Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa
-
Upload
silmikaaffah -
Category
Documents
-
view
12 -
download
4
description
Transcript of Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa
II.1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan,
ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial
dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati,
limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch (IDAI, 2012).
II.2. Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai
negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spectrum klinisnya
sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan
dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah
endemis) dilaporakan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus. Angka yang kurang
lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan. Sebuah penelitian berbasis populasi
yang melibatkan 13 negara di berbagai benua, melaporkan bahwa selama tahun 2000
terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid dengan angka kematian 10% (Crump, 2004).
Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15 tahun.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid, pada kelompok
umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000 penduduk (Ochiai, 2008).
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir) manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu
yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat
hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang
kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. typhi hanya dapat hidup kurang dari 1
minggu pada raw sewage dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi
(temperature 63oC)
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman atau
makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa
kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui oro fekal = jalur oro-
fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dala, bekterimia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.
II.3. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram
negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak mempunyai spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yng berkaitan dengan resistensi multipel
antibiotik.
Gambar 1. Salmonella typhi
II.4. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan empat proses kompleks mengikuti
ingesti organisme, yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M peyer’s patch, (2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di peyer’s patch, nodus limfatikus
mesenterikus dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri
bertahan hidup di aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan
kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke
dalam lumen intestinal.
Jalur masuknya bakteri ke lumen usus
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (PH<2)
banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti alklorhidria, gastrektomi,
gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamine H2, inhibitor pompa
proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang
masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel
mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di
ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencappau folikel limfe
usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES organ hati dan limpa. Salmonella typhi
mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuclear di dalam folikel limfe,
kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu maka
Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus toraksikus masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun,
akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung
kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran
retrogard dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang
dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
Peran endotoksin
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi
makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah
yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vascular yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik.
Respons imunologik
Pada demam tiofid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di
tingkat local (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme
imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella
typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih
berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan
demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas selular terhadap antigen
Salmonella serotype typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah
besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa
memasuki epitel pejamu.
II.5. Manifestasi klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata
antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis
ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai sangat berat sehingga harus
dirawat. Variasi gejala ini dipengaruhi oleh faktor galur salmonella, status nutrisi dan
imunologik pejamu serta lama sakit di rumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada
era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada demam
tifoid mempunyai penampilan khusus yaitu step-ladder temperature chart yang
ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam
akan bertahan tinggi dan pada minggu keempat demam turun perlahan secara lisis,
kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka
demam akan menetap. Demam lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan
pada pagi harinya. Pada saat demem sudah tinggi, daapat disertai gejala sistem saraf
pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi atau penurunan
kesadaran mulai dari apatis sampai koma.
Gejala sistemik lainnya yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus
yang berpenampilan klinis berat pada demam tinggi akan tampak toksis atau sakit
berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok
hipovolemik yang disebabkan kurangnya cairan dan asupan makanan. Gejala
gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh
diare, obstipasi, obstipasi kemudian disusul dengan episode diare, pada sebagian
pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepid an ujungnya
kemerahan. Banyak ditemukan meteorismus dan hepatomegaly.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-
5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam
ini muncul pada hari ke-7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
II.6. Komplikasi
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan
perdarahan usus pada 1-10 % kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi
pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama.
Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan penignkatan
frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada
kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri menyelubung. Kemudian
akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya
keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus
halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan
koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan
prognosis buruk. Penyakit neurologi yang lain adalah thrombosis serebral, afasia,
ataksia serebral akut, tuli, myelitis transversal, neuritis perifer maupun kranial,
meningitis, ensefalomielitis, sindrom Gullain-Barre. Dari berbagai penyulit
neurologic yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan
ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.
Hepatitis tifosa asimptomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan
ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau
tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dijumpai,
sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam
tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman
(karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga
merupakan penyulit demam tifoid. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada
demam tifoid. Penyulit lain yang sering dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi
intravascular diseminata, hemolytic uremic sekunder (HUS), fokal infeksi di beberapa
lokasi sebagai akibat bakterimia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot,
kelenjar ludah dan persendian.
Gambaran darah tepi
Anemia normokromik normositik terjadi sebagai akibat perdaraham usus atau
supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah
3.000/ml3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat
mencapai 20.000-25.000/ml3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang
berlangsung beberapa minggu.
III.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan gangguan kesadaran. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit,
kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada
minggu berikutnya. Biakkan yag dilakukan pada urin dan faeces, kemungkinan
keberhasilan lebih kecil jika dibandingkan dengan biakkan dari sumsum tulang yang
memiliki sensitivitas lebih tinggi. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan
specimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup
baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologic yang memeriksa antibody
aglutinasi terhadap antigen somatic (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat
diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O agglutinin > 1/40
dengan memakai uji Widal slide agglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %.
Banyak senter mengatur pendapat bahwa apabila titer O agglutinin sekali periksa >
1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kalii maka diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi
masa lampau, sedang Vi agglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi
(karier).
Dapat digunakan pula metoda pemeriksaan menggunakan Polymerase chain
reaction untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi dalam darah. Metoda ini
lebih spesifik dan sensitive dibandingkan dengan biakan darah.
III.8. Diagnosis banding
Diagnosis banding dari demam tifoid antara lain influenza, gastroenteritis,
bronchitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme intraselular seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis
tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat,
sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat digunakan sebagai diagnosis
banding.
III.9. Tata laksana
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian
selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus malnutrisi
pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomyelitis akut
dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya
angka relaps dan karier. Namun pada anak, hal tersebut jarang dilaporkan. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa kloramfenikol sudah tidak direkomendasikan kembali
karena terdapat Multi Drugs Resistance Salmonella Typhi, adalah resistensi terhadap
lini pertama antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid yaitu kloramfenikol,
ampisilin, dan kotrimoksazol. Penyebab MDRST adalah pemakaian antibiotik yang
tidak rasional (over-used) dan perubahan faktor instrinstik dalam mikroba
(Hadinegoro, 1999)
Ampisilin memberikan respons perbaikian klinis yang kurang apabila
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan yaitu 200 mg.kgBB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral memberikan hasil yang setara
dengan kliramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Pemberian
sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau
2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolasi yang rentan. Efikasi
kuinolon baik, namun tidak dianjurkan untuk anak-anak. Cefixim oral 10-15
mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila
jumlah leukosit <2000/ml atau dijumpai resistensi terhadap S> typhi.
Seftriakson merupakan antibiotik beta-lactamase dengan spektrum luas,
memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan 1-2 kali sehari. Efek
samping yang mungkin ditemukan adalah reaksi alergi, peningkatan fungsi hati,
trombositosis, dan leukopenia (Harrison, 2008). Acharya G dkk (2011) melaporkan
bahwa pasien demam tifoid menunjukkan respons klinis yang baik dengan pemberian
seftriakson sekali sehari. Lama demam turun rata-rata empat hari, semua hasil biakan
menjadi negatif pada hari keempat, dan tidak ditemukan kekambuhan. Hasil
laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin dan hitung leukosit normal, serta tidak
ditemukan gangguan fungsi hati dan ginjal (level of evidence 2b).
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma,
shock, pemberian deksametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk
dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg diberikan tiap 6 jam sampai 48 jam).
Oleh karena itu, pengamatan keadaan klinis pasien selama mendapat
pengobatan harus dievaluasi dengan cermat terutama mengenai parameter
keberhasilan pengobatan seperti keadaan umum, suhu, gejala intestinal, komplikasi
baik intra maupun ekstra intestinal, hitung leukosit, fungsi hati, dan asupan cairan
serta nutrisi (Sondang, 2010).
III.10. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya da nada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya > 10 %, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan
pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endocarditis dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas tinggi.
III.11. Pencegahan
Untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka setiap individu
harus memperhatikan kulaitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 \oC untuk beberapa
menit atau dengan proses iodinasi atau klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu
negara atau daerah tergantung pada baik dan buruknya pengadaan sarana air dan
pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hyigiene
pribadi. Imunisasi dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.