Huraikan Perkembangan Ekonomi Sabah Dan Sarawak Pada Abad Ke
BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode...
Transcript of BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode...
13
BAB II
KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX
Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan
mendasar di berbagai sektor di Surakarta dengan beragam penyebab.Pada tahun
1870-an, merupakan tonggak penting dalam sejarah ekonomi investasi Hindia
Belanda terutama Surakarta.Masa itu, secara serentak lahan (tanah) dibuka, arus
modal mulai muncul.Harapan para kaum liberal dengan dibukanya lahan
penggarapan mempunyai tujuan demi pembebasan kehidupan ekonomi.Dengan
dibukanya lahan, arus modal semakin lancar diikuti dengan hasil perkebunan yang
mengalami peningkatan.Namun, hasil perkebunan yang maksimal tidak
tersalurkan secara baik.Penyebabnya, jalinan transportasi dari tempat penghasil ke
pelabuhan belum memadai. Maka dari itu dibangunlah jalur kereta api Semarang-
Vorstenlanden. Bagi ekonomi kota, pembangunan trem turut meramaikan
mobilitas ekonomi perkotaan.
Keberadaan kereta api dan trem tengah kota mereduksi peran sungai
sebagai jalur transportasi dagang kala itu. Kegiatan perekonomian yang
semestinya di bandar (pinggir sungai beralih ke jantung kota, yakni pasar. Warna
ekonomi lain lahir akibat kemunculan cantingsebagai alat produksi batik
yangmenghidupkan geliat ekonomi yang berbasis kerajinan dan kesenian
masyarakat kota Surakarta. Ekonomi kota Surakarta semakin kompleks
disebabkan oleh komposisi penduduk dan fasilitas kota. Dalam bab ini, akan
14
diuraikan fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan ekonomi kota Surakarta akhir
abad XIX.
A. Agrarische Wet dan Modal Swasta
Tanah merupakan objek sentral dalam pertumbuhan dan perkembangan
modal usaha di wilayah kolonial.Selain sebagai sumber kehidupan bagi hampir
seluruh penduduk dengan perkecualian minoritas kecil yang menggantungkan
sumber penghasilannya dari air atau laut, tanah juga menjadi simbol kelimpahan
materi dan posisi dominan baik bagi individu maupun kelompok dalam struktur
sosial.Oleh karena itu, penguasaan tanah menjadi suatu langkah yang penting dan
strategis bukan hanya untuk menjamin sumber penghasilan tetapi juga secara
politis untuk menguasai individu yang bermukim di atasnya atau tergantung pada
tanah itu.1
Baik pemerintah kolonial maupun pemodal swasta sangat memahami arti
penting tanah.Dengan kewenangan mengeluarkan peraturan menyangkut tanah,
setidaknya di wilayah kekuasaannya secara langsung, pemerintah Hindia Belanda
juga memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan usaha dan corak eksploitasi
demi kepentingan ekonomi yang berlaku di tanah koloni. Sampai tahun 1870,
kebijakan pemerintah kolonial tetap bertumpu pada satu paradigma: bagaimana
mengeksploitasi tanah koloni demi kepentingan dan keuntungan negara induk.
1Tanah memiliki nilai strategis karena dengan menguasainya, penguasatanah bukan hanya menguasai sumber daya yang dikandung di dalamnya namunjuga berpotensi untuk mengubah struktur sosial yang ada dan bertumpu padatanah itu.Lihat Paolo De Castro, The Politics of Land and Food Scarcity, (Oxon:Routledge, 2013), hlm. 2. Lihat Tim Penulis Kementerian Badan Usaha MilikNegara Republik Indonesia, Sejarah Nasionalisasi Aset-aset BUMN, (Jakarta:Kementerian Badan Usaha Milik Negara, 2014), hlm. 29-30.
15
Meskipun terdapat perubahan dan pergantian kebijakan sehubungan dengan
eksploitasi ekonomi dan peningkatan produktivitas tanah koloni, prinsip tetap
tidak berubah, yaitu bahwa Negara merupakan pihak yang paling bertanggung
jawab untuk mendapatkan keuntungan sekaligus membawa masyarakat koloni
pada tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.2
Gagasan untuk memberi ruang ekonomi (tanah) terhadap masyarakat
koloni di Hindia Belanda didukung penuh oleh kalangan liberal. Tujuan utama
gerakan kaum liberal di bidang agrarian adalah :
1). Agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh
pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom), untuk memungkinkan
penjualan dan penyewaan. Sebab, tanah-tanah dibawah hak komunal
ataupun kekuasaan adat, tidak dapat dijual atau disewakan keluar,
2). Agar azas domein itu, pemerintah memberikan kesempatan kepada
pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah dalam jangka panjang dan
murah (yaitu: erfpacht).3
Demi meraih tujuan tersebut, maka pada tahun 1865 Menteri Jajahan
(Koloni) Frans van de Putte, seorang penganut paham liberal, mengajukan
Rencana Undang-Undang (RUU). Isi RUU diantaranya adalah bahwa Gubernur
2 Dalam hal ini tanah koloni bukan hanya wajib untuk mengirimkansebagian produknya sebagai upeti kepada negara induk, khususnya dari sektorproduksi agrarisnya tetapi juga koloni juga harus menanggung utang dan bungadari negara induk kepada pihak lain. Meskipun bunga tidak dibebankan langsungmelainkan dikurangkan pada jumlah setoran kepada Belanda, semua itu dianggapsebagai beban dan tanggungjawab koloni.Tim Penulis Kementerian Badan UsahaMilik Negara, Ibid.,hlm.31.
3 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir,(Yogyakarta: Insist Press, 2000), hlm. 125-126.
16
Jenderal akan memberikan hak erfpacht selama 99 tahun; hak milik pribumi
diakui sebagai hak milik mutlak (eigendom); dan tanah komunal dijadikan hak
milik perseorangan eigendom. Dalam kenyataannya, RUU yang diajukan oleh
Menteri van de Putte ditolak oleh rekan sesama penganut liberal, Thorbecke.
Menteri van de Putte akhirnya jatuh karena dianggap terlalu tergesa-gesa
memberikan eigendom kepada pribumi.Sedangkan hal-hal yang mengenai sistem
agraria di Indonesia belum diketahui secara menyeluruh.Dengan latar belakang
tersebut, pada tahun 1866-1867 pemerintah koloni mengadakan suatu proyek
penelitian tentang hak penduduk Jawa atas tanah.Penelitian ini dilakukan di 808
desa di Jawa dan menghasilkan laporan dalam tiga jilid berbeda. Tahun 1876;
1880, dan 1896, berjudul :Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van
den Inlander op de Grond (biasa disingkat : Eindresume).
Pada kenyataannyapemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil dari
penelitian yang telah dilakukan.Menteri Jajahan (Koloni) yang baru, Menteri de
Waal, mengajukan RUU yang akhirnya diterima oleh Parlemen.4Nama RUU ini
dengan tegas disebutkan sebagai ontwerp Agrarische Wet (RUU Agraria).5Dalam
konsep RUU ini ada dua pokok agenda, yakni kepemilikan tanah oleh penduduk
dan pelepasan tanah sebagai bentuk persewaan (erfpacht). Setelah melalui proses
pertimbangan yang panjang, UU ini kemudian disahkan oleh parlemen pada
tanggal 9 April 1870 yang dikenal dengan Agrarische Wet.6
4Ibid.,hlm. 35.
5 Tim Penulis BUMN, op.cit.,hlm. 35.
6 Pada dasarnya Agrarische Wet ini sendiri hanya terdiri atas beberapapasal karena difungsikan sebagai pelengkap dari Regeerings Reglement (RR)
17
Ketentuan-ketentuan di dalamnya, pelaksanaannya diatur dalam berbagai
peraturan dan keputusan.Salah satu keputusan penting yaitu yang dikenal dengan
Agrarisch Besluiten yang diundangkan dalam Staatsblad No.118, 1870. Pasal 1
dariAgrarisch Besluit inilah yang penting karena mengandung pernyataan yang
cukup dikenal dengan Domein Verklaring, yang menyatakan bahwa:“…semua
tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak (eigendom),
adalah domein negara.”7
Dengan demikian, tahun 1870 merupakan tonggak yang sangat penting
dalam sejarah agraria.Semenjak berlakunyaAgrarische Wet serentak lahan dibuka
dan modal swasta mulai masuk ke Hindia Belanda.Harapan kaum liberal adalah
pembebasan kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintahan serta
penghapusan segala unsur paksaan dari kehidupan ekonomi akan mendorong
perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Harapan ini tercapai, khususnya dalam
hal perkembangan industri-industri ekspor yang berjalan dengan pesat.Di bawah
UU Agraria 1870, para pengusaha Belanda lainnya dapat menyewa tanah dari
penduduk Jawa atau dari pemerintah Hindia Belanda untuk perkebunan-
perkebunan besar.Sektor yang mengalami perkembangan pesat adalah gula, yang
yang telah diundangkan pada tahun 1854. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayatditambahkan kepada 3 ayat dari pasal 62 RR tersebut di muka, sehingga menjadi 8ayat, di mana satu diantaranya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akanmemberikan hak erfpacht selama tahun 75 tahun (jadi bukan lagi 99 tahun sepertiRUU van de Putte yang telah ditolak sebelumnya). Pasal 62 RR dengan delapanayat ini kemudian menjadi atau dijadikan pasal 51 dari Indische Staatsregeling(IS).Agrarische Wet juga diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No.55, 1870. Lihat Gunawan Wiradi, op.cit.,hlm. 128, juga dalam Tim PenulisBUMN, ibid.,hlm. 35.
7Domein negara artinya milik mutlak dari Negara. Gunawan Wiradi,ibid.,hlm. 128
18
termasuk barang dagangan ekspor yang penting dari Hindia Belanda pada waktu
itu.Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah yang besar, perkebunan-
perkebunan gula dan perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan
perlengkapan lainnya, hal yang telah meningkatkan produktivitas perkebunan-
perkebunan ini.Misalnya dalam hal perkebunan-perkebunan gula, perluasan dan
kemajuan-kemajuan teknis yang diintroduksi dalam industri ini mengakibatkan
kenaikan produksi yang pesat, seperti ternyata dari angka-angka berikut. Dalam
tahun 1870 luas tanah di Pulau Jawa yang ditanami gula berjumlah 54.176 bahu,
sedangkan dalam tahun 1900 jumlah itu meningkat sampai 128.301 bahu. Di lain
pihak, produksi gula meningkat lebih pesat lagi, yaitu dari 2.440.000 pikul dalam
tahun 1870 hingga 12.050.544 pikul dalam tahun 1900.8
Modal swasta yang masuk Vorstenlanden mulai terjadi pada dekade 1850
dan 1860-an. Masuknya modal ini bersamaan dengan tekanan dari pihak swasta
kepada pemerintah kolonial untuk membuka wilayahnya.Akhirnya, pemerintah
kolonial mengizinkan pihak Eropa untuk menanamkan modalnyadi Vorstenlanden
meski orang Cina dilarang untuk menyewa tanah disana.Perubahan terjadi secara
cepat di Vorstenlanden.Solo pada periode tahun 1855, pemilik perkebunan Eropa
menyewa tanah 33.000 lahan. Jumlah tanah yang disewa tahun 1860 meningkat
menjadi 160.000 bau, dan kemudian mencapai 200.000 bau tahun 1864. Namun,
8 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, SejarahNasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 2008), hlm. 376-377.
19
perkembangan penyewaan tanah di wilayah Vorstenlanden mengalami perbedaan
dengan Yogyakarta.Penyewaan tanah di Yogyakarta lebih lambat daripada Solo.9
Tabel 1Tanah yang Disewakan kepada Perkebunan Eropa
di Yogyakarta dan Surakarta, 1862-1920 (dalam bau)
Sumber :Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 1410
Selain berbedanya jumlah lahan yang disewa, diversifikasi tanaman yang
ditanam di wilayah-wilayah tersebut juga terjadi. Sebagai contoh, pada tahun
1870 terdapat 137 perkebunan beroperasi di Solo, 73 diantaranya menanam kopi
9Lihat dalam Grup Riset Kebanksentralan, Sejarah dan Heritage KantorPerwakilan Bank Indonesia Solo, (Jakarta: Pusat Riset dan Edukasi Bank SentralBank Indonesia, 2014), hlm. 23.
10 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 14
Tahun Surakarta Yogyakarta
1862 - 46.000
1864 200.000 -
1875 248.000 78.000
1880 301.000 88.000
1890 259.000 93.000
1905 273.000 93.000
1900 246.000 89.000
1905 245.000 85.000
1910 235.000 95.000
1915 214.000 97.000
1920 183.000 102.000
20
atau kombinasi dengan beberapa tanaman lain, 31 diantaranya menanam tebu, 30
indigo dan 19 tembakau. Pada tahun yang sama, hanya ada 58 perkebunan di
Yogyakarta, dengan 46 diantaranya menanam indigo, 8 tebu dan 6 tembakau.11
Perkebunan milik Eropa di Vorstenlanden mengalami kemunduran pada
pertengahan dekade 1880-an. Keadaan ini menjadikan titik balik perkembangan
perkebunan Eropa.Pada tahun sebelum depresi, perkebunan yang dimiliki dan
dikelola oleh pengusaha swasta Eropa secara pribadi yang bertanggung jawab
hanya pada dirinya.Mereka menyewa tanah dan menjalankan perkebunan dengan
modal yang mereka pinjam dari lembaga keuangan. Bank perkebunan (Culture
Bank) yang paling aktif di Vorstenlanden saat itu adalah Dorrepaal Co., yang pada
1884 membiayai 21 perkebunan tebu, 38 perkebunan kopi, dan 53 perkebunan
lainnya di wilayah vorstenlanden.12Pasca krisis gula tahun 1884, perusahaan-
perusahaan di Hindia Belanda kembali menata perekonomiannya.Praja
Mangkunegaran yang memiliki perkebunan gula pun terkena imbas dari krisis
tersebut.Tahun 1883 Mangkunegaran memiliki capital sebesar 25 juta gulden, tapi
sekitar 1887 semuanya telah hilang.Hal ini menyebabkan kas istana terpaksa
didukung oleh pemerintah Hindia Belanda sebesar f 100.000.13
11Kolonial Verslag, 1871, lihat juga Takashi Shiraishi, ibid., hlm. 12.Lihat dalam Grup Riset Kebanksentralan, op.cit.,hlm. 24.
12 Takashi Shiraishi, ibid.,hlm. 13. Lihat dalam J.S. Furnivall, NetherlandsIndia: A Study of Plural Economy, (Cambridge: Cambridge University Press,1944), hlm. 197-198. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia, J.S. Furnivall, HindiaBelanda Study tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009).
13Dalam penelitian Wasino menguraikan, sebagai akibat defisit ekonomi,terjadi campur tangan Pemerintah Hindia Belanda di Praja Mangkunegaran yangsaat itu bertakhta Mangkunegara V. Otonomi pengelolaan uang tereduksi sejakResiden Surakarta ikut campur dengan bantuan Superintendent.Larsson
21
B. Pembangunan Jalur Kereta Api
Hasil perkebunan yang melimpah di pedalaman Pulau Jawa tidak mampu
diangkut secara maksimal.Keadaan jalan raya yang kurang memadai dan kondisi
lahan antara Semarang-Solo (Vorstenlanden) yang berbukit menjadikan distribusi
semakin sulit.Pengangkutan komoditas ekspor dari Vorstenlanden ke pelabuhan
Semarang diperlukan satu-dua minggu lamanya.Jangka waktu yang demikian
berakibat pada komoditi yang diangkut mengalami kerusakan. Kondisi yang
kurang menguntungkan ini menghambat perkembangan perdagangan dan industri,
maka dari itu sangat dibutuhkan revolusi komunikasi dan transportasi yakni
pembangunan jalur kereta api.14
Desakan pembangunan transportasi muncul dari kaum pemodal swasta
sebagai motor perdagangan. Mereka menuntut pemerintah kolonial untuk segera
merealisasi pembangunan jalur kereta api guna mengatasi masalah transportasi,
terutama pengangkutan produk tropis dari perkebunan menuju pelabuhan.15
menyatakan bahwa hutang dari Mangkunegaran bahkan mencapai setengah jutagulden. Namun, pada Januari 1916 keuangan Mangkunegaran telah baik danmemiliki modal sebesar 9,5 juta gulden. Wasino, Modernisasi di Jantung BudayaJawa : Mangkunegaran 1896-1944, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2014), hlm. 56.LihatGeorge Larsson,Masa Menjelang Revolusi : Kraton dan Kehidupan Politikdi Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: UGM Press, 1990), hlm. 93. Susanto, “JatiDiri Kota Solo: Problematika Sebuah Kota di Jawa”, dalam Sri Margana danM.Nursam (editor), Kota-kota di Jawa, Identitas, Gaya Hidup dan PermasalahanSosial, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 41; Grup Riset Kebanksentralan, op.cit.,hlm. 44.
14 Waskito Widi Wardojo, Spoor Masa Kolonial : Dinamika SosialEkonomi Masyarakat Vorstenlanden 1864-1930, (Solo: Bukutujju, 2013), hlm.11.
15 Waskito Widi Wardojo, ibid. Lihat pula Vincent J.H. Houben, Kratondan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, (Yogyakarta: PenerbitBentang, 2002), hlm. 568.
22
Pada tahun 1860 muncul adanya pemikiran pembuatan jalur kereta api di
Jawa dengan melewati daerah Vorstenlanden.16Tepatnya, tanggal 10 Agustus
1867, N.V.Nederlandsch Indische Spoorweg Maatscahppij (NISM), yang
merupakan perusahaan kereta api swasta Belanda yang memang bergerak khusus
di bidang perkeretaapian dan dipimpin oleh Ir.J.P de Bordes, meresmikan jalur
kereta api Tanggung-Semarang. Jalur tersebut adalah jalur kereta api pertama
yang berdiri di Nusantara, dalam hal ini khususnya Pulau Jawa. Empat tahun
berselang, NISM mengoperasikan jalur kereta api jurusan Semarang-Solo,
melewati Tanggung, Kedungjati dan Grobogan. Jalur ini berjarak 90
kilometer.17Pembangunan kereta api Semarang-Vorstenlanden sekaligus dapat
membuka hubungan antar daerah hingga daerah pedalaman yang sebelum dibuka
jalur kereta api masih terhalang oleh keadaan alam. 18
Jalur kereta api Semarang-Solo (Vorstenlanden) terbagi dalam tiga bagian
utama. Pertama, jalur Semarang-Surakarta yang sebagian besar melewati wilayah
tandus seperti Kedungjati, Gundih, Lawang, dan Kalioso. Wilayah ini memiliki
potensi kayu jati yang mampu dimanfaatkan untuk bantalan rel kereta api.Kedua,
jalur Solo-Yogyakarta adalah daerah subur tempat berdirinya perusahaan
perkebunan, sebagai contoh Colomadu, Bangak, Wedi, Delanggu, Ceper, Klaten
dan Prambanan.Ketiga, jalur antara Kedungjati-Ambarawa, yang merupakan
16 Suhartono, Apanage dan Bekel,Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta1830-1920,(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1991),hlm. 16-18.
17 Grup Riset Kebanksentralan, op.cit., hlm. 38.
18Auditya Martin,”Transportasi Kereta Api dalam Pembangunan KotaSolo Tahun 1900-1940”.Skripsi. (Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastradan Seni Rupa, UNS, 2010). hlm. 59-60
23
bagian dari rencana kolonial dalam aspek pertahanan.Ambarawa yang dikenal
sebagai Willem I adalah lokasi benteng kolonial berfungsi basis
pertahanan.Ketiga jalur tersebut tersambung dengan jalur lainnya, seperti Solo-
Surabaya, Boyolali-Solo-Wonogiri, Yogyakarta-Magelang, maupun Yogyakarta-
Cirebon-Batavia dan Yogyakarta Cilacap.19
Pada tanggal 21 Mei 1873, keseluruhan jalur sepanjang 203 kilometer
antara Semarang-Vorstenlanden dibuka bagi lalu lintas dan keperluan umum. Ini
merupakan awal jalur kereta api ke Vorstenlanden di Jawa Tengah dengan
persinggahan di kota Solo dan Yogyakarta.20Dengan demikian mobilisasi
dipastikan mampu berjalan efektif dan optimal. Pada tahun 1875, jalur kereta api
tersebut mengangkut 899.000 penumpang dan 124.000 ton barang dagangan dan
meraih pendapatan sebesar 2 juta gulden. Lima tahun kemudian, tahun 1880, jalur
kereta api tersebut mampu menangkut 950.000 penumpang dan 334.000 ton
barang dagangan dan menghasilkan 2,6 juta gulden. Fakta tersebut membuktikan
bahwa dalam jangka waktu lima tahun jumlah barang dagangan yang diangkut
dengan menggunakan kereta api melonjak naik sebesar 270 persen.21
Hubungan perdagangan Solo (Vorstenlanden) dengan daerah lain semakin
intensif. Keadaan ini didukung dengan pembuatan jalur kereta api di sisi timur
yang secara langsung dikelola oleh Staatspoorwegen (SS) sebagai perusahaan
negara pada tahun 1884.Jalur ini memudahkan transportasi antara Solo dengan
Surabaya. Pada 1895, jalur sebelah barat dan timur yang dikelola SS dan jalur
19 Waskito Widi Wardojo, op.cit.,hlm. 15-16.
20Ibid.,hlm. 62.
21 Takashi Shiraishi, op.cit.,hlm. 11.
24
Semarang-Vorstenlanden yang dikelola NIS mengangkut sejumlah 5.759.000
penumpang dan memperoleh pemasukan sebesar 3.054.000 gulden dari
pembayaran penumpang dan 6.588.000 gulden dari pengangkutan barang-barang
dagangan.22
Intensitas mobilisasi perdagangan dan transportasi tidak hanya terjadi
antara Solo dengan daerah sekitar. Namun, keberadaan kereta api juga
berpengaruh terhadap mobilisasi di jantung kota.Setelah pembukaan kereta api
Semarang-Solo (Vorstenlanden), kota Solo memiliki dua buah stasiun milik
NISM. Kedua stasiun itu ialah stasiun Balapan dan Purwosari. Menyusul
kemudian dibangun stasiun Jebres milik SS seiring dengan dibukanya jalur kereta
api jurusan Solo-Madiun 1880 dan stasiun kota oleh Solosche Tramweg
Maatschappij (STM).23
Trem kota Solo pada awalnya dibangun oleh Solosche Tramweg
Maatschappij pada 1892. Trem untuk transportasi umum ini memulai jalur
perjalanan dari tengah kota, yaitu berawal dari halte depan benteng Belanda
Vastenburg. Kereta api melaju serta berhenti pada setiap pos (halte) untuk
keperluan menaik-turunkan penumpang, trem kemudian berjalan ke selatan terus
belok ke barat sampai Purwosari. Pemberhentian selanjutnya di kampung
Kauman, berlanjut ke kampung Derpoyudan sebelah barat Nonongan, melintasi
jalan besar (Wilhelminastraat) terus ke barat menuju halte Purwosari. Disini
kereta api bisa berpapasan dengan kereta api dari arah barat jalannya kereta api
22Ibid.
23 Waskito Widi Wardojo, op.cit.,hlm. 70-71.
25
tadi sepanjang jalan besar selatan ke barat berhenti lagi di Bendha depan
Sriwedari. Terus ke barat sampai Pesanggrahan (dulu rumah Ngadisuryan) terus
belok ke utara memotong jalan besar (Purwosariweg) sampai tiba di Stasiun
Purwosari baru berhenti.24Perjalanan trem tidak hanya berhenti di Purwosari,
berlanjut dari Purwosari ke Kartasura.
Dari Purwosari kereta terus ke barat sampai stasiun Gembongan. Di
Gembongan ada pabrik gula, jadi kereta api tadi sekalian melayani pegawai pabrik
yang akan berpergian ke Solo. Kereta api trem yang ditarik kapal atau kuda itu
terakhir berhenti di Desa Gembongan kereta api tadi hanya mempunyai satu
gerbong saja dan ditarik empat ekor kuda tiap 4 km diganti. Gerbong tadi hanya
berisi 20 orang, paling banyak 25 orang.25Melewati Kartasura, Bangak, kemudian
ke Boyolali dengan cabangnya pabrik gula Bangak dan Kartasura. Kemudian dari
pasar Boyolali menuju pasar Sunggingan.Pada 1896 terminal Bangak dihapus
karena digantikan oleh halte Banyudono, sementara trem masih terus sampai
Boyolali.
Tujuan utama dari pembangunan trem dalam kota adalah melayani
keperluan para penyewa tanah. Oleh karena itu, trem yang ditarik kuda harga
tiketnya terbilang mahal.Penumpang dari trem tersebut orang-orang Belanda,
Timur Asing (warga Cina/Arab), priyayi dan pedagang yang mampu membeli
tiket trem yang tidak terjangkau orang pribumi.Jalur trem menggunakan kuda
dioperasikan pada tahun 1899.Sebelum adanya lokomotif bertenaga uap, kereta ini
24R.M. Sajid, Babad Sala, (Surakarta: Rekso Pustoko PuraMangkunegaran, 1984), hlm. 68.
25 Auditya Martin, op.cit.,hlm. 49. R.M Sajid, ibid.
26
ditarik oleh sejumlah 4 ekor kuda.Kapasitas kereta sekitar 20 orang penumpang,
mengingat kereta ini ditarik oleh kuda makasetiap 4 km harus diganti kudanya.26
Mengenai jumlah penumpang trem dalam kota di Solo tahun 1899,
disebutkan bahwa rute dari Purwosari-Javasche Bank mampu mengangkut
penumpang sejumlah 70.368 orang dan dari arah sebaliknya Javasche Bank-
Purwosari 80.506 orang. Sedangkan jalur yang melayani Javasche Bank-Jebres
8.366 orang penumpang dan Jebres-Javasche Bank 1,.284 orang. Sementara dari
Javasche Bank menuju ke berbagai jurusan di sepanjang tahun tercatat 252.666
orang, sedangkan untuk Purwosari ke berbagai arah 194.012 orang. Pada tahun
1899 itu tercatat 13 kali melayani perjalanan kereta api dari Purwosari ke
Javasche Bank dan berlaku ke semua tujuan. Bermula dari Javasche Bank untuk
menuju Purwosari dalam satu hari melayani 12 kali perjalanan.Dari Jebres menuju
Javasche Bank maupun sebaliknya berjumlah 6 kali perjalanan.27
Dalam sebuah iklan DNV pada 2 Januari 1899, diberitakan tentang jadwal
keberangkatan dan kedatangan trem. Digambarkan seorang pelancong yang tiba
dari Madiun di Stasiun Jebres pada jam 9.41 pagi berharap pergi ke Yogyakarta
pada hari yang sama dapat mengambil jalur kereta dari Jebres pada pukul 9.45
pagi dan mencapai Purwosari pada pukul 10.20 pagi. Kemudian seseorang yang
hendak menuju Yogyakarta pada pukul 11.30. Sebaliknya, seseorang yang tiba di
Purwosari dari Yogyakarta pada pukul 10.42, dapat berpergian menggunakan
26 Waskito Widi Wardojo, op.cit.,hlm. 72.
27 Kuntowijoyo, “The Making of a Modern Urban Urban Ecology: Socialand Economic History of Solo 1900-1915”. Dalam Lembaran Sejarah Vol. 3 No.1 Tahun 2000, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra , Universitas Gadjah MadaYogyakarta, hlm. 179.
27
kereta dalam kota pukul 10.45 dan tiba di Jebres pukul 11.25 dan jika ingin
melanjutkan perjalanan ke Madiun dapat menggunakan kereta api pada pukul
11.27.28
C. Ekonomi Jalur Air dan Darat
Pembukaan jalur kereta api yang mampu memobilisasi massa serta dagang
secara massif berdampak pada dua jalur transportasi lain. Moda transportasi darat
dan air menjadi tereduksi semenjak jalur kereta api mulai diaktifkan. Jalur air
(sungai) melalui Bengawan Solo yang sempat menjadi jalur utama untuk
menghubungkan Solo dengan daerah lain di sisi timur. Sekalipun mulai surut
fungsinya, aktivitas Bengawan Solo masih belum berhenti sepenuhnya. Sebuah
kisah Kampung Mojo membuktikan hal ini:
“Meskipun tepian Kampung Mojo itu sudah di luar kota, di daerahperkampungan yang miskin, akan tetapi ramai juga di tepian ituoleh orang-orang yang bertamasya. Di sana-sini banyak kedai kopi,di sebelah sana orang sedang bersampan-sampan. Di bawah pohon-pohon kayu yang rindang ada dipasangi bangku-bangku, dan disebelahnya ada pula kursi-kursi dan meja empat segi disediakanoleh rumah makan yang terletak tidak jauh dari tempat itu, untukmenarik perhatian para pengunjung tepian Bengawan Solo.Padasetiap hari Minggu kabarnya banyak orang datang di sini; anak-anak muda pun banyak. Datang membawa banjo atau mandolinbersenang-senang; malah kalau malam hari pada waktu terangbulan kabarnya lebih meriah lagi, karena diramaikan pula olehperempuan-perempuan jalang yang melakukan dinesnya... Sunyisenyap aman damai juga sepanjang sungai yang kami laluiitu.Kadang-kadang kami berselisih (berjumpa) lalu dengan kolekpenangkap ikan.Dengan sabar nelayan itu memasang pukatnya.”29
28 Kuntowijoyo, ibid. Waskito Widi Wardojo, op.cit.,hlm. 73.
29 Susanto, “Surakarta : Tipologi Kota Dagang”. Dalam DIAKRONIK Vol,2 No. 6 Januari 2005, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa,Universitas Sebelas Maret, hlm. 8.
28
Bengawan Solo berperan penting dalam roda perekonomian kota Solo
sebelum pengoperasian kereta api.Bengawan Solo merupakan jalur perdagangan
yang penting, tempat-tempat tepi sungai sebagai bandar yakni Semanggi, Beton,
Mojo dan Nusupan.30Aktivitas ekonomi sepanjang Bengawan Solo sangat
ramai.Sungai ini menghubungkan tempat-tempat strategis seperti Masaran,
Sragen, serta Bojonegoro. Pada masa sebelum pemindahan kraton Kartasura ke
Surakarta, Bengawan Solo telah disebut sebagai sungai yang berfungsi memasok
daerah tersebut dengan barang dagangan yang dibawa dari Jawa Timur melalui
jalur pelayaran sungai yang mengangkut barang komoditi impor ke desa Solo dan
sekitarnya.Selain itu, Bengawan Solo juga memilik peran untuk mengalirkan
potongan kayu jati dari daerah Ngawi dan Madiun ke Surabaya di samping
mengangkut komoditi dari Laweyan.31
Secara sektor ekonomi, Bengawan Solo memiliki peran sebagai media
transportasi kapal dan barang dagangan. Dalam kaitannya ini sumber Kolonial
menyebutkan bahwa pada abad 17-18 Bengawan Solo yang bermata air di
Wonogiri dan bermuara di Surabaya telah menjadi sarana transportasi
perdagangan penting bagi penduduk pedalaman (hinterland). Hal ini terbukti
karena Bengawan Solo digunakan sebagai sarana pengangkutan produk
perdagangan dari daerah pedalaman seperti beras, lada, tebu, dan lainnya yang
30Nusupan merupakan bandar penting yang menjadi rujukan dari arahtimur (Gresik) sebagai tempat kulakan. Pada masa Paku Buwana IX, jika debit airdi Bengawan Solo besar, pedagang membawa kain ke brang wetan dan kembalimembawa malam dan benang. Wakito Widi W, “Aktivitas PerdaganganBengawan Solo Tempo Doeloe”. Dalam DIAKRONIK Vol. 3 No.I Januari 2008,Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret,hlm. 67.
31 Susanto, 2005, op.cit.,hlm. 6.
29
akan dikapalkan melalui pelabuhan Surabaya untuk dikirim ke luar
Jawa.Sebaliknya dari Surabaya pengapalan yang membawa produk impor dari
luar ke pedalaman seperti kain, candu (opium), amunisi dan
sebagainya.Bengawan Solo juga berfungsi untuk mengapungkan kayu jati yang di
tebang dari hutan di Ngawi ke Surabaya untuk digunakan sebagai bahan
infrastruktur bangunan sarana pemerintah. Pembuktiannya adalah saat
pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels dalam program pertahanan Jawa
terhadap serangan Inggris, dia membangun benteng Prins Hendrik di muara
sungai Kalimas Surabaya. Benteng Prins Hendrik terbuat dari kayu yang dialirkan
dari daerah Ngawi hingga ke Madiun melalui sungai Surakarta.32 Namun, sekali
lagi, setelah dibukanya jalur kereta api di Vorstenlanden kejayaan perdagangan
lewat sungai menjadi redup.
Selain menggunakan Bengawan Solo sebagai jalur pengiriman barang, raja
dan pedagang-pedagang dari Solo juga menggunakan jalur darat untuk
mengirimkan dan membeli barang-barang dari daerah lain.Salah satunya adalah
gerobak, alat transportasi darat yang mengakomodasi barang dagangan serta hasil
perkebunan.Gerobak digunakan untuk perjalanan dengan jarak tempuh terbilang
jauh.Perjalanan pun lebih dari sehari untuk mencapai tujuan, maka dari itu
memerlukan penginapan koplakan sekaligus menjadi tempat transit para
pedagang. Prambanan, Jatinom dan Boyolali adalah tempat transit pedagang yang
akan melanjutkan perjalanan dagangnya ke luar daerah Surakarta. Tempat transit
biasanya berdekatan dengan pusat perkebunan dan pasar, misalnya pasar
Gondang-Jetis dekat dengan stasiun Srowot. Di pinggir jalan besar antara
32Ibid.
30
Surakarta dan Yogyakarta terdapat bengkel gerobak dan kereta, antara lain di desa
Karangwuni, Wonggo. Pada tahun 1877 sudah ada jalur dagang antara kota Solo
dengan kota lain seperti Sragen, Purwodadi dan Wonogiri.33Para pedagang lebih
memilih menggunakan angkutan gerobak karena biayanya lebih murah meskipun
memerlukan waktu lama. Pada tahun 1859 biaya pengangkutan gula dan kopi ke
Surabaya adalah f 1,60-f 1,80 setiap pikul, sedangkan ke Semarang f 1,80- f 2,30.
Pada tahun 1875 angkutan dengan menggunakan kereta kuda jauh lebih murah
jika dibandingkan dengan kereta api, yakni hanya f 1,50 setiap pikul.34
D. Munculnya Ekonomi Batik
Pertumbuhan ekonomi di Solo meningkat sejak ditemukannya canting
pada abad ke 19. Kegiatan membatik di Vorstenlandenmenjadi industri terutama
dengan tenaga kerja perempuan. Seni membatik di Solo sangat dihargai, sehingga
kemampuan membatik dianggap penting bagi pendidikan kaum perempuan di
kraton.35Batik di Solo pada awal hingga pertengahan abad ke 19 masih menjadi
monopoli kaum bangsawan. Perubahan terjadi sekitar tahun 1890-an ketika
kerajinan batik mulai dibuat oleh banyak pihak. Akibatnya, banyak bermunculan
industri rumah tangga di bidang batik.Pengusaha batik yang mempunyai
hubungan erat dengan kraton adalah Kauman. Sementara itu, untuk daerah pinggir
33 Suhartono, op.cit.,hlm. 50.
34 Suhartono, ibid.,hlm. 51.
35 Takashi Shiraishi, op.cit.,hlm. 30
31
kota, tepatnya dekat Sungai Jenes, hidup berkelompok pengusaha batik Laweyan.
Akan tetapi, pengusaha batik pun akhirnya tidak hanya diisi oleh orang Jawa,
tetapi juga oleh kelompok masyarakat dari etnis Cina dan Arab.36
Etnis Cina di Surakarta menguasai berbagai bahan baku pembuatan batik.
Perdagangan besar dalam arang, kayu bakar dikuasai oleh orang Cina.Kayu
tersebut diperoleh dari Karesidenan Semarang dan Madiun serta Wonogiri.Bahan
pewarna sepenuhnya juga berada di tangan orang-orang Cina dan Arab. Selain itu,
kedua kalangan ini juga menguasai bahan baku penting lainnya yaitu kain
moridan pewarna (indigo).37Pengusaha Cina yang demikian bertempat tinggal di
Serengan dan Coyudan.
Berdasarkan peta industri batik, dimungkinkan pengusaha Cina
berkembang di wilayah tersebut karena Mangkunegaran pada tahun1896 membuat
peraturan yang memungkinkan orang Belanda dan Timur Asing mendirikan
rumah dengan hak guna bangunan di Wonogiri.Sekalipun jumlah orang Cina yang
tinggal di Wonogiri terbilang dalam jumlah kecil, namun jelas bisa diduga posisi
pengusaha batik di Coyudan dan Serengan jelas menjadi jembatan bisnis antara
wilayah pedalaman Wonogiri dan Surakarta.Perkembangan batik yang demikian
luar biasa di Surakarta menyebabkan mendapat sebutan baru selain kota dagang,
yakni kota batik.
E. Komposisi Penduduk dan Fasilitas Kota
36Susanto, 2005,op.cit, hlm. 38-39. Grup Riset Kebanksentralan,op.cit.,hlm. 27-28.
37 Rustopo, Menjadi Jawa : Orang-orang Tionghoa dan KebudayaanJawa di Surakarta, 1895-1998, (Yogyakarta: Kerjasama Ombak dan NABIL,2007), hlm. 79.
32
Kota Surakarta merupakan kota pedalaman memiliki ragam etnis
penduduk (heterogen). Keberagaman etnis dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial
untuk melakukan diskriminasi.Diskriminasi rasial merupakan strategi dan cara
kontrol dengan membagi struktur masyarakat menjadi tiga golongan.Golongan
Eropa; Timur Asing (vreemde oosterlingen) antara lain Pakistan, India, Arab; dan
masyarakat pribumi.38
Pada transformasi periode akhir abad XIX menuju abad XX, orang Jawa
(pribumi) merupakan penduduk mayoritas yang bertempat tinggal di kawasan
pedesaan Surakarta, sedangkan orang Belanda, Cina dan Arab tinggal di pusat
kota.39Orang Belanda tinggal di sekitar Benteng Vastenburg yang letaknya di
utara alun-alun utara, Loji-loji sebelah timur benteng juga ditempati oleh
pemukim Eropa sehingga dinamakan Loji Wetan. Pengurusnya berpangkat asisten
residen,40sementara sebelah utara benteng terletak kantorResiden.41Sementara itu,
untuk wilayah Kota Mangkungeran, orang Belanda tinggal di Villa Park.42
38 Sri Sayekti, “Segregasi Sosial dan Perubahan Ekologi Kota SurakartaPada Awal Abad Ke-20”, artikel dalam Jurnal DIAKRONIK, Vol.1 No.8, (JurusanIlmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS: 2006), hlm. 39.
39 Suhartono, op.cit.,hlm. 76-77
40 RM Sayid, op.cit., 65.
41Benny Juwono, “Etnis Cina Di Surakarta 1890-1927: Tinjauan SosialEkonomi”, LEMBARAN SEJARAH Vol.2, No.1, 1999 , (Yogyakarta: Jurusan IlmuSejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 1999), hlm. 56.
42Pemukiman Villa Park merupakan tempat tinggal elit bagi bangsa Eropadi wilayah Kota Mangkunegaran. Dengan luas 1,5 ha, perkampungan Eropa inidibangun pada masa Mangkunegara VI lengkap dengan fasilitas pendidikan,keagamaan, sosial, kesehatan dan kebudayaan. Lihat Daryadi, “PembangunanPerkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan MangkunegaraVII”. Skripsi.Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret.2009,) hlm. 58.
33
Pemukiman warga Cina terletak di terletak di utara aliran Sungai Pepe
sekitar Pasar Gede ke timur di Ketandan hingga Limasan, ke utara sampai Balong,
ke sebelah utara menuju Warung Pelem.43Pengurus daerah pemukiman Cina
(Pecinan) berpangkat mayor dengan panggilan babah mayor.Tugasnya adalah
mengurus segala sesuatu tentang masyarakat Cina di Surakarta. Kehidupan
masyarakat Cina di Surakarta dibatasi oleh peraturan surat ijin (wijkenstelsel) dan
surat jalan (passenstelsel). Tujuan adanya pembatasan bagi etnis Cina ini tidak
lain adalah agar pemerintah kolonial Belanda lebih leluasa dalam mengeksploitasi
perekonomian Hindia Belanda karena bagi pemerintah Belanda kehadiran etnis
Cina tidak selalu menguntungkan.44
Penduduk pribumi tinggal bercampur dengan penghuni lama maupun
pendatang, kelas menengah begitu pula kelas bawah.Hampir keseluruhan tinggal
di perkampungan, di rumah dengan kebun dan halaman yang ditumbuhi pohon
rindang.Diskriminasi ras dan etnis masih sangat ketat sehingga kontak sosial
melalui jaringan sosial kota hanya terbatas pada golongan pribumi.45
Hunian untuk penduduk pribumi tersebar di seluruh kota. Nama-nama
kampung hunian penduduk suku Jawa, ada yang didasarkan atas nama-nama
bangsawan yang bertempat tinggal di sana, seperti : Ngadijayan tempat tinggal
43 Benny Juwono., loc.cit.
44 Dwi Ari Wibowo, “Akulturasi Budaya Sebagai Upaya RekonsiliasiEtnis Jawa-Cina Di Kampung Balong Sudiroprajan Surakarta”. Skripsi.(Surakarta:Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret,2011), hlm. 3.
45Sartono Kartodirdjo, Sejarah Indonesia Baru: Sejarah PergerakanNasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia, 1990),hlm. 73-74 dan 111.
34
Hadiwijaya, Mangkubumen tempat tinggal Mangkubumi, Jayasuman tempat
tinggal Jayakusuma, Suryabratan tempat tinggal Suryabrata, Kusumabratan
tempat tinggal Kusumabrata, Sumadiningratan tempat tinggal Sumadiningrat,
Cakranegaran tempat tinggal Cakranegara, Kalitan tempat tinggal Kanjeng Ratu
Alit, Kusumayudan tempat tinggal Kusumayuda, Purwadiningratan tempat tinggal
Purwadinigrat.
Ada pula kampung-kampung yang namanya diambil dari abdi dalem,
seperti: Coyudan tempat tinggal Secoyudan, Derpoyudan tempat tinggal
Derpoyuda, Mangkuyudan tempat tinggal Mangkuyuda, dan Kerten tempat
tinggal Wirakerti. Ada juga kampung yang namanya diambil dari prajurit kraton,
seperti: Kasatriyan, Tamtaman, Sorogenen; dan berdasarkan jenis pekerjaan
penduduk seperti : Sayangan, Gemblegan, Gapyukan, Serengan, Slembaran,
Kundhen, Telukan, (un) Dhagen, Kepunton dan Jayengan. Ada pula kampung
yang diambil dari jabatan keraton, seperti: Carikan, Jagalan, Gandhekan, Sraten,
Kalangan, Punggawan, Pondhokan dan Gadhing.46Ada juga kampung yang
namanya diambil cerita sekitar (folklore), seperti Sangkrah, Bathangan,
Kedunglumbu, Laweyan dan yang mengikuti nama-nama orang Belanda atau
jabatannya seperti Petoran, Jurnasan, Jageran, Beskalan dan Ngebrusan. Selain itu
juga kampung kampung yang diambil namanya dari sebuah komunitas kesenian
seperti Wirengan, Gambuhan Kemlayan.47
46Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton 1830-1939, (Yogyakarta:Taman Siswa, 1989), hlm. 3.
47Radjiman, Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya KasunananSurakarta Hadiningrat, (Surakarta, 2002).Rustopo, op.cit, hlm. 20-21.
35
Penduduk di kota Solo yang beragam mengalami pertumbuhan yang pesat
hingga awal abad XX. Tercatat dari berbagai kelas sosial, tahun 1900 jumlah
penduduk kota Solo 109.459 orang. Keseluruhan penduduk tersebut terdiri dari
1.973 orang Eropa; 5.129 orang Tionghoa; 171 orang Arab; 262 orang timur asing
lainnya dan sisanya 101.924 adalah pribumi Jawa. Lima tahun kemudian,
penduduk kota Solo mengalami peningkatan, tahun 1905 total penduduk kota
sejumlah 118.378 orang, yang terdiri dari: 1.572 orang Eropa, 6.532 orang
Tionghoa, 337 orang Arab, 413 orang timur asing lainnya dan 109.524 orang
pribumi Jawa.48
Demi memenuhi kebutuhan beragam penduduk, kota Solo berbenah
dengan berbagai fasilitas infrastruktur. Sarana pendidikan didirikan sekolah
MULO di Villapark. Dari segi transportasi, dibangunnya Stasiun Kereta Api
Jebres serta jembatan kereta api di jurusan yang menghubungkan Surakarta-
Ngawi-Madiun, maka mobilisasi lebih efektif dan transportasi darat kian lancar.
Namun berdampak penurunan peran Bengawan Solo sebagai jalur pengangkutan
barang.Selain kereta antar kota, di dalam kota juga dibangun jaringan rel trem
kota yang menghubungkan Purwosari-Jebres lewat Pasar Gedhe. Perubahan
fasilitas kota lain yang sangat penting adalah adanya listrik yang diprakarsai oleh
SEM (Solosche Electriciteit Maatschappij). Dengan adanya jaringan ini, informasi
bertambah lancar melalui adanya radio NIROM (Nederlandsch Indie Radio
48Periksa kajian Kuntowijoyo, loc.cit.
36
Omroep). Selain itu komunikasi bertambah mudah terutama untuk orang Eropa
dengan adanya sarana telepon dan telegraf.49
Berbagai infrastruktur dan fasilitas kota yang memadai seperti listrik dan
telepon sangat mendukung berkembangnya pusat pertemuan budaya bagi orang
Eropa. Untuk aktivitas ini di Surakarta terdapat beberapa tempat seperti Societeit
Harmonie di Lodji Wetan, Societeit Militer di sebelah selatan Benteng
Vastenburg, serta Societeit Theosophie di sebelah Barat Societeit
Mangkunegaran. Societeit umumnya digunakan untuk menggelar pesta dansa dan
musik barat.Oleh karena itu, jenis dansa sering dilakukan di sebuah ruang yang
disebut Ball Room, maka gedung ini juga disebut dengan Kamar Bola. Pengaruh
budaya hiburan Eropa juga menjadi kegemaran warga Solo adalah hiburan
bioskop yang pada waktu itu terletak di sebelah utara kantor Residen di tepi Kali
Pepe yakni Schouwburg Purbayan dan Nieuwe Bioscoop di perempatan Pasar
Pon.50
Pada bidang kesehatan, pemerintah Belanda mendirikan tiga rumah sakit
yaitu Zending Hospitaal sebagai rumah sakit umum yang terletak di Jebres, dan
Militer Hospitaal untuk secara khusus melayani tentara Belanda yang terletak di
wilayah Baron, serta satu rumah sakit umum lagi yaitu Zieken Zorg yang terletak
di wilayah Mangkubumen. Untuk menunjang obat-obatan modern didirikan
49Susanto, “Penetrasi Budaya Asing Di Surakarta”, Dalam DIAKRONIKVol. No. 5 Juli 2004.Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret, hlm. 105.
50Ibid.,hlm. 105-106.
37
apotik yang ada di sebelah selatan kantor Pos sekarang,51 ada pula apotik swasta
yang bernama Amsterdam Apotheek Soerakarta yang diprakarsai Dr. White
memiliki cabang di berbagai kota penting di Jawa.52
Seni Pertunjukkan juga mengalami perubahan yang cukup berarti.Dengan
diperkenalkannya panggung proscenium (indoor) dalam bidang tata panggung
telah menimbulkan banyak bermunculan pertunjukkan seni komersial di
Surakarta, seperti Sonoharsono, Sriwedari dan Balekambang. Akan tetapi
munculnya Instituut voor Javaansche Taal dengan peran yang cukup penting dari
C.F. Winter yang pada mulanya dimaksudkan sebagai lembaga yang memberikan
pendidikan bahasa dan kebudayaan Jawa bagi para pejabat (ambtenaar) dan
pejabat Belanda yang bertugas di Jawa, ternyata berepengaruh luar biasa terhadap
kehidupan sastra para pujangga kraton. Kemudian muncullah tokoh yang dikenal
yaitu Padmosusastro dan beberapa pujangga lainnya.53Kesenian dan sastra
ternyata juga merupakan profesi yang mempunyai nilai prestiseberdampak pada
status sosial dan perbaikan ekonomi individu.
Kemajemukan kota di ranah penduduk dan fasilitas inilah yang kemudian
mempengaruhi perubahan ekonomi di Surakarta pada periode berikutnya. Ragam
profesi dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat.
51Ibid.,hlm. 106.
52De Locomotief, 18 Mei 1880.
53 Susanto, Penetrasi Budaya Asing, loc.cit.