BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pajak 2.1.1.Pengertian Pajakeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3033/3/BAB...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pajak 2.1.1.Pengertian Pajakeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3033/3/BAB...
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Pajak
2.1.1.Pengertian Pajak
Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha harus memenuhi kewajiban
perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
pada negara di mana perusahaan itu menjalankan kegiatan usaha. Di Indonesia
menganut sistem self assessment dalam pemungutan perpajakan. Sistem self
assessment merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar.
Pajak memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan.
Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun
pengeluaran pembangunan. Sebaliknya, bagi perusahaan, pajak merupakan beban
yang akan mengurangi laba bersih.
10
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir
disebut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 selanjutnya dalam
tulisan ini disebut dengan UU KUP yaitu sebagai berikut: Pajak merupakan kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
2.1.2.Fungsi Pajak
Adapun fungsi pajak menurut Thomas Sumarsam (2013) yaitu:
a. Pajak sebagai sumber dana atau penerima (budgetair), yaitu pajak sebagai
penghimpun dana dari masyarakat ke dalam kas negara yang diperuntukkan bagi
pembiayaan pengeluaran pemerintah.
b. Pajak sebagai pengatur (regulerend), yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk
mengatur struktur pendapatan di tengah masyarakat dan struktur kekayaan antara
pelaku ekonomi.
2.1.3.Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibedakan menjadi:
a. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang.
11
b. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar.
c. Withholding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
2.1.4.Asas Pengenaan Pajak
Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk
mengenakan pajak adalah:
a. Asas domisili atau asas kependudukan, berdasarkan asas ini negara akan
mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut
merupakan penduduk atau berdomisili di negara atau apabila badan yang
bersangkutan berkedudukan di negara itu.
b. Asas sumber, berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang
pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber sumber yang berada di negara
ini.
12
c. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas (asas kewarganegaraan), landasan dalam
pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan.
Pembagian pajak menurut golongan adalah sebagai berikut:
a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan
kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang
bersangkutan, contohnya Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke
pihak lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai.
Pembagian pajak menurut sifatnya dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya
berdasarkan ciri-ciri prinsip:
a. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pajak subjeknya
yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan
dari wajib pajak, contohnya Pajak Penghasilan.
b. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya
tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohnya PPN dan PPNBM.
Pembagian pajak menurut pemungutan:
a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, PPN dan
PPNBM, PBB, dan Bea Materai.
13
b. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya: pajak reklame, pajak
hiburan, dan lain-lain.
2.2.Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Perencanaan pajak (tax planning) adalah langkah awal dalam melakukan
manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap
peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan yang akan
dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari dua definisi perencanaan pajak di bawah ini:
a. Tax planning is the systematic analysis of deferring tax options aimed at the
minimization of tax liability in current and future tax periods (Crumbley D.
Larry, Friedman Jack P., Anders Susan B., 1994).
b. Tax planning is arrangements of a person’s business and/or private affairs
in order to minimize tax liability (Lyons Susan M., 1996).
Jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden)
dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi
berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang, maka perencanaan pajak sama
dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis keduanya berusaha untuk
memaksimalkan penghasilan setelah pajak karena pajak merupakan unsur
pengurang laba yang tersedia, baik untuk dibagikan kepada pemegang saham
maupun untuk diinvestasikan kembali.
14
Perencanaan pajak adalah salah satu cara yang dapat dimanfaatkan oleh wajib
pajak dalam melakukan management perpajakan usaha atau penghasilannya, namun
perlu diperhatikan bahwa perencaan pajak yang dimaksud adalah perencanaan pajak
tanpa melakukan pelanggaran konstitusi atau Undang-Undang Perpajakan yang
berlaku. Perencanaan pajak adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh wajib pajak
(WP) untuk menyusun aktivitas keuangan guna mendapat pengeluaran (beban)
pajak yang minimal. secara teoritis, perencanaan pajak dikenal sebagai effective tax
planning, yaitu seorang wajib pajak berusaha mendapat penghematan pajak (tax
saving) melalui prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis
sesuai ketentuan UU Perpajakan.
2.2.1.Tahapan Perencanaan Pajak
Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tinggi, seorang manajer
dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan
perusahaan secara keseluruhan harus memperhitungkan adanya kegiatan yang
bersifat lokal maupun internasional. Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai
dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai
urutan tahap-tahap berikut ini:
a. Menganalisis informasi yang ada, yakni dengan menganalisis komponen
yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung
seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung.
b. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.
15
c. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak, yakni untuk melihat sejauh mana
hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan
laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan.
d. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak,
dengan demikian keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak harus
sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi.
e. Memutakhirkan rencana pajak, karena meskipun suatu rencana pajak telah
dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, tetap perlu diperhitungkan
setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang maupun
pelaksanaannya yang dapat berdampak terhadap komponen suatu perjanjian.
2.2.2.Motivasi Perencanaan Pajak
Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak umumnya
bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu:
1. Kebijakan perpajakan (tax policy), yaitu alternatif dari berbagai sasaran yang
hendak dituju dalam sistem perpajakan.
2. Undang-undang perpajakan (tax law), yaitu kenyataan yang menunjukkan
bahwa di manapun tidak ada undang-undang yang mengatur setiap
permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya selalu
diikuti oleh ketentuan-ketentuan yang lain. Tidak jarang pula ketentuan
pelaksanaan tersebut bertentangan dalam mencapai tujuan lain yang ingin
16
dicapai. Akibatnya terbuka celah bagi wajib pajak untuk menganalisis
kesempatan tersebut dengan cermat untuk perencanaan pajak yang baik.
3. Administrasi perpajakan (tax administration), yaitu tujuannya agar terhindar
dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran
antara aparat fiskus dengan wajib pajak akibat luasnya peraturan perpajakan
yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif. Secara umum
motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah untuk memaksimalkan laba
setelah pajak karena pajak ikut mempengaruhi pengambilan keputusan atau
suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi melalui
analisis yang cermat dan pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada dalam
ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan
perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama
dengan memanfaatkan:
a) Perbedaan tarif pajak.
b) Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak.
c) Loopholes, shelters, dan havens.
2.3.Aset Pajak Tangguhan
PSAK yang khusus mengatur tentang akuntansi pajak tangguhan adalah PSAK No.
46 yang menjelaskan bahwa: “Aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak
penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya
17
perbedaan temporer (temporary differences) yang boleh dikurangkan dan sisa
kompensasi kerugian (berasal dari koreksi positif)”.
“Aset pajak tangguhan adalah aktiva yang terjadi apabila perbedaan waktu
menyebabkan koreksi positif yang berakibat beban pajak menurut akuntansi komersial
lebih kecil dibanding beban pajak menurut Undang-Undang Pajak” Waluyo (2012 :
273).
Aset pajak tangguhan disebabkan jumlah pajak penghasilan terpulihkan pada
periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan
sisa kompensasi kerugian. Besarnya aset pajak tangguhan dicatat apabila
dimungkinkan adanya realisasi manfaat pajak di masa yang akan datang.
2.4. Beban Pajak Tangguhan
Beban pajak tangguhan diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan. Beban pajak tangguhan
dikelompokkan berdasarkan perbedaan temporer dan perbedaan permanen, pajak
secara final, dan adanya non deductible expense (biaya yang tidak boleh dikurangkan).
Perbedaan temporer adalah perbedaan yang terjadi akibat perbedaan waktu
pengakuan biaya atau pendapatan dalam laba akutansi dan dalam laba fiskal. Perbedaan
inilah yang akan menimbulkan biaya dan pendapatan pajak tangguhan dalam laporan
keuangan perusahaan. Perbedaan temporer dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
Perbedaan Temporer Kena Pajak (Taxable Temporary Differences) dan Perbedaan
Temporer Yang Boleh Dikurangkan (Deductible Temporary Differences). Jadi akibat
18
perbedaan temporer yang dapat dikurangkan dalam laporan keuangan masa kini adalah
munculnya aktiva pajak tangguhan (Deffered Tax Asset). Dengan demikian penurunan
aktiva pajak tangguhan menunjukkan adanya beban pajak tangguhan pada laporan
laporan keuangan tahun berjalan.
Perbedaan Permanen adalah perbedaan yang sifatnya tetap, yang tidak akan
hilang sejalan dengan waktu. Maka perbedaan permanen ini tidak akan menimbulkan
biaya atau pendapatan pajak tangguhan. Perbedaan permanen timbul karena terdapat
penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak atau penghasilan yang dikenakan
pajak secara final, dan adanya non deductible expense (biaya yang tidak boleh
dikurangkan.
2.5.Laba
Laba (keuntungan) merupakan salah satu tujuan utama perusahaan dalam
menjalankan aktivitasnya. Laba yang diperoleh perusahaan akan digunakan untuk
berbagai kepentingan, laba akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
perusahaan tersebut atas jasa yang diperolehnya. Adapun pengertian laba menurut para
ahli yaitu pertama, menurut M. Nafarin (2007: 788) dalam Herdawati (2015) “Laba
(income) adalah perbedaan antara pendapatan dengan keseimbangan biaya-biaya dan
pengeluaran untuk periode tertentu”. Sedangkan, menurut Kuswadi (2005:135) dalam
Herdawati (2015), menyatakan bahwa “perhitungan laba diperoleh dari pendapatan
dikurangi semua biaya”. Berdasarkan uraian diatas tentang pengertian laba, maka dapat
disimpulkan bahwa laba adalah keseluruh total pendapatan yang dikurangi dengan total
19
biaya-biaya. Analisis laba merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting bagi
manajemen guna mengambil keputusan untuk masa sekarang dan masa yang akan
datang. Artinya analisis laba akan memberi manfaat dan akan banyak membantu
manajemen dalam melakukan tindakan apa yang akan diambil ke depan dengan kondisi
yang terjadi sekarang atau untuk mengevaluasi apa penyebab turun atau naiknya laba
tersebut sehingga target tidak tercapai. Dengan demikian, analisis laba memberikan
manfaat yang cukup banyak bagi pihak manajemen. Adapun menurut Kasmir
(2011:303) dalam Herdawati (2015) menyatakan bahwa ada dua jenis laba yakni:
a. Laba Kotor (Gross Profit) artinya laba yang diperoleh sebelum dikurangi biaya-
biaya yang menjadi beban perusahaan. Artinya laba keseluruhan yang pertama
sekali perusahaan peroleh.
b. Laba bersih (Net Profit) merupakan laba yang telah dikurangi biaya-biaya yang
merupakan beban perusahaan dalam suatu periode tertentu termasuk pajak.
2.6.Manajemen Laba
2.6.1. Pengertian Manajemen Laba
Secara umum manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan
untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi dalam laporan keuangan
dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan
kondisi perusahaan.
Istilah intervensi dipakai sebagai dasar sebagian pihak untuk menilai
manajemen laba sebagai kecurangan. Sementara pihak lain tetap menganggap
20
aktivitas rekayasa manajerial ini bukan sebagai kecurangan. Alasannya, intervensi
itu dilakukan manajer perusahaan dalam kerangka standar akuntansi, yaitu masih
menggunakan metode dan prosedur akuntansi yang diterima dan diakui secara
umum.
Manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan keputusan tertentu
dalam laporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan
keuangan sehingga menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja
ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang
menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporakan dalam laporan keuangan.
Menurut Sulistyanto (2014), beberapa definisi-definisi manajemen laba yang
menggunakan terminologi berbeda namun secara garis besar definisi-definisi
mempunyai pengertian serupa adalah sebagai berikut:
a. Davidson, Stickney, dan Weil (1987)
Manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang
disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi berterima umum untuk
menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.
b. Schipper (1989).
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses penyusunan pelaporan
keuangan eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi (pihak
yang tidak setuju mengatakan bahwa hal ini hanyalah upaya untuk memfasilitasi
operasi yang tidak memihak dari sebuah proses).
21
c. National Association of Certified Fraud Examiners (1993)
Manajemen laba adalah kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat
laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga menyesatkan
ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan yang akhirnya
akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah
pendapat atau keputusannya.
d. Fisher dan Rosenzweig (1995)
Manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan
(menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya
tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan
jangka panjang.
e. Lewitt (1998)
Manajemen laba adalah fleksibilitas akuntansi untuk menyetarafkan diri dengan
inovasi bisnis. Penyalahgunaan laba ketika public memanfaatkan hasilnya.
Penipuan mengaburkan volatilitas keuangan sesungguhnya. Itu semua untuk
menutupi konsekuensi dari keputusan-keputusan manajer.
f. Healy dan Wahlen (1999)
Manajemen laba muncul ketika manajer menggunakan keputusan tertentu dalam
pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan
untuk menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang
22
diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang
menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu.
2.6.2.Faktor Munculnya Manajemen Laba
Ada tiga faktor yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktek manajemen laba
yaitu:
a. Manajemen Akrual (Accruals Management)
Faktor ini biasanya berkaitan dengan segala aktivitas yang dapat memengaruhi
aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari
para manajer (managers discretion).
b. Penerapan Suatu Kebijaksanaan Akuntansi yang Wajib
Faktor ini berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu
kebijaksanaan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan yaitu antara
menerapkannya lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai
saat berlakunya kebijaksanaan tersebut.
c. Perubahan Aktiva Secara Sukarela
Faktor ini biasanya berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau
mengubah suatu metode akuntansi tertentu di antara sekian banyak metode yang
dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh badan akuntansi yang ada Generally
Accepted Accounting Principles (GAPP).
23
2.6.3.Teori Manajemen Laba
1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Konsep manajemen laba dapat dimulai dari pendekatan teori agensi (agency
theory). Jensen dan Meckling (1976) dalam Herdawati (2015) menyatakan bahwa
hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak antara manajemen (agent) dengan
investor (principal). Pandangan agency theory yakni adanya pemisahan antara
pihak principal dan agent yang menyebabkan munculnya potensi konflik yang dapat
mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Maksud dengan principal dalam teori
keagenan ini, yakni pemegang saham atau pemilik yang menyediakan fasilitas dan
dana untuk kebutuhan operasi perusahaan sedangkan agent adalah manajemen yang
memiliki kewajiban mengelola perusahaan sebagaimana yang telah diamanahkan
principal kepadanya.
Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata
termotivasi oleh kesejahteraan dan kepentingan dirinya sendiri. Pihak principal
termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya melalui pembagian
dividen atau kenaikan harga saham perusahaan. Sedangkan pihak agent termotivasi
untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui peningkatan kompensasi. Konflik
kepentingan semakin meningkat ketika principal tidak memiliki informasi yang
cukup tentang kinerja agent karena ketidakmampuan principal memonitor aktivitas
agent dalam perusahaan. Ditambah lagi agent mempunyai lebih banyak informasi
mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal
24
inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh
principal dan agent dan dikenal dengan istilah asimetri informasi. Asimetri
informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent
mendorong pihak agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak
diketahui oleh principal dan menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada
principal, terutama informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agent.
Konflik kepentingan yang terjadi antara manajer dengan pemegang saham akan
mengakibatkan biaya keagenan (agency cost). Biaya keagenan dapat diminimalkan
dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan yang
terkait tersebut. Pemegang saham akan berusaha menjaga agar pihak manajemen
tidak terlalu banyak memegang kas karena kas yang banyak akan merangsang pihak
manajemen untuk menikmati kas tersebut bagi kepentingan dirinya sendiri.
a. Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)
Teori akuntansi positif merupakan teori yang mencoba untuk membuat
prediksi yang bagus dari kejadian dunia nyata. Teori akuntansi positif berkaitan
dengan memprediksi tindakan seperti pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer
perusahaan dan bagaimana respon manajer tersebut terhadap standar akuntansi
baru yang diusulkan (Scott, 2003) dalam Herdawati (2015). Menurut Watts dan
Zimmerman (1990) dalam Herdawati (2015), Teori akuntansi positif yaitu
berusaha untuk menjelaskan fenomena akuntansi yang diamati berdasarkan pada
alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Maksudnya, teori
25
akuntansi positif dimaksudkan untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi
yang terjadi jika manajer menentukan pilihan tertentu. Penjelasan dan prediksi
dalam teori akuntansi positif didasarkan pada proses kontrak atau hubungan
keagenan antara manajer dengan kelompok lain seperti investor, kreditor,
auditor, pihak pengelola pasar modal dan institusi pemerintah. Selain itu, Watt
dan Zimmerman (1986) dalam Herdawati (2015) juga mengaitkan positive
accounting theory dengan fenomena perilaku oportunistik manajer dengan
membentuk tiga hipotesis yang melatar belakangi perilaku oportunistik manajer
tersebut, yaitu:
1. Bonus Plan Hypothesis, menyatakan bahwa rencana bonus atau kempensasi
manajerial akan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode
akuntansi yang akan membuat laba yang dilaporkan menjadi lebih tinggi.
2. Debt (Equity) Hypothesis, menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai
rasio antara utang dan ekuitas lebih besar, cenderung memilih dan
menggunakan metode-metode akuntansi dengan laporan laba yang lebih
tinggi serta cenderung melanggar perjanjian utang apabila ada manfaat dan
keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya.
3. Political Cost Hypothesis, menyatakan bahwa perusahaan cenderung memilih
dan menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat memperkecil atau
memperbesar laba yang dilaporkannya. Konsep ini membahas bahwa manajer
perusahaan cenderung melanggar regulasi pemerintah, seperti undang-undang
26
perpajakan, apabila ada manfaat dan keuntungan tertentu yang dapat
diperolehnya, manajer akan mempermainkan laba agar kewajiban
pembayaran tidak terlalu tinggi sehingga alokasi laba sesuai dengan kemauan
perusahaan.
2.6.4.Motivasi Manajemen Laba
Terdapat beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan
manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2000) dalam Herdawati (2015),
yaitu:
a. Bonus purposes, yakni manajer yang memiliki informasi atas laba bersih
perusahaan akan bertindak secara oportunistic untuk melakukan manajemen laba
dengan memaksimalkan laba saat ini.
b. Kontrak utang jangka panjang, yakni semakin dekat perusahaan dengan
perjanjian kredit, maka manajer akan cenderung memilih prosedur yang dapat
memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami kegagalan dalam
pelunasan hutang.
c. Political motivations, yakni manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba
yang dilaporkan pada perusahaan publik. Jadi perusahaan cenderung mengurangi
laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan
pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
27
d. Taxation motivations, yakni saat ini motivasi penghematan pajak menjadi
motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi
digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.
e. Pergantian CEO, yakni CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung
menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Apabila kinerja
perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak
diberhentikan.
f. Initital Public Offering (IPO), yakni perusahaan yang akan go public belum
memiliki nilai pasar, sehingga mendorong manajer perusahaan yang akan go
public melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka dengan harapan
dapat menaikkan harga saham perusahaan.
g. Pentingnya memberi informasi kepada investor, yakni informasi mengenai
kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba
perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam
kinerja yang baik.
2.6.5.Bentuk-bentuk Manajemen Laba
Bentuk-bentuk manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2003) dalam
Herdawati (2015), yaitu:
a. Taking a bath, yakni dilakukan manajer dengan cara menggeser biaya akrual
discretionary periode mendatang ke periode kini atau menggeser pendapatan
akrual discretionary periode kini ke periode mendatang. Hal ini dilakukan
28
manajer untuk memaksimumkan kompensasi atau bonus yang akan diterimanya
pada tahun berikutnya karena menghadapi kenyataan bahwa bonus tahun ini
tidak dapat diterima.
b. Income minimization (minimisasi laba), yakni dimaksudkan untuk keperluan
pertimbangan pajak dengan meminimumkan kewajiban pajak perusahaan.
c. Income maximization (maksimisasi laba), yakni dimaksudkan untuk
memaksimumkan bonus manajer, menciptakan kinerja perusahaan yang baik
sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (pertimbangan pasar modal),
menunda pelanggaran perjanjian utang, dan manajer dapat memperoleh kendali
atas perusahaan.
d. Income smoothing (perataan laba), yakni tindakan dimana manajemen
memperhalus fluktuasi laba dari periode ke periode dengan cara memindahkan
laba dari periode yang memiliki laba tinggi ke periode yang memiliki laba
rendah.
2.6.6.Peluang Manajemen Laba
Dalam proses pelaporan yang dilakukan oleh manajemen, terdapat berbagai
motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba dan terdapat
peluang dari kondisi dan keadaan yang timbul saat manajemen melakukan
penyusunan laporan. Peluang dari kondisi dan keadaan yang timbul, yaitu
(Setiowati, 2007) dalam (Ferry, 2013):
29
a. Kelemahan yang inheren dalam akuntansi itu sendiri. Fleksibilitas dalam
menghitung angka laba disebabkan oleh:
1. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu
fakta tertentu dengan cara yang berbeda.
2. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk melibatkan
subyektivitas dalam menyusun estimasi.
b. Informasi asimetri antara manajer dengan pihak luar manajemen relatif lebih
tinggi. Mustahil bagi pihak luar (termasuk investor) untuk dapat mengawasi
semua perilaku dan semua keputusan manajer secara detail.
2.6.7.Faktor-faktor Manajemen Laba
1. Ukuran Perusahaan
Brigham dan Houston (2006:117) dalam Siti (2016) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan adalah perusahaan dengan rata-rata total penjualan bersih
untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Perusahaan yang berada
pada pertumbuhan penjualan yang tinggi membutuhkan dukungan sumber daya
perusahaan dan perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualannya rendah juga
membutuhkan sumber daya perusahaan guna meningkatkan penjualan tersebut.
Apabila perusahaan dihadapkan pada kebutuhan dana yang semakin meningkat
akibat pertumbuhan penjualan, dan sumber intern sudah digunakan semua, maka
tidak ada pilihan lain bagi perusahaan untuk menggunakan dana yang berasal
dari luar perusahaan. Hal ini akan berpengaruh terhadap manajemen laba. Pihak
30
manajer akan cenderung melakukan manajemen laba dengan pola peningkatan
laba (income increasing) agar mendapat sumber dana yang berasal dari luar
perusahaan, baik dengan tujuan untuk memperoleh pinjaman atau menarik
investor baru.
2. Kepemilikan Manajerial
Shleifer dan Vishny (1997) dalam Dewa dan Made (2016), menyatakan
bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki
insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah,
maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer
akan meningkat. Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan
dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang
saham luar dengan manajemen (Jansen dan Meckling, 1976) dalam Dewa dan
Made (2016). Sehingga permasalahan keagenen diasumsikan akan hilang apabila
seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik.
3. Perencanaan Pajak
Pada teori akuntansi positif dalam hipotesis ketiga yaitu The Political Cost
Hypothesis (Scott, 2003) dalam Ratna dan Titik (2016), menjelaskan bahwa
perusahaan yang berhadapan dengan biaya politik, cenderung melakukan
rekayasa penurunan laba dengan tujuan meminimalkan biaya politik yang harus
mereka tanggung, misal: melakukan pergeseran pajak, dengan mentransfer beban
pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau badan
31
yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya, melakukan
kapitalisasi, dengan melakukan pengurangan harga objek pajak sama dengan
jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Merekayasa usaha
dan transaksi wajib pajak supaya kewajiban perpajakan berada dalam jumlah
yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Hal tersebut
merupakan tindakan manajemen dalam meminimalisasi laba.
4. Beban Pajak Tangguhan
Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba
akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan pihak
eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang
digunakan sebagai dasar penghitungan pajak). Hal tersebut merupakan tindakan
manajemen dalam melakukan motivasi penghematan pajak.
5. Aset Pajak Tangguhan
Menurut Waluyo (2014) dalam Inasa (2015) menyatakan bahwa aset pajak
tangguhan (deferred tax asset) adalah jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan
(recovered) pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer
yang boleh dikurangkan dan sisa kerugian yang dapat dikompensasi. Hal tersebut
merupakan tindakan manajemen dalam melakukan motivasi penghematan pajak.
2.6.8.Pengukuran Manajemen Laba
Dalam pengukuran manajemen laba secara umum ada tiga pendekatan antara lain:
32
a. Model berbasis aggregate accrual merupakan model yang menggunakan
discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model ini dikembangkan
oleh Healy (1985), DeAngelo (1986), Jones (1991), serta Dechow, Sloan dan
Sweeney (1995).
b. Model berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang menghitung akrual
sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item laporan keuangan
tertentu dari industri tertentu pula. Model ini dikembangkan oleh McNichols dan
Wilson (1988), Petroni (1992), Beaver dan Engel (1996), Beneish (1997), serta
Beaver dan McNichols (1998).
c. Model berbasis distribution of earnings, yaitu pendekatan dengan melakukan
pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba untuk mendeteksi
faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba. Model ini dikembangkan
oleh Burgtahler dan Dichev (1997), Degeorge, Patel, dan Zeckhauser (1999),
serta Myers dan Skinner (1999). Pendekatan distribusi laba mengidentifikasikan
batas pelaporan laba (earnings thresholds) dan menemukan bahwa perusahaan
yang berada di bawah earnings thresholds akan berusaha untuk melewati batas
tersebut dengan melakukan manajemen laba. Philips et al. ( 2003) dalam Ferry
Aditama (2013) menyatakan bahwa para manajer melakukan manajemen laba
dengan pendekatan distribusi laba dikarenakan manajer sadar bahwa pihak
eksternal, khususnya para investor, bank, dan supplier menggunakan batas
pelaporan laba dalam menilai kinerja manajer. Philips et al. (2003) dalam Ferry
33
Aditama (2013) menyatakan bahwa terdapat dua macam earnings thresholds,
yaitu:
1. Titik pelaporan laba nol, yang menunjukkan usaha manajemen laba untuk
menghindari pelaporan kerugian. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama
(2013) menggunakan pendekatan ini dengan membandingkan antara tahun
perusahaan yang memiliki tingkat laba berskala nol atau positif dengan
sampel tahun perusahaan yang memiliki laba negatif. Hasil penelitian Philips
et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa peningkatan
dalam beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak meningkatkan peluang
pengelolaan laba untuk menghindari pelaporan kerugian.
2. Titik perubahan laba nol, yang menunjukkan usaha manajemen laba untuk
menghindari penurunan laba. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama
(2013) menggunakan titik perubahan nol untuk mengetahui indikasi praktik
manajemen laba. Adanya upaya praktik manajemen laba dilakukan dengan
membandingkan perusahaan yang perubahan labanya negatif. Philips et al.
(2003) dalam Ferry Aditama (2013) menunjukkan bahwa peningkatan beban
pajak tangguhan dan perencanaan pajak meningkatkan peluang pengelolaan
laba untuk menghindari penurunan laba, yang mendukung bahwa beban pajak
tangguhan berguna dalam memprediksi manajemen laba. Akan tetapi dari
ketiga model diatas hanya model berbasis aggregate accrual yang dinilai
sebagai model yang memberikan hasil paling kuat dalam mendeteksi
34
manajemen laba. Alasannya karena model empiris ini sejalan dengan
akuntansi berbasis akrual yang digunakan oleh dunia usaha dan model empiris
ini menggunakan semua komponen laporan keuangan dalam mendeteksi
rekayasa keuangan. Adapun beberapa model empiris berbasis aggregate
accrual untuk mendeteksi manajemen laba yakni :
a. Model Healy (1985), yaitu mendeteksi manajemen laba dengan menghitung nilai
total akrual dengan cara mengurangi laba akuntansi yang diperoleh selama satu
periode tertentu dengan arus kas operasi periode yang bersangkutan. Perhitungan
nondiscretionary accruals model Healy dengan membagi rata-rata total akrual
dengan total aktiva periode sebelumnya. Ada kelemahan mendasar dalam model
Healy yang diindikasikan oleh Dechow et al. (1995) yaitu bahwa total akrual
yang digunakan sebagai proksi manajemen laba mengandung nondiscretionary
accruals. Padahal nondiscretionary accruals merupakan komponen total akrual
yang tidak bisa dikelola atau diatur oleh manajer seperti halnya komponen
discretionary accruals.
b. Model DeAngelo (1986), yaitu mengukur manajemen laba dengan
nondiscretionary accrual dengan cara menghitung total akrual sebagai selisih
antara laba akuntansi yang diperoleh suatu perusahaan selama satu periode
dengan arus kas atau dihitung dengan menggunakan total akrual akhir periode
yang diskala dengan total aktiva periode sebelumnya. Seandainya
nondisdretionary accrual selalu konstan setiap saat dan discretionary accruals
35
mempunyai rata-rata sama dengan nol selama periode estimasi, maka kedua
model ini akan mengukur discretionary accrual tanpa kesalahan. Akan tetapi,
apabila nondiscretionary accrual berubah dari periode ke periode, maka kedua
model ini akan mengukur discretionary accrual dengan kesalahan.
c. Model Jones (1991), yaitu dalam model ini tidak lagi menggunakan asumsi
bahwa nondiscretionary accrual adalah konstan. Namun, model ini
menggunakan dua asumsi sebagai dasar pengembangan yaitu akrual periode
berjalan (current accruals) dan gross property, plant, and equipment. Secara
implisit model Jones mengasumsikan bahwa pendapatan merupakan
nondiscretionary. Apabila laba dikelola dengan menggunakan pendapatan
discretionary accrual, maka model ini akan menghapus bagian laba yang
dikelola untuk proksi discretionary accrual.
d. Model Jones Dimodifikasi (Dechow, Sloan dan Sweeney,1995), yaitu modifikasi
dari model Jones yang didesain untuk mengeliminasi kecenderungan untuk
menggunakan perkiraan yang bisa salah dari model Jones untuk menentukan
discretionary accruals ketika discretion melebihi pendapatan. Sama halnya
dengan model manajemen laba berbasis aggregate accrual yang lain, model ini
menggunakan discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba.
Kelebihannya, model ini memecah total akrual menjadi empat komponen utama
akrual, yaitu discretionary current accrual, discretionary long term accrual, dan
nondiscretionary long term accruals. Discretionary current accrual dan
36
nondiscretionary current accrual merupakan akrual yang berasal dari aktiva
lancar. Sedangkan discretionary long term accrual dan nondiscretionary long
term accruals merupakan akrual dari aktiva tidak lancar.
2.7.Tinjauan Pustaka
Sebelumnya sudah banyak penelitian yang dilakukan dengan topik yang sama,
antara lain:
No. Peneliti
Variabel
Penelitian
Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
1 Anjar
Wahyuningtyas
(2017)
Perencanaan
pajak, beban
pajak
tangguhan,
dan
manajemen
laba
Menguji
pengaruh
perencanaan
pajak dan beban
tangguhan
berpengaruh
terhadap
manajemen laba.
Perencanaan pajak
dan beban pajak
tangguhan
berpengaruh terhadap
manajemen laba
2 Lucy Citra
Fitriani (2016)
Aset pajak
tangguhan,
beban pajak
tangguhan,
Menguji
pengaruh aset
pajak tangguhan,
beban pajak
Aset pajak tangguhan
berpengaruh secara
signifikan terhadap
manajemen laba,
37
perencanaan
pajak, dan
manajemen
laba
tangguhan, dan
perencanaan
pajak terhadap
manajemen laba
beban pajak
tangguhan tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
manajemen laba,
perencanaan pajak
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
manajemen laba.
3 Margaretha
Angela Purba
(2016)
Aset pajak
tangguhan ,
beban pajak
tangguhan dan
manajemen
laba
Menguji aset
pajak tangguhan
dan beban pajak
tangguhan
berpengaruh
terhadap
manajemen laba.
Aset pajak tangguhan
berpengaruh negatif
dan tidak signifikan
terhadap manajemen
laba, sedangkan
beban pajak
tangguhan
berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap manajemen
laba.
38
4 Inasa
Singkianti
(2015)
Aset pajak
tangguahn,
beban pajak
tangguhan,
perencanaan
pajak dan
manajemen
laba
Menguji
pengaruh aset
pajak tangguhan,
beban pajak
tangguhan, dan
perencanaan
pajak tangguhan
terhadap
manajemen laba.
Aset pajak tangguhan
tidak berpengaruh
terhadap manajemen
laba. Beban pajak
tangguhan tidak
berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Perencanaan pajak
tidak berpengaruh
terhadap manajemen
laba.
5 Widyasenja
dkk (2015)
Tax Planning,
beban pajak
tangguhan dan
manajemen
laba
Menguji
pengaruh tax
planning dan
beban pajak
tangguhan
terhadap
manajemen laba.
Perencanaan pajak
berpengaruh terhadap
manajemen laba,
tetapi beban pajak
tangguhan tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
manajemen laba.
39
6 Herdawati
(2015)
Perencanaan
pajak, beban
pajak
tangguhan dan
manaejen laba
Menguji
pengaruh
perencanaan
pajak dan beban
pajak tangguhan
terhadap
manajemen laba.
Perencanaan pajak
memiliki pengaruh
positif dan tidak
signifikan terhadap
manajemen laba,
beban pajak
tangguhan
berpengaruh positif
dan tidak signifikan
terhadap manajemen
laba.
7. Dewi
Pindiharti
(2011)
Aktiva pajak
tangguhan,
beban pajak
tangguhan,
dan akrual
earning
management
Menguji
pengaruh aktiva
pajak tangguhan,
beban pajak
tangguhan, dan
akrual terhadap
earning
management.
Beban pajak
tangguhan dan akrual
memiliki pengaruh
positif dan signifikan
terhadap earning
management,
sedangkan aktiva
pajak tangguhan tidak
berpengaruh.
2.8.Kerangka Pemikiran
40
Informasi yang terdapat dalam laporan keuangan sering direkayasa oleh pihak
manajemen untuk mengoptimalkan keuntungan perusahaan dan juga untuk
kepentingan dirinya sendiri atau dikenal dengan manajemen laba. Terdapat beberapa
metode yang digunakan untuk menguji manajemen laba dan biasanya manajemen
laba sering sekali dikaitkan dengan perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan.
Perusahaan melakukan perencanaan pajak seefektif mungkin, bukan hanya untuk
memperoleh keuntungan dari segi fiskal saja, tetapi sebenarnya perusahaan juga
memperoleh keuntungan dalam memperoleh tambahan modal dari pihak investor
melalui penjualan saham perusahaan (Herdawati, 2015) dan laporan keuangan
menyajikan semua informasi mengenai perusahaan salah satunya yaitu laba
perusahaan. Hal ini peran manajemen sangat berpengaruh dalam menentukan laba.
Beban pajak tangguhan dan aktiva pajak tangguhan merupakan bagian yang
menetukan laba. Yulianti (2005) mengatakan semakin besar persentase beban pajak
tangguhan terhadap total beban pajak perusahaan menunjukkan standar akuntansi
yang semakin liberal. Beban yang besar akan menurunkan tingkat laba yang
diperoleh suatu perusahaan, dan sebaliknya beban yang sedikit akan menaikkan
tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Beban pajak tangguhan mengakibatkan
tingkat laba yang diperoleh menurun dengan demikian memiliki peluang yang lebih
besar untuk mendapatkan laba yang lebih besar di masa yang akan datang dan
mengurangi besarnya pajak yang dibayarkan.
41
Aset pajak tangguhan yang jumlahnya diperbesar oleh manajemen dimotivasi
adanya pemberian bonus, beban politis atas besarnya perusahaan dan minimalisasi
pembayaran pajak agar tidak merugikan perusahaan. Mengacu pada pernyataan
tersebut, maka diekspektasikan adanya peranan antara peranan pajak, aktiva pajak
tangguhan dan beban pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan
sebagai indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan semakin
besar maka semakin tinggi kesempatan manajemen melakukan manajemen laba
(earnings management).
Aset Pajak Tangguhan
(X2)
Beban Pajak Tangguhan
(X3)
Perencanaan Pajak
(X1)
Manajemen
Laba
(Y)
Gambar 2. 1. Kerangka Pikir
42
2.9.Hipotesis
2.9.1. Pengaruh Perencanaan pajak terhadap Manajemen laba
Perencanaan pajak memiliki pengaruh, yakni semakin bagus perencanaan
pajak maka semakin besar perusahaan melakukan manajemen laba. Salah satu
perencanaan pajak adalah dengan cara mengatur seberapa besar laba yang
dilaporkan, sehingga masuk dalam indikasi adanya praktik manajemen laba. Untuk
menghindari hal tersebut maka perusahaan akan melakukan manajemen laba agar
laba yang dilaporkan kepada fiscal lebih rendah sehingga akan mengurangi beban
pajak yang akan ditanggunganya, (Scott, 2003). Dapat disimpulkan bahwa suatu
perencanaan pajak dapat mempengaruhi suatu perusahaan untuk melakukan
manajemen laba karena perencanaan pajak dapat menurunkan suatu tingkat laba
dalam perusahaan maka hipotesis yang dibuat sebagai berikut :
H1 : Perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba
2.9.2. Pengaruh Aset Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba
Menurut Kiswara dalam Suranggane (2007) besaran aset pajak tangguhan
yang terdapat di neraca dicatat apabila ada kemungkinan terealisasi di masa yang
akan datang. Banyak peneliti dan para profesi akuntan berpendapat bahwa aset pajak
tangguhan dapat terealisasikan di periode yang akan datang apabila probabilitas
realisasi lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka harus dilakukan penilaian
kembali untuk mengurangi atau menurunkan saldo akun tersebut.
43
Burgstahler, et al. (2002) dalam Yulianti (2005) menguji pengaruh asset pajak
tangguhan terhadap manajemen laba selama tahun 1993-1998 terhadap 482
perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asset pajak tangguhan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. Penelitian lain oleh Suranggane
(2007) mengatakan bahwa aset pajak tangguhan dijadikan proksi sebagai indikator
dari praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan.
Mengacu pada pernyataan tersebut, maka diekspektasikan adanya peranan
antara aset pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan sebagai
indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan semakin besar
maka semakin tinggi manajemen melakukan manajemen laba (earning
management), untuk itu dibuat hipotesis sebagai berikut:
H2 : Aset pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba.
2.9.3. Pengaruh Beban Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba
Semakin besar persentase beban pajak tangguhan terhadap total beban pajak
perusahaan menunjukkan standard akuntansi yang semakin liberal (Yulianti
;2005:118). Selain itu, perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal memiliki
hubungan positif dengan insentif pelaporan keuangan seperti financial distress dan
pemberian bonus dengan adanya hal tersebut. Dan dapat dimungkinkan manajer
dapat melakukan rekayasa laba atau manajemen laba dengan memperbesar atau
memperkecil jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dalam laporan laba/rugi.
44
Selisih negatif antara laba akuntansi dan laba fiskal mengakibatkan terjadinya beban
pajak tangguhan (Djamalludin ,2008 : 58 ).
Berdasarkan penelitian Philips et al. ( 2003) dalam Ferry Aditama (2013)
membuktikan adanya praktik manajemen laba dengan menggunakan beban pajak
tangguhan. Penelitian yang dilakukan Yulianti (2005) juga menemukan bukti empiris
bahwa beban pajak tangguhan memiliki hubungan positif signifikan dengan
probabilitas perusahaan untuk melakukan manajemen laba guna menghindari
kerugian perusahaan. Manajemen laba merupakan peluang bagi manajemen untuk
merekayasa besarnya beban pajak tangguhan guna menaikan dan menurunkan
tingkat labanya. Beban pajak tangguhan mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh
menurun dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan
laba yang lebih besar di masa yang akan datang dan mengurangi besarnya pajak yang
dibayarkan. Berdasarkan penelitian di atas, penulis menghipotesiskan:
H3 : Beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba.
2.9.4. Pengaruh Perencanaan Pajak, Aset pajak tangguhan dan Beban Pajak
Tangguhan secara bersama-sama terhadap Manajemen Laba
Pengaruh perencanaan pajak, aset pajak tangguhan dan beban pajak tangguhan
terhadap manajemen laba dijelaskan dengan teori pendekatan distribusi laba.
Pendekatan destribusi laba mengidentifikasikan batas pelaporan laba (earnigs
thresholds) dan menemukan bahwa perusahaan yang berada di bawah earnigs
45
thresholds akan berusaha untuk melewati batas tersebut dengan melakukan
manajemen laba. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan
bahwa para manajer melakukan manajemen laba dengan pendekatan distribusi laba
dikarenakan manajer sadar bahwa pihak eksternal, khususnya para investor, bank,
dan supplier menggunakan batas pelaporan laba dalam menilai kinerja manajer.
Pendekatan ini dapat diukur dengan dua cara, yaitu: titik pelaporan laba nol (usaha
manajemen laba untuk menghindari pelaporan kerugian) dan titik perubahan laba nol
(usaha manajemen laba untuk menghindari penurunan laba). Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H4: Perencanaan pajak, aset pajak tangguhan dan beban pajak tangguhan
secara bersama-sama berpengaruh terhadap manajemen laba.