BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KONFLIK PERAN GANDA...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KONFLIK PERAN GANDA...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KONFLIK PERAN GANDA
2.1.1. Defenisi Konflik Peran Ganda
Sejarah dari kata konflik berasal dari akar kata bahasa Latin yaitu, Com yang
berarti sama atau figen yang berarti penyerangan. Kata konflik didalam kamus
mengacu kepada kata-kata seperti: perkelahian, perselisihan, perjuangan,
pertentangan dan benturan (Kartono & Gulo, 2000). Irwanto (1991) mengemukakan
bahwa yang maksud dari konflik adalah beberapa kebutuhan yang muncul secara
bersamaan.
Sedangkan pengertian peran menurut Linton (dalam Biddle & Thomas, 1966)
yaitu perilaku – perilaku yang diasosiasikan dengan suatu posisi tertentu dan individu
pada posisi tersebut diharapkan berperilaku sesuai. Sedangkan menurut Baron &
Byrne (2009) peran adalah suatu set perilaku yang diharapkan dilakukan oleh
individu yang memiliki posisi spesifik dalam suatu kelompok.
Selanjutnya pengertian peran ganda menurut Kartini (1994) adalah peranan
perempuan dalam dua bentuk, yaitu perempuan yang berperan di bidang domestik
dan perempuan karier, yang dimaksud dengan tugas domestik adalah perempuan
yang hanya bekerja di rumah saja sebagai istri yang setia. Sedangkan yang
dimaksud dengan perempuan karier adalah apabila ia bekerja di luar, maupun
bekerja secara profesional karena ilmu yang didapat atau karena keterampilannya.
Selain itu Santrock (2002) menjelaskan bahwa peran ganda menggambarkan
pernikahan antara suami dan istri dan keduanya memiliki pekerjaan tempat mereka
dapat berkarier.
Adapun peran dalam bidang domestik yang dijalankan oleh perawat wanita
adalah sebagai ibu rumah tangga. Menurut Frieze (dalam Rachminiwati, 1988)
tugas seorang ibu rumah tangga adalah memperhatikan kondisi fisik, emosi, dan
menampung segala keluh kesah suami, sebagai ibu yang bukan hanya mengandung
dan melahirkan anak, namun juga memberikan perhatian fisik dan emosional pada
anak. Selanjutnya, peran sebagai perempuan karier adalah seorang perawat.
Menurut Nursalam (2009) tugas umum seorang perawat adalah (1) Memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan dengan
sentuhan kasih sayang. (2) Melaksanakan program medis dengan penuh tanggung
jawab. (3) Memerhatikan keseimbangan kebutuhan fisik, mental, moral, dan spiritual
�dari klien. (4) Mempersiapkan klien secara fisik dan mental untuk menghadapi
tindakan �medis keperawatan dan pengobatan sesuai diagnosis. (5) Melatih klien
untuk menolong dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. (6) Memberikan
pertolongan segera pada klien gawat atau sakaratul maut. (7) Membantu kepala
ruangan dalam pemeriksaan ruangan secara �administrative. (8) Mengatur dan
menyiapkan alat – alat yang ada di ruangan menurut �fungsinya supaya siap pakai.
(9) Menciptakan dan memelihara kebersihan, keamanan, kenyamanan dan
�keindahan ruangan. (10) Melaksanakan tugas dinas pagi, sore, malam, atau hari
libur secara bergantian sesuai dengan jadwal tugas.�(11) Memberi penyuluhan
kesehatan sehubungan dengan penyakitnya (PKMRS). (12) Melaporkan segala
sesuatu mengenai keadaan klien baik secara lisan maupun tertulis.�(13) Membuat
laporan harian klien. Apabila kedua peran tersebut tidak dapat dipenuhi dalam waktu
yang bersamaan saat itulah akan timbul konflik, baik yang berasal dari keluarga
maupun yang berasal dari pekerjaan.
Definisi konflik peran ganda menurut Kahn dkk (dalam Greenhaus & Beutell,
1985) konflik peran ganda adalah bentuk dari konflik antar peran yang mana tekanan
peran dari pekerjaan dan keluarga bertentangan. Selain itu Khan (dalam Behr, 1995)
menyatakan bahwa konflik peran ganda merupakan adanya ketidakcocokan antara
harapan - harapan yang berkaitan dengan suatu peran dimana dalam kondisi yang
cukup ekstrim, kehadiran dua atau lebih harapan atau tekanan akan sangat bertolak
belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan. Penelitian yang dilakukan
oleh Duxburry dan Higgins (2003) sejalan dengan pernyataan sebelumnya, namun ia
menambahkan dampak yang ditimbulkan dari konflik peran ganda yaitu partisipasi
seseorang pada satu peran menyulitkan partisipasi pada peran yang lainnya.
Paden dan Buchler (dalam Simon, 2002) mendefinisikan konflik peran ganda
merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda
yang dimiliki seseorang. Dalam pekerjaan, seorang wanita yang profesional
diharapkan agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya dalam
pekerjaan. Sedangkan di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak,
menyayangi, dan menjaga suami dan anaknya.
Menurut Netemeyer dkk (dalam Hennesy, 2005) mendefinisikan konflik peran
ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggungjawab yang berhubungan
dengan pekerjaan mengganggu permintaan, waktu, dan ketegangan dalam keluarga.
Hennesy (2005) juga memberikan defenisi dari konflik peran ganda yaitu, konflik
yang terjadi ketika konflik sebagai hasil dari kewajiban pekerjaan yang mengganggu
kehidupan rumah tangga.
Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai
sebuah bentuk dari konflik antar peran dimana tekanan dari peran dalam pekerjaan
dan keluarga saling bertentangan, yaitu menjalankan peran dalam pekerjaan
menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam keluarga, begitu juga
sebaliknya, menjalankan peran dalam keluarga menjadi lebih sulit karena juga
menjalankan peran dalam pekerjaan.
Sedangkan Frone, Russell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan
keluarga sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia
harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga
secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga
dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya
sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan
sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya, keluarga
mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan
untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik
pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan
dengan tanggungjawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu,
menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga tuntutan kehidupan
rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu untuk pekerjaannya
atau kegiatan yang berkenaan dengan kariernya.
Gutek dan Larwood, (1987) mengatakan bahwa banyak wanita telah
mencoba untuk mengkombinasikan antara karir profesional dan kehidupan keluarga.
Di dalam prosesnya, mereka harus dapat mengatasi konflik dalam perjuangannya
untuk menyeimbangkan antara keluarga, perkawinan, anak - anak, dan kerja. Situasi
tersebut membangkitkan adanya pertentangan emosional yang menjadi sifat
terjadinya konflik antara keluarga dan kerja.
Konflik peran ganda yang dialami wanita mempunyai kesulitan – kesulitan
dalam pemenuhan tuntutan peran dari salah satu perannya yaitu sebagai ibu rumah
tangga, individu, istri, wanita bekerja, dan warga masyarakat. Kegagalan pemenuhan
tuntutan dari salah satu peran baik sebagai ibu rumah tangga, individu, istri, maupun
sebagai wanita bekerja dan warga masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik.
Maka dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda adalah konflik yang
terjadi pada seseorang yang menjalankan kedua perannya secara bersamaan, yaitu
peran dalam bekerja dan peran dalam keluarga, sehingga tidak dapat terpenuhinya
salah satu peran akibat pemenuhan peran yang lainnya.
2.1.2. Dimensi Konflik Peran Ganda
Menurut Greenhaus & Beutell (1985) konflik peran ganda memiliki sifat yang
bidirectional dan multidimensi. Adapun bidirectional yang dimaksud terdiri dari:
a. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab
pekerjaan yang mengganggu tanggungjawab terhadap keluarga.
b. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab
terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan.
Menurut Greenhaus & Beutell (1985) multidimensi dari konflik peran ganda
dapat muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work
family conflict maupun family work conflict memiliki masing-masing 3 dimensi yaitu:
a. Time Based Conflict
Yang dimaksud dengan time based conflict adalah konflik yang terjadi
karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat
digunakan untuk memenuhi peran lainnya, artinya pada saat yang
bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa
melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Tuntutan waktu ini dapat terjadi
tergantung dari alokasi waktu kerja dan kegiatan keluarga yang dipilih
berdasarkan preferensi dan nilai yang dimiliki individu.
Peran ganda mungkin dapat menyulitkan dan seolah berlomba
mendapatkan waktu seseorang. Waktu yang dihabiskan dalam satu peran
secara umum tak bisa di curahkan kepada aktivitas dalam peran lainnya.
Time based conflict memiliki 2 bentuk; (a) tuntutan waktu dari peran yang
satu membuat individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspektasi dari
peran yang lain; (b) adanya tuntutan waktu, dapat menyebabkan individu
terokupasi dengan peran yang satu, pada saat seharusnya individu mencoba
memenuhi tuntutan peran yang lain (Bartolome & Evans, dalam Greenhaus &
Beutell, 1985).
Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:
- Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.
Konflik pekerjaan – keluarga berhubungan positif dengan jumlah jam
kerja dalam setiap minggunya (Burke dkk, Keith & Schaf, Plect dkk,
dalam Greenhaus & Beutell, 1985) dan jumlah jam perjalanan pulang –
pergi rumah ke tempat kerja dalam setiap minggunya (Bohen & Viveros-
Long, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Konflik pekerjaan – keluarga
juga memiliki hubungan yang positif dengan jumlah dan frekuensi lembur
serta adanya ketidak teraturan dalam pengaturan jam kerja (Pleck dkk,
dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Jadwal kerja yang tidak fleksibel juga
akan menimbulkan konflik pekerjaan – keluarga (Pleck dkk, dalam
Greenhaus & Beutell, 1985). Khususnya pada ibu bekerja yang memiliki
tanggung jawab mengurus anak.
- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.
Karakteristik peran keluarga yang mengharuskan seseorang
menghabiskan sebagian besar dari waktunya dalam aktivitas keluarga
dapat menghasilkan konflik pekerjaan – keluarga. Sependapat dengan
itu, Herman & Gyllstrom (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) menemukan
bahwa orang – orang yang menikah lebih banyak mengalami konflik
pekerjaan – keluarga dibandingkan dengan mereka yang tidak menikah.
Selanjutnya, dapat diperkirakan bahwa mereka yang memiliki anak akan
mengalami konflik pekerjaan – keluarga yag lebih besar ketimbang
mereka yang belum memiliki anak. Tanggung jawab yang besar dalam
perkembangan anak mungkin akan menjadi konstributor yang besar bagi
konflik pekerjaan – keluarga (Bohen & Viveros-Long, dalam Greenhaus &
Beutell, 1985).
Sejumlah studi menunjukan bahwa orang tua dari anak yang masih kecil
(usia prasekolah) merasakan konflik yang lebih besar daripada orang tua
yang memiliki anak relatif sudah lebih besar (Greenhaus & Beutell,
Greenhaus & Kopelman, Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).
Keluarga yang besar yang diasumsikan memiliki lebih banyak tuntutan
daripada keluarga kecil, memiliki hubungan yang positif dengan tingginya
tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Cartwright, Keith & Schefer, dalam
Greenhaus & Beutell, 1985).
Kesimpulannya, jadwal kerja, orientasi kerja, pernikahan, anak – anak, dan
pola pekerjaan pasangan seluruhnya mungkin menghasilkan tekanan untuk
berpartisipasi secara luas dalam peran pekerjaan atau peran keluarga.
Konflik dialami ketika tekanan – tekanan waktu ini tidak kompetibel dengan
tuntutan domain peran lain.
b. Strain Based Conflict
Yang dimaksud dengan strain based conflict yaitu ketegangan yang
dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi
tuntutan peran yang lain. Ketegangan yang ditimbulkan akan mempengaruhi
kualitas hidup secara keseluruhan. Ketegangan peran ini termasuk stres,
tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah, dan sakit kepala.
Strain based conflict muncul saat ketegangan yang diakibatkan dari
menjalankan peran yang satu, mempengaruhi performa individu di perannya
yang lain. Peran – peran tersebut menjadi bertentangan karena ketegangan
akibat peran yang satu membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan
perannya yang lain.
Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:
- Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.
Peran dalam pekerjaan yang tidak jelas (ambigu) dan atau konflik dalam
peran di pekerjaan memiliki hubungan yang positif dengan konlik
pekerjaan – keluarga (Jones & Butler, Kopelman dkk, dalam Greenhaus &
Beutell, 1985). Kurangnya dukungan dari atasan juga menyebabkan
tingginya konflik peran pekerjaan (Jones & Butler, dalam Greenhaus &
Beutell, 1985). Stresor yang berasal dari pekerjaan seperti budaya kerja
yang berubah – ubah, stres dalam komunikasi dan konsentrasi yang
dibutuhkan dalam menajalankan pekerjaan, menurut Bruke dkk (dalam
Greenhaus & Beutell, 1985) memiliki hubungan yang positif dengan
konflik pekerjaan – keluarga. Selain itu, penggunaan sebagian besar
waktu untuk melakukan salah satu peran juga dapat mengakibatkan
ketegangan. Seperti, jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel, serta
adanya kerja lembur dapat menyebabkan time based conflict begitu juga
strain based conflict. Walaupun keduanya merupakan konsep yang
berbeda, namun ada beberapa sumber konflik yang dapat digolongkan
kepada kedua dimensi konflik tersebut.
- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.
Bagi mereka yang mempunyai pasangan yang mendukung dapat
mengurangi tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Holahan & Gilbert,
dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Menurut Beutell & Greenhaus (dalam
Greenhaus & Beutell, 1985) perempuan yang memiliki orientasi karier
yang berbeda dengan suaminya, merasakan tingkatan konflik antar peran
yang lebih tinggi. Besar kemungkinan perbedaan pasangan dalam
keyakinan – keyakinan fundamental dapat melemahkan sistem dukungan
mutual dan dapat menghasilkan stres.
Kesimpulannya, ketegangan, konflik, atau kurangnya dukungan dari keluarga
dapat menyebabkan konflik pekerjaan – keluarga. Sedangkan pada domain
pekerjaan, karakteristik peran keluarga yang menghasilkan komitmen waktu
ekstensi juga dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan
ketegangan.
c. Behaviour Based Conflict
Yang dimaksud dengan behaviour based conflict adalah konflik yang
muncul ketika suatu tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif
digunakan untuk peran yang lain. Ketidak efektifan tingkah laku ini dapat
disebabkan oleh kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah
lakunya kepada orang lain.
Atau perilaku – perilaku yang diharapkan muncul pada saat
menjalankan peran yang satu kadang bertentangan dengan ekspektasi dari
peran yang lain. Misalnya seorang ibu yang diharapkan menekankan perilaku
yang tegas, stabil secara emosional dan objektif (Schein, dalam Greenhaus &
Beutell, 1985), diharapkan oleh anggota keluarganya untuk berperilaku
hangat, penuh kasih sayang, emosional dan peka saat berinteraksi dengan
mereka.
Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:
- Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.
Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan adalah work ambiguity dan
work involvement. Yang dimaksud dengan work involvement adalah
sebuah konsep yang menjelaskan tentang respon psikologis individu
tentang perannya dalam pekerjaan serta tingkatan dimana individu secara
psikologis mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, dan
pentingnya pekerjaan tersebut terhadap gambaran dan konsep dirinya
(Lodahl & Kehner, 1965, Yogev & Brett, 1985, dalam Duxburry & Higgins,
1991)
- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.
Sumber konflik dari keluarga misalnya adalah peran yang
membingungkan di dalam keluarga (ambigu), konflik intra keluarga,
dukungan sosial dan family role involvement (Carlson, Kecmar, &
Williams, 2000, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Family role
involvement adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang tingkatan
dimana individu secara psikologis mengidentfikasikan dirinya dengan
peran – peran dalam keluarga, pentingnya keluarga terhadap konsep diri
dan gambaran dirinya serta komitmen individu terhadap peran – peran
dalam keluarga (Yogev & Brett, 1985 dalam Duxburry & Higgins, 1991).
Dimensi – dimensi yang diungkapkan oleh Greenhaus & Beutell (1985)
merupakan elemen – elemen yang dapat menimbulkan konflik pekerjaan – keluarga.
Setiap dimensi memiliki sumber konflik yang sesuai dengan defenisi dimensi.
2.1.3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Konflik Pe ran Ganda
Menurut Stonner dkk (1990), faktor – faktor yang mempengaruhi konflik
peran ganda adalah:
a. Time Pressure, jika waktu yang digunakan untuk bekerja lebih banyak, maka
waktu yang digunakan untuk keluarga akan semakin sedikit.
b. Family size dan support, jika anggota keluarga semakin banyak jumlahnya maka
akan semakin banyak konflik yang akan timbul. Apabila dengan banyaknya
jumlah anggota keluarga yang memberikan dukungan maka akan sedikit terjadi
konflik.
c. Job Satisfaction, konflik akan dirasakan lebih sedikit apabila kepuasan kerja
seorang karyawan tersebut tinggi.
d. Marital and life satisfaction, apabila seorang wanita bekerja, maka semakin
banyak konsekuensi negatif dalam pernikahannya.
e. Size of firm, konflik peran ganda mungkin juga dipengaruhi oleh banyak
karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut.
2.1.4. Dampak dari Konflik Peran Ganda
Konflik peran ganda yang dialami oleh para wanita yang bekerja berdampak
tidak hanya terhadap dirinya sendiri, namun juga terhadap keluarga dan perusahaan
atau instansi tempat ia bekerja. Dalam perusahaan atau instansi tempat ia bekerja
akan dapat menurunkan kepuasan kerja, meningkatnya tingkat stres kerja,
meningkatnya beban kerja dan jumlah jam kerja, dan juga akan dapat meningkatkan
tingkat absensi pada para karyawan yang terkait (Duxburry & Higgins, 2003).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Schwartzberg & Dytell (dalam
Hennesy, 2005) mengatakan bahwa ada pengaruh pekerjaan dan stres keluarga
terhadap kesejahteraan psikologis. Selanjutnya penelitian mengarah kepada
perbedaan gender dan penelitian terbaru menemukan bahwa wanita menunjukan
level distres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan konflik peran ganda
(Clearly dalam Hannessy, 2005).
2.2. STRES KERJA
2.2.1. Defenisi Stres Kerja
Stres adalah suatu kondisi yang selalu dihindari oleh individu. Namun
seringkali pekerjaan seseorang justru menimbulkan stres bagi dirinya. Stres pun
pasti dialami oleh setiap orang apalagi jika dihubungkan dengan pekerjaan yang
dijalaninya sehari-hari. Menurut Lazarus dan Launier (1978) stres adalah situasi
yang terjadi akibat tuntutan lingkungan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh
individu yang bersangkutan dan dampaknya dapat mempengaruhi lingkungan
sekitarnya. Terkadang stres yang dialami seseorang itu adalah kecil dan hampir
tidak berarti, namun bagi yang lainnya dianggap sangat mengganggu dan berlanjut
dalam waktu yang relatif lama (Efendi, 2001).
Pekerjaan merupakan peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
maka pekerjaan dapat menimbulkan stres (Darwis, dkk, 1990). Lingkungan kerja
sama dengan lingkungan lainnya yang menuntut seseorang untuk dapat
menyesuaikan diri agar dapat menempatinya. Oleh karena itu, individu akan memiliki
kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres dalam lingkungan kerja (Rice,
1992).
Stres sering diartikan sebagai perasaan khawatir dan takut (Dawis, dkk, 1990).
Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidak seimbangan antara
persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya
mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Rice,1992).
Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut
stres kerja (Austin, 2004). Stres kerja menurut Behr & Newman (dalam Rice, 1999)
kondisi dimana pekerjaan naik turun sehingga para pekerja melakukan aktifitas yang
sama. Interaksi dan kondisi kerja tersebut akan mempengaruhi perubahan fungsi
fisik dan psikologis dari seorang pekerja. Cooper (dalam Rice, 1999) mengemukakan
bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi
tekanan, dimana tingkat stres setiap individu berbeda-beda dan bereaksi sesuai
perubahan lingkungan atau keadaan.
Menurut Handoko (2000) Stres kerja merupakan suatu kondisi ketegangan
yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang. Stres yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungan. Selye (dalam Behr, 1995) menyatakan bahwa stres kerja dapat diartikan
sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi
fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Menurut Rice (1992), seseorang dapat mengalami stres kerja jika :
a. Urusan stres yang dialami seseorang melibatkan juga pihak organisasi atau
perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam
perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke dalam pekerjaan
dan masalah pekerjaan yang terbawa ke dalam urusan rumah tangga dapat juga
menjadi penyebab stres kerja.
b. Mengakibatkan dampak negatif bagi individu dan juga perusahaan. Oleh karena
itu diperlukan kerjasama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan
persoalan stres tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi stres kerja adalah interaksi antara
kondisi kerja dengan sifat-sifat karyawan yang bekerja yang merubah fungsi normal
secara fisik, psikologis maupun perilaku yang berasal dari tuntutan pekerjaan yang
melebihi kemampuan karyawan atau kondisi lingkungan yang menimbulkan stres
yang dapat menyebabkan pengaruh negatif bagi karyawan maupun organisasi
tempat dia bekerja yang membutuhkan solusi, baik itu dari personal maupun
perusahaan.
2.2.2 Gejala-gejala stres kerja
Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) telah memeriksa sejumlah penelitian
tentang stres kerja dan dirangkumkan ke dalam 3 tipe dari hal negatif individu
terhadap stres kerja yaitu gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku.
a. Gejala fisik dari stres kerja
Yang termasuk dalam gejala-gejala fisik yaitu :
1) Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah
2) Meningkatnya sekresi adrenalin dan non-adrenalin
3) Timbulnya gangguan perut
4) Kelelahan fisik
5) Kematian
6) Timbulnya penyakit kardiovaskuler
7) Ketegangan otot
8) Keringat berlebihan
9) Gangguan kulit
10) Sakit kepala
11) Kanker
12) Gangguan tidur
Salah satu masalah yang membuat hubungan antara pekerjaan, stres,
kesehatan adalah beberapa wanita yang bekerja membawa masalah kesehatan
fisiknya ke dalam pekerjaan. Hal ini bisa berhubungan dengan perilaku yang berisiko
tinggi pada lingkungan sosial. Kondisi tempat kerja bisa memperberat masalah
kesehatan, walaupun hal ini membuat lebih nyata tetapi pekerjaanlah yang
berindikasi besar pada masalah kesehatan.
b. Gejala psikologis dari stres kerja
Yang termasuk dalam gejala-gejala psikologis yaitu :
1) Ketegangan, kecemasan, kebingungan, dan mudah tersinggung
2) Perasaan frustasi, marah, dan kesal
3) Emosi yang menjadi sensitif dan hiperaktif
4) Perasaan tertekan
5) Kemampuan berkomunikasi efektif menjadi kurang
6) Menarik diri dan depresi
7) Perasaan terisolir dan terasing
8) Kebosanan dan ketidakpuasan dalam bekerja
9) Kelelahan mental dan menurunnya fungsi intelektual
10) Menurunnya harga diri
Kemungkinan besar prediksi efek stres kerja adalah ketidakpuasan
pekerjaan. Ketika hal ini muncul, seseorang merasa kurang termotivasi untuk
bekerja, tidak bekerja dengan baik, atau tidak melanjutkan pekerjaan. Gejala- gejala
ini muncul pada tahapan yang berbeda di dalam perjalanan dari pekerjaan tersebut,
dan bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya.
c. Gejala perilaku dari stres kerja
Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku yaitu :
1) Bermalas-malasan dan menghindari pekerjaan
2) Kinerja dan produktivitas menurun
3) Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang
4) Melakukan sabotase pada pekerjaan
5) Makan berlebihan sebagai pelarian yang bisa mengakibatkan obesitas
6) Mengurangi makan sebagai perilaku menarik diri dan berkombinasi dengan
depresi.
7) Kehilangan selera makan dan menurunnya berat badan secara tiba-tiba
8) Meningkatnya perilaku yang berisiko tinggi
9) Agresif, brutal, dan mencuri
10) Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga dan teman
11) Kecenderungan melakukan bunuh diri.
Uraian di atas menunjukkan bahwa gejala stres kerja merupakan gejala yang
kompleks, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, maupun perilaku. Namun demikian
gejala tersebut tidak muncul bersamaan waktunya pada seseorang, kemunculannya
bersifat kumulatif, yang sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang cukup lama,
hanya saja tidak terdeteksi jika tidak menunjukkan perilaku tertentu.
2.2.3. Sumber-sumber Stres Kerja
Kebanyakan orang menghabiskan waktu untuk bekerja daripada mereka
melakukan berbagai aktivitas lainnya. Wajarlah jika kemudian pekerjaan menjadi
sumber utama dari stres. Fakta menunjukkan bahwa stres pekerjaan berdampak
pada kesehatan fisik dan mental dari karyawan. Menurut Cooper (dalam Rice, 1999)
mengidentifikasikan sumber-sumber stres kerja sebagai berikut :
a. Kondisi pekerjaan
Kondisi pekerjaan meliputi :
1) Lingkungan kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab
karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi, dan menurunnya
produktivitas kerja.
2) Overload, dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualititatif. Dikatakan
overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi
kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan
berada dalam “tegangan tinggi”. Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut
sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif
karyawan.
3) Deprivational stress, yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau
tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah
kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur
sosial (kurangnya komunikasi sosial).
4) Pekerjaan beresiko tinggi. Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau
berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak lepas
pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan stres kerja
karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.
b. Stres karena peran
Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar,
khususnya para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami
stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini
menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga.
Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya
sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang
merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan
dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi
menyebabkan wanita bekerja mengalami stres.
c. Faktor interpersonal
Hubungan interpersonal di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting
di tempat kerja. Dukungan dari sesam pekerja, manajemen, keluarga, dan teman-
teman diyakini dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu ada
kepedulian pihak manajemen pada karyawannya agar selalu tercipta hubungan yang
harmonis.
d. Pengembangan karir
Karyawan biasanya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karir
kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan
karyawan untuk berkarir, misalnya sistem promosi yang tidak jelas, kesempatan
untuk meningkatkan penghasilan tidak ada, karyawan akan merasa kehilangan
harapan, tumbuh perasaan ketidakpastian yang dapat menimbulkan perilaku stres.
e. Struktur Organisasi
Struktur organisasi berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan
secara kaku, pihak manajemen kurang mempedulikan inisiatif karyawan, tidak
melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak adanya
dukungan bagi kreativitas karyawan.
f. Tampilan rumah-pekerjaan
Ketika pekerjaan berjalan dengan lancar, tekanan yang ada di rumah
cenderung bisa dihilangkan. Bagi kebanyakan orang, rumah sebagai tempat untuk
bersantai, mengumpulkan dan membangun kembali kekuatan yang hilang. Tetapi,
ketika keheningan terganggu, bisa karena pekerjaan atau konflik di rumah, efek dari
stres cenderung meningkat.
2.2.4 Hubungan antara Konflik Peran Ganda dengan St res Kerja
1. Penelitian yang dilakukan Steve Poelmans (2001) dengan judul “Work Family
Conflict as A Mediator Work Stres - Mental Health Relationship”. Hasil dari
penelitian itu sendiri adalah menerangkan bahwa konflik peran ganda memiliki
pengaruh yang positif dengan stres kerja maupun dalam hubungan dalam dunia
kerja maupun masyarakat.
2. Penelitian yang dilakukan Sariati Ahmad dan Martin Skitmore (2003) dengan judul
“Work – Family Conflict : A Survey of Singaporean Workers” yang meneliti tentang
bagaimana Work – Family Conflict terjadi pada pekerja di Singapura. Dalam
penelitian tersebut ditemukan bahwa pekerja wanita lebih sering mengalami Work
– Family Conflict dibandingkan pria. Dalam penelitian ini juga dibahas tentang
hubungan antara Work – Family Conflict, Stres, dan kinerja dimana tingkat Work –
Family Conflict akan memperngaruhi stres dan kinerja karyawan secara garis
lurus.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Afina Murtiningrum, SS (2009) dengan judul
“Analisis pengaruh Konflik Pekerjaan – Keluarga Terhadap Stres Kerja dengan
Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderasi”. Dari penelitian tersebut didapatkan
hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel konflik
pekerjaan – keluarga dengan variabel stres kerja.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Triaryati (2003) dengan judul “Pengaruh
Adaptasi Kebijakan Mengenai Work – Family Conflict terhadap Absen dan Turn
Over”, ditemukan bahwa karyawan wanita telah terbukti menderita depresi dan
mengalami stres lebih cepat dibandingkan pria, merupakan korban terbesar
dalam work-family conflict. Ketika karyawan wanita tersebut menghadapi situasi
kerja yang kurang menyenangkan karena tidak adanya adaptasi yang dibutuhkan
oleh mereka, maka dengan mudah akan timbul stres yang kemudian berpengaruh
pada kepuasan mereka. Dengan dasar penelitian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa work-family conflict akan menimbulkan stres kerja, dan akan terbawa ke
tempat kerja. Dan karyawan yang rentan mengalami work-family conflict adalah
wanita, karena wanita akan dihadapkan pada pola tradisional yang berbeda
dengan laki-laki, meskipun memiliki jenjang karir yang sama, yakni mengurus
anak dan keluarga. Sehingga wanita menjadi lebih rentan mengalami stres di
tempat kerja, dan akan mempengaruhi tingkat kepuasan karyawan.
2.3. Perawat
2.3.1. Defenisi Perawat
Sesuai dengan Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan
praktik perawat, perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik
didalam maupun di luar negri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan yang berlaku. Dalam menjalankan praktik keperawatan harus senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang
tugasnya. Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat juga dituntut
melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan
masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2003).
Menurut Taylor C Lilis C Lemone (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012)
perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara,
membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan.
Sejalan dengan itu ICN (International Council of Nursing), perawat adalah
seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi
syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan
keperawatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan pencegahan
penyakit dan pelayanan penderita sakit (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012).
2.3.2. Peran, Fungsi dan Tanggung jawab Perawat
Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan orang lain
terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi
keperawatan dan bersifat konstan.
Menurut Konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 (dalam Sukma Nolo
Widyawati, 2012) terdapat beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi:
1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan
dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan.
Pemberian asuhan keperwatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai
dengan yang kompleks.
2. Sebagai Advokat klien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya
dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga
berperan dalam mempertahankan dan melingungi hak – hak pasien.
3. Sebagai Edukator (Pendidik)
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan
kesehatan.
4. Sebagai Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi
pelayanan kesehatan dapat terserah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
5. Sebagai Kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri
dari dokter, fisioterapi, ahli gizi, dan lain – lain dengan berupaya
mengidektifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan.
6. Sebagai Konsultan
Perawat berperan sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan
perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai
dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
7. Sebagai Pemabaharu
Perawat mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis
dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
Menurut Henderson (dalam Chris Brooker, 2005), peran perawat adalah
membantu individu, sakit atau sehat, dalam melakukan tindakan – tindakan yang
berperan untuk kesehatan dan kesembuhan (atau kematian yang damai), tindakan –
tindakan itu akan dilakukan sendiri oleh individu tersebut seandainya ia memiliki
kekuatan, kemauan, atau pengetahuan. Perawat melakukan hal ini sedemikian rupa
sehingga individu tersebut memperoleh kemandirian secepat mungkin.
Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan
perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Ruang
lingkup dan fungsi keperawatan semakin berkembang dengan fokus manusia tetap
sebagai sentral pelayanan keperawatan. Bentuk asuhan yang menyeluruh dan utuh,
dilandasi keyakinan tentang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual yang
unik dan utuh (Kusnanto, 2003).
Adapun fungsi perawat terdiri dari:
1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana
perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan
keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi KDM.
2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan
atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang
diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum,
atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan diantara satu tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam
pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja
melainkan juga dari dokter ataupun lainnya.
Tanggung jawab perawat secara umum adalah memberikan
asuhan/pelayanan keperawatan, meningkatkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan
diri sebagai profesi. Tanggung jawab dalam memberi asuhan keperawatan kepada
klien mencakup aspek bio – psiko – sosial – kultural dan spiritual, dalam upaya
pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi:
1. Membantu klien memperoleh kembali kesehatannya;
2. Membantu klien yang sehat untuk memelihara kesehatannya;
3. Membantu klien yang tidak dapat disembuhkan untuk menerima kondisinya;
4. Membantu klien yang menghadapi ajal untuk di perlakukan secara manusiawi
sesuai martabatnya sampai meninggal dengan tenang.
2.4. Wanita Dewasa Muda
2.4.1. Definisi Dewasa Muda
Yang dimaksud dengan dewasa muda adalah kelompok dengan rentang usia
antara 20 – 40 tahun (Papalia, Feldman, dan Gross, 2004). Masa dewasa muda
merupakan masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa.
2.4.2. Perkembangan Psikososial Dewasa Muda
Perkembangan psikososial dewasa muda dijelaskan oleh Erikson berada
pada tahap keenam, yaitu intimacy vs isolation. Pada tahan ini, dewasa muda
diharapkan mampu membangun komitmen pribadi yang menuntut adanya
pengorbanan dan kompromi. Resolusi pada tahap ini adalah cinta, yang merupakan
devosi mutual dua orang yang memutuskan untuk hidup bersama, memiliki dan
membesarkan anak. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross,
2004) keputusan tidak memenuhi dorongan prokreasi alamiah akan berpengaruh
serius terhadap perkembangan seseorang dewasa muda.
Vaillant (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross, 2004) melalui Grant
Studynya menemukan pola tipikal dewasa muda. Pada usia 20 tahun, kebanyakan
orang masih didominasi orang tua, di usia 20 – 30 tahun, orang mulai mencapai
otonomi, berkeluarga, memiliki anak dan menjalin persahabatan. Pada usia 30 – 40
tahun, orang memasuki masa konsolidasi karir, yaitu masa orang bekerja keras
sekaligus mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga.
Levinson (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross, 2004) sejalan dengan
Vaillant, berpendapat bahwa saat seseorang memasuki usia dewasa muda (usia 17
– 33 tahun), orang membangun struktur kehidupan dengan meninggalkan orang tua
dan mulai mandiri baik secara finansial maupun emosional, memilih pekerjaan dan
pasangan hidup. Pada masa transisi di usia 30 tahun, seseorang mengevaluasi
ulang dan memperbaiki hidupnya hingga dimasa kulminasi mulai menetapkan tujuan
beserta waktu pencapaiannya. Dalam studinya, Levinson juga menemukan bahwa
perempuan melalui masa, fase, dan transisi yang sama, namun pembagian peran
tradisional antara perempuan dan laki – laki menyebabkan perempuan dapat
menghadapi keterbatasan psikologis dan lingkungan dalam membentuk struktur
hidup dan masa transisinya cenderung lebih lama.
Papalia, Olds, Feldman, dan Gross (2004) juga menyebut dewasa muda
sebagai masa perubahan drastis dalam hubungan personal. Di masa tersebut, orang
membangun, menegosiasi ulang dan memantapkan ikatan relasi berdasarkan cinta
dan seksualitas. Erikson memandang perkembangan hubungan intim sebagai tugas
penting dewasa muda. Persahabatan selama dewasa muda dan dewasa madya
cenderung berpusat pada pekerjaan dan pengasuhan anak, yaitu berbagai rahasia
dan saran – saran.
2.4.3. Tugas Perkembangan Dewasa Muda
Papalia, Olds, Feldman, dan Gross (2004) menerangkan pada masa dewasa
muda, orang membuat piihan karir sekaligus membentuk hubungan intim untuk
seumur hidup. Di masa itu, kebanyakan orang menikah dan menjadi orang tua. Di
sisi lain, pekerjaan yang mereka jalani juga menjadi hal penting yang menjadi pusat
hidup mereka.
Dengan memperoleh pekerjaan, perempuan dan laki – laki dewasa muda
memperoleh perannya sebagai pekerja. Secara khusus, saat kemudian perempuan
dewasa muda memutuskan untuk menikah, ia memperoleh peran sebagai istri.
Ketika kemudian anaknya lahir, perempuan memperoleh peran baru sebagai ibu.
Semua peran yang dijalani perempuan dewasa muda membawa serta tuntutan dan
tanggung jawab yang harus dipenuhinya. Konflik peran ganda secara teotiris
memeiliki resiko tinggi untuk individu dan keluarga karena keberhasilan integrasi
pekerjaan dan keluarga merupakan tugas utama selama dewasa muda dan dewasa
madya (Gryzwacs dan Bass, 2003).
2.5 Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian dari latar belakang dan teori yang telah dijabarkan,
penelitian ini dibuat dan dijalankan karena stroke merupakan penyakit paling
berbahaya yang mengancam nyawa seseorang. Dengan demikian seharusnya
banyak terdapat rumah sakit yang khusus dalam menangani pasien yang terserang
penyakit berbahaya tersebut.
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di pulau Sumatra yang sangat
terkenal akan makanan yang mengandung kolesterol tinggi yang sangat cepat
memicu timbulnya penyakit stroke. Maka didirikanlah Rumah Sakit yang khusus
melayani pasien stroke di Sumatera Barat, tepatnya di kota Bukittinggi. Rumah sakit
tersebut juga dijadikan sebagai pusat rujukan bagi pasien yang terindikasi stroke.
Dalam pengembangan rumah sakit tersebut pastinya dibutuhkan tenaga yang
ahli dalam melayani pasiennya. Perawat merupakan tenaga medis yang paling
sering berinteraksi dengan para pasien. Di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi
sendiri para perawat telah diberikan pelatihan mengenai bagaimana melayani dan
memberikan penyuluhan kepada para pasien yang terserang stroke. Dengan
harapan agar mereka dapat menangani pasien stroke dengan baik dan semestinya.
Namun data dilapangan menunjukkan bahwa pasien seringkali mengeluhkan
sikap dari perawat di rumah sakit tersebut. Hal ini mencerminkan buruknya kinerja
dari perawat tersebut. Kinerja menurut peneltian yang dilakukan Yerkes dan Dodson
(1908) menunjukkan hubungan yang terbalik dengan stres kerja yaitu, semakin
rendah kinerja maka tingkat stres kerja semakin tinggi. Dengan berdasarkan
pernyataan di atas peneliti menduga bahwa kinerja perawat yang buruk disebabkan
oleh stres kerja yang dialaminya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pun
tergambar beberapa gejala stres kerja yang dialami oleh perawat tersebut. Dari
wawancara tersebut juga tergambar apa yang menyebabkan stres kerja tersebut
bisa terjadi. Faktor dominan yang terlihat adalah karena sulitnya perawat dalam
pembagian perannya.
Perawat cenderung mengeluhkan kesulitannya memenuhi peran gandanya
yaitu perannya sebagai ibu di rumah dan perannya sebagai perawat yang bekerja di
rumah sakit. Dengan diadakannya penelitian ini akan membuktikan apakah benar
terdapat hubungan antara konflik peran ganda yang dialami oleh perawat dengan
stres kerja. Penelitian ini penting agar indikasi bisa diatasi dengan baik oleh individu
maupun instansi tempat bekerja, mengingat tugas dari perawat berkaitan langsung
dengan nyawa pasien yang ditanganinya.
Gambar 2.1 Gambar kerangka Berpikir
Sumber: Diolah Oleh Penulis
Banyaknya keluhan yang dilayangkan oleh para pasien mengenai
perawat
Kinerja perawat yang
buruk
Stres kerja menyebabkan
buruknya kinerja
Konflik peran ganda diindikasikan sebagai penyebab stres kerja
perawat
KORELASI