butuh untuk diekspresikan atau malah saling
memberatkan.
3. Perubahan
Kondisi yang dijumpai ternyata merupakan kondisi yang tidak semestinya serta
membutuhkan adanya suatu penyesuaian.
4. Tekanan
Kondisi dimana terdapat suatu harapan atau tuntutan yang sangat besar
terhadap seseorang untuk melakukan perilaku tertentu.
2.3.4 Respon Stres
Konsep stres pada masa modern dipengaruhi oleh penelitian Hans Selye dan
publikasi teorinya sindrom adaptasi umum (General Adaption Syndrome, GAS) pada
tahun 1930-an. Selye mengidentifikasi tiga tahap respons manusia terhadapt stresor.
Pertama, tahap alarm, seorang individu menyadari stress atau stressor tersebut dan
sistem saraf simpatis menghasilkan reaksi ”melawan atau menghindar”. Pada tahap
kedua, resistensi, tubuh berupaya beradaptasi terhadap respons stres dan pada banyak
kasus terjadi adaptasi. Jika homeostasis tidak pulih maka tahap ketiga adalah
kelelahan, yakni tubuh tidak dapat merespons stres dan setelah beberapa lama dapat
menderita penyakit atau meninggal. Selye menyebutnya sebagai respons nonspesifik
dengan kata lain, respons yang sama tanpa melihat tipe stressor atau individu.
(O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2014).
24
Stres adalah reaksi dari tubuh (respon) terhadap lingkungan yang dapat
memproteksi diri kita yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan yang
membuat kita tetap hidup. Stres yang dialami seseorang akan menghasilkan reaksi
fisiologis, psikologis, dan perubahan perilaku (Nasir & Muhith, 2011). Respon stres
tersebut dapat terlihat dalam berbagai aspek sebagai berikut.
1. Respon fisiologis
Dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, nadi, dan
sistem pernapasan.
2. Respn kognitif
Dapat terlihat melalui terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran
menjadi kacau, menurunya daya konsentrasi , pikiran berulang, dan pikiran
tidak wajar.
3. Respon emosi
Dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu,
seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.
4. Respon tingkah laku
Dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan dan flight
yaitu menghindari situasi yang menekan.
2.3.5 Respon Pasien Hemodialisa
Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dapat mengalami
berbagai masalah yang timbul akibat dari tidak berfungsinya ginjal dan proses
hemodialisa. Masalah yang terjadi tidak hanya masalah penurunan fungsi tubuh,
namun juga terjadi masalah psikososial. Pasien dapat mengalami masalah psikososial
seperti merasa khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan, mereka
25
biasa mengalami masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan,
dorongan seksual yang impotensi, depresi akibat sakit kronis dan ketakutan
menghadapi kematian (Al Nazly et al, 2013; Tezel, Karabulutlu, & Sahin, 2011).
Permasalahan psikososial yang lain adalah gangguan peran, kekhawatiran terhadap
hubungan dengan pasangan, perubahan gaya hidup, kehilangan semangat akibat
adanya pembatasan-pambatasan serta adanya perasaan terisolasi. Bahkan pasien usia
muda khawatir terhadap perkawinan mereka, anak-anak yang dimiliki dan beban yang
ditimbulkan pada keluarga mereka.
Berbagai masalah tersebut dapat menimbulkan stres pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis yang menimbulkan respon penerimaan stres yang
bervariasi. Stres tersebut dapat mengganggu cara pasien dalam menyelesaikan
masalah, berpikir secara umum; dan hubungan seseorang dan rasa memiliki. Selain
itu, stres dapat mengganggu pandangan umum seseorang terhadap hidup, sikap yang
ditujukan pada orang yang disayangi, dan status kesehatan (Georgianni & Babatsikou
2013). Stres yang berkepanjangan juga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Sehingga pasien memerlukan mekanisme penyelesaian masalah atau koping yang
efektif untuk dapat mengurangi atau mengatasi stres.
2.3.6 Dampak Stres
Pada umumnya, individu yang mengalami ketegangan akan mengalami
kesulitan dalam memanajemen kehidupannya, sebab stress akan memunculkan
kecemasan (anxiety) dan sistem syaraf menjadi kurang terkendali. Pusat syaraf otak
akan mengaktifkan saraf simpatis, sehingga mendorong sekresi hormon adrenalin dan
kortisol yang akhirnya akan memobilisir hormon-hormon lainnya. Individu yang
berada dalam kondisi stres, kondisi fisiologisnya akan mendorong pelepasan gula dari
26
hati dan pemecahan lemak tubuh, dan bertambahnya kandungan lemak dalam darah
(Waitz, Stromme, Railo, 1983 dalam Sukadiyanto, 2010). Kondisi tersebut akan
mengakibatkan tekanan darah meningkat dan darah lebih banyak dialihkan dari
sistem pencernaan ke dalam otot-otot, sehingga produksi asam lambung meningkat
dan perut terasa kembung serta mual. Oleh karena itu, stres yang berkepanjangan
akan berdampak pada depresi yang selanjutnya juga berdampak pada fungsi fisiologis
manusia, di antaranya gagal ginjal dan stroke (Sukadiyanto, 2010).
Stres ini juga dapat menimpa baik, pada diri pribadi maupun organisasi yang
dapat menimbulkan dampak pada berbagai segi kehidupan (Nasir & Muhith, 2011).
Dampak yang dialami antara lain sebagai berikut.
1. Dampak fisiologis, misalnya: sakit jantung, darah tinggi, sakit kepala, kanker,
asma, diabetes, dan sebagainya.
2. Dampak psikologis, misalnya: depresi, ketergantungan obat, fobia, dan
sebagainya.
3. Dampak terhadap kehidupan berorganisasi, misalnya: ketidakpuasan kerja,
produktivitas menurun, turn over yang tinggi, dan sebagainya.
2.3.7 Mengelola Stres
Kemampuan untuk mengatur/mengelola diri sendiri merupakan suatu proses
berkesinambungan yang memerlukan adanya kemauan dan awareness untuk
mengubah, baik perilaku ataupun kebiasaan sehingga pada akhirnya kita mampu
menjadi orang yang efektif. Kemampuan mengelola waktu dan stres biasa disebut
dengan self management. Mengelola stres juga dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk mengelola/mengatur hal yang telah menjadi tanggung jawab kita dengan
menyesuaikan pada situasi yang terjadi pada kehidupan sehari-hari (Nasir & Muhith,
27
2011). Ada beberapa strategi dalam mengatasi stres. Kita tidak dapat menghapus stres
namun kita dapat menangani dan mengelola stres. Berikut beberapa cara diantaranya:
1. Pola makan yang sehat dan bergisi.
Pada umumnya pola makan yang sehat adalah minimal makan 3 kali dalam
sehari, dan menunya 4 sehat 5 sempurna. Untuk itu, yang perlu diperhatikan
adalah jenis asupan makanan komposisinya harus seimbang antara karbohidrat,
lemak, dan protein. Oleh karena asupan makanan juga dapat menyebabkan
timbulnya stress pada individu, terutama jenis makanan yang mengandung
lemak. Sebagai contoh kaum wanita yang banyak mengkonsumsi lemak
cenderung akan mengalami kegemukan, dan kegemukan adalah momok bagi
kaum wantia. Selain itu, orang yang mengalami stress akan terjadi pemecahan
lemak tubuh sehingga menambah kandungan lemak dalam darah. Kondisi
seperti itu akan mengganggu sistem peredaran darah dan mengakibatkan
penyumbatan dalam pembuluh darah. Untuk itu, pola makan 4 sehat 5
sempurna perlu terus dilakukan, agar individu dapat terhindar dari stress.
Budaya makan makanan yang bersifat instant harus segera dikikis guna
menjamin asupan gisi yang sehat bagi jiwa dan raga (Sukadiyanto, 2010).
2. Berlibur atau rekreasi
Aktivitas ini bertujuan untuk melepaskan segala kelelahan (kepenatan) baik fisik
maupun psikis dengan cara mengubah suasana yang menjadi rutinitas.
Terutama bagi yang sudah berkeluarga berlibur sangat diperlukan guna
menjalin hubungan yang harmonis antar anggota keluarga agar terjadi
komunikasi yang harmonis pula. Selain itu, dengan perubahan suasana mampu
menggairahkan kinerja individu yang mengalami kepenatan karena rutinitas
pekerjaan atau beban pikiran yang terlalu berat (Sukadiyanto, 2010).
28
3. Relaksasi
Banyak orang menemukan bakwa teknik relaksasi berpengaruh pada terhadap
tingkat stres, seperti menghirup napas dalam-dalam, sekali atau lebih secara
perlahan. Dengan menyediakan sedikit waktu dan mengambil napas dalam-
dalam, secara otomatis menenangkan tubuh dan pikiran sehingga dapat
berkonsentrasi (Nasir & Muhith, 2011).
4. Distraksi
Distraksi merupakan suatu metode atau teknik yang dapat digunakan untuk
mengurangi kecemasan, nyeri, stres dengan cara mengalihkan perhatian
seseorang seperti mendengarkan musik klasik, menonton video animasi dll
(Nastiti, Natalia & Lestiawati, 2016; Asmadi, 2008 dalam, Sarfika, Yanti &
Winda, 2015).
2.3.8 Cara Mengukur Stres
Alat ukur untuk menentukan tingkat stres yaitu dengan menggunakan
Depression Anxiety Stress Scale (DAAS) yang telah teruji reliabilitas dan validitasnya
(Damanik, 2011). DAAS merupakan 3 skala yang dirancang untuk mengukur keadaan
emosional negatif yaitu depresi, cemas, dan stres. Alat ukur ini berisi 42 pertanyaan
dengan 4 pilihan jawaban pada setiap pertanyaan dengan menggunakan skala likert
yaitu 0 (tidak sesuai dengan saya sama sekali, atau tidak pernah), 1 (sesuai dengan saya
sampai tingkat tertentu, atau kadang-kadang), 2 (sesuai dengan saya sampai batas
yang dapat dipertimbangkan, atau lumayan sering), 3 (sangat sesuai dengan saya, atau
sering sekali). Alat ukur DAAS-42 untuk skala stres terletak pada soal nomor 1, 6, 8,
11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39 yang telah diuji reliabilitas menggunakan
Cronbach’s Alpha Formula. Total skor dalam kuesioner ini terbagi menjadi 5 tingkatan
29
yaitu, normal, ringan, sedang, berat, sangat berat (Nursalam, 2008; Daminik, 2011;
Psychology Foundation of Australia, 2014).
2.4 Konsep Terapi Warna
2.4.1 Definisi Terapi Relaksasi Pernapasan Warna
Terapi adalah sebuah label iklusif untuk semua cara dan bentuk perawatan
penyakit atau gangguan (Reber & Reber, 2010, dalam Harini, 2013). Sedangkan warna
didefinisikan secara obyektif atau fisik sebagai sifat cahaya yang dipancarkan, atau
secara subjektif atau psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera penglihatan
(Harini, 2013).
Menurut Goldfried dan Davidson relaksasi adalah salah satu teknik dalam
terapi perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan Wolpe untuk mengurangi
ketegangan dan kecemasan. Ditambahkan Walker teknik ini dapat digunakan oleh
pasien tanpa bantuan terapis dan mereka dapat menggunakannya untuk mengurangi
ketegangan dan kecemasan yang dialami sehari-hari dirumah (dalam Harini, 2013).
Pengendalian pernafasan merupakan suatu teknik untuk mengendalikan nafas
yang sifatnya cepat dan memfokuskan diri pada pernafasan. Orang yang sedang
mengalami kecemasan cenderung bernafas dengan cepat dan dangkal karena adanya
perasaan panik atau khawatir. Padahal hal ini dapat meningkatkan rasa cemas.
Menurut Wayne (2003 dalam, Harini, 2013) pernafasan yang lebih lambat dan dalam
hampir selalu memiliki efek menenangkan sehingga dapat menurunkan rasa cemas,
sehingga mampu menghilangkan stressor. Dengan berkurangnya stressor dapat
menurunkan tingkat stres.
Terapi relaksasi pernapasan warna adalah terapi warna yang menggunakan
metode relaksasi pernapasan dalam dengan memfokuskan diri untuk membayangkan
30
udara disekitar sewaktu menghirup dan menghembuskan nafas dengan warna –
warna tertentu (Kumar, 2009, dalam Harini, 2013).
2.4.2 Tinjauan Singkat Tentang Warna
Warna adalah energi hidup dan properti cahaya. warna didefinisikan secara
obyektif atau fisik sebagai sifat cahaya yang dipancarkan, atau secara subjektif atau
psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera penglihatan (Atma, 2011, dalam
Harini, 2013). Cahaya adalah energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh matahari
dalam panjang gelombang yang berbeda sebagai cahaya yang diserap dan dipantulkan
dan segala sesuatu di alam ini penuh dengan warna. Getaran membentuk segala
sesuatu dalam hidup. Alam semesta ini hanya energi dalam getaran. Tubuh kita
memiliki medan energi (disebut chakras). Semua organ tubuh kita terdiri dari atom
bergetar. Semua dari kita memiliki sistem energi yang unik kita sendiri dan organ
tubuh kita memiliki pola getaran yang berbeda. Kita semua memancarkan warna
(Gaurav, et al, 2010).
Cahaya memiliki partikel yang berbeda yang disebut foton dan oven
microwave. Cahaya menembus segala sesuatu, bahkan tubuh kita. Cahaya juga
memancarkan panjang gelombang yang kita tidak bisa melihat (ultraviolet). Panjang
gelombang ini mengandung radiasi, yang merupakan energi. Energi Qi dan
kehidupan. Sehingga bisa dikatakan bahwa panjang gelombang didefinisikan sebagai
warna. Di lingkungan kita ada kuantitas besar gelombang dengan karakteristik
frekuensi yang berbeda (Gaurav, et al, 2010).
Menurut Jane (2012 dalam, Harini, 2013) terapi warna adalah teknik mengobati
penyakit melalui penerapan warna, agar tubuh tetap sehat dan memperbaiki
ketidakseimbangan di dalam tubuh sebelum hal itu menimbulkan masalah fisik
31
maupun mental. Terapi warna, juga dikenal sebagai chromatherapy, adalah (CAM)
teknik Complementary and Alternative Medicine. Seorang terapis warna yang terlatih
mampu menggunakan warna dan cahaya untuk menyeimbangkan energi di mana pun
tubuh kita kurang - baik fisik, emosional, mental atau spiritual (Gaurav, et al, 2010).
2.4.3 Manfaat Warna Hijau Terhadap Penurunan Tingkat Stres
Hijau adalah warna yang berpikir untuk mendorong stabilitas emosional,
kemurnian dan ketenangan. Ini terkait dengan cakra jantung, sehingga diyakini untuk
membantu dengan masalah emosional, seperti cinta, pengampunan, kepercayaan dan
kasih sayang. Ketidakseimbangan cakra dalam jantung dikaitkan dengan rasa takut
hubungan, ketidakpercayaan, kecemburuan, isolasi dan ketidakamanan (Gaurav, et al,
2010). Warna hijau menimbulkan efek fisik menenangkan sistem saraf, digunakan
untuk berbagai macam masalah kesehatan berkenaan dengan organ jantung dan
tekanan darah yang tidak normal. Efek psikologis warna hijau merupakan warna
keseimbangan, sangat bermanfaat untuk kondisi-kondisi emosional anak pada saat
stress, emosi, dan mengalami rasa takut di rumah sakit (Lasmono, 2009, dalam
Harini, 2013).
32
Tabel 2.2 : Manfaat Warna
No Warna Warna Yang Keterkaitan
Dengan
Manfaat Warna Yang Terlalu Banyak Menyebabkan
1 Hijau Hijau adalah warna utama. Hal ini menyegarkan dan sejuk. Ini menghubungkan kita dengan cinta tanpa syarat
Perdamaian Pembaharuan Cinta Harapan Keseimbangan harmoni Control pertumbuhan diri
Pengurangan stres Ketenangan Keseimbangan, dan normal relaksasi
Kemalasan
2 Biru Biru adalah dingin dan asam. Ini menghubungkan kita dengan pikiran holistik
Komunikasi Kreativitas Ekspresi pribadi Vitalitas Ketegasan Pengetahuan Kesehatan Ansietas
Relaksasi mental Ketenangan Perdamaian Bantuan dengan insomnia percaya diri dalam berbicara Komunikasi yang jelas Bantuan dengan hiperaktif pada anak-anak
Perasaan ketidakamanan, merasa pesimis, muncul perasaan depresi.
3 Orange Orange adalah hangat dan menyenangkan. Menghubungkan e emosional diri kita
Sosialisasi Kepercayaan social Keberhasilan Kebahagiaan Akal
Optimisme Bersorak Anti-depresan Inspiratif Minat dan kegiatan diperluas Hubungan menyenangkan Hambatan bantuan hapus
Lekas marah Ledikit frustrasi Nafsu makan meningkat
(Gaurav, et al, 2010).
33
2.4.4 Metode Pengobatan Dengan Menggunakan Warna
Berikut metode penerapan terapi warna menurut Gaurav, et al (2010),
1. Menyeimbangkan chakra. Ambil kain warna hijau. Tempatkan kain didepan
tubuh. Bersantai, dan bernapas dalam-dalam selama 5 menit. Tubuh akan
menyerap warna-warna ini dan menjenuhkan chakras, dengan cara itu getaran
dalam tubuh akan seimbang.
2. Dengan bernapas dalam membayangkan bahwa menghirup udara ke dalam
setiap bagian, setiap organ tubuh.
3. Udara ini diubah kemudian ke frekuensi energi yang berbeda. Tarik napas
perlahan-lahan melalui lubang hidung dan menghembuskan napas melalui
mulut. Menghirup dan menghembuskan napas sampai hitungan 5. Latihan ini
dapat dilakukan selama 10 menit di pagi hari.
2.5 Konsep Hubungan Green Color Breathing Therapy Terhadap
Penurunan Tingkat Stres
Respon umum / general adaptation syndrome dikendalikan oleh hipotalamus,
hipotalamus menerima masukan mengenai stresor fisik dan psikologis dari hampir
semua daerah di otak dan dari banyak reseptor di seluruh tubuh. Stres oleh tubuh
direspon dengan mengaktifkan sistem kardiorespirasi, sistem locus ceruleus
(LC/norepinephrin (NE), sistem metabolisme dan HPA axis (Mastorakas &
Pavlatou, 2005, dalam Sugihato, 2012). Aktifnya hipotalamus–puitutary–adrenal axis
(HPA), menimbulkan conditioning stimuli pada alur limbic–hipotalamus–puitutary-
adrenal Axis (LHPA axis), kemudian merangsang hipotalamus dan menyebabkan
disekresinya hormon corticotrophin relesing hormone (CRH), merangsang
34
hipotalamus untuk sekresi ACTH. Peningkatan sekresi ACTH, menyebabkan
meningkatnya sekresi, kortisol (Usui et al., 2012). Hormon tersebut dikeluarkan untuk
menjaga homeostatis dalam menghadapi stres, baik fisik maupun psikologis
(Fatouros et al., 2010 dalam Sugihato, 2012). Menurut Rimmele et al (2007 dalam
Sugihato, 2012) baik stresor fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatkan
sistem kardiorespirasi dan neurohormonal, sebagai refleksi dari respon system syaraf
otonomi (autonomic nervous system/ANS) salah satunya sistem syaraf simpatik
(sympathetic nervous system/SNS).
Retinohypothalamic tract merupakan salah satu jalur dimana hipotalamus
menghubungkan sistem saraf dengan Autonomic Nervous System (ANS) dan sistem
endokrin yang mana merupakan jalur utama dari mekanisme transmisi warna menuju
sistem limbik dan sistem endokrin (Holzberg dan Albrecht, 2003 dalam Shinta,
Nurhesti, & Y, 2013). Warna yang berefek pada sistem saraf secara keseluruhan,
terutama bermanfaat bagi sistem saraf pusat adalah warna hijau. Warna ini memiliki
efek penenang, mengurangi iritasi dan kelelahan, serta dapat menenangkan gangguan
emosi dan sakit kepala serta warna ini menimbulkan rasa nyaman, rileks, mengurangi
stres, menyeimbangkan, dan menenangkan emosi ( Kusuma, 2010; Vernolia, 1998,
dalam Shinta, Nurhesti, & Y, 2013).
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Shealy dkk (1996 dalam Shinta,
Nurhesti, & Y, 2013) terhadap perubahan dalam berbagai zat kimia saraf dan
neurohormonnya sebagai respon terhadap cahaya berwarna, ditemukan bahwa warna
hijau menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata kadar serotonin hingga 104%,
oksitosin hingga 45,5%, beta endorfin hingga 33%, dan growth hormone hingga
150%. Warna hijau juga menyebabkan terjadinya penurunan kadar norepinefrin
35
hingga 29%. Perubahan kadar zat kimia saraf dan neurohormon tersebut memiliki
pengaruh dalam menurunkan stres.
Serotonin disekresikan oleh nukleus yang berasal dari medial batang otak dan
berproyeksi di sebagian besar daerah otak, khususnya yang menuju radiks dorsalis
medula spinalis dan hipotalamus (Radeljak, et al., 2008). Setelah dilepaskan, serotonin
mampu mengaktifkan reseptor serotonin pre-sinaps maupun post-sinaps. Serotonin
adalah neurotransmitter, yang dikeluarkan selama siang hari di otak manusia.
Serotonin dikenal sebagai salah satu regulator yang paling penting dari berbagai jalur
saraf di otak yang diperlukan untuk fungsi otak normal. Sintesis dan tingkat serotonin
dalam otak tertinggi selama siang hari. Setiap gangguan dalam produksi serotonin
dapat mengakibatkan berbagai gangguan kejiwaan. Serotonin dalam kondisi normal
mempunyai peran penting untuk mengontrol tidur-bangun, perilaku makan,
pengendalian transmisi sensoris, mood, dan sejumlah perilaku. Rendahnya tingkat
serotonin dalam hasil otak pada gangguan mood seperti episode depresi mayor,
gangguan bipolar, cyclothimic dan gangguan dysthimic dan PTSD. Tingginya kadar
serotonin bertanggung jawab untuk negara halusinogen dinyatakan khas untuk
skizofrenia dan disorders psikotik lainnya (Radeljak, et al., 2008). Pemberian terapi
warna hijau akan merangsang pelepasan serotonin, sehingga peningkatan kadar
serotonin dapat meningkatkan mood seseorang sehingga dapat menciptakan rasa
bahagia dan menurunkan stres (Psychother, 2005 dalam, Shinta, Nurhesti, & Y,
2013).
Di hipotalamus, oksitosin dibuat di magnocellular neurosecretory cells di
supraoptik and nukleus paraventrikular. Oksitosin dapat menginduksi anti stres serta
memberikan efek dalam penurunan tekanan darah dan kadar kortisol (Psychother,
2005, dalam Shinta, Nurhesti, & Y, 2013). Tingkat oksitosin endogen berhubungan
36
dengan kecemasan dan stres secara dua arah, yaitu oksitosin memberikan efek
ansiolitik, tetapi oksitosin juga dirilis dalam respon terhadap stres. Pemberian terapi
warna hijau dapat meningkatan kadar oksitosin dalam darah, sehingga efek ansiolitik
yang dikeluarkan dapat menurunkan stres. Terapi warna hijau juga meningkatkan
beta endorfin yang merupakan hormon antistres yang tentunya juga dapat
menurunkan stres (John Hughes, 1975, dalam Shinta, Nurhesti, & Y, 2013).
Norepinefrin merupakan hormon stres yang mempengaruhi hipotalamus. Sama
dengan epinefrin, norepinefrin juga mendasari respon fight-or-flight yang bekerja
meningkatkan denyut jantung, memicu pelepasan glukosa dari penyimpanan energi,
dan meningkatkan aliran darah ke otot rangka (Heneka et al, 2010, dalam Shinta,
Nurhesti, & Y, 2013, 2013). Pemberian terapi warna hijau dapat menurunkan kadar
norepinefrin dalam darah, sehingga stres dapat berkurang.
Terapi warna ini juga telah diteliti oleh Shinta et al (2013), yaitu Pengaruh terapi
warna hijau terhadap stres pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya
Denpasar. Peniltian ini mengambil sampel 30 orang dari 52 orang lansia dengan
teknik sampling Non Probability Sampling, yaitu Purposive Sampling. Pasien dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Lansia
yang menjadi eksperimental diberikan terapi warna hijau, dengan cara memasukan
responden ke dalam ruangan yang telah dicat dengan warna hijau dan diberikan
paparan slide berwarna hijau selama 10 menit. Kegiatan ini dilakukan selama satu kali
sehari selama satu minggu. Hasil yang didapatkan berdasarkan statistik terdapat
perbedaan yang signifikan antara perubahan skor stres kelompok kontrol setelah-
sebelum terapi warna hijau dan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi terapi
warna hijau terhadap stres lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya
Denpasar.