BAB II PENINGKATAN DISPERSI LIMBAH MINYAK BERAT KE DALAM ... · KE DALAM AIR DENGAN PENAMBAHAN...
Transcript of BAB II PENINGKATAN DISPERSI LIMBAH MINYAK BERAT KE DALAM ... · KE DALAM AIR DENGAN PENAMBAHAN...
BAB II
PENINGKATAN DISPERSI LIMBAH MINYAK BERAT KE DALAM AIR DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN
ABSTRAK
Proses degradasi limbah minyak berat oleh bakteri terjadi jika bakteri dapat memanfaatkan hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat sebagai sumber karbon. Untuk terjadinya degradasi harus ada kontak antara bakteri dan hidrokarbon itu sendiri. Penambahan surfaktan dapat meningkatkan dispersitas limbah minyak berat dalam matriks tanah kedalam air sehingga dapat memudahkan kontak antara bakteri dengan sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya. Pada penelitian ini, surfaktan yang dikaji adalah surfaktan anionik (Linear Alkil Sulfonat (LAS) dan natrium dodesil sulfat (NDS)) dan surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35). Parameter yang diamati adalah konsentrasi surfaktan dan laju pengadukan. Konsentrasi surfaktan ditentukan dari nilai tegangan permukaan dan stabilitas emulsi. Stabilitas emulsi tertinggi yaitu sebesar 1.58% didapatkan dari penambahan surfaktan LAS pada konsentrasi 0.04%. Laju pengadukan yang digunakan adalah 100, 120, dan 140 rpm. Laju pengadukan optimum diperoleh pada kecepatan pengadukan 140 rpm, hal ini didasarkan pada nilai TPH pada fasa cair. Nilai TPH fasa cair pada laju 140 rpm untuk LAS dan NDS masing-masing adalah 1.33% dan 1.68%. Sedangkan untuk Tween 80 dan Brij 35 adalah 0.40% dan 0.74%. Nilai TPH fasa cair menggambarkan banyaknya minyak yang terdispersi ke dalam air. Parameter lain seperti TPH fasa padat dan chemical oxygen demand (COD) yang diperoleh untuk laju 140 rpm adalah 10.20% dan 33258 mg/L untuk LAS, sedangkan untuk NDS sebesar 9.12% dan 35909 mg/L. Untuk Tween 80 adalah 15.56% dan 41235 mg/L, sedangkan untuk Brij 35 sebesar 16.55% dan 41717 mg/L. Surfaktan LAS pada kosentrasi 0.04% dapat meningkatkan dispersi limbah minyak bumi lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya karena stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan dengan surfaktan NDS, Tween 80 dan Brij 35.
19
PENDAHULUAN
Biodegradasi limbah minyak bumi merupakan suatu proses yang
kompleks, dan tergantung kepada komunitas bakterinya, kondisi lingkungan dan
limbah minyak bumi yang akan didegradasi. Limbah minyak bumi yang
digunakan adalah limbah minyak berat (minyak bumi fraksi berat) yang
terdapat pada bongkahan-bongkahan tanah, sehingga dalam proses
biodegradasi menggunakan bakteri diperlukan penanganan khusus.
Biodegradasi limbah minyak bumi di lingkungan air terjadi pada bagian
antarmuka lapisan air dan minyak. Oleh karena itu, biodegradasi akan lebih cepat
terjadi bila limbah minyak tersebut dalam bentuk terdispersi dalam air. Kondisi ini
akan memudahkan penyediaan oksigen dan unsur-unsur makanan yang diperlukan
untuk pertumbuhan mikroba (Udiharto 1996). Bakteri dapat bekerja jika terdapat
kontak dengan senyawa hidrokabon. Dalam proses tersebut terjadi penguraian
hidrokarbon oleh bakteri yang telah teradaptasi dengan baik di lingkungan
tersebut.
Dispersi minyak bumi ke dalam medium air lebih mudah terjadi bila
ditambahkan surfaktan. Surfaktan adalah senyawa organik yang memiliki gugus
polar dan non-polar sekaligus dalam satu molekulnya. Surfaktan dapat mengikat
minyak yang bersifat non-polar dan di sisi lain surfaktan juga dapat mengikat air
yang bersifat polar, sehingga surfaktan dapat memudahkan kontak antara mikroba
dengan sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya. Dalam penelitian
ini digunakan surfaktan anionik dan nonionik karena surfaktan anionik dan
nonionik umumnya bersifat biodegradabel, tidak bersifat toksik terhadap mikroba,
dan harganya relatif murah (Kosswig dan Marl 2003) jika dibandingkan dengan
surfaktan kationik yang bersifat toksik terhadap mikroba (Tharwat 2005). Oleh
karena itu dalam penelitian ini dilakukan penambahan surfaktan anionik dan
nonionik yang disertai pengadukan agar membantu kecepatan dispersi limbah
minyak bumi ke dalam air sehingga mempercepat proses degradasi.
Penelitian bertujuan menentukan konsentrasi optimum surfaktan anionik
dan nonionik sebagai pendispersi limbah minyak bumi dalam air serta laju
pengadukan optimum yang mendukung dipersi limbah minyak bumi dalam air.
20
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah surfaktan anionik, yaitu LAS dan
NDS, surfaktan nonionik, yaitu Tween 80 dan Brij 35, heksana, silika gel,
Na2SO4 anhidrat, 5% (b/v) limbah minyak berat yang berasal dari lapangan
minyak di Duri Riau, larutan K2Cr2O7, ferroamonium sulfat, H2SO4 pekat,
K2Cr2O7-HgSO4, Ag2SO4, dan H2SO4
. Alat-alat yang digunakan adalah alat-
alat gelas, hot plate, waterbath, ultrasonic homogenizer, oven, magnetic stirrer ,
turbidimeter, piknometer dan surface tensiometer Model 20.
Prosedur Analisis
Pengukuran Bobot Jenis Akuades dan Surfaktan
Piknometer kosong ditimbang, lalu diisi dengan akuades sampai penuh dan
ditimbang kembali. Bobot akuades merupakan selisih antara bobot piknometer
yang berisi akuades dengan bobot piknometer kosong. Untuk penentuan bobot
jenis surfaktan dilakukan dengan prosedur yang sama seperti bobot jenis akuades,
pada suhu yang sama.
Pengukuran Tegangan Permukaan Surfaktan (ASTM 2001)
Surfaktan LAS dilarutkan dalam akuades dengan ragam konsentrasi 0.01,
0.02, 0.03, 0.06, 0.13, 0.25, dan 0.50 (% b/v). Surfaktan NDS dilarutkan dalam
akuades dengan ragam konsentrasi 0.10, 0.15, 0.20, 0.25, 0.30, 0.35, dan 0.40
(% b/v). Surfaktan Tween 80 dan Brij 35 dilarutkan dalam akuades dengan ragam
konsentrasi 0.0025, 0.0050, 0.0075, 0.01, 0.0125, 0.015, 0.0175, 0.02,
0.0225, 0.025, 0.0275, 0.03, 0.035 dan 0.04 (% b/v). Cincin Pt-Ir yang bersih
dikaitkan pada kail. Sebanyak 40 mL dispersi dipindahkan ke dalam gelas
kimia dan ditempatkan pada meja sampel. Meja sampel digerakkan
sampai cairan ada di bawah cincin Pt-Ir. Cincin tercelup sekitar 1/8
inchi. Tangan torsi dilepaskan dan alat diatur ke posisi nol, posisi
diatur dengan tombol putar bagian kanan sampai garis dan jarum penunjuk
berimpit. Tombol putar di bawah skala depan diputar sampai skala vernier
pada skala luar dimulai dari nol. Meja sampel diturunkan sampai cincin berada
di permukaan cairan. Permukaan cairan akan menjadi gelembung, kemudian
21
dilanjutkan dengan dua pengaturan bersama sampai lapisan gelembung pada
permukaan cairan pecah. Skala yang terbaca pada titik pecah lapisan gelembung
adalah tegangan permukaan terukur.
Pengukuran Busa Larutan Surfaktan (ASTM 2002)
Dari stok surfaktan anionik (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik (Tween
80 dan Brij 35) dibuat lima konsentrasi yang memiliki nilai tegangan permukaan
mendekati konsentrasi misel kritis (KMK), kemudian 20 mL surfaktan dengan
masing-masing konsentrasi dimasukkan ke dalam botol khusus (volume 500 mL).
Botol tersebut ditempatkan pada waterbath (25 ± 1ºC) selama 1 jam. Suhu dalam
waterbath diukur dan diatur menjadi 25 ± 1ºC. Botol dikeluarkan dari penangas
dan ditandai tinggi cairan 1 mm di atas permukaan cairan (I). Tanda kedua dibuat
10 mm lebih tinggi dari tanda pertama. Botol tersebut dikocok dengan kuat
(minimal 40 kali) dalam waktu kurang dari 10 detik. Tinggi total busa ditandai (1
mm di atas permukaan busa), tinggi ini disebut dengan tinggi total busa pada
waktu nol (M). Pencatat waktu dinyalakan. Botol diletakkan di meja dan dicatat
waktu turunnya busa sampai tanda kedua. Jika tinggi busa melebihi tanda 10 mm
tersebut, tinggi busa dicatat sebagai tinggi total setelah 5 menit (R). Suhu
pengukuran dicatat. Tinggi busa maksimal (FM) dan tinggi busa setelah 5 menit
(FR
F
) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
M
F
= M-I
R
Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Terhadap Stabilitas Emulsi
= R-I
Dari stok surfaktan anionik (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik (Tween
80 dan Brij 35) dibuat lima konsentrasi yang memiliki nilai tegangan permukaan
mendekati konsentrasi misel kritis (KMK), kemudian 50 mL surfaktan dengan
masing-masing konsentrasi tersebut dicampurkan dengan 14.7059 gram tanah
tercemar minyak bumi. Larutan tersebut dihomogenkan dengan menggunakan
ultrasonic homogenizer masing-masing selama 5 menit pada frekuensi 25 kHz,
kemudian diukur turbiditasnya dengan menggunakan turbidimeter. Setiap emulsi
yang sudah dibuat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus selama
22
awalsampelbobotyakbobot min
45 menit pada kecepatan 2000 rpm, kemudian diukur kembali turbiditasnya
dengan menggunakan turbidimeter. Stabilitas emulsi dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
% Stabilitas emulsi = emulsiawalturbiditasemulsiakhirturbiditas
X 100%
Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Dispersi Minyak dalam Air
Sebanyak 200 mL larutan surfaktan (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik
(Tween 80 dan Brij 35) dengan konsentrasi stabilitas emulsi paling tinggi
kemudian dicampur dengan 58.8235 gram tanah tercemar minyak bumi kemudian
diaduk dengan magnetic stirrer dan diatur kecepatan pengadukan dengan laju 100,
120, dan 140 (rpm) selama 1 jam. Masing-masing perlakuan dianalisis TPH fasa
padat, TPH fasa cair, pH, dan COD.
Pengukuran TPH Fasa Padat (US EPA Method 1998)
Tanah tercemar minyak bumi sebanyak 5 gram diekstraksi dengan Soxhlet
menggunakan 100 mL heksana. Kandungan air pada ekstrak dihilangkan dengan
menambahkan Na2SO4
%TPH (g/g) = x 100%
anhidrat, kemudian disaring. Pelarut diuapkan setelah itu
dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C. Sampel hasil
pengeringan dilarutkan kembali dengan 100 mL heksana dan ditambahkan silika
gel untuk menghilangkan senyawa-senyawa polar dan disaring. Pelarut diuapkan
kembali dan dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C, bobot yang
terukur merupakan residu minyak (nilai TPH). Nilai TPH dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Pengukuran TPH Fasa Cair (US EPA Method 1999)
Sebanyak 50 mL larutan surfaktan yang telah dicampur dengan tanah
tercemar minyak bumi disaring kemudian diekstrak dengan corong pisah
menggunakan 25 mL heksana sebanyak dua kali. Kandungan air pada ekstrak
dihilangkan dengan menambahkan Na2SO4 anhidrat, kemudian disaring. Pelarut
23
diuapkan setelah itu dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C.
Sampel hasil pengeringan dilarutkan kembali dengan 50 mL heksana dan
ditambahkan silika gel untuk menghilangkan senyawa-senyawa polar dan
disaring. Pelarut diuapkan kembali dan dipanaskan dalam oven selama 45 menit
pada suhu 70°C, bobot yang terukur merupakan residu minyak (nilai TPH). Nilai
TPH dihitung dengan rumus sebagai berikut
%TPH (g/mL) = sampelbobot
yakbobot min x 100%
Pengukuran pH
Sebanyak 50 mL larutan surfaktan yang telah dicampur dengan tanah
tercemar minyak bumi dimasukkan ke dalam gelas piala 100 mL kemudian
dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan indikator pH universal.
Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah pengadukan.
Pengukuran COD (Clesceri et al. 2005)
Sebanyak 10 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung COD, ditambahkan 5
mL larutan campuran kalium dikromat-merkuri, ditambahkan 10 mL larutan
campuran asam sulfat-perak sulfat dan campuran diaduk kemudian ditutup. Tahap
diatas diulangi pada 10 mL air suling sebagai blanko. Setelah masing-masing unit
pengaman pada tutup dipasang, tabung dimasukkan ke dalam oven pada suhu
150°C. Setelah 2 jam, tabung COD dikeluarkan dari dalam oven dan dibiarkan
hingga dingin. Campuran dari tabung COD dipindahkan ke dalam labu
erlenmeyer 100 mL dan dibilas dengan 10 mL air suling. 2 mL asam sulfat pekat
dan 3 tetes larutan indikator feroin ditambahkan secara berturut-turut ke dalam
campuran. Campuran dititrasi dengan larutan baku fero amonium sulfat 0.05 N
yang telah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi
merah coklat lalu dicatat volume pemakaian larutan baku fero amonium sulfat.
Nilai COD dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
COD (mg/L) = ( )( ) xfpmLsampelVolume
oksigenBExxNxBA 1000−
A = volume FAS yang terpakai (blanko) B = volume FAS yang terpakai (sampel)
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tegangan Permukaan Larutan Surfaktan
Pengukuran tegangan permukaan larutan surfaktan anionik dan nonionik ini
menggunakan metode cincin du Nouy. Prinsip metode cincin Du Noűy adalah
gaya yang diperlukan untuk menarik cincin sebanding dengan tegangan
permukaan. Nilai tegangan permukaan larutan surfaktan anionik dan nonionik
dikoreksi dengan hasil pengukuran bobot jenis atau densitas larutan surfaktan
yang dapat dilihat pada Lampiran 2.1 sampai Lampiran 2.4. Hasil pengukuran
tegangan permukaan yang terlampir pada Lampiran 2.5 sampai Lampiran 2.8
menunjukkan bahwa penurunan tegangan permukaan maksimum untuk LAS
diperoleh pada konsentrasi 0.06% dan untuk NDS diperoleh pada konsentrasi
0.20%, sedangkan untuk Tween 80 dan Brij 35 diperoleh pada konsentrasi
0.0175% (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Tegangan permukaan maksimum dan minimum dari larutan surfaktan
Surfaktan Konsentrasi(% b/v) Tegangan Permukaan(dyne/cm)
LAS 0.00 72.93 0.01 62.95 0.06 28.99
NDS 0.00 71.62 0.10 31.77 0.20 25.10
Tween 80 0.00 71.71 0.0025 71.34 0.0175 49.50
Brij 35 0.00 71.71 0.0025 49.77 0.0175 31.29
Dari grafik pada Gambar 2.1 dan 2.2 terlihat mula-mula terjadi penurunan
tegangan permukaan yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena molekul-
molekul surfaktan teradsorpsi pada antar-muka sistem yang tidak saling campur
(air-minyak-tanah). Jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan lagi, maka sebagian
molekul-molekul surfaktan akan membentuk misel, yaitu gerombol kecil molekul
yang bagian hidrofobiknya (nonpolar) berada di bagian tengah dan bagian
25
hidrofiliknya (polar) berada di bagian luar. Misel-misel itu tersolvasi oleh molekul
air. Oleh karena itu, kenaikan konsentrasi surfaktan akan meningkatkan jumlah
misel yang terbentuk, sehingga tegangan permukaan menjadi semakin rendah.
Gambar 2.1 Tegangan permukaan larutan LAS (■) dan NDS (♦)
Gambar 2.2 Tegangan permukaan larutan Tween 80 (●) dan Brij 35 (▲)
Konsentrasi surfaktan pada saat pertama kali terbentuk misel disebut
konsentrasi misel kritis (KMK). Pada saat KMK terjadi nilai tegangan permukaan
hampir mencapai jenuh. Pada konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi, hampir
semua molekul surfaktan membentuk misel dan hanya sedikit molekul yang
0
20
40
60
80
0,00 0,20 0,40 0,60
Tega
ngan
Per
muk
aan
(dyn
e/cm
)
Kosentrasi (%)
0
20
40
60
80
0 0,01 0,02 0,03 0,04
Tega
ngan
Per
muk
aan
(dyn
e/cm
)
Kosentrasi (%)
26
teradsorpsi pada antar-muka sistem air-minyak-tanah, sehingga hanya sedikit
terjadi penurunan tegangan permukaan.
Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan bahwa tegangan permukaan tanpa
penambahan surfaktan adalah yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena air
memiliki tegangan permukaan yang lebih besar 72.75 dyne/cm (Atkins 1999)
dibandingkan larutan surfaktan dan kebanyakan cairan lain karena gaya kohesinya
yang lebih besar berdasarkan ikatan hidrogennya.
KMK LAS terjadi pada konsentrasi yang lebih rendah (0.06%)
dibandingkan dengan KMK NDS, Tween 80, dan Brij 35, disebabkan karena
perbedaan struktur LAS dengan struktur surfaktan yang lainnya (Gambar 2.3).
Struktur LAS mengandung benzena sedangkan NDS, Tween 80 dan Brij 35
strukturnya hanya berupa rantai alkil linier. Adanya benzena pada struktur LAS
akan menstabilkan muatan pada gugus polar sehingga LAS lebih mudah larut
pada sistem air-minyak-tanah.
S
O
O
O-
CH3
CH3
Na+
Linear alkilbenzena sulfonat (LAS) Tween 80
SO
O
O-OCH3 Na
+
Natrium dodesil sulfat (NDS) Brij 35 Gambar 2.3 Struktur molekul surfaktan LAS, NDS, Tween 80 dan Brij 35
27
Pengaruh Konsentrasi Surfaktan pada Stabilitas Emulsi
Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk melihat pengaruh stabilitas
emulsi didasarkan pada nilai tegangan permukaan yang terkecil, yaitu 28.99
dyne/cm untuk LAS pada konsentrasi 0.06% dan 25.10 dyne/cm untuk NDS
pada konsentrasi 0.20%. 49.58 dyne/cm untuk Tween 80 dan 31.29 dyne/cm
untuk Brij 35 pada konsentrasi 0.0175%. Hasil pengukuran stabilitas emulsi dari
dispersi limbah minyak berat yang dihomogenkan selama 5 menit pada frekuensi
25 kHz dan disentrifus selama 45 menit pada kecepatan 2000 rpm, kemudian
diukur nilai kekeruhannya hanya mengubah stabilitas emulsi sedikit saja
(Lampiran 2.9-2.12). Namun terlihat adanya kenaikan stabilitas emulsi sampai
suatu titik, kemudian stabilitas emulsi cenderung tetap. Untuk surfaktan anionik,
stabilitas emulsi maksimum pada LAS adalah 1.58% pada konsentrasi 0.04% dan
untuk NDS adalah 0.45% pada konsentrasi 0.15%. Sedangkan untuk surfaktan
nonionik, stabilitas emulsi maksimum untuk Tween 80 sebesar 0.24% pada
konsentrasi 0.0175% dan Brij 35 sebesar 0.22% pada konsentrasi 0.0150%. Jika
nilai ini dibandingkan dengan pengukuran tegangan permukaan sebelumnya, yaitu
nilai KMK untuk LAS sekitar 0.06%, sekitar 0.20% untuk NDS, dan sekitar
0.0175% untuk Tween 80 dan Brij 35 (Tabel 2.1), hasil yang diperoleh sesuai
dengan sifat surfaktan bahwa efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan
permukaan tercapai di sekitar titik KMK.
Gambar 2.4 Stabilitas emulsi LAS (■) dan NDS (♦) pada berbagai kosentrasi
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25
Stab
ilita
s Em
ulsi
(%)
Kosentrasi (%)
28
Gambar 2.4 dan 2.5 pada awalnya menunjukkan adanya kenaikan stabilitas
emulsi, hal ini disebabkan karena molekul-molekul surfaktan teradsorpsi pada
antarmuka air dan minyak. Adsorpsi ini terjadi berdasarkan pergerakan gugus
hidrofobik untuk mencegah kontak dengan air dan mengarah ke minyak karena
tarik-menarik antara minyak dan gugus hidrofobik, sedangkan gugus hidrofilik
dari molekul surfaktan tarik-menarik dengan air. Adsorpsi yang terjadi ini
menurunkan tegangan permukaan antarmuka minyak-air sehingga meningkatkan
kestabilan emulsi yang terbentuk. Pada saat misel terbentuk, tegangan antarmuka
minyak-air telah jenuh sehingga yang teradsorpsi pada antarmuka minyak-air juga
lebih sedikit. Akibatnya kemampuannya dalam menurunkan tegangan antarmuka
juga lebih kecil atau tidak mampu lagi menurunkan tegangan antarmuka sehingga
stabilitas emulsi tetap setelah mencapai maksimum.
Gambar 2.5 Stabilitas emulsi Tween 80 (●) dan Brij 35 (▲) pada berbagai kosentrasi
Dari ke-4 surfaktan yang digunakan pada penelitian ini, surfaktan LAS
memiliki stabilitas emulsi tertinggi yaitu sebesar 1.58% pada konsentrasi yang
lebih rendah dari NDS yaitu pada konsentrasi 0.04%.
Pengukuran Tinggi Busa
Untuk melihat pembentukan busa pada surfaktan ini digunakan metode shaker.
Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk pengukuran tinggi busa sama dengan
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025
Stab
ilita
s Em
ulsi
(%)
Kosentrasi (%)
29
pengukuran stabilitas emulsi. Hasil pengukuran tinggi busa dari larutan surfaktan
dapat dilihat pada Gambar 2.6 dan 2.7. Dari hasil tersebut terlihat semakin tinggi
konsentrasi surfaktan, maka semakin tinggi busa yang terbentuk. Hal ini
disebabkan karena semakin rendah konsentrasi, maka nilai viskositas larutan akan
semakin kecil, faktor inilah yang menyebabkan pembentukan busa pada
konsentrasi rendah semakin sedikit. Nilai viskositas yang rendah akan
mempermudah tumbukan antar lapisan tipis yang berdekatan. Tinggi busa
maksimum untuk LAS yaitu 5.33 cm pada konsentrasi 0.10%, sedangkan untuk
NDS yaitu 11.80 cm pada konsentrasi 0.25%, dan secara keseluruhan, tinggi busa
Tween 80 lebih besar dibandingkan dengan Brij 35 (Lampiran 2.14-2.17).
Gambar 2.6 Perubahan tinggi busa maksimum (■) dan tinggi busa setelah 5 menit (■) pada perlakuan dengan LAS (a) dan NDS (b)
Gambar 2.7 Perubahan tinggi busa maksimum (■) dan tinggi busa setelah 5
menit (■) pada perlakuan dengan Tween 80 (a) dan Brij 35 (b)
02468
1012
0,02 0,04 0,06 0,08 0,10
Ting
gi B
usa
(cm
)
Konsentrasi LAS (%)
02468
1012
0,15 0,2 0,25
Ting
gi B
usa
(cm
)
Konsentrasi NDS (%)
0
5
10
15
20
25
0.0125 0.0150 0.0175 0.020 0.0225
Ting
gi b
usa
(mm
)
Konsentrasi Tween 80 (%)
0
5
10
15
20
25
0.0125 0.0150 0.0175 0.020 0.0225
Tinn
ggi b
usa
(mm
)
Konsentrasi Brij 35 (%)
(a) (b)
(a) (b)
30
Hal ini disebabkan perbedaan jumlah atom karbon pada kedua surfaktan.
Molekul LAS dan Tween 80 memiliki atom karbon lebih banyak dibandingkan
dengan NDS dan Brij 35. Jumlah atom karbon yang semakin banyak akan
menyebabkan semakin banyak jumlah lapisan tipis yang terbentuk dan hal ini
akan berakibat pula pada semakin banyaknya jumlah gas atau udara yang terjerap
dalam lapisan tipis tersebut, sehingga busa yang terbentuk akan semakin banyak.
Pengukuran pH pada Variasi Kecepatan Pengadukan
Nilai pH diukur pada kecepatan pengadukan 100 rpm, 120 rpm dan 140
rpm. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah pengadukan, untuk mengamati
perubahan pH terhadap kecepatan pengadukan yang dilakukan.
Tabel 2.2 Nilai pH surfaktan anionik dan nonionik pada variasi kecepatan
pengadukan Kecepatan Pengadukan (rpm)
pH sebelum pengadukan Surfaktan Anionik Surfaktan Nonionik
Blanko LAS NDS Blanko T80 B35 100 6 5 5 4 4 4 120 5 6 6 4 4 4 140 5 6 6 4 4 4 Kecepatan Pengadukan (rpm)
pH setelah pengadukan Surfaktan Anionik Surfaktan Nonionik
Blanko LAS NDS Blanko T80 B35 100 6 5 5 4 3 3 120 5 5 5 4 4 4 140 5 5 5 4 4 4
Keterangan: B = blanko, L = 0.04% LAS, N = 0.15% NDS T80 = Tween 80 (0.0175%), B35 = Brij 35 (0.0150%)
Tabel 2.2 menunjukkan perubahan pH sebelum dan sesudah proses
pengadukan. Dari Tabel 2.2 terlihat bahwa pengadukan berpengaruh terhadap
nilai pH. Nilai setelah pengadukan lebih kecil dibandingkan sebelum
pengadukan. Kecepatan pengadukan diatas 140 rpm tidak berpengaruh terhadap
nilai pH (Lampiran 2.19-2.20).
Biodegradasi minyak bumi dipengaruhi oleh nilai pH yang terjadi pada
lingkungan tersebut (Zhu et al., 2001). Nilai pH berhubungan dengan jumlah
31
asam yang terkandung dalam tanah. Mayoritas mikrorganisme tanah akan tumbuh
dengan subur pada pH antara 6 sampai 8. Nilai pH pada semua tanah yang diberi
perlakuan tersebut hanya berkisar antara 6 - 5. Pada rentang pH ini, mikroba yang
berada pada tanah tetap dapat mendegradasi walaupun tidak menutup
kemungkinan ada beberapa jenis bakteri yang dapat mati pada pH 5.
Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai TPH
Parameter yang paling tepat untuk menggambarkan proses biodegradasi
limbah minyak bumi ialah TPH. TPH menggambarkan jumlah hidrokarbon
dengan berbagai macam panjang rantainya tanpa melihat jenisnya yaitu alisiklik,
aromatik atau alifatik.
Kandungan hidrokarbon pada tanah yang digunakan dalam penelitian ini
tergolong tinggi yaitu sekitar 17 % (Lampiran 2.18). Tingginya nilai TPH awal
proses biodegradasi ini membuat laju degradasi tidak optimum karena menurut
Vidali (2001) kondisi optimum biodegradasi terjadi pada total kontaminan (TPH)
sebesar 5 – 10 %. Untuk mengoptimalkan proses biodegradasi, maka minyak yang
ada pada tanah harus terdispersi ke dalam media air sehingga bakteri dapat
mendegradasi minyak tersebut. Salah satu caranya yaitu dengan menambahkan
surfaktan dan melakukan pengadukan.
Surfaktan yang ditambahkan dalam penelitian ini adalah LAS dan NDS
untuk surfaktan anionik dan untuk surfaktan nonionik digunakan Tween 80 dan
Brij 35, serta kecepatan pengadukan yang digunakan adalah 100, 120, dan 140
rpm. Hasil dari perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8a dan 2.9a. Hasil
tersebut memperlihatkan bahwa nilai TPH fasa cair yang ditambah NDS lebih
tinggi dibandingkan LAS. Kecepatan pengadukan juga mempengaruhi nilai TPH
fasa cair. Untuk surfaktan nonionik penambahan Brij 35 (0.0150%) memberikan
nilai TPH fasa cair lebih tinggi dibandingkan dengan Tween 80 dan blanko.
Nilai TPH fasa cair yang semakin besar menggambarkan proses dispersi
minyak ke dalam air semakin baik. NDS memiliki nilai TPH fasa cair yang lebih
besar dibandingkan LAS dan Brij 35 memiliki TPH fasa cair yang lebih besar
32
dibandingkan Tween 80, hal ini disebabkan karena konsentrasi NDS dan Brij 35
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi LAS dan Tween 80 sehingga menyebabkan
semakin banyak minyak yang berinteraksi dengan NDS dan Brij 35.
Kecepatan pengadukan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap nilai
TPH fasa cair, seperti terlihat pada Gambar 2.8a dan 2.9a. Semakin tinggi
kecepatan pengadukan, maka semakin banyak minyak yang terlepas dari tanah
dan terdispersi ke dalam air. TPH fasa cair blanko menunjukkan kenaikan dengan
semakin tingginya kecepatan pengadukan, namun kenaikan ini secara umum tidak
terlalu tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang ditambahkan surfaktan. Nilai
TPH fasa cair yang tertinggi pada surfaktan anionik yaitu pada perlakuan
penambahan 0.15% NDS dan kecepatan pengadukan 140 rpm sebesar 1.68%,
sedangkan untuk penambahan LAS 0.04% dan kecepatan pengadukan 140 rpm
hanya sebesar 1.33%. Nilai TPH fasa cair untuk penambahan LAS dan NDS
menghasilkan data yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji analysis of variance
(ANOVA). Uji ANOVA dilakukan pada data perlakuan laju 140 rpm karena data
ini memiliki nilai TPH terbesar (Lampiran 2.30).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2002),
biodegradasi limbah minyak bumi dengan cara bioremediasi konvensional
menghasilkan persen degradasi sebesar 11,6%. Hasil biodegradasi cara tersebut
dapat ditingkatkan menjadi maksimal sebesar 29% dengan penambahan
konsentrasi surfaktan LAS 2.25% dan EM4 sebanyak 250 ml dalam waktu 31
hari. Penambahan surfaktan LAS menyebabkan luas permukaan antara minyak
dengan air semakin besar sehingga mampu meningkatkan ketersediaan biologis
kontaminan tersebut untuk keperluan metabolisme mikroba yang diindikasikan
dengan adanya penurunan tegangan permukaan minyak bumi dan peningkatan
persentase penurunan kadar TPH.
Untuk surfaktan nonionik, TPH fasa cair tertinggi dengan penambahan Brij
35 (0.0150%) pada kecepatan 140 rpm, yaitu sebesar 0.70% dan penambahan
Tween 80 (0.0175%) pada kecepatan 140 rpm sebesar 0.40%. Penambahan Brij
35 dengan konsentrasi lebih rendah (0.0150%) daripada Tween 80 (0.0175%)
seperti yang terlihat pada Lampiran 2.23.
33
Gambar 2.8 Pengaruh penambahan LAS 0.04% (■), NDS 0.15% (■), blanko (■) dan kecepatan pengadukan terhadap kosentrasi TPH fasa cair (a) dan TPH fasa padat (b)
(a) (b)
Gambar 2.9 Pengaruh penambahan Tween 80 (0.0175%) (■) dan Brij 35 (0.0175%) (■), blanko (■) dan kecepatan pengadukan terhadap kosentrasi TPH fasa cair (a) dan TPH fasa padat (b)
Dari grafik pada Gambar 2.8b dan 2.9b serta pada Lampiran 2.24-2.26,
semakin tinggi kecepatan pengadukan, maka nilai TPH fasa padat akan semakin
kecil. Hal ini disebabkan karena pengadukan dan penambahan surfaktan
menyebabkan minyak dari limbah minyak bumi terdispersi ke dalam air sehingga
nilai TPH fasa padat berkurang dan nilai TPH fasa cair meningkat. Pada penelitian
ini, kecepatan 140 rpm belum dapat dikatakan sebagai kecepatan optimum, karena
nilai TPH fasa cair yang lebih besar masih mungkin diperoleh pada kecepatan
yang lebih tinggi.
0
0,5
1
1,5
2
100 120 140
TPH
fas
a ca
ir (%
)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
0
5
10
15
100 120 140
TPH
fasa
pad
at (%
)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
0
0,5
1
1,5
2
100 120 140
TPH
fas
a ca
ir (%
)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
0
5
10
15
20
100 120 140
TPH
fasa
pad
at (%
)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
(a) (b)
34
Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai COD
Pengukuran COD dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode refluks tertutup yang diikuti dengan metode titrimetri. Semakin tinggi
kecepatan pengadukan, maka nilai CODnya semakin besar pula. Hal ini
disebabkan semakin tinggi kecepatan pengadukan, maka semakin banyak senyawa
organik yang terkandung dalam limbah minyak masuk ke media air. Nilai ini
menunjukkan bahwa limbah minyak tersebut banyak mengandung senyawa
organik berupa hidrokarbon, nitrogen, sulfur, dan oksigen. Sehingga jumlah
oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa tersebut menjadi CO2 dan
H2
O semakin tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al.
(2002) penambahan surfaktan LAS yang diberikan ke petak sel penelitian ini mampu
meningkatkan hasil proses biodegradasi limbah minyak secara berbanding lurus.
Semakin tinggi konsentrasi surfaktan LAS yang digunakan didalam penelitian ini,
semakin besar efek pendispersian minyak bumi didalam air sehingga nilai COD akan
semakin tinggi.
(a) (b) Gambar 2.10 Perubahan nilai COD pada surfaktan anionik (a) yaitu dengan
penambahan LAS 0.04% (■), NDS 0.15% (■), blanko (■) dan pada surfaktan anionik (b) yaitu dengan penambahan Tween 80 (0.0175%) (■) dan Brij 35 (0.0175%) (■), blanko (■) terhadap kecepatan pengadukan
Gambar 2.10 menunjukkan nilai COD blanko lebih rendah dibandingkan
dengan penambahan surfaktan NDS, LAS, Tween 80 dan Brij 35. Hal ini
0
10000
20000
30000
40000
100 120 140
CO
D (m
g/m
L)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
0
10000
20000
30000
40000
100 120 140
CO
D (m
g/m
L)
Kecepatan Pengadukan (rpm
35
memperlihatkan bahwa penambahan surfaktan mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap nilai COD. Penambahan surfaktan akan menambah senyawa
organik yang harus dioksidasi, karena surfaktan sendiri adalah senyawa organik.
Penambahan NDS memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan LAS, dan
penambahan Brij 35 memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan Tween
80. Hal ini terkait dengan konsentrasi surfaktan yang ditambahkan, konsentrasi
NDS yaitu sebesar 0.15% sedangkan konsentrasi LAS sebesar 0.04%. Nilai COD
tertinggi terjadi pada kecepatan pengadukan 140 rpm, yaitu 20485 mg/L untuk
blanko, 33499 mg/L untuk 0.04% LAS, dan 35909 mg/L untuk 0.15% NDS.
Penambahan Brij 35 pada 140 rpm memberikan nilai COD terbesar (41717 mg/L)
dibandingkan dengan surfaktan Tween 80, LAS dan NDS (Lampiran 2.27-2.29).
SIMPULAN
Penambahan surfaktan dan pengaruh kecepatan pengadukan terbukti mampu
meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam media air. Penggunaan LAS
lebih baik dibandingkan NDS, Tween 80 dan Brij 35 karena stabilitas emulsi
LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan NDS (0.45%), Tween 80 (0.24%) dan
Brij 35 (0.22%).
DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2001. D 1331-89. Standard Test Methods for Surface and Interfacial Tension of Solutions of Surface Active Agents. West Conshohocken, PA19428-2959, West Conshohocken: ASTM.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2002. D 3601-88. Standard Test Methods for Foam In Aqueous Media. West Conshohocken, PA19428-2959, West Conshohocken: ASTM.
Atkins PW. 1999. Kimia Fisik Edisi keempat Jilid 1. Irma I. Kartohadiprodjo, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari: Physical Chemistry.
Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 2005. Standard Method for Examination of Water and Wastewater 21th .5220.C- Clossed Reflux, Titrimetri Method. APHA, AWWA, WEF.
36
Kosswig AG, Marl H. 2003. Surfactant. Di dalam: Ullmann’s. Encyclopedia of Industrial Chemistry. Volume ke-35. Ed ke-6. Jerman: Wiley-VCH. Hlm 2093-365.
Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.
Tharwat FT. 2005. Applied Surfactants: Principles and Applications. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.
[US EPA] United States Environmental Protection Agency. 1998. Method 1664, Revision A: n-Hexane Extractable Material (HEM; Oil and Grease) and Silica Gel Treated n-Hexane Extractable Material (SGT-HEM; Non-polar Material) by Extraction and Gravimetry. Washington DC: U.S.EPA.
[US EPA] United States Environmental Protection Agency. 1999. Method 9071B, n-Hexane Extractable Material (HEM) for Sludge, Sediment, and, Solid Samples. Washington DC: U.S.EPA.
Udiharto M. 1996. Bioremediasi Minyak Bumi. Di dalam: Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peran Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”; Cibinong, 24-28 Juni 1996. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi – Hans Seidel Foundation Jerman hlm: 24-39.
Vidali M. 2001. Bioremediation. An Overview. Department of Inorganic Chemical. University of Padova, Padova.
Zhu X, Venosa AD, Suidan MT, Lee K. 2001. Guidelines For The Bioremediation of Marine Shorelines and Freshwater Wetlands. U.S. Environmental Protection Agency, Cincinnati.
37
Lampiran 2.1 Penentuan densitas larutan LAS
[LAS] (% b/v)
Densitas larutan (g/mL) Rerata densitas (g/mL)
I II III 0.50 1.0079 1.0080 1.0080 1.0080 0.25 0.9736 0.9736 0.9736 0.9736 0.13 1.0083 1.0083 1.0084 1.0083 0.06 0.9741 0.9741 0.9741 0.9741 0.03 1.0072 1.0071 1.0072 1.0072 0.02 0.9734 0.9733 0.9735 0.9735 0.01 0.9727 0.9729 0.9728 0.9728 0.00 0.9738 0.9738 0.9739 0.9738
Lampiran 2.2 Penentuan densitas larutan NDS
[NDS] (% b/v)
Densitas larutan (g/mL) Rerata densitas (g/mL)
I II III 0.40 1.0078 1.0077 1.0077 1.0078 0.35 0.9733 0.9733 0.9733 0.9733 0.30 1.0077 1.0077 1.0077 1.0077 0.25 0.9732 0.9732 0.9731 0.9732 0.20 1.0072 1.0072 1.0072 1.0073 0.15 0.9732 0.9732 0.9731 0.9732 0.10 1.0072 1.0073 1.0073 1.0073 0.00 0.9727 0.9726 0.9727 0.9727
38
Lampiran 2.3 Penentuan densitas larutan Tween 80
[Tween 80] Densitas Tween 80 (g/mL) Densitas Tween 80 rerata
(% v/v) Ulangan
1 Ulangan
2 Ulangan
3 (g/mL) 0.0000 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242 0.0025 1.0242 1.0243 1.0246 1.0244 0.0050 1.0234 1.0235 1.0235 1.0235 0.0075 1.0238 1.0242 1.0240 1.0240 0.0100 1.0243 1.0243 1.0244 1.0243 0.0125 1.0246 1.0245 1.0249 1.0247 0.0150 1.0246 1.0249 1.0246 1.0247 0.0175 1.0243 1.0243 1.0243 1.0243 0.0200 1.0233 1.0233 1.0235 1.0234 0.0225 1.0228 1.0232 1.0232 1.0230 0.0250 1.0228 1.0230 1.0231 1.0230 0.0275 1.0236 1.0236 1.0238 1.0237 0.0300 1.0239 1.0240 1.0240 1.0240 0.0350 1.0240 1.0241 1.0242 1.0241 0.0400 1.0240 1.0242 1.0239 1.0240
Lampiran 2.4 Penentuan densitas larutan Brij 35
[Brij 35] Densitas Brij 35 (g/mL) Densitas Brij 35 rerata
(% v/v) Ulangan
1 Ulangan
2 Ulangan
3 (g/mL) 0.0000 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242 0.0025 1.0239 1.0237 1.0238 1.0238 0.0050 1.0236 1.0238 1.0237 1.0237 0.0075 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242 0.0100 1.0237 1.0240 1.0238 1.0238 0.0125 1.0235 1.0237 1.0238 1.0237 0.0150 0.9720 0.9728 0.9721 0.9723 0.0175 1.0237 1.0238 1.0238 1.0238 0.0200 0.9719 0.9719 0.9718 0.9719 0.0225 1.0236 1.0238 1.0238 1.0237 0.0250 0.9714 0.9715 0.9716 0.9715 0.0275 1.0236 1.0237 1.0238 1.0237 0.0300 0.9720 0.9720 0.9723 0.9721 0.0350 1.0240 1.0239 1.0242 1.0240 0.0400 0.9716 0.9720 0.9717 0.9717
39
Lampiran 2.5 Penentuan tegangan permukaan LAS dengan metode Du Noűy
[LAS] (% b/v)
P (dyne/cm) P rerata (dyne/cm)
Fr γ = P x Fr (dyne/cm)
I II III IV V 0.50 34.5 34.5 34.3 34.7 34.6 34.52 0.8920 30.7918 0.25 34.8 34.9 34.9 35.0 35.1 34.94 0.8940 31.2364 0.13 32.3 32.8 32.3 32.9 32.8 32.62 0.8897 29.0220 0.06 32.3 32.7 32.6 32.8 32.3 32.54 0.8910 28.9931 0.03 39.9 39.1 39.9 39.9 39.6 39.68 0.8983 35.6445 0.02 60.3 60.7 60.6 60.4 60.5 60.50 0.9234 55.8657 0.01 67.5 67.5 67.9 67.3 67.9 67.62 0.9309 62.9475 0.00 77.5 77.6 77.6 77.4 77.5 77.52 0.9408 72.9308
Lampiran 2.6 Penentuan tegangan permukaan NDS dengan metode Du Noűy
Lampiran 2.7 Penentuan tegangan permukaan Tween 80 dengan metode cincin Du
Noűy [Tween 80] P (dyne/cm) P rerata Fr γ = P x Fr
(% v/v) I II III IV V (dyne/cm) (dyne/cm) 0.0000 76.70 76.70 76.70 76.20 76.70 76.60 0.9361 71.71 0.0025 76.00 76.60 76.10 76.10 76.40 76.24 0.9357 71.34 0.0050 69.50 69.60 69.40 69.10 69.80 69.48 0.9293 64.57 0.0075 68.20 68.00 68.30 68.60 68.40 68.30 0.9281 63.39 0.0100 63.40 63.40 63.40 63.60 63.50 63.46 0.9233 58.59 0.0125 62.90 62.30 62.20 62.50 62.10 62.40 0.9221 57.54 0.0150 61.10 61.60 61.70 61.60 61.70 61.54 0.9212 56.69 0.0175 54.30 54.60 54.20 53.70 54.50 54.26 0.9137 49.58 0.0200 55.30 55.60 55.50 55.70 55.70 55.56 0.9152 50.85 0.0225 62.80 62.60 62.70 62.30 62.40 62.56 0.9224 57.71 0.0250 61.60 61.90 61.70 61.80 61.60 61.72 0.9215 56.87 0.0275 62.40 62.20 62.40 62.40 62.60 62.40 0.9222 57.55 0.0300 60.00 59.80 59.70 60.00 59.60 59.82 0.9195 55.00 0.0350 57.00 57.50 57.30 57.30 57.40 57.30 0.9169 52.54 0.0400 59.40 59.40 59.20 59.30 59.60 59.38 0.9191 54.58
[NDS] (% b/v)
P (dyne/cm) P rerata (dyne/cm)
Fr γ = P x Fr (dyne/cm)
I II III IV V 0.40 33.1 33.8 33.8 33.3 33.4 33.48 0.8908 29.82 0.35 33.5 33.1 33.7 33.5 33.8 33.52 0.8923 29.91 0.30 31.5 31.5 31.3 31.1 31.6 31.40 0.8882 27.89 0.25 30.5 30.8 30.9 30.3 30.5 30.60 0.8885 27.19 0.20 28.1 28.0 28.8 28.9 28.1 28.38 0.8844 25.10 0.15 35.8 35.4 35.0 35.6 35.3 35.42 0.8947 31.69 0.10 35.9 35.4 35.3 35.7 35.5 35.56 0.8933 31.77 0.00 76.0 76.2 76.2 76.3 76.4 76.22 0.9396 71.62
40
Lampiran 2.8 Penentuan tegangan permukaan Brij 35 dengan metode cincin Du Noűy
[Brij 35] P (dyne/cm) P rerata Fr γ = P x Fr (% v/v) I II III IV V (dyne/cm) (dyne/cm) 0.0000 76.70 76.70 76.70 76.20 76.70 76.60 0.9361 71.71 0.0025 54.40 54.50 54.30 54.40 54.70 54.46 0.9139 49.77 0.0050 49.40 49.40 50.00 49.70 49.90 49.68 0.9088 45.15 0.0075 49.70 49.70 49.30 49.50 49.50 49.54 0.9086 45.01 0.0100 44.30 43.80 44.30 44.50 43.90 44.16 0.9026 39.86 0.0125 44.80 45.10 44.90 45.10 45.00 44.98 0.9036 40.64 0.0150 44.20 44.10 44.50 44.30 44.10 44.24 0.9054 40.05 0.0175 35.10 35.00 35.20 35.10 35.00 35.08 0.8921 31.29 0.0200 37.20 37.30 37.30 37.50 37.50 37.36 0.8971 33.52 0.0225 36.90 37.00 37.00 37.10 36.90 36.98 0.8943 33.07 0.0250 43.50 43.50 43.50 43.60 43.70 43.56 0.9046 39.40 0.0275 42.50 42.40 42.50 42.30 42.40 42.42 0.9007 38.21 0.0300 39.50 39.40 39.40 39.40 39.30 39.40 0.8996 35.44 0.0350 40.00 40.10 40.00 39.90 40.00 40.00 0.8979 35.91 0.0400 40.30 40.20 40.20 40.20 40.30 40.24 0.9006 36.24
Contoh perhitungan: Keliling cincin = 5.9450 r/R = 0.0187 Densitas udara = 0.0012 g/mL
( )
−+
−+=
Rr
dDCPFr 679.104534.001452.07250.0 2
( )
−+
−+= )0187.0679.1(04534.0
0012.00238.19450.546.5401452.07250.0
2xxFr
Fr = 0.9139 γ = P x Fr = 54.46 x 0.9139 = 49.77 dyne/cm
41
Lampiran 2.9 Pengukuran stabilitas emulsi LAS
Konsentrasi LAS
Kekeruhan Sebelum
Sentrifugasi
Kekeruhan Setelah Sentrifugasi
Stabilitas Emulsi
(%) (NTU) (NTU) (%) I II III Rerata I II III Rerata
0.00 663 668 661 664.0000 0.66 0.57 0.58 0.603333 0.09 0.02 758 759 754 757.0000 1.19 0.95 0.87 1.003333 0.13 0.04 836 832 837 835.0000 13.4 13.1 13.1 13.20000 1.58 0.06 923 922 918 921.0000 2.34 2.37 2.19 2.300000 0.25 0.08 963 967 953 961.0000 1.30 1.49 1.36 1.383333 0.14 0.10 931 922 919 924.0000 4.88 4.90 5.43 5.070000 0.55
Lampiran 2.10 Pengukuran stabilitas emulsi NDS
Konsentrasi NDS
Kekeruhan Sebelum
Sentrifugasi
Kekeruhan Setelah Sentrifugasi
Stabilitas Emulsi
(%) (NTU) (NTU) (%) I II III Rerata I II III Rerata
0.00 663 668 661 664.0000 0.66 0.57 0.58 0.603333 0.09 0.15 520 526 524 523.3333 2.29 2.36 2.34 2.330000 0.45 0.18 454 457 457 456.0000 0.62 0.69 0.73 0.680000 0.15 0.20 553 552 544 549.6667 0.69 0.64 0.67 0.666667 0.12 0.23 621 620 622 621.0000 0.7 0.72 0.67 0.696667 0.11 0.25 511 519 519 516.3333 0.56 0.55 0.53 0.546667 0.11
Lampiran 2.11 Pengukuran stabilitas emulsi Tween 80 [Tween 80] Kekeruhan sebelum Rerata Kekeruhan setelah Rerata Stabilitas
sentrifugasi (NTU) (NTU) sentrifugasi (NTU) (NTU) emulsi (% v/v) I II III I II III (%) 0.0000 488 489 481 486 0.11 0.10 0.12 0.11 0.02 0.0125 732 737 738 736 0.20 0.21 0.25 0.22 0.03 0.0150 555 534 558 549 0.79 0.74 0.75 0.76 0.14 0.0175 412 418 416 415 0.97 1.00 1.02 1.00 0.24 0.0200 622 624 625 624 0.56 0.56 0.56 0.56 0.09 0.0225 382 384 383 383 0.30 0.29 0.31 0.30 0.08
42
Lampiran 2.12 Pengukuran stabilitas emulsi Brij 35
[Brij 35] Kekeruhan sebelum Rerata Kekeruhan setelah Rerata Stabilitas sentrifugasi (NTU) (NTU) sentrifugasi (NTU) (NTU) emulsi
(% v/v) I II III I II III (%) 0.0000 488 489 481 486 0.11 0.10 0.12 0.11 0.02 0.0125 473 476 474 474 0.57 0.57 0.57 0.57 0.12 0.0150 674 674 672 673 1.48 1.44 1.50 1.47 0.22 0.0175 538 536 540 538 0.17 0.18 0.20 0.18 0.03 0.0200 507 505 510 507 0.21 0.18 0.20 0.20 0.04 0.0225 563 569 567 566 0.15 0.16 0.17 0.16 0.03
Contoh perhitungan:
% Stabilitas emulsi = emulsiawalturbiditasemulsiakhirturbiditas X 100%
% Stabilitas emulsi = 673
47.1 X 100%
% Stabilitas emulsi = 0.22 % Lampiran 2.13 Standardisasi larutan FAS 0.5000 N dengan larutan K2Cr2O7
0.0250 N
Ulangan Meniskus Awal (mL)
Meniskus Akhir (mL)
Volume Terpakai (mL)
Volume K2Cr2O7
Konsentrasi FAS (mL)
1 1.7 6.9 5.2 10 0.0485 2 6.9 12.1 5.2 10 0.0485 3 12.1 17.4 5.3 10 0.0475
0.0482
Contoh perhitungan:
VFAS x N FAS = VK2Cr2O7 x N
5.2 mL x N K2Cr2O7
FAS
= 10 mL x 0.0252 N
N FAS mL
NxmL2.5
0252.010 =
N FAS
= 0.0482 N
43
Lampiran 2.14 Pengukuran busa LAS
Konsentrasi LAS 0.10% t=26.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 11.4 11 6 5.4 5 2 11.3 10.7 6.2 5.1 4.5 3 11.4 11 5.9 5.5 5.1
5.3 4.9
Konsentrasi LAS 0.08% t=27.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 10.3 9.8 6.4 3.9 3.4 2 9.8 9.1 6.1 3.7 3 3 10.2 9.5 6.3 3.9 3.2
3.8 3.2
Konsentrasi LAS 0.06% t=27.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 9.7 9.3 6.2 3.5 3.1 2 9.6 9.1 6.4 3.2 2.7 3 9.4 8.8 6.3 3.1 2.5
3.3 2.8
Konsentrasi LAS 0.04%
t=27.0°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I
1 8.8 8.3 6.1 2.7 2.2 2 8.4 8.4 6 2.4 2.4 3 8.7 8.8 6.2 2.5 2.6
2.5 2.4
Konsentrasi LAS 0.02% t=26.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 7.5 7 6.1 1.4 0.9 2 7.6 7.2 6.3 1.3 0.9 3 7.2 6.9 6.2 1 0.7
1.2 0.8
44
Lampiran 2.15 Pengukuran busa NDS
Konsentrasi NDS 0.25% t=25.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 17.8 15.8 6 11.8 9.8 2 18.3 16.2 6 12.3 10.2 3 17.8 15.5 6.5 11.3 9
11.8 9.7
Konsentrasi NDS 0.23% t=25.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 14.1 13.2 6 8.1 7.2 2 14.4 12.8 6 8.4 6.8 3 14.7 13.4 6.5 8.2 6.9
8.2 7.0
Konsentrasi NDS 0.20% t=25.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 13.2 11.5 6.5 6.7 5 2 12.9 11.5 6 6.9 5.5 3 13.1 12.4 6.5 6.6 5.9
6.7 5.5
Konsentrasi NDS 0.18% t=26.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 12.9 11 6.1 6.8 4.9 2 12.6 10.7 6.4 6.2 4.3 3 12.3 10.8 6.1 6.2 4.7
6.4 4.6
Konsentrasi NDS 0.15%
t=25.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I
1 11.7 10.8 6.4 5.3 4.4 2 11.3 10.7 6.1 5.2 4.6 3 10.8 10.4 6.3 4.5 4.1
5.0 4.4
45
Lampiran 2.16 Pengukuran busa Tween 80 [Tween 80] Ulangan I M R FM FM rerata FR FR rerata
(% v/v) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) 0.0125 1 57 80 77 23 23 20 20
2 57 79 76 22 19 3 57 80 77 23 20
0.0150 1 56 81 77 25 24 21 21 2 57 79 77 22 20 3 56 80 77 24 21
0.0175 1 57 82 78 25 25 21 21 2 57 82 78 25 21 3 57 81 77 24 20
0.0200 1 57 84 80 27 26 23 23 2 57 83 81 26 24 3 57 83 79 26 22
0.0225 1 57 85 80 28 27 23 23 2 57 84 79 27 22 3 56 83 79 27 23
Lampiran 2.17 Pengukuran busa Brij 35
[Brij 35] Ulangan I M R FM FM rerata FR FR rerata (% v/v) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) 0.0125 1 57 79 77 22 22 20 20
2 57 79 78 22 21 3 57 78 76 21 19
0.0150 1 56 78 76 22 22 20 20 2 56 78 76 22 20 3 56 78 76 22 20
0.0175 1 57 80 78 23 23 21 21 2 57 79 77 22 20 3 57 80 78 23 21
0.0200 1 56 79 76 23 24 20 21 2 56 80 77 24 21 3 56 80 77 24 21
0.0225 1 57 82 79 25 26 22 23 2 57 83 80 26 23 3 57 83 80 26 23
Keterangan: FM M : Tinggi total maksimum busa pada
: Tinggi busa maksimum
waktu nol I : Tinggi awal cairan FR R : Tinggi total busa setelah 5 menit
: Tinggi busa tersisa setelah 5 menit
T : 26 º C
46
Contoh perhitungan: FM F
= M - I M
F= (79 – 57) mm
M
= 22 mm
FR F
= R – I R
F= (77 – 57) mm
R
= 20 mm
Lampiran 2.18 Pengukuran TPH fasa padat pada sampel awal
Ulangan TPH (%)
1 17.45 2 16.99
17.22 Contoh perhitungan:
%TPH (g/g) = sampelbobot
yakbobot min X 100%
%TPH (g/g) = gramgram
2000.107799.1 X 100%
%TPH (g/g) = 17.45 %
Lampiran 2.19 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada LAS dan
NDS
Laju pH sebelum pengadukan pH setelah pengadukan Pengadukan
(rpm) Blanko 0.04%
LAS 0.15% NDS
Blanko 0.04% LAS
0.15% NDS
100 6 5 5 6 5 5 120 5 6 6 5 5 5 140 5 6 6 5 5 5
Lampiran 2.20 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada Tween 80 dan Brij 35
Laju pH sebelum Pengadukan pH sesudah Pengadukan pengadukan Blanko Tween 80 Brij 35 Blanko Tween 80 Brij 35
(rpm) 0.0175% 0.0150% 0.0175% 0.0150% 100 4 4 4 4 3 3 120 4 4 4 4 4 4 140 4 4 4 4 4 4
47
Lampiran 2.21 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan LAS 0.04%
Laju Pengadukan
Ulangan TPH (%)
Rerata TPH (%)
Keterangan
(rpm)
100
1 0.5514 0.52 Blanko 2 0.4792
1 0.6708 0.68 Sampel 2 0.6848
120
1 0.5586 0.57 Blanko 2 0.5826
1 0.7138 0.72 Sampel 2 0.7178
140
1 0.7230 0.70 Blanko 2 0.6790
1 1.4940 1.33 Sampel 2 1.1590
Contoh perhitungan:
%TPH (g/mL) = sampelvolume
yakbobot min X 100%
%TPH (g/mL) = mLgram
502757.0
X 100%
%TPH (g/mL) = 0.55%
Lampiran 2.22 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan NDS 0.15%
Laju Pengadukan
Ulangan TPH (%)
Rerata TPH (%)
Keterangan
(rpm)
100
1 0.5514 0.52 Blanko 2 0.4792
1 0.8556 0.80 Sampel 2 0.7404
120
1 0.5586 0.57 Blanko 2 0.5826
1 0.9604 1.00 Sampel 2 1.0524
140
1 0.7230 0.70 Blanko 2 0.6790
1 1.6514 1.68 Sampel 2 1.7110
48
Lampiran 2.23 Pengukuran TPH fasa cair setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35
Laju Sampel Ulangan TPH TPH rerata pengadukan (rpm) (% b/v) (% b/v)
100 Blanko 1 0.09 0.10 2 0.11 Tween 80 1 0.25 0.25 2 0.25 Brij 35 1 0.39 0.36 2 0.34
120 Blanko 1 0.19 0.17 2 0.15 Tween 80 1 0.35 0.32 2 0.29 Brij 35 1 0.63 0.55 2 0.47
140 Blanko 1 0.24 0.24 2 0.23 Tween 80 1 0.41 0.40 2 0.39 Brij 35 1 0.79 0.74 2 0.70
Lampiran 2.24 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan LAS 0.04%
Laju Pengadukan
Ulangan TPH (%)
Rerata TPH
Keterangan
(rpm) (%)
100
1 13.20 13.18 Blanko 2 13.15
1 11.10 11.08 Sampel 2 11.05
120
1 13.11 13.11 Blanko 2 13.12
1 10.90 10.94 Sampel 2 10.97
140
1 12.51 12.49 Blanko 2 12.48
1 10.25 10.20 Sampel 2 10.15
49
Lampiran 2.25 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan NDS 0.15%
Laju
Pengadukan Ulangan TPH
(%) Rerata TPH
Keterangan
(rpm) (%)
100
1 13.20 13.18 Blanko 2 13.15
1 10.98 11.00 Sampel 2 11.01
120
1 13.11 13.11 Blanko 2 13.12
1 10.83 10.80 Sampel 2 10.78
140
1 12.51 12.49 Blanko 2 12.48
1 9.08 9.12 Sampel 2 9.17
Lampiran 2.26 Pengukuran TPH fasa padat setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35
Laju pengadukan
(rpm)
Sampel Ulangan TPH
TPH rerata
(% b/b) (% b/b) 100 Blanko 1 16.68 16.29
2 15.89 Tween 80 1 13.32 13.13 2 12.94 Brij 35 1 16.71 16.91 2 17.11
120 Blanko 1 16.84 16.13 2 15.42 Tween 80 1 18.10 16.69 2 15.27 Brij 35 1 16.79 16.75 2 16.71
140 Blanko 1 16.14 16.10 2 16.05 Tween 80 1 15.84 15.56 2 15.29 Brij 35 1 16.04 16.55 2 17.05
27
50
Lampiran 2.27 Pengukuran COD dengan penambahan LAS 0.04%
Laju Pengadukan
Ulangan Volume FAS awal (mL)
Volume FAS akhir (mL)
Volume FAS terpakai (mL)
Volume Sampel
COD (mg/mL)
Rerata COD
Keterangan
(rpm) (mL) (mg/mL)
100
1 14.2 23.5 9.3 10 1928 2169 Blanko 2 23.5 32.7 9.2 10 2410
1 0.0 9.0 9.0 10 3374 3133 Sampel 2 9.0 18.1 9.1 10 2892
120
1 33.8 42.2 8.4 10 6266 6025 Blanko 2 17.1 25.6 8.5 10 5784
1 0.0 8.2 8.2 10 7230 6989 Sampel 2 8.2 16.5 8.3 10 6748
140
1 43.2 48.7 5.5 10 20244 20485 Blanko 2 25.6 31.0 5.4 10 20726
1 12.5 15.2 2.7 10 33740 33499 Sampel 2 31.0 33.8 2.8 10 33258
51
Lampiran 2.28 Pengukuran COD dengan penambahan NDS 0.15%
Contoh perhitungan:
Volume FAS (Ferro ammonium sulfat) untuk titrasi blanko (A) = 9.7 mL
Volume FAS untuk titrasi sampel (B) = 7.7 mL
Faktor pengenceran = 125 kali
COD (mg/mL) = ( )
( ) xfpmLSampelVolume
oksigenBExxNxBA 1000−
= ( ) 125
10810000482.07.77.9 x
mLxxx−
= 9640 mg/mL
Laju Pengadukan
Ulangan Volume FAS awal (mL)
Volume FAS akhir (mL)
Volume FAS terpakai (mL)
Volume Sampel
COD (mg/mL)
Rerata COD
Keterangan
(rpm) (mL) (mg/mL)
100
1 14.2 23.5 9.3 10 1928 2169 Blanko 2 23.5 32.7 9.2 10 2410
1 18.1 25.8 7.7 10 9640 9881 Sampel 2 25.8 33.4 7.6 10 10122
120
1 33.8 42.2 8.4 10 6266 6025 Blanko 2 17.1 25.6 8.5 10 5784
1 16.5 23.2 6.7 10 14460 14701 Sampel 2 23.2 29.8 6.6 10 14942
140
1 43.2 48.7 5.5 10 20244 20485 Blanko 2 25.6 31.0 5.4 10 20726
1 10.3 12.5 2.2 10 36150 35909 Sampel 2 14.5 16.8 2.3 10 35668
52
Lampiran 2.29 Pengukuran COD setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35
Laju pengadukan
(rpm)
Sampel Ulangan Volume FAS 0.05 N
Volume FAS 0.05 N
Volume FAS 0.05 N
Volume sampel COD
(mg/ml)
COD rerata
(mg/ml) awal (ml) akhir (ml) terpakai (ml) (ml) 100 Blanko 1 20.20 26.85 6.65 10 16292 16171
2 26.85 33.55 6.70 10 16051 Tween 80 1 12.20 18.70 6.50 10 17015 16774 2 18.70 25.30 6.60 10 16533 Brij 35 1 25.30 31.80 6.50 10 17015 17256 2 31.80 38.20 6.40 10 17497
120 Blanko 1 23.45 28.85 5.40 10 22317 24245 2 28.85 33.45 4.60 10 26173 Tween 80 1 24.20 28.25 4.05 10 28824 28342 2 28.25 32.50 4.25 10 27860 Brij 35 1 39.60 43.65 4.05 10 28824 28462 2 43.65 47.85 4.20 10 28101
140 Blanko 1 20.30 23.30 3.00 10 33885 33041 2 23.35 26.70 3.35 10 32198 Tween 80 1 11.90 13.35 1.45 10 41356 41235 2 13.35 14.85 1.50 10 41115 Brij 35 1 17.50 18.95 1.45 10 41356 41717 2 19.00 20.30 1.30 10 42079
Contoh perhitungan: Volume FAS (Ferro ammonium sulfat) untuk titrasi blanko (A) = 10.03 mL Volume FAS untuk titrasi sampel (B) = 5.40 mL Faktor pengenceran = 125 kali COD (mg/L) = ( )
( ) xfpmLsampelVolume
oksigenBExxNxBA 1000−
COD (mg/L) = ( ) 12510
810000482.040.503.10 xmL
xxx−
COD (mg/L) = 22317 mg/L
53
Lampiran 2.30 Uji ANOVA nilai TPH fasa cair LAS dan NDS
MTB > AOVOneway 'LAS' 'NDS'; SUBC> CIMean 99.0. One-way ANOVA: LAS, NDS Source DF SS MS F P Factor 1 0.1258 0.1258 4.35 0.172 Error 2 0.0579 0.0289 Total 3 0.1837 S = 0.1701 R-Sq = 68.49% R-Sq(adj) = 52.73% Individual 99% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+- LAS 2 1.3265 0.2369 (----------------*----------------) NDS 2 1.6812 0.0421 (----------------*----------------) --------+---------+---------+---------+- 0.70 1.40 2.10 2.80 Pooled StDev = 0.1701 Hipotesis: H0 : LAS = NDS H1 : LAS ≠ NDS α = 1% H0 diterima jika p value > α H1 diterima jika p value < α Nilai p value = 0.172 Nilai p value > α (0.172 > 0.01), sehingga H0 diterima. Simpulan: Nilai TPH fasa cair LAS dan NDS memberikan hasil yang tidak berbeda nyata.