BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edu€¦ · BAB II PEMBAHASAN . ... menandai awal krisis...
Transcript of BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edu€¦ · BAB II PEMBAHASAN . ... menandai awal krisis...
22
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai analisis penulis terkait
permasalahan atau problematika pekerja (kreditor) sebagai pemohon kepailitan
perusahaan tempatnya bekerja (debitor), penting untuk memahami konsep hukum
kepailitan. Oleh karena kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk
menyelesaikan sengketa utang piutang oleh pekerja terhadap perusahaan, maka
pekerja harus memenuhi syarat pengajuan permohonan pailit baik syarat formil
maupun materil. Syarat formil dan materil digunakan sebagai kaidah untuk
menentukan apakah permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan ataupun
ditolak. Syarat formil terdiri dari dua komponen, yaitu kompetensi Pengadilan
Niaga dan pembuktian sederhana. Sedangkan syarat materil terdiri dari tiga
komponen, yaitu adanya debitor, adanya dua kreditor atau lebih dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Dalam satu syarat materil, menyatakan bahwa salah satu pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit adalah kreditor.
Untuk dapat menjelaskan bahwa pekerja dapat menjadi kreditor oleh karena
tidak terpenuhinya hak normatif yang seharusnya diterima oleh karena Pemutusan
Hubungan Kerja oleh perusahaan sehingga besarnya hak normatif yang dapat
ditentukan dalam bentuk sejumlah uang tersebut dikategorikan sebagai utang
dalam arti luas. Oleh karena itu, dalam bab ini lebih mentitikberatkan pada
23
pembahasan mengenai hubungan antara tuntutan atas hak normatif pekerja dan
kedudukan kreditur dalam proses kepailitan, bagaimana kedudukan hukum bagi
pekerja sebagai kreditor dalam proses kepailitan. Sehingga apabila pekerja
mengajukan permohonan pailit, pekerja juga memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam proses kepailitan.
Oleh sebab itu, sistematika penulisan dalam bab ini dibagi dalam beberapa
bagian yakni sebagai berikut. Pertama, membahas mengenai latar belakang
adanya lembaga kepailitan. Kedua, membahas konsep kepailitan yang diuraikan
berdasarkan pendekatan etimologis, doktrin dan pendekatan UU. Ketiga, memuat
uraian tentang hukum acara dalam kepailitan, yang terdiri dari dua, yaitu syarat
permohonan pailit dan acara pemeriksaan pailit. Syarat permohonan pailit yang
dimaksud adalah syarat formil dan materil termasuk uraian mengenai pekerja
sebagai pemohon pailit dan perseroan terbatas sebagai termohon pailit. Keempat,
memuat uraian tentang hasil penelitian terhadap kasus-kasus kepailitan. Kelima,
memuat uraian tentang analisis yang terdiri dari tiga bagian, yaitu variasi
pertimbangan hakim dan amar putusan dalam memutus 10 (sepuluh) kasus
kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja, penetapan PHI yang
menentukan besarnya hak normatif yang diterima pekerja akibat PHK dan variasi
yang dapat dilakukan oleh pekerja agar permohonan kepailitan dapat dikabulkan.
A. Latar Belakang Lembaga Kepailitan
Banyaknya kredit macet pada sejumlah bank pada akhir tahun 1997 telah
menandai awal krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia. Kondisi ini
semakin diperparah dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar
24
Amerika, yang pernah mencapai titik terendah Rp. 15.000,00/1 US$. Seiring
dengan merosotnya nilai tukar rupiah tersebut, kemudian para debitor Indonesia
dalam membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo, baik dalam mata uang
asing ataupun rupiah juga ikut merosot. Permasalahan kredit macet ini dinilai,
selain merupakan sumber krisis moneter yang telah terjadi, juga merupakan faktor
penghambat perbaikan ekonomi Indonesia pasca krisis moneter tersebut.1
Pada tahun 1988, akibat terjadi krisis moneter di Indonesia berpengaruh
terhadap peraturan kepailitan. Faillisements Verordening (Staatsblad No. 217
Tahun 1905 Jo. Staatsblad No. 348 Tahun 1906) yang merupakan peraturan
kepailitan yang berlaku pada saat itu di Indonesia dirasakan tidak mampu lagi
untuk menyelesaikan permasalahan kredit macet tersebut. Oleh karena itu, pada
tanggal 22 April 1998 pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang (peraturan) kepailitan. Perpu tersebut mengubah dan menambah
faillisements verordening (FV) dan tidak mencabut faillisements verordening
(FV), yang kemudian menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998. Salah satu pokok penyempurnaan yang dilakukan oleh perpu
kepailitan yang disebutkan dalam penjelasan atas Undang-Undang Kepailitan
bagian umum adalah pembentukan Pengadilan Niaga yang khusus memeriksa
permohonan kepailitan dan sengketa bisnis.2
Pembentukan Pengadilan Niaga ini untuk mengatasi sistem hukum dan
kompetensi hakim pengadilan umum yang tidak mencukupi dalam memutuskan
1 Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan
makalah seri Workshop Kepailitan I - IV, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, h. v.
2 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 5-7.
25
sengketa-sengketa bisnis, terutama sengketa kepailitan. Selain itu, pembentukan
pengadilan khusus ini adalah untuk mengatasi citra negatif pengadilan umum di
Indonesia yang korup, tidak transparan dan lama dalam memutuskan suatu
perkara. Pengadilan Niaga diharapkan mampu untuk menegakkan prinsip-prinsip
keadilan, transparan, cepat, sederhana dan efektif bagi sengketa-sengketa
kepailitan. Akan tetapi setelah berjalan 6 tahun sejak awal berdiri tahun 1998
hingga 2003 minat masyarakat untuk menggunakan Pengadilan Niaga sebagai
tempat penyelesaian perkara kepailitan dirasakan mengalami penurunan.3 Hal ini
dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1.
Jumlah perkara kepailitan yang diterima Pengadilan Niaga dari Tahun
1998-2003
Tahun Jumlah perkara yang diterima Pengadilan Niaga
1998 38
1999 100
2000 84
2001 61
2002 39
2003 38
Salah satu yang diyakini menjadi penyebab kemunduran perkembangan
Pengadilan Niaga adalah banyaknya ketidakjelasan aturan yang terdapat dalam
UU No. 4 Tahun 1998. Oleh karena itu dilakukan perubahan terhadap UU No. 4
Tahun 1998 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan yang baru dan
3 Laporan Kegiatan 1998-2003, Pengadilan Niaga-Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta,
2004, h. 10.
26
masih diberlakukan hingga saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya
disebut UU No. 37 Tahun 2004). Beberapa perubahan pokok UU No. 4 Tahun
1998 adalah (a) Perubahan akan percepatan waktu; (b) Perubahan syarat
permohonan kepailitan; (c) Perubahan para pihak pemohon; (d) Perubahan pada
prosedur permohonan pailit. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
berbagai penafsiran sehingga diberikan batasan secara tegas mengenai pengertian
utang, pengertian kepailitan, pembatasan dalam mengajukan permohonan pailit
pada Pasal 2 ayat (5) serta syarat-syarat dan prosedur pernyataan paiit.4
B. Konsep Kepailitan
Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Latin, Belanda,
Inggris dan Perancis. Kata pailit berasal dari bahasa Latin yaitu „failure‟, dalam
bahasa Belanda digunakan istilah „failiet‟, sedangkan dalam bahasa Inggris
dipergunakan istilah „to fail‟, serta Perancis menyebut pailit dengan menggunakan
istilah „failite‟ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan
pembayaran.5
Algra mendefinisikan bahwa kepailitan adalah “Faillissementis een
gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van
zijn gezamenlijke schuldeiser”.6 (kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap
semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang-
4 Edward Manik, Op.Cit., h. 14-29.
5 Sunarmi, Op. Cit., h. 23.
6 Algra, N.E, Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht, Tjeenk Willink, Groningen, 1974, h. 425.
27
utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Henry Campbell Black dalam Black‟s
Law Dictionary juga mendefinisikan bahwa:
Bankrupt is the state or condition of a person (Individual,
partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its
debt as they are, or become due.7 The term includes a person
againts whom an involuntary petition has been filed, or who has
filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.8 Sedangkan
pengertian kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita
umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
Dalam pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepailitan adalah
pelaksanaan dari dua asas/prinsip dalam rezim hukum harta kekayaan yaitu
prinsip paritas creditorium (Pasal 1131 KUHPerdata) dan prinsip pari passu
prorata parte (Pasal 1132 KUHPerdata). Prinsip paritas creditorium berarti
bahwa semua kekayaan debitor baik barang bergerak atapun barang tidak
bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di
kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban
debitor. Sedangkan prinsip pari passu prorata parte adalah harta kekayaan
tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus
dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor
7 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1979, h.
134. 8 M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 1.
28
itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.9
Walaupun dinyatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitor (Pasal 21 UU
No. 37 Tahun 2004) menjadi jaminan bagi pelunasan utang kepada Kreditor, akan
tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap:10
(a) Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh
debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya,
alat-alat medis yang digunakan unuk kesehatan, tempat tidur,
dan perlengkapannya yang digunakan oleh Debitor dan
keluargannya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari
bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; (b)
Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah,
pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang
ditentukan oleh hakim pengawas; atau (c) Uang yang diberikan
kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
nafkah menurut undang-undang.
Ketentuan dalam UU Kepailitan bertujuan untuk melindungi hak dasar atau
hakiki yang dimiliki debitor sebagai manusia. Sehingga dengan dipailitkannya
debitor, tidak bermakna bahwa seluruh harta kekayaan debitor menjadi disita oleh
Pengadilan untuk membayar seluruh hutangnya kepada kreditor.
C. Hukum Acara dalam Kepailitan
1. Syarat Agar Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima
Adapun syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit sehingga
dapat diterima terbagi menjadi dua, yaitu syarat formil dan syarat materil.
9 Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, 2001, dalam Rudhy A. Lontoh
(ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, h. 168.
10 Pasal 22 UU No. 37 Tahun 2004.
29
Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka permohonan pailit yang ajukan
oleh pemohon ditolak oleh Pengadilan Niaga dimana permohonan itu diajukan.
a. Syarat Formil
Terdapat 2 (dua) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat
diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU
No. 37 Tahun 2004, yakni pengajuan permohonan pailit merupakan
kewenangan Pengadilan Niaga di tempat kedudukan debitor dan perkara
dapat dibuktikan secara sederhana.
1) Kompetensi Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga merupakan bagian dari Peradilan Umum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum juncto Pasal 1 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004. Pengadilan Niaga
mempunyai kompetensi (kewenangan) untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa :
Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal
lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-
Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum
debitor.
Selain itu, Pasal 300 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan
bahwa Pengadilan Niaga juga berwenang untuk memeriksa dan memutus
30
perkara lain di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan undang-
undang. Pengadilan Niaga berwenang menangani perkara-perkara seperti
Hak Kekayaan Intelektual dan Lembaga Penjamin Simpanan.
2) Pembuktian sederhana
Syarat ini diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004
menyatakan bahwa:
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi.
Dalam proses pembuktian hukum kepailitan, fakta dan kenyataan
yang terbukti secara sederhana yang dimaksud adalah adanya fakta dua
atau lebih kreditor dan adanya fakta utang yang telah jatuh waktu dan
tidak dibayar. Fakta dan kenyataan tersebut harus terbukti secara
sederhana dalam jangka waktu proses sejak pengajuan permohonan
hingga dikeluarkanya putusan yaitu selama 60 hari. Apabila fakta dan
kenyataan tidak terbukti sederhana atau dengan kata lain perlu jangka
waktu yang lama untuk dapat membuktikan bahwa terdapat sengketa
utang-piutang antara debitor dan kreditor, maka esensi dari kepailitan
akan hilang. Hal ini dikarenakan kepailitan termasuk sebagai proses
acara peradilan cepat. Apabila fakta dan kenyataan tidak sederhana, maka
pihak yang berkepentingan tersebut harus mengajukan gugatan
keperdataan ke Pengadilan Negeri.
31
b. Syarat Materil
Ada 3 (tiga) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
1) Adanya Debitor
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.11
Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum, baik orang perseorangan
atau orang alamiah (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechts
persoon) seperti Perseroan Terbatas. Tanpa adanya perikatan maka tidak
ada debitor sebagai si berutang yang memiliki kewajiban pembayaran
utang kepada Kreditor dan merupakan subjek utama dalam hukum
kepailitan.
2) Adanya dua Kreditor atau lebih
Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.12
Yang dimaksud dengan “kreditor” adalah baik kreditor konkuren,
kreditor separatis maupun kreditor preferen.13
Adanya dua kreditor atau
lebih yang dimaksud adalah untuk dapat mengajukan permohonan pailit
11
Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2004. 12
Pasal 1 Angka 2 UU No. 37 Tahun 2004. 13
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004.
32
kepada debitor, maka debitor tersebut harus memiliki sekurangnya 2
(dua) kreditor. Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor saja,
maka seluruh harta kekayaannya menjadi jaminan bagi pelunasan hutang
tersebut, serta pranata hukum yang digunakan adalah jalur gugatan
keperdataan di Pengadilan Negeri. Akan tetapi, jika debitor memiliki
lebih dari 1 (satu) kreditor maka harta kekayaan debitor haruslah dibagi
berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan, seperti prinsip
paritas creditorum dan prinsip pari passu prorata parte.
3) Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih
Syarat ini dimaksudkan adalah apabila akan mengajukan permohonan
pailit, maka dari dua kreditor atau lebih tersebut harus memiliki minimal
adanya satu utang yang tidak dibayar lunas oleh debitor serta utang
tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Yang dimaksud dengan
“telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena
percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena
pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun
karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.14
Pengertian
“utang” sebagai syarat pengajuan permohonan pailit tercantum dalam
Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 yakni:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
14
Ibid.
33
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-
undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila
tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Dari definisi tersebut utang yang dimaksud dalam hukum kepailitan
adalah utang dalam arti luas atau tidak ada pembatasan, oleh karena
utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian utang-
piutang dan pinjam-meminjam” tetapi juga “utang yang timbul karena
undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah
uang.”15
Selain itu, pengertian utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih atau kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu
yang dimaksud adalah karena percepatan waktu penagihan (klausula
Cross Dwolt), pengenaan sanksi atau denda serta karena putusan
pengadilan atau arbitrase.
15
Mariske Myeke Tampi, Tanggung Jawab Organ Perseroan Terbatas dalam kasus-kasus Kepialitan, Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, 2012, h. 47-48.
34
Bagan 2.
Lima syarat agar permohonan pernyataan pailit dapat diterima
2. Pemohon Pailit
Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan
pailit ke Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi pemohon pailit adalah
debitor sendiri, satu atau lebih kreditor, atau oleh pihak ketiga, seperti
Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) maupun
Menteri keuangan.16
Dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada dasar
hukum mengapa pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor sehingga
memiliki kedudukan hukum untuk menjadi pemohon pailit.
16
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004.
Lima Syarat Agar
Permohonan
pernyataan pailit
dapat diterima
Syarat Materil
Syarat Formil
Kompetensi
Pengadlan Niaga
Pembuktian
Sederhana
Tidak membayar
lunas sedikitnya
satu utang yang
telah jatuh waktu
dan dapat tagih
Adanya 2 Kreditor
atau lebih
Adanya Debitor
35
a. Pekerja
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.17
Jika dilihat dalam UU Kepailitan tidak
disebutkan secara eksplisit bahwa pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor. Hal ini dikarenakan pada Pasal 2 UU Kepailitan yang mengatur
pihak yang berkedudukan sebagai pemohon pailit, hanya mengatur kreditor
dalam arti luas atau tidak bersifat limitatif siapa yang dapat menjadi
kreditor. Akan tetapi, menurut Ricardo Simanjuntak18
pekerja termasuk
dalam salah satu golongan yang mendapat pembagian dari hasil penjualan
boedel pailit menurut urutan haknya, yaitu setelah hak preferensi separatis
dan sebelum hak preferensi khusus. Hak para kreditor untuk mendapatkan
pembagian dari hasil penjualan pailit dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat mulai
dari hak yang paling tinggi (memiliki hak yang harus didahulukan) sampai
hak yang paling rendah yaitu sebagai berikut:
1) Hak retensi merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor atas kewenangan
yang diberikan kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun
penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditor ini berhak untuk menahan
benda (boedel pailit) yang berada di bawah kekuasaannya sebelum biaya
perbaikan terhadap boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi,19
serta
17
Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003. 18
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, h. 301-302.
19 Pasal 61 UU No. 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 21 ayat (3) huruf b UU No. 16 Tahun
2009 tentang Perppu No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahaan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; (selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2009).
36
biaya perkara yang dikeluarkan untuk pelelangan dan penyelesaian
warisan;20
2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan hak yang dimiliki kantor
pajak untuk mendapatkan pembayaran (tagihan pajak) dari boedel pailit
lebih dahulu dari kreditor lainnya,21
yaitu hak mendahulu untuk tagihan
pajak atas barang-barang Wajib Pajak (boedel pailit) kreditor;
3) Hak prefensi separatis merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor-
kreditor yang memegang jaminan dalam bentuk hak tanggungan, hipotek,
gadai dan fidusia;22
4) Hak istimewa pekerja/buruh;23
5) Hak prefensi khusus bagi kreditor preferen khusus berdasarkan Pasal
1139 KUHPerdata;
6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen umum berdasarkan Pasal
1149 KUHPerdata;
7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk dibayarkan secara pro rata
berdasarkan Pasal 1132 KUHPerdata.
Dari penjelasan di atas, pekerja termasuk dalam salah satu golongan
yang mendapat pembagian dari hasil penjualan boedel pailit menurut urutan
haknya, yaitu hak yang diistimewakan oleh UU Ketenagakerjaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) yang berbunyi: ”Dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan
20
Pasal 21 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1) KUHPerdata.
21 Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1134 dan Pasal 1137 KUHPerdata.
22 Pasal 138 UU No. 37 Tahun 2004.
23 Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
37
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.” Dari pasal
tersebut dapat dilihat secara jelas bahwa oleh karena hak pekerja merupakan
utang, maka dalam hukum kepailitan pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor oleh karena utang yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Utang
yang dimaksud adalah hak pekerja seperti hak atas pembayaran upah dan
hak-hak lainnya yang dimaksudkan adalah hak-hak normatif sebagaimana
diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003. Oleh sebab itu pekerja
dapat menjadi pemohon pailit dalam hukum kepailitan.
b. Serikat Pekerja
Walaupun tidak disebutkan secara ekspilisit dalam UU No. 37 tahun 2004
bahwa serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai subjek yang dapat
menjadi pemohon pailit, akan tetapi berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 UU
No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang
menyatakan:
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Jadi, serikat pekerja dapat mewakili pekerja untuk memperjuangkan
serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Serikat Pekerja memiliki hak
untuk mewakili pekerja dalam membuat perjanjian kerja bersama dengan
pengusaha dan mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan
38
industrial24
untuk memenuhi kewajibannya melindungi dan membela
anggota (pekerja) dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan
kepentingannya.25
Penerapan pasal tersebut dapat dilihat dalam Putusan
Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung No. 080 PK/Pdt.Sus/2009
dimana:
Para pihak PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama
Willi Josep Candra melawan Fakhur Khakam, dkk.
sebagai Pimpinan Serikat Pekerja Nasional PT. AGB yang
bertindak untuk dan atas nama seluruh anggota Serikat
Pekerja Nasional yang berjumlah 1942 orang berdasarkan
Surat Keputusan Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja
Nasional Nomor: KEP.83/A-INT/DPC SPN/III/07 dan
berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Serikat Pekerja Nasional.
Dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon pailit.
Dengan kata lain, majelis hakim menyimpulkan bahwa persyaratan
permohonan pailit oleh serikat pekerja telah terpenuhi. Dengan demikian
adanya pengakuan jika serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor
atau pemohon pailit dengan mewakili anggotanya (pekerja) untuk
memperjuangkan serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Hak dan
kepentingan yang dimaksud adalah hak pekerja untuk menerima pemenuhan
hak normatifnya yang tidak dibayarkan oleh perusahaan sehingga
diperlukan upaya hukum untuk mengajukan permohonan pailit yang
diwakili oleh Serikat Pekerja.
24
Pasal 25 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.
25 Pasal 27 huruf a UU No. 21 Tahun 2000.
39
3. Hubungan Pekerja dan Kepailitan
a. Kedudukan Hukum Sebagai Kreditor
UU Kepailitan tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai
kedudukan pekerja sebagai kreditor. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan
golongan kreditor yang terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren,
kreditor preferen dan kreditor separatis26
pekerja memiliki kedudukan
sebagai kreditor preferen umum. Golongan kreditor yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1) Kreditor konkuren
Kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Kreditor
konkuren adalah para kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak
dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah terpenuhi. Kreditor
konkuren mendapatkan pelunasan berdasarkan prinsip pari passu pro
rata parte, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh
pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada
besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka
secara keseluruhan, terhadap seluruh kekayaan debitor tersebut. Dengan
demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas
pelunasan utang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan.
26
Sunarmi, Op. Cit., h. 42.
40
2) Kreditor preferen
Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu kreditor yang oleh undang-
undang, semata-mata karena sifat piutangnya mendapatkan pelunasan
terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai
hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang yang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi
daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata karena sifat
piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata). Kreditor preferen terdiri atas
kreditor preferen umum dan kreditor preferen khusus.
a) Kreditor preferen khusus
Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang piutang-piutangnya
diistimewakan menurut prefensi khusus (Pasal 1139 KUHPerdata).
Prefensi khusus tersebut antara lain:
(1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu
penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun
tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda
tersebut, bahkan lebih dahulu daripada gadai dan hipotik;
(2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya
perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa
yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa;
(3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;
(4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
(5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu barang, yang masih harus
dibayar kepada tukang;
41
(6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah
penginapan sebagai demikian sebagai seorang tamu;
(7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;
(8) Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan
lain-lain;
(9) Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai
yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian,
kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam
jabatannya.
b) Kreditor preferen umum
Kreditor preferen umum adalah kreditor yang piutang-piutangnya
diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang
disebut prefensi umum (Pasal 1149 KUHPerdata). Adapun prefensi
umum didasarkan pada urutan sebagai berikut:
(1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini
didahulukan daripada gadai dan hipotek;
(2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan
hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi;
(3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang
penghabisan;
42
(4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah
dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang
kenaikan upah menurut Pasal 1602 KUHPerdata;27
(5) Piutang karena penyerahan baha-bahan makanan yang dilakukan
kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam
bulan yang terakhir;
(6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun
yang penghabisan;
(7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang
terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.
3) Kreditor separatis (secured creditor)
Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor pemegang hak
jaminan kebendaan yaitu gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia.
Hak yang dimiliki kreditor separatis adalah hak untuk dengan
kewenangan sendiri menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan
pengadilan.
Selain itu, pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-VI/2008
pekerja juga diakui memiliki kedudukan sebagai kreditor. Kreditor terbagi
menjadi empat macam, yaitu :
1) Kreditor istimewa, yaitu hak mendahului negara atas utang pajak
(penjelasan pasal 41 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004);
27
Telah diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
43
2) Kreditor separatis, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau
kreditor dengan jaminan (pasal 55 ayat 1 UU. No 37 Tahun 2004);
3) Kreditor preferen dengan privilege khusus, yaitu kreditor yang memiliki
hak istimewa oleh karena pembelian barang yang belum dibayar, jasa
tukang dan lain-lain;
4) Kreditor preferen dengan privilege umum, yaitu kreditor yang memiliki
hak istimewa atau hak prioritas seperti pekerja (Pertimbangan hakim 3.18
dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 Jo. Putusan PK MA No. 080
PK/Pdt.Sus/2009);
5) Kreditor konkuren, yaitu kreditor yang tidak memiliki hak jaminan
kebendaan atau hak istimewa termasuk kreditor yang terikat perjanjian
sebelum dinyatakan pailit (Pasal 37 ayat (1) UU. No 37 Tahun 2004).
Dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 memuat bahwa diperlukan
adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan
perlindungan hak pekerja dalam hal terjadi kepailitan, dengan kata lain
dalam Putusan MK tersebut tetap mengakui bahwa kedudukan pekerja
sebagai kreditor preferen dengan privilege umum walaupun mengajukannya
tidak menghapuskan kedudukan kreditor separatis oleh karena pekerja tidak
kehilangan hak-hak atau upahnya. Akan tetapi dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk dapat berstatus sebagai kreditor, yaitu sebagai kreditor preferen
dengan privilege umum.
44
b. Hak Normatif Pekerja Yang Dikategorikan Sebagai Utang Dalam Arti
Luas
Pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat
berstatus sebagai pemohon pailit, yaitu sebagai kreditor preferen dengan
privilege umum oleh karena tidak dipenuhinya hak normatif oleh
perusahaan akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hak normatif
yang dimaksud tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yaitu : “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.” Dalam hukum kepailitan, besarnya hak normatif sebagai
kewajiban perusahaan yang dinyatakan dalam jumlah uang dikategorikan
sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena besarnya hak normatif dapat
dikategorikan sebagai utang, maka pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor untuk mengajukan permohonan pailit.
Akan tetapi, hak normatif pekerja dapat dianggap sebagai utang
apabila terlebih dahulu telah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara
perusahaan dan pekerja atau ditentukan oleh putusan pengadilan mengenai
besarnya uang yang harus dibayarkan debitor kepada pekerja (berkedudukan
sebagai kreditor).28
Yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan
kesepakatan antara debitor dan pekerja dapat dilihat dalam kasus PT.
Unggul Summit Particle Board Industry (selanjutnya disingkat PT. USPBI)
melawan Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit
28
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), 2009, h. 90.
45
Particle Board Industry.29
Dalam perkara tersebut, PT. USPBI telah
melakukan kesepakatan dengan Serikat Pekerja dalam bentuk Surat
Perjanjian Bersama tanggal 14 Mei 2013 yang memuat kewajiban
membayar uang pesangon, uang penggantian hak dan upah terakhir. Namun
besarnya hak normatif tersebut belum dibayarkan oleh PT. USPBI sehingga
dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan mengabulkan
permohonan. Dalam kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa majelis hakim
menyimpulkan bahwa persyaratan permohonan pailit oleh Serikat Pekerja
telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan hak normatif sebagai kewajiban debitor
yang dinyatakan dalam sejumlah uang berdasarkan surat perjanjian bersama
tersebut yang belum dibayarkan oleh PT. USPBI dapat dikategorikan
sebagai utang.
Sedangkan yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan
putusan pengadilan yang menentukan besarnya uang yang harus dibayarkan
debitor kepada pekerja adalah dikeluarkannya putusan Pengadilan
Hubungan Industrial yang menyatakan hak normatif dalam bentuk sejumlah
uang. Misalnya dalam kasus PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk.30
Dalam perkara tersebut, oleh karena PHK yang dilakukan secara sepihak
oleh perusahaan, maka para mantan pekerja mengajukan gugatan
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ke Pengadilan Negeri Medan.
Berdasarkan pada putusan PHI No. 04 G/2008/PHI Mdn. yang menghukum
PT. Indah Pontjan untuk membayar hak-hak mantan pekerja sebesar Rp.
148.263.300,00 (seratus empat puluh juta dua ratus enam puluh tiga ribu
29
Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 17/Pailit/2015/PN-Niaga-SBY, 26 Nopember 2015. 30
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 195 PK/Pdt.sus/2012, 30 April 2013.
46
tiga ratus rupiah) tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan
permohonan pailit, yakni besarnya hak yang seharusnya diterima tetapi
tidak dibayarkan tersebut dianggap sebagai utang. Walaupun dalam putusan
tersebut permohonan pailit ditolak dengan pertimbangan hakim
membenarkan dalil PT. Indah Pontjan bahwa belum selesainya proses
eksekusi.
4. Termohon Pailit
Termohon pailit adalah pihak yang diajukan permohonan pernyataan pailit ke
Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi termohon pailit adalah debitor.
Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum baik orang alamiah (natuurlijk
persoon) maupun badan hukum (recht persoon) seperti Perseroan Terbatas.
Selain itu, subjek hukum yang dapat menjadi debitor adalah bank, Perusahaan
Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.31
Akan tetapi, dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada Perseroan Terbatas
sebagai debitor atau pihak yang berkedudukan sebagai temohon pailit.
Perseroan Terbatas
Semula Perseroan Terbatas diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan terbatas. Tetapi kemudian diganti dengan UU No. 40 Tahun 2007
yang memberikan definisi Perseroan Terbatas pada Pasal 1 angka (1), yaitu:
Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
31
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004.
47
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-
undang ini serta peraturan pelaksananya.
Perseroan Terbatas memiliki status sebagai badan hukum (legal entity)
dengan penekanan sebagai persekutuan modal. Ini berarti, PT merupakan
subjek hukum namun bersifat artificial. Sementara itu, badan hukum ini
merupakan persekutuan modal. Sama seperti halnya subjek hukum orang
perseorangan, badan hukum memiliki sifat dapat melakukan perbuatan hukum
– yaitu perbuatan yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga dapat
dituntut maupun menuntut di muka pengadilan. Namun oleh karena badan
hukum tidak memiliki sifat alamiah yang sama dengan subjek hukum alamiah
(orang perseorangan), untuk dapat mengaktualisasikan tindakan badan hukum
memerlukan suatu organ yang berfungsi sebagai representasi.32
Fungsi
representative sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU No. 37 Tahun 2004
untuk mewakili perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan sebagai
persona standi in judicio adalah wewenang direksi33
(kecuali ditentukan lain
dalam anggaran dasar perseroan).
5. Acara Pemeriksaan Pailit
Asas acara pemeriksaan kepailitan adalah acara cepat maka proses
kepailitan menggunakan proses pembuktian sederhana (sumir). Permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terbukti secara sederhana (sumir)
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana yang disyaratkan
dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan terpenuhi,34
yakni terpenuhinya syarat formil dan materil. Kekhususan persidangan dalam
32
Tri Budiyono, Op. Cit., h. 31-33. 33
Ibid, h. 173. 34
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 124
48
kepailitan adalah hanya pembuktian apakah debitor mempunyai utang yang
telah jatuh tempo dan tidak dibayar serta adanya minimal dua kreditor.35
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan,
maka pekerja (kreditor) atau pemohon lainnya dapat mengajukan permohonan
ke pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh
kekayaan debitor dan menunjuk kurator sementara untuk mengawasi
pengelolaan usaha debitor dan mengawasi pembayaran kepada kreditor,
pengalihan, atau penjaminan kekayaan debitor yang dalam rangka kepailitan
memerlukan persetujuan kurator. Apabila setelah sita jaminan dijatuhkan dan
ada pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemilik barang yang disita, maka
bantahannya harus diajukan ke Pengadilan Niaga tersebut.36
Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan proses beracara
permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dan pada tingkat kasasi di
Mahkamah Agung berdasarkan pada Pasal 6 -14 UU No. 37 Tahun 2004.
35
Ibid, h. 125. 36
Ibid.
49
Bagan 3.
Proses beracara permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga
Permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan
Pendafataran permohonan pernyataan pailit oleh Panitera
Panitera menyampaikan permohonan
kepada ketua Pengadilan (max. 2 hari)
Pengadilan mempelajari permohonan dan
menetapkan hari sidang (max. 3 hari)
Sidang Pemeriksaaan permohonan pailit
(max. 20 hari)
Penundaan sidang (max. 25 hari)
Pemanggilan
debitor & kreditor
Dikabulkan Terbukti secara sederhana bahwa persyaratan Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi
Putusan diucapkan (max. 60 hari)
Upaya hukum: Kasasi
50
Bagan 4.
Proses beracara dalam upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung
Setelah proses pemeriksaan terhadap permohonan dilakukan, maka
hakim Pengadilan Niaga harus menetapkan putusannya paling lambat 60 hari
sejak permohonan tersebut didaftarkan di Pengadilan.37
Sifat putusan pailit
adalah uit vorbaar bij voorrad atau putusan serta-merta, yaitu putusan dalam
37
Pasal 6 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004.
Upaya hukum: Peninjauan Kembali Berlaku mutatis mutandis Proses kasasi
Permohonan kasasi diajukan (max. 8 hari) dengan mendaftarkan
ke Panitera Pengadilan
Pendaftaran permohonan oleh Panitera
Panitera mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi
kepada pihak termohon kasai (max. 2 hari)
Termohon kasasi mengajukan kontra memori kasasi (max. 7 hari)
Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi
MA mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang (max. 2 hari)
Paniter menyampaikan permohonan, memori, kontra memori
kasasi beserta berkas perkara ke MA (max. 14 hari)
Sidang pemeriksaan (max. 20 hari)
Putusan diucapkan (max. 60 hari)
51
kepailitan pada prinsipnya dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.38
Hal ini dikarenakan tujuan
kepailitan adalah melakukan pembagian aset untuk membayar utang-utang
debitor terhadap kreditor, sehingga jika para kreditor telah terlanjur terbayar
karena putusan pailit tersebut dibatalkan, maka pembayaran tersebut pada
hakikatnya tidak merugikan debitor pailit itu sendiri karena utang pada
prinsipnya harus dibayar baik sekarang atau nanti hanya persolalan waktu saja.
Selain itu, dengan dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya
utang-utang debitor terhadap kreditor.39
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika telah
dikeluarkannya putusan Pengadilan Niaga, akan tetapi pada upaya hukum
kasasi dibatalkan oleh karena pekerja (kreditor) sebagai pemohon pailit yang
mengajukan permohonan atas Perseroan Terbatas (debitor) sebagai termohon
pailit adalah BUMN? seperti pada kasus PT. Merpati Nusantara Airlines
(Persero)40
dan Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero).41
Amar putusan
pada tingkat kasasi membatalkan putusan Pengadilan Niaga dengan
pertimbangan yang harus mengajukan permohonan pailit adalah Menteri
Keuangan. Jika dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya utang-
utang debitor terhadap kreditor, maka siapakah yang akan membayar? apakah
negara atau PT jenis BUMN tersebut? Dengan demikian maka perlunya
penjelasan khusus terkait putusan serta-merta dalam hukum acara kepailitan.
38
Pasal 8 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004. 39
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 126. 40
Putusan Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst Jo. Putusan Kasasi MA No. 447 K/Pdt.Sus/2016.
41 Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst Jo. Putusan Kasasi MA No. 075
K/Pdt.Sus/2007.
52
D. Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai 10 (sepuluh) kasus kepailitan
yang didasarkan pada adanya permohonan pailit dimana pekerja berkedudukan
sebagai pemohon untuk mempailitkan Perseroan Terbatas yang mempekerjakan
para pekerja tersebut. Harapannya analisis terhadap kasus-kasus kepailitan ini
dapat menjawab problematika pekerja dalam proses kepailitan Perseroan Terbatas.
Problematika yang hendak dijawab yaitu bagaimana variasi pertimbangan hakim
dalam memutus kasus-kasus kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja,
variasi yang sebagai solusi bagi pekerja sebelum mengajukan permohonan
kepailitan serta apakah proses permohonan kepailitan melindungi hak para pekerja
yang mana para pekerja memohon untuk mempailitkan perusahaan sendiri di
tempat mereka bekerja. Berikut ini uraian mengenai sepuluh kasus tersebut.
1. Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Pengelola Aset
(Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi
Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Pengelola Aset
(Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi memperoleh kekuatan
hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian putusan terhadap tingkat
pertama dan tingkat kasasi :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Heryono (Prmohon I);
2) Nugroho (Pmohon II);
53
3) Sayudi (Permohon III).
Termohon Pailit PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki dua
kreditor atau lebih
Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa pemohon dalam perkara ini
adalah para pekerja termasuk dari 6.561 pekerja yang di PHK oleh
termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (Putusan P4 Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004
tanggal 29 Januari 2004. Selain itu, termohon juga mempunyai hutang
kepada Sdri. Nelly Ratnasari sebesar ± Rp. 12.701.489,25; Sdr.
Sukriadi Djasa sebesar ± Rp. 79.024.764,81; dan BANK MANDIRI
sebesar Rp. 125.658.033.228.
Debitor tidak
membayar sedikitnya
satu hutang yang telah
jatuh tempo dan dapat
ditagih
1) Bahwa pemohon dalam dalil permohonannya berdasarkan Putusan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Putusan P4
Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004,
dengan amar Putusan P4 Pusat mewajibkan kepada Pengusaha PT.
DIRGANTARA INDONESIA untuk memberikan kompensasi
pensiun dengan nilai tagihan masing-masing:
a) Heryono sebesar Rp. 83.347.862,82;
b) Nugroho sebesar Rp. 59.258.079,22;
c) Sayudi sebesar Rp. 74.040.827,91.
2) Terbukti sebagai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
sejak putusan P4P tanggal 29 Januari 2004 dengan bukti
teguran/peringatan kepada Termohon :
a) Surat teguran Depnakertrans RI No.B.169/DJPPK/IX/2004;
b) Penetapan teguran/peringatan Ketua PN Jakarta Pusat No.
079/2005.EKS;
c) Hasil kesepakatan Direksi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
dan SP FKK PT. Dirgantara Indonesia (Persero).
Hingga gugatan pailit, termohon tidak ada realisasi maupun
pembayaran, walaupun hutang terseut telah jatuh tempo dan dapat
ditagih, maka termohon dapat dinyatakan pailit.
54
3) Selain itu, penggugat dalam permohonannya juga mendalilkan
bahwa termohon mempunyai utang kepada kreditor lain, yaitu:
a) Sdri. Nelly Ratnasari sebesar ± Rp. 12.701.489,25;
b) Sdr. Sukriadi Djasa sebesar ± Rp. 79.024.764,81;
c) BANK MANDIRI sebesar Rp. 125.658.033.228.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh para pekerja termasuk dari 6.561
orang pekerja selaku kreditur dari termohon pailit yang di PHK oleh
termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (Putusan P4 Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004
tanggal 29 Januari 2004.
Terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti
secara sederhana
Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada
pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi
termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah
ditagih oleh pemohon.
Putusan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa termohon PT. DIRGANTARA INDONESIA
(Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya.
Tanggal Putusan Selasa, 4 September 2007
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 075 K/Pdt.Sus/2007
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi 1) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) - Pemohon Kasasi I;
2) PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) - Pemohon Kasasi II.
Termohon Kasasi 1) Heryono (Termohon I);
2) Nugroho (Termohon II);
3) Sayudi (Termohon III).
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon
Kasasi oleh karena judex facti telah salah dalam menerapkan hukum
55
dengan pertimbangan:
1) Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam
hal Debitor adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di
bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan;
2) Yang dimaksud BUMN yang bergerak di bidang kepentingan
publik sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun
2004 adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan
tidak terbagi atas saham;
3) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) adalah BUMN yang
keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara, yang pemegang
sahamnya adalah Menteri Negara BUMN dan Menteri Keuangan
RI;
4) Perusahaan Perseroan/Persero menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 19
Tahun 2003 tentang BUMN adalah BUMN berbentuk Perseroan
Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya
dimiliki oleh Negara RI, atau BUMN berbentuk PT yang
modalnya terbagi dalam saham yang paling sedikit 51% sahamnya
dimiliki oleh Negara RI;
5) Terbaginya modal Pemohon Kasasi I atas saham yang
pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN dan Menteri
Keuangan RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1)
dan ayat (3) UU No. 1 Tahun 1995 tentang PT yang mewajibkan
pemegang saham suatu perseroan sekurang-kurangnya dua orang,
karena itu terbaginya modal atas saham yang seluruhnya dimiliki
oleh Negara tidak membuktikan bahwa Pemohon Kasasi I adalah
BUMN yang tidak bergerak di bidang kepentingan Publik;
6) Dalam lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 03/M-
IND/PER/2005 disebutkan bahwa PT. DI adalah objek vital
industri, dan yang dimaksud dengan objek vital industri adalah
kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan atau usaha industri yang
menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan Negara
56
dan/atau sumber pendapatan Negara yang bersifat strategis;
7) Oleh karena itu Pemohon Kasasi I sebagai BUMN sebagai BUMN
yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara dan merupakan
objek vital industri, adalah BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5)
UU No. 37 Tahun 2004;
8) Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
melarang pihak manapun untuk melakukan penyitaan terhadap
antara lain uang atau surat berharga, barang bergerak dan barang
tidak bergerak milik Negara, sehingga kepailitan menurut Pasal 1
angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 merupakan sita umum atas semua
kekayaan Debitor Pailit, apabila kekayaan Debitor pailit tersebut
adalah kekayaan Negara tentunya tidak dapat diletakkan sita,
kecuali permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri
Keuangan selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan dan bendahara umum negara (Pasal 6 ayat
(2) Jo. Pasal 8 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara);
Putusan Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, yaitu
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT. Perusahaan Pengelola
Aset (Persero);
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 4
September 2007.
Mengadili sendiri:
Menolak permohonan pailit dari para Pemohon Heryono, Nugroho,
Sayudi.
Tanggal Putusan Senin, 22 Oktober 2007
57
2. Kasus PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra
melawan Fakhur Khakam, dkk.
Kasus PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra
melawan Fakhur Khakam, dkk. memperoleh kekuatan hukum tetap pada tahap
peninjauan kembali. Berikut ini uraian putusan terhadap kasus tersebut pada
tingkat pertama, kasasi dan tingkat peninjauan kembali :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
No.14/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Fakhur Khakam (Pemohon I);
2) Misman (Pemohon II);
3) Fatchul Mubin (Pemohon III);
4) Nur Ali (Pemohon IV);
5) Komariyah (Pemohon V);
6) Ismoyo (Pemohon VI);
7) Miadi (Pemohon VII);
8) Surya (Pemohon VIII);
9) Nuryani (Pemohon IX);
Termohon Pailit PT. Arta Glory Buana
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki dua
kreditor atau lebih
Debitor memiliki dua kreditor atau lebih sebagaimana bukti dan dalil
yang diajukan oleh Pemohon Pailit, yakni bahwa :
1) Permohonan pernyataan pailit oleh Pemohon Pailit bertindak untuk
dan atas nama 1.942 pekerja, dimana setiap karyawan/pekerja
merupakan subjek hukum yang berbeda, memiliki jumlah tagihan
yang berbeda sehingga dapat dianggap memiliki legal standing yang
berbeda.
2) Selain itu, Termohon Pailit juga mempunyai utang kepada:
a) PT. Ever Shine Textille;
58
b) PT. Coats Rejo Indonesia;
c) PT. Buana Label Indah;
d) PT. Lidya Ivana Collection;
e) PT. Indonesia Taroko Zain,
f) PT. Bank Danamon Indonesia Tbk;
g) PT. Bank Niaga Tbk;
h) PT. Bank DBS Indonesia.
Debitor tidak
membayar sedikitnya
satu hutang yang
telah jatuh tempo dan
dapat ditagih
Berdasarkan dalil yang diajukan oleh Pemohon Pailit, yakni bahwa:
1) Termohon pailit mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih kepada pemohon Pailit antara lain:
a) Upah Pekerja bagian produksi dan staff sebanyak 1.942 pekerja
yang belum dibayar selama antara 3 s/d 6 bulan yaitu sejak
tanggal 4 Desember 2007 s/d tanggal 30 Agustus 2008 : ± Rp.
7.000.000.000,-
b) Upah lembur Pekerja : ± Rp. 470.000.000,-
c) Tunjangan uang makan lembur Pekerja sejak tahun 2006 s/d
desember 2008 : ± Rp. 40.000.000,-
d) Tunjangan Hari Raya (THR) : ± Rp. 268.000.000,-
e) Penggantian (Claim) atas biaya pengobatan dan perawatan
Pekerja : ± Rp. 20.000.000,-
f) Iuran Organisasi SPN sejak Agustus 2006 s/d Desember 2006 :
± Rp. 31.180.200,-
g) Denda atas keterlambatan pembayaran gaji/upah, upah lembur,
uang makan, THR, iuran SPN dan uang berobat yang seluruhnya
sebesar ± Rp. 7.829.180.200,- x 8% = ± Rp. 626.334.416,-
2) Selain itu, terdapat tagihan lain yang belum dibayar yaitu:
a) Iuran Jamsostek sejak bulan Januari 2007 s/d Agustus 2008
sebesar ± Rp. 2.594.764.556,40,-
b) Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak yang nilai tagihan baru bisa diketahui apabia
Temohon telah dinyatakan Pailit, diverifikasi dalam rapat
pencocokan utang yang dipimpin Hakim Pengawas dan Kurator.
59
3) Terbukti sebagai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
sejak putusan P4P tanggal 29 Januari 2004 dengan bukti
teguran/peringatan kepada Termohon :
a) Surat teguran Depnakertrans RI No.B.169/DJPPK/IX/2004;
b) Penetapan teguran/peringatan Ketua PN Jakarta Pusat No.
079/2005.EKS;
c) Hasil kesepakatan Direksi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
dan SP FKK PT. Dirgantara Indonesia (Persero).
Termohon mengakui adanya utang-utang kepada Pemohon Pailit dalam
Surat Termohon Pailit No : 01/PSL-BLS/D02008 tertanggal 2
September 2008 dan kepada kreditur lain, sehingga berdasarkan
pertimbangan hukum tersebut maka majelis hakim berpendapat syarat
debitor tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih telah terpenuhi.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh Pimpinan Serikat Pekerja Serikat
Pekerja Nasional (PSP SPN) PT. AGB berdasarkan SK Dewan
Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional No. KEP.83/A-INT/DPC
SPN/III/07 dan berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Serikat Pekerja Nasional sah bertindak untuk dan atas nama
seluruh anggota SPN PT. AGB yang beranggotakan 1.942 karyawan
PT. AGB.
Terdapat fakta atau
keadaan yang
terbukti secara
sederhana
Berdasarkan fakta, bahwa Termohon Pailit mengakui adanya utang-
utang kepada Pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan
tetapi termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun
telah ditagih oleh pemohon, sehingga berdasarkan pertimbangan
hukum tersebut maka majelis hakim berpendapat syarat terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana telah terpenuhi.
Putusan Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Termohon Pailit yaitu PT. ARTA GLORY BUANA
60
pailit dengan segala akibat hukumnya.
Tanggal Putusan Kamis, 20 November 2008
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 917 K/Pdt.Sus/2008
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Arta Glory Buana
Termohon Kasasi 1) Fakhur Khakam (Termohon I);
2) Misman (Termohon II);
3) Fatchul Mubin (Termohon III);
4) Nur Ali (Termohon IV);
5) Komariyah (Termohon V);
6) Ismoyo (Termohon VI);
7) Miadi (Termohon VII);
8) Surya (Termohon VIII);
9) Nuryani (Termohon IX);
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Tidak terdapat kesalahan Penerapan Hukum/Beracara serta kekhilafan
Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, yakni benar bahwa status para
Termohon Kasasi yang mewakili kepentingan seluruh para
karyawan/buruh.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ARTA
GLORY BUANA.
Tanggal Putusan Selasa, 13 Januari 2009
c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung No. 080 PK/Pdt.Sus/2009
Indikator Uraian
Pemohon Peninjauan
Kembali
PT. Arta Glory Buana
61
Termohon
Peninjauan Kembali
1) Fakhur Khakam (Termohon I);
2) Misman (Termohon II);
3) Fatchul Mubin (Termohon III);
4) Nur Ali (Termohon IV);
5) Komariyah (Termohon V);
6) Ismoyo (Termohon VI);
7) Miadi (Termohon VII);
8) Surya (Termohon VIII);
9) Nuryani (Termohon IX);
Pertimbangan Hakim
Terdapat kekeliruan
yang nyata
Tidak terdapat kekeliruan yang nyata/kekhilafan Hakim dalam putusan
judex juris maupun judex facti, pertimbangannya telah tepat;
Terpenuhinya syarat
dalam Pasal 2 ayat
(1) UU No. 37
Tahun 2004
1) Pemohon PK dinyatakan pailit karena telah terbukti mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana disebut
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004;
2) Keberatan Pemohon PK tentang status para pemohon pailit sebagai
kreditor telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004, bahwa yang dimaksud kreditur dalam ayat ini adalah baik
kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen.
Dengan demikian keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari PT. ARTA
GLORY BUANA.
Tanggal Putusan Rabu, 23 Maret 2010
3. Kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa melawan Slamet Riyadi, dkk
Kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa diwakili oleh Edhiyanto Prasetia selaku
Direktur memberikan kuasa kepada Sabar M. Simamira, SH., MH dkk
melawan Slamet Riyadi, Triyanto, Bambang Wijonarko, Purwanto dan Sutejo,
62
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian
putusan terhadap tingkat pertama dan tingkat kasasi :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
No.12/Pailit/2009/PN.NIAGA.SMG
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Slamet Riyadi;
2) Triyanto;
3) Bambang Wijonarko;
4) Purwanto; dan
5) Sutejo.
Termohon Pailit PT. Lidi Manunggal Perkasa
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki
dua kreditor atau
lebih
Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa para pemohon pailit dalam
perkara ini adalah karyawan/pekerja yang bekerja pada termohon pailit
dengan upah/gaji setiap bulannya Rp. 460.000,- (empat ratus enam
puluh ribu rupiah). Para pemohon pailit menerima gaji terakhir pada
bulan Oktober 2006, hal ini terbukti sejak bulan November 2006
hingga bulan Agustus 2007 atau sama dengan 10 bulan para pemohon
pailit tidak menerima gaji dari Termohon pailit.
Termohon pailit mempunyai utang lain selain hutang kepada para
pemohon pailit yaitu kepada:
1) Bapak Fredy/Toko Mega Kutoarjo sebesar Rp. 50.000.000;
2) Toko Irama Remaja sebesar Rp. 60.000.000;
3) UD. Usaha Muda sebesar Rp. 18.000.000.
Debitor tidak
membayar
sedikitnya satu
hutang yang telah
jatuh tempo dan
1) Pada bulan Agustus 2007, termohon pailit melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak tanpa pemberitahuan dahulu
sebelumnya dan tanpa menyelesaikan kewajibannya kepada
pemohon pailit, dengan besaran hak gaji yang tertunggak yang
belum dibayar selama 10 bulan sejak November 2006 s/d Agustus
63
dapat ditagih 2007 dengan perhitungan masing-masing:
a) Slamet Riyadi sebesar Rp. 4.600.000;
b) Triyanto sebesar Rp. 4.600.000;
c) Bambang Wijonarko sebesar Rp. 4.600.000;
d) Purwanto sebesar Rp. 4.600.000;
e) Sutejo sebesar Rp. 4.600.000;
Sehingga kewajiban termohon pailit membayar kepada para
pemohon pailit seluruhnya adalah sebesar Rp. 4.600.000,- x 5 =
Rp. 23.000.000,- (dua puluh tiga juta rupiah) yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih.
2) Selain itu kepada para pemohon pailit, termohon pailit juga
mempunyai kewajiban/hutang kepada 315 orang pekerja/
karyawannya. Gaji tertunggak yang belum dibayarkan adalah sejak
November 2006 s/d Agustus 2007 masing-masing adalah sebesar
Rp. 460.000,- x 315 orang x 10 bulan = Rp.1.449.000.000,- (satu
milyar empat ratus empat puluh sembilan juta rupiah).
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh para pekerja yang di PHK secara
sepihak oleh termohon pailit pada bulan Agustus 2007, yang selama 10
bulan sejak bulan November 2006 hingga bulan Agustus 2007 para
pemohon pailit tidak menerima gaji dari Termohon pailit.
Terdapat fakta atau
keadaan yang
terbukti secara
sederhana
Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada
pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi
termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah
ditagih oleh pemohon.
Putusan Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon pailit
untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa termohon pailit PT. LIDI MANUNGGAL
PERKASA pailit dengan segala akibat hukumnya.
Tanggal Putusan Senin, 26 Oktober 2009
64
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 897 K/PDT.SUS/2009
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Lidi Manunggal Perkasa
Termohon Kasasi 1) Slamet Riyadi;
2) Triyanto;
3) Bambang Wijonarko;
4) Purwanto; dan
5) Sutejo.
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon
Kasasi oleh karena judex facti telah salah dalam menerapkan hukum
dengan pertimbangan:
Posita dari para pemohon pailit adalah tuntutan tentang tidak
dibayarnya upah para pemohon pailit selaku karyawan dari termohon
pailit adalah merupakan sengketa/perselisihan hubungan industrial
yang termasuk kompetensi dari Pengadilan Hubungan Industrial/bukan
wewenang Pengadilan Niaga
Putusan Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : PT. Lidi
Manunggal Perkasa;
Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Semarang No. 12/Pailit/2009/PN.Niaga.Smg tanggal 26 Oktober
2009.
Mengadili Sendiri:
Menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
tidak berwenang mengadili perkara a quo.
Tanggal Putusan Senin, 3 Mei 2010
4. Kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil melawan Letti, dkk
Kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil memberikan kuasa kepada
Thomas Asril, SH., MH dkk melawan Letti, Yudi Kristanto dan Rasak
65
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian
putusan terhadap tingkat pertama dan tingkat kasasi :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga No.03/Pailit/2010/PN-
NIAGA SBY.
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Letti;
2) Yudi Kristanto; dan
3) Rasak.
Termohon Pailit PT. Ata Surya Wood Working Mantuil
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki
dua kreditor atau
lebih
Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa pemohon dalam perkara ini
adalah para pekerja dari 214 orang pekerja yang diputuskan hubungan
kerjanya oleh Termohon berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin No.
02/PHI.G/2007/PN.BJM tanggal 11 April 2007 Jo. Putusan Mahkamah
Agung RI No. 081 K/Pdt.Sus/2007 tanggal 14 Februari 2008. Selain
itu, termohon juga mempunyai hutang kepada:
1) Sdr. Suyono sebesar Rp. 18.565.919;
2) Sdr Suharto sebesar Rp. 18.565.919;
3) Sdr Thobiyah sebesar Rp. 17.806.401;
4) Sdr. Sukardi sebesar Rp. 22.263.506;
5) Bank BNI Cabang Banjarmasin;
6) Bank Permata Cabang Banjarmasin;
7) Bank Mandiri Cabang Banjarmasin.
Debitor tidak
membayar
sedikitnya satu
hutang yang telah
jatuh tempo dan
1) Berdasarkan pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 02/PHI.G/2007/PN.BJM
tanggal 11 April 2007 menyatakan bahwa menghukum Tergugat
untuk membayar kepada Para Penggugat berupa uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja, uang pengobatan dan perumahan,
66
dapat ditagih uang cuti, uang denda (Oktober 2006 s/d 18 April 2007) dengan
nilai tagihan masing-masing:
a) Letti sebesar Rp. 17.806.401;
b) Yudi Kristanto sebesar Rp. 17.806.401;
c) Rasak sebesar Rp. 17.806.401.
2) Hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak Putusan
Mahkamah Agung RI No. 081 K/Pdt.Sus/2007 tanggal 14 Februari
2008, terbukti:
3) Adanya Penetapan Teguran/Aanmaning yang dikeluarkan oleh
Ketua Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Banjarmasin No. 02/PHI.G/Eks/2007/PN.BJM Jo. Reg No.
081/Pdt.Sus/2007 tanggal 4 Agustus 2009, namun hingga jatuh
tempo aamaning tetap Termohon tidak memenuhi kewajiban.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh para pekerja dari 214 orang
pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya oleh Termohon
berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Banjarmasin No. 02/PHI.G/2007/PN.BJM tanggal 11 April
2007 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 081 K/Pdt.Sus/2007
tanggal 14 Februari 2008.
Terdapat fakta atau
keadaan yang
terbukti secara
sederhana
Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada
pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi
termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah
ditagih oleh pemohon.
Putusan Mengabulkan permohonan para pemohon pailit untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa termohon pailit PT. Ata Surya Wood Working
Mantuil pailit dengan segala akibat hukumnya.
Tanggal Putusan Selasa, 23 Maret 2010
67
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 469 K/Pdt.Sus/2010
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Ata Surya Wood Working Mantuil
Termohon Kasasi 1) Letti;
2) Yudi Kristanto; dan
3) Rasak.
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon
Kasasi oleh karena judex facti telah salah dalam menerapkan hukum
dengan pertimbangan:
Amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan
Negeri Banjarmasin tanggal 14 April 2007 yang telah berkekuatan
hukum tetap menghukum termohon untuk membayar kepada para
pemohon masing-masing sebesar Rp. 17.806.401,- maupun penetapan
aanmaning Pengadilan Negeri Banjarmasin tanggal 4 Agustus 2009
sebagai “utang termohon kepada pemohon yang telah jatuh waktu”
sebab kewajiban termohon untuk membayar kepada pemohon uang
masing-masing sebesar Rp. 17.806.401,- tersebut timbul dari Putusan
PHI dan bukan timbul karena perjanjian atau UU, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004. Demikian
pula aanmaning yang ditetapkan oleh Pengadilan dalam rangka
eksekusi putusan bukanlah termasuk dalam pengertian “telah jatuh
waktu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37
Tahun 2004 sebab aanmaning tersebut tidak didasarkan atas
kesepakatan antara pemohon dan termohon dalam perjanjian. Putusan
PHI pada PN Banjarmasin tersebut dimaksudkan segera dieksekusi dan
bukan dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit, yang akan
merugikan para penggugat lainnya karena harus menunggu proses
perkara kepailitan di Pengadilan Niaga untuk memperoleh hak-haknya;
Putusan Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : PT. Ata
68
Surya Wood Working Mantuil;
Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya No.03/Pailit/2010/PN-NIAGA SBY tanggal 23 Maret
2010.
Mengadili Sendiri:
Menolak permohonan pernyataan pailit dari Pemohon;
Tanggal Putusan Selasa, 29 Juni 2010
5. Kasus PT. Rasico Industry (dalam likuidasi) melawan Andreas
Kasus PT. Rasico Industry (dalam likuidasi) diwakili oleh Yan Apul Hasiholan
Girsang, SH selaku likuidator melawan Andreas memperoleh kekuatan hukum
tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian putusan terhadap tingkat pertama
dan tingkat kasasi :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga No.
17/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit Andreas;
Termohon Pailit PT. Rasico Industry (dalam likuidasi);
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki
dua kreditor atau
lebih
Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa pemohonan pailit adalah
mantan karyawan yang di PHK berdasarkan Keputusan P4D No.
792/U/12/XII/1999 tanggal 21 Desember 1999. Selain itu, termohon
pailit mempunyai utang kepada kreditur-kreditur lain yaitu:
1) Pesangon karyawan dan uang cuti sebanyak 140 karyawan yaitu
sebesar Rp. 2.950.202.308;
2) CV. Perfecta Textile sebesar Rp. 370.922.920;
3) Munadi Natasapura sebesar Rp. 4.290.000;
4) PT. Justus Kimia Raya sebesar Rp. 17.497.831.
69
Debitor tidak
membayar
sedikitnya satu
hutang yang telah
jatuh tempo dan
dapat ditagih
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 371/K/TUN/2001
tanggal 5 Juli 2006, termohon pailit diwajibkan untuk membayar
kepada pemohon pailit, yaitu berupa uang pesangon sebesar Rp.
194.832.000. Terhadap kewajiban termohon pailit tersebut, pemohon
pailit melalui kuasa hukum telah memperingatkan termohon pailit
melalui Surat Somasi terakhir No. 082/SOM-JJ/XII/2007 tertanggal 19
Desember 2007 agar termohon melaksanakan kewajiban utangnya
tersebut, namun sampai saat diajukan permohonan pailit, termohon
tidak pernah beritikad baik untuk membayar kewajibannya.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh mantan karyawan termohon pailit
selama 15 tahun dengan jabatan terakhir adalah sebagai kepala pabrik
sekaligus sebagai pemegang saham perseroan. Pada pertengahan bulan
Mei 1999 telah terjadi perselisihan yang menyebabkan P4D
mengeluarkan Keputusan No. 792/U/12/XII/1999 tanggal 21
Desember 1999 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja.
Terdapat fakta atau
keadaan yang
terbukti secara
sederhana
Berdasarkan fakta, termohon telah memiliki utang kepada pemohon
dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi dengan adanya
pelaksanaan putusan perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap,
maka mekanisme yang harus ditempuh jika ingin mempailitkan PT.
Rasico Industry adalah dengan mengajukan permohonan pembatalan
perdamaian sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 170, 171 dan 291
UU No. 37 Tahun 2004, dengan demikian mekanisme yang ditempuh
oleh pemohon pailit adalah tidak tepat.
Putusan Menolak permohonan pernyataan pailit Pemohon (Andreas);
Tanggal Putusan Rabu, 28 April 2010
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 584 K/Pdt.Sus/2010
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi Andreas;
70
Termohon Kasasi PT. Rasico Industry (dalam likuidasi);
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan alasan-alasan kasasi dari
Pemohon Kasasi oleh karena judex facti tidak salah dalam menerapkan
hukum dengan pertimbangan:
Alasan-alasan kasasi dari pemohon kasasi mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi, karena pemeriksaan
pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau
ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU No. 3
tahun 2009;
Judex facti sudah menerapkan hukum secara tepat dan benar menolak
permohonan pailit karena pemohon pailit menempuh prosedur yang
salah dalam permohonan pernyataan pailit. Jika ingin mempailitkan
maka sesuai ketentuan Pasal 170, 171 dan 291 UU No. 37 Tahun 2004
Pemohon harusnya mengajukan permohonan pembatalan putusan
perdamaian yang telah mereka buat dan sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan bukan dengan mengajukan permohonan pailit.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi: Andreas;
Tanggal Putusan Rabu, 22 Juni 2011
6. Kasus PT. Welltekindo Nusantara melawan Sendy Nainggolan, dkk
Kasus PT. Welltekindo Nusantara memberikan kuasa kepada Marojahan
Hutabarat dkk melawan Sendy Nainggolan dan Azhari Nasution memperoleh
kekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian putusan terhadap
tingkat pertama dan tingkat kasasi :
71
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga No.
77/Pailit/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Sendy Nainggolan;
2) Azhari Nasution.
Termohon Pailit PT. Welltekindo Nusantara
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki
dua kreditor atau
lebih
Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa pemohon dalam perkara ini
adalah karyawan dari termohon yang kemudian dipindah tugaskan oleh
termohon untuk bekerja pada Geoservice Eastern S.A (GESA) tanggal
1 Oktober 2009 sehingga dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja
oleh termohon pailit. Selain itu, termohon juga mempunyai hutang
kepada Pemohon Pailit II (Azhari Nasution) sebesar Rp. 219.600.000,-
Debitor tidak
membayar
sedikitnya satu
hutang yang telah
jatuh tempo dan
dapat ditagih
1) Bahwa pemohon dalam dalil permohonannya menegaskan bahwa
berdasarkan Surat Pemindahan serta Remunerasi atas
Pemindahan/Transfer dengan rincian:
a) Biaya kompensasi sebesar Rp. 116.516.667,- berdasarkan
perhitungan penghargaan masa kerja dan penggantian hak;
b) Biaya kompensasi sebesar Rp. 198.000.000,-
2) Selain itu, termohon juga mempunyai hutang kepada Pemohon
Pailit II (Azhari Nasution) sebesar Rp. 219.600.000,-
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa para
pemohon pailit merupakan karyawan dari termohon yang kemudian
dipindah tugaskan oleh termohon untuk bekerja pada Geoservice
Eastern S.A (GESA) tanggal 1 Oktober 2009 sehingga dilakukannya
Pemutusan Hubungan Kerja oleh termohon pailit.
Terdapat fakta atau
keadaan yang
Berdasarkan fakta, termohon pailit menyangkal sisa pembayaran atas
remunerasi akibat PHK antara para pemohon pailit dengan termohon
72
terbukti secara
sederhana
pailit sehingga masih memerlukan pembuktian lebih lanjut sehingga
pembuktian dalam perkara ini tidak bersifat sederhana sebagaimana
dimaksud Pasal 8 ayat (4) UUK.
Alasan Penolakan
Permohonan Pailit
Tuntutan para pemohon pailit untuk menuntut hak berupa sisa
pembayaran atas remunerasi akibat PHK harus diajukan pada
Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dengan UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bukan merupakan
kewenangan Pengadilan Niaga.
Putusan Menolak permohonan pernyataan pailit dari para pemohon untuk
seluruhnya.
Tanggal Putusan Kamis, 12 Januari 2012
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 106 K/Pdt.Sus/2012
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi 1) Sendy Nainggolan;
2) Azhari Nasution.
Termohon Kasasi PT. Welltekindo Nusantara
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan alasan-alasan kasasi dari
Pemohon Kasasi oleh karena judex facti tidak salah dalam menerapkan
hukum dengan pertimbangan:
Tuntutan para pemohon pailit untuk menuntut hak berupa sisa
pembayaran atas remunerasi akibat PHK harus diajukan pada
Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dengan UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bukan merupakan
kewenangan Pengadilan Niaga. Selain itu, putusan judex facti dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau UU.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi : 1. Sendy
Nainggolan dan 2. Azhari Nasution.
Tanggal Putusan Rabu, 18 April 2012
73
7. Kasus PT. Alogics Mandiri Coal melawan Ko Ik Whan, dk
Kasus PT. Alogics Mandiri Coal melawan Ko Ik Whan dan Lee Bong Kyoo
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian
putusan terhadap tingkat pertama dan tingkat kasasi :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga No.
66/Pailit/2011/PN.Niaga.Mks
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Ko Ik Whan;
2) Lee Bong Kyoo.
Termohon Pailit PT. Alogics Mandiri Coal
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki
dua kreditor atau
lebih
Berdasarkan dalil permohonan pernyataan pailit dari pemohon pailit I
dan II, maka dapat diketahui bahwa pemohon pailit dalam perkara ini
diajukan oleh 2 (dua) orang Pemohon yang menyatakan mempunyai
piutang/tagihan kepada termohon pailit, berupa gaji pemohon I sebagai
Direktur Operasional pada termohon dan gaji Pemohon II sebagai
Direktur Keuangan selama 5 bulan sejak Juli 2010 s/d November 2010
yang tidak dibayarkan oleh Termohon ditambah dengan sisa pinjaman
termohon kepada pemohon I Rp. 45.395.000,- dan kepada pemohon II
sebesar Rp. 115.000.000,- dengan demikian maka unsur Debitor harus
mempunyai dua atau lebih kreditur secara formal telah terpenuhi.
Debitor tidak
membayar
sedikitnya satu
hutang yang telah
jatuh tempo dan
dapat ditagih
1) Setelah Majelis Hakim mencermati bukti-bukti surat yang diajukan
oleh para pemohon pailit, ternyata tidak terdapat bukti yang secara
konkrit yang menyatakan besarnya gaji para pemohon setiap
bulannya yang harus dibayarkan oleh termohon dan demikian juga
dengan adanya pinjaman dari pemohon I dan pemohon II kepada
termohon tidak terdapat adanya bukti yang nyata adanya pinjaman
tersebut, akan tetapi dalil hanya merujuk kepada bukti berupa hasil
audit laporan keuangan termohon yang menerangkan terdapat
adanya hutang termohon berupa gaji yang tidak dibayarkan
74
sejumlah Rp. 572.868.417,- namun tidak ada penjelasan gaji
siapakah yang belum dibayarkan tersebut, kapan adanya hutang dan
kapan tanggal jatuh tempo pembayarannya.
2) Selain itu bukti lampiran auditor yang tidak dibubuhi tanda tangan
penanggung jawab sehingga tidak jelas pertanggungjawabannya.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa pemohon I
telah bekerja kepada termohon sebagai Direktur Operasional dan
Pemohon II telah bekerja kepada termohon sebagai Direktur Keuangan
sejak bulan 8 Juli s/d November 2010 yang gaji selama 5 bulan sejak
Juli 2010 s/d November 2010 tidak dibayarkan oleh Termohon.
Terdapat fakta atau
keadaan yang
terbukti secara
sederhana
Berdasarkan fakta, besarnya gaji dan pinjaman para pemohon pailit
kepada termohon tidak dapat dibuktikan secara sederhana dan juga urat
somasi/teguran dari kuasa Pemohon I dan II kepada termohon yang
titujukan ke alamat termohon, ternyata termohon pailit sudah tidak
berada lagi dialamat tersebut, maka dapat disangka bahwa surat
teguran/somasi tersebut tidak sampai kepada termohon pailit, sehingga
menurut majelis hakim somasi yang dilakukan belum sempurna oleh
karena itu maka tenggang waktu jatuh temponya hutang belum dapat
diketahui.
Putusan Menolak permohonan pernyataan pailit dari Ko Ik Whan dan Lee
Bong Kyoo.
Tanggal Putusan Rabu, 22 Februari 2012
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 246 K/Pdt.Sus/2012
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi 1) Ko Ik Whan;
2) Lee Bong Kyoo.
Termohon Kasasi PT. Alogics Mandiri Coal
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan alasan-alasan kasasi dari
75
penerapan hukum Pemohon Kasasi oleh karena judex facti tidak salah dalam menerapkan
hukum dengan pertimbangan:
Fakta-fakta atau keadaan-keadaan yang diuraikan dalam permohonan
pailit antara lain tentang besarnya gaji para pemohon pailit kepada
termohon tidak dapat dibuktikan secara sederhana, oleh karenanya
permohonan pailit tidak memenuhi Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun
2004.
Para pemohon pailit adalah Pengurus/Direksi dari termohon pailit yang
seharusnya mengetahui alamat dan kedudukan termohon pailit. Selain
itu, putusan Pengadilan Niaga pada PN Makassar dalam perkara ini
tidak bertentangan dengan hukum dan/atau UU.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi : 1. Ko Ik
Whan dan 2. Lee Bong Kyoo.
Tanggal Putusan Senin, 6 Agustus 2012
8. Kasus PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk
Kasus PT. Indah Pontjan memberikan kuasa kepada H. Muchtar, SH dkk
melawan Rohani, Parinem, Poniyah, Sawinem dan Suriati memperoleh
kekuatan hukum tetap pada tahap peninjauan kembali. Berikut ini uraian
putusan terhadap kasus tersebut pada tingkat kasasi dan tingkat peninjauan
kembali :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga No. 01/Pailit/2012/PN
Niaga.Mdn.
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Rohani;
2) Parinem;
3) Poniyah;
4) Sawinem; dan
76
5) Suriati.
Termohon Pailit PT. Indah Pontjan
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki dua
kreditor atau lebih
1) Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa termohon memiliki utang
kepada termohon berdasarkan amar putusan PHI No.
04/G/2008/PHI Mdn yang menyatakan mengabulkan gugatan para
pemohon dan menghukum termohon untuk membayar hak-hak para
pemohon sebesar Rp. 148.263.300,-
2) Selain mempunyai utang kepada pemohon pailit, termohon pailit
juga mempunyai utang kepada kreditur lain, yaitu:
a) Tukilah sebesar Rp. 24.933.372;
b) Tukini sebesar Rp. 25.638.341;
c) Sutrisno sebesar Rp. 14.608.321;
d) Jimen sebesar Rp. 23.092.952;
e) Supini sebesar Rp. 25.638.341;
f) Karini sebesar Rp. 23.296.484;
g) Sarni sebesar Rp. 24.993.410;
h) Tukirah sebesar Rp. 22.448.021;
i) Suriati sebesar Rp. 24.993.410;
j) Tukimah sebesar Rp. 24.993.410;
k) Legiem sebesar Rp. 24.993.410.
Debitor tidak
membayar sedikitnya
satu hutang yang
telah jatuh tempo dan
dapat ditagih
1) Berdasarkan rincian utang dari Termohon Pailit kepada para
pemohon pailit sebagaimana tertuang dalam isi putusan PHI No.
04/G/2008/PHI Mdn adalah sebagai berikut:
a) Utang berupa Pesangon, Penghargaan Masa Kerja dan
Penggantian Hak adalah sebagai berikut:
- Rohani sebesar Rp. 21.211.577;
- Parinem sebesar Rp.19.514.651;
- Poniyah sebesar Rp. 21.211.577;
- Sawinem sebesar Rp. 21.211.577;
- Suriati sebesar Rp. 21.211.577.
77
b) Utang berupa upah proses sebanyak 5 (lima) bulan terhitung
sejak Desember 2006 berjumlah Rp. 21.191.970,00.
2) Bahwa oleh karena isi putusan jelas memuat perintah agar termohon
pailit membayar sejumlah uang tersebut, maka sejak dikeluarkannya
putusan No. 03 PK/Pdt.Sus/2010 tanggal 16 Februari 2010 utang
termohon pailit telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa pemohon
pailit adalah mantan pekerja yang sudah tidak lagi bekerja pada
termohon pailit sejak tanggal 23 November 2006 karena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh Termohon Pailit.
Terdapat fakta atau
keadaan yang
terbukti secara
sederhana
Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada
pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi
termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah
ditagih oleh pemohon.
Putusan Mengabulkan permohonan para pemohon pailit untuk seluruhnya;
Menyatakan termohon pailit yaitu PT. Indah Pontjan pailit dengan
segala akibatnya.
Tanggal Putusan Senin, 23 April 2012
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 401 K/Pdt.Sus/2012
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Indah Pontjan
Termohon Kasasi 1) Rohani;
2) Parinem;
3) Poniyah;
4) Sawinem; dan
5) Suriati.
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon
Kasasi oleh karena judex facti telah salah dalam menerapkan hukum
78
dengan pertimbangan:
1) Perkara a quo adalah tentang perselisihan perburuhan yaitu belum
dilaksanakannya putusan PHI, yang dimenangkan oleh para pekerja
PT. Indah Pontjan (Termohon Kasasi);
2) Seharusnya Termohon Kasasi setelah putusan PHI tersebut
berkekuatan hukum tetap, dan pihak perusahaan tidak mau
melaksanakan putusan secara sukarela, dapat meminta pelaksanaan
putusan tersebut dengan cara eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang memutuskan perkara tsb. (Pasal 57 UU No. 2 Tahun
2004 Jo. Pasal 197 ayat (1) HIR);
3) Termohon Kasasi sudah memohon eksekusi ke Pengadilan Negeri,
tetapi proses eksekusi tersebut belum selesai, namun Termohon
Kasasi sudah mengajukan perkara kepailitan, dengan demikian
Termohon Kasasi belumlah melakukan prosedur pelaksanaan
putusan sebagaimana yang ditentukan UU;
4) Termohon Kasasi yang menuntut hak-haknya akibat PHK ke PHI
dan meskipun telah ada putusan PHI yang mengabulkan gugatan
dalam perkara Perselisihan Perburuhan tersebut, tidak berarti
mereka secara otomatis menjadi kreditur terhadap perusahaan
sebagaimana diatur UU Kepailitan;
5) Pemohon kasasi juga adalah perusahaan, dengan begitu mempunyai
banyak tenaga kerja dan para Termohon Kasasi adalah sebagian
kecil dari tenaga kerja yang pernah bekerja para perusahaan
pemohon kasasi yang telah memenangkan gugatan PHO atas
perkara a quo, seharusnya Termohon Kasasi menempuh prosedur
pelaksanaan putusan secara eksekusi namun perkara ini tidak dapat
dibuktikan secara sederhana;
6) Berdasarkan uraian di atas, maka ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tidak terpenuhi.
Putusan Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi PT. Indah
Pontjan;
79
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Medan Nomor 01/Pailit/2012/PN Niaga.Mdn tanggal 23 April
2012.
Mengadili sendiri:
Menolak permohonan pemohon pailit untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan Rabu, 27 Juni 2012
c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung No. 195 PK/Pdt.Sus/2012
Indikator Uraian
Pemohon Peninjauan
Kembali
1) Rohani;
2) Parinem;
3) Poniyah;
4) Sawinem; dan
5) Suriati.
Termohon
Peninjauan Kembali
PT. Indah Pontjan
Pertimbangan Hakim
Terdapat kekeliruan
yang nyata
Tidak terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan nyata dari hakim
dalam putusan judex juris dengan pertimbangan:
1) Dikabulkannya permohonan pailit adalah merupakan ultimatum
remidium dalam penyelesaian suatu sengketa hutang piutang;
2) Faktanya pemohon pailit telah menempuh jalur hukum
denganmengajukan gugatan melalui PHI, dan telah dikabulkan;
3) Setelah berhasil, lalu dalam proses eksekusinya menempuh “jalur
hukum lain” yaitu mengajukan melalui proses kepailitan, sementara
proses eksekusi dalam perkara PHI belum final, hal ini akan
memberikan dampak yang tidak baik sebagai pemohon pailit yang
beritikad baik;
80
4) Pertimbangan Judex juris telah tepat sesuai hukum yang
berkeadilan dan kepatutan serta kemanfaatan, dengan dasar
pembuktian perkara menjadi tidak sederhana sehingga ketentuan
Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tidak terpenuhi;
5) Dalam putusan Judex juris tidak ditemukan adanya kekeliruan yang
nyata atau adanya kekhilafan hakim, tetapi yang ada adalah bahwa
alasan PK tersebut merupakan perbedaan pendapat antara pemohon
PK dengan Judex juris , sehingga bukan merupakan alasan PK;
6) Putusan MA No. 401 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 27 Juni 2012 tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau UU.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan peninjauan kembali dari para pemohon
Peninjauan Kembali: 1. Rohani, 2. Parinem, 3. Poniyah, 4.
Sawinem dan 5. Suriati.
Tanggal Putusan Selasa, 30 April 2013
9. Kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry melawan Dewan
Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit Particle Board
Industry
Kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry melawan Dewan Pengurus
Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit Particle Board Industry yang
diwakili oleh Astadi, Didik Suprayitno, Supriyadi, Tri Wahyudi, Suparno,
Arifin, Iwan Singgih Purbadi, Supramiyanto, dan Yusak Agung Juwoto
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama. Berikut ini uraian
putusan terhadap tingkat pertama :
81
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga No. 17/Pailit/2015/PN-
Niaga-SBY
Indikator Uraian
Pemohon Pailit Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit
Particle Board Industry yang diwakili oleh:
1) Astadi;
2) Didik Suprayitno;
3) Supriyadi;
4) Tri Wahyudi;
5) Suparno;
6) Arifin;
7) Iwan Singgih Purbadi;
8) Supramiyanto; dan
9) Yusak Agung Juwoto.
Termohon Pailit PT. Unggul Summit Particle Board Industry
Pertimbangan Hakim
Debitor memiliki
dua kreditor atau
lebih
Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa pemohon dalam perkara ini
adalah Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. USPBI yang
mewakili karyawan PT. USPBI telah menandatangani surat perjanjian
bersama antara pemohon dengan termohon tanggal 14 Mei 2013 yang
menyepakati kewajiban termohon untuk membayar uang pesangon,
uang penggantian hak dan upah terakhir yang belum terbayar yang
keseluruhannya berjumlah Rp. 3.826.929.250,- dan pembayarannya
ditentukan paling lambat tanggal 14 Agustus 2013, sedangkan H.
Basuni Bahdi adalah perorangan (kreditor lain) juga mempunyai
tagihan sebesar Rp. 61.440.000,- atas pembelian 192.000,- kg batubara
yang belum dibayar oleh Termohon.
Termohon menyatakan dalam dalil jawabannya membenarkan
mempunyai hutang kepada pemohon dan kredirut lain, sehingga
berdasarkan pertimbangan hukum tsb maka majelis hakim berpendapat
82
syarat debitor memiliki dua kreditor atau lebih telah terpenuhi.
Debitor tidak
membayar
sedikitnya satu
hutang yang telah
jatuh tempo dan
dapat ditagih
Bahwa pemohon dalam dalil permohonannya menegaskan pemohon
dan termohon telah menandatangani surat perjanjian bersama pada
tanggal 14 Mei 2013 dengan menyepakati kewajiban termohon untuk
membayar uang pesangon, uang penggantian hak dan upah terakhir
yang belum terbayar yang keseluruhannya berjumlah Rp.
3.826.929.250,- dengan kesepakatan pembayarannya paling lambat
tanggal 14 Agustus 2013 dan telah berulang kali pemohon
mengingatkan/menegur kepada termohon agar membayar hak-hak
pemohon yang telah jatuh tempo tersebut namun hingga permohonan
diajukan termohon belum membayar yang menjadi kewajibannya.
Selain itu, penggugat dalam permohonannya juga mendalilkan bahwa
termohon mempunyai utang kepada kreditor lain (H. Basuni Bahdi)
dalam rangka pembelian batubara seberat 192.000 kg dengan nilai
perhitungan tertanggal 13 Agustus 2012 sebesar Rp. 61.440.000,- yang
dikuatkan dengan Pernyataan Pengakuan utang tanggal 5 April 2013.
Termohon menyatakan dalam dalil jawabannya membenarkan telah
menandatangani surat perjanjian bersama dan juga membenarkan
mempunyai hutang kepada kreditur lain tetapi termohon belum dapat
melakukan pembayaran karena pengaruh krisis global yang
berpengaruh pada kinerja termohon yang terus menurun, sehingga
berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka majelis hakim
berpendapat syarat debitor tidak membayar sedikitnya satu hutang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih telah terpenuhi.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh Dewan Pengurus Serikat Pekerja
Indonesia PT. USPBI selaku kreditur dari termohon pailit, sehingga
berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka majelis hakim
berpendapat syarat atas permohonan sendiri maupun atas permintaan
seorang atau lebih kreditor telah terpenuhi.
Terdapat fakta atau Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada
83
keadaan yang
terbukti secara
sederhana
pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi
termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah
ditagih oleh pemohon, sehingga berdasarkan pertimbangan hukum tsb
maka majelis hakim berpendapat syarat terdapat fakta atau keadaan
yang terbukti secara sederhana telah terpenuhi.
Putusan Mengabulkan permohonan pemohon;
Menyatakan termohon PT. Unggul Summit Particle Board Industry
pailit dengan segala akibat hukumnya.
Tanggal Putusan Kamis, 26 Nopember 2015
10. Kasus PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero) melawan Sudiyarto
Kasus PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero) memberi kuasa kepada Rizky
Dwinanto S.H., M.H., dkk melawan Sudiyarto memperoleh kekuatan hukum
tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian putusan terhadap tingkat pertama
dan tingkat kasasi :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN
Niaga Jkt Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Sudiyarto;
2) Jafar Tambunan.
Termohon Pailit PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero)
Pertimbangan Hakim
Pembuktian
sederhana mengenai
adanya debitor
1) Hubungan pemohon dengan termohon adalah hubungan industrial
atau hubungan antara pengusaha dengan buruh atau pekerja atau
serikat buruh
2) Apabila terjadi sengketa antara pengusaha dan buruh yang
mempersoalkan tentang diberhentikannya pemohon dimana hak-
hak pemohon tidak dibayarkan gaji, denda gaji, iuran jamsostek,
dll. Maka hubungan tersebut jika terjadi sengketa seharusnya
84
diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI);
3) Sengketa seperti ini Pengadilan Niaga sesuai UU No. 37 Tahun
2004 menyatakan tidak berwenang menyelesaikannya.
Alasan Penolakan
Permohonan pailit
1) Berdasarkan bukti-bukti, PT. MNA terbukti milik Negara dan
bergabung dalam BUMN;
2) Dengan memperhatika maksud dan tujuan didirikannya PT. MNA
dapat disimpulkan PT. MNA merupakan BUMN yang melayani
kepentingan publik;
3) Dengan memperhatikan Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004
apabila suatu BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik
maka berhak mengajukan PKPU adalah Menteri Keuangan;
4) Oleh karena yang mengajukan pailit bukan Menteri Keuangan,
maka Pemohon bukan pihak yang berhak atau tidak memiliki
kedudukan hukum (pihak yang tidak mempunyai legal standing).
Putusan Menolak permohonan para pemohon.
Tanggal Putusan Kamis, 7 April 2016
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 447 K/Pdt.Sus/2016
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi Sudiyarto
Termohon Kasasi PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero);
Jafar Tambunan (Turut Termohon Kasasi).
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan alasan-alasan kasasi dari
Pemohon Kasasi oleh karena judex facti tidak salah dalam menerapkan
hukum dengan pertimbangan:
1) Alasan-alasan Pemohon berisi mengenai hal-hal yang telah
dipertimbangkan secara cukup oleh Judex facti bukan alasan kasasi
sebagaimana dimaksud dalam UU Mahkamah Agung sehingga
layak untuk dikesampingkan;
2) Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Jo. Angka 17 UU No. 2
85
Tahun 2004 tentang PPHI gugatan mengenai perselisihan
hubungan industrial diperiksa dan diadili oleh PHI, hal mana telah
terbukti adanya dalam perkara a quo yaitu bahwa permohonan
pemohon berisi mengenai hak-hak pemohon sebagai pegawai
termohon pailit sehingga telah benar sebagaimana dipertimbangkan
oleh Judex facti bahwa pokok perkara adalah mengenai
perselisihan hubungan industrial, oleh karena itu sudah tepat
permohonan pemohon ditolak;
3) Alasan-alasan selain dan selebihnya hanyalah mengenai penilaian
hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat
kasasi hanya berkenaan dengan adanya kelalaian dalam memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau
melampaui batas wewenangnya, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA sebagaimana telah
diubah dan ditambah dalam UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009;
4) Putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat No. 04/Pdt.Sus-
Pailit/2016/PN Niaga Jkt Pst tanggal 7 April 2016 tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau UU.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan kasasi: Sudiyarto.
Tanggal Putusan Senin, 25 Juli 2016
86
E. Analisis
Dari 10 (sepuluh) kasus kepailitan yang telah diuraikan di atas (vide: Hasil
Penelitian), penulis menggolongkan kasus permohonan pailit yang diajukan oleh
pekerja (kreditor) yang telah diputus dan telah memiliki kekuatan hukum tetap
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu 2 (dua) kasus permohonan pengajuan pailit
dikabulkan dan 8 (delapan) kasus permohonan pengajuan pailit yang ditolak.
Berikut ini tabel yang memuat kasus yang diterima dan ditolak.
Tabel 2.
Sepuluh kasus kepailitan yang dikabulkan dan ditolak
No Kasus Dikabulkan Ditolak
1. PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT.
Perusahaan Pengelola Aset (Persero) melawan
Heryono, Nugroho dan Sayudi
2. PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama
Willi Josep Candra melawan Fakhur Khakam,
dkk.
3. PT. Lidi Manunggal Perkasa melawan Slamet
Riyadi, dkk
4. PT. Ata Surya Wood Working Mantuil
melawan Letti, dkk
5. PT. Rasico Industry (dalam likuidasi) melawan
Andreas
6. PT. Welltekindo Nusantara melawan Sendy
Nainggolan, dkk
7. PT. Alogics Mandiri Coal melawan Ko Ik
Whan, dk
8. PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk
9. PT. Unggul Summit Particle Board Industry
melawan Dewan Pengurus Serikat Pekerja
Indonesia PT. Unggul Summit Particle Board
Industry
10. PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero)
melawan Sudiyarto
87
1. Variasi pertimbangan hakim dan amar putusan dalam memutus 10
(sepuluh) kasus kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja
Perbedaan pertimbangan hukum dari hakim antar kasus kepailitan dimana
pemohon pailit diajukan oleh pekerja (vide: Hasil Penelitian) menghasilkan
variasi yang menarik untuk dikaji. Kajian penulis terhadap setiap kasus yang amar
putusannya mengabulkan dan menolak permohonan pailit diuraikan dalam bentuk
tabel sebagai berikut.
a. Kasus kepailitan yang dikabulkan
Tabel 3.
Dua kasus kepailitan yang dikabulkan
No. Kasus Alasan dikabulkannya permohonan
1) PT. Arta Glory
Buana melawan
Fakhur Khakam,
dkk.
Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan pailit
dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU
Kepailitan;
Pemohon pailit adalah Pimpinan Serikat Pekerja
Serikat Pekerja Nasional (PSP SPN) PT.AGB yang
bertindak untuk dan atas nama seluruh anggota SPN
PT.AGB yang beranggotakan 1.942 karyawan
PT.AGB;
Termohon mengakui adanya utang-utang kepada
Pemohon Pailit dalam Surat Termohon Pailit No :
01/PSL-BLS/D02008 tertanggal 2 September 2008.
Dalam pertimbangan hakim pada Pengadilan Niaga
tidak memaparkan terkait kedudukan serikat pekerja.
Akan tetapi dalam amar putusan mengabulkan
permohonan pemohon pailit. Dengan demikian dapat
disimpulkan kedudukan serikat pekerja sebagai
pemohon pailit diakui oleh hakim yang memutus
perkara.
Pada tingkat kasasi juga tidak memaparkan terkait
kedudukan serikat pekerja. Akan tetapi dalam amar
putusan menolak permohonan kasasi dari perusahaan
oleh karena tidak terdapat kesalahan dalam
88
penerapan hukum. Sehingga kedudukan serikat
pekerja sebagai pemohon pailit tetap diakui oleh
hakim yang memutus perkara.
Sedangkan pada tingkat Peninjauan Kembali
menolak keberatan dari Pemohon PK atas status
serikat pekerja sebagai kreditor yang
mengatasnamakan kepentingan seluruh karyawan.
Artinya MA mengakui bahwa serikat pekerja PT.
AGB sebagai pemohon pailit memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pailit yakni sebagai kreditor Preferen
Umum.
2) PT. Unggul
Summit Particle
Board Industry
melawan Dewan
Pengurus
Serikat Pekerja
Indonesia PT.
USPBI
Pemohon pailit adalah Dewan Pengurus Serikat
Pekerja Indonesia PT. USPBI yang bertindak untuk
dan atas nama diri sendiri dan 69 orang karyawan
PT. USPBI;
Adanya Surat Perjanjian Bersama antara pemohon
dan termohonr tanggal 14 Mei 2013 yang
menyepakati kewajiban termohon untuk membayar
uang pesangon, uang penggantian hak dan upah
terakhir yang belum terbayar yang keseluruhannya
berjumlah Rp. 3.826.929.250,- dan pembayarannya
ditentukan paling lambat tanggal 14 Agustus 2013;
Termohon membenarkan telah menandatangani
surat perjanjian bersama dan juga membenarkan
mempunyai hutang kepada kreditur lain.
Dalam pertimbangan hakim, permohonan pernyataan
pailit dari pemohon berasalan hukum karena telah
memenuhi syarat dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8
ayat (4) UU Kepailitan.
Dari uraian kasus di atas untuk dapat mengajukan permohonan pailit oleh
pekerja (pemohon pailit) sehingga dapat dikabulkan, tidak hanya memenuhi syarat
formil dan materil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4)
UU Kepailitan akan tetapi permohonan memenuhi syarat/ketentuan lain yaitu:
89
1) Pemohon pailit adalah Pimpinan Serikat Pekerja atau Dewan Pengurus
Serikat Pekerja.
Dari hasil penelitian penulis, pekerja yang dapat mengajukan
permohonan pailit adalah pekerja yang memiliki status sebagai pengurus atau
pimpinan dalam satu organisasi yang disebut serikat pekerja. Hal ini
dikarenakan serikat pekerja memiliki tujuan yaitu untuk memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya (Pasal 1 angka 1 UU No. 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh). Untuk dapat mencapai
tujuan tersebut apabila pekerja merasa dirugikan salah satunya dengan adanya
Pemutusan Hubungan Kerja dari perusahaan tempat mereka bekerja, maka
Serikat Pekerja memiliki kewenangan untuk mewakili kepentingan atau
bertindak untuk dan atas nama seluruh pekerja yang menjadi anggota Serikat
Pekerja.
Apabila Serikat Pekerja yang mengajukan permohonan pailit,
kemungkinan dikabulkannya permohonan menjadi besar. Sebaliknya, jika
permohonan diajukan oleh pekerja yang bertindak untuk dan atas nama sendiri
atau untuk kepentingan sendiri, kemungkinan dikabulkannya permohonan
menjadi kecil. Prinsipnya, perusahaan yang diajukan permohonan pailit adalah
perusahaan yang mempunyai banyak tenaga kerja. Apabila yang mengajukan
permohonan pailit adalah sebagian kecil dari jumlah seluruh tenaga kerja yang
ada (baik yang masih bekerja maupun yang telah di PHK oleh perusahaan) dan
permohonan pailit diterima hingga berkekuatan hukum tetap, maka akan
menimbulkan dampak yang besar. Dampak yang dimaksud adalah:
90
a) Meningkatnya tingkat pengangguran di Indonesia. Oleh karena kepailitan
memiliki esensi sita umum terhadap seluruh boedel pailit, maka secara
otomatis seluruh pekerja yang ada harus diberhentikan atau dilakukannya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan.
b) Aset perusahaan tidak sebanding dengan utang. Jika suatu perusahaan
dipailitkan, maka demi hukum perusahaan/badan hukum tersebut menjadi
tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini berdampak pada
pembagian aset perusahaan. Jika aset telah digunakan untuk membayar
utang dan memiliki sisa, sedangkan badan hukum memiliki kekhususan
yaitu terjadi pemisahan harta kekayaan maka sisa aset tersebut dapat
digunakan untuk membuat perusahaan baru. Jika hal ini terjadi, maka sama
saja dengan membuat perusahaan baru yang organ PT sama akan tetapi
menimbulkan ketidakefisiensi dan membutuhkan waktu yang lama.
Hal ini berbeda jika pemohon pailitnya adalah serikat pekerja. Serikat
pekerja mewakili seluruh kepentingan anggota yang tergabung didalamnya.
Apabila perusahaan tidak mampu untuk membayar gaji/upah karyawan oleh
karena kinerja perusahaan yang menurun, maka kepailitan adalah salah satu
pranata hukum yang dapat digunakan untuk melindungi kepentingan para
pekerja sehingga tidak memberikan kerugian yang lebih besar kepada para
pekerja tersebut.
91
2) Pengakuan oleh Perusahaan adanya utang kepada pekerja (pemohon
pailit) dan/ atau kepada kreditor lain di depan persidangan.
Dari kedua kasus yang dikabulkan sebagaimana telah diuraikan di atas,
perusahaan (termohon pailit) mengakui atau membenarkan adanya utang
kepada pekerja dan/atau kreditor lainnya. Hal ini salah satu yang menjadi
esensi kepailitan yaitu terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana. Apabila perusahaan sebagai termohon pailit tidak mengakui adanya
utang, maka seperti pada kasus PT. Welltekindo Nusantara melawan Sendy
Nainggolan, dkk. dimana perusahaan tidak mengakui sisa pembayaran maka
majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya menyimpulkan bahwa adanya
utang yang didalilkan oleh pemohon tidak dapat dibuktikan secara sederhana.
3) Adanya Surat Perjanjian bersama antara Pekerja/Serikat Pekerja dan
Perusahaan sehingga dapat membuktikan adanya utang.
Pada kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry melawan Dewan
Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. USPBI, dengan adanya surat
Perjanjian Bersama antara pemohon dan termohon tanggal 14 Mei 2013 yang
menyepakati kewajiban termohon untuk membayar uang pesangon, uang
penggantian hak dan upah terakhir yang belum terbayar yang keseluruhannya
berjumlah Rp. 3.826.929.250,- dan pembayarannya ditentukan paling lambat
tanggal 14 Agustus 2013. Surat Perjanjian Bersama42
memiliki kekuatan
42
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (Pasal 1 angka 21 UU No. 13 Tahun 2003).
92
pembuktian yang kuat untuk mendukung dalil pemohon bahwa adanya utang.
Hal ini seperti tercantum pada Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 yakni:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan
yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan debitor.
Selain itu, dalam Surat Perjanjian Bersama juga berisi kesepakatan
mengenai jangka waktu pembayaran hak normatif sebagai kewajiban
perusahaan (termohon pailit) contohnya pada kasus di atas tanggal 14 Agustus
2013. Apabila sampai pada tanggal 14 Agustus 2013 perusahaan (termohon
pailit) tidak membayar, maka sejak tanggal 15 agustus 2013 utang atau
kewajiban termohon disebut sebagai hutang yang telah jatuh tempo.
Berdasarkan uraian di atas dalam 2 (dua) kasus kepailitan yang mana
pemohonnya adalah pekerja, terdapat fakta bahwa adanya ketentuan khusus bagi
pekerja untuk memenuhi syarat formil dan materil dalam proses kepailitan.
Ketentuan khusus pada syarat formil dan syarat materil yaitu :
(a) Menjadi kompetensi Pengadilan Niaga apabila adanya perjanjian bersama
antara perusahaan dan pekerja sebagai bukti utang (memuat hak normatif
pekerja dalam bentuk sejumlah uang);
Perjanjian Bersama yang dimaksud dalam penulisan ini bukanlah PKB. Akan tetapi perjanjian
bersama yang notabene adalah perjanjian perdamaian antara pekerja/serikat pekerja dan perusahaan yang memuat kewajiban perusahaan untuk membayar hak-hak normatif pekerja dalam bentuk sejumlah uang akibat adanya PHK dengan jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Sehingga apabila perusahaan tidak membayar sebagaimana isi perjanjian, maka dapat menjadi bukti adanya utang yang jatuh waktu dalam proses kepaillitan.
93
(b) Dapat dibuktikan secara sederhana dengan adanya pengakuan utang oleh
perusahaan kepada pekerja atau kreditor lain;
(c) Subjek yang menjadi pemohon pailit bukanlah pekerja (orang perorangan)
melainkan serikat pekerja yang mengatasnamakan seluruh pekerja;
(d) Apabila perjanjian yang memuat kewajiban perusahaan tidak dilaksanakan
dalam jangka waktu tertentu, utang tersebut menjadi utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih.
(e) memenuhi syarat lain pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dan
memperhatikan kekhususan Pasal 2 ayat (2) sampai dengan Pasal 2 ayat
(5) UU Kepailitan.
b. Kasus kepailitan yang ditolak
Tabel 4.
Delapan kasus kepailitan yang ditolak
No. Kasus Alasan ditolaknya permohonan
1) PT. Dirgantara
Indonesia (Persero),
PT. Perusahaan
Pengelola Aset
(Persero) melawan
Heryono, Nugroho
dan Sayudi
Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan
pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4)
UU Kepailitan. Akan tetapi, oleh karena PT. DI
adalah BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik maka yang bisa mengajukan
permohonan pailit adalah Menteri Keuangan
(Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan).
2) PT. Lidi Manunggal
Perkasa melawan
Slamet Riyadi, dkk
Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan
pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4)
UU Kepailitan. Akan tetapi, tuntutan tentang
tidak dibayarnya upah para pemohon pailit
selaku karyawan dari termohon pailit adalah
merupakan sengketa/perselisihan hubungan
industrial yang termasuk kompetensi dari
Pengadilan Hubungan Industrial/bukan
wewenang Pengadilan Niaga.
3) PT. Ata Surya Wood Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan
94
Working Mantuil
melawan Letti, dkk
pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4)
UU Kepailitan. Akan tetapi, dalam amar putusan
PHI pada PN Banjarmasin tanggal 14 April
2007 menghukum termohon untuk membayar
kepada para pemohon masing-masing sebesar
Rp. 17.806.401. Kewajiban timbul dari
Putusan PHI dan bukan timbul karena
perjanjian atau UU, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004.
Putusan dimaksudkan segera dieksekusi dan
bukan dengan mengajukan permohonan
pernyataan pailit.
Aanmaning dalam rangka eksekusi bukan
sebagai dasar utang “telah jatuh waktu” dan
tidak didasarkan atas kesepakatan para pihak
dalam perjanjian.
4) PT. Rasico Industry
(dalam likuidasi)
melawan Andreas
Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan
pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4)
UU Kepailitan. Akan tetapi dengan adanya
pelaksanaan putusan perdamaian yang telah
berkekuatan hukum tetap, maka mekanisme
yang harus ditempuh jika ingin mempailitkan
PT. Rasico Industry adalah dengan mengajukan
permohonan pembatalan perdamaian (Pasal
170, 171 dan 291 UU Kepailitan.
5) PT. Welltekindo
Nusantara melawan
Sendy Nainggolan,
dkk.
Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan
pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan.
Akan tetapi, termohon pailit menyangkal sisa
pembayaran atas remunerasi akibat PHK
antara para pemohon pailit dengan termohon
pailit sehingga masih memerlukan pembuktian
lebih lanjut sehingga pembuktian dalam
perkara ini tidak bersifat sederhana
sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) UUK.
Tuntutan para pemohon pailit untuk menuntut
hak berupa sisa pembayaran atas remunerasi
akibat PHK harus diajukan pada PHI atau
bukan merupakan kewenangan Pengadilan
Niaga.
6) PT. Alogics Mandiri
Coal melawan Ko Ik
Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan
pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan.
95
Whan, dkk. Akan tetapi, besarnya gaji dan pinjaman para
pemohon pailit kepada termohon tidak dapat
dibuktikan secara sederhana.
Surat teguran/somasi yang ditujukan ke alamat
termohon, ternyata termohon pailit sudah tidak
berada lagi dialamat tersebut dan tidak sampai
kepada termohon pailit, sehingga somasi yang
dilakukan belum sempurna oleh karena itu
maka tenggang waktu jatuh temponya hutang
belum dapat diketahui.
7) PT. Indah Pontjan
melawan Rohani,
dkk.
Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan
pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4)
UU Kepailitan.
Adanya putusan PHI dan pihak perusahaan tidak
mau melaksanakan putusan secara sukarela,
dapat meminta pelaksanaan putusan dengan
cara eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang memutuskan perkara. (Pasal 57
UU No. 2 Tahun 2004 Jo. Pasal 197 ayat (1)
HIR).
Proses eksekusi dari Pengadilan Negeri
belum selesai, maka Termohon Kasasi belumlah
melakukan prosedur pelaksanaan putusan
sebagaimana yang ditentukan UU.
Putusan PHI yang mengabulkan gugatan tidak
berarti mereka secara otomatis Termohon
Kasasi menjadi kreditur terhadap perusahaan
sebagaimana diatur UU Kepailitan.
Tidak dapat dibuktikan secara sederhana.
8) PT. Merpati
Nusantara Airlines
(Persero) melawan
Sudiyarto
Terpenuhinya syarat pengajuan permohonan
pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4)
UU Kepailitan. Akan tetapi oleh karena PT.
MNA adalah BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik maka yang bisa mengajukan
permohonan pailit adalah Menteri Keuangan
(Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan).
Pokok perkara adalah mengenai perselisihan
hubungan industrial, maka gugatan mengenai
perselisihan hubungan industrial diperiksa dan
diadili oleh PHI (Pasal 1 angka 1 Jo. Angka 17
UU No. 2 Tahun 2004).
96
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alasan penolakan
permohonan pailit bervariasi, untuk itu penulis menguraikan alasan penolakan
dalam bentuk tabel untuk memudahkan dalam membaca uraian bahwa satu kasus
kepailitan memiliki alasan penolakan yang lebih dari satu pertimbangan :
Tabel 5.
Alasan penolakan permohonan pailit
No Kasus
Alasan Penolakan
PT.
adalah
BUMN
Bukan
kompetensi
Pengadilan
Niaga
Kewajiban
timbul
karena
putusan PHI
Eksekusi
Pengadilan
Negeri
Adanya
pelaksanaan
putusan
perdamaian
Tidak dapat
dibuktikan
secara
sederhana
1. PT. Dirgantara
Indonesia
(Persero)
2. PT. Lidi
Manunggal
Perkasa
3. PT. Ata Surya
Wood
Working
Mantuil
4. PT. Rasico
Industry
5. PT.
Welltekindo
Nusantara
6. PT. Alogics
Mandiri Coal
7. PT. Indah
Pontjan
8. PT. Merpati
Nusantara
Airlines
Dari uraian 8 (delapan) kasus permohonan pailit yang ditolak, penulis
menggolongkan alasan penolakan berdasarkan pertimbangan hukum dari hakim
terbagi menjadi 6 (enam) alasan yaitu:
97
1) Perusahaan (Termohon Pailit) adalah BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik
Pada kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dan kasus PT. Merpati
Nusantara Airlines (Persero), permohonan kepailitan ditolak dengan
pertimbangan hakim di tingkat kasasi yang membenarkan bahwa PT.
Dirgantara Indonesia (PT. DI) dan PT. Merpati Nusantara Airlines (PT. MNA)
adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang
kepentingan publik. Alasan penolakkannya oleh karena PT. DI dan PT. MNA
adalah BUMN maka yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah Menteri
Keuangan. Alasan penolakan bukan karena PT.DI dan PT. MNA tidak
mempunyai hutang atau bukan tidak terpenuhinya syarat formil dan syarat
materil di Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. Hal ini dapat
dilihat dalam amar putusan pada Pengadilan Niaga
No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 4 September 2007 dan Putusan
Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst tanggal 7 April 2016
yang mengabulkan permohonan pailit dari pemohon pailit (pekerja) dengan
kata lain terpenuhinya syarat formil dan syarat materil. Akan tetapi oleh
karena adanya ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU
Kepailitan, maka permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pekerja
tidak dapat dikabulkan.
Jika dicermati pada kasus PT. DI dan PT. MNA, alasan penolakan
permohonan pailit dengan pertimbangan hukum telah terbukti PT. DI dan PT.
MNA adalah perusahaan jenis BUMN yang bergerak di bidang kepentingan
publik adalah keliru. Hal ini karena hakim tidak memperhatikan adanya
98
ketentuan pada penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik” adalah badan usaha milik
negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.”
Memang benar PT. DI dan PT. MNA adalah BUMN yang seluruh modalnya
dimiliki oleh negara. Akan tetapi tidak terpenuhinya ketentuan tidak terbagi
atas saham, karena faktanya diakui adanya status Menteri Keuangan dan
Menteri Negara BUMN sebagai pemegang saham. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa PT. DI dan PT. MNA bukanlah BUMN yang bergerak di
bidang kepentingan publik oleh karena modal terbagi atas saham yang mana
pemegang saham adalah Menteri Keuangan dan Menteri Negara BUMN.
Sehingga amar putusan pada Pengadilan Niaga
No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 4 September 2007 dan Putusan
Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst tanggal 7 April 2016
yang mengabulkan permohonan pailit dari pemohon pailit (pekerja) sudah tepat
karena telah terpenuhinya syarat formil dan syarat materil dalam UU
Kepailitan.
2) Pokok perkara adalah perselisihan hubungan industrial sehingga menjadi
kompetensi PHI atau bukan kewanangan/kompetensi Pengadilan Niaga
Pada kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa dam PT. PT. Welltekindo
Nusantara permohonan kepailitan ditolak dengan pertimbangan hakim di
tingkat kasasi pokok perkara adalah sengketa/perselisihan hubungan industrial
sehingga menjadi kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial atau bukan
99
kewenangan Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Jo.
Angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Pertimbangan hukum tersebut juga terdapat pada kasus PT. Merpati
Nusantara Airlines dimana selain PT. MNA adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik, dasar penolakannya
adalah pokok perkara merupakan perselisihan hubungan industrial yang
seharusnya diperiksa dan diadili oleh PHI.
Memang benar bahwa sengketa perselisihan hubungan indutrial adalah
kewenangan PHI. Akan tetapi, perselisihan hak atau perselisihan PHK juga
dapat menjadi kewenangan Pengadilan Niaga (Vide: Bab II Kompetensi
Pengadilan Niaga). Hal ini dikarenakan perselisihan hak atau perselisihan PHK
jika telah ditentukan besarnya dalam bentuk sejumlah uang, maka dapat
dikategorikan utang dalam arti luas dalam hukum kepailitan. Hal ini dapat
dilihat pada kasus PT. Arta Glory Buana dan PT. Unggul Summit Particle
Board Industry dimana pemohon pailit adalah pekerja dan pokok perkara
termasuk perselisihan PHK, akan tetapi permohonan tetap dikabulkan. Dengan
demikian dapat disimpulkan walaupun terjadi tumpang tindih kewenangan
Pengadilan Niaga dan PHI, apabila pada fakta persidangan terbukti memenuhi
syarat formil dan materil pada pranata hukum kepailitan maka permohonan
pailit akan diterima.
100
3) Kewajiban timbul dari Putusan PHI dan bukan timbul karena perjanjian
atau UU
Pada kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil permohonan
kepailitan ditolak dalam pertimbangan hakim di tingkat kasasi yang
menyatakan bahwa kewajiban pembayaran timbul dari Putusan PHI dan bukan
timbul karena perjanjian atau UU sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka
6 UU No. 37 Tahun 2004. Pertimbangan hukum di tingkat kasasi untuk
menyatakan permohonan pailit ditolak adalah keliru. Hal ini dikarenakan
pertimbangan tidak memperhatikan adanya ketentuan pada penjelasan Pasal 2
UU No. 37 Tahun 2004 yang menyatakan:
Yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang
telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena
percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan,
karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang
berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau
majelis arbiter.
Dengan kata lain, putusan pengadilan termasuk putusan Pengadilan
Hubungan Industrial yang memuat kewajiban perusahaan kepada pekerja
merupakan dasar atau bukti adanya utang yang telah jatuh waktu. Oleh sebab
itu, Putusan PHI pada PN Banjarmasin tanggal 14 April 2007 yang
menghukum termohon pailit membayar kewajiban kepada para pemohon
sebesar Rp. 17.806.401 sebagai bukti adanya utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih telah tepat. Hal ini dapat dilihat pada amar putusan Pengadilan
Niaga No. 03/Pailit/2010/PN-NIAGA SBY yang mengabulkan permohon dari
para pemohon pailit (pekerja) atau terpenuhinya syarat-syarat permohonan
kepailitan.
101
4) Pengajuan permohonan Eksekusi Pengadilan Negeri
Permohonan pailit pada kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil
ditolak oleh karena putusan PHI dimaksudkan segera eksekusi bahkan
aanmaning juga dalam rangka eksekusi. Pertimbangan hukum ini juga ada pada
kasus PT. Indah Pontjan yang permohonan pailit oleh pemohon (pekerja)
ditolak dengan pertimbangan adanya putusan PHI dan pihak perusahaan tidak
mau melaksanakan putusan secara sukarela, dapat meminta pelaksanaan
putusan dengan cara eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara.
Bagan 5.
Skema pengajuan permohonan eksekusi Pengadilan Negeri
Putusan PHI yang berisi
kewajiban pembayaran
perusahaan kepada pekerja
Perusahaan
melaksanakan
putusan
Perusahaan tidak
melaksanakan
putusan
Pekerja meminta
pelaksanaan
putusan
Terpenuhinya
hak pekerja
EKSEKUSI
Dilaksanakan
perusahaan
Tidak dilaksanakan
perusahaan
Teguran/Aanmaning
oleh ketua Pengadilan
Hubungan Idustrial
Berapa lama
jangka waktu
eksekusi dari
Pengadilan
Negeri?
102
Dari kedua kasus ini, yang menjadi permasalahan adalah berapa lama
jangka waktu eksekusi dari Pengadilan Negeri? Anmaning yang ditetapkan
oleh Pengadilan dalam rangka eksekusi putusan bukanlah termasuk dalam
pengertian “telah jatuh waktu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
UU No. 37 Tahun 2004 sebab aanmaning tersebut tidak didasarkan atas
kesepakatan antara pemohon dan termohon dalam perjanjian. Pertimbangan
hukum ini pun adalah keliru, karena bagaimana mungkin aanmaning harus
berdasarkan kesepakatan? Aanmaning sebagai perintah dari Ketua Pengadilan
Hubungan Industrial oleh karena dikeluarkannya putusan PHI bahkan hingga
adanya eksekusi perusahaan tidak mau membayar kewajibannya tersebut.
Aanmaning dapat dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu karena
aanmaning menentukan hari dan tanggal pelaksanaan isi putusan PHI.
Sehingga jika setelah jangka waktu dalam surat tegoran/aanmaning dalam
rangka eksekusi tidak dilaksanakan, maka seyogianya dapat dikatakan telah
jatuh waktu. Oleh sebab itu, jika jangka waktu eksekusi tidak diketahui dan
dengan aanmaning tidak dilaksanakan oleh perusahaan, maka hal ini
menimbulkan ketidakpastian bagi hak para pekerja.
5) Adanya pelaksanaan putusan perdamaian sehingga harus mengajukan
permohonan pembatalan perdamaian
Pada kasus PT. Rasico Industry (dalam likuidasi) permohonan kepailitan
ditolak dalam pertimbangan hakim di tingkat kasasi yang menyatakan bahwa
dengan adanya pelaksanaan putusan perdamaian yang telah berkekuatan
hukum tetap, maka mekanisme yang harus ditempuh jika ingin mempailitkan
103
PT. Rasico Industry adalah dengan mengajukan permohonan pembatalan
perdamaian (Pasal 170, 171 dan 291 UU Kepailitan).
Dalam pertimbangan hukum dari hakim terhadap kasus ini adalah tepat.
Latar belakang harus mengajukan permohonan pembatalan perdamaian43
karena sejak pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kepailitan berakhir (Pasal 166 ayat (1) UU Kepailitan). Karena perdamaian
adalah perjanjian antara debitor pailit dengan semua kreditornya untuk
membayar utang sesuai presentasi pelunasan yang disepakati. Sehingga apabila
perusahaan (debitor pailit) lalai memenuhi isi perdamaian kepada pekerja,
pekerja (kreditor pailit) dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang
telah disahkan. Sehingga dengan adanya putusan pembatalan perdamaian,
pekerja dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga (Pasal 170
ayat (1) Jo. Pasal 172 ayat (1) UU Kepailitan).
6) Tidak dapat dibuktikan secara sederhana
Pada kasus PT. Welltekindo Nusantara, PT. Alogics Mandiri Coal dan
PT. Indah Pontjan alasan penolakan permohonan pailit adalah karena perkara
tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Pokok perkara yang dapat disebut
sebagai perkara yang tidak bersifat sederhana adalah sebagai berikut.
43
Perdamaian yang dimaksud dalam kasus ini bukanlah perdamaian yang termasuk dalam siklus kepailitan. Akan tetapi, kesepakatan perusahaan untuk membayar kewajiban berupa uang pesangon kepada pekerja sejumlah Rp. 194.832.000,- berdasarkan putusan No. 371/K/TUN/2001. Sehingga harus dilakukan permohonan pembatalan perdamaian agar dapat mengajukan permohonan pailit.
104
a) Penyangkalan sisa pembayaran atas remunerasi akibat PHK oleh
termohon pailit (perusahaan)
Pengakuan adanya utang dari termohon pailit adalah dasar yang
menentukan perkara bersifat sederhana atau tidak. Jika dilihat Kasus PT.
Arta Glory Buana dan kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry,
permohonan dikabulkan karena adanya pengakuan utang oleh perusahaan.
Maka pada kasus PT. Welltekindo Nusantara pun berlaku demikian, yaitu
tidak bersifat sederhana karena utang/ sisa pembayaran atas remunerasi
akibat PHK tidak diakui oleh perusahaan sebagai debitor pailit (termohon
pailit).
b) Tidak terdapat adanya bukti yang nyata besarnya gaji dan pinjaman
perusahaan kepada pekerja
Pada kasus PT. Alogics Mandiri Coal, pekerja hanya memiliki bukti
berupa hasil audit laporan keuangan termohon tidak ada penjelasan gaji
siapakah yang belum dibayarkan tersebut, kapan adanya hutang dan kapan
tanggal jatuh tempo pembayarannya. Selain itu, bukti lampiran auditor juga
tidak dibubuhi tanda tangan penanggung jawab sehingga tidak jelas
pertanggungjawabannya. Selain itu, surat teguran/somasi tidak sampai
kepada termohon pailit, sehingga somasi yang dilakukan belum sempurna
oleh karena itu maka tenggang waktu jatuh temponya hutang belum dapat
diketahui. Pertimbangan hukum dari hakim untuk menolak permohonan
pailit adalah tepat. Hal ini karena bukti yang diajukan tidak memenuhi
105
syarat Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan sehingga perkara tidak dapat
dibuktikan secara sederhana.
c) Pekerja sebagai pemohon pailit adalah sebagian kecil dari tenaga kerja
perusahaan
Alasan ini tidak memiliki hubungan dengan pembuktian tidak bersifat
sederhana. Hal ini dikarenakan syarat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan
tidak memberikan persyaratan atas jumlah tenaga kerja yang dapat
mengajukan permohonan pailit, karena 2 (dua) orang pekerja apabila
memiliki hak atas pembayaran dari perusahaan yang tidak dibayarkan juga
tetap dikatakan sebagai kreditor. Selain itu pada pertimbangan hakim juga
menguraikan dengan adanya putusan PHI tidak berarti mekera secara
otomatis menjadi kreditor terhadap perusahaan. Pertimbangan hakim ini pun
keliru. Putusan PHI memuat kewajiban pembayaran perusahaan kepada
pekerja sehingga apabila tidak dilaksanakan maka dapat menjadi utang yang
telah jatuh waktu (Pasal 2 UU Kepailitan).
Berdasarkan uraian di atas, maka problematika terhadap pekerja
dalam proses kepailitan dapat disimpulkan dalam skema di bawah ini.
106
Bagan 6.
Skema sepuluh kasus kepailitan yang dikabulkan dan ditolak
Pekerja
Eksekusi Pengadilan
Negeri
PT
(BUMN)
No. 897 K/Pdt.Sus/2009
No. 106 K/Pdt.Sus/2012
No. 195 PK/Pdt.Sus/2012
No. 469 K/Pdt.Sus/2012
No. 246 K/Pdt.Sus/2012
No. 584 K/Pdt.Sus/2010
Kompetensi Penyelesaian
Hubungan Industrial
Pengadilan Niaga
Menteri
Keuangan
No. 075 K/Pdt.Sus/2007
No. 447 K/Pdt.Sus/2016
No. 80 PK/Pdt.Sus/2009 No.
17/Pailit/2015/PN-Niaga-
SBY
Pemohon: SERIKAT PEKERJA
Pemohon melengkapi bukti:
Adanya Perjanjian Bersama
(untuk membuktikan bahwa
perjanjian sebagai bukti
utang dan menjadi
kompetensi Pengadilan
Niaga)
Terpenuhinya Syarat Formil
dan Syarat Materil
Memperhatikan
kekhususan Pasal 2
ayat (5) UU
Kepailitan.
Perkara tidak dapat
dibuktikan secara
sederhana
Meminta pelaksanaan
putusan PHI dengan
cara eksekusi kepada
Ketua Pengadilan
Negeri yang
memutuskan perkara
PT. DI dan PT. MNA
adalah BUMN yang
bergerak di bidang
kepentingan publik
Bukan kompetensi
Pengadilan Niaga
Adanya putusan
perdamaian
Pembatalan perdamaian
107
Skema di atas memberikan gambaran bahwa dari 10 (sepuluh) kasus
kepailitan dimana pemohonnya adalah pekerja, hanya 2 (dua) kasus saja yang
dikabulkan karena memenuhi ketentuan khusus yaitu pemohonnya adalah serikat
pekerja. Sedangkan 8 kasus ditolak karena subjek yang menjadi pemohon pailit
adalah pekerja (orang perorangan). Dengan demikian dapat disimpulkan pekerja
perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus dalam hukum kepailitan agar
supaya tidak merugikan pekerja dalam memenuhi hak-hak normatifnya.
2. Penetapan PHI yang menentukan besarnya hak normatif yang diterima
pekerja akibat PHK
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa pada kasus PT. Ata Surya Wood
Working Mantuil, permohonan kepailitan ditolak karena kewajiban perusahaan
kepada pekerja timbul dari putusan PHI bukan karena perjanjian atau UU.
Dengan kata lain dalam mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga tidak
perlu mendapatkan penetapan PHI yang menentukan besarnya hak normatif yang
diterima pekerja akibat PHK. Karena cukup dengan adanya perjanjian bersama
antara pekerja dan perusahaan yang memuat kewajiban pembayaran perusahaan
dapat menjadi bukti utang. Selain itu, pada kasus PT. Ata Surya Wood Working
Mantuil dan kasus PT. Indah Pontjan ditolak karena seharusnya pekerja
mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pada kedua
kasus ini, pekerja telah mendapatkan putusan PHI yang memuat kewajiban
perusahaan untuk membayar hak normatif pekerja. Bahkan pada kasus PT. Indah
Pontjan, telah dikeluarkan aanmaning oleh karena perusahaan tidak mau
melaksanakan isi putusan PHI. Akan tetapi, perusahaan tetap tidak membayar hak
108
normatif pekerja tersebut. Permasalahannya apabila pekerja telah mengajukan
permohonan eksekusi dan diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri, berapa lama
jangka waktu eksekusi yang dibutuhkan pekerja agar supaya hak-hak normatif
mereka dapat terbayarkan? Oleh karena ketidakpastian melalui gugatan ke PHI,
maka kepailitan juga dapat digunakan sebagai pranata hukum penyelesaian utang-
piutang antara pekerja dan perusahaan. Dengan demikian, maka sengketa yang
terjadi antara pekerja dan perusahaan tidak hanya menjadi kompetensi Pengadilan
Hubungan Industrial, tetapi juga menjadi kompetensi Pengadilan Niaga.
3. Variasi yang dapat dilakukan oleh pekerja agar permohonan kepailitan
dapat dikabulkan
Pekerja memiliki kedudukan hukum untuk menggunakan kepailitan sebagai
pranata hukum penyelesaian sengketa hutang-piutang terhadap perusahaan. Akan
tetapi dalam proses kepailitan pekerja harus memenuhi ketentuan-ketentuan
khusus seperti pada 2 (dua) kasus kepailitan yang dikabulkan sebagaimana telah
diuraikan di atas. Selain itu, jika dilihat dari 8 (delapan) kasus kepailitan yang
ditolak terdapat fakta bahwa pekerja tidak mendapatkan pemenuhan atas hak-hak
normatif oleh karena tidak melalui proses yang telah ditetapkan oleh UU maupun
karena tidak memperhatikan ketentuan khusus yang telah ditetapkan dalam UU
No. 37 Tahun 2004. Oleh sebab itu, untuk menjawab problematika pekerja dalam
proses kepailitan ini, maka penulis menguraikan variasi yang dapat dilakukan
pekerja agar permohonan kepailitan dapat dikabulkan. Variasi tersebut diuraikan
dalam skema berikut ini.
109
Bagan 7.
Variasi agar supaya permohonan pailit dapat dikabulkan
Dari skema di atas, perlu diperhatikan bahwa yang harus menjadi pemohon
pailit adalah serikat pekerja bukanlah pekerja (orang perorangan). Dari 8
(delapan) kasus kepailitan, dapat disimpulkan menjadi tiga persoalan yang
menjadi dasar penolakan permohonan pailit, yaitu :
a. Adanya perjanjian perdamaian;
Perlu diperhatikan adanya perjanjian perdamaian atau tidak. Apabila ada
perjanjian perdamaian maka pekerja sebelum mengajukan permohonan pailit,
SERIKAT PEKERJA
(PEMOHON PAILIT)
PERUSAHAAN
(TERMOHON PAILIT)
Adanya Perjanjian
Perdamaian
Kompetensi Penyelesaian Hubungan Industrial
Pelaksanaan putusan PHI
Mengajukan
permohonan
pembatalan putusan
perdamaian kepada
termohon
Membuat Perjanjian
Bersama (sebagai bukti
adanya utang, jangka
waktu jatuh tempo
sehingga menjadi
kompetensi Pengadilan
Niaga)
Meminta pelaksanaan
putusan PHI dengan cara
eksekusi kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara
Mencantumkan jangka
waktu pelaksanaan eksekusi
PENGADILAN
NIAGA
110
perlu mengajukan permohonan pembatalan putusan perdamaian kepada
termohon (perusahaan).
b. Kompetensi PHI;
Agar supaya permohonan kepailitan dikabulkan, sebelumnya pekerja membuat
Perjanjian Bersama dengan perusahaan, karena perjanjian bersama menjadi
bukti adanya utang. Selain itu dalam perjanjian menentukan jangka waktu
pelaksanaan kewajiban perusahaan sehingga apabila melewati jangka waktu
perjanjian menjadi utang yang telah jatuh tempo. Walaupun isi perjanjian
adalah memuat hak-hak normatif pekerja, apabila telah dinyatakan dalam
bentuk perjanjian menjadi kompetensi dari Pengadilan Niaga sehingga tidak
menjadi alasan bahwa sengketa tersebut adalah kompetensi PHI.
c. Pelaksanaan Putusan PHI;
Apabila pekerja telah mengajukan upaya hukum melalui gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial, maka apabila putusan PHI yang telah
mengabulkan (memuat hak normatif dalam bentuk sejumlah uang) memuat
kewajiban perusahaan tidak dilaksanakan secara sukarela, maka yang dapat
dilakukan adalah mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Negeri.
Dalam permohonan pekerja meminta untuk mencantumkan jangka waktu
pelaksanaan eksekusi. Hal ini dimaksudkan agar supaya memiliki kepastian
kapan akan terpenuhinya hak-hak pekerja. Sehingga apabila perusahaan tetap
tidak melaksanakan, bahkan dengan dikeluarkannya aanmaning tidak
dilaksanakan oleh perusahaan, maka pekerja dapat menjadikan dasar
permohonan pailit ke Pengadilan Niaga oleh karena tidak terlindunginya hak-
hak pekerja melalui lembaga PHI itu sendiri.