BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG...
Transcript of BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG...
15
BAB II
PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS PEREMPUAN
2.1. Pengertian Poskolonial
Studi Poskolonial (sering disebut dengan istilah Pascakolonial) merupakan sebuah studi
yang relatife baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi ini menawarkan sebuah
perspektif “baru” dalam menganalisa dimensi Negara Barat atas kelompok Negara-negara
Timur. Negara Barat diposisikan sebagai kelompok superior sedangkan Negara Timur
diposisikan sebagai kelompok inferior yang tertindas. Studi poskolonial mencoba
menganalisa posisi Negara Timur sebagai akibat dominasi budaya Barat.1
Studi Poskolonial yang relatife masih baru menimbulkan kegairahan, kebingunan serta
skeptisme dari berbagai pihak yang mendalaminya. Untuk menjelaskan definisi poskolonial
tidak bisa dipisahkan dengan istilah kolonialisme (penjajahan). Pada awalnya istilah colonial
bermakna “pertanian” atau “pemukiman” ( dari Bahasa Latin “colonia”), yang kemudian
maknanya diperluas menjadi penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli
oleh penduduk pendatang. Proses penaklukan untuk membangun daerah pemukiman baru
muncullah hubungan yang cukup kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia, antara
penduduk lama dengan pendatang baru. Pembentukan komunitas baru ini ditandai oleh upaya
membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada dengan
melibatkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhnan massal, perbudakan,
serta berbagai pemberontakan. 2
1 Nanang Martono,Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern,Posmodern dan Poskolonial,Ed.1
(Jakarta: Rajawali Pers, Cet.1.2012), 139. 2 Martono,Sosiologi Perubahan, 139-140.
16
Studi Poskolonial diharapkan mampu untuk mengadakan perubahan itu. Studi
Poskolonial mendapat perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori studi kritis yang
menyangkut suara dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan dan ditekan dalam
sejarah dan narasi-narasi. Untuk mengangkat dan menghadirkan suara-suara kaum minoritas
dan terabaikan serta yang telah hilang dalam sejarah. Poskolonial adalah teori yang
memberikan kebebasan penafsir untuk mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam
konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan
dampak yang masih dirasakan sampai saat ini.3 Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman
pribadi, sosial, budaya dan politik. Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi-asumsi
yang mendobrak “penjajahan” dan menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya.4
Moore dan Gilbert menjelaskan bahwa teori Poskolonial yang lahir pada paruh kedua
abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekontruksi terhadap model berpikir dualis (biner),
yang membedakan antara “Timur” dan “Barat”, meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli
dengan perspektif poskolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini.5
Teori
poskolonial juga menganalisis praktik-praktik “penjajahan” (kolonialisme) yang masih
berlanjut sampai sekarang, di era modern. Penjajahan yang dilakukan kelompok mayoritas
(Barat) terhadap kelompok minoritas (Timur) dalam struktur masyarakat (subaltern-dalam
bahasa Gayatri Chakravort Spivak), termasuk di dalamnya penjajahan laki-laki atas
perempuan. Edward William Said dan Bhabha lebih tertarik pada masalah percampuran
unsur-unsur budaya sebagai dampak kolonialisme, yang ternyata ”bekas daerah jajahan” akan
banyak mengadopsi unsur budaya bangsa penjajah. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan
melahirkan hibriditas.6
3 Setyawan, “Tuhan Yesus Kristus” sebagai Diskursus Politik, (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,2012), 3.
4 Setyawan, “Poskolonial Hermeneutic”, 7.
5 Martono, Sosiologi Perubahan, 140.
6 Martono, Sosiologi Perubahan, 141.
17
2.1.1.Edward William Said
Said menggunakan pemikiran Foucault untuk membongkar narsisme dan kekerasan
epistemology Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang
terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialisme dan orientalisme.
Orientalisme mengadopsi gagasan Foucault dalam dua hal yaitu pertama, konsepsi
menguraikan tentang apa itu kekuasaan dan bagaimana kekuasaan dijalankan. Kedua, bahwa
“wacana” sebuah media yang memunculkan kekuasaan melalui wacana “membentuk” objek
pengetahuan. Bagi Said, rezim kekuasaan ini tertulis dalam tranformasi orientalisme Timur
secara nyata ke dalam diskursif “Orient” atau pengganti yang lebih baik daripada yang
lainnya. 7
Menurut Said, sejak jaman dulu, dunia Timur (Orient) memang sudah menjadi tempat
yang indah, banyak mengandung kekayaan alam yang subur dan memiliki tradisi yang unik.
Hal inilah yang mengundang keinginan orang-orang Barat (Eropa) untuk mempelajari dunia
Timur. Kajian mengenai budaya Timur ini dalam perkembangannya berubah menjadi tempat
kolonial dan hegemonisasi.8 Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat
dan budaya Timur sebagai “sesuatu yang asing”. Sering kali bahkan dilihat sebagai sejenis
alien atau objek yang indah dan eksotis. Menurut Said, penjajahan Barat atas timur melalui
teks bahasa, budaya, serta citra negatif mengenai dunia Timur oleh dunia Barat. Menurut
Said, dunia Timur masih menempatkan bahasa (teks) sebagai pusat kehidupan.9
2.1.2.Gayatri Chakravort Spivak
Spivak melakukan kajian kritis atas pengaruh kolonialisme dalam bidang budaya dan
sastra. Ia menggunakan perspektif Marxisme, feminisme dan dekontruksi; ia banyak
7 Martono, Sosiologi Perubahan, 142-143.
8 Martono, Sosiologi Perubahan, 145.
9 Martono, Sosiologi Perubahan, 146.
18
mengkaji masalah yang dialami kaum perempuan dan pihak-pihak yang menjadi minoritas
dan tertindas. Kelompok penjajah telah meninggalkan – mewarisi – nilai-nilai budaya kepada
bangsa yang dijajahnya. Spivak melakukan dekontruksi terhadap struktur-struktur yang
menindas sehingga pihak yang tadinya tertindas dapat bersuara.10
Spivak menggunakan
istilah subaltern (menunjuk kelompok yang mengalami penindasan dari kelompok yang
berkuasa). Petani, buruh, perempuan, kelas miskin dan kelompok-kelompok lain yang tidak
memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” dapat disebut sebagai kelas subaltern.11
Spivak merupakan tokoh poskolonial yang mencoba memasukkan variable jenis
kelamin sebagai objek kajiannya untuk melihat adanya hubungan yang tidak setara antara
laki-laki dan perempuan yang kemudian dianalogikan dalam hubungan oposisi biner. Studi
mengenai gender dan feminism menjadi sebuah isu yang cukup krusial dalam studi
poskolonial.12
Pemikiran Poskolonial dalam perkembangan sejarah mencoba menempatkan masalah
perempuan dalam sebuah bentuk kolonisasi. Perempuan dipandang mengalami kolonisasi
ganda karena keberadaannya sebagai subjek yang dikuasai (colonial subject) dan diskriminasi
umum yang dialami sebagai perempuan dalam budaya patriakhal. Dalam kolonisasi ganda
tersebut, peran dan identitas perempuan cenderung direduksi pada tubuh dan fungsi
reproduksi masyarakat. Sebenaranya perbedaan antara perempuan dan laki-laki berkaitan
dengan konstruksi sosial yang merupakan hasil pertarungan ideologi antara kelas-kelas sosial
dalam masyarakat.13
10
Martono, Sosiologi Perubahan, 148. 11
Martono, Sosiologi Perubahan, 149. 12
Martono, Sosiologi Perubahan, 150. 13
Martono, Sosiologi Perubahan, 151.
19
2.1.3.Hopmi K. Bhabha
Konsep utama dalam teori poskolonial Bhaba adalah mimikri (sebuah proses peniruan
unsur budaya dari kelompok penjajah) dan hibriditas. Bhaba dalam teori-teorinya berupaya
meluruskan pertentangan yang keliru antara teori dengan praktik politik dalam wacana
kolonialisme. Bhaba kemudian mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang
persinggungan antara teori dan praktik kolonialisasi dalam upaya menjembatani hubungan
timbal balik antara keduanya. Teori dan praktik tidak dapat dipisahkan untuk dikritik, karena
keduanya saling bersebelahan. Dengan menyejajarkan keduanya Bhaba berusaha menemukan
pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas. Konsep “hybrid”
digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-sifat
tertentu dari masing-masing bentuk dan sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang
dimiliki keduanya. Poskolonialitas selain melahirkan hibriditas, juga menciptakan bentuk-
bentuk resistensi dan negosiasi baru antar pelaku.14
Hibriditas adalah bentuk lain dari mimikri yaitu sebuah teks hibrid yang berbeda dari
teks “resmi” wacana kolonial yang merupakan produk tindakan meniru (mimikri). Hibriditas
merupakan produk konstruksi kultural kolonial yang ingin tetap membagi strata identitas
murni asli penjajah dengan ketinggian budaya yang didiskriminasikan dengan kaum
campuran. Mimikri dan hibriditas melahirkan keragaman budaya (cultural diversity) dan
perbedaan budaya (cultural differences).15
Bhaba mengatakan bahwa pencarian identitas idealnya tidak pernah berhenti, identitas
terus mengalir sebagai sesuatu yang senantiasa mengalami perubahan. Bhaba juga
menawarkan teori yang menjelaskan bahwa ruang ketiga (teks) ini mampu berperan sebagai
ruang interaksi simbolik. 16
14
Martono,Sosiologi Perubahan, 158. 15
Martono,Sosiologi Perubahan, 160. 16
Martono,Sosiologi Perubahan, 161.
20
Singkatnya, Bhaba menyoroti masalah identitas kelompok terjajah dengan kelompok
penjajah. Akibat kolonisasi, bangsa terjajah seolah mengalami proses mimikri, mereka
meniru budaya-budaya yang telah dibawa dan ditularkan bangsa penjajah, akibatnya budaya
mereka mengalami hibridasi, budaya asli akan hilang secara perlahan akibat percampuran
budaya mereka dengan budaya penjajah.17
2.2. Pengertian Gender / Perempuan
Secara fisik perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Perempuan adalah orang
(manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.18
Kodrat perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Masyarakat di
mana disitu ada perempuan menciptakan ketentuan bagi perempuan berdasarkan
kodratmya, terutama dua yang terakhir.19
Ketidakadilan gender menyentuh semua dimensi kehidupan manusia yaitu cultural,
religious-institusional, ideologis politik, ekonomis, dan ekologis. Sehingga seluruh level
kehidupan terkena yang meliputi pribadi, keluarga, masyarakat, lingkungan kerja, Negara,
agama.20
Dalam dunia pendidikan teologi masih sangat kuat dipengaruhi oleh paradigma lama
yang bercirikan didominasi kaum laki-laki terutama dalam hal kurikulumnya. Masih sangat
sedikit Sekolah Teologi yang memiliki kurikulum dengan paradigma baru yang berorientasi
kepada inklusif: laki-laki dan perempuan seimbang, memberi dorongan untuk menerima
ajaran Gereja secara kritis, refleksi eksistensial dan inovatif kreatif.21
17
Martono, Sosiologi Perubahan, 163. 18
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 856. 19
Perempuan Indonesia Berteologi Feminis, (Yogyakarta: Jurnal Pusat Studi Feminis Fakultas Teologi
UKDW,cet 1,2004), 63. 20
Perempuan Indonesia, 13. 21
Judo Purwowidagdo,Dr. Tantang Jawab Pendidikan Teologi Menjelang Abad 21, (Yogyakarta, Duta Wacana
University Press,1994), 70-71.
21
Sebuah pengakuan dalam doa seorang laki-laki yang sadar akan keberadaan perempuan
dibawah budaya patriarkal yaitu Ghaasan Rubeiz, seorang awam dari Gereja Ortodok
mengatakan demikian:22
“ Ya Tuhan, hari ini kami sebagai laki-laki mengaku dosa yang kami lakukan terhadap kaum perempuan.
Kami mengakui menindas para bayi perempuan, perempuan muda, perempuan dewasa, perempuan
setengah tua, perempuan tua dan semua perempuan. Kami sering menganggap enteng kaum perempuan,
memperlakukan mereka sebagai orang-orang yang selalu harus siap untuk melayani dengan penuh
kerendahan hati, sabar dan patuh, siap berkorban. Ampuni kami, Tuhan, karena kecenderungan kami
untuk menganggap kaum perempuan sebagai orang-orang yang tidak berubah, semacam formula, patung,
boneka, sample, model.”
2.3. Peran Perempuan Indonesia
2.3.1. Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum 1928
Secara umum dapat dikatakan bahwa Gerakan Perempuan Indonesia ciri utamanya ialah
menekankan kepada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan model barat, sebagai bekal
untuk memajukan kaumnya dan bangsanya. Pejuang perintis saat itu diantaranya Kartini
(Habis Gelap Terbitlah Terang), Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad
Dahlan. Kartini menekankan bagaimana mengangkat kaum perempuan dari keterbelakangan
dalam hal pendidikan dan membebaskan kaumnya dari kungkungan tradisi yang menindas
terutama menyangkut masalah perkawinan dan perceraian, serta perempuan tidak mempunyai
hak ikut menentukan.23
Pada periode Budi Utomo, warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi perempuan
berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya dan meningkatnya perhatian
perjuangan perempuan. Pada tahun 1912 muncul organisasi perempuan pertama di Jakarta
yaitu “ Putri Mardika” atas bantuan Budi Utomo. Organisasi perempuan yang ada, bertujuan
untuk menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dan perbaikan kedudukan
sosial dalam perkawinan dan keluarga. Sebelum tahun 1920, Gerakan ini sangat lambat
22
Perempuan Indonesia, 56-57. 23
Perjuangan Perempuan Indonesia Belajar Dari Sejarah, ( Salatiga: Yayasan Bina Darma, Cet. 1,2007), 1-8.
22
karena sedikitnya sekolah bagi perempuan, adat serta tradisi yang sangat menghambat
kemajuan perempuan.24
Pada tahun 1920-1928, ada kemajuan pesat gerakan perempuan dengan makin
banyaknya perkumpulan-perkumpulan perempuan kecil-kecil yang berdiri sendiri. Gerakan
perempuan Indonesia fase ini sudah lebih matang untuk menyetujui anjuran dan panggilan
kebangsaan, faham “Indonesia bersatu”. Pokok permasalahan yang di bicarakan adalah
kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami, pendidikan.25
2.3.2.Era Sumpah Pemuda – Kemerdekaan (1928 – 1945)
Gerakan perempuan dalam kurun waktu ini, berusaha mempertahankan persatuan yang
dibangun dengan menempatkan sejumlah interest nasional diatas interest gender. Kaum
perempuan Indonesia selalu berperan aktif diantaranya untuk menegakkan hak-hak kaum
perempuan. Ketika perempuan berorganisasi secara masif dan memperjuangkan kepentingan
membangun solidaritas diantara seluruh kaum perempuan.26
2.3.3.Era Soekarno ( 1945 – 1965 )
Kondisi masyarakat masa lalu yang patriakhal menempatkan perempuan pada posisi
yang marjinal dalam pengambilan keputusan dan kepentingan perempuan ditundukkan.
Gerakan Perempuan masih memperjuangkan kekerasan terhadap perempuan, isu poligami.
Poligami Soekarno cukup kontroversial dan memicu pro dan kontra dikalangan masyarakat
serta turut melemahkan perjuangan aktivis perempuan untuk mendapatkan undang-undang
perkawinan yang adil.27
24
Perjuangan Perempuan, 10-11. 25
Perjuangan Perempuan, 13-14. 26
Perjuangan Perempuan, 18-22. 27
Perjuangan Perempuan, 25-33.
23
2.3.4.Era Soeharto 1966 – 1998
Pada masa Orde Baru, pergerakan perempuan sangat sulit untuk memberi inspirasi dan
aspirasi. Perempuan yang selama ini dianggap sebagai obyek pelengkap dalam proses
kapitalisasi sampai sebagai pemuas ”kebiadaban” kemanusiaan ternyata masih memiliki
beban sejarah yang berat. Perempuan masih menjadi tenaga kerja dalam bidang pertanian dan
industri sehingga berdampak ada ketergantungan baru perempuan kepada Negara. Organisasi
perempuan harus mau berada dibawah kekuasaan pemerintah untuk menjadi “agen” dalam
proses politik sentralistik. Efek dari kebijakan Orde Baru memberikan banyak bukti lahirnya
berbagai kekerasan baik fisik dan non fisik, bahkan sampai pada saat reformasi 1998.28
Sejak Rezim Orde baru, keberagaman organisasi perempuan di papras habis kecuali
organisasi perempuan yang mendukung kebijakan pemerintah. Organisasi perempuan yang
mendukung kebijakan pemerintah diantaranya adalah Darma Wanita dan PKK.29
Tradisi Jawa, Ideologi Orde Baru (1966-1998) serta kekuatan dogma agama yang
menekankan pentingnya kontrol dan hirarki, seringkali menimbulkan negosiasi yang tidak
seimbang bagi perempuan. Perempuan jarang mendapatkan tawaran yang adil untuk segala
pekerjaan atau jasa lainnya. Tradisi Jawa yang mengagungkan “kodrat” untuk perempuan
telah dipertahankan oleh rezim Orde Baru, sehingga perempuan dituntut untuk pasrah dan
mengabdi kepada keluarga dan suami.30
Hal ini menyiratkan betapa kuatnya cengkeraman
ideologi dalam manipulasi perempuan.31
28
Perjuangan Perempuan, 40-44. 29
Soe Tjen Marching, Kisah Dibalik Pintu Identitas Perempuan Indonesia Antar Publik Dan Privat,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), 13. 30
Marching, Kisah Dibalik, 192. 31
Marching, Kisah Dibalik, 222.
24
2.3.5.Pasca Soeharto 1998 – Sekarang
Gerakan perempuan seluruh Indonesia menuntut kepada pemerintah atas kekejaman
Mei 1988 untuk diselesaikan secara tuntas. Sistem patriarkal menjadi dasar sistem filsafat
sosial dan politik dimana laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung atau melalui ritual,
tradisi, hukum, bahasa, adat kebiasaan, etika, pendidikan dan pembagian kerja, menentukan
peran apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan dan perempuan dianggap
lebih rendah dari laki-laki. (Rich, Adrienne. Of Women Born.1977). Sistem ini melahirkan
ideologi jender yaitu segala aturan, nilai, stereotip yang mengatur hubungan perempuan dan
laki-laki terlebih dulu melalui pembentukan identitas feminine dan maskulin yang menjadi
sifat dan struktur manusia di mana nilai-nilai tersebut dibentuk sejak masa kanak-kanak awal
sehingga selalu konsevatif dan ketinggalan dibelakang perubahan.32
2.4. Pengertian Kebudayaan Jawa dan Perempuan Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau dari kepulauan Indonesia, suatu kepulauan yang
terbentang diantara 6° Lintang utara, 11° Lintang Selatan dan 95° Bujur timur, 141° Bujur
Timur. Pulau Jawa terletak diantara 5° Lintang Selatan, 10° Lintang Selatan dan 105°Bujur
Timur, 115° Bujur Timur. Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut
suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan budaya dan
bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan bertempat
tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari kedua daerah
itu. 33
Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda.
Demikian pula dengan suku bangsa Jawa. Suku bangsa Jawa memiliki kebudayaan khas
32
Perjuangan Perempuan, 55-58. 33
Budiono Herusatoto,Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT. Hanindita, 1984), 41.
25
dalam sistem atau metode budaya yang menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang
sebagai sarana, media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehatnya.
Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan W.J.S. Poerwadarminta simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda: lukisan,
perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud
tertentu; misalnya warna putih ialah lambang kesucian. Di dalam Kamus Logika
menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan yang bukan berujud kata-kata untuk
mewakili atau menyingkat sesuatu artian apapun.34
Kata budaya menurut perbendaharaan bahasa Jawa berasal dari kata budi dan daya.
Penyatuan dua kata menjadi satu kata baru yang membentuk satu pengertian baru. Kata
budaya berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti
budi dan akal. Jadi kebudayaan bisa diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal
budi.35
Kebudayaan adalah semua hal yang adalah kelakuan manusia. Kebudayaan adalah
perilaku manusia yang diajarkan terus menerus dari generasi yang satu ke generasi
berikutnya. Bahkan lebih terperinci lagi bahwa dalam hal menyangkut yang bersifat material
maupun non material. Dengan demikian maka kebudayaan meliputi kelakuan-kelakuan
manusia baik yang rohani maupun yang jasmaniah sifatnya. Itu berarti semua yang dilakukan
manusia. Berdasarkan definisi tersebut maka bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
kebudayaan adalah kelakuan atau kebiasaan yang senantiasa diulang-ulang serta diajarkan
sebagai yang baik dan yang patut diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.36
34
Herusatoto,Simbolisme, 10-11. 35
Herusatoto,Simbolisme, 6. 36
M. Suprihadi Sastrosupono,Menghampiri kebudayaan, (Bandung penerbit Alumni/1982), 50-51.
26
Kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh
segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam satu ruang
dan suatu waktu.37
Budaya Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang
mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir batin.38
Menurut Frans Magnis Suseno lebih mengkhususkan bahwa yang disebut dengan orang
Jawa adalah yang bahasa Ibunya adalah bahasa Jawa.39
Menurut Marbangun Hardjowirogo,
semua orang Jawa itu berbudaya Jawa. Mereka berpikir dan berperasaan seperti nenek
moyang mereka di Jawa Tengah yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta sebagai pusat-
pusat budaya.40
Filsafat hidup Jawa ini terbentuk karena perkembangan kebudayaan Jawa akibat
pengaruh Filsafat Hindu dan Filsafat Islam. Orang Hindu yang datang ke Jawa menyebarkan
agama Hindu membawa serta filsafat Hindu. Tradisi Jawa, kepercayaan Hindu,
tasawuf/mistikisme Islam dan agama Islam melebur diri menjadi suatu alam pikir
Jawa/filsafat Jawa.41
Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat kepada adat-istiadat warisan nenek
moyangnya, selalu mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat daripada pribadinya
sendiri. Hal ini jelas tergambar dalam pedoman-pedoman hidup yang sangat popular yaitu
Aja Dumeh dan Aji mumpung. Aja Dumeh adalah pedoman mawas diri bagi orang Jawa yang
sedang dikaruniai kebahagiaan dalam hidupnya. Aja dumeh juga merupakan peringatan agar
selalu ingat kepada sesamanya. Sedangkan Aji Mumpung atau yang sekarang lebih dikenal
37
J.W.M Bakker, Filsafat kebudayaan: sebuah pengantar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan 1,1984), 21. 38
Suwardi Endraswara, Buku pinter budaya Jawa: mutiara adiluhung orang Jawa, (Yogyakarta: Gelombang
Pasang,cetakan pertama 2005), 1. 39
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafati tentang kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999), 11. 40
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, (Semarang : CV Masa Agung,1989), 7. 41
Herusatoto,Simbolisme, 72.
27
dengan mumpungisme adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat- sifat serakah
dan angkara murka apabila seseorang sedang diberi anugerah kesempatan hidup” diatas”.
Orang Jawa percaya kalau hidupnya itu ada yang mengatur yaitu Tuhan, sehingga putaran
hidup manusia itu digambarkan seperti “roda kereta “ yang berputar pada asnya. 42
Sikap hidup seorang pemimpin Jawa hendaklah bersifat satria dan pandita. Seorang
pemimpin yang rame ing gawe, sepi ing pamrih, sugih tanpa banda atau giat bekerja, jauh
dari keserakahan dan selalu merasa kaya akan kebijakan dan selalu memberi siapa saja yang
minta pertolongan kepadanya.43
2.4.1.Budaya Patriarkal
Masyarakat Jawa menganut sistem kekeluargaan Patriarkal. Istilah Patriarkal secara
harafiah berarti kekuasaan berada di tangan laki-laki. Budaya Patriarkal menguasai dan
mewarnai hidup laki-laki dan perempuan. Hampir segala bidang di dominasi dan di kontrol
oleh laki-laki terhadap perempuan sangat terasa.44
Pada mulanya kata ini digunakan untuk
menyebut suatu jenis “keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki” yaitu rumah tangga besar
patriarkal yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pelayan
rumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan sang laki-laki penguasa. Sekarang
istilah ini dipakai secara umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, suatu hubungan kuasa
dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat
perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara.45
Banyak orang beranggapan
bahwa laki-laki dilahirkan untuk berkuasa dan perempuan untuk dikuasai. Anggapan ini
selalu ada dan terus akan ada, dan bahwa seperti tatanan alam lainnya Patriarkal tidak bisa
42
Herusatoto,Simbolisme, 81-82. 43
Herusatoto,Simbolisme, 83. 44
Asnath Niwa Natar, Ketika Perempuan berteologi : Berteologi Feminis Kontektual, (Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 2012), 25. 45
Natar, Ketika Perempuan, 25.
28
diubah.46
Budaya Patriarki mengakibatkan perempuan berada pada posisi tawar yang lemah,
sementara suara perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya tidak tersalurkan
melalui mekanisme pengambilan keputusan formal.47
Secara historis, munculnya ideologi Patriarkhi berasal dari Mesopotamia Kuno pada
zaman Neolitikum, seorang dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para
feminis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesungguhnya terjadi jauh sebelum
era Neolitikum yang menandai lahirnya negara-negara kota tersebut.
Antara tahun 3500-3000 SZB, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota.
Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hegemoni. Hal ini
memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya stratifikasi
sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi yang memastikan penyampaian warisan
dari ayah kepada anak laki-laki, dan pengontrolan seksualitas perempuan menjadi
melembaga. Hal ini kemudian terekam ke dalam hukum dan kemudian mendapat legitimasi
dan dukungan dari institusi politik maupun negara.
Kemunculan negara-negara kota pada zaman Mesopotamia Kuno, menyebabkan
ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja. Akibatnya kondisi ini semakin menjauhkan
perempuan dalam “petualangan” publik, yang bisa dihargai secara ekonomis. Dengan
demikian, pengisolasian perempuan dari bursa kerja negara-negara kota, mengurangi
kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi ini semakin memperkuat sekunderisasi
perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan status perempuan.
Kondisi pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat
Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturan negara, berupa Undang-undang Hamurabi
46
Natar, Ketika Perempuan, 26. 47
Rencana Pembangunan Jangka menengah Dasar Propinsi Jawa Timur, Bab XVII, 346.
29
(1750 SZB), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk. Sekali lagi perlu dipahami bahwa
peperangan merupakan simbol hegemonik dari petualangan laki-laki.
Kendati dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan
sedikit hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki yang menceraikan
isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi. Aturan ini berbeda dengan Undang-undang
Assyiria (1200 SZB), yang membatalkan hak-hak perempuan sebagai ibu. Hak itu diberikan
kepada suami, yang belum tentu ia berikan kepada isterinya yag dicerai. Misalnya dinyatakan
dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki menceraikan isterinya, ia bisa memberikan sesuatu
kepada isterinya bila ia mau, jika ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka
isterinya pergi dengan tangan kosong.48
Pada jaman dulu perempuan Jawa terikat serta terkekang kebebasannya oleh budaya
Patriarkal yang melekat dalam masyarakat tradisonal. Peran Perempuan Jawa dalam hidup
bergerejapun mengalami hal yang demikian. Hal ini sudah dibahas dalam bab 1 tentang
sedikitnya Perempuan Jawa dalam jabatan gerejawi.49
Menurut teolog feminis Kristen, Elizabeth Florenso, mengatakan bahwa di tengah
belenggu patriarkal yang sangat kuat berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa kaum
perempuan banyak berkontribusi terhadap transformasi masyarakat dan perkembangan
peradaban manusia. Perempuan aktif berjuang mempertahankan bangsa dan menata bangsa
yang baru saja merdeka, mulai dari ikut mengangkat senjata di medan perang sampai
mendukung seruan Soekarno “ merebut Irian Barat” dan “Ganyang Malaysia”.50
Ide Patriarkal adalah bahwa “tugas laki-laki untuk menjadi pemimpin dalam rumah
tangga dan mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan”. Kaum laki-lakilah yang akan
48
Fatmagul Berktay,” Ciri Khusus Patrarkhi: Kontrol Sosial terhadap Tubuh Perempuan”, dalam Suralaga &
Rosatria (ed.), Perempuan: dari Mitos, 1-39. 49
Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ, 205-206. 50
Perjuangan Perempuan, 25-33.
30
mewariskan nama keluarga. Apalagi dalam hukum waris hak perempuan hanya separuh hak
laki-laki atau tentang warisanpun anak laki-laki 2kg (1 pikul) dan untuk anak perempuan 1kg
(1 gendongan). Laki-laki menjadi pemimpin unggul yang harus mengurus semua dan
mengambil keputusan sangatlah tertanam dan diakui, bahkan dapat menjadi sistem keluarga
yang disepakati. Pada zaman dahulu hal ini memang sangat dipegang teguh oleh semua orang
dan mereka yakin bahwa laki-laki memang bertanggung jawab penuh sebagai seorang
pemimpin. 51
Ada tiga asumsi dasar dalam struktur masyarakat patriarkal yaitu:52
Pertama, Manusia
pertama adalah laki-laki dan perempuan diciptakan darinya, sehingga ia adalah mahkluk
sekunder. Kedua, Walaupun perempuan adalah mahkluk kedua dalam penciptaan, tetapi ia
adalah mahkluk pertama dalam perbuatan dosa. Ketiga, Perempuan diciptakan dari dan untuk
laki-laki, sehingga tumbuh anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk
mendefinisikan status, hak dan martabatnya.
2.4.2.Pengaruh Budaya Jawa
Dalam pandangan kejawen, kesatuan kosmis yang harmonis dilengkapi dengan sebuah
tata pikir yang bersifat hierarkis. Setiap mahkluk dalam tatanan kosmos Jawa dipandang
memiliki posisi yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini tercermin dalam konsep
kekuasaan Jawa yang bersifat memusat, dimana pusat mempresentasikan superioritas baik
secara mistis maupun sosial. Sehingga model kekuasaan seperti ini mendasari dan mengatur
segala bentuk hubungan dalam dunia kosmos Jawa, tak terkecuali hubungan antara laki-laki
dan perempuan. Laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan perempuan periperinya. Karena
spiritualitas dinilai sebagai aspek superior dalam upaya pencpaian moralitas tertinggi dalam
51
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013, pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 52
Wanita Dalam Masyarakat Indonesia Akses.,Pemberdayaan dan Kesempatan, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, Cet I, 2001), 283.
31
kosmos Jawa, maka jelaslah apabila perempuan cenderung ditempatkan sebagai kekuatan
moral yang inferior. 53
Melihat fenomena budaya dalam kontek Jawa yang begitu hirarkis dan feudal,
sepertinya sulit terjadi sebuah perubahan, apalagi perubahan budaya dan pemaknaan akan
budaya itu. Masyarakat yang patriakhal mungkin cenderung menempatkan lawan jenis
sebagai manusia kelas dua.54
Jika berbicara mengenai hirarki dan kelas maka akan bermuara
pada struktur sosial menyangkut 2 konsep, yaitu status dan peran. Status merupakan
sekumpulan hak dan kewajiban sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status.
Seseorang yang menjalankan perannya ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang
merupakan statusnya. Selain itu juga ada konsep ini menunjukkan bahwa dalam suatu
struktur sosial terdapat ketidaksamaan posisi sosial antar individu.55
Status dan peran
berbeda dengan apa yang disebut sebagai kedudukan. Kedudukan adalah tempat atau posisi
seseorang dalam suatu kelompok sosial. Hal ini menyangkut kedudukan seseorang dalam
masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestisenya dan hak serta kewajiban-kewajibannya.56
Individu – individu, termasuk individu-
individu Jawa adalah agen kultural yang aktif dan kreatif dengan menggunakan berbagai
sarana prasarana yang tersedia.57
2.4.3. Perempuan Jawa
Perempuan Jawa adalah seorang perempuan yang dilahirkan oleh orang tua, bapak ibu,
orang yang tinggal di tanah Jawa dan menjunjung budaya Jawa yang menonjolkan
kesopanan. Perempuan Jawa tentunya juga mengemban kodratnya sebagai seorang
53
Perempuan Indonesia, 143. 54
G, Moetjanto, Konsep kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh raja raja mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987),
121. 55
Meriam Budiharjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa,(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1991), 16. 56
Soerjono Soekamto, Suatu Pengantar ( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), 7. 57
Moh. Roqid, Harmoni dalam Budaya Jawa ( Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), 41.
32
perempuan Jawa yang nota bene dilahirkan untuk berbudi pekerti dalam setiap „solah
bawa‟nya (bertingkah laku), sehingga mampu menempatkan dirinya sebagai „konco
wingking‟. 58
Peran perempuan Jawa sebagai “konco wingking” mengandung nilai filosofi sebagai
sebuah “ketulusan dan kebesaran jiwa”. Secara kosa kata Jawa “wingking” memiliki arti
tempat/ruang/area yang posisinya di bagian paling belakang. Kalau peran perempuan
menduduki area belakang, maka laki-laki diposisikan di depan, sebagai khalifah yang harus
menindak lanjuti apa yang sudah direncanakan di belakang. 59
Ruang bagian belakang (wingking) merupakan tempat/ruang untuk mempersiapkan
segala solusi dari sebuah persoalan, di sanalah seluruh kerepotan-kerepotan teknis yang
sebenarnya terjadi. Padahal untuk pekerjaan tersebut sangat membutuhkan waktu dan
beragam ketrampilan. Pekerjaan di (wingking) ini akan sangat melelahkan. Perempuan Jawa
dapat diibaratkan sebagai pondasi sebuah bangunan yang mampu menopang tegar tinggi
bangunan di atasnya. Perempuan Jawa sebagai pondasi tidak lagi butuh berpongah diri.
Sebagai pondasi perempuan Jawa rela “dipendam” dalam tanah (tidak nampak) agar
bangunan diatasnya dapat berdiri elok dan mentereng. 60
Perempuan Jawa dalam posisi tawarnya seakan berada di pihak yang pasif, ia sering
dibilang “swarga nunut, neraka katut”. Perempuan Jawa rela menerima dikatakan “nunut”
ketika menapaki pintu surga, sikap ini dilakukan tanpa protes apalagi memberontak.
Kemudian dipertegas dengan statemen “neraka katut”, yang dapat diartikan sampai di
belanga neraka-pun perempuan tetap bertanggung jawab dan tetap setia menemani laki-laki
(suami). Pertanggung jawaban secara spiritual semacam ini telah diambil perempuan Jawa
58
Hasil wawancara dengan Ibu Ne, Ibu Wh, Ibu Hw, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ
Semarang Barat) 59
AW/IDD, Perempuan Jawa Perempuan Pekerja,(Malang: 18 September 2012), jam 6:28, 2. 60
AW/IDD,Perempuan Jawa, 2.
33
dihadapan Tuhannya. Perempuan Jawa sejatinya telah berani mengambil sikap, sebagai
perempuan pekerja, perempuan yang tulus dan iklas dalam memberikan bhaktinya kepada
sang kalifah.
Sosok perempuan (istri) ideal diibaratkan seperti lima jari tangan manusia. Ibarat
jempol, perempuan harus mengabdi kepada laki-laki (suami). Ibarat telunjuk, perempuan
harus menuruti perintah laki-laki (suami). Ibarat penunjul (jari tengah), perempuan harus
mengunggulkan laki-laki (suami) bagaimanapun keadaaannya. Ibarat jari manis, perempuan
harus selalu bersikap manis. Ibarat jari jejenthik, perempuan harus berhati-hati, teliti, rajin,
dan terampil melayani laki-laki (suami).61
Fenomena ini memang seolah telah menjadi trend
setter bagi kebanyakan anggota masyarakat. Perempuan Jawa dalam kenyataaannya harus
mutlak berada dalam koridor domestik.62
Sikap hidup Perempuan Jawa dituntut untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika,
tata krama, kehalusan budi, menerima kodratnya sebagai perempuan, penurut, bersedia
mengalah, lemah lembut, dituntut untuk menjadi anak “manis” tidak macam-macam dan
menempatkan peran sentral sebagai istri dan ibu yang baik.63
Sebagai penyeimbang Perempuan Jawa lebih dikehendaki untuk berperan dari aspek
feminim. Sebagai ibu dengan peran mengasuh dan mendidik anak, menyediakan kebutuhan
rumah tangga sehari-hari, melayani suami dan anak, lebih halus dalam berkomunikasi, tidak
agresif, tidak dituntut untuk tampil memimpin baik di rumah, di masyarakat maupun di
organisasi, sehingga interaksi Perempuan lebih banyak di rumah. Perempuan Jawa umumnya
mendedikasikan hidupnya untuk melayani suami, anak-anak dan keluarga. Sebagai seorang
istri tidak boleh mempermalukan suami, Istri harus selalu menghormat suami, dan
menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan
61
Elizabeth D. Inandiak, Chentini Kekasih yang tersembunyi ( terjemahan), (Yogyakarta: Babad Alas, 2006) 62
Hildred Geertz, Keluarga Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), 129-134. 63
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
34
suami. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk
mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya.64
Dalam rangka memelihara kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup orang Jawa
tersebut, maka ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Jawa. Laki-laki pada
umumnya diberi peran yang lebih maskulin yaitu bekerja keras untuk menafkahi keluarga,
bertanggungjawab pada keluarga, menjadi pemimpin dalam keluarga, pemimpin dalam
masyarakat/oraganisasi, lebih ekspresif menyampaikan pendapat/ide dsb, sehingga lebih
berkesempatan untuk berinteraksi di luar rumah.65
Namun sejalan dengan berjalannya waktu pembagian peran perempuan dan laki-laki di
Jawa tidak lagi sepenuhnya berpatokan pada laki-laki maskulin dan perempuan feminim.
Tuntutan kerasnya hidup khususnya kebutuhan ekonomi telah mendorong perempuan untuk
menjalankan dua peran. Peran pencari nafkah dan peran ibu dalam rumah tangga.
Masyarakatpun memahami dua peran dan memberikan ruang yang cukup bagi perempuan
untuk melaksanakan dua peran tersebut. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Jawa sebagai
pencetus tumbuhnya emansipasi perempuan di Indonesia melalui peran ibu R.A Kartini.
Maka peran perempuan dalam memimpin keluarga, masyarakat maupun organisasi saat ini
sudah lumrah akibat perubahan, namun hal itu mereka lakukan dengan tetap berusaha
menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup sehari-hari. 66
Berbeda dengan peranan perempuan sebagai ibu secara wajar menciptakan peranan
pendidikan anak-anak serta segala pengaturan rumah tangga. Tidak mengherankan apabila
peranan perempuan lebih pada lingkungan keluarga dan rumah tangga, sehingga ada istilah
“kanca wingking” bagi para laki-laki (suami). Perempuan tidak banyak bertindak ke luar,
lebih statis dan pasif, tunduk dan taat kepada kepala keluarga. Fungsi sosial dan ekonomi
64
Hasil wawancara dengan Ibu Hl Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 65 Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 66
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
35
perempuan berbeda dari laki-laki, dan secara keseluruhan status perempuan dianggap
rendah.67
Pandangan mengenai anggapan rendahnya kedudukan perempuan disebabkan karena
sejak awal menurut adat tradisi selalu ditekankan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan
perempuan, salah satunya dalam hal pendidikan. Pendidikan bagi kaum perempuan belum
bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat umum. Batu-batu yang berdiri di pekuburan
menunjukkan nenek moyang laki-laki dan yang rebah menjadi alamat atau simbol nenek
moyang perempuan yang terkubur didalamnya.68
Pemerintah Indonesia yang begitu ngotot dalam memilah, menciptakan,
mendoktrinasi dan memaksakan konsep gender adalah Orde Baru. Gender dipandang sebagai
hal yang biner (lelaki dan perempuan) dengan perempuan pada posisi yang tidak
menguntungkan. Kepasrahan perempuan juga sering kali diartikan sebagai pengabadian
budaya bangsa.69
Perempuan dalam hal ini, dituntut untuk tidak saja menjaga diri mereka sendiri,
namun juga keluarga dan manusia-manusia disekitarnya. Karena itu pula, fungsi perempuan
Indonesia adalah penanda dan penjaga batas dari kebudayaan Indonesia.70
2.4.4.Kedudukan Perempuan Jawa
Kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat tidak terlepas dari sistem sosial
budaya. Dengan demikian, perubahan sosial budaya akan mempengaruhi kedudukan dan
peran perempuan.71
Seberapa banyak uang yang didapat, tidak akan pernah dianggap sebagai
67
Herusatoto,Simbolisme, 119. 68
Herusatoto,Simbolisme, 119. 69
Soe Tjen Marching, Kisah Di balik, 13. 70
Marching, Kisah Dibalik Pintu, 15. 71
Budi Munawar-Rahman, Rekontruksi Figh Perempuan Dalam Peradaban Mayarakat Modern, (Yogyakarta:
ababil,1996), 47-48.
36
pencari nafkah.72
Pemaparan tentang ideal menurut berbagai karya sastra Jawa
mencerminkan sebagaimana kedudukan dan peran perempuan keluarga dan masyarakat.
Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai istri (garwa), pendamping
laki-laki dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak.
Secara lebih luas sesuai dengan perannya dalam keluarga, perempuan dalam surat Candrarini
dilukiskan bisa macak, manak, dan masak.73
Sedangkan untuk mengetahui kedudukan
perempuan dalam keluarga Jawa maka perlu diperhatikan dan diketahui dari ciri terpenting
dalam hukum adat Jawa tentang ikatan keluarga.74
Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai mahkluk indah yang dengan
kecantikkannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafah Jawa
perempuan adalah bunga yang indah, bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman.
Perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang
siapa saja yang melihatnya.75
Perempuan ideal dalam budaya Jawa digambarkan penyandra.
Penyandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan dan kehalusan melalui ibarat.76
Peran Perempuan Jawa pada masa lalu, konon diyakini hanya sebatas lingkup dapur
(memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani suami). Meminjam istilah Emile
Durkheim yang dikutip oleh Julia Cleves Mosse, kaum perempuan Jawa modern sedang
berada dalam kondisi anomie, masih menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap budaya Jawa,
tetapi gaya hidupnya sudah universal dan modern.77
Hal ini menunjukkan betapa sempitnya
ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga tidak memiliki cakrawala diluar tugas-tugas
domestiknya. Dengan demikian perempuan bekerja dirumah digambarkan sebagai perempuan
72
Munawar Budi-Rahman, Rekontruksi, 67-68 73
Seri Dian IV, Kisah Dari Kampung Halaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), 276. 74
Hildred Geertz, Keluarga Jawa, 5. 75
Harwijaya, Seks Jawa Klasik, (Yogyakarta : Niagara Pustaka Sufi, 2004), 66-69. 76
Harwijaya, Seks Jawa, 66-69. 77
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pambangunan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994 ), 8.
37
yang tidak dapat mengupayakan atau menciptakan kebahagiaan bagi diri maupun
keluarganya.78
Hubungan antara laki-laki dan perempuan amat penting dalam menentukan posisi
keduanya yang meliputi peranan, kedudukan, hubungan dan tanggungjawab perempuan dan
laki-laki dalam keluaraga dan masyarakat.79
Perempuan telah menjadi bagian dari sejarah
tetapi perempuan hampir tidak dihadirkan dalam sejarah sosial. Sebelum tahun 1990an,
perempuan tidak dianggap penting dalam sejarah perempuan.80
Lebih tragis lagi,
pengkotakan laki-laki pada sektor publik dan perempuan disektor domestik juga berdampak
pada perolehan hak-hak perempuan. Dengan konsep sepikul-saghenddhongan sebagai hukum
pembagian harta warisan, seorang perempuan hanya memperoleh setengah dari yang diterima
laki-laki. Laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dibanding yang diterima perempuan.
Laki-laki mendapat sepikul dan perempuan mendapat se-gendhongan.81
2.4.5.Perempuan Jawa Dalam Bidang agama
Agama sebagai sebuah sistem kebudayaan bukan berarti agama itu budaya, akan tetapi
agama mempunyai peran dalam membentuk dan mewarnai tingkah laku manusia dan
masyarakat. Menurut Clifford Geertz, agama adalah sebuah sistem simbol-simbol yang
berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan
yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep ini dengan
semacam faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak lebih realistis.82
Departemen Kehakiman menemukan bahwa dalam ketentuan tentang keagamanan
masih ada perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Indikasi adanya diskriminasi
78
Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan, Perempuan Dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2001), 36. 79
Mosse, Gender dan Pambangunan, 8. 80
Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan,Mempersoalan pokok mengenai feminism dan relevansinya, (Jakarta:
Gramedia,1993), 35. 81
Seri Dian IV, Kisah Dari, 291. 82
Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, 171-172.
38
tersebut dapat dilihat dalam UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan, yaitu: Pasal 7 ayat (1)
perkawinan hanya diijinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Peraturan ini tidak memberikan perlakuan yang
sama antara laki-laki dan perempuan.83
Pasal 31 ayat (3), Suami adalah Kepala Keluarga dan
istri sebagai ibu rumah tangga. Peraturan ini membedakan peran yang rigid antara laki- laki
dan perempuan.84
Ajaran keagamaan yang meremehkan kaum perempuan berkembang disebabkan oleh
satu kenyataan bahwa ajaran agama itu dirumuskan dan disebarluaskan dalam struktur
masyarakat patriarkal. 85
Masalah kedudukan perempuan (istri) menurut ajaran Kristen Prostestan selalu
mengacu kepada hubungan suami istri seperti: Efesus 5:22,23,25 (22.Hai isteri, tunduklah
kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 23. karena suami adalah kepala isteri sama seperti
Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 25 Hai suami, kasihilah
isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya
baginya. 1 Petrus 3:1 mengungkapkan Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah
kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka
juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.86
Selama berabad, pada umumnya diberikan tekanan pada “kepala” dengan
mengartikannya sebagai pemimpin yang berkedudukannya lebih tinggi dari perempuan. Hal
ini berdampak kepada diskriminasif terhadap perempuan dalam hubungannya dengan
kekeluargaan maupun kepemimpinan dalam gereja. Apalagi kalau ditambah dengan ayat-ayat
yang mengatakan bahwa laki-laki diciptakan pertama kali oleh Allah baru kemudian
83
Wanita Dalam, 152. 84
Riant Nugroho, Dr. Gender dan Administrasi Publik,studi tentang Kualitas kesetaraan Gender dalam
Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1.2008), 222-
223. 85
Wanita Dalam, 283. 86
Alkitab, 1922-1923.
39
perempuan, sehingga ada kesan “superior dan inferior.87
Di bawah laki-laki, perempuan tidak
mempunyai otoritas dalam sistem politik dan hukum yang menentukan ukuran-ukuran sanksi
bagi terdakwa dan juga korban.88
Kedatangan misionaris tidak hanya membawa Injil Yesus Kristus tetapi juga dengan
kebudayaan patriarkalnya. Tidak dapat disangkal bahwa Injil dan kebudayaan telah diramu
dalam satu paket” firman Tuhan” dan di sampaikan kepada umat.89
Dalam Alquran menekankan logika yang berasal dari Tuhan, laki-laki dan perempuan
diciptakan dari jiwa (nafz) yang sama. Namun demikian, masih banyak para ahli hukum
yang membatasi persamaan antara kedudukan laki-laki dan perempuan hanya sampai pada
batas spiritual saja, dan membiarkan masyarakat membuat herarki-herarki dan pembatasan
tentang gender.90
Lebih lanjut dalam Alquran menyatakan dalam bagian pertamanya
(Alquran 4:34 disebut P) bahwa kaum laki-laki adalah qawwamun bagi perempuan. Apabila
diterjemahkan secara terpisah… (P) kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan,
oleh karenanya Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan arena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.91
Sehingga
jelas bahwa perempuan tidak mempunyai kedudukan dalam Islam. Posisi perempuan pada
masa pra Islam tidak memiliki tempat terhormat dihadapan laki-laki karena tidak adanya
pengakuan atau sikap laki-laki terhadap peran perempuan dalam masyarakat. Perempuan
tidak memiliki hak dalam persoalan waris dan pemilikan harta. 92
Kendala terhadap perkembangan jati diri perempuan di kalangan islam banyak terjadi
hambatan terhadap munculnya dalam berbagai kegiatan keagamaan, sosial, ekonomi, budaya
87
Wanita Dalam, 71-72. 88
Jane C. Ollenburger dan Helen A. moore, Sosiologi Wanita, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002), 234. 89
Perempuan Indonesia, 68. 90
Wanita Dalam, 19. 91
Wanita Dalam, 23. 92
Wanita Dalam, 39.
40
dan politik. Adapaun hambatan tersebut diantaranya kuranngya dipahaminya ajaran agama
dengan baik dan tepat, Pengaruh adat kebiasaan dan budaya setempat. 93
2.4.6. Gereja Kristen Jawa dan Perempuan
Gereja Kristen Jawa merupakan gereja suku Jawa yang tumbuh dan berkembang di
pulau Jawa. Bermula dari sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan
profesi buruh miskin, tukang membatik yang bekerja pada Ny. Van oostrom Phillips di
Banyumas, nekad berjalan kaki sejauh 300 Km. Suatu perjalanan panjang untuk sekedar
mendapatkan tanda baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada tanggal 10 Oktober 1858.
Mereka inilah cikal bakal pertama gereja yang nanti bernama Gereja Kristen Jawa. GKJ
tumbuh pertama kali dikawasan Banyumas oleh golongan akar rumput, buta huruf, anggota
masyarakat kelas bawah. 94
Tokoh Jawa yang sangat terkenal dalam memberitakan injil kepada masyarakat Jawa
yaitu Kyai Sadrach. Semula Kyai Sadrach adalah seorang yang suka ngelmu (usaha manusia
untuk mengetahui rahasia hidup). Ia bertemu dengan Kyai Tunggul Wulung, yang sudah
menjadi Kristen karena pemberitaan injil dari Mr.FL Anthing. Akhirnya Kyai Sadrach
bertemu dengan Mr.FL. Anthing dan mendapat pelajaran tentang Injil. Berbekal pelajaran
yang diterima maka Kyai sadrach memberitakan injil dengan menggunakan bahasa Jawa dan
adat Jawa yang tidak bertentangan dengan iman Kristen. Ia berkelana memberitakan Injil di
daerah Jawa Tengah, dari daerah Purworejo ke utara terus ke timur sampai ke daerah
Kendal.95
Seiring dengan perkembangan jaman, maka banyaklah orang Jawa yang menganut
agama Kristen. Pertumbuhan jemaat yang ada di Pulau Jawa tidak terlepas dari pekabaran
Injil dari Zending. Pada kenyataannya gereja Jawa tumbuh dalam ketergantungan yang akut
93
Wanita Dalam, 242. 94
Sejarah Singkat Sinode Gereja Kristen Jawa, (Salatiga: Agenda Sinode GKJ, 2014), 45-49. 95
45 Tahun Gereja Kristen Jawa Semarang Barat, (Semarang: PT Panji Graha, Cet 1, 2009), 3-5.
41
pada Pendeta Missi dan zendingnya. Pendewasaan kelompok Gereja-gereja pertama kali
terjadi atas gereja Purworejo (4 Februari 1900), disusul dengan pendewasaan gereja di kota-
kota di Pulau Jawa. Sehingga 17 Pebruari 1931 berdirilah Gereja-gereja Kristen Jawa di
Kebumen Jawa Tengah.96
GKJ yang sebagian besar Jemaatnya berkultur Jawa menganggap sebagai suatu hal
yang wajar jika laki-laki diberi peran lebih dalam mengelola kehidupan berjemaat dibanding
perempuan. Partisipasi perempuan dalam kehidupan GKJ juga masih tergantung pada
kemampuan perempuan untuk melakukan manajemen waktu dengan tugas-tugas profesi dan
keluarga. Terkadang kaum perempuan Jawa sendiri yang merasa dirinya kurang mampu dan
kurang berani dalam mengambil keputusan sehingga tidak mau berperan sama dengan laki-
laki.97
Peran perempuan dalam kehidupan Gereja Kristen Jawa masih sangat kurang. Hal ini
didukung dengan adanya larangan melalui akta Sidang Sinode. (sudah tertuang dalam bab 1).
Sebagai penyeimbang Perempuan Jawa lebih dikehendaki untuk berperan dari aspek
feminim. Sebagai ibu dengan peran mengasuh dan mendidik anak, menyediakan kebutuhan
rumah tangga sehari-hari, melayani suami dan anak, lebih halus dalam berkomunikasi, tidak
agresif, tidak dituntut untuk tampil memimpin baik di rumah, di masyarakat maupun di
organisasi, sehingga interaksi Perempuan lebih banyak di rumah. Perempuan Jawa umumnya
mendedikasikan hidupnya untuk melayani suami, anak-anak dan keluarga. Sebagai seorang
istri tidak boleh mempermalukan suami, Istri harus selalu menghormat suami, dan
menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan
96
Sejarah Singkat, 45-49. 97
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Ibu Vk, Ibu Wh, Ibu Srk, IbuHw, Minggu, 19 Januari 2014, pkl 19.00Wib.
(Lokasi di GKJ Semarang Barat)
42
suami. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk
mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya.98
2.5. Perspektif Perempuan Jawa tentang identitas Perempuan
2.5.1.Bermartabat sebagai Ciptaan Tuhan
Sejak semula, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Manusia diciptakan
segambar dengan Allah, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan.
Allah melihat untuk segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Karena ia
diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya
sesuatu, melainkan seorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya,
mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.
Perempuan sebagai ciptaan Tuhan Allah yang sejajar dengan laki-laki. Masing-masing
dilengkapi dengan kebaikannya dan keindahannya. Dan semuanya itu baik adanya. Allah
memberkati dan mengasihi keduanya. Hal itu menandakan bahwa laki-laki maupun
perempuan begitu berharga di mata Allah dan keberadaan perempuan dan laki-laki sangat
berarti. Hidup sebagai perempuan atau laki-laki merupakan anugerah Allah. Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi dan mengembangkan satu
terhadap yang lain. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan bersifat komplementer (Kej 2 :
18-25). Mereka saling membutuhkan dan saling tergantung satu sama lain. Laki-laki tidak
dapat hidup tanpa perempuan dan sebaliknya perempuan tidak bisa hidup tanpa laki-laki.
Setiap laki-laki atau perempuan dipanggil untuk mengembangkan dirinya sebagai laki-laki
dan sebagai perempuan menuju kesempurnaannya sebagaimana dikehendaki Allah.99
98
Hasil wawancara dengan Ibu Srk, Ibu Sr, Ibu Hl, Minggu, 29 Desember 2013, pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ
Semarang Barat)
99 Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat)
43
Manusia memiliki akal budi, kehendak bebas dan hati nurani. Dengan akal budinya,
manusia dapat mengerti dan menyadari dirinya dan dunia sekitarnya, dapat mengembangkan
hubungan yang khas antar manusia dan dapat membuat kemajuan. Dengan kehendak
bebasnya, manusia dapat bertindak, yaitu melakukan sesuatu dengan sengaja dan
bertanggung jawab. Ia dapat melakukan tindakan-tindakan moral. Dengan hati nurani
manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik dalam kehidupan kita
sehari-hari. Manusia dikaruniakan kemampuan untuk “berkuasa” oleh Allah. Ia diberi kuasa
untuk memanfaatkan, menata, dan melestarikan ciptaan lainnya. Ia menjadi rekan sekerja dari
Tuhan untuk mengembangkan alam ini. Karena semua manusia adalah citra Allah, berasal
dari Allah, maka semua manusia mempunyai ikatan kesatuan. Mereka harus saling
mengasihi, menghormati, tidak saling menghina dan merendahkan serta hidup sebagai
saudara satu terhadap yang lain.100
Kesederajatan antara perempuan dan laki-laki lebih menyangkut pemberian kesempatan
untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri seluas-luasnya tanpa kekangan. Hal itu
berarti memberi kemungkinan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk memiliki
dan mengungkapkan ide, gagasan, dan kreatifitasnya demi pengembangan diri dan
sesamanya. Perempuan mengungkapkan bermartabat untuk menyejajarkan identitas dalam
budaya Jawa. Perempuan mendapatkan hak hidup yang sama dengan laki-laki. Kejadian 2:18,
TUHAN Allah berfirman mengungkapkan bahwa posisi perempuan sebagai penolong laki-
laki yang sepadan. "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan
penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” ( Kejadian 2:18).101
100
Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat) 101
Alkitab, 37.
44
Responden menyampaikan bahwa Perempuan Jawa bukan hanya sekedar “ konco
wingking” tetapi adalah pasangan yang sepadan dengan laki-laki. Sosok Perempuan sebagai
ciptaan Tuhan merupakan pendamping bagi laki-laki, pendorong semangat bagi laki-laki dan
“sigaraning nyawa” atau belahan jiwa bagi laki-laki. Sehingga Perempuan Jawa dituntut
sikap hidupnya untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika dan martabat suami serta
keluarga.102
Perempuan Jawa harus ditumbuhkembangkan adanya pemahaman tentang kesetaraan
gender di tengah kehidupan berjemaat. Idealnya antara laki-laki dan perempuan itu sepadan.
Laki-laki harus memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk bisa tampil dan
berprestasi. Ternyata kesadaran laki-laki dan perempuan dapat menjadi kekuatan untuk
menciptakan keadilan dan kesetaraan antara manusia laki-laki dan perempuan. Hal ini
merupakan bukti sebagai ciptaan Tuhan yang segambar dengan Allah. Kaum perempuanpun
juga harus semangat dan percaya diri supaya bisa mengembangkan potensi diri dalam
bergereja, masyarakat, maupun dalam keluarga. Perempuan Jawa jangan dibeda-bedakan
dengan pendeta laki-laki, untuk membuktikan perlu dicoba kemampuannya. 103
Menurut responden, Perempuan sudah mendapatkan kesempatan yang sama besarnya.
Peluang untuk mengembangkan karier cukup terbentang luas tanpa ada batasan seperti
dahulu lagi. Ini artinya perempuan sudah menemukan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan,
yaitu Perempuan mendapatkan kesempatan berkarya yang sama. Tugas-tugas antara laki-laki
dan perempuan sudah tidak dibedakan. Perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam
melakukan pekerjaan di tengah-tengah masyarakat, namun perempuan harus tetap ingat akan
tugasa dan kodrat sebagai perempuan. Di tinjau dari berbagai kebijakan pemerintah
diantaranya Garis Besar haluan Negara (GBHN) 1993, perempuan yang bermartabat di
102
Hasil wawancara dengan Ibu Wh, Ts, Senin, 2 Des 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 103
Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat)
45
Indonesia mendapat kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengenyam pendidikan
dan untuk bekerja.104
Perlu diingatkan kembali bahwa dihadapan Tuhan semua manusia baik laki-laki
maupun perempuan adalah samaderajatnya, tidak ada warga Negara kelas 2. Dengan
pemahaman yang demikian, diharapkan supaya kaum perempuan tergugah dan terbuka
hatinya untuk sadar atas tanggungjawab gereja. Jika perempuan mampu melihat seseorang
dari potensinya, karakternya, integritas orang tersebut dan komitmennya maka akan lebih adil
dalam menilai seseorang tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu,
Pendeta perempuan harus diberi kepercayaan penuh.105
2.5.2.Identitas sebagai manusia berbudaya Jawa
Pandangan budaya Jawa tentang segala mitos Perempuan Jawa selalu diperhadapkan
dengan konflik dalam keluarga, gereja dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,
Perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan yang dapat menjalani hidup secara
independen, percaya akan kemampuan dirinya, mampu menampilkan dirinya sebagai pribadi
yang utuh, serta memiliki keberanian untuk melakukan protes terhadap tindakan yang
merugikan kaumnya dalam hidup berkeluarga, bernegara maupun bergereja. Seorang
perempuan Jawa yang ideal juga harus mampu berjuang menuntut hak-hak kaumnya yang
selama ini terbelenggu oleh si perempuan sistem patriakal. Perempuan Jawa untuk turut
terlibat dalam pekerjaan yang bernilai ekonomi karena itu satu-satunya jalan untuk dapat
dihargai sebagai seorang pribadi yang utuh.106
Responden mengungkapkan bahwa Budaya Jawa adalah kebiasaan-kebiasaan hidup
manusia yang dilakukan bersama oleh sekelompok masyarakat khususnya masyarakat yang
104 2012,Pengarusutamaan Jender Lingkup Departemen Kehutanan, (http://www.dephut.go.id/index.php/news/detail/269)
Diakses pada tanggal 10 September 2014.pkl 21.12. 105
Hasil wawancara dengan Ibu Wh,Ts,Bl, Minggu,5 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 106
Hasil wawancara dengan, Ibu Hl, Minggu, 29 Desember 2013,pkl 10.00Wib.(Lokasi di GKJ SemarangBarat)
46
berasal atau tinggal di pulau Jawa dan berbahasa Jawa. Masyarakat yang berbudaya Jawa
percaya bahwa dalam kehidupan sehari-hari perlu mengutamakan keseimbangan, keselarasan
dan keserasian. Hal ini tampak dalam keseharian hidup orang Jawa dari upaya mereka
menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhaaan.107
Perkembangan Jaman seperti sekarang ini, mendorong perempuan Jawa harus bisa
mandiri dan tidak boleh bergantung pada laki-laki. Perempuan Jawa bukan berarti pembantah
tetapi karena sudah adanya kemajuan dalam hal pendidikan maupun pengaruh luar, harus
berani tampil dan juga bersaing dengan laki-laki. Perlawanan perempuan terhadap budaya ini
sudah dibuktikan oleh R.A Kartini. Maka sudah saatnya peran perempuan dalam memimpin
keluarga, masyarakat maupun organisasi. Perempuan Jawa sudah terbiasa hidup dalam
perubahan dengan tetap berusaha menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan
keserasian hidup sehari-hari.108
Responden mengungkapkan bahwa Perempuan Jawa lebih maju, pandai, bisa mencari
nafkah sendiri, mampu menjadi seorang pemimpin. Perempuan Jawa semakin terangkat
derajatnya dengan adanya kesamaan gender dan sudah dibuktikan dengan mempunyai
Presiden Perempuan. Perempuan memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu,
mendapatkan jabatan struktural, baik dalam bidang politik dan organisasi sosial. Sudah
mulai diberi kesempatan, terbukti dengan adanya kuota-kuota yang di sediakan bagi
perempuan dalam berbagai bidang untuk menduduki jabatan puncak. Sekarang saatnya
perempuan Jawa mewujudkan Emansipasinya. Hal ini seharusnya membuat perempuan
makin sadar untuk menumbuhkan kemauan dan kemampuan agar memiliki peran yang sama
dengan laki-laki. Telah banyak bukti Perempuan Jawa kompeten sebagai pemimpin lokal,
107
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 108
Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sh,TFj,Hl, Minggu,2 Des 13.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat)
47
nasional bahkan dunia. Bahkan di era Reformasi untuk pertama kalinya Indonesia memiliki
pemimpin negara perempuan.109
Perempuan Jawa kini semakin aktif berpolitik dengan adanya ketentuan Caleg dari satu
partai harus mencapai 30% dari seluruh calon. Peran perempuan Jawa dalam berpolitik
sangat baik yaitu ada menteri perempuan, presiden perempuan. Bahkan ada perempuan Jawa
mampu menjadi pemimpin bank dunia yaitu dalam diri Sri mulyani. Partisipasi perempuan
Jawa sebagai pemimpin politik telah mengalami peningkatan. Perempuan Jawa yang sudah
mempunyai wawasan yang luas dapat diandalkan dalam kancah politik. Kaum perempuan
saat ini sudah pandai-pandai dan kuat serta mandiri.110
Perempuan Jawa sebenarnya lebih maju, pandai, bisa mencari nafkah sendiri, mampun
menjadi seorang pemimpin. Pada masa Orde Baru kondisi perempuan Jawa terangkat
derajatnya dengan adanya Undang-undang Perkawinan dan PNS harus hanya mempunyai
satu istri. Kondisi perempuan Jawa dalam konteks orde baru, peran perempuan lebih
meningkat hal ini terbukti dari beberapa perempuan yang tampil dalam jabatan politik,
jabatan struktural maupun dalam organisasi sosial. Dan sebagai perempuan Jawa tetap
menunjukkan ciri khas kejawaannya yang selalu andhap asor, walau perempuan Jawa
tersebut menduduki jabatan sebagai ketua/kepala dalam unit kerja/aktifitasnya. Kaum
perempuan lebih mempunyai peluang yang lebih besar dalam berperan, perempuan mulai
berperan di gereja dan di masyarakat. Sudah mulai ada pejabat perempuan Jawa dalam
pemerintahan, dalam perusahaan dan banyak juga jenis pekerjaan laki-laki yang mulai
dikerjakan oleh perempuan. Perempuan Jawa mengalami perubahan, dengan adanya
emansipasi perempuan maka sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan bekerja
109
Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Ks,Nn,TFj, Minggu,28 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat 110
Hasil wawancara dengan Ibu Ks,Wh,Hl,Nn,Hs, Minggu,19 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat)
48
sebagaimana laki-laki. Perempuan Jawa diberi kesempatan dalam berpendidikan, berkarya
dan bekerja.111
Dalam menjalankan tugasnya, perempuan Jawa pasti tidak mau kalah dengan kaum
laki-laki, terlebih lagi pendeta laki-laki bahkan lebih hebat. Untuk itulah, tuntutan pendeta
perempuan harus profesional dan proporsional dalam tugas pelayanannya. Secara normative
tidak ada aturan dari Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ yang membatasi dan
mendiskriminasi. Perempuan Jawa jaman sekarang juga sudah banyak yang tampil sebagai
pemimpin diberbagai lembaga/ instansi, perusahaan bahkan dikancah politik.112
Perempuan
perkotaan dalam realitas banyak yang mandiri, aktif, kritis, keluar dari lingkungan
domestiknya dan mampu memenuhi tuntutan perkembangan jaman. 113
Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang
identik. Segala suatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara
jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa
identitas adalah mustahil.114
Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari
proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti
sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya. Dalam konteks Indonesia misalnya bisa
dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh
institusi sosial berupa Dharma wanita. Demikian juga wacana mengenai posisi laki-
laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama.115
Selama ini perempuan tersisihkan dikarenakan rangkaian konvensi yang sangat kuat
mengatur perbedaaan antara peran privat dan peran publik perempuan. Pembedaan ini
111
Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Ks,Nn,Vk,Ews,Wh,Hw,DIk, Minggu,28 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di
GKJ Semarang Barat) 112
Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Nn,Ts,Wh, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 113
Einar M Sitompul, Agama-agama & Perjuangan Hak-hak Sipil, (Jakarta : Marturia, 2005), 160. 114
Donny Gahral Adian,” Feminis Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono (ed.)
Feminis Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The Japan Foundation, 2001),
23-34. 115
Veven Sp. Wardhana, “ Puanografi dan Media: Yang Bukan perempuan (Tak) Ambil Bagian”, dalam Nur
Iman Subono, Feminis Laki-laki, 90.
49
memotong akses perempuan dipatok terus pada kewajiban-kewajiban di lingkup privat yang
menghabiskan hampir seluruh waktunya setiap hari, seperti yang ditekankan oleh Louise
Ackers bahwa perempuan terperangkap dalam pekerjaan domestik yang membutuhkan full-
time. Tanggung jawab domestik yang amat banyak ini membuat mereka sulit untuk
berpartisipasi sebagai warga negara yang „sesungguhnya‟ di ranah publik.116
Gambaran ideal perempuan Jawa harus mempunyai sifat gemi, ati-ati, nastiti, sebagai
bentuk bakti kepada laki-laki.117
Ki Hajar dewantara mengatakan: “Inilah keadaan yang
nyata, yang khas, dan tubuh-tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan badan laki-laki,
perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan, yaitu kewajibannya karena akan
menjadi ibu, akan mengandung anak, melahirkan anak dan lain-lain”.118
Adapun fungsi
sebuah peran merupakan aspek dinamis dari status tersebut. Apabila seseorang melaksanakan
hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Peran
sendiri adalah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan dan disertai dengan
cara tingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan tersebut.119
Pada umumnya masyarakat Jawa masih menilai tinggi bahwa setelah menikah
sebaiknya perempuan tinggal dirumah mengurus rumah tangga dan mendidik anak.120
Seorang laki-laki tidak pantas menyibukkan diri dengan seluk beluk rumah tangganya.121
Dalam
masyarakat Jawa, cerminan kepribadian perempuan Jawa akan terlihat dalam sistem
sosialnya, yakni bersifat conform ( berusaha menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang
berlaku supaya dapat memenuhi harapan lingkungan masyarakatnya, meskipun tindakan-
tindakannya itu tidak sejalan dan sesuai dengan keinginannya), melalui proses sosialisasi dan
116
Louse Ackers,Shifting Space: Women, Citizenship and Migration within th European Union, 41. 117
Sri Suhandjati Sukri, Perempuan dalam Tradisi Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 85. 118
J Raharjo, Wanita Kota Jakarta,Kehidupan Keluarga dan Keluarga Berencana (Yogyakarta: GajahMada
University Press, 1980), 16. 119
Brunetta R Wolfman, Peran Kaum Wanita, cet V (Yogyakarta: Kanisius,1994), 10. 120
Proyek Penelitian (Javanologi), Wanita Jawa dan Kemajuan Jaman, peny. Gandarsih M.R. Santosa
(Yogyakarta: ttp,1985), 5. 121
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, cet II, 1994), 264.
50
inkulturasi. Sosialisasi yang didapatkan perempuan adalah bahwa perempuan harus manis,
diam, menurut, menerima dan mendengarkan serta selalu mendukung. Sebaliknya
perempuan dilarang interupsi dan bertindak kompetitif.122
Dalam keseharian hidup orang Jawa mengutamakan hubungan baik seperti: kerukunan,
tolong menolong, ramah, santun, tidak agresif, tidak suka berdebat, tidak menonjolkan emosi,
tidak to the point, tidak suka mengkirik orang, Mikul dhuwur, mendhem jero artinya
menghormati orang lain terutama kepada atasannya, orang tuanya atau suami/isterinya, serta
menyimpan aib saudaranya didalam hatinya, dan sebagainya. Dalam berkomunikasi tingkat
kesopanan, keseimbangan, keselarasan dan keserasian diperhatikan melalui penggunaan
bahasa yaitu bahasa Jawa yang bertingkat dari ngoko, krama hingga krama inggil. Orang
Jawa akan berusaha menggunakan tingkatan bahasa Jawa dan memperlihatkan bahasa tubuh
yang akan menimbulkan kesopanan dan keselarasan hidup dengan orang lain. Budaya Jawa
menjunjung tinggi derajat laki-laki dan seorang perempuan dianggap sebagai konco
wingking.123
Nilai-nilai tradisional Jawa banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam124
yang
menginterpretasikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan mengharuskan perempuan untuk
patuh kepada laki-laki. Pentingya kepatuhan perempuan itu direfleksikan dalam ungkapan
“swarga nunut neraka katut” yang artinya seorang perempuan harus mengikuti laki-laki
dengan setia, apakah ia akan ke surga atau ke neraka.125
Budaya Jawa juga menghasilkan kepercayaan sendiri yaitu Kejawen. Kejawen itu
sendiri berisikan seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa dalam
menjalankan hidup mereka sehari-hari, dalam interaksi dengan Tuhan, alam dan sesama
122
Nasarudin Umar, Bias Jender dalam pemahaman Islam, (Yogyakarta: gama Media, cet I, 2002), 18. 123
Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Ibu Ckb Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat) 124
Mark R Woodword, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, alih bahasa hamus Salim HS,
(Yogyakarta: LKiS,1999), 89. 125
Mohammad Hakimi, Membisu Dewi Harmoni, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women‟s Crisis Center, 2001),18.
51
manusia. Kejawen ini semacam spiritualitasnya suku Jawa. Dulu masyarakat Jawa adalah
penganut agama Hindu, Budha dan Kejawen. Peninggalan kehidupan sehari-hari serta
kehidupan agama masa Hindu - Budha masih bisa kita temukan hingga sekarang. Namun
mengingat mayoritas orang Jawa sekarang telah menganut agama Islam, Kristen atau
Katholik, maka nilai Hindu, Budha atau Kejawen tidak lagi mendominasi budaya hidup
mereka. Secara kelas sosial orang Jawa dapat dibagi dalam 3 kelas yaitu Abangan, Priyayi
dan Santri. Sejarah yang menunjukan bahwa di Jawa dapat menerima pengaruh masuknya
berbagai agama, etnis, interaksi ekonomi ini sebenarnya telah membentuk masyarakat Jawa
yang tidak suka konfrontasi, hidup harmonis dan toleran dengan perbedaan. 126
Dari uraian diatas, pandangan atau perspektif perempuan Jawa tentang identitas
Perempuan adalah bahwa perempuan Jawa masih mengalami tekanan dalam hidupnya.
Perempuan Jawa masih merasakan adanya pembedaan, martabatnya masih rendah, dianggap
menjadi sumber masalah, tidak boleh interupsi, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-
laki, dan masih dimasih diperlakukan sebagai konco wingking. Perempuan Jawa masih
dianggap sebagai pembantu penguasa dalam hal ini laki-laki. Perempuan Jawa menganggap
bahwa perundang-undang yang bias, tidak menjamin akan hak-haknya dan Pemerintahpun
belum mempunyai kepekaan akal hal ini.
2.5.3. Perempuan Jawa mengubah sistem Patriakal
Segala anggapan dan perlakuan perempuan dalam gereja, masyarakat, keluarga
menimbulkan gerakan untuk melakukan sebuah perubahan. Demikian pula pemahaman
responden, sangat diperlukan adanya rekontruksi atau perubahan cara pandang. Perubahan
cara pandang harus dilakukan oleh semua pihak karena pada umumnya budaya tidak mudah
126
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
52
untuk diubah, butuh waktu untuk mengubah kebiasaan, dan butuh keterlibatan berbagai
pihak. 127
Perempuan Jawa jaman sekarang sudah “dibebaskan” atau bebas dari penindasan, tidak
merasa ditindas seiring kemajuan emansipasi perempuan dalam berbagai bidang. Pada saat
ini perempuan sudah lebih dapat menikmati hak-haknya. Jika perempuan itu berpendidikan,
berwawasan yang luas, beriman dan berkeinginan maju dan berkeinginan untuk bangkit dan
maju maka akan sulit ditindas. Kesempatan perempuan Jawa untuk menuntut ilmu sama
seperti laki-laki. 128
Untuk jaman sekarang ini, sudah banyak berubah dimana kaum perempuan mendapat
hak yang sama dalam gereja, terlihat dengan banyak majelis perempuan, pendeta perempuan
dan juga pelayan-pelayan gerejawi yang lainnya juga banyak yang perempuan. 129
Peran
perempuan di luar kehidupan keluarga, bahan mulai dipandang sangat kompeten menjadi
pemimpin. Perempuan pada masa ini diperbolehkan ikut partai politik melalui Partai Golkar
yang dimotori oleh Kowani. Bahkan sebagai penghargaan beberapa pengurus Kowani
disediakan kursi diadalam Parlemen (DPR dan MPR). Pada masa Orde Baru ini pemerintah
membentuk organisasi perempuan yang diberi nama Komisi Nasional kedudukan Wanita
Indonesia ( KNKWI ).130
Dalam kehidupan bergereja di GKJ, perempuan sudah banyak yang diangkat sebagai
penatua dan diaken, bahkan dalam perkembangannya mampu menjadi ketua komisi, ketua
panitia. Maka perempuan diperlukan juga agar dapat ambil bagian di kehidupan Gereja
Kristen Jawa. Dan bukan hanya itu saja adanya masalah gender memang seharusnya
perempuan juga ambil bagian di kehidupan Gereja Kristen Jawa. Gereja Kristen Jawa tidak
127
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 128
Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Nn,Ts,Wh, Ns, Minggu,21 Des13.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat) 129
Hasil wawancara dengan Ibu Hw, Minggu,21 Des 2013.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 130
Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Tt, Minggu,28 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat
53
membedakan jemaat baik laki-laki dan perempuan, demikian juga tempat duduk jemaat tidak
dipisahkan. Jabatan dalam kemajelisanpun bagi Perempuan tetap diperbolehkan, demikian
pula berkotbah bila perempuan mampu dan diberi talenta untuk berkotbah dipersilahkan,
sepanjang tidak keluar dari tata Gereja Kristen Jawa.131
Sebaiknya perlu juga Gereja Kristen Jawa mempertimbangkan adanya pendeta
perempuan sehingga dapat menampung hal-hal tertentu dari aspirasi jemaat. Karena masalah
perempuan itu banyak sekali, dan untuk mengemukakan hal-hal tertentu kepada pendeta laki-
laki agak sungkan. Maka diperlukan pendeta perempuan agar dapat menampung
permasalahan perempuan, tetapi juga diberikan hak-haknya sebagai perempuan (cuti hamil,
melahirkan dsb). Dalam era yang makin memberi ruang tumbuhnya kesamaan peran pria dan
wanita, maka GKJ perlu memotivasi perempuan untuk tampil menjadi Pendeta perempuan
atau pemimpin Jemaat. Hal ini perlu ditempuh dengan jalan melakukan sosialisasi dan
menunjukkan jalur yang harus mereka tempuh untuk sampai kesana yaitu kompeten menjadi
Pendeta Perempuan. GKJ bekerjasama dengan keluarga dan semua pihak agar Pendeta
Perempuan dapat terwujud.132
Mulai dari rekontruksi budaya keluarga akhirnya perubahan
budaya masyarakat, dan berbagai pihak yang terkait. Teladan Pendeta yang berhasil di sebuah
gereja Klasis lain atau gereja lain di luar GKJ dapat di jadikan referensi. 133
Dengan
perkembangan jaman sebaiknya perempuan sudah harus mulai maju dan berani menjadi
pendeta perempuan. Setiap GKJ perlu mendorong perempuan Jawa untuk bisa menjadi
memimpin bahkan menjadi Pendeta Perempuan .134
Mulai dari rekontruksi budaya dalam keluarga, dan pada akhirnya perubahan budaya
masyarakat, serta berbagai pihak yang terkait. Perubahan cara pandang sangat diperlukan
131
Hasil wawancara dengan Ibu Wh,Sh,Tt, Minggu,19 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 132
Hasil wawancara dengan Ibu Sh,Hl, Minggu,12 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 133
Hasil wawancara dengan Ibu Ht,Tt, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 134
Hasil wawancara dengan Ibu Bl,Hl, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Bara
54
agar ada persamaan gender bukan hanya di bicarakan saja tetapi perlu diperjuangkan.
Seorang perempuan (calon pemimpin) bukan hanya dari gendernya saja tetapi harus dilihat
dari potensi yang ada didalam orang tersebut (baik itu laki-laki maupun perempuan). Pada
akhirnya perempuan tidak lagi dipandang kurang pantas dan kurang mumpuni untuk menjadi
seorang pendeta perempuan/pendeta jemaat dan juga dalam hal pengajaran iman.135
Perlu adanya penjemaatan sehingga warga gereja akan lebih memahami bahwa
perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki didalam berjemaat dan
perempuan juga pantas menjadi seorang pendeta. Pendeta perempuan harus diberi
kepercayaan penuh, jangan dibeda-bedakan dengan pendeta laki-laki, untuk membuktikan
perlu dicoba kemampuannya. Kebanyakan Jemaat perempuan ada yang lebih menikmati
membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi dengan Pendeta perempuan daripada dengan
pendeta laki-laki. Terutama permasalahan rumah tangga. Karena masalah perempuan itu
banyak sekali, dan untuk mengemukakan pada pendeta laki-laki agak sungkan. Maka
diperlukan pendeta perempuan agar dapat menampung permasalahan perempuan.136
GKJ perlu bekerjasama dengan keluarga dan semua pihak agar Pendeta Perempuan
dapat terwujud dan kesadaran sehingga perempuan dan laki-laki dalam pelayanan bisa
berjalan dengan baik. Supaya ideal maka perempuan dapat dijadikan Pendeta ke dua supaya
dapat saling melengkapi dalam satu gereja.137
Dengan adanya kondisi yang bersifat kultural (terkait dengan nilai-nilai budaya
patriarkal), sekaligus bersifat struktural (dimapankan oleh tatanan sosial politik yang ada),
maka diperlukan tindakan pemihakan yang jelas dan nyata guna menghilangkan kesenjangan
135
Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh, Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ
Semarang Barat) 136
Hasil wawancara dengan Ibu Ah, Ibu Ne, Ibu Hw, Ibu Nn Minggu,12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di
GKJ Semarang Barat)
137 Hasil wawancara dengan Ibu Skw, Minggu, 12 Desember 2013,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat)
55
gender dalam berbagai bidang. Untuk itu, diperlukan kemauan yang kuat agar semua
kebijakan dan program memperhitungkan kesetaraan dan keadilan gender. Upaya
peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan, serta kesetaraan gender dilaksanakan
dalam kerangka arah kebijakan: Meningkatkan taraf pendidikan, dan layanan kesehatan, serta
bidang pembangunan lainnya, untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum
perempuan.138
Program ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup, peran, dan kedudukan
perempuan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, dan meningkatkan perlindungan
bagi perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.139
Responden mengungkapkan bahwa ada pengaruh budaya Patriarkal terhadap hubungan
antara laki-laki dan perempuan Jawa. Responden mengungkapkan bahwa budaya patriarkal
adalah sebuah cara pandang dalam melihat eksistensi kaum perempuan, dimana peran laki-
laki lebih diutamakan ketimbang peran perempuan, maka akibatnya, lahir pola hubungan
yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan hubungan laki-laki
dan perempuan Jawa ini dapat terjadi baik dalam berbagai ranah. Perbedaan hubungan akan
terjadi baik di ranah sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Budaya patriarkal ini
tidak hanya berhenti pada persoalan gagasan, melainkan juga telah menghasilkan kebijakan-
kebijakan yang berimbas pada persoalan ekonomi kaum perempuan. 140
Budaya patriakal yang disepakati di dalam keluarga dan masyarakat akan menimbulkan
hubungan dimana laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin, penggung jawab, pengambil
keputusan. Laki-laki atau Ayah dalam keluarga memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-
138
Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh, Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ
Semarang Barat) 139
Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh, Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ
Semarang Barat) 140
Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
56
anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak
istimewa laki-laki dan menyebabkan urutan perempuan dibawah laki-laki (subordinasi).141
Patriarkal ini menyebabkan perbedaan distribusi kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti
penentuan garis keturunan (garis ayah dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung,
otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik dan politik, agama
atau pemilihan posisi dari berbagai pekerjaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh
pembagian kerja secara gender.142
Mengingat budaya patriarkal di Indonesia sangatlah kuat pengaruhnya, maka keluarga
atau masyarakat yang melakukan budaya semacam ini akan mendorong laki-laki untuk
berpengaruh secara lebih kuat dalam keluarga. Laki-laki lebih berhak mengambil keputusan
ketika ada masalah dan menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam
keluarga. Jika budaya patirakal ini terjadi dalam suatu keluarga maka perempuan akan
cenderung memilih peran atau terpaksa berperan di luar peran laki-laki. Dominasi peran laki-
laki seringkali tidak memberi peluang sistem partnership (kerjasama), akibatnya apapun
pendapat perempuan tidak didengar maupun dihargai.143
Bagi sebagian orang budaya Patriakal di sisi lain membantu kubu perempuan Jawa
untuk tidak perlu bersusah payah mencari nafkah karena telah memberikan tanggung jawab
tersebut kepada laki-laki. Dampak positif dari budaya patriarkal di Indonesia bagi masyarakat
adalah budaya ini akan membuat laki-laki sadar bahwa dirinya harus bertanggung jawab
penuh untuk mengayomi keluarganya dan tidak ingin keluarganya menderita. Ini juga
menunjukan bahwa seorang laki-laki itu harus mapan dan juga mampu menjadi tulang
punggung keluarganya ketika membutuhkan sesuatu. Karena sistem patriakal dapat dilakukan
141
Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 142
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 143
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
57
secara lebih sempurna oleh laki-laki yang baik dan bertanggung jawab dan bukan oleh laki-
laki yang hanya ingin santai dan tidak mau bekerja keras atau dan hanya tinggal di rumah.144
Opini responden, budaya patriakal dapat dilakukan dalam keluarga sepanjang kondisi
laki-laki memenuhi kriteria untuk berperan dalam aspek maskulinitas, sehingga perempuan
bisa memilih fokus pada peran mengurus rumah tangga, mendidik dan menyertai agar anak
anak dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi sejalan dengan tumbuhnya emansipasi yang
menumbuhkan peluang perempuan makin terdidik, kesempatan dalam ikut berperan dalam
ekonomi keluarga, maka meskipun pria mampu sebagai pemimpin keluarga, namun atas
kemauan perempuan itu sendiri dan dukungan keluarga, perempuan tetap dapat berperan dan
berkontribusi bagi masyarakatnya dalam berbagai bidang.145
Peran perempuan Jawa bahkan dapat lebih mendominasi dalam keluarga, akibat laki-
laki memberikan peluang atau karena laki-laki tidak dalam kondisi mampu bertanggung
jawab sepenuhnya dalam kehidupan keluarga.146
Hal inilah yang membuat sistem patriarkal
masih diakui oleh banyak orang dan dilakukan sampai sekarang karena dapat membangun
keseimbangan, keselarasan, keserasian hidup berkeluarga.147
Cara pandang seseorang memang tidak terlepas dari konsep budaya yang sudah ada
khususnya budaya Jawa. Tetapi cara pandang yang sudah terpartri dapat diubah dengan
memberikan masukan dan meyakinkan akan kemampuan Pendeta perempuan. Perubahan itu
perlu dilakukan supaya perempuan-perempuan itu tergugah dan terbuka hatinya untuk sadar
atas tanggungjawab gereja. Apalagi memiliki pendeta perempuan, kaum perempuan akan
lebih leluasa untuk membicarakan masalah mereka secara pribadi.148
Kebudayaan bukanlah
144
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 145
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 146
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 147
Hasil wawancara Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 148
Hasil wawancara dengan Ibu Ne, Ibu Wh, Ibu Hw, Minggu, 12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ
Semarang Barat)
58
sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya
sejarah. Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan
laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan
pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi.149
Ternyata para responden menginginkan sesuatu yang ideal terlebih dalam era yang
makin memberi ruang tumbuhnya kesamaan peran laki-laki dan perempuan, maka GKJ perlu
memotivasi perempuan untuk tampil menjadi Pendeta perempuan atau pemimpin Jemaat.
Gereja harus terbuka dengan perkembangan jaman, di mana kaum perempuan saat ini sudah
pandai-pandai dan kuat serta mandiri. Hal ini perlu ditempuh dengan jalan melakukan
sosialisasi dan menunjukkan jalur yang harus mereka tempuh untuk sampai kesana yaitu
kompeten menjadi Pendeta Perempuan. Usaha yang harus ditumbuhkembangkan adalah
adanya kesetaraan gender di tengah kehidupan berjemaat. Disamping itu kelompok laki-laki
harus mau memberikan peluang, kesempataan kepada kaum perempuan agar dapat maju
bersama membangun gereja bahkan membangun Negara. Alangkah indahnya kalau sesuai uu
partai politik, sekurang-kurangnya representasi keterwakilan Pendeta perempuan di
pelayanan jemaat minimal 30 %.150
Dalam rangka memelihara kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup orang Jawa
tersebut, maka ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Jawa. Laki-laki pada
umumnya diberi peran yang lebih maskulin yaitu bekerja keras untuk menafkahi keluarga,
bertanggung jawab pada keluarga, menjadi pemimpin keluarga, pemimpin dalam
149
Ivan A. Hadar, “Feminisme, Feminis Laki-laki dan Wacana Gender Dalam Upaya Pengembangan
Masyarakat”, dalam Nur Iman Subono, Feminis Laki-laki, 93-111. 150
Hasil wawancara dengan Ibu Sp, Ibu Srt, Ibu Hl, Ibu Ts, Minggu, 12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di
GKJ Semarang Barat)
59
masyarakat/oraganisasi, lebih ekspresif menyampaikan pendapat/ide dsb, sehingga lebih
berkesempatan untuk berinteraksi di luar rumah.151
Namun sejalan dengan berjalannya waktu pembagian peran perempuan dan laki-laki di
Jawa tidak lagi sepenuhnya berpatokan pada laki-laki maskulin dan perempuan feminim.
Tuntutan kerasnya hidup khususnya kebutuhan ekonomi telah mendorong perempuan untuk
menjalankan dua peran. Peran pencari nafkah dan peran ibu dalam rumah tangga.
Masyarakatpun memahami dua peran dan memberikan ruang yang cukup bagi perempuan
untuk melaksanakan dua peran tersebut. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Jawa sebagai
pencetus tumbuhnya emansipasi perempuan di Indonesia melalui peran ibu R.A Kartini.
Maka peran perempuan dalam memimpin keluarga, masyarakat maupun organisasi saat ini
sudah lumrah akibat perubahan, namun hal itu mereka lakukan dengan tetap berusaha
menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup sehari-hari. 152
Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka perempuan Jawa perlu menyatukan
kekuatan, menjalin kebersamaan untuk memerangi kondisi ini seperti tokoh pewayangan
yaitu Srikandi. Srikandi adalah tokoh wayang yang cukup diidolakan. Srikandi dalam versi
Mahabharata di India, lahir sebagai perempuan (titisan Amba). Sebagai istri Arjuna, Srikandi
juga berperang, mempunyai beberapa kekasih dan mempunyai banyak ciri kemaskulinan: ia
bisa mengubah dirinya menjadi lelaki.153
Perempuan Jawa menuntut kembali hak-haknya
yang telah direnggut oleh laki-laki supaya didengar, dihargai. Sehingga perempuan Jawa bisa
keluar dari tekanan sistem Patriakal. Cara yang harus ditempuh adalah dengan mengubah
cara pandang terhadap perempuan Jawa.
Perempuan Jawa mengharapkan adanya perubahan pandangan yang mendasar.
Perempuan Jawa harus melakukan rekontruksi identitas tentang status perempuan. Gereja
Kristen Jawa yang bertumbuh dan berkembang di Pulau Jawa diharapkan juga mampu
151
Hasil wawancara dengan, Ibu Hl, Minggu,29 Desember 2013,pkl 10.00Wib.(Lokasi di GKJ Semarang Barat) 152
Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 153
Marching, Kisah Dibalik,14.
60
melakukan perubahan dalam memandang perempuan. Oleh karena itu perlu adanya
pemahaman dan pemikiran yang lebih mendalam agar suatu perubahan dapat terjadi.
Perubahan-perubahan perlu diperhatikan oleh gereja dalam perjalanan menuju ke masa depan
dan meninggalkan status quo yang begitu lama dipertahankan. Sehingga perempuan Jawa
akan diterima menjadi pemimpin di Gereja Kristen Jawa sebagai pendeta jemaat. 154
2.6. Kesimpulan
Studi Poskolonial merupakan sebuah studi yang menawarkan sebuah perspektif “baru”
dalam menganalisa dampak dari penjajahan (kolonialisme), yang menyangkut dari orang-
orang minoritas dan tenggelam, diabaikan serta ditekan dalam sejarah. Studi poskolonial
merupakan teori yang memberikan kebebasan penafsir dalam konteks pengalaman sebagai
orang yang mengalami kolonialisasi bangsa-bangsa barat dan dampak yang masih dirasakan.
Teori poskolonial juga menganalisis praktik-praktik”penjajahan” yang masih berlanjut hingga
sekarang ini. Penjajahan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas (Barat) terhadap kelompok
minoritas (Timur) dalam struktur masyarakat (subaltern-dalam bahasa Gayatri Chakravort
Spivak), termasuk didalamnya penjajahan laki-laki atas perempuan. Sedangkan Edward
William Said dan Bhaba sangat tertarik dengan masalah percampuran budaya sebagai
kolonialisme. Dampak dari penjajahan tersebut adalah adanya adopsi unsur budaya para
penjajah dan yang pada akhirnya melahirkan hibriditas. Menurut Gayatri, Pemikiran
poskolonial dalam perkembangan sejarah mencoba menempatkan masalah perempuan dalam
bentuk kolonialisasi. Perempuan mengalami kolonialisasi ganda yaitu sebagai yang dikuasai
dan diskriminasi dalam budaya patriakal. Studi poskolonial diharapkan mampu untuk
mengadakan perubahan dan menyuarakan dari kaum minoritas dan terabaikan tersebut.
154
Hasil wawancara dengan, Ibu Hl, Minggu, 29 Desember 2013,pkl 10.00Wib.(Lokasi di GKJ SemarangBarat)
61
Perempuan merupakan ciptaan Tuhan yang berbeda fisiknya dengan laki-laki.
Perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil,
melahirkan anak dan meyusui. Oleh karena itu, ketidakadilan gender menyentuh semua
dimensi kehidupan manusia, misalnya dalam nidang budaya, religious, ideologi politik, dan
ekologis. Perempuan Indonesia dari tahun ke tahun selalu menekankan hak dalam bidang
pendidikan, mengangkat derajatnya, emansipasi perempuan, dan keadilan serta lepas dari
cengkeraman budaya patriakal.
Budaya Jawa adalah pengejawantahan atau pancaran budi manusia Jawa yang
mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir batin. Masyarakat Jawa menganut sistem kekeluargaan patriakal yang
berarti kekuasaan berada ditangan laki-laki. Laki-laki dilahirkan untuk berkuasa dan
perempuan untuk dikuasai. Bahkan responden Hl menyampaikan bahwa laki-laki diciptakan
nomor satu dan perempuan nomor dua.
Perempuan Jawa adalah seorang manusia yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan
oleh orang tua, bapak ibu, orang yang tinggal dipulau Jawa yang menonjolkan kesopanan.
Sikap perempuan Jawa dituntut untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika, tatakrama,
kehalusan budi, melayani suami dan anak-anak. Perempuan Jawa terikat serta terkekang
kebebasannya oleh budaya Patriakal yang melekat dalam tradisional sehingga mendapat
predikat sebagai konco wingking. Konon, peran perempuan Jawa pada masa lalu diyakini
hanya sebatas lingkup dapur (memasak), sumur (mencuci) dan kasur (melayani suami).
Seorang perempuan Jawa dalam hal hukum pembagian warisan hanya menerima setengah
dari yang diterima laki-laki.
Gereja Kristen Jawa merupakan gereja suku yang tumbuh dan berkembang di pulau
Jawa. Jemaat Gereja Kristen Jawa menganggap wajar jika laki-laki diberi peran yang lebih
tinggi dalam mengelola kehidupan berjemaat dibanding dengan perempuan. Gereja Kristen
62
Jawa juga mengembangkan sistem pemerintahan gereja yang patriakal sehingga peran
perempuan masih sangat kurang.
Ada tiga perspektif perempuan Jawa tentang identitasnya yaitu Pertama, Perempuan
Jawa bermartabat sebagai ciptaan Tuhan artinya perempuan sebagai ciptaan Tuhan Allah
yang sejajar dengan laki-laki. Kedua, Perempuan Jawa yang beridentitas sebagai manusia
berbudaya Jawa. Perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan yang dapat menjalani hidup
secara bebas, percaya akan kemampuan dirinya, mampu menampilkan dirinya pribadi yang
utuh, serta memiliki keberanian untuk melakukan protes terhadap tindakan yang merugikan
kaumnya dalam hidup berkeluarga, bernegara maupun bergereja. Dalam keseharian hidup
perempuan Jawa diharapkan untuk bisa berkomunikasi dan mengutamakan hubungan baik
sesuai dengan budaya Jawa. Ketiga, perempuan Jawa yang menjadi agen perubahan untuk
mengubah sistem patriakal. Pemahaman responden sangat baik bahwa dalam situasi seperti
ini dibutuhkan adanya cara pandang atau rekontruksi. Rekontruksi harus dilakukan oleh
semua pihak walau membutuhkan waktu yang lama. Perempuan Gereja Kristen Jawa sangat
menginginkan adanya perubahan cara pandang yang lebih positif terhadap identitas
perempuan sehingga mungkinkan perempuan menjadi seorang pemimpin gereja.