BAB II LANDASAN TEORI Kajian Teori - UMM
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI Kajian Teori - UMM
10
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini akan membahas tentang konsep maupun teori-teori yang menjadi
landasan dalam penelitian. Berikut uraian penjelasan yang berkaitan dengan
landasan teori tersebut.
2.1 Kajian Teori
Sub bab kajian teori ini akan menguraikan tentang: (1) novel sebagai karya
sastra, (2) unsur pembangun novel, (3) hubungan tokoh dengan psikologi sosial
(4) ruang lingkup psikologi sosial, (5) keterkaitan psikologi sosial dengan sastra,
(6) hubungan sosial, (7) interaksi sosial, (8) hubungan insani, (9) prasangka sosial,
(10) perilaku prososial dan antisosial, dan (11) agresi sebagai perilaku antisosial.
2.1.1 Novel sebagai karya sastra
Novel sering kali dijadikan sebuah objek penelitian kesusastraan. Sebagai
salah satu produk sastra, muatan yang ada di dalam novel cukup padat. Novel
merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai
kompleksitas cerita. Kisah dan cerita dalam novel diangkat sedemikian rupa dan
selalu mengikuti perkembangan zamannya. Apa yang hadir di masa lalu, tidaklah
sama dengan yang terjadi sekarang, sehingga novel secara tidak langsung juga
dapat dikatakan sebagai sejarah kehidupan manusia di masa sebelumnya. Karya
sastra yang baik muncul bukan hanya memberikan kesenangan semata namun
juga dapat dijadikian petunjuk serta memberi pesan moral kepada pembaca
maupun penikmatnya. Karya sastra dapat pula diartikan sebagai sebuah artefak,
apabila diberi arti oleh manusia, khususnya pembaca sebagaimana artefak atau
10
11
peninggalan manusia purba. Novel menjadi produk sastra yang digemari karena
memabaca novel seperti melihat potongan kejadian dalam kehidupan (Pradopo,
2013:106).
Aminuddin (2011:66) menjelaskan, karya fiksi (sastra) dapat dibedakan
menjadi berbagai macam bentuk. Ada roman, novel, novelet, maupun cerpen.
Perbedaan dari berbagai macam bentuk karya fiksi tesebut secara umum dapat
dilihat dari panjang pendeknya cerita di dalamnya dan isi cerita yang secara garis
besar diampilkan. Semua bentuk tersebut dituangkan dalam bahasa tulis.
Novel selalu identik dengan bahasa tulis. Oleh sebab itu banyak sekali para
pelaku pendidikan sering munggunakannya sebagai objek maupun bahan
penelitian. Pengarang menampilkan cerita lewat kenyataan yang dapat
diciptakannya dengan bebas dan tetap dapat dipahami oleh pembaca deangan
konvensi yang tersedia baik itu konvensi bahasa maupun konvensi sastra. Dunia
yang diciptakan sastrawan adalah dunia alternatif. Dunia alternatif yang hanya
mungkin kita bayangkan berdasarkan pengetahuan kenyataan itu sendiri.
Alternatif selalu menggandaikan sebuah dasar yang sama terhadap apa yang ada.
Hal ini berarti bahwa karya sastra adalah karya fiktif, karena semua isinya dibuat
atas dasar pemikiran pengarang atau sastrawan. Ada unsur rekayasa yang berdasar
pada apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Teew, 2013:189).
Ketika seseorang membaca sebuah novel, maka yang ada di pikirannya
adalah apa yang diungkapkan pengarang adalah sebuah peristiwa yang
membawanya pada satu keadaan sesuap penggambaran cerita tersebut. Menurut
Nurgiyantoro (2013:29), sebuah novel merupakan sebuah totalias, suatu kesatuan
yang bernilai seni dan indah. Sebagai suatu totalitas, novel mempunyai bagian,
12
unsur-unsur yang saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain. Hal
tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa novel selalu dijadikan sasaran
penelitian hingga saat ini. Oleh sebab itu, karya sastra khususnya novel, sering
sekali diteliti dengan berbagai teori yang relevan terhadap kompleksitas cerita
yang dituliskan pengarang
2.1.2 Unsur pembangun novel
Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama
membentuk sebuah totalitas sebuah cerita, disamping unsur formal, yaitu bahasa
ternyata masih banyak lagi macamnya. Secara garis besar berbagai macam unsur
tersebut secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang muncul di luar novel,
sedangkan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Berikut dijelaskan beberapa unsur intrinsik yang secara umum hadir
dalam novel (Nurgiyantoro, 2013:29).
a. Tokoh dan Penokohan
Menurut Aminuddin (2011:79), tokoh adalah pelaku yang mengemban suatu
peristiwa dalam suatu cerita, sehingga suatu peristiwa dapat terjalin dengan baik.
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, misalnya sebagai jawaban terhadap
pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?” atau “Ada berapa orang jumlah
tokoh novel itu?” dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk
pada sikap dan sifat para tokoh sebagaimana yang ditafsirkan para pembaca, lebih
menunjuk pada kualitas pribadi seoran tokoh. Tokoh cerita sebagaimana
dikemukakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013:247), adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan
13
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan
dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakkan.
Walaupun tokoh dalam cerita hanya merupakan tokoh rekaan pengarang, ia
haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar,
sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri atas darah dan daging, yang
mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan
dalam dunia fiksi, maka ia harus bertindak dan bersikap sesuai tuntutan cerita,
dengan watak yang disandangnya. Jika pada suatu cerita ada tokoh yang bertindak
secara lain dari citranya yang digambarkan sebelumnya, hal tersebut akan lebih
baik tidak terjadi begitu saja dan harus bisa dipertanggungjawabkan. Menurut
Nurgiyantoro (2013:258-272), tokoh dibedakan menjadi beberapa jenis. Antara
lain sebagai berikut.
1) Tokoh utama yaitu tokoh yang diutamakan dalam cerita.
2) Tokoh tambahan yaitu tokoh yang dalam kehadiranya kurang mendapatkan
perhatian.
3) Tokoh antagonis adalah tokoh yang memiliki sifat yang jahat dan sering
menjadi sumber permasalahan.
4) Tokoh protagonis adalah tokoh yang sering dikagumi dan memiliki sifat
heroik.
Seringkali, lewat tingkah laku tokoh, seorang pembaca dapat menebak
bagaimana karakter atau wataknya. Seperti seorang laki-laki yang senang
menyendiri dan sering minum minuman keras. Secara tidak langsung, pembaca
akan tahu bagaimana karakter laki-laki tersebut melalui kepribadian dan
keseharian tokoh yang digambarkan dalam cerita.
14
Peran pengarang memang luar biasa dalam pengenalan dan penciptaan
tokoh. Seperti yang diungkapkan Wellek dan Warren (2013:83) bahwa sastrawan
terutama pengarang itu adalah pelamun yang diterima masyarakat. Pengarang
tidak pernah mengubah kepribadiannya, dan yang diubah adalah publikasi
lamunanya. Hadirnya tokoh dalam sebuah cerita bukan tanpa pertimbangan.
Pengarang selalu menyesuaian dengan keadaan sekitar tokoh dan bagaimana
budaya yang melingkupi tokoh. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:247)
menegaskan bahwa dalam penggunaan istilah karakter atau penokohan sendiri
dalam berbagai literatur bahasa inggris mengarah pada dua pengertian yang
berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap
ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang di miliki tokoh tersebut.
Penokohan adalah penghandiran tokoh dalam cerita fiksi (novel) dengan
cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan
kualitas dirinya lewat kata dan tidakannya. Adanya karakterisasi tersebut,
pembaca bisa menjadi penentu, apakah yang dilakukan tokoh dalam cerita
tersebut baik atau buruk. Tak ubahnya sebuah lakon, karakterisasi atau penokohan
menjadi salah satu kunci untuk tindak lanjut hal yang harus dilakukan tokoh
utama.
b. Alur
Penyebutan ‘alur’, secara modern, juga sering disebut sebagai plot atau jalan
cerita, kemudian dalam teori terbaru lebih dikenal dengan adanya istilah struktur
naratif. Alur dalam sebuah cerita merupakan unsur kunci yang kehadirannya
membawa dampak besar dalam sebuah cerita. Alur menjadi penentu baik dan
tidaknya cerita yang dibuat oleh pengarang. Di dalam alur terdapat berbagai
15
proses dan konflik yang tidak pernah lepas dari kehidupan tokoh-tokonya
(Nurgiyantoro, 2013:165).
Secara tidak langsung, pembaca selalu memilih cerita yang menarik. Kata
‘menarik’ tersebut tertuju pada konsep cerita dan isi cerita yang sesuai kondisi
zamannya. Kemenarikan tersebut dapat diartikan secara khusus, yaitu bagaimana
konflik yang terjadi dalam cerita serta apa yang menjadi permasalahan dalam
cerita tersebut. Alur adalah siklus yang melingkupi asumsi-asumsi tersebut.
Menurut Loban dkk. (dalam Aminuddin, 2011:85-86), setiap cerita memiliki
alur yang tidak sepenuhnya sama. Tidak menutup kemungkinan adanya cerita
fiksi yang mengandung tahapan alur yang berbeda. Model tahapan cerita yang lain
dapat dijelaskan ketika pengarang mengawali cerita dengan dengan berangkat dari
suatu paparan peristiwa yang menegangkan dan menyita perhatian pembaca
karena mengandung tanda-tanda.
Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:167) mengemukakan bahwa alur atau
plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, yang dihubungkan oleh hubungan
sebab akibat, sehingga dalam sebuah cerita, setiap urutan peristiwa yang muncul
selalu disebabkan dan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Relasi
antara peristiwa yang dikisahkan dalam cerita haruslah memiliki hubungan sebab
akibat, sehingga tidak berurutan secara kronologis saja. Ketika penampilan
peristiwa demi peristiwa tarsebut hanya berdasar pada urutan waktu saja, maka
peristiwa tersebut belum bisa disebut sebagai sebuah lur atau plot. Agar menjadi
sebuah alur yang baik, peristiwa tersebut harus diolah dan disiasati secara kreatif
sehingga dari hasil pengolahan tersebut menjadi sesuatu yang indah dan menarik.
16
c. Latar/Setting
Tahap awal karya fiksi, pada umumnya berisi tentang penyituasian,
penyesuaian, dan pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan.
Misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana,
tempat, mungkin juga hubungan waktu. Tahap awal suatu cerita fiksi umumnya
berupa pengenalan tokoh, tempat dan waktu. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti
jika pengenalan hanya dilakukan di awal cerita. Pengenalan bisa juga hadir di
berbagai tahap lain sesuai alur cerita. Hadirnya latar dalam sebuah cerita
membawa kesan realitis kepada pembaca, sehingga pembaca menjadi terbawa
suasana dan seolah-olah cerita tersebut benar terjadi. Sehingga, pembaca
dipermudah untuk menciptakan daya imajinasinya (Nurgiyantoro, 2013:303).
Latar atau setting memberikan pijakkan yang jelas dalam sebuah cerita.
Adanya latar tersebut, menjadi saksi setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita.
Latar juga bisa diartikan sebagai gambaran kapan cerita tersebut dibuat, sehingga
ada latar menjadi salah satu cara pembagian periodisasi sastra. Seperti yang
dijelaskan Natia (2008:07), bahwa periodisasi sastra di Indonesia dapat dilihat dari
sifat, latar karya dibuat, dan bentuknya. Hal itu berarti, kehadiran latar dapat
dijadikan pijakan waktu suatu karya sastra.
Membaca sebuah novel, sama halnya seperti membawa diri masuk pada
peristiwa yang ada dalam cerita. Pembaca akan bertemu dengan lokasi tertentu
seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan dan lainnya sesuai tempat
kejadian cerita. Latar tersebut secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu yang
dpat dilihat dan dirasakan kehadirannya, maka disebutlah latar tersebut sebagai
latar fisik. Penunjukkan latar fisik dalam teks fiksi dapat dilakukan dengan
17
berbagai cara tergantung kreativitas pengarang. Selain itu terdapat pula latar yang
berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku pada
masyarakat setempat, maka latar yang seperti itu disebut dengan latar spiritual.
Sesuai jenis dan unsurnya, menurut Nurgiyantoro (2013:314-322), secara umum
latar terbagi menjadi tiga unsur pokok yaitu, latar tempat, waktu dan sosial-
budaya.
2.1.3 Hubungan Tokoh dengan Psikologi Sosial
Manusia adalah mahluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan
potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran,
pertumbuhan, perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait dan
berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik
baik itu positif maupun negatif. Membahas tentang manusia berarti membahas
tentang kehidupan sosial dan budayanya, tentang tatanan nilai-nilai, peradaban,
kebudayaan, lingkungan, sumber alam, dan segala aspek yang menyangkut
manusia dan lingkungannya secara menyeluruh. Begitupun hal yang berkaitan
tentang bagaimana manusia berhubungan dengan dirinya sendiri, mengontrol
emosi dan berperilaku baik. Apa yang dilakukan manusia dalam kesehariannya
terkadang di refleksikan dalam sebuah cerita fiksi sebagai amanat bagi kehidupan.
Seperti yang diungkapkan Teew (2013:189), di dalam karya sastra ada
unsur rekayasa yang berdasar pada apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Karya sastra adalah karya fiktif, karena semua isinya dibuat atas dasar pemikiran
pengarang atau sastrawan. Pencapaian cerita dilakukan dengan menghadirkan
tokoh. Tokoh dalam cerita fiksi diibaratkan sebagai manusia di kehidupan nyata.
Oleh sebab itu, gejala psikologis maupun sosiologis yang dialami tokoh pada
18
sebuah cerita terkadang sama seperti di kehidupan nyata. Tokoh berbaur dan
menjalankan alur cerita sesuai kesatuan isi yang telah dibuat pengarang.
Bagaimana tokoh berinteraksi dengan lingkungan (keadaan sosial) maupun
bagaimana tokoh terpengaruh karena lingkungan yang membuat dirinya menjadi
seseorang yang tidak baik (psikologis).
Penokohan memiliki kaitan langsung, baik dengan peneliti maupun
pembaca karya sastra, penokohan sebagai wujud dari pribadi. Saat menciptakan
suatu cerita, pengarang membuat penokohan dengan ciri khas yang paling mudah
diidentifikasi, dilukiskan dan dipahami khususnya melalui nama. Melalui
penokohan, dimungkinkan terwujud pesan-pesan, pandangan dunia, dan berbagai
bentuk ideologi yang lain. Dari permasalahan psikologis maupun sosiologis
tokoh, hal tersebut saling menimbulkan timbal balik. Masalah-masalah
kemasyarakatan dan kejiwaan, khususnya psikologi sosial merupakan dasar
peermasalahan dalam rangka mengembangkan pendekatan baru yang di dalamnya
terjalin keseluruhan hidup manusia (Ratna, 2011:17).
2.1.4 Ruang Lingkup Psikologi Sosial
Pada tahun 1900-an, ada tiga perspektif utama yang dikembangkan oleh
para psikolog, masing-masing warisan tersebut meninggalkan warisan penting
pada psikolog sosial kotemporer. Tiga perspektif tersebut adalah teori
psikoanalisis dari Sigmund Freud, behaviorisme dari Pavlov dan Skinner serta
psikologi Gestalt. Para tokoh perintis tersebut mendasarkan teorinya pada ilmu
alam. Banyak dari teori tersebut yang kemudian diaplikasikan untuk analisis
perilaku sosial. Warisan psikologi Gestalt yang semakin mendukung dengan
kajian kognisis sosial yang membahas tentang bagaimana seseorang memandang
19
dan memahami dunia sosialnya. Psikologi sosial menjadi satu ilmu yang mandiri
baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal
yaitu "Introduction to Social Psychology" ditulis oleh William McDougall`
Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam
sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang
menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada
kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku
manusia. (Taylor dkk., 2009:3-6).
Perspektif mikro psikologi sosial terdiri dari beberapa hal yang di jelaskan
oleh David O. Sears maupun Myers. Menurut (Myers, 2012:4), psikologi sosial
secara umum mempelajari tiga hal yaitu pikiran sosial, pengaruh sosial dan
hubungan sosial. Pikiran sosial membahas tentang cara kita mempersipsikan
orang lain, apa yang kita yakini, penilaian yang kita buat dan sikap. Pengaruh
sosial membahas tentang budaya, konformitas, persuasi dan kelompok-kelompok
manusia. Terakhir, hubungan sosial membahas tentang prasangka, agresi (perilaku
antisosial) dan bantuan (perilaku prososial). Interaksi sosial selalu menjadi awal
munculnya pikiran sosial, pengaruh sosial dan hubungan sosial. Hadirnya
interaksi sosial selalu mengikuti setiap peristiwa sosial yang dilakukan seseorang.
Hubungan insani merupakan hubungan yang terjadi antar individu setelah mereka
mengalami interaksi sosial, hubungan ini dilandasi rasa cinta, kasih dan sayang.
Banyak sekali bidang ilmu lain yang dikaitkan dengan sastra. Hal tersebut
tentu menambah referensi yang ada dalam dunia keilmuan. Seperti halnya sastra
dan psikologi maupun sastra dan masyarakat (sosiologi sastra). Wellek dan
Warren (2013:81-99) memaparkan bahwa psikologi dalam sastra memiliki empat
20
lingkup kajian. Lingkup kajian tersebut yaitu psikologi pengarang, proses kreatif,
psikologi yang diterapakan dalam karya sastra dan psikologi pembaca, sedangkan
sosiologi sastra adalah suatu karya fiksi yang dianggap memiliki sifat sosial
karena merupakan konvensi dan norma masyarakat yang menyajikan proses
kehidupan.
Gambar 2.1 Peta Konsep Pembagian Psikologi Sosial
Konsep Myers tersebut didukung oleh beberapa profesor Universitas
California (Taylor, Peplau, dan Sears: 2009), bahwa dalam psikologi sosial, lebih
fokus pada interaksi antar-orang, termasuk dalam hubungan sosial dan cinta
kasih, persahabatan dan altruisme, prasangka dan agresi, serta konforitas atau
kepatuhan dan kekuasaan. Psikologi sosial juga memelajari bagaimana orang
bertindak dalam kelompok dan bagaimana kelompok tersebut memengaruhi
anggotanya.
21
Menurut Zahro (2013:28), psikologi sosial dapat dihubungkan dalam sebuah
karya sastra karena peran psikologi sosial dalam masyarakat yang sesungguhnya
tidak dapat dipisahkan. Seperti halnya hubungan karya sastra dengan peristiwa
kesejarahan, antara perilaku psikologis dengan kehidupan sosial masyarakat juga
memiliki hubungan timbal balik. Apresiasi tentang bagaimana kehidupan
psikologi tokoh juga beroriantasi pada pengaruh apa perilaku yang tokoh lakukan
berkaitan dengan kehidupan sosial yang ia jalani di lingkungannya. Ketika apa
yang hadir dalam sebuah cerita fiksi adalah cerminan kehidupan masyarakat,
maka cerita yang hadir pastilah tidak jauh berbeda dengan apa yang masyarakat
lakukan.
Perilaku sosial seseorang selalu bervariasi. Hal itu berarti, apa yang
dikerjakan tidak hanya berdasar pada situasi objektif, tetapi juga bagaimana
seseorang tersebut menafsirkannya. Psikologi sosial membahas konsep terkecil
ketika seseorang melakukan perilaku sosialnya yaitu ‘diri’. Konsep diri tersebut
nengarahkan seseorang untuk berpikir sosial, sehingga memunculkan sikap-sikap
yang hadir di masyarakat. Akan tetapi, dalam hal ini pengaruh sosial juga
berimbas pada tingkah laku seseorang. Bagimana orang tersebut menghadapi
tekanan lingkungan dan kelompok masyarakat, yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada hubungan sosial, antara dirinya dengan masyarakat sekitar.
(Myers, 2012:4).
Manusia bertingkah laku sesuai motif dan sikap untuk memunculkan sebuah
interaksi sosial, dalam menjalin hubungan sosialnya. Gerungan (2004:140)
menjelasakan bahwa, motif dan sikap selalu berhubungan. Sikap sosial yang hadir
pada diri seseorang mencerminkan bagaimana lingkungan dan keluarga
22
berpengaruh dalam perilaku manusia. Dengan adanya sikap atau attitude
seseorang yang berbeda-beda, pola pikir seseorang pun berbeda. Hal tersebut
menjadikan manusia tidak sepenuhnya nyaman dengan semua orang di
lingkungannya. Kecenderungan memikirkan perbedaan yang hadir di setiap
individu inilah yang memunculkan prasangka sosial.
Taylor dkk. (2009:209), mengungkapkn jika prasangka dapat menjadi salah
satu aspek paling berpengaruh terhadap perilaku manusia, dan sering
menimbulkan tindakan kekerasan yang mengerikan. Seperti cerpen karya
Sambene Osmane “A Black-Skinned Girl” yang menceritakan penindasan ras kulit
putih Eropa terhadap ras kulit hitam Afrika. Dari hal tersebut, maka dapat
diketahui jika karya sastra juga sarat akan kasus psikologi sosial. Interaksi sosial
dan hubungan sosial yang dilakukan tokoh adalah wujud perwakilan tentang apa
yang ada di lingkungan seitar.
Hal yang dilakukan oleh tokoh tidak lepas dari berbagai interaksi sosial
yang digambarkan dalam cerita. Meskipun dalam penerapannya, mungkin saja
tokoh tersebut mengalami ketidaksesuaian ketika berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya. Adanya tekanan dari lingkungan sekitar bisa menjadi salah satu faktor
yang membuat tokoh menjadi pribadi yang tertutup, sehingga motif dan sikap
yang tokoh tersebut terapkan membuat dirinya pemurung, cenderung mengarah
pada perilaku antisosial. Lain halnya ketika tokoh adalah pribadi yang terbuka,
maka kecenderungan sikap yang dimunculkan adalah sikap prososial dan
menganggap setiap tekanan yang ada pada dirinya adalah sesuatu yang memang
harus dihadapi tanpa rasa malu ataupun gelisah.. Dapat dilihat bahwa pikiran
23
sosial individu dan bagaimana ia bersikap, secara tidak langsung berpengaruh
pada interaksi sosial yang ditimbulkan tokoh.
2.1.5 Keterkaitan Psikologi Sosial dengan Sastra
Psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari pengaruh situasi-situasi
indiividu, khususnya bagaimana kita memandang dan mempengaruhi diri sendiri
maupun orang lain. Dapat dikatakan, bahwa psikologi sosial adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana orang berpikir, memengaruhi, dan saling berhubungan
satu sama lain. Ada tiga hal pokok yang diulas dalam psikologi sosial, yaitu
pikiran sosial, pengaruh sosial, dan hubungan sosial (Myers, 2012:4).
Atkinson dan Atkinson, (2010:351) menjelaskan bahwa psikologi sosial
mendasarkan pendekatannya pada topik tentang dua pengamatan fundamental
mengenai perilaku manusia. Pertama, perilaku merupakan fungsi dari orang dan
situsasinya. Jadi, psikologi sosial berfokus pada telaah tentang pengaruh sosial
yang memunculkan berbagai perilaku terhadap individu. Kedua, hal yang
mendasari psikologi sosial adalah jika orang menentukan situasi sebagai hal yang
nyata, mereka akan bersifat nyata terhadap akibatnya. Hal tersebut berarti bahwa
orang tidak hanya akan bereaksi pada ciri objek suatu situasi, tetapi juga pada
penafsiran objektifnya sendiri. Itulah yang menyebabkan mengapa orang yang
berbeda tidak berperilaku sama dalam situasi objektif yang serupa. Hal yang
membedakan psikologi sosial dengan disiplin lainnya terletak pada
pendekatannya. Pendekatan psikologi sosial berbeda dengan disiplin lain yang
memelajari perilaku sosial dari perspektif kemasyarakatan yang luas.
Menurut Mercer dan Clayton, (2012:158) ketika membahas suatu perilaku
manusia dalam studi psikologi sosial, maka yang kita lihat adalah kita menulis
24
berdasarkan perspektif psikologi sosial, bukan biologi seperti yang ada pada
psikologi kepribadian. Psikologi sosial terletak diperbatasan antara psikologi dan
sosiologi, namun dibandingkan dengan ilmu sosiologi, psikologi sosial fokus pada
individu dan lebih banyak menggunakan eksperimentasi. Jika dibandingkan
dengan psikologi kepribadian, psikologi sosial tidak memfokuskan diri pada
perbedaan individu dan justru lebih berfokus pada bagaimana individu secara
umum, memandang dan mempengaruhi satu sama lain.
Uraian tersebut secara garis besar menjelaskan tentang psikologi sosial yang
secara murni diterapkan dalam kehidupan nyata. Dalam penelitian sastra, ilmu
psikologi maupun psikologi sosial dapat diterapkan dalam karya fiksi. Meskipun
apa yang ada dalam sebuah karya tidak mewakili bentuk psikologi sosial secara ,
akan tetapi dalam sebuah karya sastra terwujud suatu kompleksitas cerita yang
tercermin dari kehidupan nyata. Sastra pada dasarnya akan mengungkapkan
kejadian melalui fakta dari mental penciptanya. Karya sastra yang dijadikan
subjek penelitian perlu diberlakukan secara manusiawi, karena karya sastra
bukanlah barang mati yang lumpuh, melainkan penuh dengan daya imajinasi yang
hidup. Oleh sebab itu penggunaan metode dan teori yang tepat menghasilkan
penelitian yang tidak bias data (Endraswara, 2013:22).
Jabrohim (2014:185), menjelaskan bahwa perhatian pada konsumen sastra
berangkat dari sisi komunikasi dari sastra. Pengarang membawakan karya dengan
cara mereka masing-masing. Saat ini sastra memiliki ciri khas yang bebas.
Analisis dan berbgai kajian tentang sastra pun semakin banyak. Banyak studi
sastra yang dikaitkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Humaniora
mencakup berbagai subjek yang sangat luas terkait kajian kebudayaan manusia,
25
misalnya arkeologi, kajian keagamaan (teologi), sejarah, filosofi, sastra dan
bahasa. Ilmu tersebut terkadang juga digabungkan dengan ilmu diluar disiplin
ilmu terkait misalnya psikologi dan filsafat.
Endraswara (dalam Zahro, 2013:26-27), menjelaskan jika seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan, konsusmsi masyarakat tentang sastra juga
semakin bertambah. Semakin hari banyak sekali pengarang dan sastrawan muda
yang bermunculan. Cara kerja psikologi sosial sama dengan sosiopsikologis.
Psikologi sosial akan lebih mewadahi muatan sastra secara komperhensip.
Hal tersebut diperkuat dengan penjelasan Aminuddin (2013:46) bahwa
pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami
latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun
tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya atau
zamannya pada saat cipta sastra diwujudkan. Yang menjadi pembeda adalah jika
dalam sosiopsikologis yang dominan dikaji adalah aspek sosialnya, akan tetapi
jika psikologi sosial yang akan dominan dibahasa adalah aspek psikologi yang
dipicu atau memicu terjadinya keadaan sosial.
Suatu teori psikologi sosial yang diakitkan dengan sastra, maka jelas sekali
bahwa tumpuan utama tetaplah karya sastra. Sebuah karya sastra menurut
pandangan psikologi sosial hakikatnya adalah sebuah naskah tertulis yang
mengandung letupan jiwa. Psikologi sosial juga membahas mengenai kegiatan
manusia dalam hubungannya dengan situasi situasi soasial yang akan berpengaruh
pada kondisi individu.
26
2.1.6 Hubungan Sosial
Hubungan sosial antar manusia dihubungkan melalui komunikasi.
Terjadinya hubungan antar manusia disebabkan karena memang manusia
diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sebatang kara. Demi
pemenuhan dorongan yang timbul pada dirinya, manusia merasa perlu dan harus
berhubungan dengan orang lain. Dorongantersebut terjadi sebagai tanda untuk
melangsungkan hidupnya, mempertahankan dirinya dan meneruskan
keturunannya.
Hubungan sosial memang tidak dapat dipisahkan dari hadirnya teori
psikologi sosial. Hubungan sosial adalah suatu tindakan dimana manusia
berproses untuk menjalin sebuah perilaku sosial dilingkungannya. Dalam
menjalin hubungan antar manusia, seseorang sering diliputi rasa tidak suka,
bimbang, bahkan suka dan disukai. Tak jarang juga terbentuk rasa dibenci
maupun membenci karena kelakuannya yang dirasa kurang atau tidak pantas. Hal
tersebut berhubungan dengan fakta sosial bahwa manusia adalah adalah makhluk
sosial yang tidak selamanya melakukan berbagai hal secara individual. Walaupun
terkadang manusia juga sering mendapatkan konflik ketika menjalin sebuah
hubungan sosial. Status seseorang dalam sebuah hubungan sosial dipengaruhi oleh
karakteristik status yang luas, seperti usia, gender, etnis dan kekyaan (Taylor,
2009:381).
Freud, dalam Gerungan (2004:26) menjelaskan, pola hubungan sosial yang
baik pada masa anak-anak sangat besar artinya bagi perkembangan hubungan
sosial di masa dewasa. Hal tersebut dikarenakan kehidupan sosial yang hadir akan
terjalin seterusnya. Segi sosial manusia itu selalu menjadi hal utama yang
27
dipelajari dalam psikologi sosial, tetapi terkadang sulit dipahami dengan
sewajarnya apabila dalam mempelajarinya, seseorang hanya terfokus pada aspek
sosialnya tanpa mengungkap segi individual pribadi manusia. Super-ego pribadi
manusia sudah mulai dibentuk ketika manusia berumur 5-6 tahun, dan
perkembangan super-ego tersebut berlangsung secara terus-menerus selama ia
hidup. Super-ego terdiri dari hati nurani, norma-norma, dan cita-cita pribadi yang
terbentuk ketika manusia menjalin hubungan sosialnya. Manusia tidak akan
sanggup hidup seorang diri tanpa lingkungan psikis dan rohaniyahnya walaupun
secara biologis-fisiologis, ia mungkin dapat mempertahankan dirinya pada tingkat
kehidupan vegetatif. Oleh sebab itu, dalam hubungan ada dua proses hubungan
sosial yang dialami oleh individu, yaitu interaksi sosial (baik antar individu,
maupun antara individu dengan kelompok), serta hubungan insani yang mengarah
pada ketertarikan dan keintiman.
Durkheim (dalam Dirdjosisworo, 1991) menjelaskan, adanya hubungan
sosial antar manusia tak lepas dari fakta sosial yang ada. Fakta sosial dianggap
umum dan normal bila terjadi pada tipe sosial masyarakat yang sama. Dengan
demikian, perilaku yang hadir di masyarakat, terkadang dianggap umum karena
menjadi hal yang biasa terjadi. Hal tersebut membuntuk budaya yang menjadi hal
wajar bagi masyarakat.
Disimpulkan bahwa hubungan sosial yang hadir di dalam masyarakat
berpengaruh terhadap perilaku setiap individu dan bagaimana tindakan individu
untuk menyikapinya. Dalam suatu hubungan sosial terdapat dua hubungan yang
saling berpengaruh yaitu interaksi sosial dan hubungan insani atau hubungan
personal.
28
a) Interaksi Sosial
Adanya interaksi antar individu maupun individu dengan kelompok dalam
masyarakat. Dapat muncul dalam bentuk komunikasi serta interaksi fisik
(menolong) dan ditolong. Menurut Surakhmad (1980:198), salah satu
keberhasilan seseorang dalam menjalin hubungan sosialnya adalah dengan
mengadakan interaksi sosial yang sehat denngan berbagai kelompok seusianya,
serta memiliki sikap sosial yang baik dan berkenan untuk berpartisipasi
berpartisipasi bersama dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Interaksi sosial juga merupakan langkah awal seseorang bercengkrama
dengan kelompok sosialnya. Adanya kelompok sosial memudahkan seseorang
untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Proses pembentukan pendapat
umum pada suatu kelompok, dapat melalui diskusi, kesepakatan dan tingkah laku.
Kesepakatan yang diambil akan menghasilkan tingkah laku anggota kelompok
secara seragam dan bersama. Kelompok sosial yang besar akan menghasilkan
suatu organisasi sosial sesuai kesepakatan keseluruhan anggota. Tanpa organisasi
sosial yang jelas, kelompok sosial tersebut akan menjadi kacau dan tidak
berkembang (Santoso, 2010:20-21).
Hadirnya interaksi sosial yang baik, maka akan menghasilkan situasi
kebersamaan yang baik pula. Situasi kebersamaan adalah suatu situasi di mana
berkumpulnya sejumlah individu dengan pembicaraan yang sepaham. Selain itu,
pola-pola interaksi sosial dalam kelompok dibedakan dalam tugas dan perasaan
sosial. Kedua pola tersebut pasti terjadi dalam kelompok sosial maupun organisasi
social. Dengan mengungkapkan bahwa bila seseorang berhasil dalam memelihara
keteraturan fungsi-fungsi interaksinya dengan lingkungan, maka perubahan
29
ekstern baginya hanyalah tak berarti apa-apa. Hal tersebut membuat seseorang
menjadi lebih terbuka namun tidak gampang terpengaruh oleh perubahan yang
hadir di lingkungannya .
b) Hubungan Insani (Ketertarikan dan Keintiman)
Kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial adalah bagian dari evolusi
manusia. Ikatan romantis orang dewasa merujuk pada rasa suka, merasa sedih
terpisah, dan berusaha mejalin kedekatan untuk menghabiskan waktu bersama.
Rasa suka timbul karena banyaknya interaksi yang dilakukan. Pertemuan yang
berulang-ulang dengan seseorang akan meningkatkan rasa suka suka kepada orang
lain.
Seperti yang dijelaskan oleh Maslow (dalam Minderop, 2011:49), manusia
memiliki beberapa tingkatan kebutuhan yang harus terpenuhi, salah satunya
adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Manusia butuh dicintai yang pada
akhirnya butuh menyatakan cinta. Cinta yang berujung kepada rasa sayang dan
ingin terikat. Realisasinya adalah mencakup kesedian untuk memberi dan
menerima. Untuk memperoleh keserasian dalam hidup, manusia harus mampu
merealisasikan rasa cinta dan kasih sayangnya. Apabila manusia hidup dalam
tuntutan dan ketidakselarasan dengan orang yang tidak dicintainya maka akan
menimbulkan frustasi yang parah. Hubungan insani adalah yang berujung pada
rasa suka, cinta, kasih dan sayang pada lawan jenis. Hal ini menimbulkan
ketertarikan dan keintiman yang terjadi pada seseorang.
Ketertarikan dalam hal ini adalah bagaimana seseorang menyukai dan
mencintai orang lain. Seperti yang Aristoteles katakan, manusia sesungguhnya
adalah binatang sosial. Manusia perlu memiliki dan dimiliki. Gerungan (2004:6)
30
menjelaskan bahwa menurut Aristoteles, manusia memiliki tingkatan jiwa yang
sesuai kemampuan yang ada dalam diri manusia. Manusia selalu ingat atas apa
yang lihat dan rasakan ketika apa yang ia hadapi adalah pengalaman berharga.
Myers (2012:120-121) mengungkap bahwa tidak semua orang akan berakhir
bahagia, dalam menjalin suatu hubungan,. Kebahagiaan tersebut rata-rata hanya
hadir di awal hubungan. Adanya perilaku ‘mengabaikan’ merupakan hal yang
selalu terjadi. Kedekatan adalah sebauh tanda awal sebuah pertemanan. Dari hal
tersebut kemudian muncullah rasa nyaman. Para sosiolog banyak yang meneliti
bahwa kebanyakan orang-orang menikahi orang-orang yang tinggal dalam
lingkungan yang sama dengan mereka, atau bekerja di bidang yang sama dengan
mereka. Perkawinan merupakan komitmen yang menjadi tujuan utama rasa cinta,
kasih dan sayang. Adanya perkawinan membuat seseorang menjadi lebih dekat
dengan pasangannya. Menurut Pujileksono (2009:32), masa perkawinan
merupakan masa peralihan seseorang. Perkawinan sebagai bagian budaya yang
universal dapat ditemukan diseluruh dunia. Perkawinan merupakan kontak yang
syah dan resmi antara seorang perempuan dan laki-laki.
Adanya studi tentang cinta dikemukakan oleh Mercer dan Clayton
(2013:183), yang menganggap studi tentang cinta masih relatif baru, jadi terdapat
banyak bukti yang tidak konsisten bagi banyak gaya cinta yang diajukan secara
tersendiri. Kajian Berscheid mengajukan dua tipe cinta yaitu: cinta welas asih dan
cinta kelekatan orang dewasa. Perlu diperhatikan pula bahwa gaya cinta tersebut
tidak dianggap sebagai sifat yang stabil, namun merupakan ideologi yang
bergantung pada konteks. Hubungan cinta romantik biasanya terjalin dengan
adanya cinta dari sebuah pertemanan.
31
2.1.7 Prasangka Sosial
Prasangka adalah sikap. Sikap adalah kombinasi yang jelas dari perasaan,
kecenderungan bertindak, dan keyakinan. Sikap tersebut selalu berdampingan
dengan motif sosial seseorang, dan keduanya adalah suatu hal yang akan
menimbulkan prasangka sosial. Orang yang memiliki prasangka mungkin akan
membenci seseorang yang berbeda dengan dirinya dan berperilaku secara
diskriminatif. Evaluasi negatif tersebut yang menandai prasangka didukung oleh
keyakinan negatif. Keyakinan negatif tersebut kemudian akan berkembang
menjadi diskriminasi sosial. Menurut Putra dan Pitaloka (2012:7-8), hal yang
mendasari prasangka dapat disimpulkan sebagai upaya atau keinginan
merendahakan individu atau kelompok lain. Dalam hal ini, ada empat pemahaman
penting yang dapat dijadikan karakteristik prasangka, yaitu: (1) orientasi yang
bersifat negatif terhadap suatu anggota kelompok, (2) buruk dan tidak mendasar,
(3) irasional dan banyak kekliruan atau kesalahan dan (4) prasangka yang bersifat
rigrid atau sulit berubah.
Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang bercorak pada tindakan
diskriminatif terhadap segolongan manusia, tanpa terdapat alasan-alasan yang
objektif, menunjukkan adanya prasangka sosial pada seseorang yang dituduhkan.
Sesungguhnya, tidakkan diskriminatif yang berdasar pada prasangka sosial
merugikan seseorang itu sendiri, sebab dengan adanya prasangka sosial tersebut,
akan menghambat tingkah laku dan potensi manusia yang dikenai prasangka.
Prasangka sosial terjadi sebagai akibat dari tingkah laku seseorang yang dianggap
tidak sesuai dengan kebanyakan orang dalam suatu lingkungan (Gerungan,
2004:167).
32
Putra dan Pitaloka (2012:15-37) juga menjelaskan bahwa prasangka dapat
muncul berbagai bentuk. Secara sederhana target prasangka terdapat dua bentuk
yaitu (1) prasangka secara simbolis dan (2) prasangka secara nyata. Prasangka
dalam bentuk simbolis adalah prasangka yang sulit sekali mendapatkan gambaran
nyata atau gambaran riil. Contohnya, seperti si A yang berideologi PKI, tetapi ia
menyembunyikan ideologinya agar orang lain berperilaku biasa-biasa saja
terhadap dirinya dan tidak mendiskrimaninya. Prasangka yang kedua adalah
prasangka dalam bentuk nyata yaitu prasangka yang secara rill terlihat dan
menonjol, contohnya adalah prasangka terhadap etnis Tionghoa, orang tua, orang
gemuk, gender, dan warna kulit. Jika keterangan yang diberikan oleh Pramoedya
Ananta Toer dalam novel Hoakiau di Indonesia, sangat jelas betapa dahulu para
pendatang dari Tionghoa sangat diterima dengan baik di tanah Jawa, bahkan
mereka melebur dan masuk ke pelosok-pelosok tanah Jawa. Semakin
berkembangnya usaha yang dibangun orang Tionghoa semakin mengangkat
ekonomi masyarakat orang Tionghoa. Kondisi ini oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia dianggap mematikan perekonomian lokal. Hingga saat ini, masyarakat
Indonesia menjadi terbawa keadaan dan menggangaap orang Tionghoa itu pintar
berdagang dan pelit.
David Krech dan Richard S. Cruthfield (dalam Santoso, 2010:53)
menjelaskan, social prejudice was defined as referring to attitudes and beliefs that
serve to place the objects of the attitudes and beliefs at an advantage or
disadvantage (prasangka sosial dibatasi sebagai hubungan antara sikap dan
keyakinan yang menjamin penempatan hal-hal dari sikap keyakinan, pada yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan. Hal tersebut berarti bahwa adanya
33
prasangka bukan hal yang sangat mengguntungkan bagi seseorang, karena pada
dasarnya prasangka yang timbul adalah wujud dari rasa tidak percaya dan tidak
yakin. Apabila prasangka yang muncul tepat sasaran, maka akan menguntungkan
bagi batin seseorang yang berprasangka.
Mercer dan Clayton (2013:102) mengemukakan bahwa komponen kognitif
prasangka adalah stereotip. Stereotip adalah jalan pintas kognitif yang memberi
kita untuk menyederhanakan sekumpulan keyakinan tentang seperti apa orang-
orang dari kelompok tertentu. Efek yang muncul akibat prasangka adalah
timbulnya akibat merugikan bagi individu yang menerimanya. Dengan adanya hal
tersebut, maka individu menjadi sakit hati bahkan hal yang ekstrim adalah ketika
individu memiliki perilaku yang mengarah pada tindakan agresi.
Prasangka selalu megarah pada pandangan negatif terhadapa orang lain. Hal
tersebut terjadi karena adanya kesalahan sosialisasi di awal hubungan. Sebagian
dari penyebab perubahan sosialisasi adalah sasaran dari prasangka yang ikut
berubah dan ketidak cocokan stereotip lama. Jika ketidaktahuan , lantaran
kurangya kontak antar-ras menimbulkan stereotip yang salah, maka kontak yang
lebih banyak akan menambah persepsi positif dan mengurangi prasangka (Taylor
dkk., 2009:244-246).
2.1.8 Perilaku Prososial dan Antisosial
Perilaku prososial adalah perilaku yang merujuk pada tindakan menolong
orang lain. Terdapat berbagai jenis situasi yang dapat mencakup perilaku
prososial, contohnya mulai dari menyelamatkan seseorang dalam situasi darurat
hingga mendonasikan sumbangan dana bagi korban bencana alam. Adanya
perilaku prososial tersebut membuat manusia saling berlomba-lomba untuk
34
mencapai motif kebaikan dan mencapai rasa kebahagiaan dalam dirinya. (Mecer
dan Clayton, 2013:120).
Perilaku prososial selalu mengarah pada tindakan kebaikan yang ditujukan
untuk menjalin rasa kasih sayang antar sesama, sedangkan perilaku antisosial
adalah perilaku yang merujuk pada tindakan menyakiti orang lain. Orang yang
memiliki perilaku antisosial memiliki kecenderungan prasangka negatif. Antara
perilaku prososial dan antisosial terlihat jelas jika kedua perilaku tersebut saling
berlawanan.
Sebenarnya hadirnya perilaku antisosial dan prososial adalah hal yang selalu
dihadapi manusia. Manusia semestinya memiliki keyakinan dalam hal ketuhanan
sehingga mengetahui mana yang baik maupun buruk untuk dirinya, dengan
demikian, ia bisa mengendalikan pengaruh sosial yang ada. Weber (2013:12)
menjelaskan, seberapapun tajamnya pengaruh sosial yang memungkinkan
munculnya perilaku antisosial, akan dapat dinetralkan dengan etika keagamaan
dalam kasus-kasus tertentu dan pengaruh sosial tersebut dapat dikondisikan
melalui sumber-sumber agama yang di dalamnya terdapat maklumat serta
pengarahan hidup yang jelas, sehingga yang dominan muncul adalah perilaku
prososialnya.
Menurut Mercer dan Clayton (2013:121), perilaku prososial akan
memunculakan sifat altruisme. Perilaku altruisme adalah perilaku menolong yang
tidak mementingkan dirinya sendiri dan dimotivasi untuk bermanfaat bagi orang
lain. Sebaliknya, perilaku antisosial akan memunculkan perilaku agresif yang
berkeinginan untuk menyakiti orang lain.
35
2.1.8 Agresi sebagai Perilaku Antisosial
Agresi (aggression) sebagai perilaku fisik atau verbal yang dimaksudkan
untuk menyebabkan kerusakan. Difinisi ini membedakan perilaku merusak yang
tidak disengaja dari agresi seperti kecelakaan yang terjadi begitu saja atau
tabrakan yang terjadi di trotoar. Definisi ini juga memunculkan pengecualian
terhadap tindakan yang mungkin menimbulkan rasa sakit sebagai akibat yang
tidak terhindarkan sebagai efek samping dari membantu orang lain. Perilaku yang
termasuk dalam definisi agresi yaitu menendang dan menampa, mengancam dan
menghina, bahkan bergunjing (gosip) atau menyindir. Definisi tersebut mencakup
pengambilan keputusan selama eksperimen, misalnya eksperimen yang menguji
ambang rasa sakit manusia dengan memberikan sengatan listrik. Perilaku lain
yang termasuk dalam batasan definisi agresi, yaitu menghancurkan barang,
berbohong, dan perilaku lainnya yang memiliki tujuan untuk menyakiti bahkan
membunuh (Myers, 2012: 69).
Freud dalam Stor (1991:81) menjelaskan bahwa adanya agresi biasanya juga
muncul menuju diri sendiri yang mengarah pada dunia luar seseorang, misalnya
tentang kematian. Orang-orang tahu bahwa semua orang akan mati, maka dalam
hal ini kematianlah yang menang. Agresi adalah tindakan yang didorong oleh
keinginan batin. Dengan kata lain, semakin banyak seseorang menghalangi
agresinya terhadap orang lain, maka semakin cenderung dia menghukum dirinya
sendiri. Hal tersebut dikuatkan oleh Dollard, dkk (dalam Putra dan Pitaloka,
2012:34) bahwa agresi terdiri dari berbagai bentuk penyampaian. Prasangka juga
merupakan awal terbentuknya perilaku agresi karena adanya frustasi.
36
Pernyataan Freud tersebut diperkuat dengan adanya teori kebencian oleh
Friedrich Nietzsche yang dijelaskan (dalam Weber, 2013:13), yaitu teori yang
memuliakan moral terhadap sikap murah hati yang memunculkan rasa dendam
terhadap kaum yang berkuasa yang sering memperbudak orang lain. Sikap awal
manusia yang memihak pada penderitaan berubah menjadi dendam karena tidak
mendapatkan ketidakberuntungan. Hal tersebut dapat memicu terjadinya tindakan
agresif manusia.
Tindak agresi selalu dihubungkan dengan perilaku antisosial yang sering
muncul ketika seseorang berniat jahat kepada seseorang yang ia tidak sukai.
Adanya permusuhan juga dapat dikategorikan sebagai tindakan agresif. Myers
(2012:69) menjelaskan bahwa agresi dibagi menjadi dua yaitu, agresi instrumental
dan agresi permusuhan. Agresi instrumental atau instrumental aggression adalah
tindakan agresif yang ditujukan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lain.
Misalnya bom bunuh diri yang dilakukan teroris. Agresi permusuhan atau hostile
aggression adalah tindakan agresif yang didasari rasa marah karena permusuhan
dan dendam. Misalnya membunuh, melukai, merusak dan merugikan. Hadirnya
tindak agresi memungkinkan seseorang tidak bisa mengontrol emosi karena
kemarahannya yang mendalam.
Hude (2006:14) menjelaskan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia dalam
melakukan proses interaksi dengan lingkungannya dipastikan pernah mengalami
saat-saat dimana ia merasa sangat marah, jengkel, muak terhadap perlakuan yang
tidak adil, atau perlakuan yang tidak pada tempatnya. Tidak jarang juga ada yang
sampai berteriak, membanting benda, dan mengamuk. Hal tersebut tidak lain
37
dipicu karena adanya emosi. Jadi agresi dapat diartikan pula sebagai tindakan
yang terjadi karena emosi yang tidak dapat terkontrol dengan baik.