BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka · Sobur 2012:5). 2. Pengertian Wacana...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka · Sobur 2012:5). 2. Pengertian Wacana...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Sebagai perbandingan dan pertimbangan, ada beberapa penelitian sebelumnya yang
mengkaji tentang teori analisis wacana model Teun A. van Dijk. Tinjauan penelitian terdahulu
tersebut dapat dijadikan penulis untuk menjadi bahan pertimbangan serta sebagai bukti bahwa
penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan bentuk asli.
Sebelumnya, ada beberapa penelitian sejenis tentang analisis wacana maupun penelitian
yang mengambil objek harian Kompas. Penulis hanya akan mengambil beberapa penelitian yang
telah diteliti oleh peneliti lain. Penelitian pertama adalah hasil skripsi karya Anung Nugroho,
Mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta,
pada tahun 2008. Penelitian ini berjudul Keterpaduan Wacana Politik pada “Rubrik Opini”
Surat Kabar Kompas. Dalam penelitian ini, penulis membahas tentang aspek-aspek gramatikal
dalam surat kabar Kompas, di antaranya adalah pengacuan (referensi), penyulihan (subtitusi),
pelesapan (elipsis), dan perangkaian (konjungsi). Selain aspek gramatikal, penulis juga
menjelaskan aspek-aspek leksikal, di antaranya repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata),
sinonimi (lawan kata), kolokasi (sanding kata), dan hiponimi (hubungan atas-bawah).
Tia Agnes Astuti (Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2011) dengan judul skripsi Analisis Wacana van Dijk terhadap Berita
“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau meneliti sebuah naskah berita berjudul
Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Penelian tersebut menggunakan teori analisis wacana Teun
A. van Dijk. Berita tersebut dianalisis menggunakan struktur makro, superstruktur, dan struktur
mikro, serta analisis sosial dan kognisi sosial.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Mulyawan (Universitas
Udayana) berjudul Struktur Wacana Iklan Media Cetak: Kajian Struktur Van Dijk. Dalam
penelitiannya, I Wayan Mulyawan mengunakan kajian teori Teun A. van Dijk untuk
menganalisis iklan media cetakan. Hasil penelitiannya adalah ditemukan kaidah gramatikal
seperti referensi, subtitusi, elipsis, dan perangkaian. Selain itu, penulis menemukan bentuk-
bentuk persuasif melalui maksud dan pesan iklan media cetak tersebut.
Dari beberapa tinjauan penelitian-penelitian tersebut, ada beberapa kesamaan, baik itu
teori maupun sumber data penelitian (harian Kompas). Dalam penelitian ini, menggunakan teori
analisis wacana Teun A. van Dijk dengan objek penelitian opini “Revolusi Mental” yang ditulis
Joko Widodo. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan belum pernah
dilakukan oleh peneliti lain.
B. Landasan Teori
1. Pendahuluan
Istilah wacana berasal dari bahasa Inggris yang disebut discourse. Istilah ini muncul di
Indonesia sekitar tahun 1970-an. Djajasudarma menjelaskan dalam bukunya yang berjudul
Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur (2006) bahwa Wacana memuat rentetan
kalimat yang berhubungan, menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi lainnya,
membentuk satu kesatuan informasi. Preposisi adalah konfigurasi makna yang menjelaskan isi
komunikasi (dari pembicaraan); atau preposisi adalah isi konsep yang masih kasar yang akan
melahirkan statement (pernyataan kalimat).
Wacana memiliki satuan minimum yang disebut dengan klausa. Klausa adalah satuan
gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan
mempunyai potensi menjadi kalimat (Kridalaksana, 2008:124). Klausa disusun berdasarkan
kaidah tata bahasa, sehingga efektif sebagai penyampai pesan.
Analisis wacana dapat dikatakan sebuah penelitian yang baru dalam lingkup penelitian
linguistik di Indonesia. Secara teoretis, menurut Sobur (2012:5), pendekatan analisis wacana
kontemporer terhadap representasi media, lebih canggih dibandingkan pendekatan isi. Tidak
hanya kata-kata dan aspek-aspek lainnya yang dapat dikodekan dan dihitung, tetapi struktur
wacana yang kompleks pun dapat dianalisis pada berbagai tataran deskripsi (van Dijk dalam
Sobur 2012:5).
2. Pengertian Wacana
Definisi wacana sampai saat ini masih beraneka ragam di kalangan ahli bahasa. Terdapat
perbedaan sudut pandang antara ahli bahasa yang satu dengan yang lain dalam memberi
pengertian wacana. Meski demikian, terdapat sebuah persamaan inti atas perbedaan-perbedaan
definisi tersebut.
Edmonson (dalam Djajasudarma, 2006:2) berpendapat bahwa wacana adalah satu
peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku linguistik (bahasa) atau yang lainnya.
Jadi, wacana terikat dengan peristiwa yang terstruktur membentuk keseluruhan yang padu.
Dalam buku yang ditulisnya, Djajasudarma juga memberikan pendapat Moeliono.
Wacana, menurut Moeliono, adalah apa yang disebut rentetan kalimat yang berkaitan sehingga
terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; atau wacana adalah rentetan
kalimat-kalimat yang menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lainnya.
Sementara itu, Samsuri (1988:1) menyebut wacana sebagai rekaman kebahasaan yang
utuh tentang peristiwa komunikasi. Selanjutnya, komunikasi dapat dibedakan menjadi
komunikasi lisan dan komunikasi tulisan. Berdasarkan sifatnya, wacana dibedakan menjadi
wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana bersifat transaksional jika yang
dipentingkan adalah isi komunikasi yang terjadi, dan bersifat interaksional apabila yang
dipentingkan adalah terciptanya komunikasi timbal-balik. Wacana lisan yang bersifat
transaksional dapat dicontohkan seperti pidato, ceramah, dakwah, dan lain sebagainya. Wacana
lisan yang bersifat interaksional berupa debat, tanya-jawab (di dalam persidangan), dan dengar
pendapat. Sementara itu, wacana tulisan yang bersifat transaksional yakni berupa iklan, surat,
makalah, novel, dan sebagainya. Wacana tulisan yang bersifat interaksional, contohnya surat-
menyurat, email, dan percakapan dalam media sosial Facebook atau Twitter.
Apapun bentuk sebuah wacana, setidaknya harus ada penyapa (addressor) dan pesapa
(addressee). Dalam wacana lisan, yang berperan sebagai penyapa adalah pembicara, sedangkan
yang berperan sebagai pesapa ialah pendengar. Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis, dan
pembaca berperan sebagai pesapanya.
Mills (dalam Sobur, 2012:11) yang mengacu pendapat Foucault, membedakan pengertian
wacana menjadi tiga macam, yakni wacana dari segi konseptual teoretis, konteks penggunaan,
dan metode penjelasan.
Berdasarkan konseptual teoretis, Mills mengartikan wacana sebagai bentuk umum dari
semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan efek dalam dunia
nyata. Berdasarkan konteks penggunaannya, wacana merupakan sekumpulan pernyataan yang
dapat dikelompokkan dalam kategori konseptual tertentu. Artinya, struktur wacana diidentifikasi
dengan suatu cara tertentu, seperti wacana kapitalisme, wacana feminisme, dan lain-lain.
Sementara berdasarkan metode penjelasannya, wacana ialah suatu praktik yang diatur untuk
menjelaskan sejumlah pernyataan.
Norman Fairclough sendiri berpendapat bahwa wacana adalah pemakaian bahasa tampak
sebagai sebuah bentuk praktik sosial, dan analisis wacana adalah analisis mengenai bagaimana
teks bekerja atau berfungsi dalam praktik sosial budaya (Sumarlam, 2010:12). Analisis tersebut,
menurut Fairclough, memperhatikan pada bentuk, struktur, dan organisasi tekstual pada semua
tataran: fonologis, gramatikal, leksikal (kosa kata), dan tataran-tataran yang lebih tinggi dari
organisasi tekstual yang berkenaan dengan sistem perubahan, struktur argumentasi, dan struktur
umum.
Dalam hal tersebut, Fairclough memandang wacana sebagai bentuk praktik sosial yang
terungkap melalui pemakaian bahasa. Dengan demikian, analisis wacana berusaha menjelaskan
bagaimana bahasa (teks) berfungsi mengungkapkan realitas sosial budaya (Sumarlam, 2010:12).
Teori wacana yang lebih ringkas dipaparkan oleh Heryanto (dalam Sobur, 2012:12).
Secara ringkas, Heryanto menjelaskan bahwa teori wacana menjelaskan sebuah peristiwa terjadi
seperti terbentuknya sebuah kalimat pernyataan. Oleh sebab itu, ia dinamakan analisis wacana.
Menurutnya, aturan-aturan kebahasaan tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang
bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik.
Mills juga berpandangan bahwa munculnya analisis wacana dibebabkan oleh sebuah
reaksi terhadap bentuk linguistik tradisional yang bersifat formal (linguistik struktural).
Linguistik struktural lebih memfokuskan pada kajian-kajian internal, yakni unsur-unsur yang
berada pada level kalimat tanpa mempertimbangkan analisis bahasa dalam penggunaannya.
Berbeda dengan linguistik struktural tersebut, analisis wacana justru lebih memperhatikan hal-
hal yang berkaitan dengan struktur kalimat hingga struktur yang lebih luas. Analisis wacana
bertujuan untuk mengeksplisitkan norma-norma dan aturan-aturan bahasa yang implisit.
Deborah Schiffrin dalam bukunya Ancangan Kajian Wacana mendefinisikan wacana
dengan dua cara, yakni sebuah unit bahasa khusus (di atas kalimat), dan sebuah fokus khusus.
Dua definisi tersebut mencerminkan perbedaan antara paradigma wacana formalis dan
fungsionalis. Leech kemudian memberikan perbedaan kedua paradigma tersebut: (1) para
formalis cenderung menganggap bahasa sebagai sebuah fenomena mental, para fungsionalis
cenderung menganggap bahasa sebagai fenomena sosial; (2) para formalis menjelaskan
kesemestaan bahasa sebagai sesuatu yang diwariskan linguistik genetis yang sama dari spesies
manusia, para fungsionalis cenderung menjelaskan kesemestaan bahasa berasal dari kesemestaan
yang ada dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat; (3) para formalis menjelaskan bahwa
bahasa anak didasarkan pada kemampuan alamiah manusia belajar bahasa, para fungsionalis
menjelaskan pemerolehan bahasa didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan komunikatif anak
dalam masyarakat; (4) para formalis mengkaji bahasa sebagai sebuah otonom, para formalis
mengkaji bahasa sebagai sebuah sistem yang berhubungan dengan fungsi sosial (Schiffrin
2007:26).
Secara sederhana, Schiffrin menyebut bahwa paradigma fungsionalis didasarkan pada
dua asumsi umum, yaitu (1) bahasa memiliki fungsi-fungsi eksternal dari sistem linguistik dan
(2) fungsi eksternal mempengaruhi organisasi dari sistem linguistik internal. Asumsi tersebut
membedakan paham fungsionalis dengan formalis yang tidak memperhatikan faktor eksternal
yang mempengaruhi bahasa.
Lebih lanjut, Shiffrin menjelaskan kedua definisi wacana sebagai berikut, Wacana
formalis sebagai bahasa di atas kalimat dan wacana fungsionalis sebagai fungsi penggunaan
bahasa.
1. Bahasa di atas Kalimat
Definisi klasik wacana berasal dari asumsi-asumsi formalis (struktural) yang berpendapat
bahwa wacana adalah “bahasa di atas kalimat atau di atas klausa” (Stubb dalam Schiffrin,
2007:28). Di dalam buku yang sama, van Dijk memberikan pendapat umum: analisis
struktural berfokus pada cara unit-unit berbeda berfungsi dalam hubungan antara yang satu
dengan yang lain, tetapi analisis-analisis tersebut mengabaikan “hubungan-hubungan
fungsional dengan konteks yang merupakan bagian dari wacana”. Oleh sebab alasan inilah,
wacana formal berbeda dari wacana fungsional.
Sebagian besar formalis melihat bahwa wacana dilihat sebagai sebuah tingakatan struktur
yang lebih tinggi daripada kalimat. Ahli bahasa pertama yang menyebut analisis wacana
(discourse analysis), Z. Harris, menyatakan bahwa wacana adalah tingkat selanjutnya dalam
sebuah hirarki morfem, klausa, dan kalimat. Ia melihat wacana sebagai sebuah metodologi
formal yang berasal dari metode struktural analisis linguistik: sebuah metodologi semacam
ini dapat membahas sebuah teks menjadi satu kesatuan di antara konstituen-konstituennya
yang berada pada tingkatan yang lebih rendah (Schiffrin, 2007:29).
Wacana struktural menggunakan unit-unit yang lebih kecil dari kalimat dalam analisis.
Wacana didefinisikan sebagai struktur yang mengarah pada analisis-analisis konstituen yang
memiliki hubungan tertentu satu sama lain dalam sebuah teks. Namun dalam prakteknya,
memberikan identifikasi konstituen struktural tersebut tidaklah sesuatu yang mudah.
2. Penggunaan Bahasa
Analisis wacana sudah pasti adalah analisis penggunaan bahasa. Dengan demikian,
analisis wacana tidak dapat dibatasi pada penggambaran bentuk-bentuk linguistik yang terlepas
dari tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi yang dipenuhi dari perancangan fungsi-fungsi ini dalam
urusan sehari-hari manusia (Brown dan Yule dalam Schiffrin, 2007:40). Dengan kata lain,
wacana tidak bisa dilepaskan dari tujuan-tujuan penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia.
Pandangan tersebut kemudia berkembang dalam khazanah keilmuan bahasa
Menurut Fairclough, bahasa adalah sebuah bagian dari masyarakat; fenomena-fenomena
linguistik adalah fenomena-fenomena sosial khusus, dan fenomena-fenomena sosial adalah
fenomena-fenomena linguistik (Schiffrin, 2007:41). Bahasa memiliki hubungan timbal balik
dengan masyarakat. Dalam analisisnya, wacana kerap berhubungan dengan aktivitas dan makna
sosial serta sistem-sistem di luar bahasa.
Pandangan fungsionalis secara umum menyebut bahwa wacana merupakan sebuah sistem
(sebuah cara berbicara yang diatur oleh sosial dan budaya) melalui fungsi-fungsi tertentu yang
diwujudkan. Ancangan fungsionalis cenderung menggunakan berbagai metode dalam
analisisnya. Metode analisis fungsionalis tidak hanya meliputi metode kuantitatif yang diambil
dari ancangan-ancangan ilmiah sosial, tetapi juga usaha-usaha interpretatif yang didasarkan pada
humanistik (Schiffrin, 2007:41).
3. Pendekatan Analisis Wacana
Analisis wacana tidak dapat dibatasi pada penggambaran bentuk-bentuk linguistik yang
terlepas dari tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi yang dipenuhi dari perancangan fungsi-fungsi ini
dalam urusan sehari-hari (Brown dan Yule dalam Schiffrin, 2007:40). Analisis wacana
merupakan salah satu bidang kajian baru dalam ilmu linguistik yang baru berkembang beberapa
puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisisannya
hanya dalam soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan
perhatiannya kepada penganalisisan wacana (Lubis dalam Sobur, 2012:47).
Menurut van Dijk, wacana merupakan kajian tentang proses kognitif yang aktual (mental)
dan pembentukan serta pemahamannya oleh pengguna bahasa. Dari sudut pandang lain, kajian
kognitif mengkaji tentang pengetahuan, sikap, dan representasi mental yang lain yang
memainkan peran pada pembentukan serta pemahaman pada sebuah tuturan, dan bagaimana
tuturan tersebut mempengaruhi opini publik (van Dijk 1997: 2)
Kajian analisis wacana tidak hanya berfokus pada rincian teks, tetapi juga menggunakan
sudut pandang yang lebih luas, serta menunjukkan fungsi wacana secara sosial, politik, atau
kebudayaan dalam institusi, kelompok, atau masyarakat dan kebudayaan secara luas (van Dijk,
1997:5). Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya,
analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik). Analisis wacana erat
kaitannya dengan konteks luar bahasa. Konteks tersebut berpengaruh dalam proses pemaknaan
suatu wacana. Konteks inilah yang tidak diperhatikan dalam linguistik struktural.
Tarigan (dalam Sobur, 2012:48) mengatakan bahwa tanpa konteks, tanpa hubungan-
hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan suprakalimat maka kita sukar berkomunikasi
satu sama lain. Dalam buku yang sama, Littlejohn menjelaskan bahwa analisis wacana lahir dari
kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan
kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih
kompleks dan inheren yang disebut wacana.
Deborah Schiffrin dalam bukunya Ancangan Kajian Wacana (diterjemahkan oleh Abd.
Syukur Ibrahim) mendeskripsikan enam pendekatan (ancangan) pada analisis linguistik wacana,
yakni teori tindak tutur, interaksi sosiolinguistik, etnografi komunikasi, pragmatik, analisis
percakapan, dan analisis variasi. Setiap ancangan tersebut bisa digunakan untuk masalah-
masalah umum analisis wacana.
Tindak tutur mendeskripsikan bahasa tidak hanya sebagai alat untuk komunikasi secara
universal, tetapi juga untuk menggambarkan suatu tindakan, tepatnya menekankan pada tindak
komunikasi yang digambarkan melalui tuturan. Teori tindak tutur menawarkan seperangkat
aturan dengan tanda-tanda khusus untuk menentukan tindak tutur. Aturan tersebut memberikan
dugaan pada tindakan selanjutnya. Dengan demikian, muncullah koherensi wacana pada suatu
tempat, berdasarkan tindakan demi tindakan, rangkaian hubungan antara tindakan dengan
pengetahuan yang digunakan untuk menghubungkan suatu tuturan pada suatu tindakan.
Tindak tutur tidak hanya meninjau struktur dan hubungan teks atau konteks, tetapi juga
meninjau adanya koherensi dan proses koherensi yang ditemukan. Koherensi adalah hasil yang
mendasari pemetaan aturannya (hubungan suatu tuturan pada penentuan aturannya sebagai suatu
tindak lanjut) dan rangkaian aturan itu tidak menghubungkan unsur-unsur surface linguistik (apa
yang diucapkan), tetapi tindakan yang telah dihasilkan dari pemetaan aturan. Dengan demikian,
koherensi merupakan kreativitas pelaksanaan tuturan (Schiffrin, 2007:613).
Interaksi sosiolinguistik lebih luas tinjauannya daripada tindak tutur. Teori tindak tutur
kajiaannya berhenti pada kerangka tindakan, sedangkan interaksi sosial mengkaji analisis ujaran
sebagai petunjuk sosial, budaya, dan makna perorangan. Tuturan ditafsirkan berdasarkan situasi
konteks lokal dan konteks secara umum. Dalam ancangan ini, wacana dilihat sebagai saran
kontekstual untuk memahami konstruksi pada level yang berbeda (Schiffrin, 2007:614).
Etnografi komunikasi fokus pada perilaku budaya: bahasa merupakan suatu matrik
makna, keyakinan, dan nilai-nilai yang luas dari pengetahuan tata bahasa. Dengan konsep
kompetensi komunikatif, etnografi komunikasi memasukkan kompetensi linguistik ke dalam
pengetahuan budaya. Kompetensi komunikatif merupakan pengetahuan budaya termasuk
prinsip-prinsip sosial dan psikologi yang menguasai penggunaan bahasa, seperti ringkasan aturan
gramatikal mengenai kode linguistik. Jadi, wacana merupakan bagian dari kebudayaan: karena
kebudayaan merupakan suatu kerangka tindakan, keyakinan, dan pemahaman. Kebudayaan
merupakan kerangka di mana komunikasi menjadi bermakna (Schiffrin, 2007:614-615).
Pragmatik menekankan pada perbedaan jenis makna, bukan makna sosial dan budaya,
melainkan makna individual. Maksud utama makna bisa ditambahkan dari logika, proporsional
dan makna-makna konvensional dapat dinyatakan melalui kode linguistik. Penekanan
kontekstual pragmatik terletak pada asumsi yang sangat umum bahwa penutur dan mitra tutur
saling memberi kesempatan bertutur. Dari situ terdapat kesimpulan yang sangat khusus tentang
makna penutur. Karena apa yang dikatakan dalam tuturan seseorang bisa memberikan
konstribusi pada makna penutur dalam tuturan yang lain, wacana bisa memperlihatkan suatu
rangkaian kesimpulan berdasarkan pada hubungan yang timbul dari pelaksanaan beberapa
maksim (misalnya kuantitas, relevansi dan lain-lain), seperti mereka menerapkan ujaran lintas
(across utterance) (Schiffrin, 2007:615).
Perhatian utama dalam anvangan analisis percakapan adalah cara bahasa yang dibentuk
oleh konteks, dan pada gilirannya cara bahasa membentuk konteks. Konteks tersebut secara
empiris hanya bisa dibuktikan melalui tindak tutur atau perilaku. Jadi, analisis percakapan
akhirnya menawarkan objek unsur-unsur analisis yang sangat tertutup dari piranti khusus atau
struktur dalam konstruksi percakapan (Schiffrin, 2007:616).
Sementara itu, analisis variasi berupaya untuk menemukan struktur bahasa dan perilaku
yang pola-polanya tampak bertentangan dengan makna tradisional yang ditemukan. Analisis
variasi menganalisis bagaimana unit-unit kecil dihubungkan secara sistematis pada unit yang
lain. Jadi, wacana merupakan suatu unit analisis linguistik yang koherensinya ditimbulkan
karena hubungan yang sistematis antara unit-unit (kata, makna, klausa, atau tindakan) sehingga
ada perbandingan dalam suatu teks (Schiffrin, 2007:616).
Schiffrin menyatakan bahwa seluruh ancangan di atas melihat bahasa sebagai interaksi
sosial. Dengan kata lain, ancangan tersebut sesuai dengan pemahaman kaum fungsionalis.
4. Analisis Wacana Kritis
Studi AWK dimulai pada akhir 1970 ketika Linguistik Kritis dibentuk oleh kelompok
ahli bahasa dan pemikir kesusastraan di University of East Anglia (Fowler et. Al., 1979; Kress &
Hodge, 1979 dalam Sheyholislami). Setelah beberapa tahun dan belakangan ini, AWK semakin
berkembang dan meluas.
Dalam analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA) bahasa selalu dilihat
berhubungan dengan konteks. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam
membentuk subjek, tema, dan wacana tertentu. Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah sesuatu
yang berkaitan dengan penelitian analisis teks penulisan dan percakapan untuk mengungkapkan
hubungan tidak langsung dari kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang tampak tak
berhubungan satu sama lain (Sheyholislami, Critical Discourse Analisys:1).
Hal yang kurang lebih sama juga disampaikan Fairclough. Analisis wacana, menurut
Fairclough, secara sistematis bertujuan meneliti hubungan yang tidak jelas dalam sebab-akibat
dan menentukan (a) hubungan tidak langsung, peristiwa dan teks, dan (b) struktur sosial dan
budaya yang lebih luas, hubungan dan proses. Singkatnya, Analisis Wacana Kritis bertujuan
untuk menjelaskan hubungan antara praktek wacana, sosial, dan struktur. Hubungan tersebut
tidak mudah dipahami oleh orang awam (Fairclough dalam Sheyholislami:1).
Menurut van Dijk, tujuan utama AWK tidak untuk menambah kajian khusus, paradigma,
dan teori wacana. Tujuan utama AWK adalah menekankan isu sosial yang harapannya dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik daripada analisis wacana. Tidak seperti analisis
wacana, AWK dengan tegas menggunakan prinsip sosiopolitik: keduanya berbeda sudut
pandang, perspektif, prinsip dan tujuan (van Dijk dalam makalah Principle of Critical Discourse
Analisys hal. 252-253)
Van Dijk memaparkan hubungan antara teks produksi teks berita dengan konteks sosial
di dalamnya. Dalam menjelaskan hubungan tersebut, van Dijk menggunakan dua tingkatan, yaitu
struktur mikro dan struktur makro. Dalam struktur mikro, fokus analisis terletak pada hubungan
semantik, sintaksis, leksikal dan elemen retoris lainnya yang berhubungan di dalam teks.
Sementara struktur mikro mengkaji pada tema atau topik dan skema penulisan (Sheyholislami:3).
5. Teks
Pendapat Barthes tentang definisi teks sangat menarik. “The text is an object of pleasure.
(Teks adalah objek kenikmatan)”. Teks menjadi sebuah objek kenikmatan karena teks dapat
dinikmati dalam sebuah naskah dengan membacanya dari satu halaman ke halaman yang lain.
Kegiatan ini menimbulkan kenikmatan tersendiri bagi pembaca teks tersebut. Kenikmatan
tersebut hanya dirasakannya tanpa bisa dinikmati orang lain. Artinya, kenikmatan itu bersifat
individual. Kenikmatan yang individual itu seakan-akan membangun sebuah dunia pembaca itu
sendiri, yang dia secara bebas mengimajinasikannya (Kurniawan dalam Sobur, 2012:52).
Sebuah teks tidak dapat dipisahkan dengan teks lainnya. Sebuah teks memiliki banyak
makna tak hanya karena memiliki struktur tertentu, melainkan juga karena teks tersebut
berhubungan dengan teks yang lain. Menurut Partini (dalam Sobur, 2012:53), teks memiliki
kesatuan karena sebuah teks lahir dari teks yang lain dan harus dipandang sesuai tempatnya
dalam kawasan kontekstual.
Teks adalah makna yang proporsional yang secara linguistik direalisasikan (misalnya,
berupa “semantik” dari sebuah tanda bahasa) yang secara gramatikal berupa unit-unit terbatas,
misalnya klausa melalui hubungan yang diungkapkan antara unit-unit tersebut (Schiffrin,
2007:547). Menurut van Dijk (dalam Eriyanto, 2012:226), makna global dari suatu teks
didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai.
6. Konteks
Istilah konteks seringkali digunakan. Menurut Schiffrin, konteks lebih sulit dipahami
dibanding teks. Informasi tekstual adalah informasi yang selalu diidentifikasi dalam
hubungannya satu sama lain. Konteks adalah hal yang perlu kita ketahui untuk pemahaman yang
lebih baik tentang kejadian, aksi, dan wacana. Sesuatu yang berfungsi sebagai latar belakang,
setting, lingkup, kondisi atau akibat. Dalam analisis wacana konteks sangatlah penting. Konteks
merupakan parameter antara partisipan, peran, serta tujuan mereka, dan juga latar seperti tempat
dan waktu (van Dijk, 1997:11)
Konteks merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam analisis wacana kritis. Tidak
hanya struktur bahasa yang dikaji, luar struktur bahasa seperti latar, situasi, peristiwa, dan
kondisi juga turut mempengaruhi analisis wacana. Hal yang perlu dicatat dalam analisis wacana
di sini adalah bahasa tidak dipahami sebagai mekanisme internal dalam ilmu bahasa saja, tetapi
bahasa dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Analisis wacana memeriksa konteks dari
komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak
dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi;
dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak (Guy Cook dalam Eriyanto, 2012:8).
Selanjutnya, Cook menjelaskan tiga hal pokok dalam pengertian wacana, yakni teks,
konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di
lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara,
citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal di luar definisi teks di atas
dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi teks diproduksi,
tujuan yang dimaksudkan, dan sebagainya. Sementara itu, wacana diartikan sebagai teks dan
konteks secara bersamaan. Fokus dalam analisis wacana adalah menggambarkan teks dan
konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.
Meskipun konteks sangat penting dalam analisis wacana, tidak semua konteks
dimasukkan dalam analisis. Hanya konteks yang memiliki relevansi yang digunakan. Ada
beberapa konteks yang penting yang relevan dan memiliki pengaruh dalam produksi wacana.
Pertama, partisipan, yakni orang yang memproduksi wacana atau yang berhubungan langsung
dengan produksi wacana. Latar belakang partisipan seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan, kelas
sosial, agama, etnis, pendidikan, dan lain-lain memiliki relevansi dalam analisis wacana. Kedua
adalah latar/setting, yaitu tempat di mana suatu peristiwa terjadi dan kapan waktunya. Hal ini
sangat berguna untuk mengerti sebuah wacana.
Van Dijk (1997:16) berpendapat bahwa terdapat dua aspek analisis konteks yang harus
ditelaah. Pertama, wacana itu sendiri. Konteks bisa saja fleksibel dan berubah, dan tentu saja
perlu dipertimbangkan, khususnya dalam interaksi percakapan. Wacana bisa dikondisikan oleh
konteks, akan tetapi konteks juga mempengaruhi dan membangun wacana. Wacana adalah
bagian struktural dari konteks, dan masing-masing struktur saling mempengaruhi satu sama lain
dan berkelanjutan.
Kedua, konteks seperti halnya wacana, terdiri dari fakta sosial yang dimengerti dan
memiliki hubungan yang relevan. Dari sudut pandang yang lebih kognitif, bisa dikatakan bahwa
konteks adalah secara sosial, merupakan sebuah konstruksi mental, atau sebuah model dalam
ingatan. Makna dan pemahaman wacana tersusun secara mental, hal ini juga menjelaskan
hubungan erat antara wacana dengan konteks.
Pembahasan teks dan konteks diperlukan dalam analisis wacana. Satu alasannya yang
jelas, menurut Schiffrin, adalah bahwa konteks dapat sangat luas dan didefinisikan dengan cara-
cara berbeda, misalnya pengetahuna bersama, situasi-situasi sosial, identitas-identitas pembicara
dan mitra tutur, dan konsep budaya. Alasan lainnya adalah hubungan antara teks dan konteks
tidak bisa dilepaskan dari hubungan-hubungan lain yang sering dianggap berada antara bahasa
dan konteks (konteks sebagai „budaya‟, „masyarakat‟, atau „interaksi‟) (2007:58).
7. Analisis Wacana Model Teun A. van Dijk
Dari beberapa model analisis wacana yang berkembang, model analisis wacana Teun A.
van Dijk merupakan model yang paling banyak dijadikan kajian. Model analisis wacana van Dijk
juga dikembangkan oleh para ahli. Menurut Eriyanto, hal ini kemungkinan karena van Dijk
mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis
(Eriyanto, 2012:221).
Penelitian suatu wacana, lanjut van Dijk, tidak cukup bila hanya didasarkan pada teks
semata karena pada kenyataannya teks hanyalah hasil dari suatu praktik produksi yang juga
harus diamati. Jadi, harus dilihat pula bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu
melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Atas dasar inilah model analisis
wacana yang dipakai van Dijk sering disebut dengan “kognisi sosial” (Eriyanto, 2012:221).
Istilah tersebut diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial yang menjelaskan struktur
dan proses terbentuknya suatu teks.
Analisis wacana van Dijk digambarkan dalam tiga dimensi, yakni teks, kognisi sosial,
dan konteks sosial. Dalam dimensi teks diteliti bagaimana struktur sebuah teks dan strategi
wacana dipakai untuk memunculkan sebuah tema tertentu. Dalam dimensi kognisi sosial dapat
dipelajari proses bagaimana teks diproduksi dengan melibatkan kognisi individu penulis.
Sementara dimensi konteks sosial mempelajari struktur wacana yang berkembang dalam
masyarakat akan suatu masalah.
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan yang masing-
masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur
makro. Struktur makro ini merupakan makna global atau makna umum dari suatu teks yang
dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua,
superstruktur. Superstruktur yang dimaksud adalah struktur wacana yang berhubungan dengan
kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian kecil dari suatu teks tersusun ke dalam berita
secara utuh. Dan yang ketiga adalah struktur mikro, yakni makna wacana yang dapat diamati dari
bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar
(Eriyanto, 2012:226).
Menurut van Dijk, segala bentuk teks dapat dianalisis menggunakan struktur tersebut.
Meski terdiri dari beberapa unsur, semua unsur tersebut bersifat satu kesatuan yang saling
mempengaruhi dan mendukung unsur satu dengan yang lain.
Struktur makro mengamati tematik, yakni tema atau topik yang dimunculkan dalam
sebuah wacana. Superstruktur berhubungan dengan skema atau alur sebuah wacana, bagaimana
sebuah wacana disusun dan diurutkan sesuai dengan kehendak penulis. Sementara itu, struktur
mikro membahas masalah hierarki kebahasaan, yakni semantik, sintaksis, stilistika, dan retoris.
Kesemua elemen ini akan dijabarkan di bawah ini.
a. Struktur Makro (Tematik)
Kata tema secara harafiah berarti “sesuatu yang telah ditempatkan”. Kata ini berasal
dari bahasa Latin tithenai yang berarti „menempatkan‟ atau „meletakkan‟. Menurut Gorys Keraf
(dalam Sobur, 2012:75) tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui
tulisannya . Menurut Sobur, sebuah tema bukan merupakan hasil dari seperangkat elemen yang
spesifik, melainkan wujud-wujud kesatuan yang dapat kita lihat di dalam teks atau bagi cara-cara
yang kita lalui agar beraneka kode dapat terkumpul dan koheren.
Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut
sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari teks (Eriyanto, 2012:229). Tema memiliki
kedekatan makna dengan topik. Kata tema dan topik memiliki makna yang sama dalam bahasa
Yunani yang berarti „tempat‟.
Topik merupakan sebuah bagian penting dalam suatu informasi. Topik menunjukkan
informasi yang sangat penting untuk yang hendak disampaikan penulis kepada pembaca. Topik
menggambarkan tema umum suatu teks dan didukung oleh subtopik-subtopik yang membangun
satu kesatuan hingga menjadi topik umum.
Van Dijk mendefinisikan topik sebagai struktur makro dari suatu wacana. Dari topik
inilah bisa diketahui gambaran masalah dan tindakan yang disampaikan komunikator dalam
mengatasi sebuah masalah. Tindakan, keputusan, atau pendapat dapat diamati pada struktur
makro dari suatu wacana (Sobur, 2012:75).
b. Superstruktur (Skematik)
Pada dasarnya, teks sebuah wacana memiliki alur atau skema yang membangun teks
wacana tersebut. Skema itu tersusun dari awal sampai akhir teks. Skema tersebut menunjukkan
bahwa suatu teks terdiri dari bagian-bagian yang disusun dan diurutkan sedemikian rupa
sehingga menjadi satu kesatuan arti.
Skematik mungkin merupakan strategi penulis untuk mendukung makna umum
dengan memberikan sejumlah alasan pendukung. Struktur skematik memberikan sebuah tekanan:
bagian mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa ditempatkan belakangan sebagai
sebuah strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Upaya tersebut dilakukan dengan
menempatkan unsur penting di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol (Sobur, 2012:76).
Arti penting dari skematik, menurut van Dijk, adalah strategi penulis untuk
mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan
urutan-urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan bagian mana yang didahulukan, dan
bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi
penting.
c. Struktur Mikro
1. Semantik
Sesuatu yang paling penting dalam analisis wacana adalah makna yang ada dalam
suatu teks, baik makna yang eksplisit maupun makna yang implisit. Semantik adalah sistem dan
penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya (Kridalaksana,
2008:216). Dalam pengertian umum, semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah
makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal (Sobur, 2012:78).
Dalam skema van Dijk, semantik dikategorikan sebagai makna lokal (local meaning).
Artinya, makna tersebut muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antarproposisi yang
membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Seperti yang telah diketahui, analisis
wacana memusatkan kajiannya pada dimensi teks yang membangun makna eksplisit maupun
makna implisit, yakni makna yang sengaja disembunyikan dan bagaimana orang menulis atau
berbicara mengenai hal itu. Dengan kata lain, semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana
yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring ke arah sisi tertentu dari suatu
peristiwa.
Makna semantik memiliki elemen-elemen yang bisa diamati, yaitu latar, detail,
maksud, dan praanggapan (Eriyanto, 2012:235). Berikut elemen tersebut:
Strategi semantik latar merupakan elemen wacana yang dapat menjadi alasan
pembenaran gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar yang dipilih menentukan ke arah
mana pandangan pembaca hendak dibawa ke mana. Latar merupakan bagian berita yang bisa
mempengaruhi arti kata yang ingin ditampilkan. Oleh karena itu, latar teks merupakan elemen
yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh penulis.
Dengan menganalisis elemen maksud, kita bisa mengetahui maksud tersembunyi yang ingin
dikemukakan penulis.
Elemen detail berhubungan dengan kontrol sebuah informasi yang ditampilkan dalam
teks. Penulis atau komunikator bisa mengatur tampilan lebih sebuah informasi yang
menguntungkan dirinya dan menampilkan sedikit informasi yang merugikan dirinya sendiri.
Elemen maksud melihat sebuah informasi disampaikan secara eksplisit atau implisit.
Apakah sebuah informasi tertentu dijelaskan secara gamblang atau ditutup-tutupi. Elemen
maksud hampir sama dengan elemen detail. Bila elemen detail menguraikan informasi yang
menguntungkan penulis secara panjang, maka elemen maksud melihat informasi yang
menguntungkan penulis secara jelas atau eksplisit. Sebaliknya, informasi yang merugikan
penulis akan ditampilkan secara implisit atau samar-samar.
Praanggapan digunakan untuk mendukung pendapat yang ditampilkan penulis.
Praanggapan merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya. Praanggapan memberikan
premis-premis yang dipercaya kebenarannya sebagai upaya meyakinkan pembaca untuk percaya
pada pendapat penulis. Meskipun berupa anggapan, praanggapan umumnya didasarkan pada ide
common sense, yaitu praanggapan yang masuk akal atau logis sehingga meskipun kenyataannya
tidak ada (belum terjadi), tidak dipertanyakan kebenarannya.
2. Sintaksis
Pada dasarnya, sintaksis berurusan dengan hubungan antar-kata di dalam kalimat.
Hubungan antar-kalimat termasuk analisis wacana dan hubungan antara tatabahasa kalimat
dengan wadahnya di dalam wacana perlu diperhatikan (Verhaar, 1999:161). Sintaksis kerap
dimanfaatkan dalam analisis wacana sebagai strategi untuk menampilkan diri sendiri secara
positif dan menampilkan lawan secara negatif. Hal tersebut merupakan manipulasi politik
menggunakan sintaksis (kalimat) seperti pada pemakaian kata ganti, misal: “Rakyat sudah lelah
dengan kemiskinan yang semakin menjadi-jadi. Kami ingin pemerintah segera berbenah.”
Dalam kalimat tersebut, penulis menggunakan kata ganti kami, yang menunjukkan bahwa
penulis berada di pihak rakyat, bersama rakyat. Hal tersebut memberi kesan positif kepada
penulis.
Kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata
menjadi kelompok kata atau kalimat (Pateda dalam Sobur, 2012:80). Sintaksis memiliki strategi
untuk menganalisis teks, yakni dengan elemen bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti.
Pertama adalah bentuk kalimat dan paragraf. Bentuk kalimat ini berhubungan dengan cara
berpikir logis atau sesuai dengan prinsip kausalitas. Logika kausalitas ini bila diterjemahkan ke
dalam bahasa menjadi susunan subjek dan predikat. Bentuk kalimat ini tidak hanya persoalan
teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat.
Dalam kalimat dengan struktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan
dalam struktur pasif, seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Hal ini berpengaruh pada
penekanan subjek yang dapat mempengaruhi pembaca.
Begitu juga dengan bentuk paragraf deduktif dan induktif. Paragraf deduktif
menampilkan inti kalimat pada bagian awal, sedangkan paragraf induktif menempatkan inti
kalimat pada bagian akhir paragraf. Pernyataan yang dipandang penting dan menguntungkan
penulis diletakkan pada awal bagian.
Dalam bukunya yang berjudul ”Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media”
Eriyanto menggunakan istilah koherensi sebagai bentuk pertalian atau jalinan antarkata
(2012:242). Namun dalam analisisnya, istilah koherensi tersebut bisa diartikan sebagai kohesi.
Hal ini dikarenakan dalam analisisnya menggunakan hubungan bentuk.
Sumarlam menjelaskan bahwa hubungan antarbagian wacana dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk (kohesi) dan hubungan makna (koherensi). Bentuk
kohesi yang digunakan dalam analisis ini adalah perangkai atau konjungsi. Kohesi dapat
dijumpai dengan kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta/proposisi.
Konjungsi menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang
dirangkai berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea
dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik (Sumarlam,
2010:32). Konjungsi tersebut antara lain berupa akibat, tetapi, lalu, karena, meskipun, walaupun,
dan lain sebagainya. Selain elemen kohesi tersebut, van Dijk menjelaskan dua jenis kohesi
lainnya, yaitu kohesi kondisional dan kohesi pembeda.
Kohesi kondisional ditandai dengan kata hubung “yang” atau “di mana”. Kedua kata
hubung tersebut berfungsi sebagai anak kalimat atau kalimat penjelas. Anak kalimat tersebut
menjadi fasilitas penulis untuk memberi keterangan positif atau negatif, sesuai kehendak penulis.
Kohesi pembeda berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa dibedakan. Dua
peristiwa tersebut dibuat berseberangan atau bertentangan. Biasanya kata hubung yang
digunakan dalam koherensi pembeda ini adalah “dibandingkan”.
Kata ganti dimanfaatkan penulis sebagai alat untuk menunjukkan posisi penulis di
dalam wacana. Kata ganti ini merupakan elemen yang digunakan untuk memanipulasi bahasa
dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif (Sobur, 2012:81). Kata ganti di sini bisa
disamakan dengan pengacuan persona.
Pengacuan persona bisa direalisasikan melalui pronomina personal (kata ganti orang)
yang meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik
tunggal maupun jamak (Sumarlam, 2010: 24). Penulis bisa memilih untuk memasukkan dirinya
ke dalam sebuah wacana atau keluar dari wacana yang dibahas sesuai dengan kata ganti yang
digunakan. Kata ganti “saya” menjelaskan bagaimana penulis bersikap secara pribadi.
Penggunaan kata ganti “kami” dan “kita” juga memiliki perbedaan. Kata ganti “kami”
merupakan bentuk kata ganti orang pertama jamak eksklusif, posisi pembaca ada di luar wacana.
Sementara kata ganti “kita” adalah bentuk kata ganti orang pertama jamak iklusif, posisi penulis
dan pembaca ada dalam satu wacana. Kata ganti lain adalah “mereka”. Kata ganti “mereka”
menjelaskan penulis berada di luar wacana.
3. Stilistika
Istilah stilistika berasal dari kata “style”. Istilah style sendiri diturunkan dari kata
Latin stilus, yaitu alat untuk menulis pada lempengan lilin (Keraf, 2010:112). Style atau gaya
bahasa kemudian berkembang menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang berhubungan
dengan cocok-tidaknya pemakaian bahasa. Ragam gaya bahasa pun bermacam-macam: ragam
lisan dan ragam tulis; ragam sastra dan ragam non-sastra; ragam formal dan informal.
Kajian gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara
individual, frasa, klausa, dan kalimat. Bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan
(Keraf, 2010:112).
Keraf menyimpulkan bahwa gaya bahasa atau style dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis atau pemakai bahasa. Dalam stilistika analisis wacana van Dijk, yang dianalisis adalah
elemen leksikon. Elemen ini berhubungan dengan bagaiamana penulis memilih kata yang sesuai
dengan apa yang ingin ditampilkan. Kata atau serangkaian kata yang ditulis penulis bukan
semata kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan sikap penulis akan sebuah wacana.
4. Retoris
Retoris di sini dapat dijelaskan dengan pemakain kata secara berlebihan atau
hiperbolik atau bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat dengan
bagaimana pesan itu disampaikan kepada khalayak. Dalam konteks wacana van Dijk, retoris
menganalisis aspek grafis dan metafora.
Elemen grafis merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau
ditonjolkan (secara visual) oleh penulis. Penonjolan tersebut dapat berupa huruf tebal, garis
bawah, huruf miring, tanda kutip, atau ukuran font. Bagian yang ditonjolkan adalah bagian yang
dianggap penting oleh penulis. Sementara elemen metafora dimaksudkan sebagai ornamen atau
bumbu dari sebuah tulisan. Metafora dipakai penulis sebagai strategi untuk memperkuat pesan
utama.
d. Analisis Sosial
Dimensi analisis sosial berhubungan dengan konteks sosial masyarakat ketika tulisan
dibuat. Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat sehingga untuk
meneliti teks, perlu dilakukan analisis intertekstual (Eriyanto, 2012:271). Wacana di dalam
masyarakat menjadi objek penelitian dalam dimensi ini. Konteks sosial ketika tulisan dibuat
berpengaruh pada wacana.
Menurut van Dijk, dalam analisis mengenai masyarakat ini, ada dua poin yang penting,
yaitu kekuasaan (power) dan akses (acces). Kekuasaan didefinisikan van Dijk sebagai
kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya). Dengan kekuasaan tersebut,
satu kelompok dapat mengontrol atau mengendalikan kelompok lain. Selain bersifat kontrol
langsung, kekuasaan yang dipahami van Dijk juga dapat berbentuk persuasif: tidakan seseorang
untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti
kepercayaan, sikap, dan pengetahuan.
Akses suatu kelompok menjadi perhatian dalam analisis wacana van Dijk. Pada
umumnya, kelompok yang memiliki kekuasaan mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan
dengan kelompok yang tidak berkuasa. Dengan demikian, kelompok yang berkuasa mempunyai
kesempatan lebih besar untuk mempunyai akses pada media sekaligus berpeluang mempengaruhi
kesadaran masyarakat. Akses yang lebih besar selain dapat mempengaruhi kesadaran khalayak,
akses juga dapat menentukan topik dan isi wacana yang disebarkan atau didiskusikan khalayak.
C. Kerangka Pikir
Bagan di atas menggambarkan bahwa penelitian menggunakan teori analisis wacana
model Teun A. van Dijk. Sumber data penelitian ini, yaitu wacana “Revolusi Mental” yang
ditulis oleh Joko Widodo pada tanggal 10 Mei 2014 di Harian Kompas. Dari wacana “Revolusi
Mental” tersebut, akan diuraikan struktur teks yang membangun wacana “Revolusi Mental”,
serta mendeskripsikan konteks sosial yang membangun wacana “Revolusi Mental. Dari analisis
Wacana “Revolusi Mental”
Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk
Mendeskripsikan struktur teks yang
membangun wacana dalam “Revolusi
Mental”
Mendeskripsikan konteks sosial yang
membangun wacana dalam “Revolusi
Mental”
Hasil analisis:
Bentuk struktur teks yang membangun wacana “Revolusi Mental”
Bentuk konteks sosial yang membangun wacana “Revolusi Mental”
yang telah dilakukan maka akan ditemukan bentuk struktur teks dan konteks sosial yang
membangun wacana dalam “Revolusi Mental”.