BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS
-
Upload
dewi-natalia-manto -
Category
Documents
-
view
59 -
download
9
Transcript of BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan infeksi,
menurunnya CD4 limfosit T serta imunosupresi berat yang menimbulkan
infeksi oportunistik. HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh rentan terhadap
infeksi dan penyakit (Soames and Southam, 2005).
2. Etiologi HIV/AIDS
AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus yang diklasifikasikan ke
dalam golongan lentivirus. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-
2. Diantara kedua grup ini yang paling banyak menyebabkan AIDS di seluruh
dunia adalah HIV-1 karena lebih virulen dan lebih mudah menular. HIV-2
terutama terjadi di Afrika Barat (Bennet, 2014).
Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan
hilangnya imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain
yang mempunyai protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan
monosit juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia yang mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah putih
yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh manusia, sehingga
2
meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mendapat infeksi oportunistik
(Siregar, 2004; Soames and Southam, 2005).
3. Penularan HIV/AIDS
HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Limfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar
tubuh. Virus HIV dapat diisolasi dari semen, cairan vagina atau servik dan
darah penderita. HIV dapat ditularkan melalui (Bennet, 2014; Siregar 2004) :
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual merupakan penularan infeksi
HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi
HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks.
Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
Pada pasangan homoseksual, cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV. Hal
ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali
mengalami perlukaan pada saat berhubungan secara anogenital.
b. Transmisi Non Seksual
1) Transmisi Parenteral
- Penggunaan jarum suntik, yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan
alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada
3
penyalahgunaan narkotika suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Selain itu dapat juga terjadi melaui
jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan yang tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini
kurang dari 1%.
- Darah/produk darah, saat ini transmisi melalui transfusi atau produk
darah sangat jarang terjadi karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah
lebih dari 90%.
2) Transmisi Transplasental (ibu ke anak)
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 25-35%. Penularan dapat terjadi sewaktu
hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu
ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
4. Patogenesis HIV/AIDS
Target utama infeksi HIV adalah sistem imun dan sistem saraf pusat. Sel
target HIV adalah limfosit T. Masuknya virus ke dalam sel memerlukan
molekul CD4, yang bertindak sebagai reseptor dari virus. Awalnya terjadi
perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4. Selain mengikat CD4, gp120
juga harus berikatan dengan dua sel reseptor kemokin (CCR5 dan CXCR4)
untuk dapat masuk ke dalam sel. Ikatan gp120 dengan CD4 menyebabkan
perubahan formasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan
reseptor kemokin selular (CCR5). Interaksi ini mengaktifkan gp41 dan
4
menghasilkan fusi membran virus dengan membran selular, yang
menyebabkan RNA virus dan reverse transcriptase masuk ke sel target.
Reverse transcriptase kemudian mentranskrip RNA virus menjadi DNA, yang
bergabung ke genom sel target. Berhasilnya penggabungan DNA virus
kedalam material genetik sel menyebabkan terjadinya infeksi (Greenberg,
2003).
Gambar 2.1. HIV memasuki sel target
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit
CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis
yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun
yang progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa
ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada
tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap
HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma
5
menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan
angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan
bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis
harian (Greenberg,2003).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus
yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang
lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut dan lebih virulen daripada yang ditemukan pada awal
infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena pada pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,
sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian
tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa
menjadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).
6
5. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis HIV/AIDS
Gejala klinis HIV/AIDS terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) (WHO, 2007) :
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
7
Tabel 2.1 Klasifikasi HIV berdasarkan jumlah CD4 menurut WHO 2007
Tabel 2.2 Klasifikasi HIV berdasarkan gejala menurut WHO 2007
Tabel 2.3 Tanda dan Gejala HIV/AIDS menurut WHO 2007
8
6. Manifestasi Oral
Manifestasi di rongga mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV.
Temuan klinis yang dapat menunjukkan resiko tinggi pada pasien dengan AIDS adalah
kandidiasis mukosa oral, lesi merah atau ungu kebiru-biruan ataupun yang telah
diidentifikasi adalah Kaposi sarkoma, hairy leukoplakia ataupun lesi lainnya yang
9
berhubungan dengan infeksi HIV seperti HSV, herpes zoster, RAS, liniear gingiva
eritema, necrotizing ulcerative periodontitis, necrotizing stomatitis. Kondisi oral lainnya
yang dicatat juga terjadi pada pasien infeksi HIV adalah palsy wajah, oral wart,
neuropati trigeminal, pembesaran kelenjar saliva, xerostomia, dan pigmentasi melanotik.
Kandidiasis, hairy leukoplakia , penyakit periodontal spesifik seperti linier gingival
erythema, necrotizing ulcerative periodontitis, Kaposi sarkoma, dan lympoma non-
Hodgkin’s diyakini memiliki kaitan yang paling kuat dengan infeksi HIV. Kandidiasis
adalah manifestasi oral yang paling umum terlihat pada infeksi HIV. Kandidiasis oral
didiagnosa pada pasien dengan infeksi HIV dengan persistensi limphadenopaty dapat
menjadi prediksi pada perkembangannya berikut menjadi AIDS. Munculnya
pseudomembran kandidiasis pada pasien infeksi HIV menunjukkan indikator yang kuat
pada progresi infeksi menjadi HIV. Eritematous juga dapat menjadi indikasi progresi
infeksi HIV menjadi AIDS. Ditemukannya hairy leukoplakia juga menjadi prediksi pada
perkembangan infeksi. Lymphadenopathy pada servikal dan submandibular sering
ditemukan di awal pemeriksaan pada pasien dengan infeksi HIV yang bersifat persisten
(Laskaris,2006; Scully,2010).
a. Infeksi karena jamur (Oral Candidiasis)
Kandidiasis adalah gambaran klinis yang paling umum dijumpai pada
mukosa mulut pasien terinfeksi HIV. Infeksi kandida biasanya bersifat kronis,
dapat muncul sebagai lesi merah, putih, datar, menonjol, atupun nodular.
Daerah yang sering terkena antara lain palatum, mukosa bukal, dan lidah. Tipe
kandidiasis yang muncul seperti pseudomembran kandidiasis, eritematous,
hiperplastik kandidiasis, dan angular cheilitis (Langlais, 2006).
Pseudomembran kandidiasis dikarakteristikkan dengan plak berwarna
putih krem yang setelah discrap memperlihatkan warna kemerahan dan
perdarahan pada mukosanya. Bentuk eritematous muncul daerah merah yang
10
difus, yang biasanya terdapat pada dorsum lidah. Pada lokasi ini biasanya
terdapat keterkaitan dengan hilangnya papila filiformis yang dikenal dengan
median rhomboid glossitis. Kandidiasis hiperplastik kronis adalah infeksi
kandida pada stadium akhir yang muncul secara klinis seperti plak keratosis
putih yang difus pada mukosa bukal. Plak ini tidak dapat dihilangkan. Agen
topikal antifungal paling efektif digunakan untuk terapi kandidiasis oral,
meskipun kandidiasis menjadi kronis dan rekuren yang bisa dijumpai pada
kandidiasis esofageal (Laskaris, 2006; Scully,2008).
(a) (b)
Gambar 2.2. (a) Median rhomboid glossitis (b) Eritematous kandidiasis pada dorsum lidah pasien infeksi HIV (Laskaris,2006).
(a) (b)
Gambar 2.3. (a) Pseudomembran kandidiasis pada palatum keras maupun lunak pasien dengan infeksi HIV (b) Kandidiasis hiperplastik kronis pada palatum keras dan
lunak yang diperparah oleh infeksi HIV (Greenberg and Glick. 2003).
11
Gambar 2.4. Angular cheilitis yang disebabkan oleh Candida albicans (Greenberg and Glick. 2003).
b. Infeksi karena bakteri
Infeksi karena bakteri dapat berupa NUG dan NUP (Greenberg and
Glick, 2003).
1) Linier Erythematous Gingiva (LEG)
LEG adalah bentuk gingivitis yang atipikal digambarkan 2-3 mm
seperti pita atau garis berwarna merah menyala di sekitar gigi yang terlihat
jelas perbedaannya dengan gingiva normal. Lesi asimtomatik, mukosa
kering yang terdapat kaitannya dengan mouth breathing, lichen planus,
pemphigoid membran mukosa, dan reaksi alergi. Terapi yang bisa
dilakukan adalah tindakan pencegahan dengan menjaga oral hygiene
pasien, tindakan skeling dan root planing, dan juga bisa bersamaan dengan
penggunaan klorheksidine glokonat (0,12%) sebagai mouthrinse
(Greenberg and Glick, 2003).
12
Gambar 2.5. Linier erythematous gingiva pada margin gingiva (Greenberg and Glick, 2003)
2) Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG)
NUG berhubungan dengan ulserasi dan nekrosis pada satu atau
lebih interdental papil tanpa kehilangan periodontal attachment.
Fusobacterium nucleatum, Treponema vincentii, dan bakteri lainnya
berperan penting dalam faktor penyebab utamanya. Meskipun faktor
predisposisi seperti stres emosional, merokok, trauma lokal, oral hygiene
yang buruk dan terutama berkaitan dengan infeksi HIV. Lesi ini dapat
disertai pendarahan, nyeri, dan halitosis (Greenberg and Glick, 2003;
Laskaris, 2006; Scully, 2008).
Necrotizing gingivitis paling sering mengenai gingiva bagian
anterior. Pada situasi ini, papila interdental dan tepi gingiva akan tampak
berwarna merah, bengkak, atau kuning keabu-abuan karena nekrosis,
bahkan sering terjadi necrotizing ulcrerative gingivitis yang parah dan
penyakit periodontal yang progresif sekalipun kebersihan mulut terjaga
dengan baik dan walaupun telah diberikan antibiotika. Pemberian sistemik
metronidazole dan agen topikal oxygent releasing menjadi pilihan terbaik
pada fase akut disertai dengan terapi gingival secara mekanis (Greenberg
and Glick,2003; Laskaris, 2006).
13
Gambar 2.6. NUG yang parah pada pasien 35 tahun dengan infeksi HIV (Laskaris,2006).
3) Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP)
Penyakit periodontal yang berlangsung secara progresif mungkin
merupakan indikator awal yang dapat ditemukan pada infeksi HIV. Lesi
periodontal ini ditandai dengan adanya nyeri , gingiva mudah berdarah,
interdental papil nekrotik serta membentuk kawah, edema gingiva, eritem
yang hebat, resesi gusi, dan terjadi hilangnya tulang alveolar secara cepat,
progresif dan iregular (bisa mencapai 10 mm dalam 6 bulan). Terapi
antibiotika efektif diberikan pada kasus ini namun dapat menyebabkan
pertumbuhan yang berlebihan dari organisme Candida (Greenberg and
Glick,2003; Laskaris, 2006).
Gambar 2.7. NUP pada region anterior bawah (Greenberg and Glick, 2003).
14
4) ANUG
ANUG juga umum terlihat pada pasien dengan infeksi HIV.
Dikarakteristikkan dengan onset yang tiba-tiba pada gingiva berwarna
merah menyala, bengkak, nyeri, dan mudah berdarah. Interdental papil
terlihat ditekan keluar dan ditutupi oleh ulseratif keabu-abuan. Terapi yang
dapat diberikan adalah dengan melakukan debridement atau
dikombinasikan dengan terapi metronidazole jika tanda dasar seperti
demam, malaise, dan anoreksia muncul (Laskaris, 2006).
Gambar 2.8. ANUG (Langlais and Miller, 2000).
5) Ulser non-spesifik
Necrotizing stomatitis adalah lesi ulseratif yang nyeri dan
terlokalisasi yang terdapat pada permukaan mukosa di atas tulang. Kondisi
ini memicu terjadinya nekrosis jaringan dan disusul dengan eksposure
pada tulang. Kondisi terlihat pada pasien dengan jumlah CD4 lebih sedikit
dari 100sel/mm3. Diagnosa bandingnya adalah ulser aphtousa dan NUP.
Terapi yang dapat diberikan adalah debridement dengan hati-hati, terapi
steroid lokal atau sistemik, antibiotik (Greenberg and Glick, 2003).
15
Gambar 2.9. Necrotizing stomatitis pada palatum daerah molar pertama dan kedua (Greenberg and Glick, 2003).
c. Infeksi karena virus
Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada
penderita HIV/AIDS. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat berupa
stomatis herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia, cytomegalovirus
(CMV), HPV (Human Papiloma virus). Tidak seperti pada pasien dengan
fungsi imun normal, pasien dengan AIDS dapat terkena infeksi herpes
pada permukaan mukosa bukal dan lidah, rekurensi terjadinya HSV pada
pasien infeksi HIV lebih parah. Herpes zoster lebih sering terjadi pada
pasien dengan infeksi HIV dibanding populasi normal. Gambaran
klinisnya hampir sama pada kedua kelompok ini namun prognosis paling
buruk terjadi pada pasien infeksi HIV. Virus zoster ini akan timbul seperti
vesikel dalam jumlah banyak pada tubuh atau wajah yang bersifat self-
limiting dan unilateral. Terapi dengan acyclovir terkadang digunakan
untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi gejala (Greenberg and
Glick,2003; Laskaris, 2003).
Prevalensi Cytomegalovirus mencapai 100% pada pasien HIV
homoseksual dan 10% pada pasien anak dengan AIDS. Perubahan
16
inflamasi yang berhubungan dengan CMV dan infeki HIV adalah
pembengkakan kelenjar parotid secara unilateral maupun bilateral serta
xerostomia. Disebutkan juga Human Papiloma Virus juga dapat
ditemukan pada pasien infeksi HIV. Sejauh ini terdapat 65 serotipe dari
HPV yang teridentifikasi. Beberapa jenis lesi mukokutaneus yang
disebabkan HPV antara lain squamous papiloma, verruca vulgaris, focal
epythelial hyperplasia, dan condyloma acuminatum. Condyloma
acuminatum terlihat sebagai lesi multipel yang dikarakteristikkan sebagai
lesi kecil, multipel, lunak, berwarna pink-abu-abu gelap, permukaannya
seperti bunga kembang kol. Lesi jenis ini dapat muncul pada ventral lidah,
gingiva, mukosa labial, dan palatum. Transmisi lesi ini terjadi secara
kontak langsung melalui anal maupun genital (Greenberg and Glick,2003;
Laskaris, 2003).
Hairy leukoplakia adalah salah satu karakteristik lesi oral yang
paling umum terlihat pada pasien infeksi HIV. Gambaran klinisnya adalah
muncul sebagai lesi putih yang asimtomatik, meninggi dan tidak dapat
dihilangkan. Lesi ini muncul bilateral pada margin lateral lidah dan dapat
menyebar mencapai permukaan dorsum dan ventral. Secara histologis
dapat terlihat penonjolan hiperkeratosis yang seperti berambut, inflamasi
yang sedikit dan infeksi candida (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris,
2003).
17
(a) (b)
Gambar 2.10. (a) infeksi Herpes labial yang persisten pada pasien infeksi HIV(b) rekurensi herpes simpleks pada pasien AIDS (Langlais and
Miller, 2000)
(a) (b)
Gambar 2.11. (a) ulserasi unilateral pada palatal Herpes Zoster pada pasien infeksi HIV
(b)hairy leukoplakia pada lateral lidah (Langlais and Miller, 2000; Greenberg and Glick, 2003)
Gambar 2.12. Condyloma acuminatum pada mukosa labial pasien infeksi HIV (Langlais and Miller, 2000)
18
d. Neoplasma
Kaposi Sarkoma adalah neoplasma yang paling sering muncul pada
pasien infeksi HIV. Ini adalah tumor dari proliferasi vaskular yang
mengenai kutaneus maupunn jaringan mukosa. Etiologinya belum
diketahui pasti namun telah dikatakan faktor viral (kemungkinan CMV)
berhubungan dengan angiogenesis menjadi penyebabnya. Kaposi sarkoma
dikarakteristikkan dalam tiga tahap. Tahap awal berupa makula merah
yang asimtomatik. Yang kemudian akan meluas menjadi plak yang datar
atau menonjol merah kebiruan. Tahap akhir akan muncul sebagai nodul
biru ulseratif dan menimbulkan nyeri. Daerah yang paling umum terkena
adalah lateral dari palatum keras, selain itu gingiva dan mukosa bukal
dapat terkena. Selain pada mulut, sarkoma ini juga dapat ditemukan di
kulit kepala dan leher. Bentuknya tidak teratur, dapat tunggal atau multipel
dan biasanya asimtomatik, sehingga baru disadari oleh pasien bila lesi
sudah menjadi agak besar (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris,2003).
Manifestasi oral kaposi sarkoma biasanya merupakan tanda awal
AIDS dan umumnya (50%) ditemukan dalam mulut pria homoseksual.
Kira-kira 40% penderita AIDS dengan kaposi sarkoma akan meninggal
dalam waktu kurang lebih satu tahun dan biasanya disertai dengan infeksi
oportunistik. Terapi yang diberikan bersifat paliatif yaitu dengan
radioterapi dan kemoterapi. (Greenberg and Glick. 2003; Laskaris, 2003).
Non-Hodgkins Lymphoma dan karsinoma sel skuamosa berkaitan
dengan infeksi HIV kemungkinan sebagai hasil dari sistem imun yang
abnormal. Non-Hodgkin lymphoma sering kali muncul sebagai massa
19
keunguan yang difus dengan proliferasi yang sangat cepat pada bagian
retromolar – palatal. Karsinoma sel skuamosa muncul sebagai lesi ulseratif
putih kemerahan pada pinggir lateral lidah (Greenberg and Glick. 2003;
Laskaris, 2003).
(a) (b)Gambar 2.13. (a) karsinoma sel skuamosa pada mukosa alveolar Gambar (b) karsinoma sel skuamosa pada ujung lidah, terlihat tumor dengan ukuran kecil
(Laskaris,2003).
(a) (b)Gambar 2.14. (a) lesi awal kaposi sarkoma dapat dilihat pada palatum lunak dan keras yang berupa makula merah kebiru-biruan (b) lesi yang sudah berlngsung
lama pada palatal dapat menjadi nodular bahkan ulseratif (Greenberg and Glick, 2003).
Gambar 2.15. Lymphoma Non-Hodgkin’s terlihat pembengkakan dan ulser pada palatum (Laskaris,2006).
20
e. Kelainan lain di dalam mulut
Kelainan-kelainan lain yang dapat timbul di dalam rongga mulut
pasien HIV/AIDS antara lain rekuren aphtous stomatitis, ulkus nekrotik
yang meluas sampai ke fascia, xerostomia, pembesaran kelenjar parotis,
idiophatic thrombocytopenia purpura, palsi wajah, limfadenopati
submandibula, hiperpigmentasi melanotik, penyembuhan luka yang lama,
deformasi pada wajah bayi yang lahir dengan infeksi AIDS. Kelainan-
kelainan ini tidak diketahui dengan pasti penyebabnya (Greenberg and
Glick. 2003).
- Recurrent Aphtous Stomatitis
Recurrent aphtous stomatitis (RAS) sering tampak pada mukosa non
keratin dan mukosa bergerak, seperti mukosa labial, mukosa bukal,
dasar mulut, ventral lidah, orofaring posterior, vestibulum maksila dan
mandibula. Penyebab RAS tidak diketahui dengan pasti, tetapi
berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan faktor yang memicu
timbulnya RAS adalah faktor menstruasi, defisiensi nutrisi, stress, dan
alergi makanan. Lesi dikarakteristikkan dengan ulser berbentuk oval
berwarna kuning-kelabu, dikelilingi dengan halo merah. Lesi terasa
sakit, dan rasa sakit makin parah ketika mengkonsumsi makanan asin,
pedas, asam, makanan dengan konsistensi keras, dan minuman asam.
Lesi biasanya sembuh dengan sendirinya selama 7-14 hari. Pada pasien
imunokompromi, lesi sembuh lebih lama dari 7-14 hari. (Langlais dan
Miller, 2000; Reznik, 2005).
21
Gambar 2.16. Recurrent Aphtous Stomatitis pada mukosa alveolar (Langlais dan Miller, 2000)
- Xerostomia
Beberapa penyebab xerostomia adalah sebagai berikut:
1) Kesehatan umum yang menurun
Kesehatan umum yang menurun pada beberapa penderita dapat
menyebabkan berkurangnya sekresi kelenjar saliva yang dapat
meningkatkan resiko terhadap radang mulut. Gangguan-gangguan ini
dapat timbul karena berbagai sebab, misalnya berkeringat yang
berlebihan, diare yang lama atau pengeluaran urin yang melampaui
batas (Amerongen, 1992).
2) Gangguan sistem saraf
Sekresi saliva terutama terdapat di bawah pengaturan hormonal dan
diatur oleh neuronal baik oleh sistem saraf otonom parasimpatis
maupun simpatis. Gangguan pada sistem saraf pusat dan perifer dapat
mempunyai akibat bagi kecepatan sekresi saliva. Kelainan saraf yang
diikuti gejala degenerasi, seperti sklerosis multipel, juga akan
mengakibatkan menurunnya sekresi saliva (Amerongen, 1992).
3) Obat-obatan
22
Obat-obatan yang memblokade sistem saraf akan menghambat sekresi
saliva. Oleh karena sekresi air dan elektrolit terutama diatur oleh
sistem saraf parasimpatis, obat-obatan dengan pengaruh antikolinergik
akan menghambat paling kuat pengeluaran saliva. Obat-obatan dengan
pengaruh anti β-adrenergik (yang disebut β-bloker) terutama akan
menghambat sekresi saliva mukus (Amerongen, 1992). Terdapat
kurang lebih 400 jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan
xerostomia. Golongan-golongan utama dari obat-obatan tersebut
adalah antihistamin, antidepresan, antikolinergik, anti anorexia, anti
hipertensi, anti psikotik, anti parkinson, diuresis, dan sedatif. Sebagian
besar efek xerogenik dari obat-obatan tersebut bersifat sementara
(Bartels, 2005).
4) Gangguan kelenjar saliva
Gambaran penyakit dengan sel-sel asinar dan sel-sel duktus kelenjar
saliva yang berkurang atau mengecil, mengakibatkan penurunan
sekresi saliva, seperti; aplasi atau hipoplasi kelenjar saliva mayor
pembawaan, atropi kelenjar saliva karena ketuaan atau penyinaran,
penyumbatan muara pembuangan oleh batu saliva, tumor, penyakit
autoimun, radang kelenjar saliva (Amerongen, 1992).
5) Penyinaran daerah kepala-leher
Gangguan fungsi kelenjar saliva setelah penyinaran dengan sinar
ionisasi pada daerah kepala-leher sudah banyak diketahui. Jumlah dan
keparahan kerusakan jaringan kelenjar saliva tergantung dosis dan
lamanya penyinaran (Amerongen, 1992).
23
6) Fisiologi
Sensasi mulut kering yang subyektif terjadi setelah berbicara yang
berlebihan dan selama berolahraga. Pada keadaan ini ada dua faktor
yang ikut berperan. Bernafas melalui mulut yang terjadi pada saat olah
raga, berbicara atau menyanyi, juga dapat memberi efek kering pada
mulut. Selain itu juga ada komponen emosional yang merangsang
terjadinya efek simpatik dari sistem saraf otonom dan menghalangi
sistem saraf parasimpatik, sehingga menyebabkan berkurangnya aliran
saliva dan mulut menjadi kering (Amerongen, 1992).
Semua penyebab yang mendasari xerostomia harus diperbaiki, dan
berbagai upaya harus dilakukan untuk menghindari faktor-faktor yang
dapat meningkatkan kekeringan, seperti lingkungan yang panas dan
kering, makanan kering seperti biskuit, obat-obatan (misalnya
antidepresan tricyclic atau diuretik), alkohol (termasuk mouthwash),
merokok, minuman yang memproduksi diuresis (kopi dan teh). Bibir
mungkin menjadi kering dan atropik, sehingga harus terus lembab
dengan menggunakan pelumas yang berbahan dasar air atau produk
yang berbahan dasar lanolin (misalnya vaseline). Minyak zaitun,
vitamin E atau lip balm juga dapat membantu (Scully, 2010).
Xerostomia juga dapat diatasi oleh beberapa obat-obatan seperti
pilocarpine, cevimeline, dan anethole trithione. Rangsangan sekresi
saliva juga dianggap dapat menanggulangi xerostomia seperti mekanis
(mengunyah makanan keras atau permen karet), kimiawi oleh
24
rangsangan rasa (asam, manis, asin, pahit, pedas), neuronal melalui
sistem saraf otonom, baik simpatis maupun parasimpatis (Amerongen,
1992).
7. Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
meliputi uji imunologi dan uji virologi.
a. Diagnosis klinik
Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan
sistem stadium klinik untuk infeksi HIV. Pedoman ini meliputi kriteria diagnosa
klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan
memulai terapi antiretroviral lebih cepat.
Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
Keadaan Umum
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5oC) lebih dari 1
bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) lebih dari 1 bulan
Limfadenopati meluas
Kulit
Kulit kering yang meluas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.*
Beberapa kelainan kulit seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
25
Infeksi
Infeksi jamur Kandidiasis oral*
Dermatitis seboroik
Kandidiasis vagina kambuhan
Infeksi viral Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari 1
dermatom)*
Herpes genital (kambuhan)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Gangguan
pernapasan
Batuk > 1 bulan
Sesak nafas
TB
Pnemonia kambuhan
Sinusitis kronis atau kambuhan
Gejala neurologis Nyeri kepala yang semakin parahh (terus menerus dan tidak
jelas penyebabnya)
Kejang demam
Menurunnya fungsi kognitif
* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
[Sumber : Dep Kes, 2007]
b. Diagnosis Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV
dibagi dalam dua kelompok yaitu (Bennet, 2014) :
26
1). Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibodi terhadap HIV-1 dan
digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme –
linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji
Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk
memperkuat hasil reaktif dari test skrining.
ELISA test
Tes ini mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah. Jika tes ini negatif
maka orang tersebut pasti tidak terinfeksi HIV dan tes lanjutan tidak diperlukan
lagi. Jika tes ini positif langkah kedua dijalankan untuk mengkonfirmasi hasil
yang positif dari tes pertama.
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot
(dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi hasil rapid test dan semua hasil rapid test reaktif (positif)
harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid
test sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan
keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan
enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining
berulang (ELISA atau rapid test). Hasil negatif Western blot menunjukkan bahwa
hasil positif ELISA atau rapid test dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan
27
pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit
dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan
penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada
sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif
(reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,
sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah
terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah
CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan
penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.
2). Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, PCR dan
test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24)).
Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan
menguji cairan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus
atau untuk antigen spesifik virus.
28
HIV PCR
Tes PCR mendeteksi spesifik asam deoksiribonukleat (DNA) HIV, Asam
ribonukleat (RNA) dan sekuens yang menunjukkan adanya HIV dalam struktur
genetik orang yang terinfeksi HIV. Setelah terjadi infeksi HIV, RNA dan DNA
dari virus HIV beredar dalam darah. Kehadiran dari DNA dan RNA "potongan"
menunjukkan adanya virus HIV.
8. Diagnosis Banding
a. Burkitt Lymphoma
Burkitt lymphoma termasuk ke dalam subgrup limfoma non-
Hodgkin agresif, mempunyai daya gradasi tinggi dan terbentuk dari sel
kecil, tidak membelah (noncleaved), tidak berdiferensiasi, difus dan
berasal dari limfosit B. Pemberian nama limfoma Burkitt merujuk kepada
penemu penyakit yaitu Denis Parsons Burkitt, yang memetakan distribusi
geografis penyakit ini di Afrika. Penyakit ini merupakan neoplasma sel
beta dengan laju pertumbuhan tinggi (Nafianti dkk, 2008).
Limfoma Burkitt (LB) merupakan bentuk keganasan pada anak
yang jarang ditemukan. Di Amerika Serikat, dilaporkan 100 kasus baru per
tahun, sedangkan insidensi di Afrika berada di sekitar 100 per satu juta
anak.7-10 Limfoma Burkitt endemis di antara orang-orang yang tinggal di
daerah Afrika Tengah, sementara bersifat sporadis pada penduduk
Amerika. Insidensi pada anak laki-laki dibanding perempuan 2-3:1,
limfoma Burkitt lebih sering pada anak-anak usia 7 tahun, sementara di
luar Afrika usia rata-rata penderita 11 tahun. Angka kematian limfoma
29
Burkitt sangat tinggi, biasanya pasien meninggal sangat cepat. Pada saat
ini, prognosis menjadi sedikit lebih baik karena banyak pilihan kemoterapi
(Nafianti dkk, 2008).
Gejala klinis limfoma Burkitt pada awalnya hanya dikenali dengan
pembesaran kelenjar getah bening tanpa rasa sakit dan tumbuh dengan
cepat pada leher, sela paha, di bawah rahang atau bisa juga di bawah
tangan. Pemeriksaan penunjang meliputi biopsi kelenjar getah bening, foto
sinar-X dada, aspirasi sumsum tulang, CT-scan, analisa cairan
serebrospinal dan lain-lain. Kemoterapi menjadi pilihan utama
pengobatan, antara lain prednison, siklofosfamid, vinkristin, sitarabin,
doksorubisin, dan metotreksat. Radioterapi tidak banyak dipergunakan
dalam tatalaksana limfoma Burkitt (Nafianti dkk, 2008).
Manifestasi rongga mulut jarang ditemukan pada limfoma
Hodgkins, tetapi lebih sering terkait dengan kasus Limfoma non-Hodgkin
dan ditemukan beberapa predileksi pada mukosa pada palatum. Namun,
secara umum limfoma jarang mengenai gusi. Limfoma non-Hodgkin
bermanifestasi pada rongga mulut dan rahang dengan prevalensi 2-3%.
Lesi pada rongga mulut berwarna merah (eritematous), pembesaran tanpa
rasa sakit, dan terdapat ulser sebagai akibat dari trauma sekunder. Lokasi
ulkus yang paling sering adalah pada lidah, palatum, gingiva, mukosa
bukal, bibir, dan orofaring (Santoso dan Krisifu, 2004).
Limfoma non-Hodgkin primer dapat berkembang di setiap daerah
yang ada jaringan limfoidnya, termasuk kelenjar-kelenjar limfe leher,
mandibula dan palatum. Jika lesi primer mengenai palatum, maka keadaan
30
tersebut kadang-kadang disebut sebagai penyakit limfo proliferatif dari
palatum. Palatum merupakan bagian yang biasa ditempati lesi limfoma
non-Hodgkin, yang merupakan manifestasi dari sebaran penyakit dari
tempat lain atau mungkin merupakan ekspreksi awal dari bentuk
menyeluruh. Lesi bercirikan pembengkakan fluktuan lunak, yang
seringkali tumbuh dengan cepat dan mengalami ulserasi. Limfoma primer
dari palatum terjadi paling umum pada usia diatas 60 tahun, tetapi dapat
juga dijumpai pada pasien-pasien yang lebih muda, terutama yang terkena
AIDS. Limfoma primer dapat soliter atau berkaitan dengan penyakit yang
menyebar luas, meskipun biasanya muncul mendahului penyakit yang
menyebar. Secara klinis, lesi tersebut timbul di perbatasan palatum keras
dan lunak. Pembengkakan palatum yang tumbuh lambat itu adalah tanpa
gejala, lunak, seperti busa, tanpa ulserasi dan jarang mengenai tulang
palatum dibawahnya. Permukaannya sering menggumpal dan berwarna
merah muda sampai biru-ungu. Pengenalan dini dan biopsi sangat penting,
karena penyakit-penyakit mungkin masih terbatas pada palatum ditahap
dini. Selain itu, pada 5-10% kasus limfoma non-Hodgkin dapat dijumpai
jangkitan orofaringeal pada yang dapat menimbulkan keluhan sakit
menelan (sorethroat) (Santoso dan Krisifu, 2004).
b. Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri,
yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya
31
napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam
pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk
pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut
pneumonia. Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya
disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara
bakteri dan virus) dan protozoa (Depkes RI, 2007).
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari
bayi sampai usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang
paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di
kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh
sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan
menyebabkan kerusakan (Misnadiarly, 2008).
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh
virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory
Syncial Virus (RSV). Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia
jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi
terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang
menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
Mikoplasma menjadi salah satu agen penyebab pneumonia.
Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri,
meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan
biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang
segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda.
32
Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati
(Misnadiarly, 2008).
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut
pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis
Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan
pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam
beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam
hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada
jaringan paru-paru atau spesimen yang berasal dari paru-paru
(Djojodibroto, 2009).
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi
saluran napas atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak
napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat
berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala
lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala
(Misnadiarly, 2008).
c. Infeksi Virus Epstein Barr
Virus Epstein Barr juga disebut herpesvirus manusia 4 (Human
Herpesvirus 4/ HHV-4) yang termasuk dalam famili herpes ( yang juga
termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus). Virus ini merupakan
salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu
menyebabkan mononukleosis. Virus ini berasal dari nama Michael Epstein
33
dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong menemukan virus
ini pada tahun 1964 (Febrianti, 2008).
Sel target virus Epstein Barr adalah limfosit B. Virus Epstein Barr
memulai infeksi sel B dengan cara berikatan dengan reseptor. Virus
Epstein Barr secara langsung masuk tahap laten dalam limfosit tanpa
melalui periode replikasi virus. Ketika virus berikatan dengan permukaan
sel, sel-sel diaktivasi, untuk kemudian masuk ke dalam siklus sel. Lalu
dihasilkanlah beberapa gen virus Epstein Barr dengan kemampuan
berproliferasi tidak terbatas. Virus Epstein Barr bereplikasi in vivo dalam
sel-sel epitel dari orofaring, kelenjar parotis, dan serviks uteri, juga
ditemukan dalam sel-sel epitel karsinoma nasofaring (Febrianti, 2008).
Virus Epstein Barr biasanya ditularkan melalui air liur yang
terinfeksi dan infeksi dimulai di orofaring. Replikasi virus terjadi pada sel
epitel faring dan kelenjar ludah. Virus Epstein Barr adalah penyebab dari
mononucleosis infeksiosa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak
dan dewasa muda. Sel B yang terinfeksi virus mensintesis imunoglobulin.
Mononukleosis merupakan transformasi poliklonal sel B. Selama
perjalanan infeksi mayoritas penderita membentuk antibodi heterofil
(Febrianti, 2008).
Setelah masa inkubasi 30-50 hari, terjadi gejala nyeri kepala,
malaise, kelelahan, dan nyeri tenggorokan. Demam bertahan sampai 10
hari, terjadi pembesaran kelenjar getah bening dan limpa. Penyakit
mononucleosis infeksiosa ini mempunyai kekhasan sembuh sendiri dan
berlangsung 2-4 minggu. Selama penyakit berlangsung, terjadi
34
peningkatan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi dengan limfosit
dominan (Febrianti, 2008).
Diagnosis tidak hanya berdasarkan gejala-gejala yang dialami,
namun juga dengan pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah
memperkuat diagnosis bila ditemukan antibodi terhadap virus Epstein
Barr. Tubuh juga biasanya menghasilkan limfosit B baru untuk
menggantikan limfosit yang terinfeksi (Febrianti, 2008).
Acyclovir dapat diberikan selama masa pengobatan, untuk
mengurangi jumlah pelepasan virus Epstein Barr dari orofaring. Untuk
demam dan nyeri, diberikan asetaminofen atau aspirin. Kebanyakan
penderita akan sembuh total. Lamanya penyakit bervariasi. Fase akut
berlangsung 2 minggu. Tetapi kelemahan bisa menetap sampai beberapa
minggu, bahkan lebih. Penyakit akibat virus Epstein Barr ini bisa sampai
pada kematian, bila telah terjadi komplikasi, seperti peradangan, pecahnya
limfa atau penyumbatan saluran pernafasan (Febrianti, 2008).
9. Terapi
a. Antiretroviral (ARV)
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Pengobatan infeksi HIV dengan ARV
digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati normal,
mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan
memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi HIV.
Karena replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan sistem imun yang
35
progresif, berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan, penyakit
neurologi dan penurunan berat badan yang akhirnya mengarah ke
kematian. Obat-obatan antiretroviral yang digunakan adalah:
1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)
Obat ini berguna untuk menghambat reverse transcriptase untuk
mengubah RNA virus menjadi DNA virus. Yang termasuk golongan ini
adalah zidovudine (ZDV) abacavir (ABC), didanosine (ddI), lamivudine
(3TC), stavudine (d4T), dan zalcitabine (ddC).
2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs).
Obat ini juga berfungsi untuk menghambat reverse transcriptase. Yang
termasuk obat golongan ini adalah efavirenz (EFV), delaviridine (DLV),
dan nevirapine (NVP).
3) Protease Inhibitor
Obat ini berfungsi untuk menghambat kerja enzim protease sehingga
mencegah pembentukan virion baru yang infeksius. Golongna ini terdiri
dari: amprenavir (APV), indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), ritonavir
(RTV), and saquinavir (SQV).
Terapi tunggal ARV menyebabkan resistensi terhadap obat dan
toksisitas tingkat tinggi, sehingga perlu diberikan kombinasi terapi yang
disebut Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) (Greenberg,
2003).
36
b. Flukonazol
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol (Tripathi,
2008).
Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yaitu menghambat sintesis
ergosterol merupakan suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol
dengan bekerja pada lanosteroldemetilase dan gangguan terhadap transport zat-zat
karena akumulasi pada membran sitoplasma. Flukonazol bersifat fungisid (atau
terhadap fungi tertentu fungistatik) dan efektif melawan yeast (Tripathi, 2008).
Farmakokinetik
Flukonazol secara cepat dan sempurna diserap melalui saluran
gastrointestinal. Bioavailabilitas oral flukonazol melebihi 90 % pada orang
dewasa. Konsentrasi puncak plasma dicapai setelah 1 atau 2 jam pemberian oral
dengan eliminasi waktu paruh plasma ± 30 jam (20-50 jam) setelah pemberian
oral. Absorbsi flukonazol tidak dipengaruhi oleh kadar asam lambung (pH)
(Tripathi, 2008).
Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple lebih dari 14
hari maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke dalam cairan dan
jaringan tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih banyak ditemukan di
dalam cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat dengan konsentrasi tinggi.
Ikatan flukonazol dengan protein biasanya rendah (2%) sehingga sirkulasi obat
yang tidak berikatan tinggi. Metabolisme flukonazol terjadi di hepar dan
diekskresi melalui urin dimana 80% dari dosis obat akan di ekskresi tanpa
perubahan dan 11% diekskresi sebagai metabolit (Tripathi, 2008).
37
Sediaan
Sediaan tablet 100 mg (Tripathi, 2008).
Dosis
Untuk terapi candidiasis oral diberikan 200 mg per oral pada hari pertama,
kemudian dilanjutkan 100 mg per hari selama 14 hari (Tripathi, 2008).
Efek samping
Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal
seperti mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek
samping lain yaitu hipersensitivitas, agranulositosis, exfoliatif skin disoders
seperti Steven Johnson sindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada
sistem saraf pusat (Tripathi, 2008).
c. Kotrimoksazole
Kotrimoksazol merupakan kombinasi dua obat antibiotik : trimetoprim
dan sulfametoksazol, yang mempunyai efek yang sinergis (Scarsi, 2014).
Mekanisme Kerja
Kotrimoksazole memblok biosintesis asam nukleat dan protein yang dibutuhkan
oleh bakteri. Mekanisme kerja kotrimoksazole yang terdiri dari dua obat
merupakan aktivitas yang sinergis, yaitu terjadi inhibisi yang berurutan pada
sintesis asam tetrahidrofolat. Sulfametoksazol menghambat masuknya molekul
PABA ke dalam molekul asam folat. Trimetoprim menghambat terjadinya reaksi
reduksi dari asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat merupakan
bentuk aktif asam folat yang berfungsi untuk biosintesis asam nukleat dan protein
bakteri (Scarsi, 2014).
38
Farmakokinetik
Untuk mendapatkan efek sinergi diperlukan perbandingan kadar optimal dari
kedua obat. Rasio kadar sulfametoksazol : trimetoprim yang optimal adalah 20:1.
Trimetoprim mempunyai volume distribusi yang 9x lebih besar dari pada
sulfametoksazol karena sifatnya yang lipofilik. Trimetoprim cepat terdistribusi ke
dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya
sulfametoksazol. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma.
Sampai 60% trimetoprim dan sulfametoksazol diekskresi melalui urin dalam 24
jam setelah pemberian (Scarsi, 2014).
Sediaan
Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim. Untuk anak tersedia juga bentuk
suspensi oral yang mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 20 mg trimetoprim.
Untuk pemberian intravena tersedia sediaan infus yang mengandung 400mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim per 5 ml (Scarsi, 2014).
Dosis
Kotrimoksazole aktif terhadap Streptococcus pneumoniae, Clostridium diphteriae,
Eschericia coli, dan Neisseria meningitidis.
Dosis Kotrimoksazol (Scarsi, 2014) :
Usia 6 minggu – 6 bulan : 120 mg, 2x sehari.
Usia 6 bulan – 6 tahun : 240 mg, 2x sehari.
Usia 6 – 12 tahun : 480 mg, 2x sehari.
Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 960 mg, 2x sehari.
Kotrimoksazol sebaiknya dikonsumsi bersamaan dengan waktu makan.
39
Efek Samping
Infeksi HIV menyebabkan angka efek samping yang lebih tinggi. Efek samping
utama adalah mual, muntah, hilang nafsu makan, dan ruam pada kulit.
Kotrimoksazol juga dapat menyebabkan neutropenia (Scarsi, 2014).
10. Manifestasi Oral pada Pasien
a. Oral candidiasis (Pseudomembran Candidiasis, Angular Cheilitis)
Oral candidiasis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering
terjadi yang menyerang mukosa. Sebagian besar kasus, lesi disebabkan oleh
Candida albicans. Belum diketahui secara jelas mengenai patogenesis,
tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan Candida sebagai flora
normal rongga mulut menjadi organisme patogen, seperti, pemakaian gigi
tiruan, kebiasaan merokok, steroid topical, penyakit imunosupresi, obat
imunosupresan (Greenberg and Glick, 2003).
Patogenesis
C. albicans, C. Tropicalis, dan C. Glabrata ditemukan bersamaan
terkandung lebih dari 80% dalam spesies yang diisolasi dari infeksi Candida
pada manusia. Untuk menginvasi mukosa, mikroorganisme harus melekat
pada permukaan epitel. Kemampuan Candida untuk melekat pada
permukaan rongga mulut sangat berperan dalam patogenesis, namun bagi
sel yeast yang tidak dapat melekat pada permukaan maka akan dihilangkan
oleh pembersihan secara mekanis oleh saliva, tertelan, hancur oleh asam
lambung. Candida dengan potensi adhesi yang lebih kuat bersifat lebih
40
patogen dari pada Candida dengan potensi adhesi yang lemah. Penetrasi
yeast ke sel epitel difasilitasi oleh lipase yang diproduksi oleh
mikroorganisme, dan yeast dapat bertahan pada epitel jika yeast tidak
terlepas saat terjadi deskuamasi permukaan sel epitel (Greenberg and Glick,
2003).
Gambar 2.17. Patogenesis Candida albicans (Naglik et al, 2003)
Candida albican berkoloni pada permukaan epitel, terjadi adhesi dengan
permukaasn epitel (stage 1), menyebabkan infeksi superficial, terjadi
penetrasi epitel dan degradasi protein host oleh enzim hidrolitik (lipase)
yang diproduksi candida (stage 2). Pada kondisi di mana host merupakan
pasien imunokompromi, candida menginfeksi lebih dalam, terjadi penetrasi
jaringan dan penetrasi pembuluh darah (stage 3). Kemudian infeksi candida
41
menyebar yang menyebabkan terjadinya kolonisasi di jaringan lain (stage 4)
(Greenberg and Glick, 2003; Naglik et al, 2003).
Klasifikasi Kandidiasis
- Pseudomembran Candidiasis (Oral Thrush)
Pseudomembran candidiasis biasanya tampak pada pasien yang menerima
terapi antibiotik, obat imunosupresan, atau penyakit yang menekan sistem
imun. Pseudomembran candidiasis tampak sebagai lesi berwarna putih krim
pada mukosa oral. Biasa terjadi pada dorsal lidah yang dapat berkembang
menjadi infeksi pada esofagus. Plak dapat discrap dengan kekuatan lembut,
terkadang menimbulkan perdarahan dan meninggalkan daerah eritem. Pada
pemeriksaan histologi ditemukan terdapat sel epitel yang terdeskuamasi dan
yeast Candida. Pasien biasanya tidak mengeluhkan adanya rasa sakit atau
gejala-gejala timbulnya lesi, walaupun kemungkinan terdapat rasa tidak
nyaman saat lesi tersebut muncul (Greenberg and Glick, 2003; Williams
and Lewis, 2011).
Gambar 2.18. Pseudomembran candidiasis selama fase imunosupresi setelah transplantasi jantung (Greenberg and Glick, 2003)
42
- Eritematous Candidiasis (Atropic Oral Candidiasis)
Lesi tampak berwarna kemerahan dengan tepi difus, sehingga dapat
dibedakan dengan eritroplakia yang mempunyai garis batas yang jelas. Lesi
biasa terjadi pada palatum dan dorsal lidah pada pasien yang menggunakan
inhalasi steroid. Faktor predisposisi yang lain adalah merokok dan terapi
antibiotik spektrum luas. Terdapat keluhan sakit pada pasien yang menderita
eritematous candidiasis (Greenberg and Glick, 2003; Williams and Lewis,
2011).
Gamnbar 2.19. Eritematous candidiasis disebabkan oleh inhalasi steroid (Greenberg and Glick, 2003)
- Candidiasis Hiperplastik Kronis (Candidal Leukoplakia)
Lesi tampak sebagai lesi putih nodular atau plak yang tidak dapat discrap
dengan kekuatan ringan, karena penetrasi hifa candida ke epitel oral lebih
dalam. Lesi bilateral dan biasa terjadi pada daerah komisura mukosa bukal.
Lesi plak kronis dan lesi nodular candidiasis sering dihubungkan dengan
terjadinya keganasan (maligna) (Greenberg and Glick, 2003; Williams and
Lewis, 2011).
43
Gambar 2.20. Candidiasis hiperplastik kronis tipe plak (Greenberg and Glick, 2003)
Gambar 2.21. Candidiasis hiperplastik kronis tipe nodular(Greenberg and Glick, 2003)
- Angular Cheilitis
Lesi angular cheilitis bermanifestasi pada sudut mulut, dikelilingi daerah
eritema. Pada sampel mikrobial ditemukan Candida albicans dengan
Staphylococcus aureus. Defisiensi vitamin B12, defisiensi zat besi, dan
kehilangan dimensi vertikal sering dihubungkan dengan lesi ini. Atopy juga
sering dihubungkan dengan terbentuknya angular cheilitis. Kulit kering
dapat menyebabkan timbulnya fisura pada comisura, yang menyebabkan
mikroorganisme dapat masuk. Angular cheilitis biasa terjadi pada pasien
44
yang sudah terdapat candidiasis oral / jumlah candida intraoral yang tinggi
(Greenberg and Glick, 2003; Williams and Lewis, 2011).
Gambar 2.22. Angular cheilitis (Greenberg and Glick, 2003)
Tabel 2.4 Tabel Oral Candidiasis
Pseudomembran Candidiasis
Eritematous Candidiasis
Candidiasis Hiperplastik
Kronis
Angular Cheilitis
Lesi Putih krim Area merah, tepi difus
Putih nodular / tipe plak
Fisura kemerahan
Lokasi Dorsal lidah Dorsal lidah, palatum
Komisura mukosa bukal
Sudut mulut
Rasa sakit - + - +
Terapi Candidiasis
Sebelum mulai terapi antifungal, penting untuk mengidentifikasi adanya
faktor predisposisi. Antifungal yang sering digunakan adalah grup polyenes
atau azole. Polyenes seperti nystatin dan amphotericin B merupakan
alternatif pertama dalam perawatan candidiasis oral. Polyenes tidak
diabsorbsi dari saluran gastrointestinal dan tidak berhubungan dengan
adanya resistensi. Polyenes menghambat produksi ergosterol yang penting
45
untuk integritas membran sel candida. Polyenes juga memberikan efek pada
perlekatan fungi (Greenberg and Glick, 2003).
Terapi topikal dengan azole seperti mikonazole merupakan pilihan
perawatan untuk angular cheilitis yang mana sebagian besar disebabkan
oleh Candida albicans dan Staphylococcus aureus. Mikonazole
memberikan efek biostatik pada Staphylococcus aureus dan efek fungistatik
pada Candida. Fusidic acid (2%) dapat digunakan sebagai terapi bersamaan
dengan obat antifungal. Jika angular cheilitis disertai daerah eritema di
sekitar fisura, steroid ointment dibutuhkan untuk menekan inflamasi. Untuk
mencegah rekurensi, diberikan terapi denga krim pelembab yang akan
menghambat terbentuknya fisura baru (Greenberg and Glick, 2003).
Azole sistemik digunakan untuk terapi candidiasis yang berpenetrasi
lebih dalam, seperti candidiasis hiperplastik kronis, denture stomatitis, dan
median rhomboid glositis dengan tampilan granular, dan untuk terapi infeksi
resisten. Azole berinteraksi dengan warfarin, yang dapat menyebabkan
kecenderungan peningkatan perdarahan. Efek samping tersebut juga berlaku
untuk azole topikal. Resistensi berkembang untuk terapi flukonazole pada
pasien HIV. Pada beberapa kasus, ketokonazole dan itrakonazole
direkomendasikan sebagai alternatif. Azole juga digunakan untuk terapi
candidiasis dengan predisposisi sistemik dan untuk sistemik candidiasis
(Greenberg and Glick, 2003).
46
Tabel 2.5 Agen Antifungal yang digunakan untuk Terapi Candidiasis (Greenberg
and Glick, 2003)
Prognosis oral candidiasis baik jika faktor predisposisi yang berhubungan
dengan infeksi berkurang atau dihilangkan. Kandidiasis hiperplastik kronis
tipe plak dan nodular yang menetap mempunyai resiko lebih tinggi
terbentuknya maligna dibandingkan dengan leukoplakia tanpa infeksi
Candida (Greenberg and Glick, 2003).
b. Hairy Leukoplakia
Hairy leukoplakia merupakan lesi mukosa oral yang menempati posisi
kedua yang paling sering terjadi berkaitan dengan HIV. Hairy leukoplakia
47
digunakan sebagai penanda aktivitas penyakit karena lesi ini berkaitan
dengan jumlah CD4+ limfosit-T yang rendah. Lesi ini tidak hanya
dikarakteristikan khusus sebagai penanda HIV, defisiensi imun lain, seperti
karena obat imunosupresi dan kemoterapi kanker, juga berhubungan dengan
hairy leukoplakia. Jarang ditemukan individu dengan sistem imun normal
menderita hairy leukoplakia (Greenberg and Glick, 2003).
Etiologi dan Patogenesis
Hairy leukoplakia berhubungan erat dengna Epstein-Barr virus (EBV)
dan tingkat CD4+ limfosit-T yang rendah. Terapi antiviral merupakan terapi
kuratif, mencegah terjadinya replikasi EBV yang merupakan faktor etiologi
hairy leukoplakia. Terdapat hubungan antara replikasi EBV dan penurunan
jumlah sel Langerhans CD1a+, yang mana bersamaan dengan limfosit-T,
merupakan sel yang penting untuk pertahanan imun mukosa oral (Greenberg
and Glick, 2003).
Patogenesis hairy leukoplakia sangat kompleks, termasuk di dalamnya
terdapat faktor – faktor sebagai berikut, infeksi EBV, replikasi EBV, evolusi
genetik EBV, ekspresi gen spesifik EBV laten, dan menurunnya sistem
imun. Seluruh faktor ini difasilitasi oleh imunodefisiensi lokal dan sistemik
host (Lynch, 2014).
EBV awalnya menginfeksi sel epitel basal di faring, di mana EBV masuk
dalam fase replikasi yang kemudian menyebabkan lepasnya virus ke saliva.
Di faring, virus memasuki sel limfosit B. Sitotoksik limfosit T tidak dapat
menghilangkan EBV dari tubuh, tetapi sitotoksik limfosit T penting dalam
48
mengatur fase laten virus. Pada keadaan disfungsi imun di mana jumlah
sitotoksik limfosit T spesifik EBV menurun, terdapat peningkatan jumlah
sirkulasi sel limfosit B yang terinfeksi EBV. Pada jaringan biopsi hairy
leukoplakia teradapat penurunan atau tidak adanya sel langerhans. Sel
langerhans adalah antigen sel imun yang dibutuhkan untuk sistem imun
merespon infeksi virus dan jika kekurangan sel ini maka menyebabkan EBV
bereplikasi dan sistem imun untuk melawan EBV menurun (Lynch, 2014)
Tampilan Klinis
Hairy leukoplakia sering muncul pada tepi lateral lidah, tetapi juga dapat
muncul pada dorsal lidah dan mukosa bukal. Tampilan klinis yang khas
adalah adanya lipatan putih vertikal di sepanjang tepi lidah. Lesi dapat juga
tampak berwarna putih seperti plak yang meninggi, tetapi plak tersebut tidak
dapat discrap. Terlihat papila filiform yang memanjang sehingga lidah
terlihat seperti berambut. Karena tampilan klinis hairy leukoplakia dapat
berbeda-beda, penting untuk diketahui adanya lesi ini jika tepi lidah terdapat
lesi putih, terutama pada pasien imunokompromi. Hairy leukoplakia
asimptomatik, walaupun gejala mungkin tampak saat lesi ini terinfeksi
Candida. Secara histologis dapat terlihat penonjolan hiperkeratosis yang
seperti berambut, inflamasi dan infeksi Candida (Greenberg and Glick,
2003).
49
Gambar 2.23. Hairy leukoplakia pada tepi lateral lidah kiri pada pasien AIDS(Greenberg and Glick, 2003)
Terapi
Hairy leukoplakia dapat dirawat dengan terapi antiviral, tetapi terapi ini
jarang diindikasikan untuk kelainan yang tidak berhubungan dengan gejala
subyektif. Hairy leukoplakia tidak berhubungan dengan meningkatnya
resiko keganasan (Greenberg and Glick, 2003).
Lesi dapat membaik dalam 1-2 minggu dengan terapi antiviral sistemik.
Terapi oral dengan acyclovir membutuhkan dosis tinggi (800mg 5x sehari)
untuk mencapai level terapeutik. Valacyclovir (1000mg 3x sehari) dan
famciclovir (500mg 3x sehari) adalah antiviral dengan bioavailabilitas oral
lebih tinggi dibandingkan acyclovir, dan dosis lebih sedikit. Obat antiviral
menghambat replikasi EBV tetapi tidak menghilangkan virus yang dalam
fase laten. Hairy leukoplakia sering rekuren setelah beberapa minggu terapi
antiviral dihentikan (Lynch, 2014)
Terapi topikal dengan cairan resin podophyllin 25% mencapai
keberhasilan setelah 1-2 kali aplikasi. Terapi ini dapat menyebabkan rasa
sakit lokal sementara, ketidaknyamanan, dan perubahan merasa pada lidah.
Podophyllin mempunyai efek sitotoksik selular, tetapi mekanisme aksi
50
dalam menyembuhkan hairy leukoplakia belum diketahui. Hairy
leukoplakia dapat rekuren setelah beberapa minggu terapi podophyllin
dihentikan (Lynch, 2014)
Terapi topikal dengan retinoic acid telah dilaporkan dapat digunakan
untuk terapi hairy leukoplakia. Retinoic acid menghambat replikasi EBV
dan merangsang diferensiasi sel epitel. Sama seperti terapi antiviral dan
podophyllin, hairy leukoplakia rekuren setelah beberapa minggu terapi
retinoic acid dihentikan (Lynch, 2014).
Terapi bedah dapat dipertimbangkan untuk lesi hairy leukoplakia ukuran
kecil. Cryoterapi dilaporkan berhasil untuk terapi hairy leukoplakia, tetapi
terapi ini jarang digunakan (Lynch, 2014)
c. Kaposi sarcoma (pada dorsal lidah)
Infeksi HIV menyebabkan imunosupresi yang meningkatkan resiko
berkembangnya penyakit neoplasma. Meningkatnya manajemen penyakit
HIV dengan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) menurunkan
prevalensi manifestasi oral HIV, termasuk kaposi sarcoma. Kaposi sarcoma
adalah proliferasi neoplastik mulisentrik dari sel endotelial (Greenberg and
Glick, 2013).
Moritz Kaposi, dermatologis asal Hungaria, adalah yang pertama kali
mendeskripsikan kaposi sarkoma pada tahun 1872. Dalam artikel yang
dibuat oleh Moritz Kaposi berjudul “Idiopathic Multiple Sarcoma of the
Skin”, terdapat empat klasifikasi sarkoma (Pivorar et al, 2013) :
1) Klasik / Sporadis Kaposi Sarkoma
51
Tampilan klinis : lesi tunggal / multipel yang biasanya berlokasi di
ekstrimitas bawah dan biasa terjadi pada laki-laki dewasa.
2) Endemik Kaposi Sarkoma
Endemi di Afrika, terutama di selatan Gurun Sahara. Terjadi pada
dewasa muda dan anak-anak kulit hitam.
3) Iatrogenik Kaposi Sarkoma
Berhubungan dengan transplantasi organ dan terapi imunosupresif.
4) Epidemik Kaposi Sarkoma
Berhubungan dengan AIDS
Kaposi sarkoma berhubungan dengan Human Herpes Virus type 8
(HHV8). Virus dapat menginfeksi berbagai macam tipe sel seperti sel
endotelial dan limfosit 8 (Pivorar et al, 2013)
Etiopatogenesis
Infeksi HHV tanpa faktor pendukung tidak dapat menginisiasi
perkembangan kaposi sarkoma. Banyak faktor yang mempengaruhi inisiasi
dan perkembangan kaposi sarkoma yang berhubungan dengan HIV (HIV-
KS), seperti, HIV tat protein, supresi imun dan disregulasi sitokin, daerah
inflamasi, onkogenesis HHV8, angiogenesis, faktor pertumbuhan, dan
fungsi molekul adhesi yang berhubungan dengan HHV8 (Sibda, 2011).
Virus laten menjadi penyebab terbesar terjadinya lesi kaposi sarkoma.
Sel teridentifikasi sebagai ekspresi gen lytic dan/atau laten, termasuk
monosit, endhotelial / sel spindle kaposi sarkoma, sel B, sel epitelial.
52
Sebagian besar lesi HIV-KS berasal dari sel monoclonal, tetapi belum dapat
diketahui apakah HIV-KS merupakan kelainan monoclonal angioproliferatif
atau neoplasma maligna. HHV8 ditransmisikan melalui saliva dan dipercaya
bahwa HHV8 ditransmisikan secara seksual. Kaposi sarkoma banyak
ditemukan pada laki-laki homoseksual (Sibda, 2011).
HIV berperan dalam patogenesis HIV-KS melalui berbagai macam
mekanisme : HIV tat protein dapat secara langsung menyebabkan replikasi
HHV8. HIV-KS berasal dari induksi inflamasi T helper (Th) – 1 sitokin
yang berhubungan dengan terganggunya respon imun seluler karena infeksi
HIV. Agen inflamasi terdiri dari sel CD8T, monosit, makrofag, dan sel
dendritic, yang memproduksi sitokin inflamasi, yang bersama dengan
produk gen HHV8, mengaktivasi sel endotelial dan memicu perkembangan
HIV-KS (Sibda, 2011).
Tampilan klinis, Tanda dan Gejala
Kaposi sarkoma biasa terdapat pada palatum keras, gingiva, dan dorsal
lidah. Lesi dimulai sebagai lesi datar biru keunguan atau merah keunguan
(makula) yang berkembang menjadi lesi papulonodular, kemudian
berkembang menjadi masa jaringan yang berulserasi. Lesi tidak tampak
pucat saat diberi tekanan (Greenberg and Glick, 2003; Sibda, 2011).
Lesi inisial asimtomatik tapi saat lesi berkembang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan, gangguan dalam pemakaian protesa dan mempengaruhi
fungsi oral (bicara dan makan), yang dapat memberi efek negatif pada status
nutrisi pasien. Gejala yang terjadi pada rongga mulut saat lesi berkembang
53
termasuk terdapat rasa sakit, kerusakan jaringan lokal, perdarahan, dan
mobiliti gigi pada area yang terlibat. Kaposi sarkoma dapat menjadi tanda
pertama dari infeksi HIV yang tanpa gejala (Greenberg and Glick, 2003;
Pivorar et al, 2013; Sibda, 2011, Vieira et al, 2014).
Terapi
Tujuan utama terapi kaposi sarcoma adalah mengurangi gejala,
mencegah perkembangan penyakit, dan memperbaiki fungsi kosmetik.
Terapi dasar dilakukan berdasar perluasan dan kecepatan pertumbuhan
tumor, ada tidaknya keterlibatan visceral, dan gejala yang dialami pasien
(Thomas and Java, 2000).
Terapi dilakukan ketika kaposi sarcoma berkembang di sisi anatomi yang
mengganggu pasien dalam kehidupan sosial, ketika terdapat rasa sakit atau
lesi ukuran besar pada permukaan telapak kaki, dan ketika lesi intraoral atau
faringeal mengganggu ketika makan (Thomas and Java, 2000).
Pilihan perawatan lokal dan sistemik tersedia. Karena terdapat potensi
toksik pada terapi sistemik, maka sebaiknya dilakukan terapi lokal jika
memungkinkan (Thomas and Java, 2000).
Terapi lokal : terapi lokal yang dilakukan adalah cryotherapy, kemoterapi
intralesional, terapi radiasi, dan terapi retinoid topikal (Roenn, 2003; Rose,
2014; Thomas and Java, 2000).
54
Cryotheraphy
Cryoteraphy efektif untuk terapi lesi ukuran kecil dan digunakan untuk
keperluan kosmetik (contoh : lesi pada wajah). Lesi makula dan papula
ukuran kurang dari 1 cm memberi respon paling baik terhadap perawatan.
Perawatan dilakukan dengan aplikasi nitrogen cair untuk lesi kaposi
sarkoma lokal. Terapi diulangi dengan interval 3 minggu. Efek samping
termasuk rasa sakit minor dan rasa melepuh. Cryotheraphy meninggalkan
bekas luka parut datar berwarna putih; pada pasien berkulit gelap, bekas
luka terapi secara kosmetik terlihat lebih buruk daripada lesi itu sendiri.
Rekurensi menjadi masalah pada terapi lesi ukuran besar.
Kemoterapi Intralesional
Kemoterapi intralesional digunakan untuk perawatan lesi oral dan lesi
kutan ukuran lebih dari 2 cm. Vinblastine digunakan secara luas untuk
kemoterapi intralesional.
Dosis vinblastine yang direkomendasikan adalah 0.2 mg/mL solution
diinjeksikan setiap 0.5 cm lesi; dosis tidak boleh lebih dari 4 mL. Terapi
dapat diulangi 4 minggu kemudian. Diperkirakan dalam 3 minggu setelah
perawatan sudah terjadi regresi tumor.
Efek samping vinblastine intralesional adalah ulserasi, rasa sakit, dan
infeksi sekunder. Rasa sakit berkembang kurang lebih 12 jam setelah terapi
dilakukan, dan bertahan sampai 48 jam. Untuk mengurangi rasa sakit,
lidocaine dapat ditambahkan pada sediaan vinblastine untuk terapi;
penambahan lidocaine menunjukkan tidak mempengaruhi hasil perawatan
55
untuk lesi. Kehilangan rambut dapat terjadi, oleh karena itu, perawatan
kemoterapi intralesional dihindari pada area yang terdapat rambut.
Terapi Radiasi
Terapi radiasi adalah terapi lokal yang efektif untuk pasien dengan lesi
minimal atau lesi lokal. Terapi radiasi juga dapat dilakukan untuk
mengurangi gejala lokal pada pasien yang tidak merespon atau terdapat
kontraindikasi kemoterapi sistemik dan pada pasien yang mempunyai
harapan hidup pendek (kurang dari 2 bulan). Terapi radiasi dapat dilakukan
pada lesi oral dan pharyngeal. Terapi radiasi tidak hanya meningkatkan
fungsi dan tampilan kosmetik, tetapi juga mengurangi rasa sakit,
perdarahan, dan mengurangi perluasan lesi, membantu untuk mengurangi
edema.
Dalam terapi radiasi, electron energi rendah atau radiologi superfisial
digunakan untuk terapi lesi ukuran kecil, superfisial, dan datar. Keuntungan
dari terapi ini adalah penetrasi jaringan yang lebih sedikit. Radiology energi
tinggi, yang disebut megavoltage therapy, digunakan untuk terapi lesi
nodular atau lesi seperti plak yang lebih besar di mana lesi termasuk lesi
dengan edema.
Efek samping terapi radiasi yaitu eritema dan deskuamasi kulit, rasa sakit
melepuh pada telapak kaki, mukositis oral.
Terapi Retinoid Topikal
IL-6 adalah sitokin yang berperan dalam patogenesis kaposi sarcoma.
Retinoic acid menghambat regulasi IL-6. 0.1 % alitretinoin gel diaplikasikan
56
secara topikal 2-4x sehari dalam 2 minggu. Dapat menyebabkan efek
samping yaitu eritema lokal dan iritasi pada area yang diaplikasikan gel.
Terapi sistemik : dilakukan dengan interferon, kemoterapi, highly active
antiretroviral therapy (HAART) (Roenn, 2003; Thomas and Java, 2000)
Interferon
Interferon alfa adalah obat pertama yang secara spesifik dianjurkan untuk
terapi kaposi sarkoma. Interferon alfa merupakan antiproliferatif, antiviral
(anti-HIV), antiangiogenic, dan imun modulator. Respon untuk terapi
interferon alfa pada pasien dengan CD4 <100 sel/mm3 dilaporkan <10%
tetapi meningkat 45-50% pada pasien dengan CD4 >400 sel/mm3.
Saat digunakan sebagai agen tunggal tanpa terapi antiretroviral, interferon
alfa lebih efektif diberikan secara subkutan dengan dosis 36 MU sehari
sekali atau 30 MU 3x seminggu.
Sebelum ditemukan pengukuran viral dan Highly Active Antiretroviral
Therapy (HAART), penelitian dilakukan untuk meningkatkan tingkat
keberhasilan interferon alfa, mengurangi dosis dan toksisitas, dan
memperluas penggunaan interferon alfa untuk terapi. Kombinasi interferon
alfa dengan agen antiretroviral pada pasien dengan prognosis buruk
(CD4<150 sel/mm3 dan lesi KS ukuran besar) memberi respon sebesar 42-
46% dengan dosis interferon alfa yang lebih rendah dari pada dosis tunggal.
Toksisitas yang mungkin terjadi karena kombinasi ini adalah terjadi
myelosupresi.
57
Untuk menghindari kombinasi obat dengan toksisitas tinggi, AIDS
Clinical Trials Group (ACTG) melakukan evaluasi terhadap didanosine,
agen antiretroviral non myelosupresif, dengan kombinasi interferon alfa, 1
MU subkutan sehari sekali dibandingkan dengan 10 MU subkutan sehari
sekali. Regresi tumor terjadi pada 40% pasien yang dirawat dengan dosis 1
MU dan 55% pada pasien yang dirawat dengan 10 MU. Waktu rata-rata
terjadi regresi adalah > 110 minggu. Terapi ditoleransi dengan baik oleh
pasien. Respon terapi dengan interferon alfa dapat meningkat jika
dikombinasikan dengan antiretroviral yang efektif. Kombinasi interferon
alfa dengan antiretroviral dilanjutkan jika toksisitas dapat diatasi.
Toksisitas interferon alfa berkaitan dengan dosis. Dosis harian 1 MU
interferon alfa menghasilkan toksisitas rendah. Jika dosis ditingkatkan,
dapat terjadi sindrom seperti flu yang dikarakteristikkan dengan demam,
myalgia, dan malaise. Takifilaksis berkembang pada beberapa minggu
pertama terapi. Penggunaan interferon alfa jangka panjang dengan dosis
tinggi (>20 MU subkutan sehari sekali), dapat menyebabkan demam yang
menetap, anorexia, kehilangan berat badan, kelelahan, dan gejala
neuropsikiatrik seperti depresi. Waktu untuk merespon terapi interferon alfa,
baik sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan agen antiretroviral,
biasanya sekitar 8 minggu atau lebih setelah perawatan pertama dilakukan.
Kemoterapi
Kemoterapi adalah pilihan terapi untuk lesi kaposi sarcoma pada kutan,
diindikasikan untuk pasien dengan kaposi sarkoma mukokutan yang meluas,
dengan perkembangan yang cepat (lebih dari 10 lesi baru tiap bulan),
58
penyakit pulmonary, atau lymphedema simptomatik yang meluas. Agen
kemoterapi baik agen tunggal maupun kombinasi, sudah dievaluasi untuk
terapi kaposi sarcoma.
Tabel 2.6 Agen Tunggal untuk Kemoterapi Kaposi Sarcoma (Thomas and Java, 2000)
Tabel 2.7 Agen Kombinasi untuk Terapi Kaposi Sarcoma (Thomas and Java, 2000)
Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)
Penelitian dewasa ini menunjukkan respon pasien HIV dengan KS
terhadap Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Terapi ini terdiri
dari dua analog nukleosit dan protease inhibitor, menunjukkan menurunnya
level plasma HIV, meningkatnya jumlah sel CD4, menurunnya insidensi
59
infeksi oportunistik. Percobaan klinis efektifitas HAART pada terapi pasien
HIV-KS dilaporkan terjadi penurunan 50% progresi penyakit dan kematian
dalam jangka pendek (1 tahun sampai 3 tahun. Lama waktu HAART dapat
dengan efektif menekan replikasi virus belum diketahui. Penyembuhan total
dari KS kutan telah dilaporkan setelah terapi HAART. Inhibisi efektif
replikasi HIV dan restorasi fungsi imun terjadi karena regresi KS. Protease
inhibitor mempunyai efek antiviral langsung terhadap human herpesvirus 8
(HHV8) (Thomas and Java, 2000).
60