BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Tinjauan ... · justru dipertegas dan diperjelas di...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Tinjauan ... · justru dipertegas dan diperjelas di...
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Tinjauan tentang Pendaftaran Tanah
a. Pengaturan Pendaftaran Tanah
UUPA mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini menjadi
kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak atas tanah.
Ketentuan tentang kewajiban bagi pemerintah untuk
menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah di
adakan pendaftaran tanah seluruh Wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
(2) Pendaftaran tersebut dalam Pasal 1 ayat 1 meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan, pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak,yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat
keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas
sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraanya,
menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1
diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya tersebut.
13
Ketentuan lebih lanjut pendaftaran tanah menurut Pasal 19
ayat 1 UUPA diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah yang diperintahkan disini sudah dibuat, semula adalah
Peraturan Pemerintah (PP) No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah, kemudian Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 dinyatakan
tidak berlaku lagi dengan disahkan Peraturan Pemerintah No.24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Tidak berlakunya lagi
Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
termuat dalam Pasal 65 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, yaitu “Dengan berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan tidak berlaku lagi”. Peraturan
Pemerintah No.10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah No.24
Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran
tanah dalam rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada
akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa Buku Tanah dan
sertifikat tanah yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 mempunyai kedudukan yang
strategis dan menentukan, bukan hanya sekedar sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 19 UUPA tetapi lebih dari itu Peraturan Pemerintah
No.24 Tahun 1997 menjadi tulang punggung yang mendukung
berjalannya administrasi pertanahan sebagai salah satu program Catur
Tertib Pertanahan dan Hukum Pertanahan di Indonesia.1
Prinsip-prinsip yang terdapat pada PP No.10 Tahun 1961
justru dipertegas dan diperjelas di dalam PP No.24 Tahun 1997.
Penegasan yang diatur dalam PP No.24 Tahun 1997 merupakan upaya
penyempurnaan terhadap peraturan yang ada sekaligus penyesuaian
1 Arie S Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah , Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia:Jakarta, 2005, hl.81
14
terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat sebagaimana prinsip-
prinsip yang telah diamanatkan oleh UUPA. Ketentuan baru
pendaftaran tanah dimaksud secara substansial tetap menampung
konsepsi-konsepsi Hukum Adat yang hidup dan berakar dalam
masyarakat, sehingga dengan demikian memperkuat kerangka tujuan
UUPA yaitu untuk menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional
yang memang didasarkan pada Hukum Adat2.
b. Pengertian, Asas, Tujuan, dan Manfaat Pendaftaran Tanah
Menurut A.P. Parlindungan, Pendaftaran tanah berasal dari
kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk
suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai, dan
kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah.
Kata ini berasal dari bahasa latin Capistratum yang berarti suatu
register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi
(Capotatio Terrens). Dalam arti yang tegas, Cadastre adalah record
pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan
untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, Cadastre
merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi
dari tersebut dan juga sebagai continuous recording (rekaman yang
berkesinambungan) dari hak atas tanah.3
Kemudian Jaap Zevenbergen mengartikan pendaftaran tanah
sebagai land registration and cadastre,
“Land registration is a procedd of official recording of rights
in land through deeds or title (on properties). It means that
there is an official record (the land register) of rights on land
or of deeds concerning changes in the legal situation of
defined units of land. It givesan answer to the question
“who” and “how. Cadastre is a methodically arranged
2 Mhd. Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Op.cit, 2008, hlm.15
3 A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju:Bandung, 1999, hlm 18-19
15
public inventory of data concerning properties within a
certain country or district, based on a survey of their
boundaries. Such properties are systematically identified by
means of some separate designation. The outlines or
boundaries of the property and the parcel identifier are
normally shown on large scale maps which, together with
registers, may show for each separate property the nature,
size, value and legal rights associated with the parcel. It
gives an answer to the questions “where” and “how
much”.Cadastre is a methodically arranged public inventory
of data concerning properties within a certain country or
district, based on a survey of their boundaries. Such
properties are systematically identified by means of some
separate designation. The outlines or boundaries of the
property and the parcel identifier are normally shown on
large scale maps which, together with registers, may show
for each separate property the nature, size, value and legal
rights associated with the parcel. It gives an answer to the
questions “where” and “how much”.4
Pengertian pendaftaran tanah baru dimuat dalam Pasal 1
angka 1 PP No.24 Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan
dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk
peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
4 Jaap Zevenbergen, “A SistemApproach to Land Registration and Cadastre”, Nordic Journal of
Surveying and Real Estate Research , Vol.1, 2004
16
Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam
pendaftaran tanah dikenal 2 macam asas, yaitu:
1) Asas Specialiteit artinya pelaksanaan pendaftaran tanah
itu diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-
undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut
masalah pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran
peralihannya. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah
dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak atas
tanah, yaitu memberikan data fisik yang jelas mengenai
luas tanah, letak, dan batas-batas tanah.
2) Asas Openbaarheid (Asas Publisitas) artinya asas ini
memberikan data yuridis tentang siapa yang menjadi
subjek haknya, apa nama hak atas tanah, serta bagaimana
terjadinya peralihan dan pembebanannya. Data ini
sifatnya terbuka untuk umum, artinya setiap orang
berhak melihatnya.5
Dalam Pasal 2 PP No.24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa
pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas:
1) Asas Sederhana : Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-
ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah
dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama para pemegang hak atas tanah.
2) Asas Aman : Asas ini dimaksudkan untuk menunjukan
bahwa pendaftaran tanah perlu diseenggarakan secara teliti
dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan
kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu
sendiri.
3) Asas Terjangkau : Asas ini dimaksudkan keterjangkauan
bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan
5 Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Karunika-Universitas Terbuka: Jakarta,
1988, hal.99
17
memerhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan
ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau
oleh pihak yang memerlukan.
4) Asas Mutakhir : Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang
memadai dalam pelaksanaanya dan kesinambungan dalam
pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus
menunjukan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan
yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut
dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus
dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di
Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di
lapangan.
5) Asas Terbuka : Asas ini dimaksudkan agar masyarakat
dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai
data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tujuan pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4
PP No.24 Tahun 1997, adalah:
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan. Tujuan memberikan
jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama
dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan
oleh Pasal 19 UUPA. Maka memperoleh sertifikat bukan
18
sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang
hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang.6
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah
dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah
terdaftar. Dengan terselenggaranya pendaftaran tanah
juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu pusat
informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak
yang berkepentingan termasuk pemerintah dengan
mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah
terdaftar.
3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Program pemerintah di bidang pertanahan dikenal
dengan Catur Tertib Petanahan, yaitu Tertib Hukum
Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib
Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan
Kelestrian Lingkungan Hidup. Untuk mewujudkan
Tertib Administrasi Pertanahan dilakukan dengan
menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat
Rechts Cadaster. Terselenggaranya pendaftaran tanah
secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib
administrasi di bidang pertanahan. Untuk mewujudkan
tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan
satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan
6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaanya, Djambatan: Jakarta, 2003, hal.475
19
hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun wajib didaftar.
Menurut David S. Jones, tujuan dari pendaftaran tanah :
“An important aspect of good governance is an
effective sistem of land administration. A central
component of this is the comprehensive registration
of property title by the state (sometimes called land
titling). Registration has several benefits fo both the
land houlder and the state. It clarifies the ownership
or tenurial interest of the land holder, and provides
a legal safeguard of that interest, so guaranteeing
him/ her security of tenure”.7
Benitto Arrunada dan Nuno Garoupa juga berpendapat:
“The functioning of titling systems in land holds
important consequences for the economy.
Investments in land are affected by the security of
property rights. Furthermore, land is relatively
unmovable so it provides good collateral. Well
functioning titling systems therefore promote
investment and reduce the transaction cost of credit.
This was well understood by reformers in the 19th
century, when the transition from a system of
privacy of property rights to one of publicity, either
of deeds or rights, was hotly discussed”.8
7David S. Jones,“Land Registration and Administrative Reform Southeast Asian States: Progress
and Constaints”.International Public Managemen t Review. Electronic Journal at
http://www.ipmr.net, Vol. 11, 2010. 8 Benitto Arrunada dan Nuno Garoupa, “The Choice of Titling System in Land”, Journal of Law
and Economics, Vol.48 No.2, 2005.
20
Pihak-pihak yang memperoleh manfaat dengan
diselenggarakan pendaftaran tanah, adalah:
1) Manfaat bagi pemegang hak:
a) Memberikan rasa aman;
b) Dapat mengetahui dengan jelas data fisik dan data
yuridisnya;
c) Memudahkan dalam pelaksaan peralihan hak;
d) Harga menjadi lebih tinggi;
f) Dapat dijadikan jaminan utang denga dibebani Hak
Tanggungan;
g) Penetapan Pajak dan Bumi Bangunan (PBB) tidak
mudah keliru.
2) Manfaat bagi Pemerintah:
a) Akad terwujud tertib administrasi pertanahan sebagai
salah satu program Catur Tertib Pertanahan;
b) Dapat memperlancar kegiatan Pemerintahan yang
berkaitan dengan tanah dalam pembangunan;
c) Dapat mengurangi sengketa di bidang pertanahan,
misalnya sengketa batas-batas tanah, pendudukan tanah
secara liar.
3) Manfaat bagi calon pembeli atau kreditor:
Bagi calon pembeli atau kreditor dapat dengan mudah
memperoleh keterangan yang jelas mengenai data fisik
dan data yuridis tanah yang akan menjadi objek perbuatan
hukum mengenai tanah. 9
c. Objek Pendaftaran Tanah
Menurut Pasal 9 PP No.24 Tahun 1997, objek pendaftaran
tanah adalah sebagai berikut:
1) Hak Milik : adalah hak turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
9 Urip Santoso, Opcit, hal.21
21
mengingat ketentuan dalam Pasal 6 (Pasal 20 Ayat (1)
UUPA). Yang dapat memiliki Hak Milik adalah Warga
Negara Indonesia dan Bank Pemerintah atau badan
keagamaan dan badan sosial.
2) Hak Guna Usaha: adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu
paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling 25
tahun guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan (Pasal 28 Ayat (1) UUPA). Yang dapat
memiliki Hak Guna Usaha adalah Warga Negara
Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3) Hak Guna Bangunan: adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30
Tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 tahun (Pasal 35 Ayat (1) dan Ayat (2) UUPA).
Pihak yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan adalah
Warga Negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4) Hak Pakai: adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini (Pasal 41 Ayat (1) UUPA). Pihak yang
dapat memiliki Hak Pakai adalah Warga Negara
Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut hukum
22
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, Departemen.
Lembaga Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah,
Badan-badan keagamaan dan sosial, Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia, Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia, Perwakilan negara
asing dan perwakilan badan Internasional.
5) Hak Pengelolaan : menurut Pasal 2 Ayat (3) UU No.20
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan jo. Pasal 1 PP No 36 Tahun 1997 tentang
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
karena Pemberian Hak Pengelolaan adalah hak menguasai
dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk
merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah,
mempergunakan tanh untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut
kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.10 Yang dapat memiliki Hak Pengelolaan adalah
Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, BUMN,
BUMD, PT Persero, Badan Otorita, Badan-badan hukum
pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah.
6) Tanah Wakaf : wakaf tanah hak milik diatur dalam Pasal
49 Ayat (3) UUPA yaitu perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Pasal 1 Ayat (1) PP No.28 Tahun 1997 tentang
Perwakafan Tanah Hak Milik, yang dimaksud dengan
wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan
10
Undang-undang No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.21 Tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo. Pasal 1 PP No 36 Tahun 1997
tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak
Pengelolaan, Pasal 2 Ayat(3)
23
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik
dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran Agama Islam.11
7) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun : adalah hak milik
atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah, meliputi
juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan
(Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-undang No16
Tahun 1985).12
8) Hak Tanggungan : adalah hak jaminan yang dibebankan
kepada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesaatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditur-kreditur lain. (Pasal 1
angka 1 Undang-undang No.4 Tahun 1996).13
9) Tanah Negara : adalah tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 PP No.24 Tahun
1997). Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran
tanah, pendaftarannya dilakukan dengan cara
membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara
dalam daftar tanah.
d. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
11
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik, Pasal 49
Ayat(3) 12
Undang-undang No16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Pasal 8 Ayat (2) dan (3) 13
Undang-undang No.4 Tahun 1996 HakTanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah, Pasal 1 Angka (1)
24
1) Pendaftaran tanah untuk pertama kali : yaitu kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek
pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
pendaftaran tanah atau Peraturan Pemerintah ini.14
Adapun jenis pelayanan pendaftaran tanah untuk pertama
kali adalah:
a) Konversi, Pengakuan dan Penegasan Hak
b) Pemberian Hak
c) Wakaf (dari Tanah Konversi/ Tanah Negara)
d) P3MB/PRK.5
e) Pendaftaran Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
f) Pemberian Hak Guna Usaha.
g) Kegiatan PRONA.15
Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali meliputi:
a) Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
b) Pembuktian hak dan pembukuannya;
c) Penerbitan sertipikat;
d) Penyajian data fisik dan data yuridis;
e) Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu melalui:
a) Pendaftaran tanah secara sistemik adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan
secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran
tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/ kelurahan.
14
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 15
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jenis Pelayanan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, diakses pada world wide web http://Bpn.go.id , Pada 03 Maret 2015 Pukul
12.35,di Surakarta
25
b) Pendaftaran tanah secara sporadik kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa
objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/kelurahan secara individual/massal.
2) Pemeliharaan data pendaftaran tanah, yaitu kegiatan
pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan
data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar
nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.16
Adapun jenis pelayanan pemeliharaan data pendaftaran
tanah adalah:
a) Peralihan hak atas tanah dan satuan rumah susun;
b) Ganti nama sertipikat hak atas tanah dan satuan rumah
susun;
c) Perpanjangan jangka waktu;
d) Pembaruan Hak Guna Usaha/ Hak Pakai dan
pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai di atas
Hak Pengelolaan;
e) Pembaruan Hak Guna Usaha;
f) Perpanjangan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun;
g) Perubahan Hak Atas Tanah;
h) Pemecahan/ Penggabungan/ Pemisahan Hak Atas
Tanah;
i) Hak Tanggungan;
j) Penggantian Sertipikat Hak Atas Tanah, Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Tanggungan.17
e. Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak
16
Pendaftaran Pendaftaran Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 17
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia , Opcit
26
Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah adalah berupa
sertipikat hak atas tanah, mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya ,
dan fungsi itu tidak dapat digantikan dengan benda lain. Pertama,
sertifikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat,
inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebutkan dalam Pasal
19 Ayat (2) huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah.
Kedua Sertifikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak
bank/kreditor untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya.
Dengan demikian, apabila pemegang hak atas tanah itu seorang
pemegang hak misalnya, sudah tentu memudahkan baginya
mengembangkan usahanya itu karena kebutuhan akan modal mudah
diperoleh. Ketiga bagi pemerintah, adanya sertifikat hak atas tanah
juga sangat menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak
langsung. Adanya sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah
tersebut telah terdaftar pada Agraria. Data yang tersimpan secara
lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan, dan apabila sewaktu-
waktu diperlukan dengan mudah diketemukan. Data ini sangat penting
untuk perencanaan kegiatan pembangunan misal pengembangan kota,
pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel telepon, penarikan pajak bumi
dan bangunan dan sebagainya.18
Sifat pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak dimuat
dalam Pasal 32 PP No.24 Tahun 1997, yaitu:
1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan
data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data
fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada
dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
18
Sudjito, Prona Persertifikatan Tanah Secara Masal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang
Bersifat Strategis, Yogyakarta: Liberty, 1987, hlm.72
27
2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan
sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum
yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu 5
Tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan
Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun
tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 32 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, maka sistem publikasi
pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif, yaitu
sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat kuat
dan bukan merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak. Hal
ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam
sertifikat mempunyai kekuatan hukum ytang harus diterima Hakim
sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat
bukti lain yang membuktikan yang lain. Dengan demikian,
Pengadilan-lah yang berwenang memutuskan alat bukti mana yang
benar dan apabila terbukti sertifikat tersebut tidak benar, maka akan
diadakan perubahan dan pembetulan sebagaimana semestinya.19
f. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
PP No.24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan bahwa
instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Indonesia menurut Pasal 5-nya adalah Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 6
ayat 1 ditegaskan bahwa :
19
Urip Santoso, Opcit, 2010, hal 45
28
“Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, tugas pelaksanaan
pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh
peraturan ini atau peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain”.
Dalam melaksanakan pendaftaran tanah,, untuk kegiatan-
kegiatan tertentu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota tidak
dapat melaksanakan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pihak-
pihak lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 Ayat 2 PP No.24 Tahun
1997, yaitu:
“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor
Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan
pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan”.
Pejabat lain yang membantu Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu
dalam pendaftaran tanah, yaitu:
1) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pelaksanaan
pendaftaran Tanah adalah dalam pembuatan akta
pemindahan hak kecuali lelang dan akta pemberian Hak
Tanggungan atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun.
2) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
29
Peran Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah adalah dalam pembuatan
Akta Ikrar Wakaf Hak Milik.
3) Pejabat dari Kantor Lelang
Peran Pejabat dari Kantor Lelang dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah adalah dalam pembuatan berita acara
atau risalah lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
4) Panitia Ajudikasi
Peran Panitia Ajudikasi dalam pelaksanaan pendaftaran
tanah adalah dalam pendaftaran tanah secara sistematik.
Semua kegiatan dalam pendaftaran tanah secara sistemik
dari awal kegitan hingga penanda tanganan setifikat hak
atas tanah dilaksanakan oleh panitia ajudikasi.20
PPAT mempunyai peran yang penting dalam pendaftaran
tanah, yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran
tanah. Kata „‟dibantu‟‟ dalam Pasal 6 ayat 2 PP No.24 Tahun 1997
disini tidak berarti bahwa PPAT merupakan bawahan dari Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota yang dapat diperintah olehnya, akan
tetapi PPAT mempunyai kemandirian dalam melaksanakan wewenang
dan tugasnya.
Pengertian PPAT dimuat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1) Pasal 1 angka 4 UU No.4 Tahun 1996, PPAT adalah
pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak
tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
20
Ibid, hal.315-316
30
2) Pasal 1 angka 24 PP No.24 Tahun 1997, PPAT adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta tanah tertentu.
3) Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.1 Tahun 2006, PPAT adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak-hak tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud pejabat umum
adalah seorang yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan
kewenangan memberikan pelayanan kepada umum di bidang
tertentu.21 Sejalan dengan Boedi Harsono, Sri Winarsi menyatakan
bahwa pengertian pejabat umum memiliki karakter yuridis, yaitu
selalu dalam rangka hukum publik, sifat publiknya dapat dilihat dari
pengangkatan, pemberhentian dan kewenangan PPAT. PPAT akan
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, tugasnya adalah membantu Kepala Badan
Pertanahan Kabupaten/kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta atas
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun22
PPAT mempunyai wewenang mutlak untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang ditentukan dalam Pasal 37 ayat (1) PP.
Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yaitu melakukan
perbuatan-perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan hak milik
atas satuan rumah susun melalui jual beli, hibah, tukar menukar,
21
Ibid, hal.326 22
Ibid hal.327
31
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang.23
Tugas pokok PPAT dalam membantu pelaksanaan
pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
ditetapkan dalam Pasal 2 PP No.37 Tahun 1998, yaitu:
1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuatkan akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan
data pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebagai berikut:
a) jual beli;
b) tukar-menukar;
c) hibah;
d) pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e) pembagian hak bersama;
f) pemberian hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah
hak milik;
g) pemberian hak tanggungan; dan
h) pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
Perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh para pihak mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun, yang menimbulkan akibat hukum bagi
para pihak tersebut. Akibat hukum dari perbuatan tersebut dapat
berupa pemindahan hak, pembebanan hak dan pemberian hak.
23
Henny Saida Flora, Hubungan Antara Badan Pertanahan Nasional dengan Pejabat Pembuat
Akta Tanah Dalam Proses Pendaftaran Tanah , Jurnal Hukum Pro Justisia Volume 26 Nomor 4
Oktober 2008, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, Hal. 313
32
Sedangkan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 3 PP
No.37 Tahun 1998, yaitu:
1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan
membuat akta autentik mengenai semua perbuatan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 mengenai hak
atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
terletak di dalam daerah kerjanya.
2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai
perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam
penunjukannya.
2. Tinjauan tentang Konversi Hak Atas Tanah
a. Pengertian dan Tujuan Konversi Hak Atas Tanah
Kata konversi berasal dari kata convertera yang berarti
membalikan atau mengubah dengan nama yang baru atau sifat baru
sehingga mempunyai isi dan makna yang baru. Pengertian konversi
dalam hukum agraria adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi
hak baru. Hak lama atas tanah adalah hak-hak atas tanah sebelum
berlakunya UUPA, dan yang dimaksud dengan hak baru adalah hak-
hak yang termuat dalam UUPA khusunya Pasal 16 ayat 1 c.q hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.24 Adapun
istilah konversi menurut Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama adalah
pengalihan, perubahan (omzetting) dari suatu hak tertentu kepada
suatu hak yang lain.25 Menurut pandangan A.P. Parlindungan bahwa
konversi secara umum dapat dikatakan sebagai penyesuaian atau
24
H.Ali Achmad Chomzah SH, Hukum Agraria Pertanahan Indonesia , Jakarta:Prestasi Pustaka,
2004, hal.80. 25
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Masalah Agraria, Bandung: Alumni, 1973, hal.31
33
perubahan dari hak-hak yang diatur oleh peraturan lama disesuaikan
dengan hak baru.26
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konversi
hak atas tanah merupakan perubahan ataupun penyesuaian dari hak-
hak yang lama atas tanah yaitu hak adat maupun hak perdata barat
(BW) menjadi hak-hak atas tanah berdasarkan system UUPA. A.P.
Parlindungan dalam bukunya “Konversi Hak-hak Atas Tanah”
menyatakan bahwa guna mengetahui sikap dan filosofi dari konversi
ini maka kita mempunyai 5 (lima) prinsip yang mendasarinya
sehingga dapat kita telaah bagaimana tujuannya dan bagaimana
penyelesainnya berdasarkan:
1) Prinsip nasionalitas: Dalam Pasal 9 UUPA secara jelas
disebutkan bahwa hanya warga Negara Indonesia yang
boleh mempunyai hubungan hukum dengan bumi, air dan
ruang angkasa yang berada di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
2) Prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu : Ketentuan-
konversi di Indonesia mengambil sikap yang mengakui
atas masalah hak-hak atas tanah sebelum berlakunya
UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada Hukum
Barat maupun Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk
melalui Lembaga Konversi ke dalam sistem dari UUPA.
3) Kepentingan Hukum: Dengan adanya ketentuan konversi
maka ada kepastian Hukum mengenai status Hak-hak atas
tanah yang tunduk pada sistem Hukum yang lama. Apakah
hak tersebut akan dihapuskan atau disesuaikan kedalam
hak-hak menurut sistem UUPA dan kepastian berakhirnya
masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada
26
Dr. A.P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, Bandung: Alumni
1982, hal.49
34
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan telah
berakhir pada tanggal 24 September 1960;
4) Penyesuaian kepada ketentuan konversi : Sesuai dengan
Pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan
Menteri Agraria maupun dari Edaran-edaran yang
diterbitkan, maka hak-hak atas tanah yang pernah tunduk
kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan
dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA
5) Status quo hak-hak tanah terdahulu: Dengan berlakunya
UUPA, maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru
atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada Hukum Barat.
Setelah diseleksi menurut ketentuan-ketentuan Konversi
Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan
pelaksanaannya maka terhadap hak-hak atas tanah bekas
hak barat dapat menjadi Tanah Negara karena terkena
ketentuan asas nasionalitas atau karena tidak dikonversi
menjadi hak menurut Undang-undang Pokok Agraria
dan/atau Dikonversi menjadi hak yang diatur menurut
Undang-undang Pokok Agraria seperti Hak milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.27
Tujuan diadakannya konversi hak atas tanah adalah untuk:
a) menciptakan unifikasi hak-hak perorangan atas tanah
terutama yang sudah merupakan suatu hubungan
hukum yang kongkrit dengan tanah berdasarkan
ketentuan Hukum Tanah yang lama, yaitu tanah-tanah
hak barat dan tanah-tanah hak Indonesia. Hak Hipotik
yang membebani tanah-tanah dengan Hak Eigendom,
27
Ulfia Hasanah , Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU. No. 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Dihubungkan dengan PP. No. 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah , Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 Nomor 1 Tahun 2012,
Pekanbaru: Universitas Riau, Hal. 5-6
35
Hak Erfpacht dan Hak Opstal dan juga Hak
Credietverband yang membebani tanah-tanah Hak
Milik Adat.
b) untuk mengakhiri hak-hak asing tanah, yaitu tanah-
tanah hak yang dikuasai dan digunakan oleh orang-
orang asing dan badan-badan hukum asing. Hal ini
adalah sebagai akibat berlakunya Agrarische Wet
1870 yang memuat politik pertanahan pemerintah
jajahan Hindia Belanda berikut peraturan-peraturan
pelaksanaanya. Untuk tanah-tanah hak barat yang
tidak dikonversi menjadi hak milik, hanya akan
berlangsung selama sisa jangka waktunya dan paling
lama adalah 20 tahun dan bahkan ada pula yang tidak
dikonversi dan dihapuskan hak barat tersebut.28
b. Terjadinya Konversi
Menurut ketentuan-ketentuan konversi terjadinya konversi
dikarenakan 3 (tiga) hal, yaitu:
1) konversi atau perubahan yang terjadi karena hukum.
Konversi ini terjadi dengan sendirinya tanpa diperlukan
tindakan dari instansi tertentu baik yang bersifat
konstitutif maupun deklaratoir.
2) konversi yang terjadi setelah diperoleh suatu tindakan
yang bersifat deklaratoir dari instansi yang berwenang.
Konversi jenis ini juga terjadi karena hukum tetapi juga
disertai syarat-syarat tertentu maka diperlukan suatu
tindakan penegasan yang bersidat deklaratoir.
3) konversi yang terjadi melalui suatu tindakan yang bersifat
konstitutif. Pada jenis konversi ini perubahan atas sesuatu
28
Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko
,Opcit,2010, hal.188
36
hak baru bukan terjadi karena hukum melainkan
memerlukan suatu tindakan khusus yang bersifat
konstitutif .29
Dalam hal konversi hak atas tanah adat dan tanah barat ini
merupakan konversi atau perubahan yang terjadinya karena hukum
(van rechtswege), karena ketentuan mengenai konversi tersebut
muncul ketika diundangkannya UUPA secara serentak pada 24
september 1960. Ini berarti bahwa terhitung sejak tanggal tersebut
tidak berlaku lagi lembaga-lembaga atau hak-hak atas tanah yang
diatur oleh hukum tanah barat maupun hukum tanah adat. Demikian
pula tidak ada lagi hak hipotik dan hak credietverband sebagai hak
jaminan atas tanah. Hak-hak perorangan atas tanah tersebut telah
diubah/dikonversi menjadu salah satu hak baru berdasarkan UUPA.
c. Konversi atas Tanah-tanah Barat
Dengan berlakunya Pernyataan Domein (Domein Veklaring)
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit 1870, maka
tanah-tanah di wilayah Hindia Belanda, sepanjang di daerah
pemerintah langsung (kecuali daerah-daerah swapraja) di dan luar
Jawa dan Madura, dibagi habis menjadi tanah-tanah Hak Eigendom
dan Tanah Domein Negara (Landsdomein adalah tanah milik negara).
Dan atas masing-masing tanah tersebut dapat diberikan pada pihak
lain dengan Hak Opstal, Hak Erfpacht, Hak Gebruik, (Hak Pakai) dan
Hak Sewa, melalui suau perjanjian dengan eigenaar (pemilik hak
eigendom) atau dengan Negara (Pemerintah Hindia Belanda). Pada
hakikatnya hak-hak itu merupakan hak atas tanah yang sekunder.
Sementara untuk mendapatkan tanah dengan Hak Eigendom dapat
membeli (melalui jual beli tanah/pemindahan hak) dari negara atau
dari eigenaarnya, yang dibuktikan dengan akta hak eigendom yang
dibuat oleh Pejabat Balik Nama (overshrijvingsambtenaar) dan
29
Tamsil Anshari Siregar, UUPA Dalam Bagan, Medan , 2011, hal 276-291
37
sekaligus didaftarkan pula jual beli/pemindahan haknya oleh pejabat itu.
Yang diatur Pasal 1 S 1873-27. Dan semua tanah hak barat30
:
Tabel 1. Konversi Hak-hak Asing
Jenis Haknya Dikonversi menjadi
dan jangka waktunya
Keterangan
24 September 1960 24 September 1980
Hak Eigendom Hak Milik
Jangka waktu : tidak
terbatas
Berlangsung terus
Hak Guna Bangunan
Jangka waktu : 20
Tahun
Hapus menjadi
Tanah
Negara.Diajukan
permohonan baru
Hak Pakai
Jangka waktu:
selama diperlukan
(khusus Untuk
Perwakilan Negara
Asing digunakan
untuk kantor/rumah
kediaman Kepala
Perwakilan Asing
tersebut)
Berlangsung terus
selama diperlukan.
Hak Erfpacht Untuk perkebunan
besar
Hak Guna Usaha
a) Jangka waktu :
Hapus menjadi
Tanah Negara
Diajukan
permohonan hak
30
Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bos ko,
Op.cit, 2010, hal. 190-191
38
sisa jangka
waktunya, dan paling
lama 20 tahun.
b) Untuk perumahan
(di kota-kota/tempat
peristirahatan) : Hak
Guna Bangunan
c) Jangka waktu: sisa
jangka waktunya dan
paling lama 20 tahun
d) Untuk pertanian
kecil (klien
landbouw) :
dihapuskan
baru
Hapus menjadi
Tanah Negara
Diajukan
permohonan hak
baru
Menjadi tanah
negara dan
diredistribusikan
kepada para petani
dalam pelaksanaan
landreform.
Hak Opstal Hak Guna Bangunan
Jangka waktu: sisa
jangka waktunya,
dan paling lama 20
tahun
Hapus menjadi
tanah negara
Diajukan
permohonan hak
baru
Hak Gebruik Hak Pakai
Jangka waktu : sisa
jangka waktunya dan
paling lama 20 tahun.
Hapus menjadi
tanah negara
Diajukan
permohonan hak
baru
Hak Sewa (atas
Tanah Negara)
Hak Pakai
Jangka waktu : sisa
jangka waktunya dan
Hapus menjadi
tanah negara
Diajukan
39
paling lama 20 tahun permohonan hak
baru
Sumber : Ketentuan-ketentuan Konversi dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.
Hak-hak atas tanah barat yang disebutkan diatas wajib didaftarkan dan
mempunyai tanda bukti hak berdasarkan S 1873-27.
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang
berasal dari konversi tanah hak barat berakhir pada tanggal 23
September 1980 dan sejak tanggal 24 September 1980 menjadi tanah
negara. Jika bekas pemegang haknya masih memerlukan tanah
tersebut dan penggunaan tanahnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang
di Daerah tersebut serta tidak terkena proyek Pemerintah
Pusat/Daerah, pada asasnya dapat diajukan permohonan hak baru
sesuai dengan Keppres Nomor 32 Tahun 1979 danPMDN 3 Tahun
1979.
Hak Eigendom yang dibebani Hak Erfpacht/Hak Opstal/Hak
Hipotik, ada 5 kemungkinan konversi:
1) Hak Eigendom-nya dikonversi menjadi Hak Milik,
sedangkan Hak Erfpacht/ Hak Opstal dikonversi menjadi
Hak Guna Bangunan dengan jangka waktunya dan paling
lama 20 tahun.
2) Hak Eigendom-nya tidak dapat dikonversi menjadi Hak
Milik, melainkan hanya dapat dikonversi menjadi Hak
Guna Bangunan saja karena eigenaarnya hanya menguasai
secara yuridis saja, ia tidak menggunakan tanahnya. Hal
ini berarti eigenaar tersebut tidak memenuhi kewajibannya
untuk menggunakan tanah sesuai dengan fungsi tanahnya
(menurut Pasal 6 UUPA, tanah berfungsi sosial). Maka
40
tidak dikonversi dan dinyatakan gugur menjadi tanah
negara dan kelak dapat diberikan kembali Hak Guna
Bangunan sampai dengan tanggal 24 September 1980
(Pasal 2 PMA nomor 7/1965).
3) Hak Eigendom-nya dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Hipotik yang diberikan kepada sesuatu Bank
atau orang selaku kreditor. Hak Eigendom itu dikonversi
menjadi Hak Milik atau Hak Guna Bangunan sedangkan
Hak Hipotik tersebut dikonversi menjadi Hak Tanggungan
(Pasal 1 ayat 6 KK). Jika Hak Eigendom yang dinyatakan
hapus menjadi tanah negara, maka Hak Hipotiknya
menjadi hapus pula sedangkan perjanjian utang
piutangnya tetap berlangsung terus.
4) Menurut ketentuan Pasal I ayat 6 Ketentuan Konversi,
Tanah Hak Eigendom dapat pula dibebani Hak Servituut
atau Erfdientsbaarheid, maka hak itu ikut pula dikonversi
menjadi Hak Pakai.
5) Hak Eigendom yang dibebani Hak Sewa maka Hak Sewa
tersebut dikonversi pula menjadi Hak Sewa.
Sesuai dengan ketentuan Keppres No.32/1979 dan PMDN
3/1979 maka Hak Guna Bangunan yang berasal dari konversi Hak
Erfpacht/Hak Opstal yang membebani Hak Eigendom, paling lama
berlangsung sampai tanggal 24 September 1980 dihapus (sudah tidak
ada lagi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang
berasal dari konversi tanah Hak Barat).
d. Konversi Atas Tanah-Tanah Hak Indonesia (Tanah Adat)
Konversi hak-hak Indonesia atas tanah meliputi hak-hak atas
tanah yang diatur oleh Hukum Tanah Adat yang tidak tertulis, yang
mencakup seluruh hak-hak atas tanah yang bersumber pada Hukum
Tanah Adat. Hak-hak Indonesia yaitu:
41
1). Berstatus Hak Milik seperti yang disebutkan dalam Pasal
II ayat 1 Ketentuan Konversi.
2). Berstatus Hak Pakai seperti yang disebutkan dalam Pasal
VI Ketentuan Konversi.
Termasuk pula selain daripada itu, Hak Gadai, Hak Guna Usaha Bagi
Hasil, Hak Sewa dan Hak Menumpang.
Berbeda dengan ketentuan konversi tanah hak barat maka
konversi hak Indonesia tidak dibatasi jangka waktu penyelesaian
administrasinya, oleh karena itu dapat setiap waktu pemilik tanah
meminta sertipikat atas tanahnya (secara sukarela), dan disamping itu
kalau diwajibkan oleh peraturan tertulis karena telah terjadi suatu
perbuatan hukum atau peristiwa hukum atas bidang tanah yang
berstatus Hak Milik (bekas Hak Milik Adat yang belum bersertifikat).
Yang berstatus Hak Milik: sebagian besar belum pernah didaftarkan
sehingga disebut bekas Hak Milik Adat yang belum bersertifikat.
Sedang hanya sebagian kecil yang sudah didaftarkan sebelum
berlakunya UUPA, misalnya : Hak Grant Sultan, Hak Milik di
swapraja Yogyakarta dan Surakarta, Hak Agrarisch Eigendom (yang
jumlahnya sedikit sekali).31
Hak Milik Adat dapat dikonversi menjadi Hak Milik hanya
jika pada tanggal 24 September 1960 telah berkewarganegaraan
Indonesia Tunggal. Jika pemiliknya tidak memenuhi syarat sebagai
subjek Hak Milik tersebut, maka Hak Milik Adat dapat dikonversi
menurut peruntukan tanahnya yaitu:
1). Tanah pertanian dikonversi menjadi Hak Guna Usaha
dengan jangka waktu 20 Tahun;
2).Tanah non pertanian dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan dengan jangka waktu 20 tahun.
31
Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko ,
Op.cit, 2010, hal. 193
42
Ini berarti haknya sampai dengan tanggal 23 September 1980
dan pada tanggal 24 September haknya hapus menjadi tanah negara.
Dengan demikian sejak tanggal 24 September 1980 hanya mungkin
dikonversi menjadi Hak Milik saja, dan ini berarti harus memenuhi
subjek Hak Milik. Konversi bekas Hak Milik Adat harus diikuti pula
dengan pendaftarannya sejak berlakunya PP No.10/1961 tentang
Pendaftaran Tanah. Peraturan yag mengatur masalah konversi dan
pendaftarannya diatur dalam PP No.10/1961 tentang Pendaftaran
Tanah, PMPA No.2/1962 tentang Penegasan Konversi dan
Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia tentang Tanah jo SK PMDN
No.26/DDA/1970 tentang Penegasan Konversi Pendaftaran Bekas
Hak-hak Indonesia Atas Tanah.
3. Tinjauan tentang Daerah Swapraja Keraton Surakarta
Swapraja adalah kerajaan asli yang terdapat di Indonesia yang telah
mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda. Daerah Swapraja
merupakan daerah yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur rumah tangganya sendiri yang dipimpin seorang
raja.32 Daerah swapraja merupakan sebutan untuk daerah yang pernah
diperintah oleh pemerintahan Hindia Belanda sekitar abad ke 17 M. Secara de
facto daerah swapraja merupakan daerah kerajaan yang ada di Indonesia,
begitu juga dengan kota Surakarta karena merupakan bagian dari Kerajaan
Mataram atau dikenal juga dengan nama Keraton Surakarta. Akan tetapi secara
de yure daerah swapraja ini berada di bawah kekuasaan Pemerintahan
Belanda.33 Guna menunjang berdirinya sebuah kerajaan, pihak Belanda
memberikan tanah-tanah tersebut diberikan kepada raja, sedangkan rakyat
hanya boleh menggunakan tapi tidak berhak memiliki. Rakyat yang
32
Rizko Kurniawan, Tanah Di Keraton Surakarta (Studi Sosiologi Mengenai Konflik Atas
Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Lingkungan Keraton Surakarta), Jurnal Ilmu Administrasi
Publik Universitas Brawijaya, Edisi 6 Nomor 1 Juni 2011, Hal.8 33
Sandi Sarjita, Strategi Mengelola Konflik Pertanahan,Jurnal STPN Yogyakarta Edisi XXII
Oktober, Hal:22
43
menggunakan tanah tersebut, oleh pihak Keraton Surakarta memberikan
semacam surat bukti atas penggunaan tanah. Di Keraton Surakarta bukti ini
dinamakan Pikukuh, dengan dasar hukum adalah Rijksbklad Surakarta No.9
Tahun 1938.34
Berdasarkan sejarahnya, Keraton Surakarta Hadiningrat adalah
sebuah negara berbentuk kerajaan berdaulat, dan wilayah kerajaanya meliputi
hampir tiga perempat dari Pulau Jawa. Keraton Surakarta Hadiningrat
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram, yaitu kerajaan pribumi yang
pemerintahannya dijalankan dengan sistem tradisional jawa. Keraton
Surakarta berdiri pada tahun 1745 oleh Susuhunan Pakubuwono II sebagai
pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang
Cina atau yang lebih dikenal sebagai “Geger Pecinan”. Semula Keraton
Surakarta merupakan lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi Sri
Sunan dan keluarga kerajaan di samping menjadi pusat pemerintahan Keraton
Surakarta. Segera setelah tahun 1946 peran Keraton Surakarta tidak lebih
hanya sebagai pemangku Adat Jawa khusunya garis/gaya Surakarta. Begitu
pula Sri Sunan tidak lagi berperan sebagai dalam urusan kenegaraan sebagai
seorang raja dalam artian politik melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan
Pemangku Tahta Adat, simbol dan pemimpin informal Kebudayaan. Fungsi
keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa
khusunya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang tebatas pada sektor
informal namun Keraton Surakarta memliki kharisma tersendiri di lingkungan
masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah Keraton Surakarta.
Berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan swapraja Surakarta
dahulu, didasarkan pada pemilikan raja atas tanah kerajaan yang pada tahun
1918-an, di wilayah kerajaan Surakarta dilancarkan Reorganisasi Agraria, yaitu
kebijaksanaan penataan kembali sistem kepemilikan tanah, yang menghasilkan
aturan-aturan baru berupa sistem apanage (lungguh), pembentukan kelurahan-
kelurahan baru dan dibagikannya lahan tanah untuk penduduk desa. Sebelum
kebijaksanaan itu dilakukan, hukum pertanahan menentukan bahwa tanah di
34
Rizko Kurniawan, Opcit, 2011, hal.9
44
seluruh wilayah kerajaan adalah mutlak milik Raja. Raja sendiri tidak
menganggap dirinya sebagai tuan rumah dalam arti luas, melainkan hanya
meminta sebagian hasil bumi sebagai suatu cara memungut pajak.35
Berdasarkan penguasaannya, tanah-tanah yang ada di seluruh
wilayah kerajaan dapat dikelompokan menjadi dua golongan:
a. Tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh raja;
b. Tanah-tanah yang diberikan kepada Sentana (kerabat kerajaan).
Tanah-tanah itu diberikan kepada Sentana selama mereka masih
memilik hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja, dan selama mereka
masih menduduki jabatan dalam kerajaan. Dengan demikian, jika hubungan
kekerabatan mereka terputus serta tidak lagi menjabat sebagai birokrat, maka
tanah yang dikuasainya akan kembali kepada raja.
Status tanah di Keraton Surakarta berdasarkan Sunan Ground, yaitu
tanah peninggalan leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Tanah di
Keraton Surakarta Hadiningrat, berfungsi sebagai sarana legitimasi kekuasaan
raja dan sebagai penunjang kebutuhan ekonomi. Pada hukum tanah yang
berlaku sejak jaman kolonial di Kerajaan Surakarta, raja yang dianggap sebagai
perantara antara Tuhan dengan rakyat, adalah pemilik satu-satunya dari seluruh
areal tanah yang terletak dalam wilayah kekuasaan kerajaan.36 Tanah yang
langsung dikuasai raja namanya Ampilan Dalem. Sebagian tanah lainnya
dinamakan tanah gaduhan atau tanah lungguh atau tanah apanege,
dipergunakan untuk menjamin kebutuhan keluarga raja atau untuk menggaji
para abdi dalem. Tanah-tanah ini oleh raja lalu diberikan kepada anggota-
anggota keluargannya atau kepada abdi dalem. Rakyat hanya sebagai
penggarap (hak usaha, mengerjakan, menggarap) tanpa memiliki hak milik atas
tanah.37
35
Tri widodo Utomo, Pengaruh Sistem Pemilikan Tanah Terhadap Struktur Sosial. Diakses Pada
world wide web http. http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/pengaruh-sistem-pemilikan-
tanah.html pada 08 Januari 2015 Pukul 12.05 Di Surakarta. 36
Werner Roll, , Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia Studi Kasus Daerah Surakarta Jawa
Tengah,, terj. Ny. Jane Tjen: Rajawali,:Jakarta , 1983, 37
Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia. Yogyakarta:Liberty, 1988,
hal.26-27
45
Mengenai kewenangan Keraton Surakarta atas tanah, yaitu sebagai
berikut:
a. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan
kepada rakyat swapraja;
b. Wewenang Anggaduh Run Temurun, yaitu hak atas tanah yang
diberikan kepada rakyat swapraja secara turun temurun;
c Wewenang Andarbeni, yaitu hak milik atas tanah yang diberikan
Raja kepada rakyat swapraja
d. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah yang diberikan sebagai gaji
kepada abdi dalem, lurah desa beserta bahawannya;
e. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada Lurah
beserta bawahannya yang sudah pensiun. Apabila Lurah atau
bawahannya tersebut meninggal dunia maka tanah tersebut
kembali ke kas desa.
f. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan tanah sawah dan tegalan serta
pekarangan yang bukan untuk Lungguh, Pituwas, dan bukan
untuk diberikan turun menurun. Tanah Kas Desa diberikan
untuk keperluan penghasilan desa.
Untuk hak-hak atas tanah yang pernah diberikan oleh pihak
Keraton Kasunanan Surakarta yang berada di dalam tembok Keraton
Kasunanan Surakarta adalah:
a. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan
kepada abdi dalem yang tidak bersifat turun temurun;
b. Wewenang Anggaduh Turun Temurun, yaitu hak atas tanah yang
diberikan kepada abdi dalem yang dapat dipakai secara turun
temurun;
c. Paringan Dalem, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada
anak raja yang sudah dewasa.38
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
menjadikan Indonesia sebagai sebuah Negara merdeka yang berdaulat. Inilah
38
Ibid, hal.16
46
yang menjadi awal pengaturan Tata Negara Indonesia, yang turut mengubah
prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini berarti daerah-daerah
kesunanan sudah menggabungkan diri menjadi satu kesatuan menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada lagi hukum kerajaan yang tunduk
pada Hukum Hindia Belanda, yang terjadi adalah Kesunanan dihapuskan dan
tunduk pada hukum Negara Indonesia. Kemudian daearah-daerah kesunanan
ini disebut daerah bekas swapraja.39
4. Tinjauan tentang Badan Pertanahan Nasional
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Semangat dari Pasal 33 Ayat (3) tersebut lah yang
mendasari dibentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Salah satu “semangat” dari
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang diserap oleh UUPA yaitu dengan adanya
prinsip dalam UUPA bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan,
apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Dalam ketentuan
UUPA telah ditegaskan adanya keharusan untuk menghapus semua hak
eigendom, hukum agrarian bentukan pemerintah kolonial, tanah adat lama
dan bentuk penghisapan-penghisapan yang tidak berpihak kepada rakyat
Indonesia lainnya.
Dalam upaya membentuk negara baru yang merdeka, Pemerintah
Republik Indonesia bertekad membenahi dan menyempurnakan pengelolaan
pertanahan. Landasan Hukum pertanahan yang masih menggunakan produk
warisan pemerintah Belanda mulai diganti. Melalui Departemen Dalam
Negeri, Pemerintah mempersiapkan landasan hukum pertanahan yang sesuai
dengan UUD 1945. Pada tahun 1948 berdasarkan Penetapan Presiden Nomor
16 Tahun 1948 Pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga
tahun kemudian terbit Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang
39
Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia: Yogyakarta, 1988, hal. 26
47
membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Pembentukan Kedua Panitia Agraria
ini sebagai upayamempersiapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan yang
sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, Pemerintah
membentuk Kementrian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari
Departemen Dalam Negeri. Pada 1956, berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 1 Tahun 1956 dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta
yang sekaligus membubarkan Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta
yang sekaligus membubarkan Panitia Agraria Jakarta. Tugas Panitia Negara
Urusan Agraria ini antara lain adalah mempersiapkan proses penyusunan
Undang-undang Pokok-pokok Agararia (UUPA). Pada 1 Juni 1957, Panitia
Negara Urusan Agraria selesai menyusun rancangan UUPA. Pada 1 juni
1957, Panitia Urusan Agraria Selesai menyusun rancangan UUPA. Pada saat
yang sama berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan
Pendaftaran Tanah yang semula berada di Kementrian Kehakiman dialihkan
ke Kementrian Agraria. Tahun 1958, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
97 Tahun 1958, Panitia Negara Urusan Agraria dibubarkan. Selanjutnya pada
24 April 1958, Rancangan UUPA diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24
September 1960. Pada hari itu, Rancangan UUPA disetujui dan disahkan
menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan diberlakukannya
UUPA tersebut untuk pertama kalinya pengaturan tanah di Indonesia
menggunakan produk hukum nasional yang bersumber dari hukum adat. Pada
1964 melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964 ditetapkan
tugas, susunan, dan pimpinan Departemen Agraria. Peraturan tersebut
nantinnya disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun
1965 yang mengurai tugas Departemen Agraria serta menambahkan
Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke dalam organisasi.
Tahun 1988 merupakan tonggak sejarah karena saat itu terbit
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan
Nasional. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan Nasional yang menjadi
48
tema sentral proyek ekonomi-politik Orde Baru, kebutuhan akan tanah juga
makin meningkat. Persoalan yang dihadapi Direktorat Jendral Agraria
bertambah rumit dan berat. Untuk mengatasi hal tersebut status Direktorat
Jendral Agraria ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintahan Non-
Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional. Dengan lahirnya
Keputusan Presiden tersebut, Badan Pertanahan Nasional bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.40
Badan Pertanahan Nasional atau biasa disingkat BPN adalah
lembaga pemerintah non-kementrian di Indonesia yang mempunyai tugas dan
wewenang untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan di
bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral (Sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 63
Tahun 2013). Pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tentang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang, fungsi dan tugas dari organisasi Badan
Pertanahan Nasional dan Direktorat Jendral Tata Ruang Pekerjaan Umum
digabung dalam satu lembaga Kementerian yang bernama Kementerian
Agraria dan Tata Ruang. Kementerian tersebut berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden, yang dipimpin oleh Menteri. Kementerian
Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam Pasal 3
Perpres Nomor 17 Tahun 2015 disebutkan bahwa Kementrian Agraria dan
Tata Ruang dalam mencapai tugasnya di atas memiliki fungsi:
a. perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata
ruang, infrastruktur keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum
keagrariaan/pertanahan, pengadaan tanah, sertat penanganan
masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang dan tanah;
40
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Sejarah Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, diakses pada world wide web http://Bpn.go.id , Pada 03 Maret 2015 Pukul 12.35,di
Surakarta
49
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
urusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah dan;
f. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang.41
Adapun Susunan Organisasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang
sebagaimana Pasal 4 Perpres Nomor 17 Tahun 2015 terdiri atas:
a. Sekretaris Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Tata Ruang;
c. Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan;
d. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan;
e. Direktorat Jenderal Penataan Agraria;
f. Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah;
g. Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan
Penguasaan Tanah;
h. Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria,
Pemanfaatan Ruang dan Tanah;
i. Inspektorat Jenderal;
j. Staff Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah 42
Selanjutnya dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 Tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional di Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/
41
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan
Tata Ruang, Pasal 3 42
Ibid, Pasal 4
50
Kota disebutkan guna melaksanakan fungsi Badan Pertanahan Nasional di
daerah maka perlu kiranya untuk dibentuk Kantor Pertanahan di tingkat
Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi yang selanjutnya disebut
KANWIL BPN adalah instansi vertikal dari Badan Pertanahan Nasional yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional.43 Kanwil BPN mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di Propinsi yang
bersangkutan. Dalam Pasal 3, untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi
tersebut di atas maka KANWIL BPN mempunyai fungsi:
a. melaksanakan penyusunan program pelaksanaan tugas di bidang
pertanahan;
b. mengkoordinasi pengaturan penguasaan dan pemilikan
tanah, penatagunaan tanah, pengukuran hak-hak atas tanah
serta pengukuran dan pendaftaran tanah;
c. melaksanakan urusan tata usaha dan perundang-undangan.44
Dalam Pasal 4 berisi tentang susunan organisasi KANWIL BPN
terdiri dari:
a. Bagian Tata Usaha;
b Bagian Pengaturan Penguasaan Tanah;
c. Bagian Penatagunaan Tanah;
d. Bagian Hak-hak Atas Tanah;
e. Bagian Pengukuran dan Pendaftaran Tanah;45
Sementara dalam Pasal 25 disebutkan bahwa guna menunjang
kinerja KANWIL BPN yang ada di Propinsi maka dibentuklah Kantor
Pertanahana di tingkat Kabupaten/Kota, yang merupakan instansi vertikal dari
Badan Pertanahan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab
43
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1989 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi dan Kantor Pertanahan di
Kabupaten/ Kotamadya, Pasal 1 44
Ibid, Pasal 3 45
Ibid, Pasal 4
51
langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Propinsi.46 Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan
fungsi Badan Pertanahan Nasional dalam lingkungan wilayah kabupaten/kota.
Guna menyelenggarakan tugas sebagaimana di atas, dalam Pasal 27
disebutkan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota mempunyai fungsi:
a. menyiapkan kegiatan di bidang pengaturan penguasaan tanah,
penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, serta
pengukuran dan pendaftaran tanah;
b. melaksanakan kegiatan pelayanan di bidang pengaturan
penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak
tanah, pengukuran dan pendafataran tanah;
c. melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.47
Selanjutnya dalam Pasal 28 berisi mengenai susunan organisasi
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yaitu:
a. Sub Bagian Tata Usaha;
b. Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah;
c. Seksi Penatagunaan Tanah;
d. Seksi Hak-hak Atas Tanah;
e. Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah.48
Salah satu Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang berada di
wilayah kerja KANWIL BPN Jawa Tengah adalah Kantor Pertanahan Kota
Surakarta. Kantor Pertanahan Kota Surakarta merupakan instansi vertikal
Badan Pertanahan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada Kepala
Kantor Pertanahan Propinsi Jawa Tengah, tugas dan fungsi BPN yang
bersangkutan dipimpin oleh seoran Kepala. Dalam menjalankan kewajiban
dan kewenangannya,Badan Pertanahan Nasional Kota Surakarta berlandaskan
pada visi dan misi Badan Pertanahan Nasional, yaitu:
a. Visi : Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan
pertanahan sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan
46
Ibid, Pasal 25 47
Ibid, Pasal 27 48
Ibid, Pasal 28
52
berkelanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan Republik Indonesia.
b. Misi : Mengembangkan dan menyelenggarkaan politik dan
kebijaksanaan pertanahan untuk:
1). Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-
sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan
kemiskinan dan kesenjangan pendapatan serta
pemantapan ketahanan pangan
2) Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih
berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah (P4T).
3) Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis
dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik, dan
perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan
perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan
sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara
di kemudian hari.
4) Keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-
luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah
sebagai sumber kesejahteraan masyarakat.
5) Menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa,
semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA
dan aspirasi rakyat secara luas.
Selain itu, Badan Pertanahan Nasional juga berpegang teguh pada
prinsip pertanahan yaitu pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk:
a. Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. Menata kehidupan bersama yang berkeadilan;
c. Mewujudkan keberlanjutan sistem kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia;
53
d. Mewujudkan Keharmonisan (terselesainya sengketa dan
konflik).
Adapun Tugas dan fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta
adalah:
a. Tugas Badan Pertanahan Nasional adalah melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional
dan sektoral.
b. Dalam menyelenggarakan tugasnya , Kantor Pertanahan
mempunyai fungsi :
1) Perumusan kebijakan nasional bidang pertanahan;
2) Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
3) Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang
pertanahan;
4) Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
pertanahan;
5) Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan
pemetaan di bidang pertanahan;
6) Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin
kepastian hukum;
7) Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
8) Pelaksanaan Penatagunaan tanah, reformasi agraria dan
penataan wilayah-wilayah khusus;
9) Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau
milik negara/daerah bekerjasama dengan Departemen
Keuangan;
10) Pengawasan dan pengendalian penguasaan kepemilikan
tanah;
11) Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
12) Pengkajian dan penanangan masalah, sengketa, perkarara
dan konflik di bidang pertanahan;
13) Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
54
14) Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
15) Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya
manusia di bidang pertanahan;
16) Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
17) Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan
dengan bidang pertanahan;
18) Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara
orang dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
19) Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.49
5. Teori Sistem Hukum Lawrence Meir Friedman
Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri yang terdiri dari
unsur-unsur atau elemen yang saling berinteraksi satu sama lain, dalam
sistem tidak menghendaki adanya konflik antar unsur-unsur yang ada
dalam sistem, kalau sampai terjadi konflik maka akan segera diselesaikan
oleh sistem tersebut.50
Menurut Friedman terdapat tiga komponen dalam sistem hukum
yaitu:
a. Struktur Hukum (legal structure) yaitu keseluruhan institusi-institusi
hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain
kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya,
pengadilan dan para hakimnya dan lain-lain. Komponen struktur
merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu
dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya
sistem tersebut, komponen ini dimungkinkan untuk melihat
bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap
penggarapan bahan hukum secara teratur.51
49
Ibid, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 50
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju
Masyarakat yang berkeadilan dan Bermartabat , PT.RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2012, hal.311 51
Esmi Warassih, Opcit, 2005, hlm.30
55
b. Substansi hukum (legal substance) yaitu keseluruhan aturan hukum,
norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, termasuk putusan pengadilan. Substansi diartikan sebagai
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem itu
meliputi keputusan yang dikeluarkan atau aturan baru yang mereka
susun. Substansi mencakup living law (hukum yang hidup) bukan
hanya aturan-aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law
books.52
c. Kultur Hukum (legal culture) yaitu opini-opini, kepercayaan-
kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara
berpikir dan cara bertindak, baik para penegak hukum maupun dari
warga masyarakat , tentang hukum dan berbagai fenomena yang
berkaitan dengan hukum. Kultur hukum merupakan sikap manusia
terhadap hukum dan sistem hukum,. Pemikiran dan pendapat ini
sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum.
Struktur hukum yang baik tidak akan berjalan dengan baik kalau
tidak ditunjang oleh adanya substansi hukum yang baik pula. Demikian
pula substansi hukum yang baik tidak akan dapat dirasakan manfaatnya
kalau tidak ditunjang oleh struktur hukum yang baik. Selanjutnya struktur
dan substansi yang baik tidak akan dapat dirasakan eksistensinya kalau
tidak didukung oleh budaya hukum masyarakat yang baik pula. Dengan
kata lain, hukum akan berperan dengan baik manakala ketiga aspek
subsistem yaitu struktur, substansi dan budaya hukum itu saling
berinteraksi dan memainkan peranan sesuai dengan fungsinya, sehingga
hukum akan berjalan secara serasi dan seimbang, sesuai dengan fungsinya.
Diibaratkan seekor ikan, ia akan hidup dengan baik manakala ditunjang
dengan kualitas air kolam yang baik dan makanan yang baik pula. Apabila
ketiga subsistem hukum ini tidak berfungsi dengan baik, maka akan
52
Ibid.
56
muncul problem dalam upaya memfungsikan hukum sebagai sarana
pembaharuan dan pembangunan masyarakat itu sendiri.53
Struktur hukum dalam penelitian ini adalah Kantor Pertanahan
Kota Surakarta. Substansi yang ada dalam penelitian ini berupa berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Konversi dan
Pendaftaran Tanah misalnya UUPA beserta peraturan pelaksanannya.
Kultur hukum atau budaya hukum dalam penelitian ini adalah sikap
manusia diantaranya yaitu :para pemegang hak atas tanah bekas swapraja,
pejabat pembuat akta tanah, pegawai kantor pertanahan kota Surakarta,
atau juga dapat berupa kepercayaan, nilai-nilai, pemikiran serta harapan.
53
Moch kusumaatmadja, konsep-konsep hukum dalam pembangunan , alumni: bandung, 2002
hal.3
57
Konversi Hak Atas
Tanah Bekas
Swapraja
Sesuai Tidak Sesuai
Solusi Hambatan
Diktum Kedua UU No. 5 Tahun 1960
(UUPA) + PP NO 24 TAHUN 1997
+Peraturan Kepala BPN Nomor 1
Tahun 2010
B. Kerangka Berpikir
Keterangan:
Konversi bagi hak-hak atas tanah yang ada sebelum lahirnya
UUPA merupakan suatu keharusan yang wajib ditempuh oleh pemegang
haknya agar hak atas tanahnya dapat diakui oleh UUPA. Sebagaimana yang
diatur dalam Penegasan Konversi yang termuat dalam Diktum Kedua UUPA
. Dalam Diktum Kedua Pasal 2 ketentuan–ketentuan mengenai konversi
58
dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (UUPA) disebutkan bahwa:
“(1) Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau
mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 seperti
yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom,
milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa,
pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht,
hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan
nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak
milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang
mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut
dalam pasal 21.
(2) Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing,
warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak
ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21
ayat 2 menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai
dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria54.”
Dalam Diktum Kedua Pasal 6 UUPA:
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut
dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgerbruik, gebruik, grant
controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok,
lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang
54
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Diktum
Kedua
59
akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam
pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana
yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-
undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-
ketentuan Undang-undang ini55.
Pelaksanaan konversi merupakan bagian dari penyelenggaraan
pendaftaran tanah untuk pertama kali. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi
dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah disebutkan bahwa
pendaftaran konversi dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (yang telah diubah dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Selanjutnya dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah juga diatur mengenai Pembuktian Hak Lama,
“Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi
hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut
berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam
pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan
dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar
hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.”
Mengenai mekanisme prosedur, tarif dan jangka waktu konversi
secara umum sendiri diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan
Pertanahan. Di dalam Peraturan turut juga termuat peraturan-peraturan yang
nantinya akan berhubungan dengan proses konversi itu sendiri, seperti
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun
2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Peraturan
55
Ibid
60
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan
Nasional, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Panitia
Pemeriksaan Tanah.
Dalam pelaksanaan Pendaftaran Tanah Hak-hak Baru maupun
Konversi Hak-hak Lama seringkali mengalami hambatan-hambatan yang
dimana apabila hambatan-hambatan tersebut dapat diurai, untuk kemudian
dapat ditemukan solusi-solusi. Solusi-solusi tersebut penting artinya guna
mencapai tujuan akhir dari suatu pendaftaran tanah yaitu penerbitan
Sertipikat. Dalam Pasal 32 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa “Sertipikat merupakan surat tanda
bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data
fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah
hak yang bersangkutan.”
C. Penelitian Yang Relevan
a) Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
Penulis : APRILLIYANI (2007);
Judul : Pelaksanaan Pendaftaran Konversi Hak Atas Tanah
Adat “Studi Mengenai Konversi Hak Atas Tanah
Grant Sultan Di Kota Medan”.
Rumusan Masalah : 1. Bagaimana Pelaksanaan pendaftaran konversi
hak atas tanah adat Grant Sultan di Kantor
Pertanahan Kota Medan?
2. Apakah kendala yang dihadapi, dalam
pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas
tanah adat Grant Sultan di Kantor Pertanahan
Kota Medan tersebut?
61
3. Upaya apa yang dilakukan dalam menghadapi
kendala yang timbul dalam pelaksanaan
pendaftaran konversi hak atas tanah adat
grant sultan di Kantor Pertanahan Kota
Medan tersebut?
Perbedaan : 1. Penelitian yang Relevan:
Memfokuskan pada bagaimana jenis-jenis
tanah grant sultan di Kota Medan yang bisa
dikonversi di Kantor Pertanahan Kota
Medan, beserta kendala yang muncul serta
upaya yang dilakukan dalam menghadapi
kendala tersebut.
2. Penelitian yang dilakukan Penulis:
Memfokuskan pada kesesuaian pelaksanaan
konversi bekas swapraja Kota Surakarta di
Kantor Pertanahan Kota Surakarta dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria beserta Peraturan Pelaksanaanya,
sekaligus hambatan-hambatan yang muncul
dalam proses konversi serta solusi yang ada
dalam menyelesaikan hambatan tersebut.
b) Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
Penulis : AGUNG RAHARJO (2010);
Judul : Pendaftaran Konversi Tanah Hak Milik Adat Oleh
Ahli Waris (Studi di Kantor Pertanahan
Kabupaten Klaten).
Rumusan Masalah : 1. Bagaimana kekuatan hukum bukti kepemilikan
tanah hak milik adat berupa petuk pajak atau
letter c?
62
2. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran konversi
tanah hak milik adat oleh ahli waris?
3. Bagaimana perlindungan hukum apabila salah
satu ahli waris tidak tercatat dalam sertipikat?
Perbedaan : 1. Penelitian yang Relevan:
Memfokuskan pada bagaimana kekuataan
hukum tanah hak milik adat yaitu letter c,
serta bagaimana perlindungan hukum pada
pemegang bukti hak letter c.
2. Penelitian yang dilakukan Penulis:
Memfokuskan pada kesesuaian pelaksanaan
konversi bekas swapraja Kota Surakarta di
Kantor Pertanahan Kota Surakarta dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria beserta Peraturan Pelaksanaanya,
sekaligus hambatan-hambatan yang muncul
dalam proses konversi serta solusi yang ada
dalam menyelesaikan hambatan tersebut