BAB II KERANGKA TEORITIS - repository.uksw.edu...KERANGKA TEORITIS Bab ini memberikan argumentasi...
Transcript of BAB II KERANGKA TEORITIS - repository.uksw.edu...KERANGKA TEORITIS Bab ini memberikan argumentasi...
13
BAB II
KERANGKA TEORITIS
Bab ini memberikan argumentasi atau tesis yang menekankan pada hakikat
dan kedudukan konstitusi sebagai norma tertinggi dalam susunan hirarkis melalui
prinsip supremasi konstitusi. Dengan berpegang pada prinsip supremasi
konstitusi, peraturan perundang-undangan menjadi selaras atau seirama dan
konstitusional dengan konstitusi melalui mekanisme judicial review. Hans Kelsen
menyatakan bahwa hak menguji sebagai mekanisme “guarantees of the
constitution”. Jadi dapat dikatakan bahwa hak menguji merupakan konsekuensi
dari konstitusi tertulis.1 Konstitusi tertulis yang memungkinkan adanya
pernafsiran dan interpretasi konstitusi terhadap norma hukum di bawahnya.
Namun dualistik dalam judicial review justru memutus hirarki norma pada puncak
hirarki. Seharusnya pengujian dalam susunan hirarki norma tidak dapat
diberlakukan secara terpisah.
Pandangan ini terlebih dahulu menjelaskan mengenai teori supremasi
konstitusi, teori pengujian peraturan perundang-undangan dan berbagai model
pengujian peraturan perundang-undangan di beberapa negara. Disamping tujuan
dari gagasan mengintegrasikan tersebut juga menjadikan konstitusi yang hidup
(the living constitution).
1 Nimatul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, cetakan pertama,
UII Press Yogyakarta,Yogyakarta, 2007, h. 19
14
A. TEORI SUPREMASI KONSTITUSI
Konstitusi dalam terminologi bahasa Latin , constitutio yang berkaitan
dengan kata jus atau ius yang berarti “hukum atau prinsip”, grondwet (Belanda),
constitution (Inggris), constituer (Perancis). Dalam bahasa latin constitutio berarti
menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones)
berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.2Konstitusi merupakan kesepakatan
umum dari seluruh rakyat (general agreement) bagi suatu bentuk bangunan
negara yang didasarkan pada ideal mayoritas rakyat, yaitu mengenai bentuk dan
tujuan atau cita-cita bersama, pemikiran dan mekanisme pembagian kekuasaan
yang melandasi pemerintahan dan penyelenggaraan negara, serta mengenai bentuk
kelembagaan dan mekanisme pengaturan negara yang dicita-citakan. Kesepakatan
umum tersebut diantaranya adalah kesepahaman mengenai rule of law sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basic of government).
Dalam konsep negara hukum, pengertian tersebut dapat dikaitkan dengan asas
legalitas yang identik dengan supremasi hukum dengan pemerintahan yang
berdasarkan hukum (government under law) melalui peraturan perundang-
undangan.3 Pemberlakuan tersebut ada dalam pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang diartikan bahwa segala bentuk
penyelengaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum. Kesepakatan final
negara Indonesia sebagai negara hukum, maka ketaatan dan penegakan hukum
terhadap sumber hukum termasuk diantaranya peraturan perundang-undangan
2 Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Rajagrafindo Persada, Bandung,
2011,h. 7. 3 Ibid
15
merujuk pada kaidah dalam konstitusi. Wujud dari implementasi gagasan tentang
negara hukum, yang salah satu cirinya adalah menempatkan konstitusi sebagai
hukum tertinggi.4 Konstitusi dalam hal ini UUD NRI tahun 1945 merupakan
konstitusi tertulis yang berisikan norma dasar dan menjadi sumber hukum atau
dasar bagi norma hukum dibawahnya dalam susunan hirarkis.
Pada masa peralihan orde baru ke era reformasi diikuti dengan perubahan
paradigma supremasi parlemen ke supremasi konstitusi. Pada masa orde baru,
parlemen dalam hal ini MPR memiliki kedudukan paling tinggi sehingga disebut
lembaga tertinggi negara. Dengan kedudukan serta wewenang yang sangat kuat,
lembaga perwakilan tersebut menjadi supreme sehingga segala tindakan penguasa
bukan berdasar pada kesepakatan umum melainkan dengan prinsip perwakilan
banyak tindakan supresif dan mengabaikan prinsip demokrasi konstitusional.
Salah satu perwujudan demokrasi konstitusional adalah menempatkan kekuasaan
yudisial untuk melakukan pengujian terhadap produk hukum. Dalam
hubungannya dengan pengujian peraturan perundang-undangan, supremasi
parlemen tidak mengakui adanya fungsi judicial review karenanya hanya dapat
diuji oleh parlemen saja (legislative review). Dengan demikian supremasi
parlemen tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan serta prinsip check and
balances tetapi sistem distribusi kekuasaan (distribution of power). Namun di
masa era reformasi, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, semua lembaga
negara dikatakan konstitusional dengan mengacu pada konstitusi. Semua lembaga
negara berkedudukan sama dan sederajat. Lembaga negara yang memiliki fungsi
4 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya
Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
2013, h.188
16
utama, oleh karena kedudukannya sejajar maka hubungannya bersifat check and
balances.5
Setelah masa perubahan UUD NRI 1945, arah tujuan negara adalah untuk
mewujudkan kerangka supremasi konstitusi. Pada umumnya negara-negara
mengakui supremasi konstitusi diatas segala peraturan perundang-undangan
lainnya. Dalam negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional,
konstitusi mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah
sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-
wenang. Superioritas konstitusi mempunyai daya ikat bukan saja bagi rakyat atau
warga negara tetapi termasuk juga bagi para penguasa dan bagi badan pembuat
konstitusi itu sendiri.6 Indonesia menganut supremasi konstitusi dan mekanisme
pengujian perundang-undangan adalah bertujuan untuk mewujudkan prinsip
demokrasi konstitusional.
Konstitusi adalah kesepakatan umum, maka perubahan terhadapnya tidak
sama dengan undang-undang biasa. Lebih lanjut K.C Wheare mengemukakan
bahwa,
Dengan menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi
(supreme) ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu akan
diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan
dirusak atau diubah begitu saja dengan sembarangan.
Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh
kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud
ini dapat dilaksanakan dengan baik maka perubahan pada
umumnya mensyaratkan adanya suatu proses dan prosedur yang
khusus atau istimewa.7
5 Anna Triningsih, Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam
Penyelenggaraan Negara, Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 1, Jakarta, 2016, h.130. 6 Dahlan Thaib, dkk, Teori dan…,Op.Cit.,h.59. 7 Ni’matul Huda, Lembaga…,Op.Cit., h.18.
17
Perubahan pada UUD NRI 1945 yang diatur dalam pasal 37 dilakukan
dengan prosedur yang lebih berat dari pada pembuatan undang-undang pada
umumnya. Selain perubahan yang lebih berat, untuk menjamin kaidah yang
tertuang dalam konstitusi, terdapat mekanisme judicial review untuk menilai
legalitas dan konstitusionalitas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
kepada norma yang lebih tinggi hingga pada puncak hirarki norma yaitu
konstitusi.8
Atas dasar hal-hal yang dikemukakan tersebut maka disimpulkan bahwa
konstitusi dibuat secara sadar sebagai perangkat kaidah fundamental yang
mempunyai nilai politik tinggi dari jenis norma atau kaidah lain karena menjadi
dasar bagi tata kehidupan dari negara. Dengan asumsi ini maka bagian-bagian lain
dari tata hukum dalam satu kesatuan sistem harus sesuai atau tidak bertentangan
dengan konstitusi.
B. TEORI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan perundang-undangan (statutes atau statutory law) adalah
peraturan yang dibentuk dan ditetapkan oleh otoritas yang berwenang yang
berlaku abstrak dan umum (algemeen). Keberadaan peraturan perundang-
undangan menjadi sentral dalam kebersisteman hukum sebagai sub-sistem dari
sistem hukum nasional. Dengan kebersisteman tersebut maka terciptanya
kepastian hukum dan nilai dalam norma akan terukur validitasnya dalam sistem
yang bersifat hirarkis tersebut. Titon Slamet Kurnia menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan adalah sebuah kesatuan sistem,
8 Johannes Suhardjana, Supremasi Konstitusi Adalah Tujuan Negara, Vol 10 Nomor 3,
Jurnal Dinamika Hukum 2010, h.261.
18
Peraturan perundang-undangan suatu negara pada hakikatnya
ditegakkan berdasarkan sebuah sistem. Pengertian dari
pernyataan ini ialah di dalam suatu negara pasti ada peraturan
perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan
tersebut tidak hanya tunggal melainkan jamak. Tetapi, meskipun
jamak, peraturan perundang-undangan tersebut adalah satu
sebagai sistem dimana masing-masing saling terhubung sebagai
kesatuan.
Kesatuan sistem tersebut dimaksudkan supaya menjadi terintegrasi dan
menjaga konsistensi peraturan perundang-undangan dengan dinamika norma
hukum yang vertikal9 sehingga peraturan perundangan menjadi konstitusional dan
memiliki daya laku (validitas). Tujuan paling hakiki dari keberadaan peraturan
perundang-undangan adalah untuk menciptakan kepastian hukum.10 Kepastian
hukum menurut L.J van Apeldoorn mengandung dua segi pengertian. Pertama
dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah konkret. Kedua,
mengandung perlindungan hukum, pembatasan terhadap pihak-pihak yang
mempunyai kewenangan yang berhubungan dengan kehidupan seseorang, dalam
hal ini adalah hakim dan pembuat peraturan.11
Untuk menjaga agar kaidah-kaidah yang termuat dalam Undang-Undang
Dasar dan peraturan konstitusional lainnya tidak dilanggar atau disimpangi (baik
dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk tindakan-
tindakan pemerintah lainnya), perlu ada badan serta tata cara mengawasinya yaitu
melalui judicial control. Judicial control adalah penting agar undang-undang atau
peraturan perundang-undangan tidak menyimpangi dari undang-undang dasar atau
konstitusi. Secara fungsional institusi pengujian yudisial seyogianya dimaknai
9 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan Jenis Fungsi dan Materi Muatan,
Kanisius,Yogyakarta, 2007, h.23. 10 Titon Slamet Kurnia, Sistem…, Op.Cit.., h.33. 11 Ibid
19
sebagai solusi paling memadai atas isu penyalahgunaan legislasi. Mekanisme
pengujian yudisial untuk melakukam koreksi terhadap defect yang terkandung
dalam peraturan perundang-undangan (pengujian norma/kaidah peraturan
perundang-undangan). Hal ini penting karena sistem peraturan perundang-
undangan yang ideal bertumpu pada konsep hirarki sebagai dasar validitasnya.12
Undang-Undang Dasar akan kehilangan asas-asasnya dan akan kehilangan
rangkaian kata-kata yang tidak ada artinya sama sekali kalau tidak ada lembaga-
lembaga yang mempertahankan dan menjaga kehormatan hukum tersebut. Selain
itu, kontrol normatif memungkinkan kepada pembentuk undang-undang
(legislative power) untuk tidak membuka kewenangan yang seluasnya membentuk
norma hukum yang tidak berlandaskan pada hukum yang tertinggi hingga pada
puncak hirarki yaitu Undang-Undang Dasar melalui judicial review. Judicial
review menurut Black Law Dictionary diberi pengertian sebagai berikut:
Judicial review: 1. A court’s power to review the actions or others
brances or levels of government esp., the court’s to invalidate legislative
and executive actions as being unconstitutional. 2. The constitutional
doctrine providing for this power. 3. A courts review of lower courts or
an administrative bodys factual or legal findings.13
Dalam hubungannya dengan konstitusi, Kelsen menyatakan bahwa
konstitusi menduduki tempat tertinggi dalam hukum nasional sebab itu
merupakan landasan bagi sistem hukum nasional. Untuk itu Hans Kelsen
menunjuk hak menguji sebagai mekanisme “guarantees of constitution”.14 Dalam
perspektif teori konstitusi dianutnya sistem judicial review merupakan suatu
12 Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia Sebuah Pemahaman Awal,
CV.Mandar Maju, Bandung, 2016, h.31. 13 Black Law Dictionary, Seventh Edition, Editor in Chief: Bryan A. Garner, West
Group, St. Paul, Minn, 1999, hal. 853 14 Ni’matul dan R.Nazriyah , Teori & Pengujian…, Op.Cit., h.27 16 Janpatar Simamora, Analisis Yuridis…, Op.Cit., h. 389.
20
bentuk dan upaya penguatan konsep negara hukum yang menempatkan konstitusi
sebagai norma dasar. Hal ini sejalan dengan teori hirarki norma yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa tatanan hukum itu
merupakan sistem norma yang hirarkis atau bertingkat dan di atas konstitusi
sebagai hukum dasar. Dalam hirarki tatanan hukum, kaidah-kaidah hukum dari
tingkatan yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari kaidah hukum yang lebih
tinggi tingkatannya.15 Terhadap sistem pengujian, terdapat dua konsep besar
mekanisme pengujian perundang-undangan yaitu sentralisasi dan desentralisasi
yang dipaparkan dalam bab ini.
1. Teori Hirarki Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan adalah susunan dari norma hukum yang
berbentuk piramida yang berjenjang dengan dinamika norma hukum yang bersifat
vertikal. Peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum adalah bersifat
imperatif yaitu apabila kaidah hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat
mengikat atau memaksa serta bersifat abstrak dan umum yang menjadi materi
peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai
perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan
yang terkait.16 Peraturan perundang-undangan yang berupa susunan tersebut oleh
Hans Kelsen disebut sebagai hirarki norma. Prinsip hirarki norma dimaksudkan
agar semua produk hukum pada tingkatan di bawah undang-undang dasar yang
dihasilkan, bersesuaian dan harmoni secara vertikal.17 Hubungan jenis peraturan
16 Ni’matul Huda dan R.Nazriyah, Teori…,Op.Cit., h .17. 17 Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung…, Op.Cit.,h.14-15.
21
perundang-undangan dalam konsep hirarki norma mengandung dua kadiah yang
harus dipertahankan yaitu peraturan yang lebih tinggi mendasari peraturan yang
lebih rendah dan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogate legi inferiori). Kaidah tersebut
harus selalu dipertahankan untuk memelihara kebersisteman dari sistem peraturan
perundang-undangan.18 Hal tersebut senada dengan pandangan Merkl
mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das
Doppelte Rechtsantlizt). Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan
berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia menjadi dasar dan
menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum
itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa
berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang berada di
atasnya.19 Dengan mengikat demikian maka akan terciptanya keutuhan dalam
kebersisteman norma.
Pernyataan Jimly Assidiqie mengenai hirarki norma yang dikutip oleh
Umbu Rauta menyatakan bahwa,
Pelopor dari teori pertingkatan atau perjenjangan norma hukum yaitu
Adolf Merkl yang selanjutnya dianut oleh Hans Kelsen, dimana
disebutkan bahwa norma hukum dalam sebuah negara tersusun secara
berjenjang dan dalam rantai validitas yang membentuk piramida hukum
(stufen-theory). Kelsen menggambarkan rantai validitas yang berujung
pada konstitusi negara , dimana konstitusi tersebut adalah presuposisi
terakhir, postulat final, dimana validitas semua norma dalam tata aturan
hukum bergantung. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah
transcendental logical presupposition.20
18 Titon Slamet Kurnia, Sistem…, Op.Cit., h.31. 19 Ibid., h.25. 20 Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Cetakan pertama,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2016, h. 65-66.
22
Jika digambarkan kedudukan norma hukum menurut Adolf Merkl dalam
teorinya Das Doppelte Rechtsantlitz.
Gambar 2.1. Das Doppelte Rechtsantlitz (Adolf Merkl)
Rechtskraft
Rechtskraft
Dalam pola gambar tersebut memiliki dua makna penting bahwa norma
mengadah kebawah (menjadi sumber untuk norma di bawahnya) dan norma
mengadah keatas (bersumber pada norma di atasnya). Akibat pemberlakuan dalam
teori tersebut adalah suatu norma ada masa berlakunya tergantung pada norma
diatasnya dan apabila norma diatas dicabut maka norma yang ada dibawah tidak
berlaku lagi. Pemberlakuan norma menurut Ni’matul Huda ,
Otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang
lebih tinggi sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior)
dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior) dan hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk hirarki, dimana suatu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber,dan berdasar pada norma
NORM
A
HUKU
M
NORM
A
HUKU
M
NORMA
HUKUM
23
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,bersumber dan
berdasarkan pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm).21
Memiliki kesamaan pemikiran Hans Kelsen dan Hans Nawasky pada
konsep berlapis-lapis atau berjenjang pada hirarki norma, namun perbedaannya
Hans Nawiasky mengelompokkan norma tersebut.
Ajaran Hans Nawiasky, kelompok struktur hirarki tata hukum Indonesia
seperti berikut ini,
1. Staatsfundemantalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945)
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan
3. Formell Gesetz : Undang-Undang
4. Verordnung & Autonome Satzung : Peraturan Pemerintah hingga
Keputusan Bupati atau Walikota.22
Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma
dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma dibawahnya, sehingga
apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah norma yang berada
dibawahnya.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan pandangan antara
Hans Kelsen dengan Hans Nawiasky. Persamaannya adalah keduanya
menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis :suatu norma
itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya, norma yang
ada diatasnya berlaku,bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya
lagi, demikian seterusnya sampai pada norma tertinggi yang tidak dapat ditelusuri
lagi sumbernya. Menurut ajaran Nawiasky, kedudukan Pancasila adalah paling
puncak yang kemudian disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. Namun
karena konstitusi adalah norma hukum tertulis, dalam konteks peraturan
21Ni’matul Huda , Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol.13 No 1,Yogyakarta, 2006, h.30. 22 Ibid., h.68.
24
perundang-udangan melalui sistem ketatanegaraan menganut sistem Eropa
Kontinental maka konstitusi tersebut (UUD NRI 1945) menjadi sumber hukum
bagi peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan tersusun secara hirarkis sebagai produk
hukum tertulis. Prinsip hirarki tersebut pertama kali dikembangkan oleh teori
Stufenbau des Recht dengan ajaran Hans Kelsen yang juga sebagai tokoh penting
dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi Autria. Hirarki perundang-undangan
juga dikemukakan oleh Jimly dan Ali dalam buku Hans Kelsen berjudul General
Theory of Law and State,… bahwa “kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa
pembuatan norma yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lebih tinggi…”23.
Kesatuan norma tersebut tidak dapat dipisahkan dalam kondisi maupun situasi
apapun karena didalamnya memberikan kepastian hukum.
Untuk menjamin kebersisteman norma tersebut maka suatu norma
perundang-undangan harus mengacu pada aturan dasar konstitusi. Untuk
menghindari kesewenang-wenangan penguasa maka aturan yang sifatnya abstrak
dan umum tersebut harus disepakati untuk tidak bertentangan dengan konstitusi.
Karena konstitusi adalah kehendak umum kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut
tidak dapat dilakukan dengan supremasi parlemen, namun konstitusi adalah
politik tertinggi bangsa yang harus dipatuhi dalam berbangsa dan bernegara.
Pandangan Bagir Manan mengenai prinsip tata urutan peraturan perundang-
undangan yang dikutip oleh Ni’matul Huda dan Nazriyah menyatakan bahwa,
23 Jimly dan Ali, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal &
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h. 110.
25
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya;
2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber
atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan
tingkat lebih tinggi;
3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya;
4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau diganti
atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau paling tidak dengan yang sederajat…”24
Produk peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi
harus mendapat legitimasi kekuasaan otoritas yang berwenang dalam membuat
peraturan. Peraturan perundang-undangan tidak boleh dibuat tanpa wewenang
atau melampaui wewenang. Sehingga dari pembuatan dan penetapan peraturan
perundang-undangan harus memenuhi asas atau prinsip unsur materiil dan formil
sebagaimana diatur dalam pengaturan mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan (UU No 12 tahun 2011). Pandangan tersebut dinyatakan
oleh Maria Farida Indrati yang dikutip oleh Umbu Rauta bahwa teori hirarki
norma mengandung asas-asas atau prinsip-prinsip diantaranya,
1. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus besumber atau
memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan tingkat
lebih tinggi; dan
2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi, kecuali apabila perundang-undangan yang
lebih tinggi dibuat tanpa wewenang (onbevoegd) atau melampaui
wewenang (detourment de pouvoir).25
Ketegasan tesebut menjamin supaya konstitusi tidak disimpangi dengan
produk hukum peraturan perundang-undangan lainnya dalam hirarki norma yang
24 Ibid., h.33. 25 Umbu Rauta, Konstitusionalitas…,Op.Cit.,h.66.
26
berlaku mengikat sebagaimana kadiah-kaidah hukum positif yang berlaku saat ini
di Indonesia.
2. Teori Sistem Sentralisasi dan Desentralisasi
Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan dibelahan dunia
terdapat beberapa perbedaan baik yang dilakukan oleh lembaga politik maupun
lembaga yudisial. Secara institusional ada dua pendekatan dalam pengujian
yudisial, yaitu pengujian sentralistik (centralized judicial review) dan
desentralistik (decentralized judicial review).26 Pengujian sentralistik adalah
pengujian yang dilakukan oleh lembaga khusus dan memiliki ciri khas terintegrasi
sedangkan pengujian desentralistik adalah pengujian yang dapat dilakukan oleh
pengadilan biasa yang tersebar. Pandangan Fatmawati yang dikutip Iriyanto A.
Baso Ence mengatakan hal didasari penggunaan sistem sentralisasi dalam negara-
negara yang memberlakukan sistem hukum Eropa Kontinental sebagai berikut :27
1. Sistem sentralisasi didasarkan pada teori pemisahan
kekuasaan yang tegas dan penghormatan atas supremacy of
law.
2. Negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental tidak
menggunakan doktrin presedent, tetapi berdasarkan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh legislatif.
3. Sistem sentralisasi bagi penerapan hak menguji
(toetsingsrecht) oleh pengadilan-pengadilan biasa di negara
yang menganul civil law, karena hakim-hakim karier tidak
memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjadi law maker.
4. Sistem sentralisasi diabut pada negara-negara yang menganut
sistem Eropa Kontinental, karena Mahkamah Agung negara-
negara tersebut tidak memiliki struktur yang memadai untuk
dilakukannya judicial review.
Di beberapa negara yang menganut sistem Eropa Kontinental kewenangan
ini hanya diberikan kepada satu lembaga tertinggi saja yang dikenal dengan
26 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi The
Jimly Court 2003-2008, Cetakan pertama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2015, h.77. 27 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum…, Op.Cit.,h.104-105.
27
Constitutional Court atau Mahkamah Konstitusi. Oleh karena tata cara pengujian
dilakukan hanya oleh satu Mahkamah saja, maka sistem tersebut dikenal dengan
nama sistem “sentralisasi”, sedangkan metode pengujiannya disebut
“principaliter”.28
Di beberapa negara lainnya yang menganut sistem common law atau anglo
saxon, judicial review diberikan kepada para hakim yang bertugas untuk menguji
apakah peraturan yang dipermasalahkan dalam kasus yang sedang diperiksa
bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena prosedur pengujian tersebut dapat
dilakukan oleh para hakim dalam pemeriksaan perkara secara konkrit, maka
sistem ini disebut sistem “desentralisasi” dan metode pengujiannya disebut
“incidenter”. Atas putusan hakim rendahan dapat dimintakan banding sampai ke
Pengadilan Tertinggi di negara tersebut (Mahkamah Agung-Supreme Court).29
Negara Indonesia dengan sistem hukum Eropa Kontinental, menjadikan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengujian terhadap perundang-undangan
nasional. Sementara itu desentralisasi pada dasarnya merupakan pelimpahan atau
penyerahan kekuasaan atau wewenang dibidang tertentu secara vertikal dari
institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada instansi/lembaga/fungsionaris
dibawahnya sehingga yang diserahi/dilimpahi kekuasaan atau wewenang itu
berhak secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri
mengambil keputusan pengaturan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu.
Dua grand design yang dapa dikonsepsikan dari kedua model sistem pengujian
yaitu Kelsen’s Court (pada negara-negara yang melaksanakan pengujian yudisial
28 Ni’matul Huda, Urgensi Judicial Review Dalam Tata Hukum Indonesia, Jurnal
Hukum No. 1 Vol. 15, Yogyakaerta, 2008, h.104. 29 Ibid., h.104-105.
28
sentralistik) dan American-style Judicial Review. Titon Slamet Kurnia
mengungkapkan perbedaan antara kedua model pengujian yudisial,
Pertama, model pengujian desentralistik kurang berdampak di
negara yang menganut asas stare decisis karena putusannya
tidak berlaku erga omnes tetapi inter partes. Untuk menjawab
isu ini maka negara yang tidak menganut asas stare decisis lebih
memilih model pengujian sentralistik karena tidak berlakunya
asas tersebut berimplikasi pada presictiability dan uniformity.
Kedua, inkompatibilitas dengan asas trias politica karena
praktik tersebut sulit membedakan fungsi legislasi dengan fungsi
ajudikasi. Secara lugas Kelsen menyatakan :” The judicial of
legislation is an obvious encroachment upon the principle of
separation of powers. Seperti diakui Kelsen, dalam kewenangan
demikian hakim menjalankan fungsi politik melakukan rule
making sehingga fungsi ini seyogianya tidak dijalankan oleh
badan yudisial biasa, tetapi peradilan khusus. Hal ini melahirkan
gagasan pembentukan mahkamah konstitusi yang berbeda
dengan peradilan biasa karena mahkamah konstitusi adalah
legislator, negative legislator.30
Sistem pengujian turut di tentukan oleh sistem hukum yang dianut oleh
negara. Umumnya dengan hukum tertulis, maka terdapat susunan hirarkis norma
yang harus ditaati. Mekanisme yang ideal dalam pengujian peraturan perundang-
undangan adalah dengan sistem tersentralisasi. Sementara beberapa negara dengan
pengujian konstitusionalitas peraturan perundang-undangan tersentralisasi adalah
Mahkamah Konstitusi Austria, Dewan Konstitusi Perancis , Mahkamah Konstitusi
Jerman.
C. MODEL PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
BEBERAPA NEGARA (AMERIKA, PERANCIS, AUSTRIA DAN
JERMAN)
Pada bagian ini dikemukakan model pengujian peraturan perundang-
undangan diberbagai negara yang penulis temukan dalam sistem ketatanegaraan
30 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi…, Op.Cit., h.78.
29
tiap negara didunia. Secara garis besar diantaranya model pengujian di Amerika
yang dilekatkan pada Mahkamah Agung, Perancis dengan Dewan Konstitusi
(Conseil Constitutionel) dan Austria dengan Mahkamah Konstitusi disamping
Mahkamah Agung. Dengan berbagai model tersebut kemudian mengambil
manfaat dalam upaya mencari bentuk dan penyempurnaan fungsi MK yang sesuai
dengan karakteristik negara hukum Indonesia yang demokratis dalam rangka
pengembangan dan pembangunan sistem hukum ketatanegaraan di Republik
Indonesia.
1. Mahkamah Agung Amerika Serikat
Dalam tradisi common law , Amerika Serikat tidak memerlukan lembaga
peradilan yang berdiri sendiri dalam kewenangan pengujian konstitusionalitas
karena telah memiliki lembaga peradilan yang sepenuhnya dilakukan oleh
Mahkamah Agung (Supreme Court). Karenanya Mahkamah Agung AS disebut
sebagai “The guardian of American Constitution”. Sejarah historis pemberlakuan
pengujian perundang-undangan yang kemudian menjadi preseden di Mahkamah
Agung AS adalah putusan atas perkara Marbury vs Madison tahun 1803 sebagai
awal dari pelaksanaan judicial review di Amerika Serikat. Ketua MA saat itu,
John Marshall menyatakan bahwa terdapat kewajiban konstitusional para hakim
pada saat disumpah untuk menjaga konstitusi. Marshall menyandarkan
argumentasi bahwa dengan pernyataan sumpah memberikan kewajiban pada MA
untuk menjaga supremasi konstitusi. Hal ini memberikan kewajiban kepada MA
untuk dapat menyatakan undang-undang tidak memiliki kekuatan yang mengikat
apabila undang-undang tersebut dianggap melanggar konstitusi. Keputusan MA
dalam perkara tersebut adalah bahwa Section III Konstitusi (berdasarkan
30
interpretasi Mahkamah Agung) sehingga Section III menyatakan UU tersebut
dinyatakan inkonstitusional. Kasus inilah yang menjadi uji materiil undang-
undang pertama yang dilakukan di Mahkamah Agung AS, yang kemudian
menjadi preseden hukum bagi kewenangan uji materiil peraturan perundang-
undangan sekaligus wewenang menginterpretasikan konstitusi dalam keputusan
MA mengenai konstitusionalitas perundang-undangan.31 Sejak putusan tersebut,
lembaga judicial review menyebar ke seluruh dunia dan dipandang sebagai fungsi
dan tugas pelaku kekuasaan kehakiman untuk menjaga, mengawal, dan
melindungi konstitusi.
Menurut Eric Barendt yang dikutip oleh Abdul Latif, ada dua pandangan
yang berkenaan dengan kewenangan Mahkamah Agung AS melakukan judicial
review.32
Pertama, judicial review merupakan kekuasaan otomatis
Mahkamah Agung (otomatic power of supreme court). Menurut
pandangan ini, konstitusi adalah hukum yang tertinggi (supreme
law) dalam negara yang ditetapkan oleh rakyat. Karena
konstitusi sebagai hukum tertinggi, segala peraturan perundang-
undangan harus sesuai dengan konstitusi. Kedua, pandangan
yang beranggapan bahwa judicial review merupakan kekuasaan
yang merdeka (bebas) dari Mahkamah Agung (discretionary
power of the supreme court). Pandangan ini beranggapan bahwa
konstitusi dapat saja memiliki makna yang tidak jelas atau kabur
maka Mahkamah Agung memiliki kewajiban serta hak untuk
memperjelas dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang tidak
jelas.
Legitimasi Mahkamah Agung dalam pengujian perundang-undangan
melalui pandangan tersebut semakin jelas bahwa judicial review dilakukan untuk
menegakkan hakikat dan kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dalam
31 Ibid., h.249 32 Abdul Latif, Mahkamah Konstitusi…,Op.Cit.,h. 247
31
tradisi common law, peranan hakim penting untuk proses pembentukan hukum
(judge made law).
Mekanisme yang dipakai adalah pengujian konstitusionalitas oleh
pengadilan biasa dengan prosedur pengujian terdesentralisasi (desentralised
review) atau pengujian tersebar yang bersifat spesifik dan termasuk kategori ‘a
posteriori review’. Dengan kata lain, pengujian konstitusional itu tidak bersifat
institusional sebagai perkara khusus yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di
dalam perkara umum yang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan.
Inilah salah satu ciri dari negara dengan sistem common law yang tidak
membedakan hukum publik dan hukum privat (unity jurisdiction) , sehingga tidak
diperlukan adanya perbedaan yurisdiksi pengadilan biasa dengan pengadilan
khusus.33 Sistem desentralisasi yang dipakai Mahkamah Agung memberikan
kewenangan kepada para hakim pengadilan umum untuk melakukan pemeriksaan
perkara secara konkrit untuk melakukan judicial review dengan Mahkamah
Agung sebagai puncaknya. Dalam sistem hukum penganut Common Law menurut
Jimly Asshiddiqie yang dikutip oleh Iriyanto menyatakan peranan hakim sangat
penting kedudukannya yang berperan dalam proses pembentukan hukum menurut
asas precedent, bahkan bisa disebut sebagai judge made law (hukum buatan
hakim).34 Peran hakim sangat menentukan perkembangan hukum selain undang-
undang.
Mengenai putusan pengadilan berkenaan dengan pengujian adalah inter
partes, yaitu putusan yang akibatmya hanya berlaku pada perkara yang diputus.
33 Abdul Latif, Mahkamah Konstitusi …,Op.Cit.,h.244. 34 Iriyanto, Negara Hukum…, Op.Cit., h.224.
32
Namun dengan adanya prinsip stare decisis daya putusan ini diperluas karena
putusan Mahkamah Agung AS mengikat pula bagi semua pengadilan di bawahnya
(binding authority).
2. Dewan Konstitusi Perancis
Kedudukan Dewan Konstitusi menjadi sangat penting peranannya dalam
sistem ketatanegaraan Perancis. Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionel) diatur
dalam 16 article dan dalam keseluruhan naskah Undang-Undang Dasar
(Konstitusi Republik Kelima) disebut sebayak 31 kali. Conceil Constitutionnel
adalah tribunal yang digagas secara khusus untuk menegakkan kaidah-kadiah
fundamental seperti tercantum dalam Pembukaan Konstitusi 1946 dan Deklarasi
tentang Hak-Hak Manusia (1789). Kedua ketentuan yang berlaku sebagai prinsip
fundamental itu kemudian diintegrasikan ke dalam Konstitusi Republik Kelima
(1958).35 Menurut John Bell, Dewan Konstitusi sebagai lembaga baru yang
melengkapi lembaga peradilan tertinggi dibidang hukum administrasi yang sudah
ada sebelumnya, yaitu “Conseil d’Etat” tetapi tidak berhubungan satu sama lain.
Bentukan dari Mahkamah Konstitusi Perancis adalah Dewan (Conseil) bukan
mahkamah (court) yang bersifat sebagai lembaga politik yang dilaksanakan oleh
Komite Konstitusi.
Tugas pokok Dewan Konstitusi adalah memeriksa rancangan undang-
undang yang telah ditetapkan Majelis tetapi belum diundangkan apakah
bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar. Terdapat perbedaan
prinsipil dari uji norma yang dilakukan oleh Dewan Konstitusi yaitu objek
35 Jimly dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, cetakan pertama,
edisi kedua, PT.Sinar Grafika, Jakarta,2012, h.137
33
pengujiannya adalah berupa rancangan undang-undang yang belum diberlakukan
atau diundangkan harus mendapat persetujuan oleh Dewan Konstitusi yang
menilai validitas rancangan undang-undang tersebut terhadap konstitusi. Dengan
demikian Dewan Konstitusi ikut terlibat dalam menentukan arah kebijaksanaan
negara. Artinya dengan demikian Dewan Konstitusi mengantisipasi pertentangan
melalui mekanisme constitutional preview melalui rancangan undang-undang.
Meskipun merupakan lembaga politik, putusan Dewan Konstitusi mengikat pada
pembentuk undang-undang (legislative power) sehingga apabila rancangan
peraturan yang diuji tidak konstitusional, peraturan tersebut tidak boleh
diundangkan atau diimplemtasikan sebagai aturan hukum (Pasal 62 UUD Perancis
tahun 1958). Naskah-naskah hukum atau peraturan dibawah konstitusi di Perancis
meliputi :36
1. Undang-Undang (Organic Law) yang umumnya menyangkut
legislasi yang membentuk, memperbaharui kedudukan atau
memfungsikan institusi atau badan-badan publik;
2. Peraturan-peraturan tata tertib Majelis Nasional dan Senat;
3. Perjanjian Internasional (International Treaty);
4. Undang-undang biasa yang bukan kategori undang-undang
organik seperti disebut diatas.
Dewan Konstitusi Perancis memiliki tanggung jawab sebagai pengawal
konstitusi dan menjamin tegaknya konstitusi dengan menyelenggarakan pengujian
konstitusionalitas atas rancangan legislasi yang akan ditetapkan oleh parlemen.
Yang dilakukan oleh Dewan Konstitusi adalah kewenangan melakukan a priori
abstract review. Kewenangan ini ditentukan secara eksplisit dalam Konstitusi
Republik Kelima Perancis (1958) seperti tercantum dalam Pasal 61 dan Pasal
36 Pasal 76-80 UUD Perancis tahun 1958.
34
62.37 Dewan Konstitusi secara konstitusional bukanlah satu-satunya organ
penjamin konstitusi dan pelindung konstitusi. Karena jika dicermati secara teliti
diktum Pasal 5 Konstitusi Republik Kelima (1958) tercantum bahwa Presiden
Republik Perancis juga diberi tugas untuk menegakkan dan menghormati
konstitusi.
Pasal 61 Konstitusi Republik Kelima (1958) menentukan bahwa undang-
undang organik (ordianary laws), sebelum diundangkan terlebih dahulu harus
diserahkan kepada Dewan Konstitusi untuk diuji apakah sesuai dengan konstitusi.
Permohonan kepada dewan dapat dilakukan oleh Presiden, Ketua Majelis
Nasional ataupun Senat. Undang-undang organik dimaksud. Dewan Konstitusi
harus dapat melahirkan putusan dalam jangka waktu satu bulan (30 hari) sejak
diterimanya permohonan itu. Namun atas perminraan pemerintah dengan alasan
yang sangat mendesak, batas waktu itu dapat dipersingkat menjadi delapan hari.
Putusan konstitusionalitas rancangan undang-undang itu, selanjutnya memiliki
kekuatan hukum final dan mengikat terhadap seluruh kewenangan administratif
dan organ peradilan umum.
Berdasarkan deskripsi pengujian konstitusional oleh Dewan Konstitusi
Perancis sesungguhnya difokuskan pada pengujian materi rancangan undang-
undang organik yang disetujui parlemen tetapi belum diundangkan. Meskipun
demikian, Dewan Konstitusi tersebut dapat melakukan pemeriksaan dan verifikasi
atas naskah-naskah hukum, seperti peraturan tata tertib Majelis Nasional dan
Senat, Perjanjian Internasional dan Undang-Undang biasa.38 Dengan demikian
37 Ibid., h. 157. 38 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum…,Op.Cit.,h.233
35
seluruh produk hukum dibawah konstitusi dilakukan pengujian terhadap konstitusi
dengan yang terintegrasi dengan mekanisme sentralisasi atau terpusat pada Dewan
Konstitusi Perancis.
3. Mahkamah Konstitusi Austria
Negara yang dianggap pelopor dalam membentuk Mahkamah Konstitusi di
Eropa adalah Austria yang digagas oleh pemikiran Hans Kelsen yang
mengadopsikan ide pembentukannya itu dalam UUD 1920. Karena itu,
Mahkamah Konstitusi Austiria ini biasa disebut ‘the Kelsenian Court’. Mahkamah
Konstitusi Austria inilah yang disebut sebagai Mahkamah Konstitusi pertama di
dunia, didesain oleh Hans Kelsen sebagai lembaga peradilan khusus untuk
menjamin agar konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi (the supreme law of
the land) dapat ditegakkan dalam praktek. MK Austria mendasarkan diri pada
prinsip supremasi konstitusi.
Kewenangan yang dimiliki MK Austria diantaranya menguji
konstitusionalitas undang-undang,pengujian legalitas peraturan di bawah undang-
undang, pengujian perjanjian internasional, penyelesaian perselisihan pemilihan
umum, peradilan impeachment, kewenangan sebagai pengadilan administrasi
khusus, sengketa kewenangan anata negara bagian dan antar negara bagian
dengan Federal, sengketa kewenangan antar lembaga negara dan kewenangan
memberikan penafsiran UUD. 39Kewenangan terpenting dari keberadaan MK
Austria yang paling pokok dan paling banyak kasusnya adalah pengujian
konstitusionalitas undang-undang. Pengujian yang dilakukan mengutamakan
39 Abdul Latif, Mahkamah Konstitusi…, Op.Cit, h. 307-312.
36
norma-norma yang bersifat abstrak, meskipun pengujian atas norma konkrit juga
dimungkinkan. Pengujian konstitusionalitas undang-undang dilakukan oleh MK
secara ‘ex officio’ ketika menghadapi suatu perkara yang lain atau sebagai perkara
secara tersendiri atas permintaan pemohon. Pengujian dapat bersifat ‘a posteriori’
ataupun bersifat ‘a priori’. Demikian putusan MK Austria ini memiliki kekuatan
‘erga omnes’ , bersifat mutlak berdasarkan kewenangan yang diberikan UUD
kepada MK saat ini.40 Hal yang diuji adalah norma umum dan absrak (general
and abstract norms) yang terkandung, baik dalam bentuk Undang –Undang
Federal (federal statutes) atau konstitusi negara bagian (Gesetze). Bahkan article
140 dan article 99 ayat (1) Konstitusi Austria menyatakan “The Constitutional
Court may also examine constitutional law” dan “Land constitutions must be in
conformity with the Federal Constitution”. Disamping pengujian
konstitusionalitas undang-undang. Praktek ketatanegaraan yang berkembang di
Austria bahwa Mahkamah Konstitusi yang tidak hanya berwenang menguji
konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD, tetapi juga menguji legalitas
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Berdasarkan article 139
Konstitusi Austria, peraturan atau regulasi (verordnungen) yang ditetapkan oleh
Pemerintah Federal ataupun Negara Bagian (Lander) dapat dinyatakan ‘tidak sah’
atau ‘illegal’ oleh Mahkamah Konstitusi atas permintaan lembaga atau
perseorangan warga negara.41
Yurisdiksi pengujian peraturan perundangan-undangan yang diberikan
kewenangan tersebut pada MK Austria adalah mekanisme satu lembaga atau satu
atap dengan memiliki sifat tersentralisasi. Dengan demikian, kewenangan MK
40 Ibid., h.303. 41 Ibid., h. 308.
37
Austria adalah menguji peraturan perundang-undangan dan sebagai penjaga
konstitusi peraturan perundang-undangan tersebut diuji berdasarkan batu uji nya
terhadap kaidah dalam konstitusi. Dasar pemikiran mengenai sifat pengujian yang
dikembangkan oleh MK Austria ini, didasarkan pada doktrin ‘hierarchy of norms’
atau ‘stefenbau theory’ dari Kelsen.
4. Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman diadopsi bersamaan dengan
ditetapkannya Basic Law pada tahun 1949. Kompetensi MK Federal Jerman
secara rinci dan jelas dalam Article 93 dari Basic Law tahun 1949 mencakup
diantaranya:42
1. Istilah pengujian konstitusionalitas digunakan untuk
menyelesaikan perselisihan yang dihadapi oleh lembaga-
lembaga tinggi negara.
2. Adapun terminologi judicial review , masing-masing
digunakan ketika mahkamah melaksanakan pengujian norma
hukum secara konkret (concrete norm control) atau pada saat
organ tersebut melakukan pengujian undang-undang secara
umum (abstract norm control). Khusus terhadap pengujian
undang-undang secara abstrak, permohonan model ini
biasanya sudah harus diajukan kepada Mahkamah Konstitusi
paling lambat 30 hari setelah rancangan undang-undamg
diadposi secara final oleh parlemen namum belum
diundangkan.
3. Permohonan konstitusional (constitutional complaint) adalah
hak mengajukan petisi yang dimiliki secara perorangan
ataupun kelompok, ketika tercantum dalam Basic Law tahun
1949 telah dilanggar oleh aneka produk hukum atau putusan
peradilan umum (ordinary judges)
4. Menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, seperti
ditentukan dalam Article 41 II Basic Law.
Ide penting di Jerman adalah menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga kekuasaan kehakiman tunggal dalam pengujian perundang-undangan.
42 Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi…, Op.Cit.,h.47-48.
38
Dengan demikian secara tegas MK Federal Jerman memberikan putusan terhadap
konstitusionalitas norma baik konkrit maupun abstrak.
Alfred Rinken yang dikutip oleh Jimly Assidiqie dan Ahmad Syahrizal
mengatakan,
“Dalam sistem yang berlaku di Jerman pengujian norma abstrak
dapat diarahkan kepada berbagai bentuk peraturan perundang-
undangan (legislative regulation), termasuk didalamnya undang-
undang (laws), keputusan (decrees) dan peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Federal atau negara
bagian (federal state). Pada tahap menguji produk hukum,
hakim konstitusi menggunakan basic law dan federal law
sebagai dasar penilaian untuk menentukan tingkat
konstitusionalitas masing-masing produk hukum”43
Dengan demikian konstruksi yang dibangun dalam MK Federal Jerman
adalah mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan teresentralisasi pada
satu Mahkamah.
43 Ibid., h.50-51.