BAB II LANDASAN TEORETIK...BAB II LANDASAN TEORETIK 2.1.Perubahan Kurikulum Dunia pendidikan kita...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORETIK...BAB II LANDASAN TEORETIK 2.1.Perubahan Kurikulum Dunia pendidikan kita...
-
�
�
���
�
BAB II LANDASAN TEORETIK
2.1. Perubahan Kurikulum
Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami
perubahan kurikulum. Setidaknya sudah tujuh kali
perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni
Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK tahun
2004 dan KTSP tahun 2006. Namun, apa dampaknya
terhadap mutu pendidikan? Sudahkah pendidikan di negeri
ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang mampu
membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan
negara lain di kancah global? Sudahkah dunia pendidikan kita
melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan
sosial? Jawaban terhadap semua pertanyaan itu agaknyatidak
begitu menggembirakan. Selama ini kita sibuk mengurusi dan
membenahi dokumen tertulisnya saja. Perubahan kurikulum
di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan
konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses
pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia
sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep
dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil
belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami
-
�
���
�
perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-
buku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan.
Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab
oleh kurikulum pendidikan kita. Kita berharap, implementasi
KTSP saat ini tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di
mana perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum
adu konsep, sedangkan dimensi proses dan hasil-hasilnya
sama sekali tak terurus.
A S P E K
KURIKULUM
BERBASIS
MATERI
KURIKULUM
BERBASIS
KOMPETENSI
• PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
Semua aspek
kurikulum
ditentukan oleh
Departemen
(Pusat)
Pembagian
wewenang dalam
menentukan
kurikulum
• PUSAT
PERHATIAN
Penyampaian
materi pelajaran
oleh guru
Kompetensi dasar
yang dikuasai
siswa
• PROSES Teaching:
berpusat pada
guru , metoda
monoton, guru
sumber ilmu
utama
Learning:
berpusat pada
siswa, metoda
bervariasi, guru
sebagai fasilitator
-
�
�
���
�
• HASIL
PENDIDIKAN
Tekanan
berlebihan pada
aspek kognitif
Menekankan
pada keutuhan
ranah kognitif,
afektif, dan
psikomotorik
• EVALUASI Acuan norma dan
tes obyektif
Acuan kriteria,
tes, dan portofolio
Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya,
kurikulum berbasis kompetensi ini memuat perubahan yang
cukup mendasar terutama dalam hal penerapan pandangan
bahwa dalam proses belajar, anak dianggap sebagai
pengembang pengetahuan. Selain itu, adanya penekanan pada
pengembangan kemampuan pemecahan masalah; berfikir
logis, kritis, dan kreatif; serta mengkomunikasikan gagasan
secara matematik, maka teori belajar yang dominan
digunakan kemungkinannya adalah aliran psikologi
perkembangan serta konstruktivisme. Dalam penerapannya,
guru antara lain harus mampu menciptakan suatu kondisi
sehingga proses asimilasi dan akomodasi seperti yang
dikemukakan Piaget dapat berjalan secara efektif. Selain itu,
guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman
kemampuan di antara siswa sehingga dengan kondisi tertentu
yang diciptakan guru, maka potensi masing-masing siswa
dapat berkembang secara optimal.
-
�
���
�
Perkembangan lingkungan pendidikan seperti teknologi,
kemudahan akses pengetahuan, hilangnya batas-batas antar
negara dengan masuknya pendidikan asing ke Indonesia,
mengakibatkan perlunya dilakukan penyesuaian secara
berkelanjutan. Jika tidak ingin menjadi penonton di negeri
sendiri, telah seharusnya sistem pendidikan kita yang salah
satunya adalah kurikulum disesuaikan secara terus-menerus.
Pandangan pakar pendidikan terkait hal ini sudah banyak
dilakukan, masalahnya adalah seberapa besar para pemangku
kebijakan memiliki kemauan untuk mengaplikasikannya.
Masyarakat sebagai pelanggan pendidikan menantikan
bagaimana kira-kira wajah kurikulum pada tingkat satuan
pendidikan ini. Tentunya hal ini terkait dengan bentuk revisi
yang dilakukan nanti. Paling tidak ada dua pertanyaan,
pertama, apakah revisi dilakukan hanya menambah atau
mengurangi nama dan jumlah mata pelajaran? Kedua,
apakah revisi akan merubah sama sekali format kurikulum
tingkat satuan pendidikan? Jika yang dilakukan adalah yang
pertama, maka tidak akan banyak perubahan yang terjadi
terkait mutu pendidikan kita. Sebaliknya, jika yang dilakukan
adalah yang kedua, maka diskusi-diskusi publik secara
terencana (strategic planning) harus dilakukan diantara para
pelaku, praktisi, pendidik, pemerhati pendidikan dan
pemangku kebijakan. Tujuannya adalah agar dihasilkan suatu
bentuk kurikulum yang dapat merespon semua kearipan lokal
dan perubahan global. Apalagi, pasca otonomi daerah, bidang
pendidikan telah diserahkan kepada daerah kabupaten/kota.
-
�
�
���
�
Tulisan ini ingin mencoba memberikan pertimbangan bagi
penyusunan kurikulum pada tingkat Sekolah Dasar (SD).
2.1.1 Hakikat Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan
(KTSP)
Istilah kurikulum pada zaman Yunani kuno bersal dari
kata “Curere”yang berarti “tempat perlindungan”. Kurikulum
diartikan “jarak yang harus ditempuh dalam suatu
perlombaan lari“ atau “raca cource“. Analog denganmakna
diatas kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai
sejumlah matapelajaran dan materi yang harus dikuasai
peserta didik untuk memperolehijazah tertentu. Dengan
pengertian ini kurikulum digunakan pertama kali
dalambidang pendidikan. Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan
pembelajaran, dan cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu (Depdiknas , 2004).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. KTSP adalah
kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan
pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan,
dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu
dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang
mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator,
-
�
���
�
penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan
kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi
untuk penilaian.
Menurut BSNP (2007) KTSP dikembangkan sesuai
dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan
pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas
pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan
menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL
dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang
disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan
komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk
pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas
pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta
panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP.
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip (1) berpusat
pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
peserta didik dan lingkungannya, (2) beragam dan terpadu, (3)
tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni, (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan, (5)
menyeluruh dan berkesinambungan, (6) belajar sepanjang
hayat.
-
�
�
��
�
2.2. Teori tentang sikap, Intensi dan perilaku
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia
terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue. (Petty,
Cocopio, dalam Azwar S., 2000 : 6). Struktur sikap terdiri atas
3 komponen yang saling menunjang yaitu (Azwar S., 2000 :
23): 1) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang
dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif
berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai
sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama
apabila menyangkut masalah isu atau problem yang
kontroversial. 2) Komponen afektif merupakan perasaan yang
menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang
biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-
pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang
komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki
seseorang terhadap sesuatu. 3) Komponen konatif merupakan
aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan
sikap yang dimiliki oleh seseorang, serta berisi tendensi atau
kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu
dengan cara-cara tertentu.
Sikap dapat diukur. Pengukuran sikap dapat dilakukan
dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap
adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai
obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap
mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif
-
�
��
�
mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung
atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut
dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan
sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek
sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra
terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan
pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat
mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable
dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan
demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan
tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau
tidak mendukung sama sekali obyek sikap (Azwar, 2003).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak
langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana
pendapat/ pernyataan responden terhadap suatu obyek.
Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pernyataanpernyataan hipotesis kemudian ditanyakan
pendapat responden melalui kuesioner.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga
terhadap obyek sikap antara lain :1). Pengalaman pribadi.
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu,
sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman
pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor
emosional; 2). Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap
yang konformis atau searah dengan sikap orang yang
-
�
�
��
�
dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi
oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk
menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting
tersebut. 3). Pengaruh Kebudayaan. Tanpa disadari
kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap
anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi
corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.
4). Media Massa. Dalam pemberitaan surat kabar mauoun
radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya
faktual disampaikan secara obyekstif cenderung dipengaruhi
oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap
konsumennya. 5). Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama.
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan
lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan
tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep
tersebut mempengaruhi sikap; 6). Faktor Emosional. Kadang
kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran
frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego.(Azwar, 2003).
2.2.1. Teori Perilaku
Dalam bukunya yang berjudul The Teory of Planned
Behavior (TPB) atau Teori Perilaku Terencana, Ajzen (1991)
mengemukakan bahwa sikap ditentukan oleh keyakinan yang
diperoleh mengenai konsekuensi dari suatu perilaku atau
-
�
�
�
disebut juga behavioral beliefs. Belief berkaitan dengan
penilaian-penilaian subjektif seseorang terhadap dunia
sekitarnya, pemahaman mengenai diri dan juga
lingkungannya. Bagaimana cara mengetahui belief ini? Nah
ternyata dalam teorinya TPB ini, Ajzen cerita bahwa belief
dapat diungkap dengan cara menghubungkan suatu perilaku
yang akan kita prediksi dengan berbagai manfaat atau
kerugian yang mungkin diperoleh apabila kita melakukan
atau tidak melakukan perilaku itu. Keyakinan ini dapat
memperkuat sikap terhadap perilaku itu apabila berdasarkan
evaluasi, diperoleh data bahwa perilaku itu dapat memberikan
keuntungan bagi pelakunya.
Inti teori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan
tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku
tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma yang
diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut
(normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya factor yang
dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran
akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs). Behavioral
beliefs menghasilkan sikap suka atau tidak suka berdasarkan
perilaku individu tersebut. Normative beliefs menghasilkan
kesadaran akan tekanan dari lingkungan sosial atau norma
subyektif, sedangkan control beliefs menimbulkan kontrol
terhadap perilaku tersebut. Dalam perpaduannya, ketiga
faktor tersebut menghasilkan intensi perilaku (behavior
intention). Secara umum, apabila sikap dan norma subyektif
menunjuk ke arah positif serta semakin kuat kontrol yang
-
�
�
��
�
dimiliki maka akan lebih besar kemungkinan seseorang akan
cenderung melakukan perilaku tersebut. Tahapan intervensi
tingkah laku berdasarkan Theory of Planned Behavior (TPB)
secara singkat dapat dilihat pada Gambar 02 dibawah ini yang
merupakan hipotesis
Gambar 1. Theory of planned behavior
Dari Gambar 1 tersebut di atas nampak bahwa model
teoritik dari Teori Planned Behavior mengandung berbagai
variabel yaitu :. 1). Sikap adalah Evaluasi Umum yang di buat
Guru terhadap evaluasi. 2). Norma subjektif (Subjective
Norm) adalah sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk
mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan
dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa itu
���������
�� �������
�������
����������������������������
���� �
����������
��������
��������
-
�
��
�
adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia
lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain disekitarnya, maka
dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku
yang akan dilakukannya. Fishbein & Ajzen (1975)
menggunakan istilah motivation to comply untuk
menggambarkan fenomena ini, yaitu apakah individu
mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam
hidupnya atau tidak.3). Persepsi kemampuan mengontrol
atau kontrol keperilakuan (Perceived Behavioral Control),
yaitu keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah
melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku
tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk
melakukan perilaku itu, kemudian individu melakukan
estimasi atas kemampuan dirinya apakah dia punya
kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk
melaksanakan perilaku itu. Ajzen menamakan kondisi ini
dengan “persepsi kemampuan mengontrol” (perceived
behavioral control).
2.2.2. Intensi
Intensi (intention) adalah niat untuk melakukan perilaku
atau kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan
atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan
oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku
tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk
melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari
orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya.
-
�
�
��
�
Ajzen (dalam Azwar.2011) menjelaskan intensi sebagai
hal yang mengindikasikan besarnya usaha yang dikeluarkan
individu untuk melakukan suatu tingkah laku. Intensi atau
behavioral intention didefinisikan sebagai: “As a person location
on subjective probability dimention involving a relation between
himself and some action. A behavioral intention therefore, refers
to a person’s subjective probability that he will perform some
behavior.” (Fishbein & Ajzen, 1975; hal 288) Berdasarkan
definisi ini berarti intensi menunjukkan kemungkinan
dilakukannya suatu perilaku oleh individu. Jika belum
menjadi perilaku nyata, intensi masih merupakan suatu
disposisi (kecenderungan) untuk bertingkah laku. Namun,
ketika kesempatan atau situasi yang tepat muncul, intensi
berubah menjadi suatu usaha untuk melakukan tingkah laku
tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang akan
melakukan suatu perilaku jika ia memiliki intensi untuk
melakukan perilaku tersebut.
Intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar,
yaitu sikap individu terhadap perilaku, persepsi individu
terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak
melakukan perilaku yang bersangkutan, dan aspek kontrol
perilaku yang dihayati (Azwar, 1995:10-11). Intensi seringkali
dipandang sebagai suatu komponen konatif (kecenderungan
bertingkah laku) dari sikap (Fishbein, 1975). Biasanya
diasumsikan bahwa intensi merupakan komponen afektif
(menyangkut kehidupan emosional seseorang) dari sikap.
-
�
��
�
Menurut teori perilaku terencana (theory of planned behavior)
yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein menjelaskan
bahwa faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan
individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku tertentu
(Ajzen,1991). Intensi diasumsikan sebagai faktor motivasional
yang mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi
seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak
usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku.
Jadi, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam
suatu perilaku, semakin besar kecenderungan dia untuk
benar-benar melakukan perilaku tersebut. Intensi untuk
berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya jika perilaku
tersebut ada di bawah kontrol individu. Individu memiliki
pilihan untuk memutuskan menampilkan perilaku tertentu
atau tidak sama sekali (Ajzen, 1991:6 dalam Kurniasari,
2005:16). Seberapa jauh individu akan menampilkan perilaku,
tergantung pada faktor-faktor non motivasional. Salah satu
contoh dari faktor non motivasional adalah ketersediaan
kesempatan dan sumber yang dimiliki (misalnya uang, waktu,
dan bantuan dari pihak lain). Faktor-faktor ini mencerminkan
kontrol aktual terhadap perilaku. Jika kesempatan dan
sumber-sumber yang dimiliki tersedia dan terdapat intensi
untuk menampilkan perilaku, maka kemungkinan perilaku itu
muncul sangat besar. Dengan kata lain, suatu perilaku akan
muncul jika terdapat intensi dan kemampuan mengontrol
(kontrol perilaku). Pernyataan tersebut didasari oleh dua hal
penting yaitu: 1) jika intensi dianggap sebagai faktor yang
-
�
�
��
�
konstan, maka usaha-usaha untuk menampilkan perilaku
tertentu tergantung pada sejauh mana kontrol yang dimiliki
individu tersebut, 2) bahwa ada hubungan langsung antara
kontrol keperilakuan (perceived behavioral control) dan
perilaku nyatanya, seringkali dapat digunakan sebagai
pengganti atau subtitusi untuk mengukur kontrol nyata
(actual control).
2.3. Peran Guru Dalam Implementasi Kurikulum KTSP
Implementasi KBK berimplikasi terhadap serangkaian
tuntutan yang harusdipenuhi oleh seorang guru dalam
menjalan tugas keprofesionalannya Dengan asumsi bahwa
gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan
pesertadidik, perbedaan perorangan (individual) siswa, daya
serap, suasana dalam kegiatanpembelajaran, serta sarana dan
sumber yang tersedia maka guru berwenang
untuk menjabarkan dan mengembangkan kurikulum ke
dalam silabus. Pengembangan ini hendaknya mendasarkan
pada beberapa hal diantaranya: isi (konten),
konsep,kecakapan / keterampilan, masalah, serta minat siswa
(Anonim, 2004). Guru perlu memahami prinsip-prinsip
mengajar yang mengacu pada peningkatan
kemampuaninternal siswa. Peningkatan kemampuan ini
misalnya dilakukan dengan menerapkan berbagai strategi
pembelajaran yang memungkinkan siswa mampu
mencapaikompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual
(Anonim, 2003).
-
�
��
�
Peran guru dalam pembelajaran pada konteks
kurikulum berbasis kompetensi, menurut Sanjaya
(2005),adalah sebagai: (1) fasilitator; (2) manajer; (3)
demonstrator; (4) administrator; (5)motivator; (6) organisator;
dan (7) evaluator. Sebagai fasilitator guru berperan
untuk memudahkan siswa dalam melaksanakan proses
pembelajaran, terutama dalamkaitannya dengan penggunaan
media dan sumber belajar. Sebagai manajerpembelajaran guru
berperan dalam menciptakan suasana / iklim belajar
yangmemungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman,
melalui pengelolaan kelas yangbaik. Peran sebagai
demonstrator dapat ditunjukkan dengan penampilan guru
yangmenjadi acuan bagi siswa. Sebagai administrator guru
memungsikan penggunaandokumentasi dan data siswa untuk
keperluan pembinaan dan bimbingan. Sebagaiorganisator
peran yang diharapkan pada guru dalam mengorganisasi
siswa, baik secara kelompok maupun individual, sehingga
tetap terjaga keharmonisan diantarasiswa. Guru sebagai
evaluator harus memilik kemampuan untuk
mengukurketercapaian tujuan pembelajaran pada masing-
masing siswa dan kelompok siswa,serta mampu
menggunakannya sebagai alat untuk penentuan tindak
lanjut.Dibalik sejumlah manfaat yang diharapkan dari
kurikulum ini, muncul juga sejumlah kekhawatiran akan
keberhasilannya, terutama berkaitan dengan kualitas guru.
Mulyasa (2004) menyatakan banyaknya sekolah yang memiliki
-
�
�
�
�
sedikit guru profesional dan tidak mampu melakukan proses
pembelajaran secara optimal.
Dalam implementasi KTSP guru dituntut dapat tampil
sebagai Guru yang benar-benar professional. Profesional guru
menyangkut dua hal. Pertama, guru harus memiliki
kompetensi professional dan pedagogik yang memadai
sehingga mampu mengembangkan kurikulum setiap mata
pelajaran pada tingkat satuan pendidikan yang sesuai dan
tepat bagi peserta didiknya (Mungin Eddy Wibowo, 2007).
Dilihat dari sisi ini fakta menunjukkan bahwa guru belum
terbiasa mengembangkan kurikulum secara mandiri karena
selama ini guru hanya disodori kurikulum yang sudah baku
dari pusat. Kedua, guru dituntut memiliki komitmen
professional untuk mengimplementasikan KTSP karena
penerapan KTSP menuntut adanya inovasi, improvisasi,
kreativitas dan motivasi yang kuat, selain itu penerapan KTSP
berimplikasi pada semakin beratnya beban kerja guru.
2.4. Penelitian Relevan
Dr. Morris A. Okun dari Department of Psychology,
Arizona State University, Amarika Serikat dan Erin S. Sloane
dari Los Angeles Unified School District, California, Amerika
Serikat melakukan penelitian yang didasarkan pada TPB
untuk memprediksi keikutsertaan (enrollment) mahasiswa
sebagai relawan dalam suatu program kampus (Okun &
Sloane, 2002). Penelitiannya dilatarbelakangi pemikiran
bahwa menjadi relawan dalam suatu kegiatan dipercaya akan
-
�
���
�
member manfaat bagi individu maupun masyarakat, tetapi
hanya individu-individu tertentu saja yang tertarik untuk
menjadi relawan. Penelitiannya dirancang untuk menguji
hipotesis yang diturunkan dari TPB. Hipotesis pertamanya
adalah bahwa sikap, norma subjektif, dan kontrol
keperilakuan (Perceived Behavioral Control/PBC) PBC akan
menjadi predictor signifikan dari intensi menjadi relawan.
Hipotesis kedua, bahwa intensi merupakan satu-satunya
prediktor signifikan menjadi relawan secara aktual. Sampel
penelitian didapatkan secara random dari para mahasiswa
yang mengikuti mata kuliah Pengantar Psikologi pada suatu
universitas besar di Amerika, sebanyak 647 orang. Setelah
kepada mereka disampaikan pesan mengenai rekrutmen dari
kegiatan tersebut (menjadi relawan pada the Student Life
Community Service Program = SLCSP), mereka diminta mengisi
kuesioner yang berisi komponen-komponen dalam TPB dan
dua bulan kemudian keikutsertaan mereka dalam kegiatan
tersebut dicek. Konsisten dengan TPB, sikap, norma subjektif
dan PBC merupakan prediktor intensi untuk menjadi relawan
pada SLCSP, dan selanjutnya bisa memprediksi keikutsertaan
mereka secara nyata sebagai relawan pada SLCSP. Akan
tetapi, kurang dari 33% mahasiswa yang memiliki skor intensi
yang tinggi yang benar-benar menjadi relawan dalam program
tersebut. Ini menggambarkan bahwa diperlukan suatu strategi
untuk memperkuat intensi agar bisa diwujudkan dalam
perilaku nyata.
-
�
�
���
�
Jeffrey J. Martin dari the Division of Kinesiology, Health
and Sport Studies at Wayne State University bersama Pamela
Hodges Kulinna dari the Department of Physical Education at
Arizona State University melakukan penelitian yang
didasarkan pada TPB dan Self-Efficacy Theory untuk menguji
penentu-penentu (determinan) intensi para guru olahraga
untuk melakukan aktivitas fisik ketika mengajar di kelas-kelas
mereka (yaitu menggunakan sedikitnya 50% dari waktu 13
mereka untuk melakukan aktivitas fisik dari yang sedang
hingga berat). Dilakukannya penelitian tesebut
dilatarbelakangi pengamatan mereka bahwa semakin
meningkat usia seseorang, semakin berkurang aktivitas fisik
yang dilakukan, padahal melakukan aktivitas fisik penting
bagi kesehatan jantung. Sementara, para guru olah raga
seharusnya mengajak para murid mereka untuk melakukan
aktivitas fisik sebagai bagian dari proses pembelajaran yang
menjadi tanggung jawab mereka. Subjek penelitian Martin
dan Kulinna (2004) tersebut menggunakan 342 guru olah raga
dari SD hingga SMA, pria dan wanita, berusia antara 23
hingga 62 tahun dengan pengalaman mengajar 1 sampai 40
tahun. Instrumen pengukuran yang digunakan berupa
kuesioner (untuk data-data demografis) dan skala (untuk
semua variabel penelitian). Dari data yang terkumpul
menunjukkan bahwa para guru tersebut memiliki intensi yang
kuat untuk mengajar kelas yang banyak melibatkan aktivitas
fisik untuk murid-murid mereka. Mereka juga menunjukkan
-
�
��
�
sikap yang positif untuk mengajar kelas yang aktif dan
memiliki motivasi untuk patuh terhadap kelompok sosial yang
penting (orang tua, para murid) yang mengharapkan mereka
mengajar dengan melibatkan banyak aktivitas fisik. Para guru
tersebut juga memiliki PBC yang tinggi untuk bisa mengajar
kelas-kelas yang melibatkan banyak aktivitas fisik. Sesuai
dengan tujuan penelitian, data-data tersebut kemudian
dianalisis dengan teknik regresi bertingkat (hierarchical
regression). Hasilnya menunjukkan bahwa hipotesis yang
diajukan yaitu bahwa intensi para guru untuk mengajar kelas
yang banyak melibatkan aktivitas fisik untuk murid-murid
mereka ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan PBC,
diterima. TPB mendapat dukungan, bahwa intensi berperilaku
para guru tersebut 59%-nya ditentukan oleh sikap, norma
subjektif dan PBC mereka
Stephen Richard Marrone dari Columbia University
Teachers College di tahun 2005 melakukan penelitian yang
juga didasarkan pada TPB dari Ajzen dan Fishbein, terkait
dengan intensi para perawat gawat darurat untuk memberi
pelayanan yang secara kultural sesuai bagi pasien Muslim
Arab. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menyelidiki
hubungan antara sikap, norma subjektif dan PBC para
perawat gawat darurat dengan intensi mereka untuk
memberikan pelayanan yang secara kulutral sesuai dengan
pasien-pasien Muslim Arab. Subjek penelitian terdiri dari 208
orang perawat. Data penelitian dikumpulkan dengan
menggunakan skala model Likert. Masing masing subjek
-
�
�
���
�
memperoleh skor sikap, norma subjektif, PBC dan intensi.
Hasil penelitian Marrone (2005) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif yang signifikan antara sikap para perawat
gawat darurat dan norma subjektif mereka dengan intensi
untuk memberikan pelayanan yang secara kultural sesuai
untuk pasien Muslim Arab; dan ada hubungan positif yang
signifikan antara PBC dengan sikap. Perbedaan yang
signifikan juga ditemukan dalam hal sikap dan norma
subjektif antara mereka yang memiliki intensi dan tidak
memiliki intensi memberikan pelayanan yang secara kultur
sesuai terhadap pasien Muslim Arab. Dari penelitiannya
tersebut Marrone kemudian menyarankan akan pentingnya
memberikan materi-materi yang transkultural pada proses
pendidikan perawat. Ia juga menyarankan agar dalam
pendidikan dan pelayanan perawat juga dilakukan
pendekatan pendekatan yang didasarkan pada informasi-
informasi yang terkait dengan budaya-budaya tertentu
2.5. Model Kerangka berpikir
Model teoritik dari Teori Planned Behavior (Perilaku yang
direncanakan) mengandung berbagai variabel yaitu :
a) Keyakinan Perilaku atau behavioral belief yaitu hal-hal
yang diyakini oleh individu mengenai sebuah perilaku
dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku
atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif
terhadap suatu perilaku, dalam bentuk suka atau tidak
suka pada perilaku tersebut.
-
�
���
�
b) Keyakinan Normatif (Normative Beliefs), yang berkaitan
langsung dengan pengaruh lingkungan yang secara
tegas dikemukakan oleh Lewin dalam Field Theory.
Pendapat Lewin ini digaris bawahi juga oleh Ajzen
melalui PBT. Menurut Ajzen, faktor lingkungan sosial
khususnya orang-orang yang berpengaruh bagi
kehidupan individu (significant others) dapat
mempengaruhi keputusan individu. Hasilnya berupa
Norma subjektif (Subjective Norm) adalah sejauh mana
seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti
pandangan orang terhadap perilaku yang akan
dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa
itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang
akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain
disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan
orang tentang perilaku yang akan dilakukannya.
Fishbein & Ajzen (1975) menggunakan istilah motivation
to comply untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu
apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang
berpengaruh dalam hidupnya atau tidak.
c) Keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilaksanakan
(control beliefs) diperoleh dari berbagai hal, pertama
adalah pengalaman melakukan perilaku yang sama
sebelumnya atau pengalaman yang diperoleh karena
melihat orang lain (misalnya teman, keluarga dekat)
melaksanakan perilaku itu sehingga ia memiliki
keyakinan bahwa ia pun akan dapat melaksanakannya.
-
�
�
���
�
Selain pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman,
keyakinan individu mengenai suatu perilaku akan dapat
dilaksanakan ditentukan juga oleh ketersediaan waktu
untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya
fasilitas untuk melaksanakannya, dan memiliki
kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan yang
menghambat pelaksanaan perilaku. Hasilnya berupa
Persepsi kemampuan mengontrol (Perceived Behavioral
Control), yaitu keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah
melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan
perilaku tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu
untuk melakukan perilaku itu, kemudian individu
melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah
dia punya kemampuan atau tidak memiliki kemampuan
untuk melaksanakan perilaku itu. Ajzen menamakan
kondisi ini dengan “persepsi kemampuan mengontrol”
(perceived behavioral control).
Niat untuk melakukan perilaku (Intention) adalah
kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan
atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini
ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap
positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau
dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia
mendapat dukungan dari orang-orang lain yang
berpengaruh dalam kehidupannya.
-
�
���
�
Secara skematis, model kerangka berpikir dalam
penelitian ini tergambar dalam gambar No. 2 berikut.
[
Gambar 2. Model Kertangka berpikir
berdasarkan Teori TPB Ajzen (2005)
Model kerangka berpikir ini menggambarkan bahwa
persepsi guru terhadap manfaat mengimplementasikan
kurikulum KTSP serta peningkatan efisiensi dan efektifitas
kinerja guru dengan mengimplementasikan perubahan KTSP
Attitude Toward The Behavior Memutuskan : Setuju untuk melaksanakan perubahan KTSP karena memberikan keuntungan ATAU Tidak setuju karena dipandang merugikan diri sendiri
�
Subjective Norm Adanya dorongan dari lingkungan sosial : keluarga, siswa, teman sejawat, kepala sekolah,penilik sekolah dan warga masyarakat pendidikan yang mendukung pengimplementasian perubahan KTSP.
Perceived Behavioral Control Memahami bahwa faktor implementasi perubahan kurikulum merupakan keharusan untuk dilakukan karena dapat menimngkatkan profesionalisme dan dapat meningkatkan kompetensi para siswa.
Intensi Indikasi adanya
niat untuk untuk melaksanakan
perubahan KTSP�
Perilaku Perilaku
melaksanakan perubahan
KTSP��
-
�
�
���
�
mempengaruhi setiap komponen perilaku, yaitu a) sikap
setuju untuk melaksanakan KTSP karena memberikan
keuntungan atau jika persepsinya negatif cenderung tidak
setuju karena dipandang merugikan diri sendiri, b) adanya
dorongan dari lingkungan sosial : keluarga, siswa, teman
sejawat, kepala sekolah,penilik sekolah dan warga masyarakat
pendidikan yang mendukung pengimplementasian perubahan
KTSP, c) memahami bahwa faktor implementasi kurikulum
merupakan keharusan untuk dilakukan karena dapat
menimngkatkan profesionalisme dan dapat meningkatkan
kompetensi para siswa, d) dorongan berperilaku menerima
dan mengimplementasikan perubahan kurikulum dipengaruhi
oleh sejauhmana individu guru menangkap bahwa produk
hukum berupa Permendiknas pemberlakuan KTSP mengikat
untuk diimplementasikan, e) sinergi kompleks antar
komponen (sikap, norma subyektif dan kontrol keperilakuan)
memunculkan intensi untuk menerima dan melaksanakan
perubahan kurikulum KTSP, akhirnya f) intensi menerima dan
mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP akan
menjadi perilaku nyata dalam mengemban tugas profesinya
sebagai guru.
-
�
���
�
2.6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini
adalah :
1 Ho
:
Tidak ada pengaruh positif dan signifikan
antara sikap guru dan intensi
mengimplementasikan perubahan kurikulum
KTSP
Ha
:
Terdapat pengaruh positif dan signifikan
antara sikap guru dan intensi
mengimplementasikan perubahan kurikulum
KTSP
2 Ho
:
Tidak ada pengaruh positif dan signifikan
antara norma subyektif guru dan intensi
mengimplementasikan perubahan kurikulum
KTSP
Ha
:
Terdapat pengaruh positif dan signifikan
antara norma subyektif guru dan intensi
mengimplementasikan perubahan kurikulum
KTSP
3 Ho
:
Tidak ada pengaruh positif dan signifikan
antara kontrol keperilakuan guru dan intensi
mengimplementasikan perubahan kurikulum
KTSP
Ha
:
Terdapat pengaruh positif dan signifikan
antara kontrol keperilakuan guru dan intensi
mengimplementasikan perubahan kurikulum
-
�
�
��
�
KTSP
4 Ho
:
Tidak ada pengaruh positif dan signifikan
antara sikap guru, norma subyektif dan
kontrol keperilakuan secara simultan dengan
intensi mengimplementasikan perubahan
kurikulum KTSP
Ha
:
Terdapat pengaruh positif dan signifikan
antara sikap guru, norma subyektif dan
kontrol keperilakuan secara simultan dengan
intensi mengimplementasikan perubahan
kurikulum KTSP
5 Ho
:
Tidak ada pengaruh positif dan signifikan
antara intensi menerima perubahan kurikulum
KTSP dan perilaku mengimplementasikan
perubahan kurikulum KTSP
Ha
:
Terdapat pengaruh positif dan signifikan
antara intensi menerima perubahan kurikulum
KTSP dan perilaku mengimplementasikan
perubahan kurikulum KTSP