Dampak kebijakan pemerintah kolonial terhadap masyarakat indonesia
BAB II Kebijakan-kebijakan Politik Pemerintah Kolonial di ......22 BAB II Kebijakan-kebijakan...
Transcript of BAB II Kebijakan-kebijakan Politik Pemerintah Kolonial di ......22 BAB II Kebijakan-kebijakan...
-
22
BAB II
Kebijakan-kebijakan Politik Pemerintah Kolonial
di Hindia Belanda antara tahun 1850-1920
1. Pengantar
Konteks sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang terjadi di Hindia Belanda
selalu berkaitan langsung dengan konstelasi politik yang terjadi di negeri Belanda.
Perubahan kebijakan-kebijakan politik dan hukum perundang-undangan yang
terjadi di Hindia Belanda selalu dimulai terlebih dahulu dari dalam negeri Belanda.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan di Belanda juga merupakan hasil konstelasi
politik dalam negeri Belanda. Warna-warna politik yang mencolok di Belanda
antara kaum Konservatif dan kaum Liberal, bukan hanya mengenai urusan dalam
negeri Belanda saja melainkan juga pada konstruksi sosial politik yang dipengaruhi
dari luar negeri, yaitu Prancis dan Inggris. Selama 20 tahun sejak 1795 Belanda
mendapatkan hak dianggap teman dan sekutu baik oleh Prancis maupun Inggris,
dengan maksud Prancis menaklukkan dan memerintah negeri Belanda, sementara
Inggris mengambil koloni dan perdagangan negeri Belanda.1 Misalkan, loyalitas
1 J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk (Jakarta: Freedom
Institute, 2009), 58.
-
23
terhadap Prancis begitu tampak pada sosok Gubernur Jenderal H.W. Daendels,
yang kemudian mematrikan kepribadian dan kebijakannya yang kuat di Jawa antara
tahun 1808-1811. Begitu pula pengaruh Inggris Raya (Britania) ada ketika mereka
merebut tanah-tanah koloni milik Belanda dengan menanamkan kuasa di Jawa
melalui Gubernur Letnan Sir T.S. Raffles antara tahun 1811-1816.
Sebagai contoh kebijakan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor di negeri
Belanda dapat dilihat pada pemberlakuan sistem perundang-undangan yang baru,
seperti Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) untuk tata pemerintahan di
Hindia Belanda. Peraturan ini semata-mata berisi instrumen pemerintahan, yaitu
bagaimana persoalan koloni-koloni harus diperintah sebaik-baiknya. Sebagai
sebuah kebijakan, Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) dipengaruhi oleh
prinsip-prinsip dalam Revolusi Prancis (1789-1799) yang berlandaskan pada lima
prinsip ekonomi-politik: kepemilikan pribadi atas tanah, kemerdekaan individu,
kebebasan perdagangan, penghapusan kerja paksa, dan penyelenggaraan hukum
yang baik, tidak berpihak, dan berbiaya murah.2 Hal ini mengindikasikan bahwa
pengaruh Prancis masih begitu kental dalam pemberlakuan kebijakan di Hindia
Belanda. Meskipun demikian, ada pengaruh-pengaruh Inggris pada konteks yang
lain tentang kebijakan administrasi dan perpajakan langsung sebagai wujud
pemberlakuan kebijakan sosial politik kolonial di Hindia Belanda. Namun
demikian, sistem ketatanegaraan Belanda juga menonjol berupa pemerintahan tidak
langsung (indirect rule) kepada penduduk Bumiputera melalui kekuasaan para
bupati yang membayar upeti kepada pemerintah kolonial dari hasil-hasil bumi.
2 Furnivall, Hindia Belanda, 62.
-
24
Pada Bab II ini akan dipaparkan tentang pemberlakuan kebijakan-kebijakan
yang berlangsung di Hindia Belanda, yang memengaruhi konteks sosial, politik,
pemerintahan pada tahun antara 1870 hingga 1920-an. Sebelum pemaparan
tersebut, bab ini akan memaparkan pula konstruksi kebijakan pada masa-masa
sesudah era Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) tahun 1600-1799 – era
pemerintahan Hindia Belanda – untuk melihat konteks kebijakan-kebijakan yang
akan bersinggungan dengan kebijakan-kebijakan di tahun-tahun berikutnya. Secara
berturut-turut dipaparkan konteks pemberlakuan kebijakan-kebijakan pada era
Daendels dan Raffles, dilanjutkan dengan pemberlakuan sistem budidaya tanaman
(cultuurstelsel) oleh van den Bosch. Kemudian, konteks kebijakan kolonial yang
muncul pada era sesudahnya merujuk pada pemberlakuan Regeringsreglement
1854, Agrarisch Wet 1870, dan Decentralisatie Wet 1903 di Hindia Belanda.
2. Kebijakan-kebijakan Kolonial Hindia Belanda sebelum Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854
2.1. Kebijakan-kebijakan era Daendels dan Raffles
Kebijakan di Hindia Belanda yang masuk ke dalam bagian ini pertama-tama
merujuk pada nama Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1808-
1811. Dalam kepentingan negeri Belanda, maka Daendels mendapat instruksi untuk
melakukan reformasi terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pemerintahan lama
(era VOC) dan membuat pembaruan di Hindia Belanda sejauh persetujuan dari
negeri Belanda. Dalam “Instruksi untuk Gubernur Jenderal atas Wilayah Asia Milik
Raja yang Mulia” yang dikeluarkan Raja Louis Bonaparte pada 9 Februari 1807,
-
25
Daendels diperintahkan yang pertama-tama adalah untuk melakukan reorganisasi
pertahanan di Hindia Belanda, sedangkan instruksi-instruksi lainnya adalah:
penyelidikan terhadap kemungkinan penghapusan tanam paksa dan penyerahan
paksa kopi, dan perbaikan kondisi kehidupan penduduk Bumiputera. Dalam
instruksi tersebut pengaruh Prancis begitu kuat, sehingga pembaruan-pembaruan
yang diupayakan oleh Daendels dilakukan setelah mendalami gagasan-gagasan
Prancis tentang administrasi dan tata pemerintahan.3
Daendels melakukan perubahan total di bidang administrasi pemerintahan.
Daendels mengangkat semua bupati di Jawa menjadi pegawai pemerintahan Hindia
Belanda, dengan maksud menyetarakan mereka dengan para pegawai pemerintahan
dari bangsa Eropa. Langkah ini dilakukan oleh Daendels untuk menghentikan rupa-
rupa penyalahgunaan wewenang oleh para bupati Jawa yang memperoleh
keuntungan langsung dari penduduknya. Bahkan, para raja Jawa dan sultan-sultan
Cirebon diturunkan jabatan menjadi setara dengan bupati, sama seperti kaum
bangsawan lainnya. Keputusan ini adalah langkah substansial Daendels untuk
mengganti sistem administrasi perdagangan dan lingkungan ekonomi feodal, yang
sebelumnya terdesentralisasi, menjadi sistem terpusat (sentralistik) melalui
pengelolaan oleh para pegawai negeri kolonial (ambtenaren). Dengan begitu, dalam
pembenahan wilayah administrasi kolonial di Hindia Belanda Daendels membagi
negeri menjadi sembilan Prefektorat dan satu di bawah administrasi perhutanan.4
3 Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), 233.
4 A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem politik kolonial dan administrasi pemerintahan Hindia Belanda (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), 16.
-
26
Dalam hal administrasi peradilan, Daendels mengkritik organisasi dan
praktik peradilan di Batavia. Daendels memutuskan untuk melakukan pemisahan
kelompok penduduk yang berbeda dalam urusan peradilan. Daendels memberikan
setiap kabupaten dan setiap prefektorat (di atas kabupaten) pengadilannya sendiri,
yang terdiri atas orang-orang Bumiputera (bupati) dan dengan dua orang Eropa di
pengadilan-pengadilan prefektorat. Dengan demikian, Daendels membentuk kantor
pengadilan, yaitu Pengadilan Wilayah dan Pengadilan Bumiputera (Landgericht)
untuk setiap Prefektorat, dengan satu majelis bupati dan sang prefek sebagai ketua
majelisnya.5 Sistem pemisahan peradilan menurut kelompok sosial penduduk ini
dipertahankan dan diperbaiki oleh administrasi-administrasi di kemudian hari.
Namun demi kepentingan meningkatkan hasil produksi negara, Daendels
memperluas penanaman kopi dan kapas di semua lahan di bukit dan lembah di
seluruh penjuru negeri, khususnya di Priangan. Daendels memerintahkan para
pengusaha perkebunan untuk membatasi penggunaan kerja paksa dan
mengharuskan mereka untuk membayar hak para petani yang dipekerjakan.
Meskipun demikian, pajak-pajak reguler pun pada akhirnya tetap ditarik justru
melalui praktik-praktik kerja paksa. Hal yang sama ketika ada peraturan untuk
menghapus kerja paksa, tetapi oleh karena kepentingan pertahanan melawan
Inggris, Daendels pun akhirnya menerapkan kerja paksa untuk membuat jalan
utama (post weg) di sepanjang pulau Jawa untuk memperkuat pos di Banten. Di sisi
yang lain lagi, Daendels melawan pengalihan tanah desa-desa yang disewakan
5 Sri Harini, Sejarah Hukum Indonesia Masa Pemerintahan Daendels-Raffles (Salatiga:
UKSW, 1994), 3-6.
-
27
kepada pengusaha perkebunan. Akan tetapi untuk kepentingan pasar, Daendels
justru menjual “tanah milik pemerintah” itu, dengan mengklaim telah membuka
Jawa bagi perusahaan perkebunan swasta.6 Pada sisi-sisi inilah kebijakan Daendels
di Hindia Belanda menjadi tidak sejalan dengan gagasan pembaruan yang
diinstruksikan kepadanya untuk membuat perbedaan yang efisien daripada
pemerintahan sebelumnya di era VOC.
Pasca Daendels, peralihan kekuasaan Belanda beralih pada kekuasaan
Inggris Raya oleh Gubernur-Letnan Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1811-
1816. Sebagai seorang gubernur letnan, Raffles berusaha memperbaiki sistem
pemerintahan menurut pandangan liberal-modernnya dan melalui pendidikan
membawa Jawa secara komprehensif ke dalam lingkup pengetahuan dunia.7
Dengan gagasan ideal yang sama dengan Daendels, Raffles ingin melanjutkan apa
yang telah dimulai sebelumnya. Karya Raffles di Jawa terjadi di seputar revisi atas
perjanjian yang mengatur hubungan pemerintah Batavia dengan raja-raja Jawa,
melakukan reorganisasi lembaga-lembaga administrasi dan peradilan, dan berusaha
mereformasi total sistem pajak dan cukai.8
Salah satu langkah awal yang dilakukan Raffles adalah memerintahkan
melakukan pemeriksaan terhadap status kepemilikan tanah. Dalam pemeriksaan
yang dilakukan disimpulkan bahwa banyak tanah di Jawa adalah milik negara.
Untuk mencapai tujuannya, Raffles kemudian mengenakan pajak tanah kepada para
6 Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, 235. 7 James R. Rush, Jawa Tempo Doeloe: 650 tahun bertemu Dunia Barat 1330-1985
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), 43. Raffles mampu mendeskripsikan pulau Jawa secara komprehensif, sehingga dalam bukunya The History of Java Jawa menjadi pengetahuan dunia. Lih. Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2014).
8 Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, 245.
-
28
petani-penggarap dengan alasan bahwa para petani merupakan penyewa, yang
menyewa tanah pemerintah. Melalui pengawasan kepala desa, bukan oleh bupati,
Raffles mengandalkan desa sebagai unit administrasi untuk melakukan apa yang
menjadi gagasannya, yaitu tentang sistem pajak tanah atau sewa tanah (landrent).
Sewa tanah itu sendiri ditetapkan menurut nilai tanah dan berkisar dari seperempat
(1/4) sampai setengah (1/2) dari hasil panen. Dengan mengedepankan desa menjadi
prinsip politik administratifnya, Raffles memberlakukan pemilihan langsung oleh
masyarakat Bumiputera untuk memilih kepala-kepala desa mereka. Raffles
mengalihkan tampuk kekuasaan dari para bupati kepada para kepala desa. Para
kepala desa, yang telah terbagi dalam wilayah-wilayah kendalinya, akan
menyetorkan pajak-pajak tanah dari para petani dan diserahkan kepada perwakilan
pemerintah kolonial di regionalnya. Dengan demikian, sistem desa dan sistem
tanahnya terbentuk sebagai dasar administrasi publik, yudisial, dan perpajakan.9
Dalam administrasi tata pemerintahan, Raffles membuat lebih rinci dan
mengambil-alih Prefektorat cara Daendels dengan mengubah istilah menjadi
keresidenan (residenstie) dan meningkatkannya menjadi 16 keresidenan dan
menjadikan kabupaten di era Daendels hanya menjadi kabupaten “distrik”, yang
berfokus pada tiap-tiap desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa. Dalam hal
administrasi peradilan, Raffles membentuk Pengadilan Yudisial (Court of Justice),
Pengadilan Permintaan untuk Urusan-urusan Kecil (Court of Requests for Small
9 Furnivall, Hindia Belanda, 74.
-
29
Debts), dan Magistrat Pengadilan Polisi, yang memutuskan perkara-perkara
peradilan, sipil, dan militer.10
Unsur baru yang dikerjakan melalui kebijakan Raffles ialah pentingnya
kebebasan dan kepastian hukum bagi perseorangan. Kebijakan yang dimajukan
oleh Raffles bersendikan atas dasar-dasar:11 (1) menghapuskan segala penyerahan
paksa hasil-hasil tanah dengan harga yang tidak pantas, dan penghapusan semua
kerja paksa dengan memberikan kebebasan dalam penanaman dan perdagangan; (2)
pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah
dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantaraan bupati-bupati, yang
bekerja secara terbatas hanya pada pekerjaan umum; dan (3) menyewakan tanah-
tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil,
menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak untuk waktu yang terbatas.
Namun dalam pemberlakuan pajak tanah, Raffles sesungguhnya sedang
memindahkan persoalan dari pemberian upeti hasil panen kepada mekanisme uang.
Petani yang tidak terbiasa menangani dan menggunakan uang, tetapi tetap
menghadapi tuntutan untuk membayar pajak dengan uang, justru menjaminkan
hasil panen, ternak, dan tanah mereka kepada para perente (pemberi pinjaman uang
dengan riba).12 Hanya di Priangan dalam Peraturan Priangan (Preangersreglement),
Raffles dengan sengaja mempertahankan sistem pembayaran pajak dengan kopi,
begitu juga dengan hasil kayu-kayu jati. Namun, dalam hal penghapusan kerja
paksa, Raffles mampu menghentikan praktik ini di seluruh pulau Jawa.
10 Harini, Sejarah Hukum, 18-21. 11 Mona Lohanda, “The British Rule in Java, 1811-1816 Glimpses at the archives” dalam
Mona Lohanda, Membaca Sumber Menulis Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), 54, 60. 12 Furnivall, Hindia Belanda, 78.
-
30
Dalam waktu kurang dari lima tahun, Raffles berhasil melakukan perubahan
sehingga kebijakan tentang sistem sewa tanah dan membatasi peran para bupati
tetap dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda berikutnya. Kebijakan Raffles
diteruskan oleh Gubernur Jenderal G.A. Baron van der Capellen pada tahun 1818-
1826. Bahkan, pada tahun 1819 gubernur jenderal menghapuskan kekuasaan resmi
para bupati atas tanah dan sebagai gantinya mereka diberi gaji berupa uang.13 Pola-
pola yang dikembangkan Raffles menjadikan desa sebagai unit penerapan sistem
sewa tanah terus dilanjutkan oleh Komisaris Jenderal L.P.J. Viscount Du Bus de
Ghisignies pada tahun 1826-1830. Namun demikian, selama penerapan sistem sewa
tanah sejak era Raffles sampai Du Bus, antara tahun 1811-1830 pemerintah kolonial
tidak berhasil memajukan produksi tanaman ekspor dan kemakmuran penduduk
Jawa. Faktor kebijakan politik Inggris di India tidak memperhitungkan adanya
perbedaan struktural dan kultural antara masyarakat Jawa dengan masyarakat India.
Berbeda dengan di Jawa, masyarakat India telah memiliki tingkat produksi ekonomi
yang lebih tinggi sehingga sistem pungutan pajak dengan membayarkan uang di
India telah dapat dilakukan.14
2.2. Sistem Budidaya Tanaman (cultuurstelsel) tahun 1830-1870
Pada tahun 1830 kebijakan pemerintah di Hindia Belanda mengalami
perubahan orientasi secara besar-besaran dengan pelaksanaan sistem budidaya
tanaman (cultuurstelsel), yang dicanangkan oleh Gubernur Jenderal Johannes
13 Joan Hardjono, Tanah, Pekerjaan, dan Nafkah di Pedesaan Jawa Barat (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1990), 32-33. 14 Mubyarto, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta:
Aditya Media, 1992), 19-20.
-
31
Count van den Bosch tahun 1830-1833. Karena sistem ini memerlukan kekuasaan
dari golongan penguasa sebagai pengantara, yang kepentingannya sejajar dengan
kepentingan pemerintah Belanda, kedudukan para bupati dikembalikan lagi pada
kedudukan semula namun tetap dibatasi dan dalam pengawasan. Gelar-gelar
kebangsawanan dan hak-hak yang dapat diwariskan, termasuk hak milik dan hak
guna tanah, dihidupkan kembali pada tahun 1832.15
J. van den Bosch mendapat instruksi untuk meningkatkan produksi hasil
bumi di seluruh negeri, terkhusus di Priangan, untuk memenuhi kebutuhan
pengeluaran pemerintah Hindia Belanda. Sistem ini pada dasarnya merupakan
penyatuan antara sistem penyerahan wajib hasil bumi dan sistem pajak tanah. Pajak
yang dibayarkan oleh penduduk Bumiputera bukan dalam bentuk uang (pajak uang)
melainkan berupa hasil tanaman ekspor yang dapat dipasarkan di pasaran Eropa.16
Dengan pemberlakuan sistem ini, Bosch dapat mengumpulkan banyak hasil bumi
untuk dikirimkan ke negeri Belanda dan dijual dengan keuntungan besar baik bagi
pemerintah maupun pengusaha Eropa. Hal itu dapat dilakukan dengan cara
pemerintah mengadakan kesepakatan dengan beberapa kepala desa untuk
menyuplai hasil bumi berupa kopi, tebu dan nila sebagai ganti pajak uang,
kemudian pemerintah mengadakan perjanjian dengan beberapa pengusaha Eropa
untuk menerima hasil bumi itu dan mengaturnya untuk ekspor atas nama
pemerintah, kemudian mendorong pegawai-pegawai negeri agar melaksanakan hal
itu dengan memberi mereka dari hasil bumi itu.17
15 Hardjono, Tanah, Pekerjaan, 33. 16 Mubyarto, Tanah dan Tenaga, 20. 17 Furnivall, Hindia Belanda, 124-125.
-
32
Pada sistem kebijakan ini, pemerintah Hindia Belanda hanya mengambil
seperlima (1/5) dalam bentuk hasil panen. Desa yang menyisihkan seperlima (1/5)
sawahnya untuk budidaya tanaman ekspor, yang pengerjaannya tidak lebih berat
daripada padi, dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. Pengawasan lebih utama
penerapan sistem ini dilakukan oleh pemimpin setempat, sedangkan pekerjaan
pegawai-pegawai negeri Eropa hanya memastikan bahwa pertanian dan perkebunan
dijalankan dengan tepat waktu dan tepat cara, bahwa hasil bumi dipanen pada
waktunya dan dibawa ke pabrik. Karena itulah, semua pegawai negeri kolonial
bekerja keras mempromosikan pertanian dan perkebunan pemerintah. Baik para
pegawai Eropa maupun Bumiputera memperoleh cultuurprocenten (insentif).
Dengan sistem ini, Bosch mengupayakan suatu monopoli perdagangan dan
monopoli produksi. Bosch memerintahkan di seluruh Jawa sejumlah nila, gula, dan
kopi dalam jumlah yang memadai untuk ditanam, dan mengharuskan setiap residen
menyerahkan hasil bumi komoditi ekspor tersebut. Bahkan untuk tanaman kopi,
diusulkan untuk menyerahkan semua kopi, selain yang harus diserahkan sebagai
pembayaran pajak, harus dijual kepada pemerintah dengan harga tetap. Dengan
demikian, praktik ini menghentikan semua perdagangan kopi oleh pengusaha
swasta, dan membuat pemerintah menjadi kuat dalam menerapkan monopoli
perdagangan. Meskipun secara formal tanah yang dituntut pemerintah untuk tanam-
tanaman tersebut hanya (1/5) dari tanah petani, pada praktiknya tanah yang
digunakan lebih dari ketentuan tersebut dan bahkan sering kali mencakup
keseluruhan luas tanah milik petani. Di beberapa daerah, kebijakan ini ditetapkan
di bawah tekanan dan paksaan yang keras. Sewa atas tanah masih diwajibkan
-
33
sebagai tambahan, di mana pemerintah yang menentukan jenis komoditi yang harus
ditanam dan hasilnya harus dijual kepada pemerintah.18
Penemuan Clifford Geertz mengenai terjadinya involusi pertanian di Hindia
Belanda antara lain menunjukkan ketumpang-tindihan antara sistem pertanian yang
berbasis sawah padi yang merupakan sistem pertanian tradisional dengan sistem
perkebunan tebu yang merupakan sistem pertanian kolonial berorientasi pasar, telah
membentuk kecenderungan budaya yang disebut “sharing poverty”. Ketumpang-
tindihan itu juga terjadi dalam sektor politik, yaitu antara sistem birokrasi kolonial
yang modern dengan sistem birokrasi tradisional yang patrimonial menjadi tidak
dapat dielakkan.19
Periode dua puluh tahun pertama antara tahun 1830-1850 saat
pemberlakuan sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) di Hindia Belanda adalah
periode yang paling berat. Pemberlakuan sistem ini lambat laun semakin tidak
efektif dan justru makin menghambat kemajuan ekonomi bagi negeri Belanda.
Faktor lain pemicunya adalah banyak terjadi gagal panen dan bencana di Jawa,
sehingga karena kebutuhan hasil bumi untuk diekspor berkurang maka panen padi
pun dimasukkan menjadi tergolong tanaman budidaya yang diperlukan pemerintah.
Namun, secara keseluruhan melalui sistem cultuurstelsel ini, kesulitan ekonomi
negeri Belanda memang di awal-awal dapat diatasi20, tetapi kemudian tingkat
18 Teguh Prasetyo, Kadarwati Budiharjo, dan Purwadi, Hukum dan Undang-undang
Perkebunan (Bandung: Nusa Media, 2013), 52. 19 Faruk, Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 9. 20 Sistem tanam paksa yang diterapkan Bosch terbukti sangat efektif dalam mendatangkan
penghasilan bagi bangsa Belanda. Periode 1830-1850, 19% pendapatan pemerintah Belanda berasal dari Hindia Belanda. Pada 1851-1860, penghasilan itu mencapai jumlah yang menakjubkan, yaitu 31% dari keseluruhan pendapatan pemerintah. Lih. Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Politik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942 (Jakarta: Serambi, 2007), 92.
-
34
kehidupan ekonomi masyarakat Bumiputera menjadi turun drastis. Tahun-tahun
antara 1840-1860 adalah tahun-tahun perubahan dalam kebijakan kolonial di
Hindia Belanda, ditandai pemberlakuan Grondwet 1848 di negeri Belanda dan
Regeringsreglement 1854. Politik eksploitasi yang kasar, ditandai oleh monopoli-
monopoli usaha baik dahulu di era VOC maupun dalam cultuurstelsel, mengalami
kritik-kritik yang tajam pada tahun-tahun itu. Pada tahun-tahun itu juga kekuatan
politik berhaluan Liberal di negeri Belanda mencoba mengupayakan perubahan-
perubahan mendasar di dalam tata hukum kolonial. Karena itu, pada tahun 1863,
pemerintahan baru berhaluan Liberal mulai menghapuskan sistem budidaya tanam
(cultuurstelsel) sampai pada pemberlakuan Undang-undang Agraria (Agrarisch
Wet) tahun 1870.
3. Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854
3.1. Regeringsreglement 1854 sebagai landasan konstitusional
Pengaruh haluan politik kaum Liberal di negeri Belanda membuahkan
perubahan arah kebijakan hukum dan perkembangan praktik hukum di daerah-
daerah koloni Hindia Belanda. Kebijakan kaum Liberal ini dikenal dengan sebutan
bewuste rechtspolitiek (‘kebijakan hukum yang sadar’). Kebijakan untuk membuat
tata hukum kolonial secara sadar ini berakibat di satu sisi mengontrol kekuasaan
dan kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di sisi lain akan
ikut mengupayakan diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi seluruh
-
35
lapisan penduduk yang bermukim di daerah jajahan.21 Pemberlakuan Undang-
undang Dasar (Grondwet) yang baru di negeri Belanda tahun 1848 menandai
pemberlakuan peraturan pemerintah yang baru tentang sistem ketatanegaraan dan
administrasi kolonial di Hindia Belanda. Grondwet 1848 berisi ketentuan agar
peraturan-peraturan hukum kolonial mengenai pemerintahan daerah jajahan, untuk
selanjutnya mesti dibuat dalam bentuk Undang-undang (Wet), yang berarti harus
melibatkan Parlemen Belanda (Tweede Kamer) dalam menentukan arah kebijakan,
karena tidak cukup hanya dibuat dalam bentuk Keputusan Raja (Koninklijk
Besluit).22 Pada September 1854 peraturan mengenai pemerintahan di Hindia
Belanda diratifikasi dengan persetujuan raja Belanda, setelah selesai dalam
pembahasan di Parlemen Belanda.23 Peraturan tentang tata pemerintahan di Hindia
Belanda tersebut dinamakan Het Reglement op Het Beleid der Regering van
Nederlandsch-Indie atau disingkat Regeringsreglement 1854, yang berisi 130 pasal.
Sebelum pemberlakuan Regeringsreglement 1854 akibat pembaruan Grondwet
1848, sudah terdapat dua peraturan pemerintah serupa yaitu Regeringsreglement
1818 dan Regeringsreglement 1830, yang keduanya dirancang hanya sebatas
sebagai Keputusan Raja (Koninklijk Besluit), yang tidak diratifikasikan sebagai
Undang-undang (Wet).
Regeringsreglement 1854 adalah suatu landasan konstitusional yang untuk
pertama kali mengintroduksikan ide rechtsstaat (atau yang di negeri-negeri
bertradisi common law disebut rule of law), yang hendak direalisasikan di Hindia
21 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta: HuMa-
Jakarta, Van Vollenhoeven Institute, KITLV-Jakarta, Epistema Institute, 2014), 15. 22 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 19. 23 Furnivall, Hindia Belanda, 168.
-
36
Belanda. Peraturan Pemerintah ini menjadi titik penting penegakan konstitusional
Hindia Belanda yang jelas-jelas mengakui supremasi hukum. Semisal, van den
Bosch dalam memulai pemberlakuan cultuurstelsel 1830 mendasarkan sistemnya
itu pada kekuasaan (machtsstaat). Bahkan, sejak 1815 raja selalu berdiri lebih tinggi
daripada hukum, dan pernah dua kali memberikan wewenang kepada wakilnya
(gubernur jenderal) di Hindia Belanda untuk menempatkan diri lebih tinggi
daripada hukum. Hal ini tidak akan diperbolehkan lagi pada pemberlakuan
peraturan pemerintah ini. Demikianlah, secara prinsip Regeringsreglement 1854
memutus hubungan dengan doktrin van den Bosch sebelumnya.24 Dengan begitu
pula, Regeringsreglement 1854 kemudian benar-benar menjadi landasan
konstitusional yang tidak boleh diabaikan demi terlegitimasi suatu pemerintahan
daerah jajahan di hadapan kaum Liberal di negeri Belanda yang berslogan
kebebasan, persaudaraan, dan persamaan di antara sesama manusia.
3.2. Tata Pemerintahan menurut Regeringsreglement 1854
Regeringsreglement 1854 berisi peraturan pemerintah perihal komposisi
pemerintahan Hindia Belanda (pasal 1-19), perihal kewenangan dan tanggung
jawab pemerintah Hindia Belanda (pasal 20-63), perihal pemerintahan secara
umum (pasal 64-66), perihal kewenangan pemerintahan daerah dan setempat (pasal
67-73), perihal sistem peradilan (pasal 74-104), perihal kewargaan (pasal 105-118),
perihal agama (pasal 119-124), perihal pendidikan (pasal 125-128), dan perihal
pedoman dan perutusan (pasal 129-130), serta dilengkapi aturan peralihan.
24 Furnivall, Hindia Belanda, 169.
-
37
Berdasarkan Grondwet 1848, raja Belanda memegang kekuasaan tertinggi
atas tanah jajahannya di Hindia Belanda. Di tanah jajahan ini, kekuasaan
pemerintah berada di tangan Gubernur Jenderal yang berpusat di Batavia dengan
suatu Dewan Hindia yang memberikan nasihat dan turut bertanggung jawab, dan
tetap semuanya di bawah pengawasan raja, yang berwenang sebagai pengawas
tertinggi atas jalannya pemerintahan di negeri jajahan itu. Menteri Daerah Jajahan
sebagai agen raja tidak bertanggung jawab kepada Parlemen Belanda. Akan tetapi,
sistem komunikasi antara negeri jajahan dengan negeri Belanda pada saat itu masih
buruk, sehingga upaya intervensi oleh pusat kekuasaan di negeri Belanda terhadap
kebijakan yang dilakukan oleh para pegawai pemerintahan di Hindia Belanda
menjadi sulit dilakukan. Hal ini mengakibatkan pemerintahan di Hindia Belanda
menjadi terdesentralisasi – walaupun tidak secara yuridis tetapi secara teknis.25
Dengan demikian, Regeringsreglement 1854 tetap harus dipandang sebagai
konstitusi tata pemerintahan yang berlaku efektif di Hindia Belanda.
Regeringsreglement 1854 memuat peraturan pokok tentang kebijakan
pemerintah Hindia Belanda yang bertumpu pada Gubernur Jenderal sebagai
penguasa tunggal dan tertinggi di pusat pemerintahan negeri jajahan. Dalam Pasal
1 Regeringsreglement 1854 pelaksanaan pemerintahan secara umum di Hindia
Belanda dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja, dan semua penduduk
yang berada di tanah jajahan ini, tanpa terkecuali, wajib mengakui Gubernur
Jenderal sebagai wakil Raja, dan oleh sebab itu juga mereka wajib menghormati
dan menaatinya. Begitupula, pada pasal-pasal lain dalam Regeringsreglement 1854
25 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 108.
-
38
memaklumatkan bahwa Gubernur Jenderal (sebagai pembuat ordonansi) adalah
pemegang kekuasaan legislatif yang sekaligus juga pelaksana eksekutifnya, yang
berwenang mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi dalam jajaran
pemerintahan kolonial, berkedudukan sebagai panglima tertinggi angkatan darat
dan angkatan laut di Hindia Belanda.
Dalam pelaksanaan kewenangannya, Gubernur Jenderal dibantu oleh
organisasi pemerintahan, dengan pejabat-pejabat yang tidak memiliki kekuasaan
administratif yang mandiri. Menurut pasal 64 dan 68 Regeringsreglement 1854,
mereka hanyalah pelaksana-pelaksana yang harus mematuhi segala kebijakan dan
keputusan Gubernur Jenderal. Organisasi pemerintahan yang dimaksud ini sering
dikenal dengan nama Binnelandsch Bestuur (pemerintahan dalam negeri), yaitu
administrasi pemerintahan yang diselenggarakan di tanah jajahan Hindia Belanda
dengan pejabat-pejabat yang seluruhnya terdiri dari orang-orang Eropa, khususnya
Belanda. Peranan mereka dan relasinya dengan Gubernur Jenderal semakin
mengukuhkan pemerintahan yang sentralistik.
Namun dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah dan regional tertentu,
Regeringsreglement 1854 memberikan ketentuan tentang kebebasan penduduk
Bumiputera untuk melibatkan peranan para kepala pemerintahan tradisional yang
telah berlangsung sejak dulu kala, namun tetap dalam pengawasan Gubernur
Jenderal dan pegawai negeri kolonial, seperti termuat pada pasal 67 berikut:
Zooveel de omstandigheden het toelaten, wordt de inlandsche bevolking gelaten onder de onmiddellijke leiding van hare eigene, van regeringswege aangestelde of erkende hoofden, onderworpen aan zoodanig hooger toezigt als bij algemeene of bijzondere voorschriften door den Gouverneur-Generaal is of zal worden bepaald.
-
39
Terjemahannya: Sejauh memungkinkan, penduduk Bumiputera tetap dibiarkan berada di bawah arahan langsung oleh para kepalanya sendiri, yang ditunjuk atau diakui oleh pemerintah, dan tunduk pada tingkat yang lebih tinggi sebagaimana telah atau akan ditentukan oleh peraturan umum atau khusus oleh Gubernur Jenderal.
Begitu juga penjelasan lebih lanjut terkait pemerintahan Bumiputera diatur
pada pasal 71 Regeringsreglement 1854, demikian:
De inlandsche gemeenten verkiezen, behoudens de goedkeuring van het gewestelijk gezag, hare hoofden en bestuurders. De Gouverneur-Generaal handhaaft dat regt tegen alle inbreuken. Aan die gemeenten wordt de regeling hare huishoudelijke belangen gelaten, met inachtneming der van den Gouverneur-Generaal of van het gewestelijk gezag uitgegane verordenimgen.
Terjemahannya: Kalangan penduduk Bumiputera dapat memilih kepala dan dewan pemerintahannya sendiri, dengan syarat mendapat persetujuan dari otoritas pemerintah daerah. Gubernur Jenderal mempertahankan bahwa hal itu efektif terhadap semua pelanggaran. Peraturan untuk kepentingan domestik diserahkan kepada kalangan penduduk Bumiputera, dengan memperhatikan keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal atau oleh pemerintah daerah.
Kedua pasal ini mengatur bahwa kaum Bumiputera diberi kebebasan untuk memilih
sendiri para kepala mereka, mengatur kepentingan domestiknya, dan menjamin
pengorganisasian masyarakat sampai di pedesaan. Meskipun demikian, masih
tampak tidak jelas yang dimaksud dengan para kepala (pemimpin) dalam
ketentuan-ketentuan tersebut merujuk pada bupati-bupati, pegawai pemerintah
(para pamong praja), atau dewan rakyat di Hindia Belanda. Akan tetapi, justru
dalam beberapa kendala ketidakjelasan peraturan pemerintah ini bermanfaat untuk
memungkinkan terjadinya interpretasi progresif, yaitu penyesuaian para penguasa
-
40
lokal dan setempat menurut konteksnya masing-masing, sehingga meskipun
memberi perubahan kecil bagi tata pemerintahan di Hindia Belanda, peraturan
pemerintah ini bermanfaat selama hampir tigaperempat abad.
3.3. Kebebasan Beragama menurut Regeringsreglement 1854
Dengan prinsip dan dasar liberalisme, yang mengedepankan kebebasan hak-
hak orang perorangan, muatan pasal-pasal dalam Regeringsreglement 1854 juga
menjamin adanya kebebasan beragama bagi penduduk di Hindia Belanda. Dalam
hal ini gubernur jenderal memastikan dan menjamin bahwa setiap orang dan
lembaga-lembaga keagamaan mendapatkan perlindungan untuk menjalankan
aktivitas keagamaannya baik secara privat maupun publik, sejauh tidak melanggar
peraturan-peraturan yang berlaku. Jaminan kebebasan beragama itu termuat dalam
pasal 119 Regeringsreglement 1854, demikian:
Ieder belijdt zijne godsdienstige meeningen met volkomen vrijheid, behoudens de bescherming der maatschappij en harer leden tegen de overtreding der algemeene verordeningen op het strafregt.
Terjemahannya: Setiap orang menganut agamanya dengan kebebasan penuh, dengan syarat adanya pengawasan pada masyarakat dan umat-umatnya terhadap pelanggaran pada peraturan-peraturan umum tentang hukum pidana.
Tokoh-tokoh dari kaum Liberal, yang turut menyusun dasar-dasar
pemberlakuan Regeringsreglement 1854 di Hindia Belanda, mengetahui sekali
prinsip orang-orang Bumiputera dengan teguh berpegang pada istilah “hukum
agama, lembaga keagamaan, dan adat kebiasaan penduduk Bumiputera. Dengan
memahami prinsip ini, maka pasal 124 Regeringsreglement 1854 termaktub yakni:
-
41
De priesters der inlanders die het Christendom niet belijden, zijn geplaatst onder het oppertoezigt der vorsten, regenten en hoofden, voor zooveel betreft de godsdienst, die elk hunner belijdt. Deze zorgen, dat door de priesters niets worde ondernomen strijdig met dit reglement en met de door of uit naam van den Gouverneur-Generaal uitgevaardigde verordeningen. Terjemahannya: Para ulama Bumiputera yang tidak beragama Kristen, ditempatkan di bawah kewenangan para raja, bupati, dan kepala, sejauh masing-masing mereka menganut agama yang sama. Dengan tetap ada perhatian bahwa para ulama tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan ini dan dengan peraturan-peraturan yang berlaku oleh atau atas nama Gubernur Jenderal.
Bahwa dalam adat istiadat dan kebiasaan penduduk Bumiputera, peran para ulama
agama telah menjadi bagian utuh di dalam masyarakat, yang kedudukannya ada di
bawah oleh dan bersamaan dengan para raja/sultan, bupati, para kepala di desa.
Karakter sosial sepeti ini yang membentuk pola dan struktur desa yang khas di Jawa
dengan struktur sosial kepemimpinannya.
Namun, dalam mengantisipasi tugas penyiaran agama, secara khusus
aktivitas pekabaran Injil oleh Zending di tengah masyarakat Hindia Belanda,
Regeringsreglement 1854 membuat regulasi untuk menjamin tidak adanya
pelanggaran terhadap tata aturan yang berlaku oleh dan atas nama Gubernur
Jenderal. Peraturan mengenai karya pekabaran Injil di Hindia Belanda, termaktub
dalam pasal 123 Regeringsreglement 1854, yaitu:
De Christenleeraars, priesters en zendelingen moeten voorzien zijn van eene door of namens den Gouverneur-Generaal te verleenen bijzondere toelating om hun dienstwerk in eenig bepaald gedeelte van Nederlandsch-Indie te mogen verigten. Wanneer die toelating schadelijk wordt bevonden, of de voorwaarden daarvan niet worden nageleefd, kan zij door den Gouverneur-Generaal worden ingetrokken.
-
42
Terjemahannya: Para guru, pendeta, dan zendeling Kristen harus diperlengkapi izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal untuk diperbolehkan melakukan tugas pelayanannya di salah satu daerah tertentu di Hindia Belanda. Bilamana izin itu diketahui merugikan, atau bila syarat-syaratnya tidak dipatuhi, izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.
Pasal ini yang kemudian menimbulkan banyak reaksi dari Zending-zending yang
akan menujukan aktivitas pekabaran Injilnya di pulau Jawa secara umum, dan
khususnya di Jawa Barat. Selama beberapa tahun diberlakukan, pasal ini telah
menjadi polemik dan kontroversial. Bahkan, pasal ini menjadi salah satu pasal dari
Regeringsreglement 1854 yang terus-menerus diajukan untuk dihapuskan, yang
dipelopori oleh para zendeling di Jawa.
4. Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) tahun 1870
4.1. Pembaruan Agraria melalui Agrarisch Wet 1870
Persoalan agraria di Hindia Belanda, sejak era VOC sampai dengan era
pemerintahan kolonial di Hindia Belanda berturut-turut diwarnai dengan monopoli
perdagangan oleh perusahaan dagang Belanda (VOC), dan dilanjutkan dengan
penyerahan paksa hasil bumi era Daendels, kemudian penerapan pembayaran uang
pajak sewa tanah menurut pola Raffles, dan puncaknya monopoli negara pada
barang-barang komoditi ekspor dalam sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel)
rancangan van den Bosch. Untuk yang terakhir ini, pemberlakuan sistem budidaya
tanaman (cultuurstelsel) lebih banyak mendapat sorotan dari kaum Liberal dalam
perpolitikan di negeri Belanda. Kegagalan cultuurstelsel bukan hanya tidak mampu
menaikkan pertumbuhan ekonomi negara dengan bertambahnya komoditi barang-
-
43
barang ekspor melainkan juga ketidaksanggupan menjamin kesejahteraan
penduduk Bumiputera dari waktu ke waktu. Pada kemandekan persoalan agraria di
Hindia Belanda tersebut, melalui momentum diterapkannya Grondwet 1848 dan
Regeringsreglement 1854 menjadi penanda pembaruan agraria berikutnya.
Keduanya menjamin perkembangan undang-undang yang di satu pihak untuk
melindungi kepentingan para pengusaha swasta bebas (sesuai dengan cita-cita
liberalisme di bidang ekonomi), tetapi di lain pihak untuk melindungi kepentingan
penduduk Bumiputera di daerah jajahan. Dengan kata lain, ada upaya untuk
memberi kebebasan bagi para petani Bumiputera dalam menentukan usaha
pertaniannya dengan kebebasan menanam tanaman apa pun, dan membuka peluang
yang leluasa kepada para pengusaha swasta dalam mengolah lahan-lahan
perkebunan yang lebih luas di negeri jajahan. Terlebih dalam pandangan politik
kaum Liberal sudah saatnya mengganti sistem perekonomian kolonial yang
berdasarkan monopoli negara dengan perekonomian berbasis perdagangan di
pasaran Eropa yang melibatkan kalangan swasta. Pandangan ini mengasumsikan
bahwa untuk memaksimalkan produktivitas daerah jajahan, maka perlu melibatkan
para pengusaha swasta bebas yang juga memerlukan jaminan ketersediaan tanah-
tanah produksi dan tenaga-tenaga kerja produktif.
Tokoh kaum Liberal yang menginisiasi pengembangan perdagangan oleh
pihak swasta adalah I.D. Fransen van de Putte (1822-1902)26. Van de Putte berusaha
untuk menghasilkan produk perundang-undangan yang dapat memudahkan
26 I.D. Fransen van de Putte adalah tokoh politik berhaluan Liberal, yang pernah menjabat
sebagai Menteri Daerah Jajahan pada tahun 1863-1866 dan tahun 1872-1874. Sewaktu menjabat sebagai menteri, pada tahun 1864 Fransen van de Putte yang memungkinkan pemberian izin tinggal kepada para zendeling NZV di Priangan.
-
44
perkembangan usaha perkebunan swasta di negeri jajahan. Langkah pertamanya
adalah menyusun dan mengajukan sejumlah rancangan undang-undang guna
mengatur tata guna tanah-tanah pertanian dan perkebunan. Dalam persidangan di
dalam Parlemen Belanda (Tweede Kamer) tanggal 4 Desember 1862, van de Putte
mengatakan bahwa untuk kepentingan Hindia Belanda “kebebasan untuk
memperoleh lahan-lahan dan kebebasan untuk memperoleh pekerja-pekerja
berdasarkan hukum penawaran dan permintaan” perlu diupayakan.27 Pada dasar
itulah, van de Putte menyusun dan mengajukan Rancangan Undang-undang tentang
Usaha Pertanian (cultuurwet) tahun 1862. Dalam rancangan tersebut berisi tentang
usulan agar:28
1. kepada orang-orang Bumiputera diberikan hak eigendom sebagai hak milik
berdasarkan hukum Eropa untuk tanah-tanah yang selama ini telah mereka
duduki dan kuasai secara individual dan turun-temurun.
2. kepada orang-orang Bumiputera juga akan diberikan kemungkinan
berdasarkan hukum perundang-undangan untuk menyewakan tanah-tanah
mereka itu kepada siapa pun, juga kepada orang-orang yang non-
Bumiputera.
3. Tanah-tanah belantara yang dikuasai negara akan dapat diberikan kepada
mereka yang ingin mengusahakannya dengan hak erfpacht (sewa tanah
jangka panjang, dengan hak yang karenanya dapat diwariskan).
27 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 72. 28 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 73.
-
45
Pada tahun 1865, rancangan cultuurwet dibawa di sidang-sidang Parlemen
Belanda. Namun, rancangan cultuurwet ini ditolah oleh sidang Parlemen dan harus
terkena amandemen. Meskipun demikian, sampai pada tahun 1870 belum dilakukan
upaya hukum untuk melakukan pembaruan agraria. Ironisnya, dalam
kepemimpinan kaum Konservatif, yang bercorak etis-humanitarian namun juga
ekonomis-pragmatis, ditempuh upaya untuk menjaga keseimbangan antara
kepentingan usaha perdagangan swasta Eropa (menjadi prioritas pertama) dan
kepentingan penduduk Bumiputera (sedapat mungkin tidak dirugikan, dan apabila
dirugikan akan ada kompensasi dari pemerintah) mengambil ide-ide dari van de
Putte tersebut. Kebijakan untuk menyeimbangkan kedua unsur itu terpatrilah
undang-undang tentang pertanian sebagai satu langkah pembaruan agraria, yaitu
disebut dengan Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) tahun 1870, yang
diundangkan pada tanggal 9 April 1870 (Staatsblad No. 55, tahun 1870).
4.2. Kebijakan tentang Tanah menurut Agrarisch Wet 1870
Regeringsreglement 1854 memberi andil dalam menempatkan fondasi pada
Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870. Dalam pasal 1, pasal 2, dan pasal 3
Agrarisch Wet 1870 merupakan kutipan pasal 62 Regeringsreglement 1854 yaitu:
(1) De Gouverneur-Generaal mag geene gronden verkoopen. (2) In dit verbod zijn niet begrepen kleine stukken gronds, bestemd
tot uitbreiding van steden en dorpen en tot het oprigten van inrigtingen van nijverheid.
(3) De Gouverneur-Generaal kan gronden uitgeven in huur, volgens regels, bij algemeene verordening te stellen. Onder die gronden worden niet begrepen de zoodanige, door de inlanders ontgonnen, of als gemeene weide, of uit eenigen anderen hoofde tot de dorpen of dessa’s behoorende.
-
46
Terjemahannya: (1) Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah. (2) Dalam larangan ini tidak mencakup petak-petak lahan kecil yang
ditujukan untuk perluasan kota dan desa dan untuk memperkuat kegiatan usaha.
(3) Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah, sesuai dengan ketentuan-ketentuan berdasarkan peraturan-peraturan umum yang berlaku. Yang tidak termasuk tanah-tanah yang boleh disewakan adalah tanah garapan penduduk Bumiputera, atau seperti padang rumput milik umum, dan lahan-lahan lainnya yang merupakan milik desa.
Dengan adanya peraturan tersebut, kedudukan pemerintah dalam
pengelolaan tanah jajahan diganti oleh kaum pengusaha swasta perkebunan. Hal ini
ditandai dengan menyusutnya perkebunan milik pemerintah sedangkan perkebunan
milik swasta semakin meluas. Namun dalam rangka memperluas lahan usahanya,
para pengusaha perkebunan swasta pada waktu itu terbentur pada aturan pasal 62
ayat 1 Regeringsreglement 1854, yang melarang pemerintah menjual tanah. Cara
lain yang ditempuh berdasarkan peraturan pemerintah tersebut adalah dengan
menggunakan pasal 62 ayat 3 Regeringsreglement 1854 untuk menyewa tanah dari
pemerintah, itu pun dalam jangka waktu yang singkat hanya 20 tahun. Hal ini tentu
tidak efektif bagi perusahaan dan perkebunan besar dan hak sewa tanah tersebut
juga tidak dapat dijadikan jaminan untuk meminjam uang pada bank, karena
bersifat “persoonlijk recht” (hak pribadi) dan bukan “zakelijk recht op de grond”
(hak bisnis tanah) yang dapat dihipotikkan. Namun demikian di sisi yang lain pada
bagian pasal-pasal ini, undang-undang menjamin keberadaan tanah-tanah milik
penduduk Bumiputera (pribadi) dan milik desa (komunal) di Hindia Belanda, sejak
pemberlakuan Regeringsreglement 1854 dan Agrarisch Wet 1870.
-
47
Selain 3 pasal pertama tersebut, Agrarisch Wet 1870 melengkapinya dengan
tambahan 5 pasal, sehingga muatan Agrarisch Wet 1870 menjadi 8 pasal. Pasal-
pasal tambahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:29
(4) Volgens regels, bij algemeene verordening te stellen, worden gronden afgestaan in erfpacht voor niet langer dan vijfentwintig jaren.
(5) De Gouverneur-Generaal zorgt, dat geenerlei afstand van grond inbreuk make op de regten der inlandsche bevolking.
(6) Over gronden, door inlanders voor eigen gebruik ontgonnen, of als gemeene weide of uit eenigen anderen hoofde tot de dorpen behoorende, wordt door den Gouverneur-Generaal niet beschikt dan ten algemeenen nutte, op den voet van article 77, en ten behoeve van de op hoog gezag ingevoerde cultuur, volgens de daarop betrekkelijke verordeningen, tegen behoorlijke schadeloostelling.
(7) Grond, door inlanders in erfelijk individueel gebruik bezeten, wordt, op aanvraag van den regtmatigen bezziter, aan dezen in eigendom afgestaan onder de noodige beperkingen, bij algemeene verordenig te stellen, en in den eigendomsbrief uit te drukken, ten aanzien van de verpligtingen jegens den lande en de gemeente en van de bevoegdheid tot verkoop aan niet-inlanders.
(8) Verhuur of ingebruikgeving van grond door inlanders aan niet-inlanders geschiedt, volgens regels, bij algemeene verordening te bepalen.
Terjemahannya: (4) Menurut ketentuan-ketentuan berdasarkan peraturan-peraturan
umum yang berlaku, diberikan tanah dengan hak sewa (erfpacht) selama tidak lebih dari dua puluh lima tahun.30
(5) Gubernur Jenderal memastikan bahwa tidak satupun dari jarak tanah (sewa) yang melanggar hak-hak penduduk Bumiputera.
(6) Tentang tanah, yang digarap oleh penduduk Bumiputera untuk digunakan sendiri, atau lahan-lahan lainnya yang merupakan milik desa, tidak dimanfaatkan oleh Gubernur Jenderal kecuali untuk kepentingan umum, berdasarkan pasal 77, dan untuk keperluan budidaya tanaman yang dikelola pemerintah, sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk kompensasi yang layak terhadap kerugian yang ada.
29 De Koloniale Agrarisch Wet (Rotterdam: Nijgh & Van Ditmar, 1870). 30 Pada rumusan ini, jangka waktu ditentukan selama tidak lebih dari 25 tahun, kecuali
untuk tanaman tertentu seperti kelapa menjadi 40 tahun. Pengecualian lainnya, untuk perkebunan-perkebunan besar diberikan jangka waktu sampai 75 tahun.
-
48
(7) Tanah yang digunakan oleh penduduk Bumiputera untuk kepentingan individu secara turun-temurun, atas permintaan pemiliknya yang sah diberikan kepadanya hak milik (eigendom) dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan, berdasarkan peraturan-peraturan umum yang berlaku, dan dicantumkan dalam surat kepemilikan, berkenaan dengan kewajibannya terhadap negara dan masyarakat yang bersangkutan, dan sehubungan dengan kewenangannya untuk menjual tanah tersebut kepada penduduk non-Bumiputera.
(8) Penyewaan dan penggunaan lahan oleh penduduk Bumiputera kepada penduduk non-Bumiputera dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan berdasarkan peraturan-peraturan umum yang berlaku.
Pemberlakuan Agrarisch Wet 1870 ini semakin jelas menunjukkan bahwa
terbentuklah cita-cita untuk menjamin pembangunan perkebunan swasta yang besar
dan masif di Hindia Belanda. Pemerintah melalui wewenang gubernur jenderal
memberikan fasilitas kepada pihak-pihak pengusaha swasta berupa hak sewa atau
hak guna pakai (erfpacht31). Dengan melepaskan hak penguasaan atas tanah,
pemerintah dapat memberikan hak penguasaan itu kepada para pengusaha
perkebunan swasta atau badan-badan hukum lainnya yang mengajukan
permohonan untuk memiliki hak lahan-lahan dengan hak erfpacht, bahkan dalam
jangka waktu sebanyak-banyaknya selama 75 tahun. Pada cara ini, pemerintah
kolonial Hindia Belanda, yang didukung kaum Liberal, mengharapkan bahwa
dengan pembebasan kegiatan ekonomi itu, akan terjadi transformasi ke arah
ekonomi modern seperti yang terjadi di Eropa.
Dengan adanya pemberian hak erfpacht yang diatur dalam Agrarisch Wet
1870, para pengusaha perkebunan dan swasta lainnya dapat menggunakan tanah
31 Kata erfpacht berasal dari kata erfelijk yang berarti turun-temurun, dan kata pacht yang
berarti sewa. Dengan demikian, erfpacht berarti hak sewa turun-temurun.
-
49
seluas maksimum 500 bau (+ 350 hektar) dalam jangka waktu paling lama 75 tahun,
dengan membayar canon (pajak sewa) maksimum f 5 per bau tiap tahun. Canon ini
mulai dibayarkan pada tahun ke-6, dan apabila selama 5 tahun berturut-turut tidak
mendapat hasil dari tanah itu, maka kewajiban membayar canon dibebaskan.
Sedangkan, untuk perusahaan perkebunan dan pertanian yang kecil dan lembaga-
lembaga sosial tertentu yang berbadan hukum mendapatkan lahan seluas minimum
25 bau (+ 20 hektar) dengan besaran canon maksimum f 1 per bau tiap tahun.32
Dalam Agrarisch Wet 1870 semakin memperjelas pengaturan lebih lanjut
tentang pelepasan hak negara atas lahan-lahan hanya untuk disewakan dalam
jangka panjang (erfpacht), dan juga mewajibkan gubernur jenderal untuk menjaga
dan mengakui hak-hak milik (eigendom) penduduk Bumiputera dari kerugian.
Tanah-tanah yang telah digarap oleh penduduk Bumiputera atau oleh kepala-kepala
desa Bumiputera, tidak boleh dialihkan haknya oleh pemerintah, kecuali apabila
penduduk Bumiputera mendapatkan uang ganti kerugian dari pemerintah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Melalui undang-undang ini, penduduk Bumiputera
diberikan kesempatan untuk mengubah hak atas tanahnya dari hak garap atau hak
untuk menempati dan menguasai menjadi hak kepemilikan (eigendom) menurut
hukum Eropa. Dalam langkah yang besar ini, maka ada kepastian hukum dalam
rupa larangan (vervreemdingsverbod) untuk memindahkan hak penduduk atas
tanah kepada pihak yang lain. Dengan demikian, pemerintah kolonial memberikan
kepastian dan jaminan hukum kepada penduduk Bumiputera untuk tetap
melestarikan tanah garapannya dan dikukuhkan dengan hak milik secara yuridis.
32 Mubyarto, Tanah dan Tenaga, 38-39.
-
50
Ketika undang-undang ini diberlakukan, hak kepemilikan tanah diketahui
sebagian besar tanah berada dalam kepemilikan komunal. Melalui legislasi ini
pemerintah melakukan konversi hak kepemilikan tanah Bumiputera ke pola hukum
Eropa, selain untuk memberikan hak kepemilikan pribadi kepada semua penduduk,
tetapi juga karena kepemilikan tanah komunal dianggap menjadi rintangan terhadap
pertanian yang baik. Karena itulah, undang-undang ini membantu para pengusaha
pertanian dan perkebunan Eropa mendapatkan hak tanah dengan mudah, karena
seseorang yang memiliki hak milik tanah harus bisa membuktikannya dengan surat
tanah yang sah. Meskipun dalam rumusan undang-undang ini memberikan jaminan
yang besar bagi penduduk Bumiputera, dalam praktiknya banyak hal menyimpang
dari ketentuan-ketentuan tersebut yang condong menguntungkan kepentingan
pengusaha swasta. Batasan luas yang diperkenankan undang-undang menjadi dapat
bertambah, jangka waktu sewa lahan dapat diperpanjang, dan besaran uang canon
lebih rendah dari ketentuan. Sementara itu, tanah milik penduduk Bumiputera, yang
berhak mendapat hak eigendom atas tanahnya, dengan catatan bahwa tanah itu
dalam kewenangannya dapat disewakan dan dialih-gunakan kepada penduduk non-
Bumiputera, menjadi sasaran dari perusahaan-perusahaan untuk memperoleh lahan
dari penduduk Bumiputera.33 Dalam praktiknya juga penduduk Bumiputera justru
mendapat paksaan untuk melepaskan haknya untuk kepentingan pengusaha
perkebunan swasta.34
33 A. Teluki, Perbandingan Hak Milik Atas Tanah dan Recht van Eigendom (Bandung: PT
Eresco, 1966), 9. 34 Mubyarto, Tanah dan Tenaga, 39.
-
51
4.3. Persoalan Tanah dalam Pemberlakuan Agrarisch Wet 1870
Dalam hal pelaksanaan ketentuan yang terdapat dalam Agrarisch Wet 1870,
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juli 1870 mengeluarkan Koninklijk
Besluit yang dikenal dengan sebutan Agrarisch Besluit 1870 (Staatsblad No. 118,
tahun 1870), yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Ketentuan yang paling penting
dalam Agrarisch Besluit 1870 adalah mengenai kekuasaan negara atas tanah.
Landasan mengenai kekuasaan negara sebagaimana pasal 1 Agrarisch Besluit 1870,
yaitu: “Semua bidang tanah yang di atasnya tidak dapat dibuktikan adanya hak
eigendom adalah tanah yang berada dalam kekuasaan (domein) negara.” Sama
halnya dengan asas hukum adat Jawa yang menyatakan bahwa “Barangsiapa yang
menggarap tanah, dialah yang harus dipandang sebagai yang mempunyai hak tanah
tersebut.” Dengan demikian, ketika terdapat tanah-tanah yang tidak digarap oleh
siapapun – menurut konsep ini – adalah milik Tuhan, maka raja yang dipandang
sebagai wakil Tuhan, berhak atas tanah-tanah yang tidak digarap itu. Dengan
mengikuti cara pandang tersebut maka tanah-tanah yang tidak digarap oleh
penduduk Bumiputera di Jawa harus dipandang sebagai bagian dari domein,
kawasan kekuasaan negara atau tanah milik negara.
Ada dua fungsi yang terdapat pada pernyataan domein tersebut, yaitu:
pertama, domeinverklaring bertujuan untuk menyediakan sebuah landasan hukum
bagi pemerintah kolonial untuk melaksanakan aturan tentang tanah menurut teori
hukum kolonial, bahwa hanya pemilik tanah yang dapat memindahkan hak atas
-
52
tanah;35 kedua, domeinverklaring juga berfungsi sebagai alat bukti kepemilikan.36
Bila orang atau badan hukum berperkara dengan negara mengenai pemilikan tanah,
maka yang dibebani untuk membuktikan adalah orang atau badan hukum tersebut,
sekalipun yang mengajukan gugatan adalah negara. Ini penting jika negara
menuntut pengosongan satu bidang tanah tertentu.
Domeinverklaring ini dalam praktiknya juga berimplikasi bahwa penduduk
Bumiputera di desa tidak diperbolehkan lagi mengerjakan tanah-tanah liar tanpa
meminta izin terlebih dahulu kepada pemerintah, karena tanah-tanah hutan,
belantara, dan lahan liar yang tidak digarap masyarakat berada dalam domein
negara. Larangan ini jelas bertentangan dengan hak penduduk desa yang bebas
memperluas lahan pertaniannya sampai di luar pemukimannya.37 Implikasi lainnya
dalam pemberlakuan Agrarisch Wet 1870, perundang-undangan ini tidak
membatasi pemindahan kekuasaan tanah melalui penjualan dan penggadaian tanah
yang sudah lazim di kebanyakan desa di Jawa. Dengan demikian tanah menjadi
barang perdagangan. Hal ini mengakibatkan banyak penduduk di Jawa Barat tidak
memiliki tanah (landlessness), dan juga dipengaruhi olah faktor penyebab lain,
yaitu pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, seperti yang terjadi di Priangan
yang bertambah 24 kali lipat dalam jangka waktu dari tahun 1815 sampai 1930.38
Pertambahan penduduk desa yang tidak seimbang dengan luas tanah yang tersedia
35 James S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, Adat dalam Politik Indonesia
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2010), 231. 36 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2008), 43. 37 Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa
Kopi di Jawa 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 325-326. 38 Hardjono, Tanah, Pekerjaan, 36.
-
53
mengakibatkan ketiadaan tanah, dan para petani menjadi buruh pertanian dan
perkebunan swasta dengan harga murah dalam persaingan ekonomi liberal.
5. Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatie Wet) tahun 1903
5.1. Perubahan Ketatanegaraan menurut Decentralisatie Wet 1903
Pada akhir tahun 1880, pada persidangan Parlemen Belanda (Tweede
Kamer) L.W.C. Keuchenius mengutarakan gagasan tentang perlunya pada daerah
jajahan dibentuk dewan yang disebut dengan gewestelijk raden (dewan daerah).
Pada dewan inilah orang-orang Eropa di Hindia Belanda dapat menyuarakan
kepentingannya. Untuk mewujudkan hal itu maka diperlukan perombakan pada
struktur ketatanegaraan di Hindia Belanda agar tidak lagi berpusat pada Gubernur
Jenderal dan Dewan Hindia (Raad van Indie). Menteri Daerah Jajahan yang dijabat
oleh J.Th. Cremer melanjutkan gagasan tentang desentralisasi dalam struktur
pemerintahan di Hindia Belanda. Cremer bersikukuh pada pendapatnya bahwa
“desentralisasi sangat dibutuhkan karena sentralisasi dalam pemerintahan Hindia
Belanda benar-benar merupakan sisi gelap dalam pengelolaan tanah Hindia.
Gagasan-gagasan serupa diperjuangkan oleh pejabat Menteri Daerah Jajahan yaitu
T.A.J. van Asch van Wijck dan A.W.F. Idenburg. Terakhir kali oleh Idenburg
dengan rancangan undang-undang desentralisasi yang tidak jauh berbeda dari
penggagas-penggagas sebelumnya dalam persidangan Parlemen dengan mudah
menerima rancangan tersebut untuk dijadikan undang-undang. Pada tanggal 23 Juli
1903 undang-undang mengenai desentralisasi pemerintahan di Hindia Belanda
berhasil diterima, yang disebut dengan De Wet Houdende Decentralisatie van Het
-
54
Bestuur in Nederlands-Indie atau disingkat dengan Desentralisatie Wet 1903
(Staatsblad No. 219, tahun 1903).39
Decentralisatie Wet 1903 memberikan harapan bagi pembentukan daerah
yang dapat tumbuh secara mandiri. Namun sejumlah ketentuan dalam undang-
undang ini belum memberikan pemahaman yang jernih sehingga masih terdapat
sejumlah pertanyaan yang belum terjawab, salah satunya adalah mengenai luas dan
sempitnya kewenangan yang didesentralisasikan. Dengan kata lain permasalahan
ini berkaitan dengan pilihan apakah yang dimaksud dengan desentralisasi adalah
desentralisasi administratif belaka atau harus dimaknai sebagai pemerintahan
sendiri (zelfstandige atau zelfbestuur). Dalam konteks mengimplementasikan
desentraliasi di Hindia Belanda kedua makna tersebut masih tumpang tindih tanpa
ada pembeda yang jelas. Pada kenyataannya desentralisasi hanya menyangkut
pemerintahan lokal, desa, atau kota, maka seringkali disebut dengan desentralisasi
kecil (kleine decentralisatie). Di kota dan di desa tertentu dibentuk dewan
perwakilan (raden), yang tetap didominasi oleh orang Eropa, khususnya Belanda.40
Pada bulan Oktober 1904 Joannes Benedictus van Heutsz diangkat menjadi
gubernur jenderal di Hindia Belanda. Ia meneruskan program desentralisasi dengan
penuh semangat karena yakin bahwa dalam zaman baru itu Hindia-Belanda hanya
akan dapat dipertahankan kalau diperintah dengan teguh. Program desentralisasi itu
berlanjut sampai pemerintahan van Heutsz yang berakhir pada 1909. Di pihak lain,
39 Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda: Kebijakan dan upaya sepanjang babak akhir kekuasaan kolonial di Indonesia tahun 1900-1940 (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), 13.
40 Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), 194.
-
55
van Heutsz melancarkan desentralisasi dengan cara yang tidak seperti dibayangkan
sebelumnya, yakni dari daerah ke kota. Ia mulai dari Batavia, Jatinegara, dan Bogor
pada tahun 1905. Di berbagai tempat di Jawa dan luar Jawa dibentuk satuan
pemerintahan lokal baru (gemeenten) pada 1906. Pada 1908, sudah berdiri Dewan
Daerah (gewestelijke raden) untuk tiap keresidenan di Jawa. Pada 1909, menyusul
dewan serupa untuk wilayah Medan dan kawasan perkebunan (cultuurgebeid).
Pada 1914, Gubernur Jenderal Simon de Graaff, merancang Hindia Belanda akan
terdiri dari 12 wilayah pemerintahan (gouverneurmenten) dengan sumber keuangan
sendiri, masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur. Inilah yang nantinya
dikenal sebagai program desentralisasi besar (grote decentralisatie). Namun
demikian, dewan-dewan kota dan daerah yang dibentuk selama program
desentralisasi tersebut ternyata tidak efisien sehingga diganti dengan dewan
kabupaten (regentschapraden) tahun 1920.
5.2. Ambtenaren41 menurut Decentralisatie Wet 1903
Menurut Decentralisatie Wet 1903, struktur tata pemerintahan kolonial
tetap bersifat hierarkis-feodal dengan bertulang-punggungkan pegawai-pegawai
negeri kolonial, yaitu Binnenlandsch Bestuur dan Pamong Praja. Pertama,
Binnenlandsch Bestuur adalah administrator pemerintahan yang diselenggarakan di
tanah jajahan Hindia Belanda dengan pegawai-pegawai pemerintah kolonial
(ambtenaren) yang seluruhnya terdiri dari orang-orang Eropa, khususnya Belanda.
41 Dalam hal penyebutan pegawai-pegawai pemerintah kolonial (ambtenaren) dibedakan
dalam dua penyebutan, yang tergolong Binnenlandsch Bestuur adalah residen, asisten residen dan kontrolir – yang berkewargaan Eropa dan Indo-Eropa; sedangkan yang tergolong Pamong Praja adalah bupati, wedana, asisten wedana, dan kepala-kepala desa – yang berkewargaan Bumiputera.
-
56
Kedua, Pamong Praja adalah juga bagian dari administrator pemerintahan kolonial
di Hindia Belanda dan diakui sebagai pegawai pemerintah kolonial (ambtenaren)
yang seluruhnya terdiri dari kaum bangsawan dan aristokrat Bumiputera. Dalam
struktur pemerintahan seperti ini, para Pamong Praja berkedudukan di bawah
Binnenlandsch Bestuur.
Hubungan tata pemerintahan kolonial seperti ini didasarkan pada sistem
kelas sesuai dengan struktur sosial yang berlaku saat itu, yaitu: kaum bangsa Eropa
(dan Indo-Eropa), kaum bangsa Bumiputera, dan kaum bangsa Timur Asing.
Bahwa dalam tata pemerintahan dalam negeri di Hindia Belanda terdapat
suprastruktur berdasarkan atas eksistensi bangsa asing sebagai penjajah. Dengan
demikian dalam tata pemerintahan yang baru pun tetap terjalin hubungan kolonial,
yaitu hubungan superordinasi dan subordinasi.42 Binnenlandsch Bestuur yang
adalah penduduk Eropa dan Pamong Praja yang adalah penduduk Bumiputera
merupakan dua dunia pemerintahan yang secara asasi berbeda dan terpisah, masing-
masing tampil dengan alam kehidupannya sendiri yang khas. Binnenlandsch
Bestuur adalah personifikasi pemerintahan Barat yang telah berperadaban maju
dengan kekuatan ekonominya, dan berkuasa berdasarkan otoritas formal kolonial
untuk mengatasi orang-orang Bumiputera yang dianggap masih hidup terbelakang
dan tak berperadaban. Sedangkan, para Pamong Praja adalah gambaran penduduk
Bumiputera, sekalipun memperoleh sejumlah pengaruh peradaban dari orang
Eropa/Barat, namun yang tetap memiliki kewibawaan dari masyarakatnya sehingga
42 A. Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial
(Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, 1969), 46.
-
57
mempunyai pengaruh yang sentral dan otoritatif untuk mengendalikan masyarakat
di Jawa sampai ke wilayah pedesaan.
Akan tetapi, hal yang pokok dalam gagasan pembaruan administrasi
pemerintahan adalah diberikannya peranan yang lebih besar bagi penduduk
Bumiputera masuk dalam pemerintahan kolonial. Ini berarti para Pamong Praja
benar-benar telah menjadi bagian utuh dalam hierarki birokrasi. Inilah salah satu
wujud yang tampak dalam semangat desentralisasi. Kekuatan kolonial tidak
memperlemah golongan itu, bahkan dalam banyak hal memperkuatnya sehingga
timbullah semacam feodalisasi baru. Politik kolonial menjadi paradoksal dalam arti
bahwa pada satu pihak politik kolonial bermaksud memodernkan birokrasi
kolonial, tetapi di pihak lain memperkuat posisi kaum bangsawan dengan
memantapkan feodalisasi.43
Meskipun demikian sampai pada tahun 1918, 15 tahun sejak Decentralisatie
Wet 1903 berlaku, jumlah orang Eropa yang menduduki kursi keanggotaan dewan
daerah masih sangat dominan. Dari 388 anggota 15 gewesten (kabupaten) dan
gemeente raden (kotamadya) yang ada di Jawa, mulai dari Banten dan Batavia
sampai Madiun dan Kediri, terdapat 283 (72%) di antaranya adalah orang-orang
Eropa.44 Dari gambaran tersebut tampak nyata betapa besarnya dominasi orang-
orang Eropa dalam dewan, yang diharapkan bisa bekerja untuk kepentingan
daerahnya. Dominasi perwakilan dari golongan penduduk Eropa, yang mewakili
kepentingan para pemodal dan pengusaha besar, pada akhirnya timbul keraguan
43 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional
dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia, 1990), 95. 44 Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam, 31.
-
58
dalam komposisi yang tidak berimbang itu, dapatkah perwakilan Eropa itu dapat
memikirkan kepentingan penduduk Bumiputera. Dengan demikian, perlu usaha
lebih lanjut untuk memaksimalkan peran para pamong praja dalam pemerintahan
dewan di daerah.
5.3. Peranan Dewan Kabupaten menurut Decentralisatie Wet 1903
Pembentukan Dewan Kabupaten (Regentschapsraden) dilatarbelakangi
oleh kebijakan pemerintah kolonial yang lain. Dewan Kabupaten adalah badan
perwakilan, yang bertugas untuk mengikutsertakan semua golongan dalam
masyarakat dalam menerapkan praktik pemerintahan. Dalam suasana kebijakan
desentralisasi, pengalihan dari tangan residen (representasi kekuasaan kolonial) ke
tangan Dewan Kabupaten (Regentschapsraden), yang merupakan representasi
Bumiputera, dipandang sebagai langkah yang tepat. Kabupaten (regentschap)
haruslah diberi kewenangan otonomi lewat kebijakan desentralisasi, yaitu dengan
suatu Dewan Kabupaten yang dibentuk guna membuka peluang kepada penduduk
Bumiputera setempat agar dapat mengontrol jalannya pemerintahan setempat yang
berada dalam kewenangan hukum Bumiputera.45 Desentralisasi pada tingkat
kabupaten akan lebih mendekatkan kebijakan-kebijakan pemerintahan kolonial
kepada alam kesadaran penduduk Bumiputera dan mengurangi kesan bahwa
pemerintahan kolonial sesungguhnya merupakan pemerintahan asing. Dalam
kenyataan seperti itu, pengembangan golongan-golongan yang duduk dalam Dewan
45 Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam, 92.
-
59
Kabupaten didominasi oleh para Pamong Praja, dan Dewan Kabupaten
(Regentschapsraden) diketuai oleh seorang Bupati (Regent).46
Dewan Kabupaten bersidang sekali setahun untuk menetapkan anggaran,
dan pada waktu lain jika diperlukan bisa dilakukan tiga atau empat kali. Pada saat
sidang paripurna pekerjaan dibagi-bagi di antara komite-komite, seperti Peraturan
Daerah, Pekerjaan Umum, dan Pasar. Pemasukan anggaran pemerintahan biasanya
terutama terdiri dari sewa pasar dan hibah dari pemerintah, dan pajak-pajak lainnya.
Pengeluaran anggaran selain untuk kebutuhan operasional daerah terutama juga
untuk kepentingan jalan umum, perlindungan kebakaran, dan pemakaman. Dewan
Kabupaten memiliki hak atas urusan-urusan yang ada di desa di seluruh kawasan
wilayahnya.
5.4. Eksistensi Desa menurut Decentralisatie Wet 1903
Dalam pengembangan Decentralisatie Wet 1903, untuk menanggapi
kepentingan kehidupan penduduk Bumiputera di desa-desa, disusunlah peraturan
dengan ordonansi khusus bernama De Inlandsche Gemeente Ordonantie tahun
1906 (Staatsblad No. 83, tahun 1906).47 Ordonansi ini dimaksudkan untuk
mengatur pengelolaan masyarakat pedesaan Bumiputera. Ordonansi ini berisikan
20 pasal, terbagi dalam empat bagian untuk mengatur urusan organisasi dan
pendapatan desa, penyelenggaraan administrasi desa dan pertanggungjawabannya,
pengelolaan harta milik dan kekayaan desa, serta penyelenggaraan kerja-kerja
46 B.P. Paulus, Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda (Bandung: Penerbit
Alumni, 1979), 63. 47 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 119.
-
60
untuk kepentingan negara, atau untuk apapun yang oleh warga desa dianggap
penting bagi kemajuan desa.
Pengakuan pemerintah kolonial atas keberadaan desa beserta segala adat,
kebutuhan, dan kepentingannya telah mengukuhkan juga kewenangan kepala desa.
Desa dalam tatanan hukum kolonial diposisikan sebagai subjek hukum yang
memiliki hak dan kewajiban, dengan kepala desa sebagai penanggungjawabnya.
Bahkan, desa juga diakui hak kepemilikannya atas harta kekayaan, khususnya
berupa tanah komunal masyarakat desa. Terdapat sembilan asas hukum
pemerintahan desa yang terdapat dalam De Inlandsche Gemeente Ordonantie
1906:48 (1) Kedudukan para kepala desa diakui resmi oleh pemerintah kolonial; (2)
Jabatan kepala desa harus diperoleh melalui suatu pemilihan; (3) Pendapatan kepala
desa dan pembantu-pembantunya akan diperoleh berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku; (4) Pengelolaan pemerintahan desa diserahkan kepada kepala desa
berdasarkan aturan-aturan yang akan menjamin pelaksanaan yang baik; (5) Ada
sejumlah orang yang ditentukan untuk boleh berkumpul mengenai persoalan-
persoalan desa; (6) Kepala desa akan mewakili desanya di luar maupun di dalam
setiap perkara hukum; (7) Harta kekayaan komunal harus dijaga dan dipertahankan
adanya; (8) Kerja-kerja wajib (tanpa dibayar) untuk kepentingan desa memperoleh
dasar pembenaran dan membuka kemungkinan pembebanan-pembebanan lain oleh
desa; dan (9) Pejabat yang berkedudukan lebih atas (Bupati atau Dewan Kabupaten)
dapat turun tangan mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kewenangan yang
ada pada kepala desa.
48 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 120.
-
61
6. Kesimpulan
Dinamika sosial politik yang terjadi dalam perkembangan kebijakan,
hukum, peraturan, dan ketentuan yang berlaku di Hindia Belanda pada era
Pemerintahan kolonial Hindia Belanda (periode 1854-1920) memberikan gambaran
perubahan dan pembaruan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Perkembangan
tahapan-tahapan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan liberalisme yang
mencoba membuka peluang lebar untuk menerapkan model-model Eropa guna
diterapkan di daerah jajahan. Namun, kebijakan yang juga alih-alih hendak
menjamin perlindungan kepentingan penduduk Bumiputera, justru menghasilkan
pola-pola kebijakan yang memprioritaskan kepentingan kolonial. Aktor-aktor yang
terlibat dalam penetapan kebijakan-kebijakan kolonial di bidang pemerintahan
adalah tokoh-tokoh berperadaban Eropa dan berkebangsaan Belanda, dengan tugas
dan tanggung jawabnya untuk menangani daerah jajahan pada pilihan-pilihan yang
mempertimbangkan eksistensi dan esensi peradaban Barat.
Pemberlakuan kebijakan-kebijakan kolonial, sejak cultuurstelsel 1830,
pemberlakuan Regeringsreglement 1854, Agrarisch Wet 1970, dan Decentralisatie
Wet 1903, menjadi konteks situasi sosial, politik, dan hukum selama periode
tersebut. Kebijakan-kebijakan kolonial itu memfokuskan pada tiga pokok bahasan:
(1) perihal kebijakan pemerintah dalam hal menetapkan kaidah-kaidah hukum yang
harus dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Hindia Belanda; (2) perihal
perkembangan lembaga-lembaga kenegaraan yang ditetapkan sebagai penegak
kaidah-kaidah hukum tersebut; dan (3) perihal personil-personil penyelenggara
pemerintahan yang merawat dan menjalankan sistem yang sedang berlaku.