BAB II PROFIL OPTIMISME MAHASISWA A. Hakikat …
Transcript of BAB II PROFIL OPTIMISME MAHASISWA A. Hakikat …
13
BAB II
PROFIL OPTIMISME MAHASISWA
A. Hakikat Optimisme
1. Definisi Optimisme
Optimisme menurut KBBI Kemendikbud [op.ti.mis.me] kata Nomina (kata
benda) merujuk pada paham (keyakinan) atas segala sesuatu dari segi yang baik
dan menyenangkan; sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal.
Sedangkan menurut kamus Thesaurus Merriam Webster adalah kecenderungan
untuk yakin pada hasil yang paling menguntungkan. Orang yang memiliki sikap
optimisme di sebut optimis yang di artikan orang yang selalu berpengharapan
(berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal.
Optimisme menurut ahli di definisikan sebagai ekpektasi individu terhadap
masa depan Synder.et al. (2002). Oleh karna nya optimisme adalah harapan
dimana berharap dalam situasi tertentu dan secara umum berupa harapan pada
segala sesuatu yang positif. Individu yang optimis adalah individu yang
mengharapkan hal-hal baik terjadi padanya di masa depan, sedangkan individu
yang pesimis cenderung berpikir hal-hal buruk yang terjadi padanya oleh Charles
dalam (Chang, Edward, 2001).
Dari konsep optimisme yang di bahas di atas dapat melihat kemungkinan
individu yang mengalami optimis atau pesimis. Ketika di hadapkan pada
hambatan individu yang optimis akan berusaha menyesuaikan segala sesuatu
untuk mencapai tujuan nya. sedangkan individu yang pesimis akan senantiasa
ragu dalam mencapai tujuan nya tersebut. Rasa optimis yang muncul dari dalam
diri seseorang ditunjukkan dengan adanya sikap selalu memiliki harapan baik
dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang
menyenangkan.
Penjelasan yang lebih luas mengenai optimisme (Seligman. 2006) optimis
adalah manusia yang terus menerus mempunyai harapan memiliki
pandangan/pengetahuan kebaikan beruntung dalam menghadapi suatu peristiwa di
dalam hidupnya, meyakini bahwa di dalam keadaan tidak menang hanya menjadi
buruk semata. Mereka juga meyakini bahwa didalam keadaan tidak menang
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
14
sebenarnya tidak disebabkan kesalahan nya melainkan suasana atau situasi yang
terjadi, kemalangan nasib atau orang lain bukan diri sendiri yang menjadikan nya
penyebab. Selain itu mereka juga tidak terkena pengaruh oleh keadaan tidak
menang, pada saat berbeda dalam peristiwa kemalangan, mereka meramalkan
menjadi hal atau objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan
mengatasi masalah dan melakukan sesuatu usaha lebih gigih lagi sungguh-
sungguh.
Seligman. (2006) optimisme adalah yang di pakai untuk mencapai maksud
menolong seseorang memperoleh/mendapat sesuatu dengan usaha yang
dituju/dimaksud yang sudah ditentukan untuk diri dari yang bersangkutan.
Adapun upaya untuk memunculkan optimisme dalam diri individu di kenal
dengan explanatory style/gaya penjelasan. Gaya penjelasan adalah jalan
melakukan sesuatu dimana seseorang sudah biasa menerangkan terhadap diri dari
yang bersangkutan tentang sebab alasan pada suatu kejadian yang telah terjadi
Seligman. (2006). Kebiasaan berpikir tersebut sudah di pelajari oleh individu
semenjak masa kanak-kanak dan remaja.
Cara kebiasaan individu dalam menjelasakan kejadian-kejadian buruk, gaya
penjelasan individu, lebih dari sekedar kata-kata yang keluar dari mulutnya saat
individu gagal. Itu merupakan suatu kebiasaan dari pikiran, dipelajari saat masa
kanak-kanak dan remaja. Gaya penjelasan individu dirangkai langsung dari
pandangan nya terhadap posisinya di dunia ini-apakah individu berpikir dia
berharga dan dapat diterima, atau tidak berharga dan tak punya harapan. Itu
adalah suatu tanda apakah individu orang yang optimis atau bukan Seligman.
(2008).
Teori gaya eksplanasi juga menggunakan optimisme dan pesimisme
membangun berkaitan dengan bagaimana orang menghubungkan atau
menjelaskan penyebab kejadian pada diri mereka sendiri oleh Seligman (Boman
& Curtis D, 2003). Mereka yang memiliki gaya eksplanatoris simistik lebih
cenderung menggunakan permanen ('selalu terjadi seperti ini') dan meresap ('itu
mempengaruhi setiap-hal yang saya lakukan') dimensi atribusi kausal ketika
dihadapkan dengan kesulitan, kemunduran, atau keadaan stres. Individu dengan
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
15
gaya penjelas yang optimis lebih cenderung untuk memahami set-kembali sebagai
hanya sementara dan terbatas pada insiden tunggal.
Dari penjelasan ketiga konsep mengenai optimisme tersebut, adapun dalam
penelitian ini, konsep optimisme adalah kecenderungan seseorang dalam
meyakini atau harapan akan hasil baik dalam mencapai tujuan nya yang kemudian
mendorongnya untuk memberikan penjelasan positif akan berbagai peristiwa.
2. Sejarah Perkembangan Kajian Optimisme
Teori mengenai optimisme beranjak dari teori pengendalian diri yang
memperkenalkan dua konsep utama pertama learned hopelessness/pembelajaran
ketidakberdayaan dan explanatory style/gaya penjelasan keduanya saling
berhubungan Seligman. (2008:19). Pembelajaran ketidakberdayaan hingga gaya
penjelasan yang muncul pertama kali dijelaskan oleh psychologist yang
mempelajari pembelajaran hewan Seligman (Synder.et al .2002). Peneliti
melumpuhkan seekor anjing dan memaparkannya pada serangkaian kejutan listrik
yang bisa dihindari atau dihindarkan. Dua puluh empat jam kemudian, anjing itu
ditempatkan dalam situasi di mana sengatan listrik dapat diakhiri dengan respons
sederhana. Namun, anjing itu tidak merespons, dan hanya duduk, dengan pasif
menahan goncangan. Perilaku ini sangat kontras dengan anjing dalam kelompok
kontrol, yang bereaksi keras terhadap guncangan dan dengan mudah belajar
mematikannya. Penyelidik ini mengusulkan bahwa anjing telah belajar untuk
menjadi tidak berdaya: Ketika awalnya terkena kejutan yang tidak terkendali, ia
belajar bahwa tidak ada yang penting bagi mereka Maier & Seligman (Synder.et
al .2002).
Keterkaitan dengan manusia baru di pelajari mengenai ketidakberdayaan
manusia dimana diproduksi di laboratorium sama seperti pada hewan, dengan
memaparkan mereka pada peristiwa yang tak terkendali dan mengamati efeknya.
Masalah yang tidak dapat diselesaikan biasanya diganti dengan kejutan listrik
yang tidak dapat dikendalikan, tetapi aspek-aspek kritis dari fenomena tersebut
tetap ada: Mengikuti ketidakcocokan-keteraturan, orang menunjukkan berbagai
defisit Mikulincer (Synder.et al .2002). Adapun kesamaan lebih lanjut antara
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
16
fenomena hewan dan apa yang diproduksi di laboratorium manusia. Peristiwa
buruk yang tak terkendali membuat kecemasan dan depresi lebih mungkin terjadi
Secara umum, orang berbeda dari hewan dalam kecanggihan kita dalam memberi
makna pada peristiwa. Seperti ditangkap oleh model ketidakberdayaan yang
dipelajari, hewan tentu saja dapat belajar bahwa mereka memiliki atau tidak
memiliki kendali atas peristiwa. Tetapi orang-orang melakukan jauh lebih banyak
sehubungan dengan pembuatan makna. Orang-orang dapat menafsirkan peristiwa
dengan cara yang jauh melampaui kendali literal mereka Synder,et al. (2002).
Temuan teori ketidakberdayaaan yang telah di sampaikan di rumuskan
kembali dalam upaya menyelesaikan permasalahan-permasalahan Synder,et al.
(2002) merumuskan kembali model ketidakberdayaan yang diterapkan pada
orang-orang dengan menggabungkannya dengan teori atribusi Kelley (Synder,et
al. 2002) menjelaskan temuan yang bertentangan dengan mengusulkan bahwa
orang bertanya pada diri sendiri mengapa peristiwa (buruk) yang tak terkendali
terjadi. Sifat jawaban orang tersebut kemudian menetapkan parameter untuk
ketidakberdayaan berikutnya. Jika atribusi kausal stabil ("itu akan bertahan
selamanya"), maka ketidakberdayaan yang diinduksi adalah tahan lama; jika tidak
stabil, maka bersifat sementara. Jika atribusi kausal bersifat global ("itu akan
merusak segalanya"), maka ketidakberdayaan berikutnya termanifestasi dalam
berbagai situasi; jika khusus, maka itu juga dibatasi. Akhirnya, jika atribusi kausal
adalah internal ("itu semua salahku"), harga diri seseorang turun setelah tidak
terkendali; jika eksternal, harga diri dibiarkan utuh.
Situasi itu sendiri memberikan penjelasan yang dibuat oleh orang tersebut,
dan literatur psikologi sosial yang luas tentang perhatian kausal
mendokumentasikan banyak pengaruh situasional pada prosesnya (Synder,et al
.2002). Dalam kasus lain, orang tersebut bergantung pada cara kebiasaannya
untuk memahami peristiwa yang terjadi, apa yang disebut gaya
penjelas seseorang . Orang-orang cenderung menawarkan penjelasan serupa untuk
peristiwa buruk atau baik yang berbeda. Oleh karena itu, gaya penjelasan
merupakan pengaruh distal, walaupun penting, pada ketidakberdayaan dan
kegagalan adaptasi yang melibatkan ketidakberdayaan. Gaya penjelasan yang
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
17
ditandai dengan penjelasan internal, stabil, dan global untuk peristiwa buruk telah
digambarkan sebagai pesimistis , dan gaya yang berlawanan, ditandai dengan
penjelasan eksternal, tidak berubah, dan spesifik untuk peristiwa buruk, telah
digambarkan sebagai optimis oleh Buchanan (Synder,et al .2002).
Menurut reformulasi atribusi, gaya penjelasan bukan merupakan penyebab
masalah melainkan faktor risiko disposisi. Mengingat kejadian yang tidak dapat
dikendalikan dan kurangnya permintaan situasi yang jelas pada atribusi yang
disodorkan untuk tidak terkendali, gaya penjelasan harus memengaruhi
bagaimana orang tersebut merespons. Ketidakberdayaan akan cenderung tahan
lama atau sementara, menyebar luas atau terbatas, merusak harga diri atau tidak,
semua sesuai dengan gaya penjelas individu. Gaya penjelasan yang optimis
menghentikan ketidakberdayaan, sedangkan gaya penjelasan pesimis menyebar
luaskan ketidakberdayaan Seligman. (2008 : 19).
Selama bertahun-tahun, sejumlah besar penelitian dan teori telah memusatkan
perhatian pada cara-cara orang untuk menghadapi kesulitan di dalam kehidupan
sehari-hari. Sejumlah kesulitan penelitian tersebut menunjukan bahwa optimisme
memiliki implikasi bagi cara-cara orang menghadapi berbagai tekanan hidup.
kemungkinan di peroleh dari pertimbangan model teoritis mengenai behavior self-
regulation. Teori ini berasumsi bahwa harapan akan hasil yang sukses
menyebabkan orang memperbarui usaha mereka untuk mencapai tujuan jika dan
ketika terjadi gangguan pada aktifitas yang mengarah pada tujuannya.
Pendekatan ilmiah mengenai optimisme berdasarkan pada ekspektasi
terhadap masa yang akan datang Carver & Scheier, (2005). Teori optimisme
didasarkan pada teori motivasi mengenai expectancy-value Carver & Scheier,
(2009). Asumsi dasar dari teori expectancy-value adalah bahwa tingkah laku
diorganisir sesuai dengan pencapaian tujuan Carver & Scheier, (2005). Dua
elemen utamanya tujuan (goal) dan ekspektasi. Tujuan adalah tindakan atau nilai
yang individu liat sebagai sesuatu yang di inginkan (desirable) atau tidak di
inginkan (undesirable). Individu akan mencoba mencocokan perilaku,
mencocokan dengan diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka inginkan, dan
mereka akan mencoba menghindari yang tidak mereka inginkan. Tanpa memiliki
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
18
suatu tujuan yang berarti, individu tidak memiliki alasan untuk bertindak Carver
& Scheier, (2005). Konsep utama lainnya adalah expectancies yaitu perasaan
percaya diri atau ragu-ragu mengenai kemampuan meraih tujuan. Ketika individu
ragu bahwa tujuan bisa di capai, usaha dalam mencapai tujuan tersebut dapat
menurun bahkan sebelum usaha itu dimulai Carver & Scheier, (2009).
3. Dimensi Optimisme
Berdasarkan literatur adapun dimensi optimisme yaitu : Permanen, Pervasif,
personal Seligman. (2008 : 59).
a. Permanensi, orang-orang yang menyerah dengan mudah mempercayai
penyebab-penyebab dari banyaknya kejadian buruk yang terjadi pada mereka.
Kejadian-kejadian buruk itu akan tetap berlangsung, akan selalu ada
mempengaruhi kehidupan mereka. Orang-orang yang melawan
ketidakberdayaan percaya bahwa penyebab-penyebab dari banyak kejadian
buruk hanya bersifat sementara.
Tabel 2.1
Gaya penjelasan optimisme dan pesimisme dalam mempercayai kejadian
buruk
(Seligman. 2008 : 60)
Permanensi (Pesimisme) Sementara (Optimisme)
“Saya tidak berguna” “Saya sangat lelah”
“Diet tidak akan pernah berhasil” “Diet tidak akan berguna jika anda
makan telalu banyak”
“Anda selalu marah” “Anda marah ketika saya tidak
memberikan ruangan ku”
“Atasanku brengsek” “Suasana hati atasanku sedang buruk”
“Anda tidak pernahbicara padaku” “Anda belum bicara padaku
belakangan ini”
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
19
Jika individu memikirkan hal-hal buruk dengan kata selalu dan tidak pernah
dan karakter tetap yang anda punya secara permanensi, individu punya gaya
pesimisme. Jika individu berpikir dengan kata kadang-kadang dan belakangan ini,
jika individu menggunakan sifat dan menyalahkan kejadian-kejadian buruk pada
kondisi-kondisi sementara, individu punya gaya optimisme.
Gaya optimis dari penjelasan kejadian-kejadian baik merupakan lawan dari
gaya optimis dari penjelasan kejadian-kejadian buruk. Orang-orang yang percaya
bahwa kejadian-kejadian baik mempunyai penyebab pemanensi bersifat lebih
optimis dari pada orang-orang yang percaya bahwa mereka mempunyai penyebab
yang sementara.
Tabel 2.2
Gaya penjelasan optimisme dan pesimisme dalam mempercayai kejadian
baik
(Seligman. 2008 : 62)
Sementara (pesimisme) Permanensi (optimisme)
“ini adalah hari keberuntunganku” “Saya selalu beruntung”
“Saya berusaha keras” “Saya berbakat”
“Lawanku kelelahan” “Lawanku tidak bagus”
b. Pervasivenes, Spesifik lawan Universal
Pemanensi berbicara tentang waktu. Pervasivenes berbicara tentang ruang.
Sebagian orang menyimpan permasalahan nya dengan rapih dalam sebuah
kotak dan menjalani kehidupan, sedangkan orang lain menderita atas segala
sesuatu. Mereka seperti tertimpa bencana besar. Jika satu hal dalam hidupnya
hancur, seluruh kehidupan nya kacau. Hal itu terjadi pada orang-orang yang
membuat penjelasan-penjelasan universal untuk kegagalan mereka dan
menyerah pada segala hal saat satu kegagalan menyerah pada satu daerah.
Orang yang membuat penjelasan-penjelasan yang spesifik yang mungkin
terjadi, kapan mereka menjadi orang yang tak berdaya di dalam hidup mereka
kapan mereka masih kuat pada bagian kehidupan yang lain.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
20
Tabel 2.3
Penjelasan universal dan spesifik dari kejadian-kejadian buruk
(Seligman. 2008 : 64)
Universal (Pesimis) Spesifik (Optimis)
“Semua guru itu tidak adil” “Profesor seligman itu tidak adil”
“Saya menjijikan” “Saya jijik padanya”
“Buku-buku tidaklah berguna” “Saya jijik padanya”
Ada tiga prediksi untuk mengetahui siapa yang menyerah dan siapa yang
tidak yang pertama adalah bahwa dimensi parmanensi menentukan berapa lama
seseorang akan menyerah. Penjelasan-penjelasan permanensi untuk kejadian-
kejadian buruk menciptakan ketidakberdayaan yang bertahan lama dan
penjelasan-penjelasan sementara menciptakan kegembiraan. Prediksi kedua
adalah tentang penyerapan. Penjelasan-penjelasan universal menciptakan
ketidakberdayaan pada berbagai situasi dan penjelasan-penjelasan yang spesifik
hanya menciptakan ketidakberdayaan pada daerah yang tertimpa masalah saja.
Gaya penjelasan optimism untuk kejadian-kejadian yang baik bertentangan
dengan gaya penjelasan optimis untu kejadian-kejadian buruk. Orang yang opimis
percaya bahwa kejadian-kejadian buruk memiliki penyebab-penyebab yang
spesifik, sedangkan kejadian-kejadian baik akan memperbaiki segala sesuatu yang
di kerjakan; orang pesimis percaya bahwa kejadian-kejadian buruk memiliki
penyebab-penyebab yang universal dan kejadian-kejadian baik di sebabkan oleh
faktor-faktor yang spesifik.
Tabel 2.4
Gaya penjelasan universal dan spesifik dari kejadian-kejadian baik
(Seligman. 2008 : 65)
Spesifik (pesimis) Universal (optimis)
“Saya pintar dalam matematika” “Saya pintar”
“Pialang sahamku mengetahui
persediaan minyak”
“Pialang sahamku mengetahui Wall
Street”
“Saya menarik baginya” “Saya menarik”
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
21
c. Personal, Internal Lawan Ekternal
Saat hal buruk terjadi, kita bisa menyalahkan diri kita sendiri (internal) atau
menyalahkan orang lain atau keadaan (eksternal). Orang-orang yang
menyalahkan dirinya sendiri saat mereka gagal membuat rasa penghargaan
terhadap diri mereka sendiri menjadi rendah. Mereka pikir mereka tidak
berguna, tidak mempunyai kemampuan, dan tidak di cintai. Orang-orang
yang menyalahkan kejadian-kejadian eksternal tidak kehilangan rasa
penghargaan terhadap dirinya sendiri saat kejadian-kejadian buruk menimpa
mereka.
Tabel 2.5
Gaya penjelasan internal dan eksternal dari kejadian buruk
(Seligman. 2008 : 68)
Internal ( penghargaan diri yang
rendah)
Eksternal (Penghargaan diri yang
tinggi)
“Saya bodoh” “Anda bodoh”
“Saya tidak mempunyai bakat bermain
poker”
“Saya tidak beruntung bermain poker”
“Saya tidak aman” “Saya tumbuh dalam kemiskinan”
Ketiga gaya penjelasan, personalisasi hal yang paling mudah di pahami, di
tiru serta, mudah untuk di tingkatkan. Personalisasi hanya mengengendalikan
bagaimana perasaanmu terhadap dirimu sendiri. hal itu bisa di praktekan untuk
membicarakan permasalahan individu dalam cara ekternal. Akan mudah di
lakukan dengan pura-pura menyalahkan permasalahan mu terhadap orang lain.
Dari uraian di atas dapat di ketahui mengenai tiga aspek utama optimisme
Individu meyakini bahwa permasalahan yang dia hadapi bersifat sementara,
individu memiliki perspektif khusus menanggapi suatu permasalahan yang di
anggap gagal dan tetap memaksimalakan hal-hal yang dapat di tingkatkan,
terakhir individu dapat mengidentifikasi permasalahhan nya muncul dari luar atau
dalam diri.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
22
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Optimisme
Peterson & Tracy. (2002) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
optimisme.
a. Genetika
Gaya penjelasan dipengaruhi oleh genetika. Gen mungkin secara tidak langsung
bertanggung jawab atas kecocokan gaya penjelas di antara kembar
monozigot. Sebagai contoh, gen mempengaruhi atribut seperti kecerdasan dan
daya tarik fisik, yang pada gilirannya menyebabkan hasil yang lebih positif (dan
lebih sedikit negatif) di lingkungan, yang pada gilirannya dapat mendorong gaya
penjelasan yang lebih optimistik.
b. Orang tua
Para peneliti telah mengeksplorasi hubungan antara gaya penjelasan orang tua dan
anaknya. peneliti berasumsi bahwa gaya penjelasan anak-anak dapat dipengaruhi
oleh orang tua mereka melalui pemodelan sederhana. Anak-anak kemungkinan
besar meniru orang-orang yang mereka anggap kuat dan kompeten, dan
kebanyakan orang tua. Anak-anak terbiasa dengan cara di mana orang tua mereka
menafsirkan dunia, dan oleh karena itu mereka cenderung untuk menafsirkan
lingkungan mereka dengan cara yang sama. Jika, misalnya, anak-anak berulang
kali mendengar orang tua mereka memberikan penjelasan internal, stabil, dan
global untuk peristiwa negatif, mereka cenderung mengadopsi interpretasi
pesimistis ini untuk diri mereka sendiri.
c. Guru
Ketika guru memberikan umpan balik tentang kinerja anak-anak, komentar
mereka dapat memengaruhi atribusi anak-anak tentang keberhasilan dan
kegagalan mereka di kelas. Berdasarkan temuan Mueller (Peterson & Tracy.
2002) menunjukkan bahwa bahkan pujian dapat merugikan anak-anak ketika
difokuskan pada suatu sifat yang dianggap telah diperbaiki. Dalam penelitian
mereka, anak-anak yang dipuji karena kecerdasan mereka menunjukkan lebih
banyak karakteristik ketidakberdayaan dalam menanggapi kesulitan atau
kegagalan daripada anak-anak yang dipuji karena upaya mereka. Apakah
memberikan umpan balik positif atau negatif, penjelasan kebiasaan guru untuk
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
23
kinerja anak-anak dapat berpengaruh dan mungkin memiliki dampak penting pada
pengembangan gaya penjelas mereka Dweck (Peterson & Tracy. 2002).
d. Media
Bahkan ketika menonton televisi menghasilkan perasaan yang sangat positif,
ketidakberdayaan dapat terjadi ketika pemirsa belajar untuk mengharapkan hasil
yang tidak terkait dengan perilaku Hearn (Peterson & Tracy. 2002). Meskipun
orang-orang dari segala usia menonton televisi, kaum muda mungkin sangat
rentan terhadap pengaruhnya. Menurut sebuah penelitian baru-baru ini, anak-anak
di bawah usia 11 tahun menonton rata-rata 22 jam televisi per minggu Nielsen
(Peterson & Tracy. 2002). Menjadi perhatian khusus adalah paparan anak-anak
terhadap adegan kekerasan yang disiarkan televisi. Dari perspektif gaya penjelas,
masalah ini bukanlah kekerasan yang disiarkan televisi tetapi bagaimana
penyebabnya digambarkan.
e. Trauma
Trauma juga memengaruhi gaya penjelas anak-anak. Peterson & Tracy. (2002)
menemukan mahasiswa yang dilaporkan mengalami trauma yang signifikan
(misalnya, kematian orang tua, pemerkosaan, inses) di beberapa titik di masa kecil
atau remaja mereka saat ini memiliki gaya penjelas yang lebih pesimistis daripada
siswa yang tidak pernah mengalami trauma. Lebih khusus ditambahkan Gold
dalam Peterson & Tracy. (2002) menemukan bahwa wanita yang telah menjadi
korban seksual selama masa kanak-kanak dan remaja mereka lebih cenderung
memiliki gaya penjelas yang pesimistis daripada wanita yang tidak pernah
menjadi korban seksual. Selanjunya bahkan perceraian orang tua, yang umum
dalam masyarakat modern kita, menempatkan anak-anak pada risiko yang lebih
besar untuk mengembangkan gaya penjelas pesimistis Seligman dalam Peterson
& Tracy. (2002).
Adapun beberapa litelatur lain mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
optimisme sebagai berikut.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
24
a. Pengalaman
Pengalaman yang dapat turut memengaruhi individu tidak hanya pengalaman
pribadinya, melainkan juga pengalaman orang- orang di sekitar individu juga turut
memengaruhi individu Thomason & Thames, (2000).
b. Keyakinan Diri
Ketika seseorang memiliki keyakinan diri yang tinggi, mereka agaknya percaya
bahwa usaha yang mereka lakukan atau kemampuan diri yang mereka miliki akan
dapat menentukan hasil yang di dapatkan Scheier & Carver, (2003). Seseorang
yang pesimis dapat merubah menjadi optimis karena mereka percaya bahwa
mereka memiliki kemampuan atau talenta yang besar, karena mereka pekerja
keras, diberkahi keberuntungan, memiliki teman dimana saja mereka
membutuhkan atau kombinasi dari beberapa faktor lain yang membuat mereka
mendapatkan hasil yang baik Murpy dalam Scheier & Carver, (2003).
c. Self esteem
Scheier et al. (1994) menemukan bahwa individu dengan self esteem tinggi lebih
optimis dari pada individu dengan self esteem yang rendah.
d. Dukungan Sosial
Penelitian yang di lakukan oleh Marcelly (Hikmanurina, 2012) menemukan
bahwa adanya hubungan antara dukungan sosial dan optimisme pada penderita
penyakit kanker. Adapun dukungan sosial yang dimagsud disini dukungan sosial
keluarga.
5. Karakteristik Individu yang Memiliki Kemampuan Optimisme
Seligman. (2008 : 5) mengatakan bahwa orang yang optimis percaya bahwa
kegagalan hanyalah suatu kemunduran yang bersifat sementara dan penyebabnya
pun terbatas, mereka juga peraya bahwa hal tersebut muncul bukan diakibatkan
oleh faktor dari dalam dirinya, melainkan diakibatkan oleh faktor luar. Adapun
karakteristik individu memiliki optimisme :
a. Seseorang yang memiliki optimisme tinggi memandang kemunduran dalam
hidup sebagai suatu garis datar sementara dalam sebuah grafik. Memiliki
pemikiran terbuka bahwa masa-masa sulit tidak berlangsung dalam waktu
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
25
yang lama, namun hanya bersifat sementara dan memiliki keyakinan bahwa
situasi pasti akan kembali membaik. Pada dasarnya memandang kesulitan
dalam suatu proses sebagai kesuksesan yang tertunda, bukan sebagai
kekalahan yang bersifat menetap.
b. Seseorang yang memiliki optimisme tinggi cenderung memandang suatu
kemalangan dalam hidup sebagai masalah yang situasional dan spesifik,
bukan sebagai wujud petaka yang tidak dapat ditolak dan akan berlangsung
dalam waktu lama.
c. Seseorang yang memiliki optimisme tinggi tidak akan beranggapan bahwa
suatu kesalahan diakibatkan oleh dirinya sendiri.
6. Manfaat Optimisme
Seligman. (2008:20) mengemukakan optimisme bukanlah suatu panacea
(tumbuhan obat), tapi optimisme dapat melindungi dari depresi, meningkatkan
pencapaian seseorang, dan dapat memperbaiki kesehatan fisik. Selain itu optimis
dalam jangka panjang juga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kesehatan fisik dan
mental, karena membuat individu lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan
sosial, mengurangi masalah-masalah psikologis dan lebih dapat menikmati
kepuasan hidup serta merasa bahagia Scheier. et al (Kusuma, 2018). Hal tersebut
ditambahkan Segerstrom. et al, (1998) berdasarkan risetnya menemukan tiga
fungsi utama optimisme :
a. Mood, optimisme dapat mengurangi mood negative yang dapat merubah imun
ketika stress.
b. Coping, dispositional optimism dapat menghindari penggunaan coping
menghindar, pasif, dan menyerah, yang berhubungan dengan memberikannya
status imun dan kesehatan.
c. Perilaku sehat, optimisme dapat meningkatkan fungsi adaptif pada perilaku
sehat.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
26
Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan dimana optimisme
memberikan dampak dan manfaat yang baik dalam diri seperti kesejahteraan fisik
dan mental, hal tersebut akan mengurangi beban psikologi yang sedang dihadapi
yang menyebabkan kebahagiaan tersendiri pada diri.
7. Pengukuran Optimisme
Life Orientation Test (LOT) Scheier & Carver, (1985) dan versi revisi (LOT-
R) untuk mengukur optimisme disposisi Scheier, et al. (1994). Pengukuran yang
disebut Life Orientation Test, atau LOT, untuk menilai perbedaan antara orang
dalam optimisme dan pesimisme (Synder,et al .2002). Pengembangan pengukuran
sekarang menggunakan formulir yang lebih singkat (enam item berkode), disebut
Life Orientation Test-Revised, atau LOT-R oleh (Scheier,et al. 1994). LOT-R
memiliki konsistensi internal yang baik dan relatif stabil seiring berjalannya
waktu. Karena item yang luas tumpang tindih antara skala asli dan skala revisi,
korelasi antara dua skala sangat tinggi (Scheier, et al. 1994). Baik LOT dan LOT-
R menyediakan distribusi skor secara terus menerus.
Gaya penjelasan biasanya diukur dengan kuesioner laporan diri yang disebut
AQS (Attribu-tional Style Questionnaire). Dalam ASQ, responden disajikan
dengan peristiwa hipotetis yang melibatkan diri mereka sendiri dan kemudian
diminta untuk memberikan "satu penyebab utama" dari setiap peristiwa jika itu
terjadi oleh Peterson. et al dalam (Synder,et al .2002). Re-spondents kemudian
menilai penyebab yang disediakan ini di sepanjang dimensi internalitas, stabilitas,
dan globalitas. Peringkat digabungkan, memisahkan mereka untuk acara buruk
dan untuk acara bagus. Gaya penjelasan berdasarkan kejadian buruk biasanya
memiliki korelasi yang lebih kuat daripada gaya penjelasan berdasarkan kejadian
bagus, meskipun korelasi biasanya berlawanan arah.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
27
B. Optimisme di Kalangan Mahasiswa Tingkat Akhir
Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu
ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk
perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut
dan universitas Hartaji, (2012:5). Seorang mahasiswa dalam perguruan tinggi
dituntut untuk segera mungkin menyelesaikan masa studinya. Pada umumnya di
akhir masa studi, seorang mahasiswa di beri tugas akhir atau di sebut skripsi.
Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang sedang dalam proses
mengerjakan tugas akhir atau skripsi. Pada jenjang ini mahasiswa di tuntut harus
memiliki cara pandang yang baik, jiwa, kepribadian serta mental yang sehat dan
kuat. Hal ini sejalan dengan penelitian Kholidah, (2012:67) yang menyatakan
bahwa selayaknya pula seorang mahasiswa mampu menguasai permasalahan
sesulit apapun, mempunyai cara berpikir positif terhadap dirinya, orang lain,
mampu mengatasi hambatan maupun tantangan yang di hadapi dan tentunya
pantang menyerah pada keadaan yang ada.
Ragam fenomena yang muncul dikalangang mahasiswa tingkat akhir seperti
seperti malas, motivasi rendah, mudah menyerah dan putus asa, sulit bertemu
dengan dosen pembimbing, feed back yang kurang, tekanan dari keluarga,
kesulitan mencari referensi, mengembangkan teori, perbedaan persepsi antar
pembimbing, masalah kesehatan, stress, depresi, dan prokrastinasi. Kendala-
kendala dalam menyusun skripsi membuat mahasiswa memandang skripsi sebagai
hal yang berat dilakukan dan tidak menyenangkan.
Penelitian Lay, (1992:483) menjelaskan bahwa individu dengan optimisme
rendah merupakan salah satu ciri dari prokrastinator. Hal tersebut disebabkan
individu optimisme rendah lebih ragu-ragu terhadap masa depan dan cenderung
melakukan prokrastinasi seperti perilaku menghindar, menyangkal, dan melarikan
diri. Oleh karnanya individu yang memiliki optimisme tinggi menganggap
penunda-nundaan sebagai suatu penyimpangan yang dapat diatasi dengan mudah
melalui perubahan perilaku, pemikiran (kognitif), dan motivasi Prawitasari,
(2012). Pendapat lain dalam penelitian Ningrum, (2011) mengemukakan bahwa
mahasiswa yang optimisme dalam menyusun skripsi akan menghentikan segala
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
28
pemikiran negatif dan yakin dengan kemampuan yang dimiliki untuk dapat
menyelesaikan skripsi.
Mahasiswa berada pada fase memasuki masa dewasa yang pada umumnya
berada pada rentang usia 18-25 tahun, pada masa tersebut mahasiswa memiliki
tanggung jawab terhadap masa perkembangannya, termasuk tanggung jawab
terhadap kehidupannya untuk memasuki masa dewasa Hulukati & Moh. Rizki,
(2018:1). Senada degan pendapat ahli Hurlock, (2012:246) menetapkan usia
dewasa dini di mulai pada umu 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Dalam
psikologi perkembangan usia tersebut merupakan masa peralihan, yaitu individu
berada di masa perkembangan remaja akhir dan menuju tahapan berikutnya masa
perkembangan dewasa awal.
Pada tahap dewasa dini, individu mulai membentuk kemandirian dalam hal
personal dan ekonomi. Melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi atau
akademi, mengembangkan karir, serta membentuk hubungan sosial secara
kelompok maupun yang mengarah pada perkawinan adalah tugas perkembangan
yang menonjol pada tahap ini.
Menurut Keating dalam (Hendriati,2009) individu pada masa ini kemampuan
berpikirnya telah memiliki kemampuan yang lebih baik dari anak dalam berfikir
mengenai situasi secara hipotetis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi
akan terjadi. Sejalan dengan pendapat Clarke. (1987) mengemukakan bahwa
perubahan kognitif yang terjadi pada mahasiswa yaitu emosional dari orang tua
dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.
Sebagaimana mengacu dari tugas perkembangan mahasiswa termasuk dalam
kategori otonom, yakni memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan,
cenderung bersifat realistic dan objectif terhadap kemauan orang lain, ada
keberanian untuk menyelesaikan konflik internal, respek terhadap kemandirian
orang lain, dll.
Karakteristik individu yang memiliki optimisme menurut Zimbardo & Boyd
(Peterson, 2004:577) dalam penelitian nya menunjukan orang yang tinggi dalam
karakter ini semua kegiatan yang dilakukan menyiratkan orientasi ke masa depan.
Selain itu ketika mengalami kegagalan cenderung menyikapinya dengan respon
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
29
yang aktif, tidak putus asa, merencanakan suatu tindakan atau mencari
pertolongan dan nasihat, orang yang optimis akan menganggap kegagalan
disebabkan oleh sesuatu hal yang dapat dirubah sehingga mereka dapat berhasil
dimasa-masa yang akan datang Seligman (Kurniawan, et al. 2014).
Penelitian Singh & Ajeya, (2013:228) yang menyimpulkan bahwa
meningkatkan optimisme di kalangan mahasiswa dapat membantu mereka dalam
mengurangi kecemasan dengan demikian meningkatkan kinerja akademis mereka,
karena optimisme adalah hipotesis untuk mengurangi kecemasan dan
meningkatkan prestasi akademik.
C. Optimisme dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling
Pelayanan Bimbingan dan konseling (Bk) di perguruan tinggi negeri sangat di
butuhkan hal ini melihat dari banyaknya problema yang di hadapi oleh mahasiswa
dalam perkembangan studinya, dimana belajar di perguruan tinggi memiliki
karakteristik yang berbeda dengan belajar di sekolah lanjutan. Karakteristik dari
studi di peguruan tinggi adalah kemandirian, baik dalam pelaksanaan kegiatan
belajar dan pemilihan program studi maupun dalam pegelolaan dirinya sebagai
mahasiswa. Hal ini sependapat dengan Nurihsan dalam (Zamroni, 2018) bahwa
penerapan konseling pada perguruan tinggi hendaknya menyadari dan
mempertimbangkan karakteristik khusus perkembangan mahasiswa dan tuntutan
akademik yang menekankan pada kemandirian dalam mengerjakan berbagai tugas
perkuliahan.
Selain itu dalam menentukan sasaran layanan bimbingan dan konseling agar
tepat guna dalam pelaksanaan nya, maka layanan bimbingan dan konseling perlu
dilaksanakan secara terencana dan berbasis pada data serta karakterisktik
kebutuhan konseli. Sebagaimana yang terdapat pada Permendikbud nomber 111
tahun 2014 Pasal 1, menjelaskan mengenai bimbingan dan konseling adalah
upaya sistemastis, objektif, logis, dan berkelanjutan secara terprogram yang
dilakukan oleh konselor dan guru bimbingan dan konseling untuk memfasilitasi
perkembangan peserta didik/konseli untuk mencapai kemandirian dalam
kehidupannya.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
30
Mahasiswa berada pada fase memasuki masa dewasa yang pada umumnya
berada pada rentang usia 18-25 tahun, pada masa tersebut mahasiswa memiliki
tanggung jawab terhadap masa perkembangannya, termasuk tanggung jawab
terhadap kehidupannya untuk memasuki masa dewasa Hulukati & Moh. Rizki,
(2018:1). Sebagaimana mengacu dari tugas perkembangan mahasiswa termasuk
dalam kategori otonom, yakni memiliki pandangan hidup sebagai suatu
keseluruhan, cenderung bersifat realistic dan objectif terhadap kemauan orang
lain, ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal, respek terhadap
kemandirian orang lain, dll. Individu pada masa ini kemampuan berpikirnya telah
memiliki kemampuan yang lebih baik dari anak dalam berfikir mengenai situasi
secara hipotetis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi akan terjadi
Keating dalam (Hendriati, 2009). Oleh karnanya perlu ada pengembangan berupa
pola keyakinan positif guna pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang
menyelesaikan skripsi salah satunya dengan memiliki optimisme.
Di lihat dari sudut pandang beberapa ahli mengenai optimisme. Menurut
pendapat Scheier, et al. (1985) berpendapat optimisme sikap harapan akan adanya
kemunculan hasil yang baik dalam kehidupan. Oleh karna nya optimisme
mempercayai bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang positif.
konsep lebih luas mengenai optimisme menurut Seligman (2006) Optimisme
dapat dilihat dari kebiasaan explanatory style atau gaya penjelasan berdasarkan
kejadian atau pengalaman yang dialami. Pengalaman yang di alami terbentuk dari
cara menerangkan kepada dirinya sendiri tentang alasan mengapa peristiwa itu
terjadi. Dapat di maknai optimisme sebagai cara seseorang yang sudah terbiasa
menerangkan terhadap diri tentang sebab atau alasan pada suatu peristiwa yang
terjadi. Peristiwa yang dimagsud bisa bersifat baik ataupun buruk.
Optimisme dalam diri individu dapat di pelajari atau di kembangkan dengan
tujuan mampu memiliki konsep diri lebih positif dan menumbuhkan potensi yang
dimiliki. Awal munculnya perubahan pada individu berfokus pada pikiran. Oleh
karna itu perlu adanya upaya merestruktur kongnitif untuk memperbaiki proses
berpikir dalam individu guna menjadi jalan munculnya optimis dalam
menginterpretasikan suatu situasi. Reskruktur kongnitif menggunakan teknik
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
31
perubahan keyakinan irrasional menjadi keyakinan rasional berdasarkan teori Ellis
(Seligman, 2006) yang menyatakan bahwa keyakinan akan mempengaruhi
perasaan dan perasaan mempengaruhi perilaku seseorang yang akan menghasilkan
konsekuensi tertentu.
Explanatory style atau gaya penjelasan merupakan inti dari berpikir optimis,
sehingga perubahan Explanatory style dilakukan dengan memberikan latihan
berpikir optimis model ABCDE. Berpikir optimis Seligman, (2006) adalah cara
pandang individu yang memiliki harapan bahwa peristiwa buruk yang terjadi
dalam kehidupan bersifat sementara dan meyakini kemampuannya untuk
mengatasi.
Model ABCDE adalah cara yang dilakukan untuk meningkatkan optimisme
yang dikembangakan dari model ABCDE, yang sebelumnya telah dikembangkan
oleh Albert Ellis dan Aaron Back (Seligman, 2006). Model ABCDE yang di
magsud sebagai berikut.
a. Pada tahap adversity, konseli mengungkapkan secara spesifik kesulitan yang
dialaminya. Pada tahap ini konselor membantu konseli mengungkapkan
kesulitan yang dialaminya.
b. Pada tahap belief, konselor membantu konseli dalam memahami keyakinan,
pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap kegagalan yang di
alaminya. Keyakinan seseorang terhadap sebuah peristiwa terbagi menjadi
dua, yakni keyakinan yang rasional (rational belief)dan keyakinan yang tidak
rasional (irrasional belief). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir
atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal, dan bijaksana. Sedangkan
Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem berpikir
seseorang yang salah.
c. Pada tahap consequences, konselor membantu konseli mengidentifikasi
keyakinan dengan membuat daftar semua emosi yang dialami dan reaksi yang
muncul karena belief yang diyakini oleh konseli.
d. Pada tahap dispute, konselor membantu konseli mengidentifikasi
ketidaktepatan keyakinan yang dimiliki oleh konseli dan mengidentifikasi
keyakinan yang lebih rasional atau lebih optimis mengenai kesulitan yang
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
32
dialami, kemudian memasukan alternatif keyakinan tersebut ke perspektif
kepercayaan.
e. Pada tahap energy, konselor membantu konseli mengidentifikasi apa yang
terjadi dengan suasana hati konseli, mengidentifikasi bagaimana perubahan
perilaku pada konseli, dan mengidentifikasi solusi baru yang muncul.
Gambaran proses berpikir optimis dimulai ketika konseli mengalami suatu
peristiwa (A) maka akan timbul pertanyaan mengapa peristiwa itu terjadi, saat
itulah kedua dimensi keyakinan (B), bekerja dan menghasilkan emosi atau
tindakan (C). teknik utamanya dengan belajar menggunakan sanggahan (D), yang
di awali dengan melihat rangkaian ABC yang menyatakan bahwa emosi dan
tindakan (C), muncul dari keyakinan (B) tentang kesulitan (A) yang menimpa.
Ketika dilakukan perubahan tanggapan berupa sanggahan (D) terhadap kesulitan
(A) maka dapat mengatasi kemunduran yang terjadi.
Secara umum , model ABCDE Seligman merupakan usaha yang dilakukan
dengan terencana dan dapat diselenggarakan dalam waktu singkat secara
sistematis guna mempelajari langkah atau strategi untuk mendapatkan pemikiran,
keyakinan serta harapan bahwa peristiwa buruk yang terjadi dalam kehidupan
hanya bersifat sementara dan meyakini kemampuannya untuk mengatasi
kesulitan.
Hasil berpikir optimis bertujuan untuk memunculkan keterampilan baru
berupa rekontruksi kongnitif yang erat kaitan nya dengan Explanatory style atau
gaya penjelasan. Seligman, (2006) mengungkapkan bahwa cara berpikir optimis
atau pesimis yang digunakan individu akan mempengaruhi hampir seluruh
bidang kehidupan.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
33
Tabel 2.6
Model ABCDE
Adversity (A) / kesulitan
Belief (B) / Kepercayaan
Consequences (C) / Konsekuensi
Disputation (D) / Penyanggahan
Energization (E) / Penguatan
Model ABCDE dirancang sebagai suatu pengembangan dalam membantu
individu mengarahkan kearah yang lebih postif, sehingga individu memiliki cara
berpikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah, berpikir
positif yang dimagsud adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadana
terburuk. Hasil akhirnya diharapkan dapat memunculkan keterampilan baru
berupa rekonstruksi kongnitif pengubahan irasional menjadi rasional yang erat
kaitan nya dengan Explanatory style atau gaya penjelasan optimis.
Tabel 2.7
Contoh Pengaplikasian model ABCDE
Adversity (A) / kesulitan Dosen memarahiku saat sedang
bimbingan proposal
Belief (B) / Kepercayaan Aku merasa bodoh dan aku merasa apa
yang saya kerjakan selama ini sia-sia
Consequences (C) / Konsekuensi Aku merasa sedih dan menghindari
untuk melanjukan pengerjakan proposal
Disputation (D) / Penyanggahan Dosen memarahi ku saat sedang
bimbingan, tapi saya bangga dengan
pencapaian saya selama ini karena
semua yang saya kerjakan hasil jerih
payah sendiri.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
34
Energization (E) / Penguatan Meskipun saya kecewa dengan apa
yang saya kerjakan tetapi dapat
memetik pembelajaran langsung dari
kesalahan dan berusaha untuk
memperbaikinya
Kemudian mintalah konseli untuk membaca uang keyakinan tersebut dan
menyanggah dengan kata-katanya sendiri, serta menjelaskan bagaimanan cara
kerja setiap bagian dari sanggahannya. Misalnya dalam contoh diatas yakinkan
mengenai bagaimana dia bangga dengan pencapaian saya selama ini karena semua
yang saya kerjakan hasil jerih payah sendiri.
Menyanggah keyakinan negatif adalah keahlian yang bisa di pelajari setiap
orang. Oleh karnanya, dalam setiap aspek kehidupan menjadi lebih baik apabila
seseorang dapat mengembangkan dan memiliki kemampuan untuk menyanggah
keyakinan negatif yang menganggu dirinya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkannya. Jika keahlian optimisme dipelajari sejak dini, keahlian itu akan
menjadi dasar.
Penelitian yang telah membuktikan efektivitas konseling model ABCDE
Seligman, (2006) untuk mengembangkan optimism, sebagaimana penelitian yang
dilakukan oleh Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa maka model
ABCDE Seligman dapat dijadikan upaya preventif oleh konselor dalam
menangani konseli dengan orientasi hidup pesimis, agar menjadi lebih optimis.
Rosma dalam (Munawaroh,et al. 2018) melakukan penelitian mengenai pengaruh
pelatihan berpikir positif untuk menurunkan tingkat kecemasan pada mahasiswa
tingkat akhir menunjukkan efektivitas model ABCDE Seligman dalam
menurunkan tingkat kecemasan. Penelitian lainya di lingkungan pendidian yang
dilakukan oleh Nissa, (2015) mengenai efektivitas konseling model ABCDE
Seligman untuk meningkatkan optimisme peserta didik menunjukkan adanya
peningkatan skor optimis yang signifikan terhadap subjek penelitian.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
35
Berdasarkan beberapa penelitian diatas, mengenai penggunaan model layanan
konseling yang dapat digunakan untuk mengembangkan optimisme dengan
menggunakan model ABCDE Seligman dapat dijadikan upaya preventif ataupun
kuratif terhadap mahasiswa yang memiliki orientasi hidup pesimis agar lebih
optimis.
D. Penelitian yang Relevan
Menurut temuan Ningrum, (2011) yang dilakukan kepada 80 mahasiswa yang
sedang menyusun skripsi sebagai sampel penelitian menunjukan koefisien
optimisme 0,0944 serta koefisien coping stress 0,863 di simpulkan mahasiswa
memiliki kecenderungan optimisme serta coping stress yang rendah. Penelitian
lain yang tentang optimisme yang pernah di laksanakan di ruang lingkup
pendidikan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Singh & Mishra (2014, hlm.
1531) terhadap 220 remaja (Laki-laki= 80; Perempuan =140) di India,
menunjukkan bahwa 28,18% (62 responden) tergolong dalam kategori sangat
optimis, 34,09% (75 responden) tergolong optimis, 22,27% (49 responden)
kategori netral, dan 5,00% (11 responden) termasuk dalam kategori pesimis.
Penelitian lain, Aisyah dalam (Wulandari, 2017) melakukan penelitian
tentang optimisme di salah satu Pondok Pesantren Surakarta. Hasilnya
menunjukkan bahwa 1 (0,9%) santri berkategori optimisme rendah, 11 (9,6%)
subyek berkategori sedang, 76 subjek (66,1%) berkategori optimisme yang tinggi
serta sebanyak 27 subjek (23,4%) yang memiliki optimisme yang sangat tinggi.
Selanjutnya, penelitian Nissa (2015, hlm. 5) terhadap siswa SMPN 15 Bandung
Tahun Ajaran 2014/2015 menunjukkan dari 92 responden, sebanyak 3,26%
berada dalam kategori pesimis, 53,26% dalam kategori optimis, dan 4,34% berada
dalam kategori sangat optimis.
Kemudian, hasil Survey mengenai optimism yang di lakukan oleh Rizki,
(2013) terhadap 23 siswa secara acak tingkat SMA kelas 1, 2 ,dan 3 di SMA
Negeri Pekalongan, ditemukan hasil bahwa sebanyak 14 Subjek (60,9%)
mempunyai rasa optimism yang rendah ketika mengerjakan ujian.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
36
Penelitian mengenai efektivitas konseling model ABCDE Seligman dalam
mengembangkan optimisme mahasiswa, seperti berdasarkan penelitian Rosma
dalam (Munawaroh, 2018) melakukan penelitian mengenai pengaruh pelatihan
berpikir positif untuk menurunkan tingkat kecemasan pada mahasiswa tingkat
akhir menunjukkan efektivitas model ABCDE Seligman dalam menurunkan
tingkat kecemasan.Sejalan dengan temuan Nissa, (2015) mengenai efektivitas
konseling model ABCDE Seligman untuk meningkatkan optimisme peserta didik
yang di laksanakan di ruang lingkup jenjang pendidikan menunjukkan adanya
peningkatan skor optimis yang signifikan terhadap subjek penelitian.
Rancangan yang digunakan pada model ini di kembangkan dari model
konseling ABCDE yang sebelumnya dikembangkan oleh Albert Ellis dan Aaron
Beck (Seligma, 2006). Secara umum, model ABCDE Seligman merupakan usaha
yang dilakukan dengan terencana dan dapat diselenggarakan dalam waktu singkat
secara sistematis guna mempelajari langkah atau strategi untuk mendapatkan
pemikiran, keyakinan serta harapan bahwa peristiwa buruk yang terjadi dalam
kehidupan hanya bersifat sementara dan meyakini kemampuannya untuk
mengatasi kesulitan.
Optimisme memprediksi banyak hasil yang diinginkan: pencapaian dalam
segala bidang (akademik, atletik, militer, politik, dan kejuruan); bebas dari
kecemasan dan depresi; hubungan sosial yang baik; dan kesejahteraan fisik
Peterson, (2004:576). Optimisme yang lebih spesifik mencakup penyelesaian
masalah aktif dan perhatian pada sumber informasi yang relevan dengan masalah
Aspinwall & Brunhart dalam (Peterson, 2004:577). Pemikiran masa depan dan
orientasi masa depan dikaitkan dengan kesadaran, ketekunan, dan kemampuan
untuk menunda kepuasan Peterson, (2004:577). Orang yang tinggi dalam
kekuatan karakter ini semua kegiatan menyiratkan orientasi ke masa depan
Zimbardo (Peterson, 2004:577).
Orang dengan gaya penjelas yang optimis melebih-lebihkan kecenderungan
luas individu untuk melihat diri mereka di bawah rata-rata untuk kejadian yang
mengerikan kegagalan dan patah hati, dan sebagainya Peterson, (2004:578). Bias
ini bisa menjadi masalah ketika kenyataan penting dan harapan membawa kita
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id
37
untuk mengabaikan tindakan pencegahan atau perbaikan. Kabar baiknya adalah
bahwa jika orang mengakui kemungkinan risiko, semakin optimis di antara
mereka mengambil langkah-langkah mengatasi yang paling tepat Peterson,
(2004:578).
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
--
www.lib.umtas.ac.id