BAB II KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DALAM...
Transcript of BAB II KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DALAM...
16
BAB II
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. KONSEP DASAR KURIKULUM 2004
1. Landasan Filosofis Munculnya Kurikulum 2004
Pendidikan merupakan bagian penting dari proses pembangunan
nasional yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Pendidikan juga merupakan investasi dalam pengembangan sumber daya
manusia, di mana peningkatan kecakapan dan kemampuan diyakini sebagai
faktor pendukung upaya manusia dalam mengarungi kehidupan yang penuh
dengan ketidakpastian. Dalam kerangka inilah pendidikan diperlukan dan
dipandang sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki
wilayah yang sangat luas.
Percepatan arus informasi, globalisasi, dan krisis multidimensional
telah mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan, dan kualitas sumber daya
manusia, termasuk semakin terkikisnya nilai-nilai islami pada sebagian
masyarakat. Hal tersebut terjadi, ketika masyarakat didikte untuk memasuki
“kehampaan spiritual”, yang membuatnya terasing dari diri, lingkungan dan
nilai-nilai agama yang dianutnya.1
Secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari
harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan
perkembangan pendidikan pada tingkat global. Seperti yang dikemukakan
oleh Azyumardi Azra bahwa pendidikan nasional menghadapi berbagai
permasalahan, diantaranya sebagai berikut:
1. Belum meratanya kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak bangsa.
Masih banyak anak didik sejak dari jenjang pendidikan terendah (SD)
sampai tertinggi (perguruan tinggi) terpaksa mengalami putus sekolah.
1Abdul Majid dan Dian Andayani, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi”,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), cet.II, hlm. V
17
2. Kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik dan menekankan
uniformitas (keseragaman), yang mengakibatkan beban kurikulum serba
seragam dan overloaded.
3. Pendanaan anggaran pendidikan yang kurang memadai yang
mengakibatkan kinerja guru/ tenaga kependidikan jauh dari memuaskan.
4. Adanya kesulitan dalam pencapaian kualitas standardized khususnya
dalam bidang-bidang yang merupakan basic competencies. Hal ini muncul
karena terdapatnya ketimpangan-ketimpangan kondisi sosial, budaya, dan
ekonomi di antara berbagai wilayah dan daerah.
5. Adanya guru dan tenaga kependidikan yang masih unqualified,
underqualified, dan mismatch, sehingga mereka kurang mampu
menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar
kualitatif.
6. Kondisi pendidikan nasional yang kurang mampu merespon kebutuhan
masyarakat.2
Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem
pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas
pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Dalam hal ini, perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa
pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu. Dengan
adanya berbagai asumsi di atas, maka muncul kebijakan pemerintah tentang
desentralisasi pendidikan, sebagai implikasi dari pemberlakuan Undang-
undang Republik Indonasia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Diundangkannya UU No. 22 tentang Pemerintah Daerah pada
hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasar aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota
berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab.
2 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Buku Kompas, 2002), hlm.xv-xvii
18
Sedangkan UU No. 25 tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang bertujuan memberdayakan dan
meningkatkan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah
yang adil, proposional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab
dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah yang jelas.
Ketentuan Otonomi Daerah yang dilandasi oleh Undang-undang
nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 2000 sebagaimana
diuraikan di atas, telah membawa perubahan dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk penyelenggaraan pendidikan. Bila sebelumnya
manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat dengan berlakunya
undang-undang tersebut dialihkan ke pemerintah kota dan kabupaten.
Seperti yang dikutip oleh Mulyasa, mengemukakan empat isu
kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang perlu direkonstruksi
dalam rangka otonomi daerah, berkaitan dengan peningkatan mutu
pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan, serta relevansi pendidikan dan
pemerataan pelayanan pendidikan sebagai berikut:
1. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan
dan standar kompetensi pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional
antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Standar kompetensi
yang mungkin akan berbeda antar sekolah atau antar daerah akan
menghasilkan standar kompetensi nasioanal dalam tingkatan standar
minimal, normal (mainstream), dan unggulan.
2. Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan
pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas
kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia bagi
tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
3. Peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis
masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level
kebijakan (pengambilan keputusan) dan level operasional melalui komite
(dewan) sekolah. Komite ini terdiri atas kepala sekolah, guru senior, wakil
orang tua, tokoh masyarakat dan perwakilan siswa. Peran komite meliputi
perencanaan, implementasi, monitoring, serta evaluasi program kerja
sekolah.
19
4. Pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang
berkeadilan. Hal ini berkenaan dengan penerapan formula pembiayaan
pendidikan yang adil dan transparan, upaya pemerataan mutu pendidikan
dengan adanya standar kompetensi minimal serta pemerataan pelayanan
pendidikan bagi siwa pada semua lapisan masyarakat.3
Salah satu masalah pendidikan yang berhubungan dengan relevansi
adalah perlunya penyesuaian dan peningkatan materi program pendidikan agar
secara lentur bergerak cepat sejalan dengan tuntutan dunia kerja serta tuntutan
kehidupan masyarakat yang berubah secara terus menerus. Sebagai wujud
nyata upaya tersebut, antara lain telah dilakukan perubahan kurikulum 1968
menjadi kurikulum 1975/1976 yang berorientasi pada tujuan, kemudian
disempurnakan pada 1984 dan 1994. Hal tersebut dimaksudkan agar tercapai
keselarasan antara kurikulum dengan kebijakan baru di bidang pendidikan,
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengajaran serta meningkatkan mutu
lulusan, juga merelevansikan pendidikan dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat.
Dengan adanya relevansi pendidikan melalui penyempurnaan
kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 bukan berarti kurikulum 1994 sudah
tidak terpakai akan tetapi perlu adanya perubahan sistem pembelajaran.
Karena sistem pembelajaran yang telah berjalan sudah tidak efektif.
Pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia
menunjukkan ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara yang
dipelajari dan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan
persoalan sehari-hari. Di sekolah anak-anak sebagian hanya memperoleh
hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Anak-anak hanya tahu
bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara
fakta-fakta dan pemecahan masalah belum mereka kuasai. Itu sebagian dari
permasalahan pendidikan kita yang saat ini terus kita benahi bersama. Salah
satu usaha meningkatkan mutu pendidikan adalah menciptakan kurikulum
yang lebih memberdayakan anak-anak. Untuk itu, perlu dirancang sebuah
3 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, Implementasi,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm.5-7
20
kurikulum yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional,
yakni melahirkan manusia Indonesia yang berkualitas dan berkompeten.4
Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional tersebut dengan memberlakukan kurikulum 2004 pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah yang pelaksanaannya dimulai pada tahun
2004. Namun pada tahun 2003 sudah ada beberapa sekolah yang menjadi
obyek bagi pelaksanaan kurikulum 2004.
Agar kurikulum tersebut berjalan dengan baik, maka diperlukan
kegiatan Piloting berupa pelaksanaan terbatas pada 90 SMP di Indoneasia
pada tahun pelajaran 2003/ 2004. Salah satu sekolah yang ditunjuk sebagai
pelaksana terbatas Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah SMP Negeri 7
Semarang.5
Kegiatan Piloting yang pertama dilakukan pada SMP Negeri di
Semarang adalah SMPN 7 dan SMP Nusa Putra. Kegiatan ini dimaksudkan
untuk menguji coba kurikulum 2004 dengan memilih sekolah yang dirasa
mampu untuk merealisasikan program pemerintah dalam meningkatkan mutu
pendidikan. Pemilihan ini dilakukan oleh Dinas Pendidikan Nasional dengan
berbagai pertimbangan.
Sebelum kegiatan Piloting, dilakukan sosialisasi melalui perwakilan
kepala sekolah pada tiap-tiap sekolah negeri maupun swasta. Dalam sosialisasi
tersebut disampaikan mengenai implementasi kurikulum 2004, dan
perbandingan antara kurikulum 1994 dengan kurikulum 2004. Kemudian guru
mengikuti penataran tingkat propinsi.
Untuk mensukseskan kurikulum 2004 ini diperlukan sosialisasi yang
matang supaya dalam pelaksanaannya nanti tidak menimbulkan permasalahan
baru bagi dunia pendidikan.
2. Pengertian Kurikulum2004
Melihat berbagai kondisi pendidikan seperti tersebut di atas diperlukan
adanya pembaharuan dalam unsur pendidikan. Salah satunya melalui
pembaharuan kurikulum. Karena kurikulum dipandang sebagai salah satu alat
4 Nurhadi, Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2004),, hlm. 2 5 Dinas Pendidikan Kota Semarang, Buku Panduan Rencana Pengembangan Sekolah
SMP Negeri 7 Semarang, Tahun 2005/ 2006.
21
untuk mencapai tujuan pendidikan. Tanpa adanya kurikulum maka pendidikan
tidak akan mencapai keberhasilan.
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah yang digunakan dalam
dunia atletik “curere” yang berarti “berlari”. Istilah tersebut erat hubungannya
dengan kata “curier” atau “kurir” yang berarti “penghubung” atau seorang
yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seorang
kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai perjalanan untuk
mencapai tujuan. Maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai
suatu jarak yang harus ditempuh.6
Menurut Peter F. Oliva dalam bukunya Developing The Curriculum,
mendefinisikan kurikulum adalah sebagai berikut:
a. Curriculum is that which is taught in school b. Curriculum is a set of subject c. Curriculum is a progam of studies d. Curriculum is a set of materials e. Curriculum is a sequence of course f. Curriculum is a set performance objectives g. Curriculum is a course of study h. Curriculum is an everything that goes on within the school, including extra
class activities, guidance and interpersonal relationship i. Curriculum is that which is taught both inside and outside of school
directed by the school j. Curriculum is everything that is planned by school personnel.7
Pengertian lain mengenai kurikulum adalah rencana-rencana yang
dibuat untuk membimbing dalam belajar di sekolah, yang biasanya meliputi
dokumen, level secara umum, dan aktualisasi dari rencana-rencana itu di
kelas, sebagai pengalaman murid, yang telah dicatat dan ditulis oleh seorang
ahli ; pengalaman-pengalaman tersebut ditempatkan dalam lingkungan belajar
yang juga mempengaruhi apa yang dipelajari. Namun demikian definisi yang
populer adalah “The Curriculum of school is all the experiences that pupils
have under the guidance of the school” (yakni, segala pengalaman anak di
sekolah dibawah bimbingan sekolah).8
6 Burhan Nurgiyantoro, “Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah Sebuah
Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan”, (Yogyakarta : BPFE, 1988), hlm.4 7 Peter F Oliva, “Developing The Curriculum”, (Boston: Little Brown and Company),
hlm 5-6 8 Abdullah Idi, “Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik”, (Yogyakarta: Gaya
Media Pratama, 1999), hlm. 5-6
22
Sedangkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20
tahun 2003 pasal 1 ayat 19 menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.9
Dari berbagai tafsiran dapat kita peroleh penggolongan sebagai
berikut:
a. Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para
pengembang kurikulum, Biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya
dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang misalnya
berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan.
b. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai progam, yakni alat yang
dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa
mengajarkan berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala
kegiatan yang dianggap dapat dapat mempengaruhi perkembangan siswa
misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan, pramuka, warung sekolah.
c. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, ketrampilan tertentu. Apa yang
diharapkan akan di pelajaritidak selalu sama dengan apa yang benar-benar
dipelajari.
d. Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan diatas berkenaan
dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa
yang secara aktual menjadi kenyataan pada tiap siswa. Ada kemungkinan,
bahwa apa yang diwujudkan pada diri anak berbeda dengan apa yang
diharapkan menurut rancana.10
Berbagai tafsiran tentang kurikulum bukanlah persoalan yang harus di
pertentangkan. Justru dengan adanya perbedaan pandangan ini dapat kita
jadikan langkah sebagai pedoman sekaligus dorongan untuk mengadakan
inovasi mencari bentuk- bentuk kurikulum baru yang tentunya disesuaikan
dengan perkembangan jaman.
9 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 Ayat 19 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) 10 S. Nasution, “Asas-asas Kurikulum”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet II, hlm. 9
23
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusia. Kualitas sumber daya manusia bergantung pada kualitas pendidikan.
Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang cerdas,
damai, terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan
harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan suatu
bangsa.11
Dengan adanya teknologi yang semakin canggih dan menuntut adanya
sumber daya manusia yang berkualitas, maka perlu diadakan perubahan
kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan ini
diharapkan dapat memberi jalan keluar atas permasalahan yang terjadi dalam
dunia pendidikan.
Pembangaunan pendidikan secara mikro menghadapi berbagai
masalah, antara lain berkaitan dengan pengembangan kurikulum yang
menghasilkan standar Nasional/ global; penciptaan iklim yang kondusif bagi
pelaksanaan pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup (life skill) dan
pendidikan akademik; serta peningkatan mutu dan kesejahteraan tenaga
pengajar. Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, yang mendapat perhatian
besar adalah penciptaan iklim pembelajaran yang kondusif bagi terlaksananya
kurikulum yang fleksibel, sesuai dengan potensi sekolah. Kurikulum yang
dimaksud adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK).12
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang selanjutnya disebut
kurikulum 2004 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai
keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti
yang digariskan dalam haluan negara.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan
kepedulian pemerintah terhadap gejala- gejala yang muncul di masyarakat
serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi
ini menuntut pendekatan kurikulum yang lebih kondusif di sekolah agar dapat
mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai
komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem
yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah, KBK tampil sebagai alternatif
11 Nurhadi, Op Cit, hlm. 1 12 E. Mulyasa, “Kurikulum Berbasis Kompetensi”, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005), cet.vii, hlm.27
24
kurikulum yang ditawarkan. KBK merupakan suatu konsep yang menawarkan
otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu, dan efisiensi pendidikan agar dapat mengakomodasi
keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara
sekolah, masyarakat, industri, dan pemerintah dalam membentuk pribadi
peserta didik.13
Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai
dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Mc
Ashan, yang dikutip Mulyasa dalam buku Kurikulum Berbasis Kompetensi ;
Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, mengemukakan bahwa kompetensi
adalah ; ”… is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person
achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can
satisfactorily perform particular cognitif, afective, and psychomotor
behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan,
ketrampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah
menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku
kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Dalam al Quran, banyak ayat yang menunjukkan tentang konsep
kompetensi, antara lain :
Al Quran Surat Az Zumar ayat 9 :
هل يستوى الذ ين يعلمون والذين ال يعلمون انما يتذكر اولوا اال لباب ..…
)9: الزمر (
“…Katakanlah : “Adakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ? Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima pelajaran”.14
Dalam tafsir Al- 55Mishbah yang berkaitan dengan ayat tersebut
dijelaskan bahwa, kata ya’lamun pada ayat diatas maksudnya siapa yang
memiliki pengetahuan-papun pengetahuan itu- pasti tidak sama dengan yang
tidak memilikinya. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang
13E. Mulyasa, “Ibid”, hlm. 8 14 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : CV. Asy Syifa’,
2001), hlm. 1026
25
bermanfaat, yang menjadikan seseorang mengetahui hakikat sesuatu kemudian
menyesuaikan diri dan amalnya dengan pengetahuannya itu.15 Sedangkan dalam
tafsir Al- Maraghi dijelaskan bahwa, hanya orang-orang yang mempunyai
akallah yang memiliki pengetahuan. Karena hanya dengan akal pikiran yang
mempunyai derajat kebaikan tertinggi.16 Dari sini dapat diketahui bahwa,
pengetahuan adalah bagian dari kompetensi yang dimiliki oleh setiap orang
yang menjadi bagian dari dirinya.
Al Qur’an Surat As Shaf ayat 2-3 :
كبر مقتا عند اهللا ان تقولوا ماال تفعلون .يا ايها الذين امنوا لم تقولون ماال تفعلون )3-2: الصف (
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah SWT bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.17 Maksud dari ayat tersebut di atas menyatakan bahwa, disana terlihat
pernyataan akhlak pribadi dengan kebutuhan masyarakat, di bawah naungan
akhlak keagamaan. Ayat tersebut mengandung sanksi dari Allah swt. serta
kecaman terhadap orang beriman yang mengucapkan apa yang mereka tidak
kerjakan. Ciri kepribdian muslim ini sangat ditekankan oleh al-Quran dan
sunnah.18
Aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai
berikut ;
a. Pengetahuan (Knowledge); yaitu kesadaran dalam bidang kognitif,
misalnya seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan
belajar, dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik
sesuai dengan kebutuhannya
b. Pemahaman (Understanding); yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang
dimiliki oleh individu. Misalnya seorang guru yang akan melaksanakan
pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang karakteristik
15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Cet. II, Vol.
12, hlm. 197 16 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, ( Semarang: Toha Putra, 1993),
Cet. II, hlm. 279 17 Departemen Agama RI,Op. Cit, hlm. 1251 18 M. Quraish Shihab, Vol. 14,Op. Cit. hlm.192
26
dan kondisi peserta didik, agar dapat melaksanakan pembelajaran secara
efektif dan efisien.
c. Kemampuan (Skill); adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk
melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya
kemampuan guru dalam memilih, dan membuat alat peraga sederhana
untuk memberi kemudahan belajar kepada peserta didik.
d. Nilai (Value); adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara
psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya standar perilaku
guru dalam pembelajaran (kejujuran, keterbukaan, demokratis).
e. Sikap (Attitude); yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka)
atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya
reaksi terhadap krisis ekonomi, perasaan terhadap kenaikan upah/ gaji, dan
sebagainya.
f. Minat (Interest); adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan
sesuatu perbuatan. Misalnya minat untuk mempelajari atau melakukan
sesuatu.
KBK merupakan suatu konsep yang menekankan pada pengembangan
kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi
tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa
penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan
minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran,
ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.
KBK memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi
tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah
kompetensi, dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian
rupa sehingga pencapaiannya diamati dalam bentuk perilaku atau ketrampilan
peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan. Kegiatan pembelajaran perlu
diarahkan untuk membantu peserta didik menguasai sekurang- kurangnya
tingkat kompetensi minimal, agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan. Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan pengembangan
27
bakat, setiap peserta didik harus diberi kesempatan untuk mencapai tujuan
sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing- masing.19
KBK juga memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta
didik untuk melakukan inovasi dan improvisasidi sekolah., berkaitan dengan
masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial yang tumbuh dari kreatifitas dan
profesionalisme yang dimiliki. Pelibatan masyarakat dalam pengembangan
kurikulum mendorong sekolah untuk lebih terbuka, demokratis, dan
bertanggung jawab. Pemberian kebebasan yang lebih luas memberi
kemungkinan kepada sekolah untuk dapat menemukan jati dirinyadalam
membina peserta didik, guru, dan petugas lainyang ada di lingkungan sekolah.
Dengan demikian sekolah diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran
yang efektif, dapat mencapai tujuan yang diharapkan, materi yang diajarkan
relevan dengan kebutuhan masyarakat, berorientasi pada hasil (Output), dan
dampak (Outcome), serta melakukan penilaian, pengawasan, dan pemantauan
secara terus menerus dan berkelanjutan.20
Di samping itu, Kurikulum Berbasis Kompetensi juga memuat segala
sesuatu yang perlu disampaikan pada siswa dan mendorong siswa
mengembangkan, menerapkan, dan menghubungkannya dengan kehidupan
sehari-hari. Pengetahuan yang mereka dapatkan harus dipraktikkan. Apa yang
harus mereka lakukan sebagai hasil pembelajaran mendapatkan porsi yang
cukup. Dengan demikian, siswa belajar di sekolah tidak semata-mata agar
dapat menjawab soal-soal ulangan atau ujian. KBK menuntut guru
mendampingi siswanya agar pengetahuan mereka tidak berhenti pada
pengetahuan teoritis saja. Pengetahuan harus bermanfaat dan berkembang,
karena pengetahuan tidak dilepaskan dari masalah kehidupan sehari-hari.21
3. Keunggulan Kurikulum 2004
Dalam pembelajaran KBK ini peserta didik merasa senang karena
mereka merasa dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran. Sehingga dalam
proses belajar mengajar peserta didik harus selalu aktif dan kreatif. Berbeda
dengan kurikulum sebelumnya (1994), yang menitik beratkan pada pencapaian
19 E. Mulyasa, “Op. Cit”, hlm. 39-40 20 E. Mulyasa, “Menjadi Kepala Sekolah Profesional”, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2004), hlm. 60-61 21 Nurhadi, Op Cit, hlm.56
28
tujuan tanpa memperhatikan sejauh mana pemahaman siswa tentang materi
yang telah diajarkan. Sedangkan pada kurikulum 2004 ini peserta didik.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mempunyai beberapa
keunggulan dengan model-model lainnya.
a. Pendekatan ini bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat, berfokus
dan bermuara pada hakikat peserta didik untuk mengembangkan berbagai
kompetensi sesuai dengan potensinya masing-masing. Dalam hal ini
peserta didik merupakan subyek belajar, dan proses belajar berlangsung
secara alamiah dalam bentuk bekerja dan mengalami berdasarkan standar
kompetensi tertentu, bukan transfer pengetahuan (transfer of knowledge)
b. Kurikulum Berbasis kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan
kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan keilmuan dan keahlian tertentu
dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek kepribadian dapat
dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu
c. Ada mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat
menggunakan pendekatan kompetensi, terutama berkaitan ketrampilan.22
4. Karakteristik Kurikulum 2004
Kurikulum 2004 memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Menekankan kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
b. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi
siswa (normal, sedang, tinggi)
c. Berpusat pada siswa
d. Orientasi pada proses dan hasil
e. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual
f. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, (siswa dapat belajar
dari apa saja)
g. Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar
h. Belajar sepanjang hayat :
1) Belajar mengetahui (Learning how to know)
2) Belajar melakukan ( Learning how to do)
3) Belajar menjadi diri sendiri (Learning how to be)
22 Abdul Majid, Op Cit, hlm.55
29
4) Belajar hidup dalam keberagaman (Learning how o live together)23
5. Komponen-komponen Kurikulum 2004
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) memiliki empat komponen,
diantaranya :
a. Komponen kurikulum dan hasil belajar
Kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan pengembangan
potensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir
sampai 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi-
kompetensi, hasil belajar dan indikator hasil belajar dari Taman Kanak-
kanak sampai kelas 12. Kurikulum dan hasil belajar juga memuat standar
kompetensi untuk menentukan apa yang harus dipelajari oleh siswa,
bagaimana mereka seharusnya dinilai, dan bagaimana pembelajaran
disusun.
Kompetensi tersebut memuat delapan peringkat pencapaian prestasi
peserta didik selama mereka mengikuti pendidikan pra sekolah,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pemeringkatan terdiri atas
level 0, 1, 2, 3, 4, 4-A, 5, dan 6. Pemeringkatan pencapaian prestasi siswa
dan kesetaraannya dengan kelas dapat dilihat dalam tabel berikut
23 Nurhadi, “Op CIt”, hlm. 14
30
TABEL PEMERINGKATAN DAN KESETARAAN DENGAN
KELAS24
level kesetaraan kelas
Penjelasan
0 TK dan RA Kesiapan untuk memasuki sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, namun tidak menjadi prasyarat untuk memasuki sekolah dasar dan madarasah ibtidaiyah
1 I-II Penguasaan kemampuan dasar untuk menggunakan bahasa lisan, tulis dan angka dalam berkomunikasi
2 III-IV Tahap orientasi operasional konkrit untuk beralih secara bertahap ke kemampuan berpikir yang lebih abstrak
3 V-VI Pencapaian kompetensi lulusan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah dan peralihan ke jenjang sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah
4 VII-VIII Penguasaan ketrampilan berpikir dan penalaran proses abstraksi melalui kompetensi yang dipelajari dan diterapkan dalam menyelesaikan masalah
4-A IX Pencapaian kompetensi lulusan sekolah menengah pertama dan madrasah ibtidaiyah sesuai dengan tuntutan wajib belajar sembilan tahun untuk melanjutkan ke jenjang pendiidikan yang lebih tinggi atau hidup di masyarakat
5 X Penguasaan kompetensi yang mendukung pemilihan dan atau penentuan program studi atau pilihan atau keahlian
6 XI-XII Pencapaian kompetensi lulusan sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, bekerja atau hidup di masyarakat.
b. Penilaian Berbasis kelas
Penilaian berbasis kelas memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan
penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai
akuntabilitas publik melalui penilaian terpadu dengan kegiatan belajar
mengajar di kelas (berbasis kelas) dengan mengumpulkan kerja siswa
(portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja
(performance), dan tes tertulis. Penilaian ini mengidentifikasi kompetensi/
hasil belajar yang telah dicapai dan memuat pernyataan yang jelas tentang
standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar siswa dan
pelaporan.
c. Kegiatan belajar mengajar
Kegiatan belajar mengajar memuat gagasan-gagasan pokok tentang
pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan
24 Nurhadi, “Op CIt”, hlm. 1
31
serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola
pembelajaran agar tidak mekanistik.
d. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah
Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah memuat berbagai pola
pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk
meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan
pembentukan jaringan kurikulum (Curriculum Council) pengembangan
kurikulum (silabus), pembinaan profesional tenaga kependidikan, dan
pengembangan sistam informasi kurikulum.25
B. KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KOMPETENSI
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Dalam semua peraturan perundang-undangan tentang pendidikan yang
diberlakukan di negeri ini, Pendidikan agama menempati posisi yang strategis
dan sangat penting. Urgensi dan posisi pendidikan agama ini dapat dilihat
antara lain dari ketentuan-ketentuan mengenai tujuan dan kurikulum.
Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani pendidikan agama Islam
adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam
dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud
kesatuan dan persatuan bangsa.26
Sebagai mata pelajaran, rumpun mata pelajaran, atau bahan kajian, PAI
memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan
mata pelajaran lain. Adapun karakteristik mata pelajaran PAI itu dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. PAI merupakan rumpun mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-
ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama islam. Ditinjau dari segi
isinya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi salah satu
komponen, dan tidak dapat dipisahkan dari rumpun mata pelajaran yang
bertujuan mengembangkan moral dan kepribadian peserta didik.
25 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op Cit, cet.II, hlm. 66-67 26 Abdul Majid dan Dian Andayani, “Ibid”, hlm. 130
32
b. Tujuan PAI adalah terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa
kepada Allah SWT, berbudi pekerti yang luhur (berakhlak mulia),
memiliki pengetahuan tentang ajaran pokok agama Islam dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari- hari, serta memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam tentang Islam sehingga memadai
baik untuk kehidupan barmasyarakat maupun untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
c. Pendidikan Agama Islam, sebagai sebuah program pembelajaran,
diarahkan pada:
1) Menjaga aqidah dan dan ketaqwaan peserta didik,
2) menjadi landasan untuk lebih rajin mempelajari ilmu-ilmu lain yang
diajarkan di sekolah,
3) Mendorong peserta didik untuk kritis, kreatif, dan inovatif,
4) Menjadi landasan perilaku dalam kehidupan sehari- hari di masyarakat.
d. Pembelajaran PAI tidak hanya menekankan penguasaan kompetensi
kognitif saja, tetapi juga psikomotorik dan afektif.
e. Isi mata pelajaran PAI didasarkan dan dikembangkan dari ketentuan-
ketentuan yang ada dalam dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al Qur’an
dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
f. Materi PAI dikembangkan dari ketiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu
aqidah, syari’ah dan akhlaq.
g. Out put program pembelajaran PAI di sekolah adalah terbentuknya peserta
didik yang memiliki akhlak mulia (budi pekerti yang luhur) yang
merupakan misi utama dari diutusnya Nabi Muhammad SAW di dunia
ini27.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh
pendidik secara sistematis dan pragmatis dalam menyiapkan peserta didik agar
memiliki kepribadian yang mampu mengenal, meyakini, memahami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran dasar Islam yang tertuang dalam
27 Departemen Agama RI, “Pedoman Umum Pendidikan Agama Islam Sekolah
Umum dan Sekolah Luar Biasa”, (Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Ajaran Islam, 2003), hlm. 3
33
al Qur’an dan Hadist serta menjadikannya sebagai pedoman hidup untuk
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka menciptakan
kerukunan antar umat beragama demi persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
a. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pendidikan adalah merupakan suatu
pekerjaan yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup
lama. Oleh karena itu untuk membawa peserta didik pada tujuan akhir
dalam proses pembelajran maka diperlukan tujuan dari bagian- bagian
pendidikan. Adapun tujuan pendidikan itu diantaranya seperti yang
diungkapkan oleh beberapa tokoh sebagai berikut:
1) Mahmud Yunus, bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah
mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa supaya
menjadi muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh, dan berakhlak
mulia, sehingga ia menjadi seorang anggota masyarakat yang sanggup
hidup mandiri, mengabdi kepada Allah serta berbakti kepada bangsa,
tanah air dan bahkan kepada sesama umat manusia.28
2) Menurut Al Abrasyi
Berpendapat bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah mendidik
budi pekerti dan pendidikan jiwa berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang
diarahkan terbentuknya kepribadian yang utama.29
3) Menurut Imam al- Ghazali
Al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam al-Ghazali adalah
membentuk manusia purna yang memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat (mendekatkan diri kepada Allah), sebagaimana yang dikenal
dengan kesufiannya, tetapi juga bersifat duniawi. Menurut al-Ghazali
dunia sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih
utama dan kekal.30
28 Mahmud Yunus, “Metodik Khusus Pendidikan Agama”, (Jakarta : Hidakarya Agung,
1983), hlm. 13 29 M. Athiyah Al Abrasyi, Alih bahasa oleh Bustami A. Gani dan Johar Bahry, L.I.S,
Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 11 30 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), hlm. 22
34
Tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh beberapa tokoh tersebut
pada dasarnya adalah menciptakan anak didik yang tidak sekedar
menguasai ilmu umum saja melainkan juga ilmu agama dengan
membiasakan berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-sehari. Jadi
pendidikan agama yang diajarkan di sekolah diharapkan dapat
mendidik anak menjadi manusia yang berpendidikan, berakhlak mulia
serta bertaqwa pada Allah SWT.
b. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Mata pelajaran pendidikan agama Islam itu secara keseluruhannya
dalam lingkup al Qur’an dan al-Hadits, keimanan, akhlak, fiqh dan sejarah
sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam
mencakup perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan
hubungan manusia dengan Allah SWT., diri sendiri, sesama manusia,
makhluk lainnya maupun lingkungannya (Hablun minallah wa hablun
minannas).31
3. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Istilah metode berasal dari Bahasa Yunani “Metha” dan “Hodos”.
Metha diartikan melalui atau melewati, sedangkan Hodos berarti jalan atau
cara. Dari gabungan dua kata di atas, yang di maksud dengan metode yaitu
jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. 32 Yang
dalam hal ini adalah tujuan pendidikan agama Islam.
Menurut Abdullah Sigit dalam metodologi pendidikan agama seperti
dikutip oleh Zuhairini, dkk. Dijelaskan bahwa sesungguhnya cara atau metode
mengajar adalah suatu “seni” dalam hal ini adalah “seni mengajar”. Dijelaskan
pula oleh Proyek Pembinaan Perguruan tinggi agama, merumuskan bahwa
metode mengajar adalah suatu teknik penyampaian bahan pelajaran kepada
murid, ia dimaksudkan agar murid dapat menangkap pelajaran dengan mudah,
efektif dan dapat dicernakan oleh anak didik dengan baik.33
الطريقة هي النظام الذي يسير المدرس فى القاء درسه ليوصل
المعلومات الى اذهان التالميذ بشكل يتحسن اعراض التربية
31 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op.Cit., hlm. 131. 32 Zuhairini, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 66 33Zuhairini, et al, Ibid, hlm. 66-67
35
“Metode merupakan peraturan yang dilakukan oleh guru dalam menyampaikan materinya untuk mentransfer ilmu pengetahuan ke otak siswa dengan cara yang bagus guna memperoleh tujuan pendidikan”.34
Dalam proses kegiatan belajar mengajar seorang guru dituntut agar
cermat dalam memilih dan menetapkan metode apa yang tepat untuk
digunakan dalam menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik.
Penggunaan metode sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
lingkungan belajar siswa, oleh karenanya metode bersifat kondisional.
Berikut ini adalah metode yang sering dikemukakan oleh beberapa ahli
pendidikan. Adapun metode yang sering kita dengar dan kita baca adalah
sebagai berikut:
a. Metode ceramah, yaitu memberikan pengertian dan uraian suatu masalah/
materi.
b. Metode diskusi, yaitu memecahkan masalah/ menyampaikan materi
dengan berbagai tanggapan.
c. Metode tanya jawab, yaitu proses komunikasi dua arah antara guru dan
murid.
d. Metode eksperimen, yaitu mengetahui proses terjadinya suatu masalah
dengan uji coba.
e. Metode demonstrasi, yaitu menggunakan peraga untuk memperjelas atau
menunjukan sebuah masalah/ menyampaikan materi.
f. Metode pemberian tugas, yaitu dengan cara memberi tugas tertentu secara
bebas dan dipertanggungjawabkan.
g. Metode sosiodrama, yaitu menunjukkan tingkah laku kehidupan.
h. Metode karya wisata, yaitu kunjungan di luar sekolah dalam rangka tugas
tertentu.
i. Metode kelompok, yaitu dengan belajar bekerja sama (group work).
j. Metode drill, yaitu mengukur daya serap terhadap pelajaran/ latihan
berulang-ulang.
k. Metode proyek, yaitu memecahkan masalah dengan langkah-langkah
secara ilmiah, logis dan sistematis.35
34 Mahmud Yunus dan M. Qasim Bakar, Attarbiyah wa at Ta’lim, (Gontor Ponorogo ; Darul
Islam, t.th), Jilid I B, hlm. 12 35 Armai Arief, Op Cit, hlm. 2.
36
Dari beberapa metode di atas dalam penyampaian pendidikan agama
Islam secara jelas tak ada yang paling baik karena pemakaian metode tersebut
sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, dan sebuah metode bisa
menjadi efektif ketika digunakan oleh seseorang tetapi belum tentu efektif
ketika digunakan oleh orang lain.
Peranan serta efektivitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemberi
nilai spiritual kesejahteraan masyarakat sangat dibutuhkan pada saat sekarang
ini. Karena zaman semakin maju dan menuntut berbagai perubahan di segala
bidang salah satunya adalah bidang pendidikan. Melalui pendidikan agama
Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi menuju masyarakat yang lebih
baik. Oleh karena itu penyempurnaan kurikulum harus terus dilakukan sesuai
dengan kemajuan zaman.
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan alternatif kurikulum
untuk memperbaiki berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi,
khususnya dalam pembelajaran di sekolah/ madrasah, termasuk dalam
pendidikan agama Islam. Dikatakan demikian, karena KBK memberikan
kejelasan tentang kompetensi yang harus ditanamkan kepada peserta didik
selama mereka berada dalam proses pendidikan. Oleh karena itu,
implementasi KBK harus berangkat dari kompetensi- kompetensi dasar
sebagai hasil analisis dari kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan untuk hidup
(bekerja) maupun untuk mengembangka diri sesuai dengan pendidikan seumur
hidup (life long education).Melalui implementasi KBK dalam pendidikan
agama Islam diharapkan lahir lulusan yang berwatak, memiliki keimanan dan
ketaqwaan terhadap Allah SWT.
Oleh karena itu mengapa perlu adanya kurikulum berbasis kompetensi
dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam. Dengan adanya berbagai
alasan seperti yang telah disebutkan di atas, semua itu adalah tantangan bagi
dunia pendidikan, khususya pendidikan agama Islam., Maka di sinilah
mengapa perlu adanya relevansi pendidikan yang menuntut adanya
penyesuaian dan peningkatan mutu pendidikan agama Islam.
Adapun usaha penyempurnaan tersebut dalam perbedaan antara
kurikulum 1994 dengan kurikulum 2004 sebagaimana yang dijelaskan oleh
Abdul Madjid dan Dian Andayani dalam Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi sebagai berikut:
37
Tabel cari ya……………..?
38
Secara konseptual, yang membedakan kurikulum 1994 dengan
kurikulum 2004 adalah bahwa, kurikulum 1994 berbasis pencapaian tujuan ;
maksudnya rumusan tujuan yang bersifat operasional menjadi target pencapaian
pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirinci sedetail mungkin. Dalam kurikulum
ini setiap bidang studi, berisi ‘daftar’ tujuan yang ingin dicapai dan mareri yang
akan diajarkan. sedangkan kurikulum 2004, yang tercermin dalam Kurikulum dan
Hasil Belajar (KBH) setiap bidang studi, berisi ‘daftar’ kompetensi yang akan
dicapai.36
4. Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar PAI
a. Pengertian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang
dapat dilakukan atau ditampilkan untuk satu mata pelajaran; kompetensi
dalam mata pelajaran tertentu yang harus dimiliki oleh siswa; atau
kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan dalam suatu mata pelajaran.
Kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan
yang dapat didemonstrasikan, ditunjukkan atau ditampilkan oleh siswa
sebagai hasil belajar. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka stsndar
kompetensi PAI adalah standar kemampuan yang harus dikuasai oleh
siswa sebagai hasil dari mempelajari PAI.
Setiap standar kompetensi dapat dijabarkan menjadi beberapa
kompetensi dasar (misal 3-6). Kompetensi dasar adalah kemampuan
minimal dalam mata pelajaran yang harus dimiliki oleh lulusan atau
kemampuan minimal yang harus dapat dilakukan atau ditampilkan oleh
siswa dari standar kompetensi untuk suatu mata pelajaran. Ada juga yang
mendefinisikan kompetensi dasar sebagai pengetahuan, sikap, dan
ketrampilan minimal yang harus dikuasai siswa untuk menunjukkan bahwa
siswa telah menguasai standar kompetensi yang telah ditentukan. Dengan
kata lain, kompetensi dasar merupakan perincian lebih lanjut dari standar
kompetensi.
36 Nurhadi, Op. Cit, hlm. 28
39
b. Penentuan Standar Kompetensi
Penentuan standar kompetensi dapat dilakukan dengan memperhatikan
dan mengkaji struktur ilmu dari setiap mata pelajaran. Standar kompetensi
dirumuskan dalam bentuk kalimat operasional. Oleh karena itu, rumusan
standar kompetensi diawali dengan kata kerja operasional yang pada
umumnya berkisar antara sepuluh hingga dua puluh buah, namun bisa pula
kurang atau lebih dari itu. Adapun sumber-sumber yang dapat digunakan
oleh penyusun kurikulum dalam menentukan standar kompetensi PAI
antara lain:
1) Al Qur’an dan Sunnah
2) Buku teks dalam berbagai bidang kajian keislaman
3) Analisis taksonomi hasil belajar
4) Struktur keilmuan PAI
5) Para praktisi ( khususnya guru ) bidang PAI
6) Masyarakat pengguna lulusan
7) Hasil analisis tugas.37
Adapun kompetensi yang diharapkan agar dikusai oleh siswa SMP,
sesuai dengan tingkatan kelas, yaitu kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX yang
akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Kelas VII
Standar Kompetensi :
1) Mengamalkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari
2) Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari
3) Menerapkan Akhlakul Karimah (Akhlak yang mulia) dalam kehidupan
sehari-hari
4) Menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari
5) Mengambil manfaat dari sejarah Islam tentang masyarakat Makkah
sebelum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
b. Kelas VIII
Standar Kompetensi :
1) Mengamalkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari
2) Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari
37 Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi SMP, (Jakarta: Dirjen pendidikan Dasar dan Menengah, 2003), hlm.10-11
40
3) Menerapkan Akhlakul Karimah (Akhlak yang mulia) dan menghindari
akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari
4) Menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari
5) Mengambil manfaat dari sejarah Islam tentang keadaan masyarakat
Madinah sebelum Islam datang dalam kehidupan sehari-hari.
c. Kelas IX
Standar Kompetensi :
1) Mengamalkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari
2) Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari
3) Akhlakul Karimah (akhlak yang mulia) dalam kehidupan sehari-hari
4) Menerapakan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari
5) Mengambil manfaat dari perkembangan Islam pada masa Khulafaur
Rasyidin dalam kehidupan sehari-hari.38
c. Kompetensi Spesifik Pendidikan Agama Islam
Dengan landasan Al Qur’an dan As Sunnah Nabi Muhammad SAW;
siswa beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT; berakhlak mulia (berbudi
pekerti luhur) yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam
hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar; mampu
membaca dan memahami Al Qur’an; mampu beribadah dan bermuamalah
dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan antar
umat beragama.
Adapun kompetensi yang diharapkan dimiliki siswa setelah mengikuti
pendidikan di jenjang tertentu dalam kurikulum 2004 sebagai perwujudan
Tujuan Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut :
1) Kompetensi lintas kurikulum, yaitu pernyataan tentang pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang
hayat dan ketrampilan hidup yang seharusnya dimiliki. Hasil belajar
dari kompetensi lintas kurikulum ini perlu dicapai melalui
pembelajaran-pembelajaran dari semua rumpun pelajaran.
38 Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus
Berbasis Kompetensi SMP Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Pendidikan Dasar dan Menengah, 2003), hlm. 36-51
41
2) Kompetensi Tamatan, merupakan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan
nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak
setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang tertentu.
3) Kompetensi Rumpun Pelajaran, berisi kemampuan berpikir dan
bertindak yang merupakan akumulasi dari pengetahuan, ketrampilan,
nilai, dan sikap yang terkandung dalam rumpun mata pelajaran. Secara
deduktif, kompetensi ini diturunkan dari hakikat rumpun mata
pelajaran dan dikaitkan dengan tuntutan masa kini dan masa
mendatang sesuai dengan konteks nasional, lokal, dan global.39
Selain beberapa macam kompetensi yang telah dijelaskan di atas,
dalam buku “Pendidikan Berbasis Kompetensi”, Abdul Madjid dan Dian
Andayani juga menjelaskan beberapa kompetensi sebagai berikut :
1) Kompetensi dasar mata pelajaran, merupakan pernyataan minimal atau
memadai tentang pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa
menyelesaikan suatu aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu.
2) Kompetensi dasar, merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat
diketahui, disikapi, atau dilaksanakan.
3) Hasil belajar, pernyataan kemampuan siswa yang diharapkan dapat
menguasai sebagian atau seluruh kompetensi yang dimaksud.
4) Indikator hasil belajar, merupakan kompetensi dasar secara spesifik
yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil belajar.40
5. Rambu-rambu dalam Kurikulum 2004
a. Pendekatan Pembelajaraan dan Penilaian
Dalam implementasi kurikulum 2004 yang menekankan pada
pengembangan melakukan sejumlah kompetensi tertentu yang harus
dicapai oleh peserta didik, maka diharapkan guru dapat menggunakan
pendekatan atau strategi yang sesuai dengan misi KBK. Namun pada
umumnya seorang guru tidak berpegang pada salah satu pendekatan secara
murni, tetapi menganut beberapa pendekatan yang sesuai dengan
pembelajaran yang akan dicapai. Oleh karena itu seorang guru diharapkan
39 Nurhadi, Op. Cit, hlm. 21 40 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op. Cit, hlm. 68-69
42
memiliki kreatifitas dan professional dalam menggunakan beberapa
pendekatan.
Secara garis besar, pendekatan atau strategi belajar apapun dapat
diterapkan sepanjang relevan dengan tujuan kurikulum 2004. Adapun
pendekatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran KBK memiliki
kesamaan ciri dalam hal sebagai berikut:
1. Menekankan pada pemecahan masalah.
2. Bisa dijalankan dalam berbagai konteks,
3. Mengarahkan siswa menjadi pembelajar mandiri,
4. Mengaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siwa yang berbeda-
beda,
5. Mendorong terciptanya masyarakat belajar,
6. Menerapkan penilaian otentik, dan
7. Menyenangkan.
Sedangkan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan ciri tersebut
di atas antara lain sebagai berikut:41
1. Pendekatan kontekstual,
2. Pengajaran berbasis masalah,
3. Pengajaran kooperatif,
4. Pengajaran berbasis inkuiri,
5. Pengajaran berbasi proyek/ tugas,
6. Pengajaran berbasis kerja,
7. PAKEM,
8. Quantum Teaching dan Quantum Learning,
9. CBSA, dan
10. Pengajaran berbasis melayani.
Pada dasarnya semua pendekatan dan strategi belajar yang
memberdayakan siswa dengan beragam cara merupakan pendekatan yang
dianjurkan diterapkan dalam kurikulum 2004 selama guru tidak
menggunakan ceramah sebagai satu-satunya pilihan strategi pembelajaran.
Untuk itu, dalam pembelajaran pendidikan agama Islam berbasis
41 Nurhadi, Op. Cit. hlm. 102-103
43
kompetensi guru bukan sebagai pusat informasi bagi siswa melainkan
harus memberi kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan sejumlah
kompetensi tertentu dengan menggunakan pendekatan yang bervariasi
untuk memunculkan kreatifitas siwa. Sehingga siswa tidak bosan dengan
kegiatan pembelajaran yang bervariasi karena mereka merasa dilibatkan
dalam setiap kegiatan pembelajaran.
1. Pendekatan
Pendekatan Terpadu dalam Pendidikan Agama Islam meliputi :
a. Keimanan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk
mengembangkan pemahaman adanya Allah (Tuhan) sebagai
sumber kehidupan makhluk sejagat ini;
b. Pengalaman, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mempraktikkan dan merasakan hasil-hasil pengalaman ibadah dan
akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah kehidupan;
c. Pembiasaan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
membiasakan sikap dan perilaku baik yang sesuai dengan ajaran
Islam dan budaya Bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan;
d. Rasional, usaha memberikan peranan pada rasio (akal) peserta
didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan ajar
dalam standar materi serta kaitannya pada perilaku yang baik
dengan perilaku yang buruk dalam kehidupan duniawi;
e. Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik
dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan
bangsa;
f. Fungsional, menyajikan bentuk semua standar materi (Al Qur’an,
Keimanan, Akhlak, Fiqih/ ibadah dan Tarikh), dari segi
manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam
arti luas;
g. Keteladanan, yaitu menjadikan figur guru agama dan non agama
sertra petugas sekolah lainnya maupun orang tua peserta didik,
sebagai cermin manusia berkepribadian agama.
44
2. Penilaian
Penilaian dilakukan terhadap hasil belajar siswa berupa kompetensi
sebagaimana yang tercantum dalam KBM setiap mata pelajaran. Di
samping mengukur hasil belajar siswa sesuai dengan ketentuan
kompetensi setiap mata pelajaran di masing-masing kelas dalam
kurikulum nasional, penilaian juga dilakukan untuk mengetahui
kedudukan atau posisi siswa dalam 8 level kompetensi yang ditetapkan
secara nasional.
Dalam kurikulum 2004 menggunakan pendekatan Penilaian Berbasis
Kelas (PBK) yaitu pendekatan penilaian yang lebih menitik beratkan pada
penilaian sebagai alat pembelajaran, bukan tujuan pembelajaran. Proses
penilaian dikembalikan pada konsep awal, yaitu menilai apa yang
seharusnya dinilai.42 PBK dilaksanakan secara terpadu dengan
pembelajaran, yang pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pendekatan
proses dan hasil belajar. PBK melalui pendekatan proses dan hasil belajar
dapat dilakukan dengan pengumpulan hasil kerja peserta didik
(portofolio), hasil karya (product), penugasan (proyek), penampilan
(performance), dan tes tertulis (paper and pen). Hasil penilaian dapat
digunakan untuk memperbaiki program pembelajaran, menentukan tingkat
penguasaan peserta didik terhadap kompetensi dasar atau prestasinya, dan
menentukan keberhasilan penerapan KBK secara keseluruhan.43
Prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaan penilaian berbasis kelas
yaitu mengacu pada
a. Valid artinya harus memberikan informasi yang akurat tentang hasil
belajar siswa misalnya, apabila pembelajaran menggunakan
pendekatan eksperimen maka kegiatan melakukan eksperimen harus
menjadi salah satu objek yang dinilai.
b. Mendidik, artinya penilaian harus memberikan sumbangan positif
terhadap pencapaian belajar siswa, hasil penilaian harus dinyatakan
sebagai penghargaan bagi siswa yang berhasil atau sebagai pemicu
semangat belajar bagi yang kurang berhasil.
42 Nurhadi, Kurikulum ………Ibid, hlm. 164 43 E. Mulyasa, Op. Cit. hlm. 60
45
c. Berorientasi pada kompetensi, artinya penilaian harus menilai
pencapaian kompetensi yang dimaksud dalam kurikulum.
d. Adil, artinya penilaian harus adil terhadap semua siswa dengan tidak
membedakan latar belakang siswa
e. Terbuka, artinya kriteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan
harus jelas dan terbuka bagi semua pihak (siswa, guru, sekolah, orang
tua dan pihak lain yang terkait)
f. Berkesinambungan, artinya penilaian dilakukan secara berencana,
bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran tentang
perkembangan belajar siswa
g. Menyeluruh, artinya penilaian dapat dilakukan dengan berbagai teknik
dan prosedur termasuk mengumpulkan berbagai bukti hasil belajar
siswa
h. bermakna, artinya penilaian hendaknya mudah dipahami, mempunyai
arti, berguna dan bisa ditindak lanjuti oleh semua pihak.44
Penilaian berbasis kelas harus memperhatikan tiga ranah yaitu :
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan ketrampilan (psikomotorik).
Dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam, penilaiannya harus menyeluruh
pada segenap aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, dengan
mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa serta bobot setiap aspek
dari setiap materi.
Evaluasi dalam pendidikan agama Islam merupakan cara atau teknik
penilaian terhadap tingkah laku manusia-didik berdasarkan standar
perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek
kehidupan mental-psikologi dan spiritual-religius. Karena manusia hasil
pendidikan tidak hanya bersikap religius tetapi juga berilmu dan
kerketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan
masyarakatnya. Secara umum sedikitnya ada tiga aspek yang perlu
diperhatikan untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan evaluasi,
khususnya evaluasi pengajaran, yaitu :45
44 Nurhadi, Op cit, hlm. 164
45 Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung ; Rosdakarya, 2002), hlm. 4
46
a. Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis, ini berarti evaluasi
merupakan kegiatan yang terencana dan berkesinambungan.
b. Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data yang
menyangkut objek yang sedang dievaluasi, dalam pengajaran datanya
berupa perilaku, hasil ulangan maupun tugas.
c. Setiap kegiatan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, tidak dapat
dilepaskan dari tujuan-tujuan pengajaran yang hendak dicapai, tanpa
merumuskan tujuan dahulu tidak mungkin menilai sejauh mana hasil
belajar siswa.
Dengan demikian maksud dari evaluasi pendidikan agama Islam adalah
sebuah kegiatan sistematis dan terarah dalam rangka pengambilan keputusan
yang didasarkan pada sejauh mana keberhasilan pendidikan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.
Evaluasi merupakan suatu proses untuk mengetahui tingkat
keberhasilan siswa selama proses pembelajaran. Landasan penilaian/ evaluasi
dalam kurikulum 2004 adalah berkelanjutan, akurat, dan konsisten sebagai
bentuk akuntabilitas kepada publik melalui identifikasi kompetensi/ hasil
belajar yang dicapai, peta kemajuan belajar siswa, dan pelaporannya kepada
orang tua dan masyarakat dengan pendekatan penilaian berbasis kelas.46
b. Pengorganisasian Materi
Pengorganisasian materi pada hakekatnya adalah kegiatan menyiasati
proses pembelajaran dengan perancangan/ rekayasa terhadap unsur-unsur
instruman melalui upaya pengorganisasian yang rasional dan menyeluruh.
Kronologi pengorganisasian materi itu mencakup tiga tahap yaitu
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Perencanaan persatuan waktu
terdiri dari program tahunan dan program semester. Perencanaan persatuan
bahan ajar dibuat bersdasarkan satu kebulatan bahan ajar yang dapat
disampaikan dalam satu atau bebarapa kali pertemuan. Pelaksanaan terdiri
dari langkah-langkah pembelajaran di dalam atau di luar kelas, mulai dari
pendahuluan, penyajian, dan penutup. Penilaian merupakan proses yang
dilakukan terus menerus sejak perencanaan, pelaksanaan dan setelah
46 Nurhadi, Kurikulum 2004……, Op. Cit. hlm.162
47
pelaksanaan pembelajaran per pertemuan, satuan bahan ajar, maupun
satuan waktu.
Dalam proses perencanaan dan pembelajaran hendaknya diikuti
langkah-langkah strategis sesuai dengan prinsip didaktik, antara lain: dari
mudah ke sulit, dari sederhana ke komplek, dan dari kongkrit ke abstrak.47
c. Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi
Teknologi dan komunikasi diperlukan dalam mewujudkan kreatifitas
dan dan ketrampilan agar hasil pembelajaran siswa dapat diketahui oleh
siswa lain atau orang lain dan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi adalah untuk mendapatkan informasi-informasi terbaru dalam
rangka mencari gagasan untuk perancangan dan pembuatan benda-benda
ketrampilan sebagai wujud dari kreatifitas siswa.
d. Membaca Al Qur’an
Membaca Al- Qur’an dan hafalan-hafalan tertentu diawal setiap
pelajaran selama 5 sampai 10 menit dengan tujuan untuk mengoptimalkan
ketercapaian kemampuan membaca/ menghafal Al Qur’an secara baik dan
benar.
e. Nilai-nilai
Setiap materi yang diajarkan kepada peserta didik mengandung nilai-
nilai yang terkait dengan perilaku kehidupan sehari-hari, misalnya
mengajarkan materi ibadah, yaitu wudlu, selain keharusan menyampaikan
air pada semua anggota wudlu di dalamnya juga terkandung nilai-nilai
bersih. Nilai itulah yang harus ditanamkan pada peserta didik dalam
pendidikan Agama.
f. Aspek Sikap
Untuk aspek akhlak misalnya, selain dikaji masalah yang bersangkutan
dengan aspek pengetahuan, aspek fungsionalnya diutamakan pada aspek
sikap,sehingga kelak siswa mampu bersikap sebagai seorang muslim yang
berakhlak mulia. Dan untuk mencapai tujuan tersebut unsure akhlak juga
didukung oleh cerita-cerita rasul yang berkaitan dengan sifat-sifat
keteladanannya (uswatun hasanah).
47 Hafni Ladjid, Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi, ( Jakarta; Quantum Teaching, 2005), hlm. 84-8
48
g. Ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dapat mendukung
kegiatan intrakurikuler, misalnya melalui kegiatan pesantren kilat, bakti
sosial, sholat jum’at, tahun baru Islam, lomba baca tulis al Qur’an (BTA).
h. Keterpaduan
Pola pembinaan pendidikan agama Islam dikembangkan dengan
menekankan keterpaduan antara tiga lingkungan pendidikan, yaitu:
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Untuk itu guru pendidikan
agama Islam perlu mendorong dan memantau kegiatan pendidikan agama
Islam yang dialami oleh siswanya di dua lingkungan lainnya (keluarga dan
masyarakat), sehingga terwujud keselarasan dan kesesuaian sikap serta
perilaku dalam pembinaannya.48
48 Abdul Majid, Op. Cit. hlm. 86-90
49
Perbedaan Pendidikan Agama Islam pada Kurikulum 1994 dan 2004
Kurikulum NO aspek
1994 2004
1 Tujuan * Lebih menitik beratkan
pada penguasaan materi
yaitu penguasaan ilmu
pengetahuan agama Islam
* Lebih menitik beratkan pada pencapaian
target kompetensi, yaitu penguasaan
pengetahuan agama Islam dengan
memperhatikan keragaman potensi
ruhani agar dapat memaksimalkan
kompetensi religiusnya
2 Isi * Menekankan isi/ materi
bahan ajar yang berasal
dari disiplin ilmu agama
Islam (dengan susunan
terstruktur-sistematis)
* Lebih menekankan pada
aspek kognitif
* Menekankan isi PAI berupa kompetensi
yang dirinci menjadi sasaran belajar,
secara tematik.
* menguraikan kompetensi yang
membentuk peserta didik sebagai
muslim yang mampu
mengaktualisasikan nilai-nilai PAI
didalam kehidupan pribadi dan
masysrakatnya sehingga kompetensi
tersebut menjadi perilaku yang dapat
diamati.
3 Fungsi * Memelihara dan
mewariskan ilmu- ilmu
agama Islam
* Transmisi nilai- nilai agama Islam ke
dalam bentuk kompetensi
50
4. Manajemen * Sentralistik, penyusunan
kurikulum PAI dilakukan di
tingkat pusat, guru hanya
mengembangkan aktivitas
belajar
* Desentralisasi, penyusunan
kurikulum oleh pusat (penetapan
standar kompetensi), namun
pengembangannya dalam bentuk
silabus dilakukan di daerah dan
sekolah
5. Kedudukan
Guru
* Guru sebagai ekspert dan
model (cenderung teacher
centered)
* Guru sebagai fasilitator ( guru tidak
dominan) dan memanfaatkan banyak
sumber belajar dan mengadakan
kerjasama yang terpadu dengan
lingkungan sekitarnya
6. Kedudukan
Siswa
* Siswa sebagai penerima
ilmu-ilmu agama Islam
(Bekerja bekerja keras
menguasai bahan yang di
ajarkan)
* Siswa sebagai subyek, berperan aktif
menggali potensi ruhaninya sendiri
untuk lebih menyadari fungsi dan
kedudukannya sebagai muslim
7 Penilaian * Menilai suatu penguasaan
kemampuan pada masing-
masing pokok bahasan
* Penilaian hanya berlaku
pada pokok bahasan yang
dinilai saja
* Menilai secara komprehensif, tidak
hanya pada satu aspek sajadari suatu
materi tetapi juga dengan materi-
materi yang berhubungan dengan
kegiatan religius
* Hasil penilaian dapat bermanfaat
untuk melihat potensi ruhani siswa
agar dapat mengembangkan
kecakapan hidupnya sebagai seorang
muslim yang baik
51
8. Partisipasi
masyarakat
* Sebagai pendukung
program- program PAI yang
diberlakukan (tanpa dapat
memberikan masukan-
masukan karena pemegang
kebijakan ditangan pusat)
* Aktif bersama sekolah/ madrasah
mengembangkan program- program
PAI melalui kerjasama yang terpadu
dan memberikan masukan-masukan
yang memang diperlukan untuk
sekolah