BAB II LANDASAN TEORIrepository.ump.ac.id/7386/3/Adhy Pramudya Bab II.pdf · 2018-02-07 ·...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORIrepository.ump.ac.id/7386/3/Adhy Pramudya Bab II.pdf · 2018-02-07 ·...
7
BAB II
LANDASAN TEORI
Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian Hiperrealitas dan
Simulakra dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013, tentu tidak terlepas dengan
penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Adapun persoalan yang dibahas dalam
penelitian terdahulu ialah hiperrealitas dan simulakra yang terdapat di dalam media
audio visual, media virtual, media jejaring sosial dan iklan. Meski begitu, sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah karya satra (cerpen). Dengan demikian,
media yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini berbeda dengan sumber data
dalam penelitian terdahulu. Itulah kenapa, penelitian relevan terkait objek meterial
yang digunakan dalam penelitian ini diperlukan untuk melihat perbedaan topik atau
tema yang akan dibahas.
A. Penelitian Relevan
Penelitian terkait yang membahas objek material kumpulan cerpen pilihan
Kompas 2013, terdapat pada artikel berjudul: Kejahatan Kemanusiaan pada
Kumpulan Cerpen Klub Solidarias Suami Hilang: Cerpen Pilihan Kompas 2013 dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Objek atau masalah yang dikaji
dalam penelitian tersebut menekankan pada persoalan kejahatan kemanusiaan yang
terdapat di dalam cerita. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
mimetik, menggunakan metode kualitatif deskriptif. Berdasarkan penelitian yang
disimpulkan, ditemukan 5 dari 23 cerpen yang menunjukan adanya persoalan
kejahatan kemanusiaan dalam bentuk pembunuhan, penghilangan orang, dan
penganiayaan. Iitulah sebabnya, persoalan-persoalan yang dibahas, akhirnya dijadikan
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
8
sebagai pembelajaran sastra karena dianggap relevan bagi kalangan siswa SMA
(Fatimah, 2017).
Berbeda dengan penelitian di atas, terdapat penelitian yang membahas topik
lain dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013. Peneltian tersebut berjudul: Kajian
Intertekstualitas Kumpulan Cerpen Klub Solidaritas Suami Hilang Dalam Kumpulan
Cerpen Kompas 2013, Nilai Pendidikan dan Relevansinya dengan Pembelajaran
Sastra di SMA. Penelitian itu menggunakan pendekatan intertekstualitas dan metode
yang digunakan ialah deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil yang dibahas, diperoleh
kesimpulan bahwa adanya keterjalinan dan keterlibatan antara cerpen satu dan cerpen
lain yang dianalisis. Hubungan tersebut meliputi unsur instrinsik, persamaan dan
perbedaan, nilai pendidikan, dan kesesuaian sebagai bahan ajar pembelajaran sastra di
SMA. Dari segi unsur instrinsik, aspek intertekstualitas nampak bahwa adanya
kesamaan unsur instrinsik dan nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Meski
setiap cerpen dinyatakan terdapat persamaan dan perbedaan, namun paradoks tersebut
membentuk hubungan intertekstualitas antar cerpen. Meskipun setiap cerpen tidak
memiliki persamaan pada masing-masing aspek yang dibicarakan, akan tetapi
hubungan intertekstualitas ditemukan pada beberapa aspek yang cukup kuat. Hasil
penelitian tersebut memiliki keterlibatan yang erat dengan pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia, yakni pembelajaran teori dan apresiasi cerita pendek di kelas XI
SMA (Perdana, dkk, 2015).
Penelitian relevan terkait objek material cerpen pilihan Kompas 2013 juga
terdapat pada: Amanat Cerpen Klub Soliaritas Suami Hilang dan Aku Pembunuh
Munir dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013. Pendekatan yang digunakan
adalah sosiologi sastra dengan metode deskriptif analitik. Hasil penelitian tersebut
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
9
menyimpulkan bahwa amanat dalam cerpen Aku Membunuh Munir karyaSeno
Gumira Ajidarma, dimaknai sebagai upaya penciptaan kembali sebuah peristiwa
sejarah. Peristiwa sejarah tentang kematian tokoh pejuang HAM, Munir Said Thalib.
Secara tersirat amanat dalam cerpen mengajak pembaca untuk tidak lupa atas
peristiwa terbunuhnya Munir. Sejalan dengan itu, cerpen Klub Solidaritas Suami
Hilang, hadir membawa tema keperempuanan. Cerita tentang perempuan di belahan
dunia barat dan belahan timur sama-sama mengalami arsip ditinggalkan suami. Pada
sisi lain tampak pula citra perempuan yang melankolis, identik dengan sisi mental
yang lemah dan bentuk kepribadian yang pada umumnya peka terhadap peristiwa
tertentu (Afriyanti, 2016).
Selain beberapa penelitian relevan di atas, terdapat pula penelitian yang
berjudul: Kajian Kode Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Kumpulan Cerpen Pilihan
Kompas 2013, Sebagai Bahan Ajar Prosa Fiksi pada Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Pasundan,
Bandung. Berkenaan dengan kajian kode bahasa, sastra dan budaya dalam Kumpulan
Cerpen Pilihan Kompas 2013. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan semiotik,
dengan metode deskriptif analitik. Setiawan (2017) menjelaskan bahwa di dalam
kumpulan cerpen tersebut mempunyai penggunaan kode bahasa yang beragam dengan
campuran bahasa Indonesia baku dan bahasa daerah. Kode sastra yang beragam dari
berbagai jenis gaya bahasa yang dijadikan sebagai ciri kode sastra, digunakan masing-
masing pengarang dan adanya kode budaya yang variatif dengan mengangkat kode
budaya lokal sebagai perbedaan penceritaan dalam cerpennya masing-masing.
Adanya kode bahasa yang terdapat di dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013,
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
10
pada akhirnya menjelaskan bahwa latar belakang pengarang memberi gambaran
tentang keadaan khusus kebudayaan tertentu.
Secara ringkas, penelitian terkait yang membahas objek material kumpulan
cerpen pilihan Kompas 2013 diantaranya yaitu: (1) Kejahatan Kemanusiaan pada
Kumpulan Cerpen Klub Solidaritas Suami Hilang: Cerpen Pilihan Kompas 2013 dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah, pendekatan mimetik,
menggunakan metode kualitatif deskriptif., (2) Kajian Intertekstualitas Kumpulan
Cerpen Klub Solidaritas Suami Hilang Dalam Kumpulan Cerpen Kompas 2013, Nilai
Pendidikan dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di SMA. Penelitian
tersebut menggunakan pendekatan intertekstualitas dan metode yang digunakan
deskriptif kualitatif., (3) Amanat Cerpen Klub Soliaritas Suami Hilang dan Aku
Pembunuh Munir dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013. Pendekatan yang
digunakan adalah sosiologi sastra, metode deskriptif analitik., (4) Kajian Kode
Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013, Sebagai
Bahan Ajar Prosa Fiksi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Pasundan, Bandung. Penelitian tersebut
menggunakan pendekatan semiotik, metode yang digunakan deskriptif analitik.
Adapun fokus penelitian ini adalah Hiperrealitas dan Simulakra dalam Kumpulan
Cerpen Pilihan Kompas 2013, metode yang digunakan deskriptif kualitatif dan
pendekatan hipersemiotika.
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
11
B. Hiperrealitas dalam Sastra
Hiperrealitas adalah sebuah kontak imajiner atau mimetisme sensorial yang
dapat diraba dan disalurkan ke dalam dunia simulasi. Media yang mensimulasi dapat
merubah sesuatu yang nyata menjadi suatu alegori kematian. Sesuatu yang hiperreal
berhasil menghapuskan bahan kontradiksi antara yang nyata dan yang imajiner.
Adanya hiperrealitas membuat kenyataan tidak lagi terletak dalam impian atau
fantasi, melainkan dalam kemiripan yang bersifat halusinasi (menganggap seolah-olah
nyata) terhadap dirinya sendiri. Secara singkat, hiperrealitas dapat pula diartikan
sebagai ketegangan antara realitas sebagaimana adanya dan sebagaimana harusnya,
hilang. Realitas ini lebih nyata daripada yang nyata kerana telah menjadi satu-satunya
eksistensi yang hadir ke permukaan. (Baudrillard, 2001: 14; Sarup, 2011: 260)
Gagasan yang relatif sama, menganggap hiperrealitas sebagai dunia yang
disarati oleh silih bergantinya reproduksi objek-objek simulacrum. Objek-objek yang
murni penampakan, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali
tidak mempunyai realitas sebagai referensinya. Di dalam dunia seperti ini subjek
sebagai consumer digiring ke dalam pengalaman ruang hiperreal, pengalaman silih
bergantinya penampakan di dalam ruang, berbaur dan meleburnya realitas dengan
fantasi, fiksi, halusinasi, dan nostalgia, sehingga perbedaan antara satu sama lainnya
sulit ditemukan. Secara sederhana, hiperrealitas diistilahkan sebagai replika, salinan
atau tiruan yang bisa tampak ―(seakan-akan) lebih nyata dari kenyataan‖ yang
disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah
kondisi‖ meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original). Pendek kata, hiperrealitas
dapat diartikan sebagai produk sejati simulasi yang menyalin keadaan nyata menjadi
bentuknya sendiri di masa kini. (Piliang ,2012: 131 ; Eco, 1987: 7)
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
12
Pendapat lain menegaskan bahwa hiperrealitas merupakan kondisi di mana
keadaan seakan-akan telah melampaui realitas, suatu keadaan di mana fantasi atau
mimpi-mimpi berusaha untuk diwujudkan atau direpresentasikan sehingga batas
antara keduanya nyaris tidak ada. Dalam hal ini pencitraan yang direalisasikan
melalui berbagai media semakin mantap mendukung eksistensi dunia maya. Semakin
objek-objek tertentu terhubung ke dalam ruang virtual, maka ia tidak mampu
membedakan antara kenyataan dan fantasi. Kondisi ini merupakan problematik
hiperrealitas yang dapat menjauhkan kehidupan nyata sekaligus mengakibatkan
kematian realitas. Pada level tertentu, hal tersebut bukan saja dapat menyamarkan
realitas tetapi dapat menjadi realitas itu sendiri. Kondisi tersebut, merupakan sebuah
proses simulasi yang bertahap menjadi hiperrealitas. Pada tahap ini, keberadaan
simulasi dapat mengikis antara yang nyata dan khayali. Itulah sebabnya, keadaan
simulasi ini benar-benar murni ke dalam dunia hiperrealitas total (Syahputra, 2011:
245 ; Martadi, 2003 ; Astuti, 2015).
Secara singkat, hiperrealitas dapat dipahami sebagai produk yang dihasilkan
karena adanya pengubahan kenyataan untuk membentuknya menjadi baru di masa
kini, sebagai representasi dari kenyataan yang sebenarnya. Itulah sebabnya, hadirnya
kenyataan baru ini, seringkali dianggap sebagai tiruan, salinan, fantasi dengan bentuk
kemiripannya yang jauh lebih nyata daripada keadaan sebagaimana mestinya.
Hiperrealitas sebagai produk daur ulang kenyataan pada akhirnya menghapus realitas
murni menjadi realitas palsu dengan daur ulang yang sama sekali baru.
Pendapat di atas telah menjelaskan bagaimana konsep hiperrealitas secara
dasar. Hiperrealitas sepemahaman penulis dapat dikatakan sebagai kenyataan yang
berlebih. Sehubungan dengan itu, konsep hiperrealitas secara teoritik dan hiperrealitas
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
13
dalam sastra tentu mempunyai kaitan dan saling terbuka. Itulah sebabnya, beberapa
ilmuan sastra juga mempunyai konsep hiperrealitas di dalam sastra.
Karya sastra pada hakikatnya adalah hiperreality (hiperrealitas) bukan sebagai
kenyataan natural yang seakan sama saja bagi setiap pembaca. Anggapan ini
dilandasi bahwa sastra merupakan sebuah pemaparan gaya dan kreasi yang
sepenuhnya disadari dan diolah melalui perenungan mendalam secara kontradiktif,
kiasan atau sanepa. Hiperrealitas sastra adalah sebuah motif untuk menyandikan apa
atau siapa. Dihubungkan dengan keberadaan gaya yang secara esensial terkait dengan
kegiatan menyusun dan mengemukakan gagasan, kondisi seperti itu menyebabkan
terjadinya simulacrum atau destruksi (peruskan, pemusnahan, penghancuran,
pembinasaan, penghilangan) gambaran pengertian karena pengertian teremban dalam
kata-kata lain yang juga mengandaikan pengertian yang lain pula. Karena itu
kehendak menyusun dan mengemukakan gagasan yang dihadapkan pada berbagai
kemungkinan kata-kata dengan berbagai kemungkinan gambaran maknanya. Sebab
itulah bahasa seringkali dimaknai sebagai metafora (Aminudin, 1994: 8 ; Toer, 2017:
xxi)
Lain halnya dengan Endraswara (2013: viii), ia memahami hiperrealitas
karena membaca karya sastra baginya sama halnya sedang mempelajari hidup yang
mau tidak mau harus berhadapan dengan the other (yang lain) yang harus dimaki-
maki, dicerca, ditertawakan sinis, dibohongi, dibantai, dan ditelanjangi. Mungkin
itulah sebuah potret zaman edan. Membaca karya sastra baginya juga seperti sedang
bertamasya, keliling dunia, yaitu dunia imajiner karena harus diuji dengan kesabaran,
kadang-kadang juga mengunjungi tempat-tempat yang tidak mungkin menjadi
mungkin. Keragaman budaya seperti kekerasan, perselingkuhan, kedengkian, jegal
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
14
menjegal, dan sebagainya selalu ada dalam dunia mungkin itu. Keasyikan memahami
seluk beluk budaya dalam imajiner itulah yang merupakan pengalaman memasuki
dunia hiperrealitas yang penuh dengan kelamisan (kepalsuan). Pada hakikatnya, karya
sastra merupakan simbol-simbol lamis sisi gelap kemanusiaan yang dibalut dengan
imajinasi (Endraswara, 2013: viii).
Secara sederhana, hiperrealitas dalam sastra dapat dipahami sebagai
kehidupan yang sudah direka ulang dengan imajinasi dan fantasi oleh pengarang.
Kehidupan di dalam sastra pada hakikatnya ialah kenyataan yang sudah didaur ulang
menjadi fiksi sehingga kenyataan yang ada di dalam sastra dapat menimbulkan
sesuatu yang lain dengan kehidupan yang sebenarnya. Itulah sebabnya, kehidupan di
dalam karya sastra seringkali menimbulkan penggambaran, dan efek-efek yang
melampaui kenyataan karena imajinasi telah membuat realitas menjadi fiksi.
C. Simulakra dalam Sastra
Simulakra yang mempunyai istilah lain simulasi adalah sebuah proses
penataan kembali tentang keadaan alam (kenyataan) atau ruang dan waktu menjadi
suasana yang lebih baru. Hadirnya kembali kenyataan baru tersebut dipandang tidak
sesuai lagi dengan penampilan aslinya secara spesifik, melainkan sebuah model yang
bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Secara singkat, simulakra adalah proses
membentuk kembali tanda-tanda alam yang bertolak dari kebenaran aslinya
(Baudrillard, 2015: 122).
Gagasan yang serupa menyatakan bahwa simulakra adalah praktik media yang
menata kembali kehidupan menjadi kenyataannya sendiri tanpa memiliki rujukan
yang jelas terhadap kenyataan aslinya. Adanya proses membuat kenyataan baru di
dalam media menjadikan kenyataan media dipandang sebagai kehidupan yang lebih
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
15
asli. Dengan demikian, kehidupan di dalam media diartikan pula sebagai kehidupan
yang benar seperti halnya kehidupan nyata (Sarup, 2011: 257).
Pendapat yang sepadan menyebut simulakra sebagai dunia yang dikontruksi
oleh model. Adanya simulakra dalam kebudayaan menyebabkan runtuhnya ideologi
tentang humanisme dalam berbagai implosi struktural karena dihilangkan oleh
simulakra atau yang dibangun atas berbagai kode. Kode yang dibangun melalui
simulakra ini, pada akhirnya menjadi hiperrealitas yang tidak memiliki rujukan
realitas apapun terhadap dirinya sendiri. Sejalan dengan itu simulakra dapat
menghadirkan penciptaan-penciptaan tanpa referensi realitas yang jelas. Kendati
bersifat imaji, namun proses simulakra tersebut memiliki pengaruh yang kuat
terhadap khalayak (Syahputra, 2011: 243).
Sehubungan dengan hal tersebut, simulakra didefinisikan sebagai penciptaan
model-model kenyataan yang tanpa asal-usul atau tanpa referensi realitas. Model
realitas tersebut pada akhirnya menjadi realitas kedua yang referensinya adalah
dirinya sendiri. Imajinasi, fiksi, mimpi, fantasi, dan halusinasi, bahkan dongeng yang
semula dianggap sebagai lawan dari realitas, melalui proses penciptaan simulakra
akhirnya menjadi realitas. Secara ringkas, melalui kemampuan mencipta (simulakra)
apapun menjadi realitas, bahkan realitas sempurna yang dianggap sebagai
hiperrealitas. Simulakra dengan demikian tampak seolah-olah nyata, namun
sebenarnya adalah realitas artifisial (Ratna, 2012: 296).
Secara ringkas, simulakra dapat diartikan sebagai proses terbentuknya dunia
baru, di mana kenyataan tidak lagi dirujuk sebagai kebenaran, akan tetapi kebenaran
itu ada pada kenyataan yang tampak baru oleh proses simulakra. Kenyataan apapun
yang telah diolah, diubah, direka ulang, dan diciptakan dengan model-model
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
16
simulakra dengan demikian dapat dianggap sebagai kenyataan yang seolah-olah nyata
namun hakikatnya adalah imajinasi dan fantasi yang menyimpang dari kenyataan
sebenarnya.
Simulakra dapat disimpulkan sebagai proses menciptakan realitas, kenyataan
atau kehidupan di dalam media. Hasil dari proses mencipta tersebut lebih jelas
dianggap sebagai realitas artifisial atau realitas yang melampaui kebenaran secara
nyata. Gagasan tersebut tentunya berkaitan erat dengan proses mencipta dalam media-
media lain. Karya sastra ialah media yang erat hubungannya dengan bahasa dan
peristiwa yang diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian, gagasan simulakra yang
hakikatnya merupakan proses menciptakan imajinasi dan fantasi, sangat dekat
kaitannya dengan sastra sebagai dunia rekaan. Itulah sebabnya, beberapa pendapat
tentang simulakra dalam sastra pun saling terjalin dan berhubungan dengan konsep
simulakra secara dasar.
Simulakra adalah gagasan ontologis yang dikenalkan Plato sebagai tiruan dari
buadaya asli (Endraswara, 2013: 139). Proses meniru ada dalam berbagai hal, antara
lain melalui simulakra. Simulakra teks sering diawali dari interteks. Intertekstualitas
sendiri pertama kali digagas oleh Kristeva. Menurut Kristeva (Piliang, 2012: 118)
sebuah karya seni (sastra) dibuat di dalam ruang dan waktu yang konkrit.Oleh sebab
itu, mesti ada relasi antara satu teks dengan karya lainnya dalam ruang, dan antara
satu teks atau karya seni dengan teks yang sebelumnya di dalam garis waktu tertentu.
Sastrawan yang membaca teks lain akan terpengaruh hingga melahirkan karya baru
yang mirip. Simulakra dapat juga dilakukan dengan meniru realitas budaya di
sekitarnya.
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
17
Simulakra sastra dianggap sebagai destruksi gambaran pengertian karena
pengertian teremban dalam kata-kata lain yang juga mengandaikan pengertian yang
lain pula. Karena itu, kehendak menyusun dan mengemukakan gagasan dalam sastra
dihadapkan pada berbagai kemungkinan kata-kata dengan berbagai kemungkinan
gambaran maknanya. Dalam kondisi demikian, bahasa sastra disikapi sebagai fakta
yang tidak sepenuhnya bersifat sistematis dan rasional melainkan juga mengemban
potensi kekuatan dan ciri figurative. Secara ringkas simulakra sastra adalah tiruan
terhadap realitas. Kehidupan yang ada di dalam sastra dengan demikian sangat dekat
dengan dunia kemungkinan yang jauh dari faktualitas. (Aminudin, 1997: 9 ;
Endraswara, 2016: 34)
Potensi kekuatan dan ciri figurative termanfaatkan apabila pemakai mampu
mengadakan presensi atau pengahadiran (presence) gambaran makna dalam sistem
tanda dengan mengatasi acuan konkretnya. Melalui denaturalisasi tersebut, sastrawan
mengadakan penelusuran makna untuk menemukan kegelapan makna dan
menemukan perbedaan atau jarak semantic guna menemukan pertalian hubungannya.
Dalam kondisi demikian, penggunaan gaya penuturan ada dalam kondisi yang
sifatnya terbuka dan serba mungkin. Sastrawan mungkin akan menggunakan gagasan
dengan menggunakan realitas yang langsung mengatasi acuan konkretnya,
memanfaatkan acuan konkret sebagai alat untuk mengemukakan gagasan, bukan
untuk menggambarkan realitas itu sendiri, atau mungkin mengganti modus
penggunaan bahasa dengan sistem tanda lain yang dianggap lebih mewakili realitas
yang sebenarnya ada tetapi dalam kondisi kekosongan (Aminudin, 1997: 9).
Berkaitan dengan hal tersebut, Abrams (Aminudin, 1997: 72) menempatkan
simulakra sastra sebagai karya mimetik, yaitu sebuah imitasi dari universe. Dalam
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
18
wawasan tersebut, imitasi dibedakan menjadi tiga maacam. Pertama adalah imitasi
tanpa disertai upaya pengubahan tetapi justru diusahakan memperoleh kesamaan.
Kedua, imitasi semata-mata didasarkan pada refleksi dunia pengalaman dan
pengetahuan pengarangnya. Ketiga, imitasi yang oleh pengarang hanya digunakan
untuk menceritakan gagasannya secara tidak langsung. Dalam hal ini imitasi bukan
hanya dihubungkan dengan sesuatu yang teramati secara konkret, melainkan dapat
pula dihubungkan dengan gejala yang sifatnya abstrak.
Bagi Aminudin (1997: 73) sastra mimetik atau simulakra sastra terdapat
pembandingan antara dunia imajinatif yang tertuang dalam karya sastra dengan
pengalaman keseharian. Adalah hal yang wajar apabila tingkat pengalaman dan daya
kritis pembaca dalam merepresentasikan atau menggambarkan kembali dunia
pengalaman kehidupan sehari-hari juga ikut menentukan kelancaran dan kekayaan
pemahamannya.
Sehubungan dengan itu, Scherer dalam Toer (2017: xiii) menganggap karya
sastra sebagai kreasi berbunga dari imajinasi pujangga ataupun penggalian kembali
penulis masa kini, episode yang dihidupkan berulang kali dengan beribu variasi,
memang mempunyai suatu ikatan faktual dengan peristiwa sejarah. Masing-masing
seolah-olah ingin saling tiru. Penggambaran berbagai peristiwa yang bergerak antara
realitas sejarah dan fiksi, seolah-olah membuktikan bahwa karya sastra menguntit
peristiwa sejarah dengan setia, dan selanjutnya peristiwa sejarah terjadi seolah-olah
meniru kembali apa yang dibayangkan oleh perangkum sastra.
Sehubungan dengan itu sastra sebagai karya seni, tidak terlepas dengan
keindahan. Keindahan sastra sendiri terletak pada penggunaan bahasa estetiknya.
Bahasa digunakan oleh sastrawan untuk menciptakan dunia rekaan. Sastrawan
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
19
dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat: sastra tidak hanya meniru kehidupan,
tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru tokoh-tokoh dunia rekaan. Mereka
bercinta, melakukan tindakan kejahatan, atau bunuh diri seperti cerita dalam novel.
Pembentukan dunia semacam ini, pada akhirnya akan membentuk simulakra sastra
(Wellek dan Warren 2013: 109).
Karya sastra menurut Wellek dan Warren (2013: 216) tidak memakai sistem
tanda tunggal untuk menyampaikan secara konsisten suatu sistem abstraksi seperti
wacana ilmiah. Sastra menyusun pola kata-kata yang unik dan tak bisa diulangi. Tiap
objek dan tanda dalam sastra dipakai dengan cara yang tidak dapat diduga oleh sistem
di luar sastra. Itulah sebabnya, penciptaan bahasa yang seperti itu menimbulkan
peniruan realitas menggunakan simbol dan citraan yang menjadikan sastra dipandang
imajinatif.
Simulakra dalam sastra berarti sebuah proses penciptaan, daya imaji, proses
mereka ulang kehidupan, sehingga tercipta dunia yang seolah-olah nyata, benar,
fantastis, ilusif, namun sebenarnya merupakan fiktif belaka. Apa yang nyata
sebenarnya adalah dunia yang telah melampaui kenyataan aslinya. Imajinasi di situ
menjadi penting, sebab imajinasi bertugas untuk memandu cerita menjadi lebih
menarik. Itulah kenapa, dunia yang sudah direka ulang melalaui imajinasi dan fantasi,
akan terlihat lebih terkesan daripada realitas yang asli. Sejalan dengan hal tersebut,
simulakra dalam sastra lebih menekankan proses terjadinya kenyataan yang
melampaui kenyataan sebenarnya sehingga timbul dunia baru di dalamnya. Hasil dari
kenyataan baru tersebut dinamakan hiperrealitas. Dengan demikian, sastra dianggap
sebagai medium yang menceritakan berbagai peristiwa simulakra.
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
20
D. Teori Hipersemiotika
Piliang (2012: 262) mendefinisikan hipersemiotika, sebagai ―ilmu atau kajian
tentang tanda yang melampaui alam, realitas, bentuk, karakter, kode, makna dan
struktur‖. Kajian tersebut secara prinsipil dapat menjadi pendekatan yang berkaitan
dengan segala sistem tanda di luar semiotika struktural. Hipersemiotika dapat pula
dipandang sebagai metode, khususnya sebagai metode pembacaan teks (reading) atau
penyingkapan kode-kode tanda (decoding). Bila strukturalisme menawarkan metode
pembacaan yang statis, ahistoris, reproduktif, retrospektif, maka hipersemiotika
menawarkan sebuah proses pembacaan yang melampaui, dinamis, berubah,
transformatif, produktif, subversif, revolusioner, dan dekonstruktif (Piliang, 2012:
247).
Hipersemiotika sebagai teori maupun metode pembacaan keberadaannya
semakin penting dalam perubahan masyarakat dan kebudayaan ke arah masyarakat
informasi dan budaya virtual (cyberculture), di mana tanda-tanda bergerak ke arah
tanda-tanda yang bersifat artifisial atau virtual yang melampaui realitas itu sendiri
(hypersign). Perkembangan tanda-tanda melampaui itu seiring dengan perkembangan
ke arah hipermedia, hiperteks dan hiperrealitas (Piliang, 2012: 248).
Konsepsi yang relatif sama tentang hipersemiotika menganggap tanda
mempunyai jurang yang dalam antara sebuah tanda (sign) dan referensinya pada
realitas (referent). Konsep, isi, atau makna dari apa yang dibicarakan atau ditulis tidak
sesuai dengan realitas yang diluksiskan. Hipersemiotika juga dapat diartikan sebagai
kajian tentang peran tanda-tanda yang melampaui batas realitas dan mampu
menciptakan dunia hiperrealitas. Dengan kata lain, dalam kajian hipersemiotika setiap
penanda memiliki petanda (makna) yang luas dan bebas, seluas dunia hiperrealitas,
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
21
tergantung pada daya imajinasi dan interpretasi setiap orang yang menikmatinya.
(Mardiana & Hatip, 2016 ; Raharjo & Irma, 2013)
Fokus dalam metode hipersemiotika adalah memahami elemen-elemen tanda
yang melampaui, baik dalam pengertian melampaui teks, melampaui struktur, atau
melampaui realitas. Di antara fenomena dari elemen-elemen yang melampaui adalah
keterputusan, diskontinuitas, perubahan, subversivitas, abnormalitas, hibriditas,
superelativitas, pembalikan, perlintasan, permainan, percampuran, intertekstualitas,
baik pada tingkat tanda, penanda, petanda, kode, denotasi, konotasi, ideologi dan
mitos. Metode ini mencoba menyingkap elemen-elemen anti struktur, anti kode, anti-
kemapanan atau anti realitas. Bila elemen-elemen melampaui itu tidak ada pada tanda
atau kumpulan tanda (teks), maka metode hipersemiotika tidak akan dapat bekerja
(Piliang, 2012: 295).
Pada tingkat tanda itu sendiri, hipersemiotika merupakan upaya menyingkap
elemen-elemen penanda melampaui (hyper-signifier), yaitu tanda-tanda melampaui,
baik dalam pengertian palsu, menipu, daur ulang, superlatif atau artifisial. Ia juga
dapat menyingkap elemen-elemen lintas semiotika (trans-semiotics), seperti pada
lintas waktu (inter-sign), tanda hibrid, tanda eklektik atau tanda sinkretik.
Hipersemiotika menemukan penanda melampaui dalam pengertian yang luas sebagai
penanda-penanda yang palsu, daur ulang, artifisial, superlatif, hibrid, eklektik atau
skizofrenik (Piliang, 2012: 295-296).
Selain itu, fenomena tanda dalam hipersemiotika dicirikan oleh sifat-sifat yang
dinamsi, terus bergerak, melintas dan bertukar-tukar, maka kajian tentang aturan,
konvensi, aturan main atau kode di dalam semiotika struktural, yang cenderung
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018
22
dipandang bersifat tetap, stabil, tak berubah dan mengikat. Untuk itu, istilah kode-
hiper (hyper-code) digunakan di sini untuk menjelaskan seperangkat, aturan,
konvensi, aturan main, atau kode yang melampaui kode-kode yang baku atau
konvensional. Oleh karena itu, melalui metode hipersemiotika, yang harus ditemukan
bukanlah kode yang mapan dan bertahan lama (durable) sebagaimana di dalam
semiotika struktural, melainkan kode-kode baru yang disebut oleh Eco (Piliang, 2012:
296), sebagai idiolect dan cara kerjanya disebut overcoding. Seperti yang
dikemukakan pula oleh Barthes (Piliang, 2012: 296), bahwa kajian semiotika telah
mengalami pergeseran dari awalnya sebagai ―kajian tanda dan makna‖ ke arah
―kajian kode‖ itu sendiri, yaitu berbagai kode baru yang tercipta di dalam proses
pertandaan, yang baru, berbeda, bergerak dan bertransformasi.
Secara sederhana, hipersemiotika dapat diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari tanda-tanda yang berlebih atau melampaui. Apa yang dikatakan
melampaui atau berlebih ialah keadaan alam atau realitas yang telah mengalami daur
ulang karena diproses oleh media. Realitas atau keadaan yang telah didaur ulang,
digubah, direkayasa, menjadi kenyataan yang imajinatif dan artifisial biasa dinamakan
hiperrealitas. Oleh karena itu, realitas berlebihan tersebut, dapat dipandang sebagai
tanda yang melampaui (hiper sign). Itulah sebabnya, tanda-tanda yang mengandung
muatan lebih atau melampaui keadaan asli tersebut, dapat dikaji menggunakan teori
hipersemiotika. Hipersemiotika dengan demikian, bisa dikatakan sebagai ilmu yang
dapat mengkaji dunia hiperrealitas.
Hiperrealitas dan Simulakra..., Adhy Pramudya, FKIP UMP, 2018