BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jurnalisme 2.1.1 Definisi ...eprints.umm.ac.id/46233/3/BAB II.pdf · b....
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jurnalisme 2.1.1 Definisi ...eprints.umm.ac.id/46233/3/BAB II.pdf · b....
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jurnalisme
2.1.1 Definisi Jurnalisme
Dari segi kata, jurnalisme berasal dari kata “jurnal” dan “isme”. Jurnal
artinya laporan, isme artinya paham atau ajaran. Jurnalisme artinya paham
atau aliran jurnalistik. Isme artinya paham, seperti pada kata nasionalisme,
patriotisme dll. Secara bahasa, istilah dan praktis, nyaris tidak ada beda
antara pengertian jurnalistik dan jurnalisme hakikatnya sama. Secara harafiah,
pengertian jurnalisme (berasal dari kata journal) yaitu catatan harian atau
catatan mengenai kejadian sehari-hari.
Jurnalisme merupakan kegiatan yang berhubungan kegiatan untuk
mencari dan mengolah informasi untuk disiarkan ke khalayak. Dalam
perkembangannya, jurnalisme menjadi sebuah profesi yang dilakukan oleh
seorang yang bekerja pada media massa. Di dalam profesi dibutuhkan
keahlian dan kerja sesuai dengan keahliannya sehingga orang itu mendapat
imbalan (Nurudin, 2009 : 9)
Jurnalisme adalah seni dan profesi dengan tanggung jawab profesional
art and craft with professional respondsibilities yang mensyaratkan
wartawannya melihat dengan mata yang segar eyes that see pada setiap
peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik. Jurnalisme bukanlah
tentang menulis saja. Anda belajar tentang “apa sesungguhnya mencari itu
10
dan apa sebenarnya bertanya mengenai hal-hal pelik dengan kegigihan”
(Luwi, 2011 : 17).
Seorang jurnalis mencari atau mendapatkan informasi dari segala
penjuru untuk mendapatkan berita yang terbaik. Dengan kepiawainnya
jurnalis juga mendapatkan informasi dari tokoh masyarakat, Instansi
pemerintah, Humas, Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya (Andi,
2011 : 83).
Seiring dengan perkembangan teknologi yang kian hari semakin
berkembang, jurnalisme juga semakin berkembang pula. Jurnalisme yang
awalnya hanya dimonopoli oleh media cetak sudah bertambah dengan media
elektronik seperti televisi dan radio. Bahkan sekarang, sudah kian mewabah
fenomena internet yang mau tidak mau menyeret pembahasan jurnalisme ke
bentuk media baru itu. Lebih dari itu, media cetak dan elektronik saat ini
sudah berkolaborasi dengan media internet (Nurudin, 2009 :13). Saat ini,
jurnalisme berdasarkan cara publikasinya terbagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Jurnalisme Cetak
Jurnalisme cetak adalah jurnalisme yang mempublikasikan
informasi atau berita melalui tulisan dan dicetak seperti koran dan
majalah.
2. Jurnalisme Online
Jurnalisme daring atau online adalah jurnalisme yang
menyiarkan informasi melalui internet namun mengikuti kode etik
jurnalis. Jurnalisme Online kini terus berkembang seiring
11
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, bahkan
program berita televisi pun juga membuat media onlinenya sendiri.
Jurnalistik Online juga menumbuh kembangkan konsep
Citizen Journalism yang diperlihatkan dengan perkembangan
media sosial (social media) seperti Facebook, Twitter, dan Youtube.
3. Jurnalisme Siaran
Jurnalisme siaran adalah jurnalisme yang menyiarkan berita
atau informasinya melalui televisi atau radio. Jurnalisme siaran
dituntut untuk tidak hanya pandai membuat teks berita namun juga
mampu berkomunikasi dengan lancar, baik di depan kamera
maupun radio. Selain itu, jurnalisme siaran juga dituntut untuk
memiliki suara yang bagus agar menarik perhatian penonton.
Wartawan televisi bekerja secara cepat mengumpulkan
informasi, menentukan lead berita, menulis berita dan
melaporkannya, baik secara langsung (live) atau direkam dalam
bentuk paket yang akan disiarkan kemudian. Perkembangan
teknologi yang cepat dalam pengiriman gambar dan suara
(electronic news-gathering techniques), mengharuskan wartawan
televisi untuk bekerja lebih cepat pula, ia harus secara cepat
berangkat ke lokasi liputan, mengumpulkan informasi di lapangan
dan melaporkannya langsung di depan kamera (Morissan,
2010 :48).
Seorang reporter televisi adalah seorang wartawan aktif
yang bertugas mengumpulkan berita-berita dari berbagai sumber,
menyusun masing-masing laporan dan kadang-kadang
12
menuliskannya kemudiann melaporkannya melalui stasiun televisi
yang bersangkutan (Deddy, 2005 : 189).
Seorang reporter TV atau jurnalisme siaran dituntut untuk
mengerti ilmu jurnalistik dan kreatif sehingga mempu memahami
fenomena yang terjadi di masyarakat (Morissan, 2010 :50).
Media televisi mendapatkan berita dari berbagai peristiwa dan
diolah semenarik mungkin untuk disampaikan kepada khalayak.
Selanjutnya, tim redaksi media televisi akan membahas berita yang
menarik untuk ditayangkan (Andi, 2011 : 78) . Berikut ini kategori
asal berita berdasarkan pada :
a. Berita Berdasarkan Isu Hangat
Seluruh peristiwa atau isu yang muncul setiap detik akan
berkembang dan sampai kepada masyarakat luas bergantung
pada kecanggihan teknologi informasi dan konverensi media.
Seorang jurnalis setiap saat harus memperhatikan seluruh
peristiwa atau kejadian yang bisa menjadi perhatian atau isu
menarik.
b. Berita Berdasarkan Momentum
Peristiwa bencana alam sering kali terjadi tanpa
sepengetahuan manusia. Peristiwa alamiah yang berasal dari
alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, banjir
bandang, kebakaran hutan, dan wabah penyakit merupakan
spontanitas yang dapat menjadi berita menarik namun tidak
dapat diprediksikan atau direncanakan terlebih dahulu.
13
c. Berita Berdasarkan Pengamatan
Pengamatan terhadap gejala yang terjadi dapat
diprediksikan akan terjadi suatu peristiwa yang menjadi
perhatian masyarakat seperti kemacetan saat mudik dan liburan.
d. Berita Berdasarkan Agenda Event
Peristiwa yang telah teragenda rutin sepanjang tahun,
jadwal kegiatan penting berbagai institusi, konferensi pers
pejabat atau tokoh masyarakat, pertandingan olahraga populer,
dan lain sebagainya.
e. Berita Berkelanjutan
Berita berkelanjutan merupakan berita kelanjutan dari
peristiwa yang dilaporkan pada format sebelumnya. Berita
berkelanjutan menjadi harapan redaksi untuk mendapatkan
materi berita aktual, mendalam dan rutin disiarkan.
2.2 Jenis-Jenis Jurnalisme
Jurnalistik tidak hanya sebatas kegiatan meliput berita, lalu semua berita
diperbolehkan diliput oleh setap wartawan. Akan tetapi, ada banyak lagi jenis jenis
jurnalistik yang ada di dunia jurnalisme. Setiap jurnalis memiliki tugas tersendiri
dalam meliput berita, bahkan setiap jurnalis memiliki label nama tersendiri dalam
mengkategorikan diri mereka sebagai jurnalis. Bahkan, hanya dengan mengandalkan
diri sendiri sebagai wartawan dadakan pun sudah dapat disebut sebagai jurnalistik
dengan tipe tertentu, jenis-jenis jurnalisme tersebut yaitu :
14
2.2.1 Jurnalisme Warga Negara
Salah satu fenomena aktual yang berkaitan dengan proses
penyebaran informasi adalah maraknya aktivitas blog, vlog dan
mengirimkan video amatir ke stasiun televisi (contoh Net CJ), yang
sering disebut dengan citizen journalism (jurnalisme warga negara).
2.2.2 Jurnalisme Presisi
Jurnalisme presisi adalah aplikasi ilmu sosial dalam dunia
jurnalistik. Jadi, syarat yang ada pada ilmu sosial digunakan dalam
lapangan jurnalistik. Dengan kata lain, jurnalisme presisi adalah
kegiatan jurnalistik yang menekankan ketepatan (presisi) informasi
dengan memakai pendekatan ilmu sosial dalam proses kerjanya. Bahkan
jurnalisme presisi kemudian berkembang secara drastispada tahun
1980’an. Jurnalis presisi tidak “menyewa’ orang lain untuk mengadakan
polling dalam membuat berita, tetapi jurnalis menjadi orang yang
mrmbuat polling sendiri (Nurudin, 2009 :226).
2.2.3 Jurnalisme Kuning
Ciri khas Jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang
bombastis, sensasional, dan pembuatan judul utama yang menarik
perhatian publik. jurnalisme kuning adalah jurnalisme pemburukan
makna, ini disebabkan karena orientasi pembuatannya lebih
menekankan pada berita-berita sensasional daripada subtansi isinya
(Nurudin, 2009 : 230).
15
2.2.4 Jurnalisme “Lher’
Jurnalisme “Lher” sering juga disebut dengan jurnalisme
sensasional. Gambar dan penulisan berita sering ditujukan untuk
mencari sensasi semata.
2.2.5 Jurnalisme Perdamaian dan Jurnalisme Perang
Jurnalisme perang ibarat bahan mentah yang menjadi negasi
munculnya jurnaslime perdamaian. Jurnalisme perang selalu menjadi
kritikan jurnaslime perdamaian, harus dihilangkan. Alasannya adalah
mengancam peradaban manusia. Padahal peradaban manusia bisa
tumbuh dan berkembang dengan baik karena adanya perang juga
(Nurudin, 2009:239).
2.2.6 Jurnalisme Kepiting
Jurnalisme kepiting adalah istilah yang pernah dipopulerkan oleh
wartawan senior Rosihan Anwar (2001). Jurnalisme kepiting adalah
istilah yang dipakai Rosihan untuk melihat sepak terjang Jakob
Oetama (JO) dengan kompas-nya, jurnalisme kepiting adalah
jurnalisme yang mementingkan “jalang tengah” (baca:jalan aman”
dalam menanggapi persoalan, untuk tak mengatakan “memilih jalan
selamat”. Lebih dalam lagi, bisa dikatakan, ia tidak mencoba masuk ke
dalam diskusi yang lebih dalam jika punya dampak yang buruk bagi
lembaga dan karir jurnalistik dirinya (Nurudin,2009:251).
16
2.2.7 Jurnalisme Bencana
Jurnalisme bencana dimaksudkan sebagai bagaimana media
memberitakan bencana. Dari kata ”bagaimana memberitakan”
terkandung dua dimensi yaitu dimensi proses dan hasil. Dimensi hasil
mengacu pada berita-berita bencana yang dimuat atau disiarkan media,
sedangkan Dimensi proses mengacu pada proses produksi berita-berita
bencana (Eriyanto, 2001). Bencana tsunami di Aceh 2004, gempa bumi
di Yogyakarta pada 27 Mei 2006, lumpur panas Lapindo di Sidoarjo
yang belum terselesaikan hingga sekarang dan masih banyak lagi
bencana yang melanda di berbagai daerah merupakan hasil dari liputan
jurnalisme bencana.
Secara sosiologis dan geologis Indonesia adalah negeri rentan
terhadap bencana. Media massa akan memberitakan setiap peristiwa
bencana yang terjadi, sehingga masyarakat menggantungkan
keingintahuannya pada bencana kepada informasi yang disajikan
media massa. Informasi perihal bencana sering kali tidak jelas atau
terjadi kesimpang siuran, oleh sebab itu media massa menjadi acuan
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar (Jurnal
Komunikasi, Vol.1 Nomor 2, April 2007:149).
Dalam konteks jurnalisme, jurnalisme bencana di Indonesia,
nyatanya bisa menjadi bencana baru. Kekeliruan peliputan, baik yang
disengaja ataupun tidak disengaja karena bekal peliputan yang tidak
memadai harus dikontrol (Arif,2011 :150). Prinsip-prinsip penting
17
dalam jurnalisme bencana adalah akurasi, humanisme, komitmen
menuju rehabilitasi, serta kontrol dan advokasi.
Dalam prinsip jurnalisme bencana juga disebutkan jika
wartawan televisi dalam meliput, mengulas atau merekontsruksi
peristiwa traumatis (misalnya pembantaian, kerusuhan sosial, bencana
alam) harus mempertimbangkan perasaan korban, keluarga korban,
maupun pihak terkait dengan peristiwa traumatis tersebut (Morissan,
2010 : 255).
Pada faktanya, masih banyak media massa yang meliput
bencana tidak sesuai dengan prinsip jurnalisme bencana. Contoh
nyatanya adalah ketika bencana Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Bukan hanya dari segi ketidak siapan fisik dan mental, tetapi juga dari
sisi teknologi yang digunakan Indonesia belum mendukung
sepenuhnya untuk meliput bencana. Ahmad Arif dalam buku
Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010 : 52-53) menyatakan
“Beberapa kali saya dan teman-teman melirik bekal beberapa
wartawan Internasional, seperti CNN dan ABC, saya hanya bisa iri
dengan mereka yang dengan lancarnya mengirim berita jauh ke luar
negeri menggunakan pemancar satelit. Sementara itu, saya dan
beberapa wartawan domestik hanya bisa menyimpan hasil pengamatan,
wawancara dan foto-foto dari lapangan karena tidak bisa
mengirimkannya ke luar Aceh”.
Selain itu, demi berebut penonton dan pembaca, media bersaing
satu sama lain merebut hati pemirsa dengan memberikan penayangan
18
yang menarik empati penonton. Wartawan umumnya memang begitu
bersemangat ketika meliput bencana, kekerasan atau hal-hal berbau
atau suatu tragedi besar. Mereka akan berjuang habis-habisan menjadi
yang pertama datang di lokasi (Ahmad Arif, 2010 : 17). Media di
Indonesia memang tidak meniadakan pendidikan tentang meliput,
bahkan media Indonesia juga belum memiliki standar operasional yang
jelas dalam meliput bencana (Ahmad Arif, 2010 : 34).
Kala itu, media juga dengan jelas memperlihatkan korban.
Meskipun ada beberapa yang mengambil angle dari kejuhan, tetapi
mayat masih nampak hitam dan terlihat sadis oleh kebanyakan orang.
Demi tidak mau kalah kecepatan dengan media lainnya, banyak media
yang kala itu membuat berita “bohong” dalam artian membuat
kesimpulan sendiri yang belum tentu benar, seperti jumlah korban dan
lokasi ditemukan korban. Wartawan seolah tidak memiliki sikap
skeptis dan malas untuk verifikasi. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
menyebutkan bahwa disiplin verifikasi adalah ihwal yang memisahkan
jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi atau semi.
Gambar di media penuh dengan mayat bergelimpangan berbaur
dengan bangkai mobil dan puing yang berserak, orang-orang berlarian
menghindari air hitam yang mematikan. Beberapa media
menggambarkan bencana itu dengan sangat telanjang, dengan tayangan
dan foto-foto yang seram. Kematian yang telanjang. Di televisi
diperdengarkan suara teriakan kengerian berbaruan ratapan orang-
orang yang kehilangan keluarga dan harta benda, diiringi lagu-lagu
yang mengalun pedih (Ahmad Arif, 2010 : 77).
19
2.3 Etika dan Prinsip Jurnalisme
2.3.1 Definisi Etika
Ward (2009) mendefinisikan etika sebagai : the analysis,
evaluation, and promotion of correct conduct and good character,
according to the best available standards. (analisis, evaluasi dan
promosi perilaku yang benar dan atau karakter yang bagus menurut
standar terbaik yang ada).
Untuk panduan warga profesi, maka ditetapkanlah etika profesi
yang mencerminkan misi dan fungsi profesi yang bersangkutan.
Sebagai contoh, dokter adalah ekspert di bidang perawatan kesehatan,
pengacara merupakan spesialis yang membantu orang lain dalam
melindungi hak dan kepentingan mereka berkenaan dengan keadilan
dan hukum. Jadi sebuah profesi berkewajiban untuk mengartikulasikan
inti nilai-nilai etika dan komitmennya. Etika jangan dipaksakan secara
arbitrer dari luar, haruslah lahir dari refleksi dan pengalaman para
praktisi yang mempunyai pemikiran (Zulkarimein Nasution, 2015 : 70).
Etika Jurnalisme telah tertulis dan disepakati, di antaranya :
1. Kode Etik Jurnalistik Indonesia
Kemerdekaan pers merupakan sarana terpenuhinya hak asasi
manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Dalam
mewujudkan kebebasan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya
20
tanggung jawab sosial serta keberagaman masyarakat (Nurudin, 2009 :
315).
Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-
hak masyarakat diperlukan suatu landasan moral atau etika profesi
yang bisa menjamin pedoman operasional dalam menegakan integritas
dan profesionalitas wartawan. Atas dasar itu, wartawan Indonesia
menetapkan kode etik :
1. Wartawan Indonesia menghargai hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk
memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas
kepada sumber informasi,
3. Wartawan Indonesia menghargai asas praduga tak bersalah, tidak
mencampurkan fakta dan opini, berimbang dan selalu meneliti
kebeneran informasi , serta tidak melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak
menyalahgunakan profesi.
5. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang dan off th record sesuai
kesepakatan.
6. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan
dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Menurut Andi Fachrudin dalam buku Dasar-Dasar Produksi
Televisi (2012:281-286), beberapa isu dalam kode etik jurnalistik
(Dewan Pers dan beberapa organisasi wartawan, 2006) yang palimg
21
sering dilanggar oleh jurnalis, berdasarkan pengakuan mereka sendii
adalah (berdasarkan kuesioner yang diedarkan kepada 100 wartawan
Indonesia, tahun 2002),yaitu :
1. Menerima Amplop, dalam kode etik jurnalistik Dewan Pers
2006, tertera aturan pada Pasal 6 yang berbunyi “Wartawan
Indonesia Tidak Menyalahgunakan Profesi dan Menerima
Suap”. Pada kode etik Aji lebih jelas lagi mengatakan amplop
adalah sogokan.
2. Melanggar kesepakatan Off the record, permintaan narasumber
yang menginginkan off the record harus dihargai, jangan
dikhianati karena hal itu melanggar kide etik jurnalistik yang
disepakati 29 organisasi wartawan pada tahun 2006 yaitu
pasal 7 menjelaskan : wartawan Indonesia harus memiliki hak
tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record
sesuai denan kesepakatan”.
3. Cover both sides (balance/keseimbangan), persoalan yang
berkaitan dengan keberpihakan seorang jurnalis dalam
menjalankan tugas dilarang ada dalam pasal 1 kode etik
jurnalistik (Dewan Pers 2006) yaitu “Wartawan Indonesia
bersikap Independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang dan tidak beritikad buruk”.
4. Berita tanpa wawancara
22
5. Judul berita bermasalah, dalam kode etik jurnalistik (Dewan
Pers,2006) pada pasal 4 yaitu “wartawan Indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul”.
6. Kesalahan visual
7. Kloning, Copy Paste, dan plagiarism
8. Bahasa, Stereotipe, Label
1. Undang-Undang pers Nomor 40 Tahun 1999
Sejak era Reformasi 1999, dengan lahirnya Undang-Undang
No.40 tentang Pers , kebebasan mengemukakan pendapat oleh
kalangan pers terhadap pmerintah di Indonesia sangat kritis seolah-
olah siapapun tak kan luput dari kritikan bila tercium
menyalahgunakan kekuasaannya, khususnya pejabat publik.. Sehingga
tak ada lagi siaran pers yang harus melalui tahapan birokrasi untuk
disensor negara. Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 ini berisi
10 bab dan terdapat 21 pasal (Andi,2012:293).
2. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3SPS) dan Undang-Undang No.32 Tahun 2002 Tentang
Penyiaran
Pedoman perilaku penyiaran merupakan panduan tentang
batasan-batasan mengenai apa yang diperbolehkan dan/atau tidak
diperbolehkan berlangsung dalam proses pembuatan program siaran,
sedangkan Standar Program Siaran merupakan panduan tentang
batasan apa yang diperbolehkan dan/atau tidak diperbolehkan
23
ditayangkan dalam program siaran. Dengan demikian P3SPS
merupakan penjabaran dari ketentuan kode etik dalam Undang-Undang
No.32 Tahun 2002 yang masih bersifat umum (Morissan, 2010:248).
Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang
sekurang-kurangnya berkaitan dengan :
a. Rasa hormat terhadap pandangan atau keyakinan agama
b. Rasa hormat terhadap hal pribadi
c. Kesopanan dan kesusilaan
d. Pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme
e. Perlindungan terhadap anak-anak, remaja dan perempuan
f. Penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak
g. Penyiaran program dalam Bahasa asing
h. Ketepatan dan kenetralan program berita dan lain-lain.
Sedangkan untuk aturan yang mengatur tentang peliputan
bencana, telah diatur dalam Pedoman Perilaku (PP) dan Standar
Program Siaran (SPS) pada tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Komisi
Penyiaran indonesia (KPI), pada Bab XXIV pasal 34.
3. Kode Etik Jurnalistik Televisi
Menurut Hasan Asy’ari Oramahi dalam buku Jurnalistik Televisi
(2015: 16-18) Jurnalistik Televisi mengenal istilah ABC Jurnalistik
Televisi, yaitu :
1. Accuracy (akurat), yaitu hal paling utama dalam penulisan berita
televisi. Berita televisi akan mengalami distorsi atau gangguan apabila
ketidaktepatan (inaccuracies) dan ketidak benaran (unruth)
24
menggantikan fakta. Untuk menulis ulang (rewriting) berita, seorang
redaktur harus selalu mengacu pada sumber aslinya.
2. Balance (berimbang), yaitu dalam meliput berita agar hasilnya dapat
digunakan sebagai materi siaran, semuanya haruslah berimbang. Untuk
itu, diperlukan upaya yang disebut cover both sides. Khusus berita-
berita kontroversional, cover both sides merupakan suatu keharusan.
Jika tidak, berita tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.
3. Clarity (jelas), yaitu pesan harus jelas dan dapat dimengerti oleh
pemirsa.
Jadi, rumus dasarnya adalah Accuracy+Balance+Clarity = Credibility
Menurut Morissan dalam buku Jurnalistik Televisi Mutakhir
(2010:249) terkait dengan pemberitaan atau informasi yang disiarkan
stasiun TV, maka P3SPS menyatakan bahwa stasiun penyiaran dalam
menayangkan informasi harus senantiasa mengindahkan prinsip-
prinsip jurnalistik yang terdiri atas tiga prinsip yaitu : 1. Prinsip
akurasi, 2. Prinsip keadilan 3. Prinsip ketidak berpihakan
(imparsialitas).
2.3.2 Definisi Prinsip
Altschull menyatakan etika merupakan “studi tentang pembentukan
nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip mengenai benar dan salah.” Dalam suatu
konsep awal dari etika jurnalistik dinyatakan perihal melayani kemanusiaan
(humanity) dan bukan untuk mencapai tujuan pribadi si jurnalis (Zulkarimein
Nasution, 2015 : 84 ). Itu berarti prinsip terbentuk karena adanya etika, dalam
kata lain prinsip merupakan bagian dari etika. Prinsip adalah suatu kebenaran
25
yang dijadikan pedoman oleh individu atau kelompok dalam berpikir atau pun
bertindak. Berikut ini beberapa prinsip dalam Jurnalisme :
1. Sembilan Prinsip Jurnalisme
Secara bersama, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dengan dukungan dan
bantuan dari para ahli media yang tergabung dalam commiteof concerned
journalist melakukan riset yang ekstensif terhadap apa yang sesungguhnya
harus dikerjakan oleh para wartawan. Hasil riset tersebut kemudian dituangkan
dalam buku The Element Of Journalism. Dari penelitian terhadap tugas dan
pekerjaan para wartawan tersebut, committe of concerned journalist akhirnya
menyimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ada sembilan inti prinsip
jurnalisme yang harus dikembangkan (Luwi, 2011 : 21).
a. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
b. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat
c. Inti Jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi
d. Para wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka
liput
e. Wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas
terhadap kekuasaan
f. Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik
g. Jurnalisme harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik
dan relevan
h. Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional dan
komprehensif
i. Wartawan itu memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya
26
2. Prinsip Jurnalisme Bencana
Dalam Pedoman Perilaku (PP) dan Standar Program Siaran (SPS) 2009
yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebenarnya telah
diatur pada Bab XXIV pasal 34 tentang peliputan bencana alam (Fajar Junaedi,
2013:114). Dalam meliput dan/ atau menyiarkan program yang melibatkan
pihak-pihak yang terkena musibah, lembaga penyiaran wajib mengikuti
ketentuan sebagai berikut :
a. Melakukan peliputan subjek yang tertimpa musibah harus
mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya.
b. Tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga
yang berada pada kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban
kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa,
menekan, mengintimidasi korban dan/atau keluarganya untuk
diwawancarai dan/atau diambil gambarnya dan menyiarkan gambar
korban dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita hanya dalam
konteks yang dapat mendukung tayangan.
Selain itu, pada 1 Oktober 2018 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pusat mengeluarkan surat edaran bernomor 515/K/KPI/31.2/10/2018 yang
meminta kepada seluruh lembaga penyiaran televisi, untuk memperhatikan
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI Tahun 2012
terkait kewajiban dan batasan dalam menayangkan peliputan bencana atau
musibah pada program siaran jurnalistik. Berikut ini isi dari surat edaran
KPI Pusat terkait kewajiban dan batasan dalam menayangkan peliputan
bencana atau musibah pada program siaran jurnalistik antara lain:
27
1. Wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga,
dan/atau masyarakat
2. Dilarang :
a. Menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan
masyarakat, dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi
untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya
b. Menampilkan gambar dan/atau suara saat-saat menjelang kematian
c. Mewawancarai anak di bawah umur sebagai narasumber
d. Menampilkan gambar korban atau mayat secara detail dengan close
up dan/atau
e. Menampilkan gambar luka berat, darah, dan/atau potongan organ
tubuh.
3. Wajib menampilkan narasumber kompeten dan terpercaya dalam
menjelaskan peristiwa bencana secara ilmiah.
2.4 Media Massa
Media massa semakin tumbuh dan berkembang di kehidupan masyarakat, mulai
dari media cetak, elektronik hingga kini ada media baru yang lebih mudah diakses
yaitu media daring atau online. Meskipun media daring (online) kian berkembang,
nyatanya media elektronik terutama media televisi kian diminati oleh masyarakat
karena menjelaskan berita dengan audio visual, sehingga tidak menimbulkan ambigu
bagi masyarakat yang mendengar.
Bencana Alam yang terjadi di pelosok Indonesia akan dengan cepat diketahui
oleh seluruh orang di dunia karena kekuatan dari media dalam menyampaikan
informasi. Dedy Mulyana (2007) menambahkan bahwa komunikasi massa melibatkan
28
banyak komunikator, berlangsung melalui sistem bermedia dengan jarak fisik yang
rendah (jauh), memungkinkan penggunaan satu atau dua saluran indrawi (penglihatan,
pendengaran), dan biasanya tidak memungkinkan umpan balik segera.
Adapun fungsi komunikasi media massa secara teknis menurut Alexis S.Tan
(Nurudin, 2007 :65) :
a. Memberi Informasi (to inform)
Mempelajari ancaman dan peluang, memahami lingkungan,
menguji kenyataan, meraih keputusan.
b. Mendidik (to educated)
Memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berguna
memfungsikan dirinya secara efektif dalam masyarakatnya,
mempelajari nilai-nilai, tingkah laku yang cocok agar diterima dalam
masyarakatnya.
c. Mempersuasi (to persuade)
Memberi keputusan, mengadopsi nilai, tingkah laku, dan aturan
yang cocok agar diterima dalam masyarakatnya.
d. Menyenangkan dan Memuaskan Kebutuhan Komunikan (to
entertain and to satisifed)
Menggemberikan, mengendorkan urat saraf, menghibur, dan
mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi.
29
2.4.1 Liputan 6 SCTV
Liputan 6 SCTV adalah salah satu program berita terpopuler di
Indonesia. Tayang perdana pada tanggal 7 November 1994 dengan mengusung
konsep features yang menitik beratkan pada liputan investigasi serta aspirasi
dari wakil rakyat. Hal itu pula yang menjadi sebab dari kehadiran Liputan 6
Petang yang pertama kali mengudara pada tanggal 20 Mei 1996. Tepatnya
pada tanggal 25 Agustus 1996 Liputan 6 Pagi perdana siaran dengan bertema
santai. Mengawali awal tahun 1997 Liputan 6 siang mengudara untuk pertama
kalinya. Kemudian, pada tanggal 10 Maret 1997 Liputan 6 hadir dengan
program berita-berita bahasa Inggris yang bertajuk News Watch. Pada tanggal
16 Februari hingga 5 April 1998 SCTV sempat menghentikan penayangan
Liputan 6 pagi dikarenakan krisis moneter kala itu. Pada tanggal 2 Oktober
2002 Liputan 6 mulai menghadirkan program hukum dan kriminal BUSER
(singkatan dari buru dan sergap) yang ditayangkan dini hari. Hingga kini,
liputan 6 tetap mengudara dan meraih berbagai penghargaan di antaranya pada
tahun 2001 memenangkan program berita televisi ngetop pada SCTV Awards
dan sejak 2002 hingga 2006 menjadi pemenang berita terfavorit pada
Panasonic Gobel Awards.
Berdasarkan Semi Rating atau pemeringkatan program televisi yang
paling banyak ditonton, untuk kategori berita maka siaran Liputan 6 Petang
SCTV menjadi program berita yang paling banyak ditonton pada tahun 2015.
Semi Rating KPI adalah penilaian terhadap program siaran yang diusulkan
stasiun Televisi berdasarkan kriteria yang ditetapkan pada Survey Indeks
Kualitas Program. Berikit hasil Semi Rating KPI pada tahun 2015 :
30
No Nama Program Stasiun TV Persentase
1. Liputan 6 Petang SCTV 60,10 %
2. Kabar Petang TV One 57,90 %
3. Top News Metro TV 40,50 %
4. Prime Time News Metro TV 39,00 %
5. Indonesia Morning NET. 36,90 %
Sumber : kpi.go.id
Program berita Liputan 6 SCTV mendapat predikat sebagai program berita
unggulan lantaran menjadi paling banyak ditonton pada tahun 2017 dengan
perolehan angka 46 persen yang diikuti program Kabar Petang TV One dan Prime
Time News Metro TV. Sedangkan penilaian yang didapat dari panel ahli program
berita Liputan 6 SCTV mendapat indeks 2,99 dari yang ditetapkan KPI minimal
3,00. Panel ahli adalah orang-orang yang tergabung dalam 120 sosok pemirsa
pilihan yang terdiri dari 12 kota seluruh penjuru Indonesia dari masyarakat umum
yang paham akan program siaran televisi dan bisa menilainya. mereka juga harus
berpendidikan minimal S1, berusia 21 sampai 60 tahun dan aktif menonton
televisi sekurang-kurangnya 20 jam per minggu.
Di samping itu, berdasarkan penilaian responden, kualitas program siaran
berita Liputan 6 Petang mendapatkan indeks penilaian 3,22 di posisi kedua setelah
NET16 dan sebelum Kompas Pagi dengan indeks penilaian 3,20. Survei sendiri
dilakukan sejak tayangan televisi pada Januari hingga April 2017 di 12 kota di
Indonesia dengan total responden 1.200 orang yang terdiri atas 50 persen laki-laki,
46 persen perempuan dan 4 persennya tidak menjawab jenis kelamin. Usianya pun
31
beragam, seperti 26 persen responden berusia 31 sampai 40 tahun dan 41 sampai
50 tahun. Lalu, 20 persen responden berusia 21 sampai 30 tahun dan 19 persen
responden berusia 51 sampai 60 tahun. Latar belakang responden juga beragam
seperti responden sebanyak 29 persen adalah ibu rumah tangga, 18 persen
wiraswasta, dan 13 persen bekerja sebagai karyawan swasta. Sedangkan
pendidikan responden adalah 69 persen berpendidikan tamat SMA, 14 persen S1
dan masing-masing 6 persen D3 serta berstatus masih menjadi mahasiswa.
Liputan 6 SCTV merupakan salah satu program berita terbesar di Indonesia,
bahkan sering kali mengukir prestasi dan menjadi media terdepan. Pada 15
Agustus 2015 Liputan 6 SCTV mengukir sejarah baru pertelevisian. Liputan 6
SCTV mencatat rekor menjadi satu-satunya televisi di dunia yang bersiaran
langsung dari tiga titik bawah laut sekaligus, dari perairan Sabang, Manado, dan
Ambon. Prestasi itu menambah deretan rekor sebelumnya yang juga diukir oleh
Liputan 6 SCTV. Pada 17 Agustus 2010, sebagai satu-satunya televisi di dunia
yang bersiaran langsung dari darat, laut dan udara di Wakatobi, Sulawesi
Tenggara. Tak hanya berjaya di laut, 17 Agustus 2006, Liputan 6 SCTV juga
menjadi satu-satunya program berita di dunia yang pernah bersiaran langsung dari
puncak tertinggi di Indonesia, Cartenz Pyramid, Pegunungan Jayawijaya, Papua.
Dalam dua dekade Liputan 6 SCTV membuktikan eksistensinya menjadi saksi
sejarah reformasi, menghadirkan dialog politik yang kritis, membidik peristiwa
transisi rezim pemerintahan hingga memfasilitasi persidangan antar Benua Asia
dan Eropa dalam kasus Bulog Gate pada tahun 2002. Dalam lima tahun terakhir
Liputan 6 SCTV terbukti menjadi preferensi program berita di Indonesia. Liputan
6 SCTV meraih share tertinggi dalam sejumlah live event. Di antaranya quick
count Pilpres 2014, serta Jokowi mantu Juni 2015.
32
Pada bencana Palu lalu, liputan 6 juga tak kalah cepat dalam melakukan
peliputan. Liputan 6 SCTV juga menugaskan 3 jurnalisme bencananya yaitu
David Rizal. Rusdy Maulana dan Kiwantoro. Dari tiga jurnalisme tersebut
menghasilkan berita-berita di antaranya :
N0. Judul Tanggal Penayangan Konten
1. Duka Keluarga Anthonius 29 September 2018 Mengekspose kesedihan keluarga
Anthonius dan menceritakan profil
Anthonius sebagai petugas bendara
yang menjadi korban gempa
2. Pencarian Korban Palu-
Donggala
30 September 2018 Pencarian korban yang dilakukan oleh
warga setempat
3. Duka Cita Keluarga Korban
Gempa dan Tsunami
30 September 2018 Mengekpose kesedihan keluarga
korban, hingga meliput suasana
kediaman keluarga korban
4. Bocah Mengadu Ke Jokowi 3 Oktober 2018 Memperlihatkan seorang anak kecil
yang mengeluh kepada presiden
5. 3 Hari Tertimpa Rumah 3 Oktober 2018 Menceritakan kondisi seorang lelaki
yang selamat setelah tertimpa rumah
selama 3 hari
6. Korban Gempa Palu Asal
Lamongan Dipulangkan
5 Oktober 2018 Isak tangis keluarga dan korban selamat
asal Lamongan yang merantau di Palu
7. Sekolah di Palu Masih Libur 8 Oktober 2018 Menceritakan beberapa siswa sekolah
dasar yang hendak ke sekolah, namun
33
gedung sekolah masih ditutup
8. Pengungsi Tidur di Kuburan 9 Oktober 2018 Menceritakan warga yang mengungsi di
pemakaman, akan tetapi setelahnya
reporter mewawancarai salah satu
pengungsi dengan mengekspose
kesedihan
9. Dunia Peduli Palu 9 Oktober 2018 Memberitakan trauma healing untuk
anak-anak yang menjadi korban gempa
Beberapa berita Liputan 6 SCTV pasca gempa
2.5 Komodifikasi Media
Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan oleh Karl Marx
sebagai “Ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata itu bisa
dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-
tujuan lain ( Syaiful Halim, 2013 : 45). Tidak dapat dipungkiri, jika tujuan media
dalam memberikan tayangan adalah semata-mata untuk meraup keuntungan. Media
massa merupakan bagian dari proses yang melihat perusahaan media memperoduksi
khalayak untuk diantarkan kepada pengiklan. Para perancang program di media
membuat program-program menarik untuk menarik minat khalayak (Syaiful Halim,
2013 : 52).
Persaingan program adalah mendapatkan jumlah penonton dalam setiap
penayangannya sangat penting. Semakin besar penonton yang didapatkan, peluang
mendapat rating semakin besar. Otomatis program tersebut dapat mendatangkan
34
pemasang iklan lebih banyak (Rusman dan Yusiatie, 2015 : 50). Dengan demikian,
media televisi saling berlomba untuk menarik perrhatian penonton agar menaikan
rating program acaranya. Salah satunya yaitu berita bencana yang digunakan sebagai
komoditas. Berita bencana sering didramatisir untuk menarik empati dari penonton.
Ditayangkan dengan isak tangis dari keluarga korban, pula gambar-gambar korban
yang diperlihatkan secara fulgar. Contoh nyatanya adalah pada pemberitaan tsunami
Aceh pada 24 Desember 2004 lalu dengan tsunami Jepang pada 2011 lalu yang dari
segi penayangan beritanya, sangat jauh berbeda. Pada tsunami Aceh, media indonesia
cenderung menjadikan bencana sebagai “sumber uang”, dalam artian menarik
penonton dengan mengumbar kesedihan. Sedangkan di Jepang, berita tsunami
diberitakan dengan angle yang berbeda, yaitu hanya memperlihatkan pantai dan
beberapa bangunan yang rusak saja. Bahkan, tidak ada pengambilan gambar korban
secara dekat apalagi fulgar. Tujuan dari televisi sendiri yaitu stasiun televisi sebagai
industri informasi dan teknologi, bertujuan memberikan informasi secara cepat, aktual,
akurat dan terpercaya kepada masyarakat (Rusman dan Yusiatie, 2015 : 63). Sehingga
masyarakat mudah percaya dan tersentuh oleh apa yang disampaikan media.
2.6 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang dijadikan acuan oleh peneliti dalam melakukan
penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Farhanah mahasiswi Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2007, yang telah dinyatakan lulus pada
tahun 2011 lalu. Skripsi tersebut berjudul “Jurnalisme Bencana Dalam Konstruksi Media
Massa”. Penelitian terdahulu fokus pada tafsiran jurnalisme bencana pada konstruksi TV
One Online dan Media Indonesia Online. Peneliti menggunakan data bencana tsunami
35
Mentawai yang terjadi pada 25 Oktober 2010 lalu, yang menewaskan 311 orang.
Sedangkan pada penelitian ini, peneliti berfokus pada prinsip yang dipraktikan jurnalisme
bencana dalam meliput bencana Palu pada 28 September 2018 lalu.
Penelitian terdahulu yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe
interpretatif ini menghasilkan kesimpulan yaitu TV One Online berusaha menampilkan
diri sebagai media yang berpihak kepada warga mentawai yang menjadi korban gempa
dan tsunami dengan selalu menyuarakan kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan korban.
Konstruksi seperti ini dilakukan untuk memperbaiki pandangan negatif masyarakat
terhadap pemilik TV One yang mempunyai track record kurang baik. Sedangkan Media
Online Indonesia selalu berusaha berimbang dan berhati-hati dalam menonjolkan suatu
bagian dalam teks beritanya dengan juga melakukan penyamaran pada bagian lain. Media
Indonesia yang memposisikan diri di luar peristiwa yang mencoba menengahi isi dengan
mengimbangi bagian negatif dalam peristiwa dengan bagian positif. Konstruksi
pemberitaan seperti ini dilakukan untuk mempertahankan kedibilitasnya di mata semua
lapisan masyarakat.
2.7 Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus pada bagaimana praktik jurnalisme bencana Liputan 6
SCTV dalam menerapkan prinsip jurnalsime bencana ketika meliput bencana Palu.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan key person sebagai informan kunci dalam
penelitian karena dianggap menguasai permasalahan dan bersedia memberikan
informasi yang lengkap kepada peneliti, serta peneliti juga akan meneliti dengan data
yaitu melihat video pemberitaan pasca bencana Palu oleh Liputan 6 SCTV dimulai
tanggal 29 September 2018 hingga 9 Oktober 2018.