BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Tektonik ...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Tektonik ...
5
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Geologi Regional
2.1.1 Tektonik Sumatera Barat
Sesar Sumatera membentang dengan panjang 1900 km sepanjang Pulau Sumatera
yang tumbuh dekat busur vulkanik aktif. Selain itu, Sumatera Barat dilewati oleh
4 segmen patahan aktif, yaitu Segmen Sumpur, Segmen Sianok, Segmen Sumani,
dan Segmen Suliti. Segmen Sumpur yang memiliki panjang 35 km belum
memiliki catatan gempa besar. Segmen Sianok memiliki panjang lebih kurang 90
km memiliki catatan gempa besar pada tahun 1822 dan 1926. Segmen Sumani
memiliki Panjang 60 km dengan catatan gempa besar pada tahun 1943 dan 1926.
Segmen Suliti dengan panjang 95 km tercatat pernah mengalami gempa besar
pada tahun 1943 (Sieh dan Natawidjaja, 2000).
Gempa bumi dengan kekuatan 3-6 SR sering terjadi di wilayah pantai Sumatera
Barat, dan beberapa diantaranya berkekuatan lebih dari 6 SR. Berdasarkan
sebaran, kekuatan dan kedalaman serta hubungan dengan kejadian, Pulau
Sumatera terkenal dengan dua sumber gempa bumi yaitu dari zona tumbukan
antar lempeng (jalur tunjaman) dan jalur daratan. Dimana yang paling sering
terjadi yaitu pada jalur penunjaman ( Sieh dan Natawidjaja, 2000) .
Berdasarkan catatan sejarah, bencana gempa bumi merusak di wilayah Sumatera
Barat dari tahun 2010 sampai 2016 pernah terjadi pada 6 Juli 2013 berkekuatan
6,1 SR di Kepulauan Mentawai dan 2 maret 2016 berkekuatan 7,8 SR di
Kepulauan Mentawai juga. Gempa bumi yang disertai tsunami pernah terjadi
pada tahun 2010 dengan kekuatan 7,2 SR di Kepulauan Mentawai, (BMKG,
2018) (BMKG, 2018)
6
2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Regional
Gambar 2. 1 Fisiografi Regional Sumatera Barat (Modifikasi dari Mufidah, 2011 dan
Sandy, 1985)
Secara fisiografi daerah Sumatera Barat terbagi menjadi wilayah pegunungan
vulkanik, wilayah perbukitan tersier dan wilayah dataran rendah. Gambar 2.1,
merupakan peta fisiografi Sumatera Barat. Pada bagian tengah provinsi Sumatera
Barat terdapat pegunungan vulkanik yang ditunjukkan oleh warna merah, dan
dibagian tengah wilayah pegunungan vulkanik tersebut terdapat Sesar Sumatera.
Sedangkan dibagian Timur pegunungan vulkanik merupakan wilayah perbukitan
tersier.
2.2 Geologi Daerah Penelitian
Dalam peta geologi Lembar Padang yang ditulis oleh Kastowo pada tahun 1996,
daerah Sumatera Barat tersusun atas Satuan Batuan Gunung Api, Satuan Sedimen,
dan Satuan Endapan Permukaan. Berikut merupakan gambar peta geologi
Sumatera Barat.
7
Gambar 2. 2 Peta Geologi Sumatera Barat. Garis Hitam Merupakan Patahan.
(Modifikasi Kastowo 1996).
Tabel 2. 1 Legenda Formasi Sumatera Barat
Simbol Umur Nama Batuan/ Formasi
Gr4 Jura Batuan Terobosan
Qtta Kuarter Andesit dan Tuff
Qs Kuarter Endapan Danau
Tmou Neogen Formasi Ombilin
Tos1 Paleogen Formasi Sangkarewang
Teos Neogen Formasi Sangkarewang
Pbl Permo Karbon Formasi Barisan
Pb Permian Formasi Barisan
Qa Kuarter Aluvial
Ql Kuarter Formasi Solok
Qcl Kuarter Batugamping Koral
Qh Kuarter Alluvium
8
Qhpt Kuarter Tuf Batuapung Hornblenda
hipersten
Qoa Kuarter Formasi Painan
Qp Kuarter Alluvium Tua
Qf Kuarter Kipas Alluvium
Qh Kuarter Alluvium
Teob Neogen Formasi Brani
Teos Neogen Formasi Sangkarewang
Qpt1 Kuarter Formasi Totolan
Qamj Kuarter Andesit Dari Kaldera Danau
Maninjau
Peta geologi Lembar Padang, memetakan sesar Sumatera (Great Sumatra Fault)
memanjang mulai dari koordinat 100°09’30”BT dan 0°00’ 0” LS sekitar utara
kaki Bukit Batan Tinjaulaut hingga kaki barat daya Gunung api Marapi koordinat
100°25’00”BT dan 0°24’30”LS sekitar Desa Kotabaru. Kemudian sesar tersebut
muncul kembali di sekitar Dusun Paninjauan koordinat 100°26’30”BT dan
0°27’15”LS berlanjut menyatu dengan lembah Sungai Sumpur, menerus melewati
dinding timur Danau Singkarak ( Kastowo dkk., 1997)
Dalam peta geologi, zona Sesar Sumatera berawal dari sebelah utara Gunung
Talamau memotong material hasil letusan gunung api. Bersusunan aglomerat,
lapili, sinder, tuf, tuf batuapung, dan lava berumur Holosen Awal. Sesar tersebut
terputus- putus melintasi Kecamatan Bonjol memotong endapan gunung api dan
batuan piroklastika berkomposisi intermediet sampai mefik berumur Plistosen.
Satuan batuan gunung api terdiri dari batuan andesit yang terbentuk akibat
aktivitas gunung dan kaldera yang ada di daerah Sumatera Barat seperti Gunung
Singgalang dan Gunung Tandikat, dan Kaldera Danau Maninjau. Erupsi dari
kaldera gunung tersebut berhubungan dengan jalur Sesar Sumatera. Batuan pada
satuan ini berupa tuff, batuapung, lapili, dan batugamping. Batuan Gunung Api ini
diperkirakan berumur Kuarter atau Tersier.
9
Satuan endapan permukaan berupa daratan aluvium dan kipas aluvium, yang
terdiri atas lanau, pasir, kerikil, daerah pantai, endapan rawa dan terkadang
terdapat sisa-sisa tuff. Endapan ini berasal dari hasil rombakan andesit yang
berasal dari gunung api strato. Satuan batuan sedimen yang terdiri dari batupasir
kuarsa dengan sisipan konglomerat, batuapung, dan batugamping yang berongga
dan telah mengalami kekar. Batuan konglomerat tersingkap di daerah bagian
Utara yang mana fragmen granit lebih banyak berada di bagian Selatan. Batuan
Sedimen pada daerah Sumatera Barat diperkirakan berumur Miosen.
2.3 Parameter Gempa Bumi
Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi dikarenakan pergerakan tiba-tiba
lapisan batuan pada kerak bumi (Sunarjo, 2012). Pergerakan tersebut disebabkan
oleh pelepasan energi yang terjadi di bawah permukaan bumi. Gempa bumi akan
menghasilkan rekaman sinyal yang berbentuk gelombang dan diolah menjadi data
bacaan fase. Selanjutnya informasi seismik tersebut akan dikumpulkan, diolah,
dan dianalisis sehingga diperoleh parameter gempa bumi. Parameter gempa bumi
tersebut meliputi:
2.1 Origin time
Waktu terjadinya gempa (origin time) merupakan waktu dimana pelepasan
energi pertama kali terjadi di lokasi sumber gempa yang mengalami tekanan
akibat tumbukan atau gesekan.
2.2 Episenter
Episenter adalah titik dipermukaan bumi yang merupakan refleksi tegak lurus
dari hiposenter atau fokus gempa bumi. Lokasi episenter dibuat dalam sistem
koordinat kartesian bola bumi atau sistem koordinat geografis dan dinyatakan
dalam derajat lintang dan bujur.
10
Gambar 2. 3 Ilustrasi Lokasi Gempa Bumi (Hurukawa, dkk., 2008)
D adalah jarak hiposenter terhadap stasiun pencatat, sedangkan E adalah jarak
episenter dengan stasiun.
2.3 Kedalaman sumber gempa
Kedalaman sumber gempa bumi (hiposenter) adalah jarak yang dihitung
tegak lurus dari permukaan bumi. Kedalaman sumber gempa bumi
dinyatakan dalam satuan km. Kedalaman gempa dibagi menjadi tiga zona:
dangkal, menengah, dan dalam.
2.4 Magnitudo
Magnitudo gempa bumi adalah parameter gempa bumi yang berhubungan
dengan besarnya kekuatan gempa bumi di sumbernya. Jadi pengukuran
magnitudo yang dilakukan di tempat yang berbeda, harus menghasilkan nilai
yang sama walaupun gempa bumi yang dirasakan di tempat-tempat tersebut
tentu berbeda. Jenis-jenis gempa magnitudo dapat dibagi menjadi beberapa
bagian, diantaranya sebagai berikut:
a. Magnitudo lokal (Ml)
Skala magnitudo lokal pertama kali dikemukakan oleh Richter pada awal
tahun 1930-an dengan menggunakan data kejadian gempa bumi di California
yang direkam oleh Seismograf Wood-Anderson. Rumus empiris skala
magnitudo Richter , yaitu:
= (2.1)
Dimana :
11
: displacement gempa bumi atau amplitudo sinyal yg diukur dari
garis nol ke puncak pada seismogram Wood-Anderson (dalam μm)
: kejadian referensi pada jarak dan waktu tertentu.
b. Magnitudo body (Mb)
Magnitudo lokal sangat akurat untuk kejadian gempa bumi yang berskala
lokal maupun regional, namun ada keterbatasan tipe alat dan kisaran jarak,
yang tidak praktis untuk karakterisasi skala global. Di luar jarak regional,
dimana gelombang P menjadi fase yang jelas, maka praktis untuk
mendefinisikan suatu skala magnitudo gelombang badan diperoleh
berdasarkan amplitudo gelombang badan (P atau S) disimbolkan sebagai Mb.
Magnitudo ini dihitung dengan formula:
+ (2.2)
Dimana:
: amplitudo getaran tanah (µm
: periode getaran tanah (sekon)
: koreksi jarak episenter dan kedalaman berdasarkan
pendekatan empiris
c. Magnitudo gelombang permukaan (Ms)
Selain magnitudo gelombang badan, dikembangkan pula magnitudo
gelombang permukaan (Surface Wave Magnitude). Untuk jarak Δ > 600 km
seismogram periode panjang (long-period seismogram) dari gempa bumi
dangkal didominasi oleh gelombang permukaan. Gelombang ini biasanya
memiliki periode sekitar 20 detik. Amplitudo gelombang permukaan sangat
bergantung pada pada jarak Δ dan kedalaman sumber gempabumi h. Gempa
bumi dalam tidak menghasilkan gelombang permukaan, karena itu persamaan
Ms tidak memerlukan koreksi kedalaman. Rumus empiris Ms adalah sebagai
berikut:
+ (2.3)
Dimana:
: amplitudo maksimum dari pergeseran tanah horisontal pada
periode 20 detik
: jarak episenter (km)
12
dan β : koefisien dan konstanta yang didapatkan dengan pendekatan
empiris.
d. Magnitudo momen (Mw)
Nilai magnitudo momen dipengaruhi oleh nilai momen seismiknya.
Berdasarkan teori Elastik Rebound diperkenalkan istilah momen seismik
(seismic moment). Momen seismik yang disimbolkan sebagai M0 dapat
diestimasi dari dimensi pergeseran bidang sesar atau dari analisis karakteristik
gelombang gempa bumi yang direkam di stasiun pencatat khususnya dengan
seismograf periode bebas (broadband seismograph). Rumus umum momen
seismik adalah sebagai berikut :
= (2.4)
Dimana:
µ : rigiditas
D : pergeseran rata – rata bidang sesar
a : area bidang sesar
2.4 Diagram Wadati
Salah satu cara untuk menentukan origin time adalah dengan diagram Wadati.
Pada diagram Wadati ini beda waktu tiba antara gelombang P dan gelombang S
( diplot terhadap waktu tiba gelombang P dari sejumlah stasiun. Dari
hasil ploting maka ditentukan origin time dengan cara mendapat titik potong garis
lurus terhadap data dan ( , titik potong garis lurus tersebut merupakan
pendekatan dari waktu terjadinya gempa. Untuk melakukan perhitungan diagram
Wadati digunakan rumus:
( 2.5)
(2.6)
13
(
)
= (
)
(2.7)
Mencari gradient diagram Wadati:
(
)
=
(2.8)
(2.9)
Karena
adalah K maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi:
(2.10)
Keterangan:
= origin time (s)
L = jarak stasiun ke hiposenter (km)
= arrival time gel P (s)
= arrival time gel S (s)
K = rasio kecepatan (Vp/Vs) (km/s)
m = gradient
14
Gambar 2. 4 Diagram Wadati
2.5 Metode Geiger
Metode Geiger merupakan metode yang menggunakan prinsip Geiger (1910)
dimana iterasi dengan optimasi least square dilakukan untuk menentukan
hiposenter (Sahara, dkk., 2009). Pada aplikasinya metode ini membutuhkan
parameter model awal. Model awal dapat diperoleh dari hasil metode grid search
yang telah dimiliki. Hasil yang diperoleh dari metode ini akan sangat bergantung
dengan model awal yang digunakan. Pada metode ini dilakukan perhitungan nilai
residual yang diperoleh dari selisih antara waktu tempuh hasil observasi tiap
stasiun dan waktu tempuh hasil kalkulasi dari model kecepatan. Akurasi lokasi
hiposenter yang dihasilkan akan bergantung pada beberapa faktor, seperti
geometri jaringan, fase, pembacaan waktu tiba dan karakteristik struktur lapisan
batuan (Gomberg, dkk., 1990).
= (2.11)
Dimana:
: waktu waktu tempuh gelombang seimik pada stasiun ke pusat gempa
: waktu tempuh dugaan berdasarkan model kecepatan
𝑡𝑝 𝑡𝑜
𝑡𝑝 𝑡𝑜
15
Metode Geiger masih memiliki kekurangan pada perhitungan, terutama apabila
data yang digunakan berasal dari stasiun dengan jarak yang relatif jauh. Karena
jarak yang jauh menyebabkan variasi kecepatan gelombang seismik tidak dapat
dihitung secara tepat. Sehingga metode Geiger hanya dapat diterapkan dengan
baik dalam penentuan posisi hiposenter yang bersifat lokal.
2.6 Metode Double Difference
Prinsip metode double difference yaitu jika ada dua sumber gempa memiliki jarak
relatif dekat antara satu dengan yang lain dibanding jarak kedua sumber gempa
tersebut terhadap stasiun pencatatnya. Maka raypath atau lintas penjalaran dari
kedua sumber gempa dianggap sama. Dengan asumsi tersebut, maka selisih waktu
tempuh dari kedua gempa yang terekam di stasiun yang sama dianggap sebagai
fungsi jarak kedua hiposenter. Sehingga kesalahan model kecepatan yang
digunakan dapat di minimalisasi tanda menggunakan koreksi stasiun (Waldhauser
dan Ellsworth, 2000).
Gambar 2. 5 Ilustrasi Metode Double Difference (Waldhauser dan Ellsworth, 2000)
Pada Gambar 2.5 terdapat lingkaran berwarna hitam dan putih merupakan titik
sebaran hiposenter gempa yang dihubungkan dengan event gempa sekitarnya, data
korelasi (ditunjukkan dengan garis tebal) dan katalog (ditunjukkan dengan garis
16
putus-putus). Gempa i dan gempa j yang ditunjukkan dengan lingkaran putih
terekam pada stasiun yang sama (stasiun k dan stasiun l) dengan selisih waktu
tempuh dan
. Karena dekatnya posisi antara kedua gempa tersebut, maka
raypath keduanya dianggap sama yaitu melewati medium dengan kecepatan yang
sama arah panah Δ dan Δ menunjukkan vektor relokasi gempa yang akan
terjadi.
Menggunakan teori penjalaran sinar, maka persamaan waktu tiba gelombang
badan untuk gempa bumi i di stasiun k dapat didefinisikan sebagai sebuah
integral lintasan (Waldhauser dan Ellsworth, 2000):
= +
(2.12)
adalah waktu tiba event i pada stasiun k, adalah waktu kejadian event i, dan
adalah perlambatan atau slowness field, dan adalah elemen panjang lintasan.
Hubungan antara waktu tempuh dan lokasi event non-linear sehingga persamaan
perlu dillinearisasi terlebih dahulu menggunakan ekspansi deret Taylor. Kemudian
akan diperoleh persamaan dimana adalah residual waktu tempuh event i pada
stasiun k yang linear terhadap perturbasi yang terdiri atas empat parameter
hiposenter, yakni latitude, longitude, kedalaman, dan waktu terjadinya gempa
=
(2.13)
Seperti pada prinsip metode Double Difference yang telah disebutkan, maka
dibutuhkan pasangan gempa yang terdiri atas dua gempa dalam melakukan
relokasi sehingga persamaan (2.12) akan menjadi sebagai berikut,
=
(2.14)
dapat diuraikan menjadi residual antara selisih waktu tempuh observasi dan
kalkulasi pasangan event yang kemudian disebut sebagai persamaan Double
Difference yang terdapat pada persamaan (2.14). Nilai waktu tempuh observasi
sendiri dapat diperoleh dari data cross-correlation atau data katalog. Persamaan
17
ini kemudian dapat dimasukkan kedalam persamaan (2.13) dimana diuraikan
menjadi perubahan empat parameter hiposenter.
= ( -
-
- (2.15)
+
+
+
(2.16)
Dimana :
i dan j : dua hiposenter yang saling berdekatan.
k dan l : dua stasiun yang merekam kedua kejadian gempa tersebut.
: waktu tempuh dari gempa i yang direkam oleh stasiun k
: waktu tempuh residual antara pasangan gempa i dan j pada stasiun k.
: waktu tempuh observasi ( terekam oleh stasiun penerima)
: waktu tempuh kalkulasi (dari perhitungan).
Pada relokasi hiposenter, perubahan empat parameter hiposenter pada persamaan
(2.16) merupakan nilai yang harus dihitung. Untuk memperolehnya, maka
dilakukan inversi menggunakan persamaan berikut:
(2.17)
Dimana adalah waktu tempuh residual untuk seluruh pasangan hiposenter
. G merupakan matriks turunan parsial waktu tempuh terhadap parameter
hiposenter (M x 4N), W adalah matriks diagonal pembobotan setiap persamaan,
dan m adalah data vektor perubahan posisi relatif antara pasangan hiposenter
terhadap dugaan berukuran 4N x 1.
Penentuan posisi hiposenter terus dilakukan dengan melakukan iterasi sampai
mendapatkan hasil nilai residual antara waktu tempuh observasi dengan kalkulasi
yang mendekati nilai minimum. Penentuan hiposenter dipengaruhi oleh model
18
kecepatan pada daerah penelitian. Model kecepatan yang digunakan adalah model
kecepatan 1-D gelombang P.
Hasil dari pengolahan metode double difference menunjukkan adanya
pengelompokan antara beberapa event. Hasil relokasi hiposenter yang didapatkan
benar atau salah dapat dilihat dari nilai residual waktu tempuh. Dilakukan dengan
cara membandingkan frekuensi residual antara sebelum relokasi dengan setelah
relokasi hiposenter. Apabila residual mendekati nilai minimum (nol) itu
menunjukan antara model bumi dengan kenyataan tidak terlalu jauh berbeda dan
sebaliknya (Waldhauser dan Ellsworth, 2000).
2.7 Penelitian yang sudah pernah dilakukan
Penelitian tentang relokasi hiposenter dengan metode double difference sudah
pernah dilakukan mahasiswa Institut Teknologi Sumatera yang berjudul Relokasi
Hiposenter Gempa pada Zona Subduksi di Sumatera Bagian Barat dengan
menggunakan data arrival time dari periode tahun 2010 hingga 2017 dengan
jumlah event 2467. Wilayah penelitian adalah Sumatera bagian Barat -5,5° - 3,9°
LS dan 94,6°- 105,88° BT.
Penelitian sebelumnya juga sudah pernah dilakukan oleh Iktri Madrinovella dari
Institut Teknologi Bandung pada tahun 2011. Judul penelitianya adalah Relokasi
Hiposenter Gempa Padang 30 September 2009 menggunakan metode Double
Difference (hypoDD) Berdasarkan Data Katalog/ Buletin Gempa Bumi. Dari
Jurnal ini penulis belajar cara mengolah dan memahami relokasi dengan metode
hypoDD.
Rangkuman dari penelitian tersebut adalah diketahui lokasi hiposenter yang lebih
akurat, karena penentuan lokasi hiposenter dihitung dari waktu tempuh gempa dan
gempa-gempa di sekitarnya terhadap stasiun penerima (prinsip double difference).
HypoDD dapat menghitung waktu tempuh kalkulasi dengan algoritma tersendiri
berdasarkan model kecepatan yang dimasukkan. Hasil relokasi tersebut
menunjukkan lokasi yang lebih dangkal dan berada di sebelah barat dari posisi
19
awalnya (lokasi hiposenter BMKG). Gempa Padang 30 September 2009 berada
pada lempeng Indo-Australia atau di bawah zona Benioff, sehingga gempa ini
bukanlah gempa yang merobek jalur subduksi.