BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II.pdf · lembaga tersebut serta kendala...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II.pdf · lembaga tersebut serta kendala...
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1. Kajian Pustaka
Daya tarik kawasan yang bernama resmi Kawasan Cagar Alam Geologi
Karangsambung (KCAGK) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 2817 K/40/MEM/2006, terletak pada
keunikan dan kelengkapan jenis batuan yang menyimpan informasi bernilai ilmiah
tinggi dalam konteks geologis. Di kawasan ini dapat ditemukan jejak proses
tumbukan antar lempeng yang terjadi mulai Zaman Kapur sekitar 117 juta tahun yang
lalu dalam bentuk singkapan berbagai jenis batuan pada areal yang tidak terlalu luas
(Ansori, 2012).
Ibarat monumen atau taman batuan hasil evolusi bumi mulai Zaman Kapur
sampai sekarang. Pada kawasan ini bisa dijumpai bukti-bukti batuan hasil tumbukan
Lempeng Samudera Hindia Australia dengan Lempeng Benua Eurasia. zona
tumbukan ini sekarang telah bergeser kurang lebih 312 km ke arah selatan di dasar
Samudera Indonesia. Di taman geologi ini bisa kita jumpai beragam batuan, baik
batuan beku, sedimen dan metamorf, yang terbentuk pada dasar samudera sampai tepi
benua yang terbentuk, kesemuanya tercampur aduk dengan 'deformasi' yang kuat.
'Morfologi' nya merupakan hasil interaksi antara batuan, struktur geologi dan proses
erosi, yang mencerminkan suatu 'pembalikan topografi', sehingga membentuk
16
rangkaian gunung melingkar dengan lembah memanjang di tengahnya, menyerupai
tapak kuda.
Tak pelak, karena kondisi alamnya yang demikian, banyak memancing minat
para ahli geologi baik nasional maupun internasional untuk mengunjungi bahkan
melakukan penelitian akademis. Bahkan memancing kekaguman Profesor Hamulton,
ahli geologi terkemuka dunia yang berasal dari Amerika Serikat yang datang tahun
1970-an saat melihat melihat kawasan ini. Menurutnya, Karangsambung merupakan
bukti nyata dari 'New Global Tectonic Theory', salah satu teori kanonik dari disiplin
geologi. Penelitian yang dilakukan di Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung
lebih banyak bertemakan geologis, yang dilakukan para geolog. Menurut Husni
Ansori, peneliti senior LIPI yang bertugas di Balai Informasi dan Konservasi
Kebumian Karangsambung, relatif semua ahli geologi di Indonesia pasti melakukan
riset di kawasan ini dalam proses akademis yang ditempuh.
Penelusuran terhadap kajian akademis terhadap KCAGK yang bertemakan
pariwisata, sejauh yang dapat dilacak, dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian
yang dilakukan oleh Kurniawan dan Hermawati (2012) berfokus pada aspek strategi
komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh Balai Informasi Konservasi Kebumian
(BIKK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Karangsambung dalam rangka
mencapai tujuan yang diinginkan, sebagai salah satu pelaksana wisata berbasis
edukasi. Dengan menggunakan strategi ini, BIKK-LIPI diharapkan dapat
mengembangkan dan memelihara para pemangku kepentingan yang masuk.
Pemasaran strategi komunikasi dari LIPI Karangsambung diwujudkan melalui alat
17
bauran promosi. Pemilihan alat bauran promosi yang dilaksanakan akan menentukan
keberhasilan tujuan yang diinginkan.
Penelitian yang dilakukan Kurniawan dan Hermawati memiliki relevansi bagi
penelitian ini karena memberi informasi awal menyangkut kondisi umum praktek
pariwisata yang difasilitasi oleh BIKK-LIPI. Diperoleh informasi mengenai profil
lembaga tersebut serta kendala yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata berbasis
edukasi. Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh keduanya belum memberikan
pemahaman mendalam mengenai praktek pariwisata yang dikelola BIKK-LIPI,
menyangkut keberjarakan yang terjadi antar pemangku kepentingan di ranah tersebut,
dan kenapa eksklusivisme tersebut berlangsung. Juga, belum memasukkan realitas
penambangan yang terjadi di sana. Penambang merupakan salah satu aktor yang
memiliki posisi penting bagi struktur pariwisata di Karangsambung, terkait dengan
aktivitas “kontraproduktif” yang dilakukan.
Posisi penelitian ini akan mencoba menutup celah yang belum dieksplorasi
dalam penelitian Kurniawan dan Herawati. Sehingga apa yang sudah
direkomendasikan oleh kedua peneliti tersebut mengenai aspek strategi komunikasi
pemasaran yang perlu dilakukan BIKK-LIPI akan memperoleh basis argumentasi
secara sosiologis. Penelitian ini berhutang pada keduanya, dan berikhtiar untuk
mengisi ruang kosong yang ada, yaitu dengan memberi landasan pemaknaan
sosiologis pada praktek geowisata yang dikreasi BIKK-LIPI, menyangkut posisi para
aktor berdasarkan cara menafsir mereka terhadap ranah Karangsambung, beserta
implikasinya bagi struktur pariwisata Karangsambung ke depan.
18
Penelitian berikutnya, yang dilakukan oleh Kusumahbrata dan Samodra
(2006), yang lalu disempurnakan oleh Ansori (2012) berikhtiar untuk memberikan
panduan geowisata yang berada di Kabupaten Kebumen dan area Pegunungan Serayu
dan Selatan Jawa. Di dalamnya dipaparkan lokasi-lokasi wisata dengan penekanan
pada pengetahuan mengenai proses terjadinya dari perspektif disiplin geologi.
Kedua penelitian tersebut relevan bagi penelitan ini, ketika memberikan
informasi mengenai profil KCAGK, beserta titik-titik lokasi yang bisa dijadikan
atraksi wisata berbasis geologi. Apa yang dihasilkan oleh dua penelitian tersebut
padat informasi mengenai sejarah singkapan geologi yang ada di Pegunungan Serayu
dan Selatan Jawa, serta kemungkinan pengembangan potensi alam tersebut bagi
aktivitas wisata.
Tetapi, kedua penelitian ini masih belum memberi fokus pada keterlibatan
masyarakat lokal dalam geowisata yang coba dikreasi pihak BIKK-LIPI. Sangat tidak
miskin informasi geologisnya, tapi belum kaya dimensi sosiologisnya. Tentu, hal ini
dapat dimaklumi mengingat latar belakang disiplin ilmu para peneliti tersebut. Tetapi
eksklusivitas disiplin geologi sebagai satu-satunya tafsir dalam mewadahi aktivitas
pariwisata di KCAGK tentu bukannya tanpa problem. Mengingat, struktur pariwisata
yang produktif adalah mampu mewadahi aspirasi kepentingan para aktor yang ada di
dalam ranah pariwisata, dengan memperhatikan aspek kelestarian dan
keberlanjutannya dari tiga dimensi: sumber daya alam, sosial budaya, dan ekonomi.
Seperti sebelumnya, penelitian ini berusaha mengisi celah yang sering
dilupakan oleh kegiatan penelitian pariwisata, yang umumnya berfokus pada aspek
19
pengembangan, tanpa memberi pondasi yang kuat dari argumentasi apa dan
bagaimana pengembangan berasal. Sering terjadi patahan dalam penelitian
pariwisata, jika ditinjau dari filosofi keilmuan yang dijalankan: langsung ke dimensi
aksiologis, tanpa memberi pemahaman yang dibangun dari dimensi ontologis dan
epistemologisnya.
Bagaimanapun, ketiga penelitian tersebut memberi kontribusi bagi
penambahan pustaka kajian tentang Geowisata Karangsambung, di tengah
kelangkaan kajian kawasan tersebut dari perspektif disiplin ilmu pariwisata. Dan,
berhutang pada ketiganya, penelitian ini mendapatkan urgensinya, guna berkontribusi
bagi pengayaan kajian mengenai KCAGK dari perspektif disiplin ilmu pariwisata,
secara khusus sub disiplin kajian sosiologi pariwisata.
Tilikan tentang geowisata Karangsambung akan dikaji dari perspektif
dualitas, di tingkatan agensi-struktur dengan dua teori utama sebagai payung, yaitu
teori strukturasi Giddens dan strukturalisme genetis Bourdieu, dan di level relasi
antara manusia dengan alam fisiknya. Cara pandang dualitas ini diharapkan dapat
mendekonstruksi serta merekonstruksi struktur pariwisata sebelumnya, dan
memproduksi struktur pariwisata baru di Karangsambung.
Selain itu, dalam penelitian ini juga mencoba meloloskan diri perangkap
pragmatisme penelitian, yang lebih mengutamakan manfaat dan fungsi penelitian
yang “harus” langsung bisa diterapkan secara aplikatif (aksiologi), memberi rumusan
baku bagi dikreasinya pariwisata di Karangsambung. Penelitian ini mencoba mencari
20
pemahaman menyangkut ontologi dan epistemologi praktek geowisata di
Karangsambung yang dikreasi BIKK-LIPI.
2.2. Konsep 2.2.1. Pariwisata Alternatif dan Geowisata
Seperti yang telah dipaparkan dalam bab pendahuluan, pariwisata alternatif
merupakan reaksi penolakan dari pariwisata massal. Secara epistemologis dapat
dikatakan cara pandang pariwisata alternatif berasal dari filsafat posmodern
(keterkaitan antara subyek yang mengetahui dengan subyek yang diketahui), yang
dalam bahasa fenomenologi yang dikembangkan oleh Heidegger dan Ponty disebut
intersubyektivitas (Hardiman, 2007). Sedangkan pariwisata massal ditopang oleh
dualisme subyek-obyek, berangkat dari filsafat modern yang dikembangkan oleh
Descartes dengan pemberian hak eksklusif pada subyek yang memiliki instalasi res
cogitans (rasionalitas).
Wearing dan Neil (2000) mendefinisikan pariwisata alternatif sebagai bentuk
pariwisata yang menaruh perhatian secara konsisten terhadap alam, sosial, dan nilai-
nilai kemasyarakatan, serta terbukanya kesempatan bagi wisatawan dan penduduk
lokal untuk berinteraksi dan menikmatinya secara positif dengan saling bertukar
pengalaman.
Geowisata merupakan salah satu jenis wisata minat khusus yang
memanfaatkan potensi sumber daya alam geologi, diantaranya adalah bentuk bentang
alam, batuan penyusun, struktur, dan sejarah bumi dengan titik berat kunjungan
adalah untuk memberi pengayaan wawasan dalam pemahaman proses pembentukan
21
fisik alam (Ansori, 2012). Sedangkan menurut Hose (dalam Dowling dan Newsome,
2006) ;
“Geotourism is “recreational geology”- an essentially participatory field observational activity. Its potential for informal adult study is appropriate to modern environmental educational approaches in which there is no substitute for the experience of the authentic. Geotourism could extend the tourism season in suitable locations, especially rural coastal and upland areas.”
Dari kedua definisi di atas, dapat ditarik penafsiran geowisata merupakan suatu
rekreasi geologi, dengan basis atraksi utamanya adalah sumber daya alam geologi,
dan wisatawan melakukan aktivitas langsung secara partisipatif di lapangan guna
memperoleh pengalaman dan pembelajaran informal, dengan pendekatan studi
lingkungan modern (interaksi langsung guna mendapatkan pengalaman otentik).
Aktivitas geowisata bisa memperpanjang musim wisata di lokasi tertentu, terutama di
wilayah pedesaan yang memiliki karakter pesisir dan dataran tinggi, atau salah satu di
antaranya.
2.2.2. Praktek Geowisata
Yang dimaksud sebagai geowisata dalam penelitian inilah adalah aktivitas
pelayanan wisata yang diproduksi oleh Balai Informasi Konservasi Kebumian
(BIKK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Karangsambung. Istilah
praktek lebih dipilih dibandingkan aktivitas, karena praktek lebih merepresentasikan
perspektif dualitas agensi struktur yang digunakan sebagai payung teori dalam
penelitian ini.
22
2.2.3. Karangsambung.
Merupakan ruang sosial sekaligus ruang fisik Desa Karangsambung yang
berada dalam Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung (KCAGK).
2.2.4. Perspektif Dualitas. 2.2.4.1. Dualitas Agensi-Struktur.
Dualitas agensi struktur merupakan merupakan kontra wacana terhadap
paradigma dualisme yang lama mapan dalam maskapai ilmu sosial. Cara pandang
dualitas coba mengoreksi dua paradigma yang saling bertentangan dan sulit
didamaikan, yaitu antara fungsionalisme (yang berfokus pada kekuatan struktural
yang berada di luar individu dan memiliki kemampuan memaksa); dan fenomenologi
(bertitik tekan pada kemampuan aktor yang sadar dalam melakukan tindakan sosial).
Teladan terbaik, atau yang dinamakan dengan istilah eksemplar oleh Thomas
Kuhn (2000), dari paradigma fungsionalisme adalah teori fungsionalisme struktural.
Teori ini memberi keunggulan pada struktur seperti dianut oleh Merton (Ritzer dan
Goodman, 2007), memfokuskan teorinya pada determinasi struktur (norma, nilai)
terhadap aktor. Gagasan utamanya adalah aktor dikendalikan oleh kekuatan struktur
untuk terwujudnya stabilitas, harmonisasi, dan integrasi dalam masyarakat.
Implikasinya, sejauh agen ditentukan oleh struktur sosial, maka tidak ada ruang bagi
agen untuk memainkan peran dalam perubahan sosial. Dalam hal ini, teori struktural
menolak atau mengabaikan dinamika dan peran subyek dalam memahami realitas
sosial. Pandangan serupa juga dapat ditelusuri dari pemikiran Marx (Suseno, 2001)
dengan gagasan utamanya menempatkan struktur objektif (mode produksi)
23
menentukan struktur subyektif (kesadaran subyek), sehingga individu dikatakannya
tidak mempunyai kuasa untuk menafsirkan dan mengubah dunia sosial. Relasi
produksi dipahaminya sebagai pertentangan antara pengusaha (pemilik modal) dan
kelas pekerja yang berbasiskan kepentingan ekonomi (material).
Selanjutnya, yang menjadi eksemplar dari paradigma fenomenologi adalah
teori aksi dan fenomenologi, merupaka teori yang bersandarkan pada aktor seperti
dianut oleh Mead dan Alfred Schutz (Ritzer, 2007). Teori ini berpijak dari asumsi
dasar, bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dan cakap membangun realitas atau
melakukan tindakan reflextive monitoring sesuai dengan kemampuannya. Pandangan
ini menolak gagasan yang menempatkan tindakan manusia sepenuhnya ditentukan
oleh norma, nilai, kebiasaan, dan sebaliknya teori aktor mengerdilkan peran struktur
dalam memandang realitas sosial.
Polarisasi pemikiran yang memberi keunggulan terhadap determinisme
struktur maupun voluntaristik aktor, keduanya memiliki kelemahan. Pandangan yang
menekankan deterministik struktural dinilai bersifat mekanistik statik dan positivistik,
yang abai terhadap berkembangnya pengetahuan dan gagasan yang dimiliki oleh
aktor berdasarkan pengalaman kesehariannya. Di titik ini aktor diposisikan sebagai
“the foolen creature” (makhluk ciptaan yang malang). Sebaliknya, teori yang
memberi keunggulan terhadap kemampuan aktor (agen-kesadaran) juga memiliki
kelemahan karena cenderung bersifat subyektif, dan memposisikan individu sebagai
“superman”.
24
Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang menekankan realitas objektif
maupun paradigma definisi sosial yang memberi keunggulan realitas subyektif, dalam
hal ini Giddens melalui teori strukturasinya menganjurkan perlunya analisis sintetis
dalam memandang realitas subyektif dan realitas objektif, karena keduanya
merupakan pertalian yang saling mempengaruhi (linkage). Dengan pengetahuan dan
kesadaran yang dimilikinya, aktor melakukan interaksi dan menginternalisasi sifat-
sifat struktur ke dalam berbagai tindakan. Manifestasi dari tindakan aktor, di satu
pihak ada yang pasif, dalam arti menyetujui dan hanya mampu mereproduksi, di
pihak lain ada aktor yang memproduksi realitas sesuai dengan keinginannya
(Priyono, 2002).
Pemahaman relasional individu-struktur lainnya dapat dilacak pada
pemikiran Bourdieu dalam teori praktek sosial yang dibangunnya, yaitu teori
strukturalisme genetis. Asumsi yang diajukan olehnya adalah bahwa struktur objektif
tidak mungkin untuk dipisahkan dengan struktur subyektif, dan praktek merupakan
hasil relasi dialektika antara struktur dengan keagenan sebagai relasi kekuasaan
(Calhoun, 2003). Ia menolak fenomenologi yang dinilai mengabaikan adanya
hambatan struktural, dan dinilai memberi stressing pada tindakan voluntaris terhadap
individu dalam memproduksi dan mereproduksi dunia sosial. Sebaliknya pula,
Bourdieu juga melakukan kritik terhadap teori struktural (marxisme) yang dinilainya
memberikan pengakuan determinasi realitas objektif terhadap kesadaran, sehingga
mengabaikan kehadiran kemampuan agen. Bisa disimpulkan, ada sejenis
25
keterputusan dalam orientasi teoritiknya dengan Marx dan fenomenologi seperti yang
ditilik oleh Mahar, Harker, dan Wilkes (Harker,1990).
Selanjutnya, cara pandang relasional dualitas agensi-struktur seperti yang
disampaikan Giddens dan Bourdieu inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini.
2.2.4.2. Dualitas Manusia-Lingkungan.
Dalam konteks peneltian ini, dualitas manusia dengan alam berpijak dari
gagasan Merleau Ponty (Hardiman, 2007) tentang incorporealitas, yaitu relasi
kebertubuhan, intersubyektivitas. Incorporealitas merupakan kritik langsung dari
epistemologi subyek-obyek (dualisme cartesian) yang antroposentris. Konsep ini
berangkat dari gagasan fenomenologi Ponty yang memandang bahwa yang menjadi
instalasi sentral bagi manusia mengada bukanlah pada rasionalitasnya per se, tetapi
pada instalasi tubuh. Artinya, tubuhlah yang mengadakan relasi dengan segala
dimensi kehidupan, baik sosial maupun alam. Konsep ini menjadi penting bagi
wacana etika lingkungan, yang sebelumnya terjebak pada dualisme: ataukah
antroposentrisme (pemusatan pada manusia sebagai subyek), ataukah ekosentrisme
(alam sebagai sentralnya).
Jenis dualisme yang ada dalam wacana etika lingkungan telah membawa
masalah: penekanan pada antroposentrisme menjebak manusia yang merasa sebagai
pusat semesta dengan perangkat rasionalitasnya, berimplikasi terhadap cara pandang
manusia terhadap alam sebagai obyek. Artinya, alam bisa dieksploitasi guna
memenuhi “kebutuhan” manusia. Yang menjadi problem adalah, ketika rasionalitas
manusia melahirkan sistem kapitalisme sebagai salah satu produknya (Horkraimer
26
dan Adorno dalam Jay, 2005), yang terjadi dalam konteks memandang alam adalah
bukan sebagai pemenuh kebutuhan (need), akan tetapi pemuas hasrat (desire).
Artinya, dalam sistem kapitalisme, dalam istilah Jean Baudrillard: logika kebutuhan
diganti menjadi logika hasrat (Piliang, 1998). Dan kita tahu, dalam konteks hasrat,
tidak pernah ada titik puasnya. Cara pandang inilah yang menjadi basis legitimasi
bagi tindakan eksploitasi terhadap alam yang tidak terukur.
Di ujung pendulum satunya adalah ekosentrisme, yang merupakan kontra
wacana antroposentrisme. Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika
lingkungan biosentrisme, yang merupakan dekonstruksi cara pandang
antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia.
Keduanya mengekstensi keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih
luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup
(biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian
etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ecosentrism).
Ekosentrisme berpijak dari aliran pemikiran yang dikenal sebagai green thought .
Menurut Erckersley dalam Burchill dan Linklater (1996), Green thought
memiliki beberapa ide sentral: pertama, berpijak dari klaim empiris yang
berpandangan bahwa secara ontologis dunia terdiri dari interelasi bukan entitas
individu semata, sehingga makhluk hidup sejatinya berinteraksi secara erat dengan
ekologi dan tidak mungkin untuk dilakukan pembedaan tegas antara keduanya.
Kedua, adalah adanya pembatasan terhadap apa yang disebut sebagai gagasan
27
pertumbuhan (limits to growth). Berikutnya, adalah problem ketidaksetaraan dan
keadilan.
Kaum epistemik mengungkapkan terjadinya problem ketidakadilan yang
cenderung memposisikan negara berkembang (dunia ketiga) atau negara miskin
dalam posisi yang relatif dirugikan akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan
oleh massifikasi penggunaan perkakas industri negara maju, yang menghasilkan
emisi karbon terbesar di dunia. Oleh karena itu, isu-isu perkembangan yang meliputi
degradasi lingkungan harus ditinjau dalam konteks distribusi keadilan internasional
(Steans dan Pettiford 2005).
Tema terakhir menyangkut gagasan tentang identitas dan komunitas. Green
thought berpandangan bahwa bumi adalah kesatuan makhluk hidup, sebagai
nasionalitas setiap individu, serta satu tempat yang sama bagi semua manusia.
Karenanya, loyalitas terhadap komunitas global dan lokal menjadi sangat diperlukan,
dan masyarakat harus dapat berperan ganda dalam konteks problematika lingkungan
(Steans dan Pettiford, 2005).
Bagaimanapun, green thought tidak lepas dari kritik-kritik yang diajukan
terhadap argumen-argumennya seperti yang telah dipaparkan sebelumnya di atas. Isu-
isu lingkungan yang disampaikan oleh aliran ini, dianggap oleh sebagian pihak
lainnya hanyalah sebuah mitos yang dibesar-besarkan dan bagian pengulangan dari
masa lampau, sebuah romantisisme. Selain itu, terdapat beberapa problem praksis
bagi posisi ekosentris, dengan kata lain, mantra “deep ecology” secara reseptif
seringkali tidak realistis untuk saat ini (Steans dan Pettiford, 2005).
28
Kedua cara pandang tersebut cukup problematis dalam melihat relasi antara
manusia dan alam. Antroposentrisme jelas telah membawa tindakan destruktif
terhadap alam, sementara ekosentrisme dipandang terlalu terjebak pada romantisisme
(memandang masa lampau dari kacamata era sekarang) yang menganggap alam harus
indah seperti dulu. Urgens diperlukan adalah suatu pendasaran bagi relasi manusia
dan alam yang terlepas dari segala kewajiban imperatif (antroposentris-eksploitatif vis
a vis ekosentrisme-normatif), tetapi secara ontologis: antara keduanya, manusia dan
alam, saling mengandaikan. Adanya yang satu merupakan syarat bagi satunya. Posisi
ini untuk memutus cara pandang dualisme, yang seolah manusia dan alam memiliki
rasionalitas dan tujuannya masing-masing.
Kedua cara pandang dualisme dalam wacana tentang etika lingkungan
tersebut dipandang belum mampu menjelaskan secara esensial dalam konteks relasi
manusia dengan alam. Di titik inilah pemikiran Ponty menjadi penting. Inti dari
pemikiran Merleau Ponty (Todes, 2001) adalah, fenomenologi bukan semata kajian
tentang bagaimana objek menampakkan diri ke dalam struktur kesadaran, tapi lebih
mengenai bagaimana objek itu secara perseptual berkembang seiring dengan
berkembangnya pengalaman kebertubuhan dengan dunia. Pengalaman perseptual
yang berkembang ini menjadi pondasi dari semua pengetahuan.
Menurut Merleau Ponty, tubuh merupakan bangunan / konstruksi dari
kesadaran dan pikiran yang terkumpul dalam pengalaman perseptual yang
berkembang. Lewat pengalaman sebagai proses, manusia mengkontitusi dunia
melalui persepsi. Artinya, semua pengetahuan, baik sains maupun kepercayaan
29
berbasis pada dunia yang manusia serap. Melalui proses penyerapan terhadap
kenyataan seperti empiris inilah, terbentuk apa yang disebut sebagai persepsi
(Carman, 2008).
Merleau Ponty mengkritik cara pandang kaum empiris yang berargumen
bahwa kebenaran terbentuk lewat kesadaran berpikir (rasionalisme) atau persepsi
yang manusia dapat lewat pengalaman (empirisme). Argumen ini, menurut Ponty,
akan membawa pada apa yang diistilahkannya sebagai experience error. Manusia
tidak mengalami pengalaman kesan inderawi atomistik seperti yang disampaikan
kaum empiris, tetapi lebih pada pengalaman gestalt yang dialami dalam pengalaman
kesehariannya yang bersifat objektif bagi diri manusia itu sendiri. Manusia hanya
mengetahui objek dalam konteks permukaan saja. Manusia menangkap benda pada
dirinya sendiri lewat persepsi, tapi hal ini bukanlah representasi benda yang manusia
pikirkan, melainkan hanya sebatas apa yang manusia lihat dan kenali (Carman, 2008).
Untuk memahami pemikiran Merleau Ponty tentang fenomena persepsi dapat
dijelaskan lewat proses penginderaan. Ambilah analogi aktivitas wisata, taruhlah
praktek geowisata sebagai misal, sebagai sesuatu yang dapat dilihat manusia. Praktek
tersebut tidak mungkin dapat dilihat secara keseluruhan, karena ada sisi yang tidak
dapat terlihat (sisi persiapan atau titik lokasi mana saja telah dan akan dikunjungi).
Pertanyaannya, bagaimanakah manusia dapat menjelaskan bagian yang tidak terlihat
tersebut? Apabila ia tidak membuktikan seluruh bagian dan sisi praktek geowisata
tersebut dengan mengikuti keseluruhan prosesnya, maka ia hanya berasumsi tentang
bagian yang tak terlihat (persepsi). Maka dari itu, manusia memerlukan lebih banyak
30
pengalaman untuk mengembangkan persepsinya. Dalam analogi ini, manusia perlu
melihat keseluruhan sisi praktek geowisata untuk mendapatkan persepsi dan
gambaran yang lebih jelas dan nyata.
Hal ini tidak berarti bahwa persepsi selalu benar. Pengertian manusia terhadap
bagian sebuah objek yang tidak dapat manusia serap itulah yang merupakan dasar
dari persepsi. Dan hal ini berarti tidak ada asumsi dan pengertian persepsi yang
bersifat universal, karena yang ada hanyalah persepsi yang manusia alami dalam
kehidupan yang berkembang lewat pengalaman (Carman, 2008). Anjuran Merleau
Ponty adalah memberi penekanan pada keutamaan pengalaman hidup agar
pemikiran-pemikiran yang diserap dari pengalaman semakin berkembang. Kesadaran
dapat dimengerti sebagai konstruksi perseptual yang disusun atas dasar investigasi
fenomenologis melalui proses menyerap.
Fenomenologi Ponty memberi perangkat bagi pemahaman terhadap relasi
yang saling mengandaikan ini (Saraswati, 2013). Bagimana manusia dengan alam
bisa saling berinteraksi, dimungkinkan karena Ponty menyingkirkan instalasi cogito
sebagai satu-satunya cara mengada manusia, karena kecerdasan manusia punya
batasan. Ia memasukkan unsur empati, keterlibatan tubuh yang merasakan dan
pondasi bagi relasi dengan subyek lainnya. Di titik inilah manusia bisa berelasi
dengan alam dengan perangkat empatinya, sehingga berada pada situasi
intersubyektivitas. Gagasan menempatkan fenomenologi sebagai tafsir atas relasi
manusia dengan alamnya, diistilahkan oleh Luh Gede Saraswati Putri sebagai
ekofenomeologi (Saraswati, 2013).
31
2.3. Landasan Teori. 2.3. 1. Perspektif Dualitas Agensi-Struktur.
Dalam upaya untuk menyingkap praktek geowisata yang berlangsung di
KCAGK, penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetis yang diperkenalkan
oleh Pierre Bourdieu dan teori strukturasi dari Anthony Giddens sebagai pisau
analisis. Pemikiran keduanya digunakan dalam penelitian ini karena dianggap
menyediakan perangkat konseptual dan teoritis yang cukup canggih dan memadai
dalam mencoba menggapai pemahaman terhadap praktek geowisata yang
berlangsung di Karangsambung. Kedua teori ini akan digunakan dalam rangka
menjawab pertanyaan penelitian pertama dalam penelitian ini, yaitu bagaimana
praktek geowisata yang berlangsung, terutama dalam konteks relasi antar aktor yang
berada dalam ranah pariwisata Karangsambung.
Pierre Bourdieu adalah salah seorang sosiolog sekaligus filsuf besar Prancis
kontemporer (Haryatmoko, 2003). Bourdieu menyatakan teori praktek sosial dengan
rumusan generatif: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek. Persamaan ini
dimaksudkan guna “menyederhanakan” kompleksitas fenomena sosial, dan
hendaknya tidak disamakan dengan cara baca disiplin eksakta berupa rumus deduktif
yang berlaku universal (lepas ruang dan waktu). Tetapi dijadikan semacam silent
partner (Berger, dalam Samuel, 2012), amunisi pemahaman peneliti ketika
melakukan penafsiran terhadap realitas sosial yang dikaji secara empiris. Artinya,
realitas sosial yang terjadi tetap menjadi patokan utama, tidak dipaksakan atau
dicocokkan dalam bingkai persamaan tersebut. Dalam penelitian sosial,
32
sesungguhnya yang diikhtiarkan adalah penyingkapan fenomena berdasarkan fakta
empiris yang coba dikonstruksi peneliti, bukan menyingkatnya. Rumusan generatif
Bourdieu dalam konteks penelitian ini akan dibaca sebagai:
(Habitus para aktor x Modal yang diperjuangkan ) + Ranah Pariwisata
Karangsambung = Praktek Geowisata Karangsambung.
Konsep-konsep yang digunakan dalam membantu penyingkapan praktek
sosial berdasarkan perspektif ini adalah: habitus, modal, dan ranah. Praktek
merupakan gagasan pemikiran Bourdieu yang merupakan vektor dari relasi habitus
dan ranah sebagai produk sejarah. Di dalam ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan
para aktor dengan modal yang dimilkinya. Modal merupakan sesuatu yang
diperjuangkan, berupa konsentrasi dari kekuatan tertentu yang beroperasi dalam
ranah (Takwin, dalam Harker dkk.ed, 2009).
Menurut Bourdieu, habitus merupakan ketrampilan yang menjadi tindakan
praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkannya menjadi suatu
kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial
tertentu (Haryatmoko, 2003). Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang
tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal.
Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranah, dan
mengimplikasikan suatu penyesuaian yang subyektif terhadap posisi itu (Mahar,
dalam Harker dkk. Ed, 2009). Habitus bisa diartikan secara mudah sebagai kebiasaan-
kebiasaan. Ini merupakan instalasi kognitif bagi individu yang berguna sebagai
33
perantara antara dirinya dengan realitas sosial. Habitus ini menjadi sarana bagi para
aktor yang bertindak dalam ranah pariwisata karangsambung.
Bagaimana para pihak BIKK-LIPI memberikan pelayanan aktivitas pariwisata
geowisata di Karangsambung dipandu oleh jenis kesadaran khas ini, yang merupakan
hasil dari sekumpulan disposisi berdasarkan pengalaman personal mereka di dalam
ranah dan struktur obyektif yang ada. Fakta bahwa mereka memiliki sejarah personal
untuk sampai pada posisi sekarang sebagai birokrat di BIKK-LIPI, dan status serta
perannya dalam menjalankan fungsinya di KCAGK yang dilegitimasi negara,
menciptakan struktur yang khas pula. Kaitan antara bingkai legitimasi struktural
(sebagai aparatus negara), dan kesadaran personal yang mereka terhadap karir,
menciptakan habitus tertentu, Pelayanan geowisata yang mereka kelola berangkat
dari kesadaran tersebut. Karena bersifat dualitas, pada akhirnya ketika praktek
geowisata ini rutin dijalankan, akan menciptakan habitus tertentu pula.
Konsep berikutnya adalah ranah. Antara ranah dan habitus saling berkaitan,
mengandaikan hubungan timbal-balik: struktur-struktur objektif (struktur-struktur
bidang sosial) dan struktur-struktur habitus yang terintegrasi pada aktor (Haryatmoko,
2003). Konsepsi ranah ini bukanlah dalam artian sebidang ruang yang memiliki
pagar pembatas di sekelilingnya, tetapi sebagai ranah kekuatan, sebuah ruang yang
dinamis tempat berbagai potensi eksis di dalamnya (Mahar, dalam Harker dkk. Ed,
2009). Definisi ranah merupakan suatu sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat
diantara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi objektif yang
terdapat diantara titik-titik simbolik. Struktur ranah, didefinisikan pada suatu momen
34
tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang terbagi-bagi
(Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009).
Konsep ranah ini menjadi sangat menentukan dikarenakan dalam masyarakat
sangat terdiferensiasi dalam lingkup-lingkup hubungan objektif mempunyai kekhasan
yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Namun pada
dasarnya dalam setiap masyarakat, ada yang menguasai dan dikuasai, dimana dalam
pembedaan ini, terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun dominasi ini
tergantung pada situasi modal dan strategi pelaku (Haryatmoko, 2003).
Dalam pemahaman terhadap ranah yang seperti ini, praktek geowisata
Karangsambung berada dalam ranah pariwisata Karangsambung. Ranah pariwisata
Karangsambung mewadahi kepentingan para aktor yang berada di dalamnya untuk
memperjuangkan modal yang “disediakan”. Kata perjuangan dipilih untuk
menunjukkan bahwa dalam konteks mengakumulasi modal yang terdapat dalam
ranah, aktor yang belum memiliki modal akan berusaha merebutnya, dan bagi yang
sudah mempunyainya akan mempertahankan.
Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu
energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan dimana
ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas
menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena: dalam
praktek artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif
(kekayaan ekonomi atau budaya) (Haryatmoko, 2003).
35
Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu modal budaya, modal
sosial, dan modal simbolik. Modal budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh,
kode-kode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-
kedudukan sosial. Modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik yaitu
kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang
diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi.
Sedangkan modal sosial termasuk hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-
hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan
reproduksi kedudukan sosial (Haryatmoko, 2003).
Beragam jenis modal dapat dipertukarkan dengan modal lainnya (Mahar,
dalam Harker dkk. Ed, 2009). Pertukaran paling intens terjadi pada modal simbolik.
Agar dapat dipandang sebagai seseorang atau kelas yang memiliki status dan prestise,
berarti mereka harus diterima sebagai sesuatu yang legitimit, atau otoritas yang
legitimit. Posisi seperti itu membawa kekuasaan untuk memberi nama pada suatu
aktivitas atau kelompok, kekuasaan untuk mewakili pendapat umum, dan yang paling
penting adalah kekuasaan untuk membuat “versi dunia yang resmi” (Mahar, dalam
Harker dkk. Ed, 2009).
Modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti.
Keterkaitan antara ranah, modal dan habitus bersifat langsung. Nilai yang diberikan
oleh modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan kultural habitus.
Ranah dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Jenis-jenis
modal yang dikenali dalam ranah-ranah tertentu dan yang digabungkan kedalam
36
habitus sebagian juga dihasilkan oleh basis material tersebut. Lazimnya, jumlah
modal sebagaimana struktur modal tambahan juga merupakan dimensi penting dalam
ranah (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009).
Konsep modal dari Bourdieu ini akan dipakai dalam mengkaji fenomena
empirik praktek pariwisata yang ada di KCAGK. Sehingga diperoleh pemahaman
mengenai perjuangan antar aktor atau kelompok aktor (kelas) yang ada di sana dalam
rangka mengakumulasi modal, dan memberi tafsir resmi terhadap ranah, ketika
memiliki modal yang relatif lengkap.
Berikutnya adalah konsepsi praktek yang dikembangkan oleh Anthony
Giddens, seorang sosiolog yang berasal dari Inggris, yang bersama Pierre Bourdieu
dianggap memiliki pengaruh cukup besar di maskapai sosiologi kontemporer.
Konsepsi tentang praktek sosial diperkenalkan Giddens (1984) ketika melakukan
kritik terhadap kesalahan yang dilakukan para pemikir ilmu sosial dalam menentukan
obyek kajian ilmu sosial. Mereka terjebak pada perangkap dualisme: obyek kajian
tersebut: apakah struktur sosial ataukah tindakan individu/aktor. Seharusnya, menurut
Giddens, yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial adalah hubungan pelaku
(‘tindakan’) dan struktur sebagai hubungan dualitas dan bukannya dualisme. Dualitas
ini menurut Giddens selanjutnya, selalu terjadi pada praktek sosial yang berulang
dalam lintasan ruang dan waktu.
Giddens mengoreksi cara pandang dualisme dengan berupaya melakukan
sintesa antara struktur dan tindakan sebagai relasi dialektis, dengan menambahkan
konsepsinya tentang ruang dan waktu. Hubungan dualitas antara agen dan struktur
37
dan sentralitas ruang dan waktu dimulai ketika terjadi dualitas (hubungan timbal-
balik) antara agen dan struktur di dalam “praktek sosial (social practices) yang
berulang dan terpola dalam ruang dan waktu”. Praktek sosial yang terjadi secara
berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen individu inilah yang mereproduksi struktur
tersebut (Priyono, 2002).
Giddens berpandangan dualisme yang terjadi antara agen-struktur terjadi
karena struktural-fungsional, yang menurutnya terperangkap pada pandangan
naturalistik. Pandangan ini mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah
dipandang secara mekanis, bukan merupakan suatu produk kontingensi dari aktivitas
agen. Sedangkan konstruksionisme-fenomenologis, menurutnya berakhir pada
imperialisme subyek. Proyek intelektual Giddens adalah berupaya menyudahi klaim-
klaim kedua pandangan tersebut.
Lewat teori strukturasi yang diperkenalkannya, Giddens mensintesakan dua
pendekatan yang berseberangan itu dengan melihat relasi dualitas antara agen dan
struktur serta sentralitas ruang dan waktu. Pertama, dualitas (hubungan timbal-
balik/resiprokal) antara agen dan struktur terjadi di dalam “praktek sosial” (social
practices) yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu, merupakan praktek
sosial repetitif dari agen-agen individu yang mereproduksi struktur tersebut. Misalnya
kebiasaan para aktor di Karangsambung menyebut BIKK-LIPI dengan sebutan
kampus.
Pelaku/aktor/agen dalam strukturasi adalah individu konkret dalam arus
kontinyu tindakan dan peristiwa di dunia, sedangkan struktur didefinisikan sebagai
38
aturan (rules) dan sumber daya (source) yang terbentuk dari dan membentuk
perulangan praktek sosial. Alur dualitas agen-struktur tersebut terletak pada struktur
sosial merupakan hasil (Outcome) dan sekaligus. Dualitas itu terdapat dalam fakta
struktur bagai panduan dalam menjalankan praktek-praktek sosial di berbagai tempat
dan waktu sebagai hasil tindakan kita. Sifat struktur adalah mengatasi waktu dan
ruang (timeless and spaceless) serta maya (virtual), sehingga bisa diterapkan pada
berbagai situasi dan kondisi (Priyono, 2002).
Sentralitas waktu dan ruang dipahami sebagai poros yang menggerakkan teori
strukturasi ketika konsep ini menjadi kritik terhadap yang statik melawan yang
dinamik, maupun stabilitas melawan perubahan. Waktu dan ruang merupakan unsur
konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Hubungan waktu dan ruang
bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri.
Teori strukturasi menunjukkan bahwa agen manusia secara terus menerus
mereproduksi struktur sosial. Artinya, individu dapat mereproduksi struktur sosial
baru jika diperlukan. Menurut Giddens, perubahan dimungkinkan jika agen dapat
mengetahui gugus mana dari struktur yang bisa dimasuki untuk diubah, apakah gugus
signifikansi, dominasi, ataukah legitimasi.
Berikut ilustrasi dari pengertian struktur sebagai sarana praktek sosial.
Misalnya kita ambil contoh sebuah perusahaan biro perjalanan. Tindakan untuk tidak
membuka membuka laci meja rekan kerja, berpenampilan ramah dan menjaga
kebersihan baik pribadi maupun ruang kerja dikendalikan oleh adanya struktur
penandaan tertentu, misalnya norma yang terdapat pada sebuah perusahaan tersebut.
39
Diandaikan ada sebuah norma yang memandu praktek sang karyawan untuk
melakukan tindakan tenggang rasa tersebut. Berikutnya, tindakan supervisi yang
dilakukan direksi dalam praktek rapat evaluasi yang secara periodik dilakukan di
perusahaan tersebut, mengandaikan adanya skemata dominasi. Jika diputuskan
adanya promosi atau mutasi oleh dewan direksi terhadap karyawan tertentu, skemata
dominasi yang memandu adalah dominasi politik (penguasaan atas orang). Dan jika
diputuskan pembelian aset tertentu untuk perusahaan, maka skemata dominasi
ekonomi (penguasaan atas barang) yang memandu. Pola yang sama juga berlaku
ketika manajer memberi hukuman bagi karyawan yang melakukan kesalahan,
pemberian sanksi ini merupakan struktur legitimasi.
Tetapi praktek tersebut tidak akan menjadi sebuah struktur jika tanpa
didahului perulangan praktek sosial, misalnya dalam perusahaan biro perjalanan
tersebut, pembakuan peraturan perusahaan sebagai struktur signifikansi hanya
terbentuk melalui perulangan berbagai informasi mengenai wacana peraturan
perusahaan tersebut. Peraturan perusahaan sebagai struktur dominasi semakin baku
hanya terbentuk karena perulangan berbagai praktek penguasaan yang terjadi dalam
wadah-wadah tunggal tetentu misalnya adanya divisi personalia yang bertugas
mengecek penerapan peraturan perusahaan. Dan struktur legitimasi peraturan
perusahaan menjadi semakin kokoh, misalnya melalui keterulangan penerapan sanksi
terhadap para karyawan yang sering melakukan pelanggaran (Priyono, 2002).
Struktur dapat terwujud jika terdapat aturan dan sumber daya. Sehingga
konsep strukturasi menyatakan bahwa struktur hanya ada di dalam dan melalui
40
aktivitas agen manusia. Giddens tidak sepakat bahwa struktur berada “diluar” dan
“eksternal” terhadap aktivitas individu. Struktur-struktur di sini memfasilitasi
individu dengan aturan-aturan yang memandu aksi mereka, tetapi aksi mereka
menciptakan aturan-aturan baru dan mereproduksi yang lama.
Menurut Giddens, kesadaranlah yang merupakan instrumen guna menjelaskan
bagaimana struktur bisa terbentuk melalui perulangan praktek. Ada tiga dimensi
kesadaran, yaitu:
1. Motivasi tak sadar (unconsciousness motives),
menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan,
tetapi bukan tindakan itu sendiri.
2. Kesadaran praktis (practical consciousness),
menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai, dan
dengannya, kita melaksanakan kehidupan sehari-hari tanpa harus terus-menerus
menanyakan apa yang harus dilakukan. Rutinitas hidup personal maupun sosial
terbentuk melalui kinerja gugus kesadaran praktis.
3. Kesadaran diskursif (discursive consciousness).
mengacu pada kapasitas kita merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta
eksplisit atas tidakan kita.
Dari ketiga dimensi kesadaran tersebut, kesadaran praktislah yang merupakan
kunci untuk memahami proses tindakan dan praktek sosial kita yang lambat-laun
menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan
praktek sosial kita. Reproduksi struktur sosial berlangsung lewat keterulangan
41
praktek sosial yang jarang kita pertanyakan lagi. Proses strukturasi ini terjadi pada
tingkat kesadaran praktis dan pada tingkat ini pula struktur dibangun dan
dilanggengkan dalam rutinisasi dan direproduksi. Hal ini bisa berlangsung karena
pada tindakan sosial yang berulang-ulang, berakar suatu rasa aman ontologis
(Priyono, 2002).
Hal penting lainnya yang disampaikan Giddens, adalah konsepsinya tentang
perubahan. Menurutnya, perubahan menjadi hal yang selalu mengikuti reproduksi
sosial betapapun kecilnya perubahan yang terjadi. Adanya intropeksi dan mawas diri
(reflexive monitoring of conduct) dari pelaku memungkinkannya untuk dapat
memonitor tindakan yang dilakukan. Ketika terbentuk daya refleksivitas dalam diri
pelaku untuk mencari pemaknaan / nilai dari tindakannya tersebut, yang terjadi
adalah pengambilan jarak individu tersebut terhadap struktur, dan jika dilakukan
secara intensif dana meluas akan terjadi apa yang dinamakan Giddens sebagai ’de-
rutinisasi’.
Derutinisasi adalah fenomena yang terjadi ketika skemata yang selama ini
menjadi aturan dan sumberdaya tindakan serta praktek sosial yang dilakukan aktor
sudah tidak lagi relevan, dianggap tidak lagi dapat dipakai sebagai prinsip pemaknaan
dan pengorganisasian praktek sosial. Terjadilah tindakan yang “di luar rutin”. Lalu
muncul keusangan struktur, karena semakin banyaknya agen yang mengadopsi
kesadaran diskursif dan mengambil jarak terhadap struktur. Selanjutnya dibutuhkan
perubahan struktur agar lebih sesuai dengan praktek sosial yang terus berkembang
secara baru.
42
Tilikan Giddens seperti dipaparkan secara singkat di atas, akan berguna bagi
pemahaman bagaimana suatu struktur bekerja, dan bagaimana suatu perubahan sosial
terjadi. Dalam konteks penelitian ini teori strukturasi Giddens akan memberi
pemahaman terhadap proses terbentuknya struktur pariwisata di KCAGK dan
kemungkinan dilakukannya perubahan ke arah yang diharapkan, dalam artian
mewadahi aspirasi / kepentingan bersama para aktor atau kelas (kelompok aktor)
yang berada di KCAGK.
2.3.2. Ekofenomenologi.
Pendasaran ekofenomenologi berangkat dari gagasan filsafat tubuh Merleau
Ponty. Tubuh dan dunia, menurut Merleau Ponty, berangkat dari konsep interweave
(saling menjalin), yaitu dilihat sebagai dua entitas yang menyatu, saling tumpang
tindih. Relasi diantara keduanya bukanlah relasi rangsangan dan reaksi, tetapi
sebagai sesuatu yang saling menjalin dalam satu kesatuan. Konsep dualitas ini
mendekonstruksi dualisme kesadaran yang ada dalam pemikiran Merleau-Ponty
sebelumnya. Upaya Ponty untuk lepas dari dualisme kesadaran-tubuh merupakan cara
untuk membebaskan diri dari filsafat idealisme (idea/roh merupakan yang utama).
Carman, menganalogikan filsafat Ponty sebagai daging, yang merupakan kesatuan
tubuh dan dunia (Hoffman, 2001).
Menurut Merleau Ponty, persepsi merupakan basis bagi pengalaman manusia,
baik yang subyektif maupun yang obyektif, baik perasaan-perasaan internal manusia
maupun perasaan yang muncul secara konkret yang muncul dari persentuhan dengan
dunia material. Lebih jauh persepsi bukanlah melulu fenomena mental, yang
43
kemudian dipertentangkan dengan segala sesuatu yang material dan fisik. Persepsi
adalah fenomena tubuh manusia. Pengalaman kita akan dunia bukanlah semata terkait
dengan pikiran dan kesadaran saja, tetapi juga dengan tubuh. Kita merasa sakit
pertama-tama dengan tubuh kita, baru pikiran kita kemudian mendefinisikannya.
Disini pikiran, tubuh, dan realitas, yakni rasa sakit, saling tumpang tindih dan tak
terpisahkan. Begitu pula ketika kita melihat sesuatu. Kita melihat dengan mata, tetapi
pikiranlah yang menangkap sensasi warna dan bentuk. Di titik ini pikiran, tubuh,
yakni organ mata, dan realitas saling jalin menjalin.
Merleau Ponty berpendapat, bahwa relasi antara tubuh dan persepsi bukanlah
relasi sebab akibat. Tubuh tidak mengakibatkan persepsi, ataupun sebaliknya. Setiap
orang memiliki pengetahuan pra-reflektif di dalam diri mereka. Pengetahuan pra-
reflektif adalah pengetahuan yang muncul dari pengalaman langsung, dan tidak
diolah terlebih dahulu menjadi sebuah konsep. Pengetahuan reflektif ini muncul
melalui persentuhan tubuh dengan dunia. Jadi pengetahuan ini tidak muncul sebagai
akibat dari persentuhan, tetapi bersamaan dengan persentuhan itu. Persepsi adalah
suatu fenomena menubuh manusia. Oleh karena itu persepsi tidaklah dapat
dimengerti terlepas dari tubuh manusia yang material dan bersentuhan langsung
dengan dunia. Dan sekali lagi persepsi tidaklah ditentukan oleh tubuh, melainkan
bersamaan dengan tubuh menyentuh dunia. Maka persepsi tidaklah bisa dilepaskan
dari tubuh.
Dari sudut pandang orang ketiga, tubuh itu bersifat kontingen. Artinya tubuh
itu penuh ketidakpastian dan perubahan yang berlangsung terus menerus. Tubuh
44
adalah sesuatu yang ambigu. Akan tetapi dari sudut pandang orang yang empunya
tubuh, tubuh bukanlah sesuatu yang kontingen, apalagi ambigu. Bahkan tubuh adalah
adalah medium kita menyentuh dan berhubungan dengan dunia. Tubuh adalah sudut
pandang kita dalam melihat dunia. Dari sudut pandang empunya tubuh, tubuh
bukanlah suatu obyek, melainkan subyek yang bertujuan. Tubuh dan dunia memang
tampak tidak terpisahkan, karena setiap orang mengalami dunia melalui tubuhnya.
Tubuh adalah jalan bagi manusia untuk bisa mendunia. Tubuh bukanlah
obyek yang kontingen, atau sekedar fakta kasar dari dunia. Tubuh adalah kondisi-
kondisi yang memungkinkan persepsi manusia. Tubuh adalah modus mengada
manusia di dunia. Dengan kata lain orang tidak dapat memahami persepsi dalam
abstraksinya yang terlepas dari tubuh, karena persepsi selalu terkait tubuh. Persepsi
sebagai fenomen menubuh manusia.
Pemikiran fenomenologi Ponty lepas dari dualisme idealisme
(pengarusutamaan pada pemikiran/ide) dan empirisme (yang melulu berfokus pada
pengalaman inderawi). Menurutnya, dengan menggunakan tubuh sebagai instalasi
dalam kegiatan penafsiran fenomena kongkret yang dialami manusia, akan membawa
pada relasi timbal balik (intersubyektif) antara manusia dengan alam, dan memupus
relasi subyek-obyek kaum antroposentrisme cartesian. Perangkat rasio diganti dengan
instalasi tubuh, yang memiliki kemampuan empati dalam berelasi dengan totalitas
dunia yang dialami.
Gagasan Ponty dijadikan dasar oleh Luh Gede Saraswati Putri dalam
upayanya memberikan perangkat konseptual yang baru dalam konteks relasi manusia
45
dengan alam. Ia membawa tafsir fenomenologi dalam konteks relasi manusia dan
alam. Menurutnya, bingkai relasi yang ada sebelumnya terjebak pada dualisme:
ataukah antroposentrisme ataukah ekosentrisme. Antroposentrisme membawa pada
perangkap keegoisan manusia yang merasa sebagai pihak yang menguasai alam
sehingga bebas mengeksploitasinya, dan ekosentrisme, terjebak pada romantisisme
ketika alam seperti yang ada pada kondisi di masa lalu yang diidealkan oleh paham
ini.
Dalam upayanya lepas dari dualisme tafsir yang demikian, dan tidak adanya
perangkat yang baru bagi pendasaran relasi manusia dengan alam, Saraswati
menyampaikan gagasan tentang ekofenomenologi (Saraswati, 2013). Dengan
fenomenologinya ini memberi kemungkinan bagi manusia dan alam untuk bisa saling
berinteraksi, membangun relasi timbal balik dengan memasukkan perangkat empati
sebagai sarana penafsiran. Hal ini mengatasi kelemahan perangkat rasio yang
digunakan kaum antroposentris sebagai sarana penafsiran, yang menganggap apa
yang di luar manusia (subyek penafsir) sebagai obyek semata yang tidak memiliki
kompetensi yang sama.
Cara pandang ekofenomenologis dirasa penting dalam upaya menafsirkan
relasi yang dibangun dengan alamnya oleh aktor atau kelompok (kelas) yang ada di
KCAGK. Ekofenomenologis menyediakan perangkat penafsiran yang memadai guna
mengidentifikasi aktor / kelompok aktor di KCAGK berdasarkan tafsir mereka
terhadap alam dan aktivitas yang mereka lakukan, sehingga operasi penafsiran jenis
apa yang ada di KCAGK, apakah masih terjebak di perangkap dualisme.
46
Selain itu, ekofenomenologis memberi pendasaran ontologis dan
epistemologis dalam konteks relasi aktor dengan alamnya, sehingga memiliki makna
strategis ke depan guna membangun kerangka pemaknaan yang sinergis dalam
rangka mengkreasi struktur pariwisata yang baru. Struktur pariwisata yang mampu
mewadahi kepentingan seluruh komponen yang ada di KCAGK, baik para aktor
maupun alamnya.
2.4. Model Penelitian.
Yang menjadi isu pokok dalam penelitian ini adalah memperkenalkan
perspektif dualitas dalam mengkaji praktek pariwisata yang berlangsung dalam suatu
ranah pariwisata, dengan menggunakan teori strukturalisme genetis dan strukturasi
sebagai pisau analisis fenomena empiris agensi-struktur (dalam dimensi sosialnya),
dan relasi manusia dengan alam (dimensi lingkungan). Dengan perspektif ini, praktek
geowisata yang beroperasi dalam ranah Karangsambung akan dikaji guna
memperoleh pemahaman mendalam sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji proses terjadinya praktek
geowisata di Karangsambung, menyangkut latar belakang terjadinya, agen yang
memroduksi, aktivitas yang berlangsung, serta posisinya dalam bingkai relasi antar
aktor yang berada dalam ranah. Lalu, untuk mengetahui posisi para aktor konteks
relasinya dengan lingkungan alamiah Karangsambung, menyangkut cara pandang
masing-masing kelompok aktor terhadap alam fisik Karangsambung. Berikutnya
adalah untuk mengetahui implikasi dari relasi tersebut bagi keberlanjutan praktek
pariwisata di Karangsambung, menyangkut problem struktur yang ada saat ini, dan
47
alternatif produksi struktur pariwisata yang diperlukan sehingga mampu mewadahi
aspirasi para aktor di ranah Karangsambung.
Melalui metode observasi langsung dan wawancara mendalam dengan pihak
pengelola, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal (penambang), selanjutnya
dilakukan pembahasan dengan mempertimbangkan konsep pembangunan pariwisata
berkelanjutan sehingga dihasilkan pengetahuan dan pemikiran sebagai bahan kajian
lebih lanjut bagi pariwisata Karangsambung ke depan.
Berikut model penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara isu pokok dan
tujuan utama dari penelitian ini:
48
BIKKLIPI
(GEOWISATA)
AGENSI-STRUKTUR
Gambar 2.1. Model Penelitian.
DUALITAS
KONSERVASI-EKONOMI
KCAGK
PENAMBANG
(PENAMBANGAN)
STRUKTUR
PARIWISATA
BARU
PERSPEKTIFDUALISMEPRAKTIKPARIWISATA