BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian...
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Tabel Penelitian Terdahulu
No Penelitian/judul Hasil Relevansi 1 Akar Konflik Kerusuhan
Antar Etnik Di Lampung Selatan (Studi Kasus Kerusuhan Antara Etnik Lampung dan Etnik Bali di Lampung Selatan) Bethra Ariesra, Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang tahun 2013.
Konflik yang terjadi antara Etnik Bali (Balinuraga) dan Etnik Lampung (Agom) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 disebabkan oleh satu akar penyebab utama dengan beberapa faktor yang memperkuat. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan antara satu sama lain, yaitu: 1. Akar penyebab utama (primer), yaitu perilaku Etnik Bali (Balinuraga) dalam hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung perasaan dan tidak sesuai dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik Lampung). 2. Faktor yang memperkuat (sekunder), yaitu: a. Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Etnik Bali (Balinuraga) dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung di sekitar Desa Balinuraga. b. Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari Etnik Lampung, karena banyak tanah penduduk yang beralih tangan kepada warga Desa Balinuraga melalui jerat hutang. c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang tidak pernah tuntas menyentuh sampai akar permasalahan konflik. Penyelesaian konflik tampak hanya terselesaikan di permukaan saja dan ditataran elit tokoh kedua etnik, namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat di tataran lapangan yang langsung
Konflik antar etnik yang terjadi di Lampung tentu memiliki relevansi yang kuat terhadap apa yang akan diteliti oleh peneliti kali ini. Pertama, melihat hasil penelitian konflik antar etnis yang terjadi di Lampung dari segi faktor penyebab dan wujud konfliknya hampir sama. Hanya saja yang membedakan antara dua kasus ini adalah faktor-faktor pemantik terjadinya konflik manifest ke permukaan. Konflik yang terjadi di sumbawa sejauh ini belum diketahui motif dan tujuannya. Karena konflik ini selain berangkat dari adanya korban jiwa, juga banyak spekulasi yang berbeda-beda. Misalnya, pertama, beberapa hal yang berkaitan dengan proses penanganan kasus oleh kepolisian, kedua, menyebarnya isu-isu provokatif yang dengan cepat memancing emosietnis pribumi, dan oknum-oknum yang terlibat kerusuhan justru bukan dari etnis Samawa asli.
17
bersentuhan dengan konflik, menjadi pelaku konflik, serta turut menjadi korban yang dirugikan dari konflik yang ada.
2 Konflik danKecemburuan Sosial Antara Etnis Tionghoa Dan Masyarakat Pandhalungan Di Daerah Besuki-Situbondo. Jurnal (Nuril Endi Rahman : Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Jember Tahun 2013 )
Konflik laten yang melekat di antara masyarakat Pandhalungan dan warga etnis Tionghoa merupakan konflik yang dilator belakangi oleh kesenjangan social yang kemudian melahirkan kecemburuan social. Peristiwa konflik yang pernah terjadi pada masa lalu tepatnya pada tahun 1996, memang banyak yang menyimpulkan bahwa yang melatar belakangi terjadinya konflik tersebut ialah factor perbedaan agama yang kemudian terjadi kesalah pahaman antar keduanya. Namun yang menjadi paertanyaan besar ialah, mengapa pada saat konflik yang mengatasnamakan kesalah-pahaman dalam agam tersebut selalu terjadi penjarahan pada tempat usaha milik warga Tionghoa yang juga merupakan kaum minoritas. Hal ini mengindikasikan bahwa ada sebuah kecemburuan masyarakat local terhadap etnis Tionghoa yang bias dikatakan ekonominya di atas masyarakat local sendiri. Pada realita saat ini meskipun hubungannya Nampak harmonis dan sikap toleransi yang cukup tinggi, namun benih-benih konflik yang sifatnya terpendam masih menyelimuti antara keduanya. Tentu hal tersebut membutuhkan sebuah penanganan untuk menghindari eskalasi konflik, selain dengan menggunakan strategi komunikasi dalam pengelolaan konflik, peran
Adapun relevansi jurnal ini dengan penelitian kasus yang akan diteliti kali ini yaitu faktor penyebab konfik. Seperti yang kita lihat pada kasus pada masyarakat etnis Pandhalungan dengan etnis Tionghoa dilatar belakangi oleh status ekonomi, sedangkan salah satu faktor yang sementara dapat disimpulkan dari konflik antara etnis Samawa dan etnis Bali ialah akibat dari jatuhnya korban jiwa dari salah satu etnisyang justru melibatkan aparat kepolisian sehingga kemudian menimbulkan konflik yang lebih besar.
18
serta para masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam membuat upaya preventif, terutama peran dari para tokoh agama. Di mana tokoh agama dijadikan panutan utama masyarakat.
3 Konflik Sara Di Kabupaten Poso Tahun 1998-2001. Skripsi Mohammad Rendi: Program studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin tahun 2014.
Konflik bernuansa SARA 1998-2001 di Kabupaten Poso padaumumnya sesungguhnya adalah konflik yang didesain secara khusus oleh oknum dengan memainkan isu agama. Perkelahian antara pemudamabuk di Kabupaten Poso, menjadi meluas hingga ketataran agama. Kehidupan toleransi beragama di Kabupaten Poso berubah menjadi tindakan anarkisme saling menghancurkan, membakar, hingga membunuh antara dua komunitas yang berbeda agama Islam dan Kristen. Konflik pun mulai bergulir dengan antara masyarakat pendatang vs penduduk lokal yang dijadikan kambing hitam konflik Poso. Konflik yang terjadi di Kabupaten Poso, merupakan buah dari persaingan para elite politik lokal dalam memperebutkan posisi-posisi strategis dalam struktur pemerintahan, persaingan tersebut melibatkan para elite lokal yang mewakili dua komunitas agama terbesar di Poso. Pada 1998, pasca berakhirnya masa jabata Bupati lama, isu powersharing kembali menjadi tuntutan yang kuat, setelah pada beberapa periode powersharing atau pembagian kekuasaan mewakili komunitas yang ada di Kabupaetn Poso setalah selama ini telah diabaikan oleh pemerintah yang berkuasa. Berdasarkan hasil analisis data penelitian tentang konflik
Apabila dilihat sekilas, konflik Poso hampir sama dari segi proses terjadinya konflik, akan tetapi menjadi sangat luas ketika dikaitkan dengan kepentingan dan pergulatan politik. Karena salah satu faktor terjadinya konflik di Sumbawa tidak bisa disimpulkan dengan sederhana melihat dari alur cerita di mana jatuhnya korban jiwa yang diketahui sedang menjalin hubungan asmara dengan oknum kepolisian yang juga diduga membunuh korban. Karena status si terduga pelaku ini juga sebagai aparat kepolisian, akhirnya amarah masyarakat jatuh pada pihak kepolisian setempat hingga menyebar luas kepada penyerangan pemukiman dan gedung-gedung ibadah etnis Bali.
19
Poso, maka penulis membuat beberapa kesimpulan, yaitu sebagi berikut : 1. Motif dan latar belakang terjadinya Konflik SARA bukan disebabkan oleh faktor agama, melainkan diakibatkan oleh perebutan kepentingan politik elite lokal. Perebutan jabatan sebagai Bupati dan Sekertaris daerah Kabupaten Poso. 2. Dalam era demokratisasi, komposisi penduduk berdasarkan suku atau agama tidak lagi menjadi formula politik dalam mengatur power sharing. Yang kemudian berlaku ialah, siapa kelompok yang dominan dalam suatu daerah tersebut akan memperoleh kekuasaan. Termasuk komposisi penduduk berdasarkan penduduk pendatang dan pribumi tidak lagi menjadi pertimbangan politik dalam mengatur persamaan. Yang dominan adalah kelompok siapan yang memiliki banyak massa dan pendukung, kelompok itulah yang akan berkuasa. Dampak dari perubahan sistem politik tersebut menimbulkam kekecewaan elite lokal yang selama ini terwakili dalam komposisi keukasaan. 3. Dampak dari dinamika Poso sebagai daerah transmigrasi. Menyebabkan banyaknya pendatang yang masuk, baik lewat transmigrasi yagn diselanggarakan oleh pemerintah ataupun keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Keberhasilan pendatang menguasai sektor-sektor
20
strategis sperti sektor ekonomi, politik dan pertanian menyebabknapribumi merasa termarjinalisasi dan menimbulkan ketegangan antara pendatang dan pribumi
2.1.2 Tinjauan Pustaka
a. Konflik Etnis
Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu
dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak
demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya
konflik antar etnis. Misalnya, konflik etnis di Kalimantan antara suku dayak dan suku madura
pendatang. Bagi Suku Madura pendatang bekerja adalah suatu tuntutan bagi pemenuhan
hidup di perantauan. Pekerjaan yang dilakukan menebang kayu di hutan dan tempat dimana
mereka menebang kayu tersebut adalah tempat yang disakralkan oleh suku dayak. Kesalah
fahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar etnik dayak dan madura yang menelan
korban banyak di antara kedua suku yang berkonflik tersebut.11
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan permasalahan mendesak
mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau
lebih. (Brown, 1997). Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak.
Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar.
Sementara, permintaan warga Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari
pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali. Banyak konflik
lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik
tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja
11 Coriousz. Konflik Etnis. Diakses http://curiousz.blogspot.co.id/2012/12/konflik-etnis_17.html20 Mei 2016 pukul 17.00 WIB
21
dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis karena hakekat
konfliknya adalah persoalan ideologi, bukan persoalan etnis.
Konflik lebih sering terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab
yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya
penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal
yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik,
1. Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak.
2. Perebutan sumber daya.
3. Sumber daya yang terbatas.
4. Kategori atau identitas yang berbeda.
5. Prasangka atau diskriminasi.
6. Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia
terdiri dari tiga sebab utama:
a. Konflik muncul karena ada benturan budaya.
b. Karena masalah ekonomi-politik.
c. Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk
perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat
terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal
ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana
seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami
sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain
berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan
dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami
22
perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok
cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.
b. Konflik Sosialdi Indonesia
Kesalahan budaya sering terjadi di Indonesia masa kini karena banyak pemimpin
Indonesia menggunakan ukuran budaya asalnya sendiri dalam menghadapi masalah-masalah
di wilayah budaya lain.Kesalahpahaman atau konflik yang timbul akibat adanya
keanekaragaman budaya di Indonesia antara lain konflik Ambon, Poso, Timor-Timor dan
konflik Sambas.
Masyarakat Ambon misalnya, umumnya mereka adalah kelompok masyarakat yang
statis. Mereka lebih suka menjadi pegawai negeri, menguasai lahan tempat kelahirannya, juga
memiliki ladang dan pengolahan sagu. Berbeda dengan masyarakat Bugis. Sebagai kaum
pendatang yang tidak memiliki lahan, mereka sangat dinamis dan mampu menangkap
peluang dengan cepat. Pada umumnya mereka adalah pedagang. Keadaan ini menyebabkan
masyarakat Bugis banyak menguasai bidang ekonomi di Ambon, lama kelamaan kemampuan
finansial mereka lebih besar yaitu lebih kaya. Sedangkan warga lokal (Ambon) hanya bisa
menyaksikan tanpa mampu berbuat banyak. Akibatnya, kesenjangan ini kian hari kian
bertambah dan menjadi bom waktu yang siap meledak, bahkan sudah meledak. Sepertinya
konflik Poso pun berlatar belakang hampir sama dengan konflik Ambon. Hal sama juga
terjadi di Timor-Timor. Ketika Tim-Tim masih dikuasai di Indonesia, masyarakat Tim-Tim
yang statis tidak bisa berkembang.
Sedangkan warga pendatang, yang umumnya bersuku Batak, Minang, Jawa, penguasa ini
berbagai bidang ekonomi, sehingga terjadi kecemburuan sosial. Kondisi serupa terjadi di
Sambas. Konflik yang terjadi karena suku Madura yang menguasai sebagian besar kehidupan
ekonomi setempat.
23
Untuk mengantisipasi konflik-konflik di masa yang akan datang, masyarakat yang
berpotensi tunggal seperti itu harus didorong untuk ikut beradaptasi dengan masyarakat
dinamis. Jadi, penyelesaian konflik-konflik perlu cara yang spesifik bukan dengan cara
kekerasan. Pendekatan yang mungkin dilakukan adalah pendekatan budaya- politik.
Pendekatan budaya dapat dilakukan dengan menyerap dan memahami sari-sari budaya
kelomok-kelompok masyarakat yang berupa nilai-nilai yang mereka yakini, pelihara dan
pertahakan, termasuk keinginan-keinginan yang paling dasar.
Untuk menanamkan nilai-nilai budaya nasional pada generasi penerus bangsa, instansi-
instansi hendaknya menyusun kurikulum tentang pendidikan karakter dan budi pekerti bangsa
di sekolah-sekolah. Tujuannya, untuk menjaga nilai-nilai budaya nasional dan penangkal
masuknya arus globalisasi. Pendidikan budi pekerti juga diharapkan mampu mencegah
timbulnya konflik antar suku bangsa di Indonesia melalui ketahanan budaya.12
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Konflik Sosial
Konflik sosial merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan
waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena
konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu,
konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial.
Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan
perbedaan kepentingan sosial.
Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan
yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya.
12 Drsuprobo. Kasus konflik sosialdi indonesia serta penyebab dari konflik. Diakseshttps://drsuprobo.wordpress.com/2013/01/16/kasus-konflik-horizontal-di-indonesia-serta-penyebab-dari-konflik/ 20 Mei 2016 pukul 18.00 WIB
24
Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga
yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan
merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari
model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama
dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.13 Pada umumnya istilah konflik sosial
mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui
dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan
pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.14 Konflik yaitu
proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma
dan nilai yang berlaku.15
2.2.2 Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik
1. Konflik Vertikal
Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang
memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan
dalam sebuah kantor
2. Konflik Horizontal
Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki
kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
13 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip.Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) 14 Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998) 15 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993)
25
3. Konflik Diagonal
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber
daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim.
Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.16
2.2.3 Konflik Menurut Soerjono Soekanto
Soerjono Soekanto membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu
atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-
perbedaan ras.
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi
disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya
kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi
karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan
negara.17
2.2.4 Konflik Menurut RalfRahrendrf
Ralf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai
berikut :
a. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan
konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi
16 Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, (Malang : Taroda, 2002) 17 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar.(Jakarta: Rajawali Pers, 1992)
26
harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang
dimilikinya.
b. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
c. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.
d. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau
organisasi internasional.
2.2.5 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik
Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial,
ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial
dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata
di masyarakat.18
Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai
bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang
untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset sosial relatif sedikit atau
kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk
mempertahankan dan bisa juga menambahinya. Pihak yang cenderung mempertahankan dan
menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut
sebagai status need. Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu:
a. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara
kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan
pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer,
wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural
menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai
karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin
18 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)
27
mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya
seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang
terjadi dapat menimbulkan perang saudara.
b. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan
kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik
sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan
yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau
kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan
kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya
konflik sosial.19
2.2.6 Konflik Laten dan Konflik Manifest
1. Konflik Laten
Konflik laten memang lebih diarahkan kepada adanya isu- isu yang bersifat lokal sebagai
akibat dari sikap primordial kedaerahan yang berlebihan. Ini timbul dari faktor mentalitas
bangsa kita yang masih kental dengan pola berfikir yang konservatif. Tentunya pola ikir
seperti ini jika dipertahankan dan tidak segera dirubah maka masyarakat kita masih
cendurung untuk menutup diri terhaap dunia luar yang notabenya merupakan satu kunci
untuk menuju perubahan itu sendiri.
Rasonalitas kita terancam terkungkung dalam satu area kebodohan yang lamabat laun
akan semakin tidak berdampak positif. Karena asusmsi dasarnya adalah kita sebagai makhluk
sosial, masyarakat pasti membutuhkan masyarakat yang lain guna menciptakan hubungan
dependensi simbiosis mutualisme. Ini juga tidak terlepas dari kodrat sebagai mahluk yang
selalu ingin berkumpul dengan manusia lain.
19 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)
28
Timbulnya konflik dalam masyarakat juga pernah diprediksi oleh tokoh bernama Thomas
hobbes yang menyatakan bahwa,
“Manusia itu adalah mahluk yang jahat, ingin menguasai orang lain, ingin melukai orang lain dan meninidas orang lain. Analoginya adalah manusia seperti seerigala yang ingin memangsa targetnya.”20
Analogi tersebut memiliki relevansi yang kuat dengan kasus-kasus konflik yang terjadi
dimana satu suku ingin menguasai suku yang lain.
2. Konflik Manifest
Konflik manifest secara etimologi dapat dipahami sebagai konflik yang tampak dan
sangat berpengaruh besar terhadap masayarakat luas. Bentuk dari konflik manifest itu sendiri
bisa berupa perang, kerusuhan, kekerasan, dan peristiwa lain yang dapat merugukan banyak
pihak. Konflik manifest dikatakan sebagai konflik yang tampak karena konflik ini merupkan
perkembangan dari konflik laten yang menjadi gejala. Konflik manifest lebih kearah fisik
maupun material dan bersifat transcendent.
20Master Wibi. Konflik Laten Dan Manifest ; Study Kasus, Analisa Dan Solusi Menuju Integrasi Bangsa Yang Lebih Baik. Diakses http://masterofwibi.blogcspot.co.id/2011/10/konflik-laten-dan-manifest-study-kasus.html11 Mei 2016 pukul 22.00 WIB