BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA...
29
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
Di Indonesia hingga saat ini, para ahli pidana/sarjana hukum
belum memiliki kesamaan pendapat dalam mendefinisikan
mengenai Strafbaar feit. Strafbaar feit merupakan istilah bahasa
Belanda yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan
berbagai arti di antaranya yaitu tindak pidana, delik, perbuatan
pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat di pidana.
Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan
feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari
strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan
hukuman. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh,
sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan.1 Istilah tindak pidana merupakan
terjemahan dari “Strafbaar feit” di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan Strafbaar feit itu sendiri, akan tetapi tindak pidana biasa
disamakan dengan delik, yang berasal dari Bahasa Latin yakni
kata delictum2.
Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (Strafbaar feit)
memuat beberapa unsur yakni:
1 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002,
hlm. 69. 2 Ibid hlm. 47.
30
a. Suatu perbuatan manusia;
b. Perbuatan itu di larang dan di ancam dengan hukuman
oleh undang-undang;
c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat di
pertanggung- jawabkan.3
Moeljatno memberikan definisi perbuatan pidana
sebagai “perbuatan yang di larang dalam undang-undang dan di
ancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu”.4
Simons berpendapat bahwa Strafbaar feit adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab,5
sedangkan menurut Van Hamel, Strafbaar feit adalah kelakuan
orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan
dilakukan dengan kesalahan.6 Moeljatno menyimpulkan bahwa
feit dalam Strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah
laku dan pengertian Strafbaar feit jika dihubungkan dengan
kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Bahwa untuk
pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya
perbuatan pidana, akan tetapi harus adanya kesalahan atau sikap
batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang
tidak tertulis yaitu tidak di pidana jika tidak ada kesalahan (Geen
straf zonder schuld, ohne Schuld keine Strafe).7
3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, 2011, Jakarta,
hlm. 48. 4Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Dalam Hukum
Pidana,1955, pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis Ke IV
Universitas Gadjah Mada, di Stitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19 Desember
1955, hlm.17.
5 Ibid hlm. 61. 6 Ibid hlm. 61. 7 Ibid hlm. 63.
31
Dalam buku Hukum Pidana Indonesia, P. A. F.
Lamintang, berpendapat bahwa Strafbaar feit atau perbuatan
yang dapat di hukum adalah suatu “pelanggaran norma” atau
Normovertreding (gangguan terhadap tertib-hukum), yang dapat
dipersalahkan kepada pelanggar, sehingga perlu adanya
penghukuman demi terpeliharanya tertib-hukum dan dijaminnya
kepentingan umum8. Normovertreding dimaksudkan suatu sikap
atau perilaku atau Gendraging, yang dilihat dari penampilannya
dari luar adalah bertentangan dengan hukum, sehingga
melanggar hukum dan antara sikap dan perilaku itu terdapat
suatu hubungan yang demikian rupa dengan si pelanggar,
sehingga ia dapat dipersalahkan karena pelanggaran hukum
tersebut, atau dengan perkataan lain ia telah bersalah karenanya.9
Sedangkan Bambang Poernomo berpendapat bahwa
perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap
apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana
adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana di
larang dan di ancam dengan pidana bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.”10
Pada tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana
yang termuat dalam KUHP. Pasal-pasal yang terdapat dalam
KUHP memiliki unsur-unsur yang terkandung dari sebuah
tindak pidana sehingga seseorang yang telah melanggar dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan yang telah ditetapkan. Di dalam
perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta)
oleh perbuatan adanya kelakuan serta akibat yang ditimbulkan
karenanya. Dua hal tersebut yaitu kelakuan dan akibat.11
8 P. A. F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1983, hlm. 5. 9 Ibid hlm. 5. 10 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1992, hlm. 130. 11 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,)Rineka Cipta, Jakarta, 2015,
hlm. 64-69.
32
Belum adanya kesatuan pendapat para ahli pidana dalam
merumuskan pengertian tindak pidana di Indonesia, hal ini dapat
dibuktikan dengan pidato Prof. Moeljatno pada Tahun 1955 yang
berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana”.
Dalam pidato tersebut, Prof. Moeljatno membedakan “dapat
dipidananya perbuatan” (de strafbaarheid van het feit” atau “het
verboden zijr in het feit”), dengan “Dapat dipidananya orang”
(“strafbaarheid van de person”).12 Dengan demikian maka
dipisahkan “Perbuatan pidana” (Criminal Act / Actus Reus) dan
“Pertanggungjawaban pidana” (Criminal Liability / Mens Rea).
Unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan manusia,
memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil), dan
bersifat melawan hukum (syarat materiil). Berkaitan dengan isi
perbuatan pidana, ada dua pandangan yaitu pandangan monistis
dan pandangan dualistis. Aliran Monistis yaitu suatu pandangan
yang menyatukan antara unsur perbuatan pidana dan unsur
pertanggungjawaban pidana. Pada aliran monistis ketika melihat
apakah orang yang dapat melakukan perbuatan pidana perlu di
lihat apakah orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atau
12 M. Haryanto, Bahan Ajar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga, 2017, slide hlm. 61.
33
tidak. Jika tidak dapat dipertanggungjawabkan maka tidak dapat
di pidana. Dalam hal ini, aliran monistis melihat keseluruhan
syarat untuk adanya pidana itu yang mana merupakan sifat dari
perbuatan.
Dalam hal ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman,
bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah
tercakup didalamnya perbuatan yang di larang (tindakan pidana)
dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (Criminal
responsibility).
Berbeda dengan aliran monistis, aliran dualistis adalah
pandangan yang memisahkan perbuatan pidana dan unsur
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini Moeljatno
memisahkan antara unsur perbuatan pidana dan unsur
pertanggung jawaban pidana. Di dalam perbuatan pidana harus
terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan adanya
kelakuan serta akibat yang ditimbulkan karenanya. Dua hal
tersebut akan memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia).
Hal-hal tersebut adalah:
a. Kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana
biasanya diperlukan pula adanya:
b. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai
perbuatan hal ikhwal;
c. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur-
unsur yang memberatkan pidana;
34
d. Biasanya dengan adanya perbuatan yang tertentu seperti
dirumuskan dengan unsur-unsur di atas maka sifat pantang
dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dan wajar. Sifat
melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan
lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri.
e. Unsur melawan hukum dalam rumusan delik yang
menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang
menyertai perbuatan.13
Jika menjelaskan apa yang telah dikemukakan di atas,
maka kejadian alam lahir (dunia) dimaksudkan bahwa
terjadinya tindak pidana/perbuatan pidana. Dalam hal ini Prof.
Moeljatno adalah salah satu penganut pandangan dualistis.
Menurut pandangan dualistis dalam memisahkan antara
unsur tindak pidana dan unsur pertanggungjawaban pidana,
pada pandangan dualistis dalam terjadinya tindak pidana tidak
hanya cukup dengan adanya perbuatan pidana akan tetapi harus
adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Perbuatan
pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan
hukum larangan mana di sertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.14
Moeljatno menjelaskan bahwa kelakuan dan akibat
untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula
13 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,)Rineka Cipta,
Jakarta, 2015, hlm. 64-69. 14 Ibid., hlm. 59.
35
adanya kelakuan atau tindakan yang menghasilkan akibat.
Akan tetapi, tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi pada
waktu yang sama, demikian pula tidak selamanya kelakuan dan
akibat terjadi pada tempat yang sama. Kemudian, hal ikhwal
atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan hal ikhwal ini
di bagi menjadi dua bagian yaitu yang mengenai diri orang
yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si
pelaku. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur-
unsur yang memberatkan pidana, contoh konkret elemen ini
adalah ketentuan Pasal 351 KUHP yang berbunyi:
a. Penganiayaan di ancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang
bersalah di ancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.
c. Jika mengakibatkan mati, di ancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.15
15 Eddy O. S. Hiariej, Op., Cit,. hlm. 127.
36
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu perbuatan yang
dapat di pidana (Verbrechen/crime atau perbuatan jahat) dan pidana.
Perbuatan pidana harus dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
a) Dalam arti kriminologi: disebut juga sebagai perbuatan jahat,
sebagai gejala masyarakat di pandang secara konkrit
sebagaimana terwujud dalam masyarakat, ialah perbuatan
manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari
masyarakat dalam konkreto.
b) Dalam arti hukum pidana: ialah perbuatan pidana dalam wujud
in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana.16
Dalam tindak pidana terdapat dua unsur yaitu unsur
subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur-
unsur yang melekat pada diri pelaku tindak pidana atau yang
berhubungan dengan diri pelaku serta termasuk didalamnya
yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-
keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan.17
Sedangkan dalam pertanggungjawaban pidana terdapat
dua unsur yaitu adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan) dan
16 M. Haryanto, Op., Cit,. hlm. 60. 17 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesai. PT. Citra
Aditya Bakti, . Bandung, 1997, hlm. 193.
37
kemampuan bertanggungjawab. Definisi kesalahan bertalian
dengan dua hal, yaitu sifat dapat dicelanya (verwijtbaarheid)
perbuatan dan sifat dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid)
perbuatan yang melawan hukum.18
Menurut M. Haryanto, Kesalahan adalah kebebasan
kehendak manusia, di mana akan berkaitan dengan dua teori
yaitu determinisme (manusia tidak mempunyai kebebasan
kehendak, sehingga mengakui adanya kesalahan) dan
indeterminisme (manusia mempunyai kebebasan kehendak,
sehingga mengakui adanya kesalahan).19 Kesalahan di bagi
menjadi dua yaitu kesalahan dalam arti umum dan kesalahan
dalam arti juridis. Kesalahan dalam arti umum yaitu tentang
sesuatu hal yang tidak benar seperti contoh matahari terbit dari
barat, seharusnya yang benar adalah matahari terbit dari timur.
Sedangkan kesalahan dalam arti juridis menerangkan keadaan
psikhe seseorang yang melakukan perbuatan sedemikian rupa
sehingga perbuatan itu dapat dipertanggung- jawabkan
kepadanya, kemudian menerangkan bentuk kesalahan dalam
18 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta, 2016, hlm. 158. 19 M. Haryanto (2017), Op., Cit., hlm. 71.
38
Undang-Undang yang berupa Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan
(Culpa).20
Menurut Memorie van Toelichting, Kesengajaan adalah
perbuatan yang dikehendaki dan diketahui. Ada dua (2) teori
kesengajaan yaitu:
1) Wills Theorie (teori ini menitik beratkan pada apa yang
dikehendaki pada waktu berbuat).
2) Voorstelling Theorie (teori ini menitik beratkan pada apa
yang diketahui serta apa yang akan terjadi pada waktu akan
berbuat.21
Kemudian dalam kesengajaan dari kesadaran terdiri dari
dua (2) yaitu kesengajaan berwarna, artinya dalam kesengajaan
tersimpul adanya kesadaran tentang sifat melawan hukumnya
perbuatan, dan kesengajaan tidak berwarna artinya dalam
kesengajaan cukup apabila yang berbuat menghendaki
perbuatannya.22
Tiga (3) corak kesengajaan yaitu:
a) Kesengajaan sebagai maksud, yaitu dalam hal ini
kesengajaaan ditujukan langsung pada maksud yang
dikehendaki pelaku;
b) Kesengajaan sebagai keharusan, yaitu kesengajaan
ditujukan pada maksud tertentu, tetapi untuk mencapai
20 Ibid hlm. 72-73. 21 Ibid hlm. 72-74. 22 Ibid hlm. 75-76.
39
maksud tertentu harus timbul akibat lain yang tidak
menjadi maksud si pelaku;
c) Kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu kesengajaan
yang ditujukan pada maksud tertentu, tatapi pelaku
telah berpikir bahwa jika maksud itu terwujud ataupun
tidak terwujud ada kemungkinan akibat lain yang akan
terjadi.23
Kemudian, Kealpaan menurut Memorie van Toelichting
dalam kealpaan pada diri pelaku terdapat: Kekurangan
pemikiran yang diperlukan; Kekurangan pengetahuan yang
diperlukan; Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.24
Dalam kealpaan, ada dua (2) syarat untuk adanya
kealpaan yaitu: tidak adanya penghati-hati dan tidak adanya
penduga-duga. Ada dua (2) macam kealpaan yaitu kealpaan yang
di sadari (apabila pembuat menyadari tentang apa yang diperbuat
beserta akibatnya, tetapi ia berpikir akibat itu tidak akan timbul)
dan kealpaan yang tidak disadari yaitu pembuat tidak menyadari
kemungkinan akan timbulnya akibat, padahal seharusnya pelaku
dapat menduga sebelumnya.25
Menurut Prof. Edward O. S. Hiariej, definisi
pertanggung- jawaban seperti yang telah diutarakan oleh van
Hamel telah memberi ukuran mengenai kemampuan
23 Ibid hlm. 73-76. 24 Ibid hlm. 76-77. 25 Ibid hlm. 77.
40
bertanggungjawab yang meliputi tiga hal: pertama, mampu
memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatan;
kedua, mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu
bertentangan dengan ketertiban masyarakat; ketiga, mampu
untuk menentukan kehendak berbuat.26
Pertanggungjawaban pidana atau liability sangat lekat
dengan tindak pidana. Hal ini disebabkan karena tanpa adanya
tindak pidana maka tidak akan menimbulkan
pertanggungjawaban pidana sehingga adanya sanksi bagi yang
memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana. Dalam hal
menentukan seseorang bersalah atau tidak, maka akan dilihat
adanya kesalahan serta adanya perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum atau sering disebut bersifat
melawan hukum. Jikalau suatu tindak pidana telah memenuhi
rumusan delik di dalam undang-undang hal itu harus di lihat
bahwa seseorang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah. Dalam hukum pidana di kenal asas geen
straf zonder schuld yang artinya tidak dapat di pidana tanpa ada
kesalahan.
26 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta, 2016, hlm 163.
41
Memperhatikan uraian di atas, maka dalam tindak pidana
terdapat dua unsur tindak pidana yaitu unsur obyektif dan unsur
subyektif, yang oleh P. A. F. Lamintang dijelaskan sebagai
berikut:
Unsur-unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang
melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri
si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung didalam hatinya, sedangkan unsur obyektif adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,
yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.27 Unsur-unsur subyektif dari sesuatu
tindak pidana itu adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging
seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang
terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad
seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan
pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu
adalah:
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai
seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan
menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”
di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
27 P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, cetakan
ke-V, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013. hlm. 193.
42
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai
akibat.28
Sifat melawan hukum selalu dianggap sebagai syarat di
dalam setiap rumusan delik walaupun unsur tersebut oleh
perumus undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai
salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.
3. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Menghilangkan Nyawa
Orang lain
Menghilangkan nyawa orang lain artinya orang yang
melakukan perbuatan, baik sengaja ataupun direncanakan, baik
sadar maupun tidak sadar, telah menyebabkan orang lain
kehilangan nyawa (meninggal dunia). Pada dasarnya, unsur
menghilangkan nyawa di atur dalam Pasal 338, 339 dan 340 KUHP.
Akan tetapi pada Pasal 340 KUHP adalah pasal kekhususan di mana
harus adanya unsur perencanaan terlebih dahulu. Sehingga unsur-
unsur pokok dalam pasal 338, 339 dan 340 KUHP (barangsiapa
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain) adalah sama
terkecuali dalam Pasal 339 adanya unsur tujuan lain sedangkan
pada Pasal 340 KUHP karena adanya unsur perencanaan terlebih
dahulu dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.
28 Ibid. Hlm. 193.
43
Tindak pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP
merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok yaitu tindak pidana
yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-
unsurnya. Pasal 338 KUHP berbunyi: “Barangsiapa sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam hal
pembunuhan biasa, dimana pelaksanaan pembunuhan yang
dimaksud dalam Pasal 338 KUHP itu dilakukan pada waktu dan
niat yang timbul bersamaan, akan tetapi dalam pembunuhan
berencana timbulnya niat setelah itu mengatur rencana cara untuk
menghilangkan nyawa seseorang kemudian melaksanakan niat dan
rencana untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Dalam perbuatan pembunuhan yang mengacu pada Pasal 338
KUHP harus adanya perbuatan, perbuatan itu berupa
menghilangkan nyawa seseorang serta adanya hubungan sebab
akibat (Causal verband) perbuatan serta akibat perbuatan tersebut
(kematian seseorang). Dalam pembunuhan biasa pada Pasal 338
KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun”, pada Pasal ini terdapat dua
44
unsur yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Dua unsur tersebut
akan dijabarkan sebagai berikut:
a) Unsur subyektif: perbuatan dengan sengaja.
Dolus yang berarti dengan sengaja yaitu bahwa
perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul
seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud
dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk
tanpa direncanakan terlebih dahulu, dalam rumusan unsur
Pasal 338 KUHP yaitu unsur objektif dalam Pasal 338 adalah
perbuatan menghilangkan nyawa serta obyeknya adalah nyawa
orang lain, sedangkan unsur subjektif dalam Pasal 338 adalah
dengan sengaja (si pelaku mengetahui dan memiliki kehendak
menghilangkan nyawa orang lain).
b) Unsur obyektif: perbuatan menghilangkan nyawa orang lain.
Pada Pasal 339 KUHP yang berbunyi: “Pembunuhan
yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana,
yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri
sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap
tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang
diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun”, pada Pasal ini memiliki
unsur obyektif dan subyektif yaitu:
45
a) Unsur obyektif pada pasal ini yaitu menghilangkan nyawa
orang lain dan diikuti serta didahului dengan tindak pidana
lain; sedangkan;
b) Unsur subyektifnya adalah dengan sengaja dan dengan
maksud, telah menyiapkan atau memudahkan dalam
melakukan tindak pidana yang akan atau sedang
dilakukan, untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri
sendiri atau orang lain dalam tindak pidana yang dilakukan
dan untuk dapat menjamin dapat dikuasainya benda yang
diperoleh dengan cara melawan hukum, saat seorang
pelaku melakukan tindak pidana.
Kemudian dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun”, dalam Pasal ini terdapat dua unsur yaitu:
(1) Unsur Subyektif adalah dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu, serta;
46
(2) Unsur Obyektif adalah adanya perbuatan menghilangkan
nyawa, dalam hal ini tindakan menghilangkan nyawa orang
lain di mana obyeknya ada nyawa orang lain.
Pada Pasal 340 KUHP adalah suatu perbuatan yang
disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang
terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met
voorbedachte rade). Pada Pasal 340 KUHP berbunyi:
“Barangsiapa yang sengaja dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.”
Dalam hal pembunuhan berencana, terdapat dalam Pasal
340 KUHP, dalam Pasal 340 KUHP adalah keharusan dimana
seseorang dalam melakukan tindak pidana (menghilangkan
nyawa) harus memiliki rencana terlebih dahulu (dalam
melakukan tindak pidana perbunuhan seseorang telah memiliki
rencana sebelum membunuh seseorang terlepas dari apa tujuan
seseorang tersebut membunuh. Dalam pembunuhan berencana
benar-benar telah direncanakan dengan matang/baik oleh
pembunuh dalam suatu keadaan dimana mengambil keputusan
47
untuk menghilangkan nyawa orang dalam suatu keadaan yang
sadar.
Berdasarkan Bahasa Belanda “moord” atau pembunuhan
berencana adalah perbuatan yang sengaja menghilangkan nyawa
orang lain akan tetapi perbuatan tersebut telah direncanakan
terlebih dahulu.29 Direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte
rade) sama halnya dengan adanya maksud serta dilakukannya
maksud tersebut sehingga menyebabkan meninggalnya orang
lain serta si pembunuh dengan tenang dan telah memikirkan
terlebih dahulu cara-cara dalam menghilangkan nyawa orang
lain tersebut.
Kemudian dalam hal pembunuhan berencana, di dalam
diri pelaku pembunuhan, si pelaku telah berpikir serta berencana
dalam menghilangkan nyawa seseorang, sehingga dalam hal ini
pembunuhan berencana telah direncanakan terlebih dahulu
dengan berpikir secara tenang dan terstruktur oleh si pelaku
pembunuhan. Berbeda halnya dengan pembunuhan biasa, dalam
hal si pelaku mengambil keputusan untuk menghilangkan nyawa
seseorang serta pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan.
29 Ibid Hlm. 141.
48
Dengan demikian, pembunuhan berencana yang dilakukan
oleh terdakwa adalah dengan direncanakan terlebih dahulu,
seperti telah memiliki cara-cara dalam menghabisi nyawa orang
atau dengan cara mencari bantuan orang lain/bekerja sama dalam
menghilang nyawa orang lain. Hal tersebut dilakukan sebelum
melaksanakan niat jahat yang telah dipikirkan terlebih dahulu.
Dalam hal pembunuhan berencana, jika salah satu unsur di atas
telah terpenuhi, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai pelaku
tindak pidana pembunuhan berencana setelah adanya bukti-bukti
dan saksi.
KUHP memberikan pengertian serta hukuman yang
berbeda pada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP ) dan
pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Hal ini karena dalam
pembunuhan berencana kejahatan dan niatnya untuk melakukan
pidana menjadi hal yang memberatkan si pelaku. Memberatkan
si pelaku karena telah memiliki niat dan rencana dalam
membunuh seseorang. Pembunuhan berencana jika dikaitkan
dengan penegak hukum maka bagi penegak hukum dalam hal
menentukan apakah ada rencana atau tidak dalam pembunuhan
tersebut maka harus di lihat dari niat si pelaku.
49
Pada dasarnya dalam Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP
sama, akan tetapi yang membedakan adalah dalam Pasal 340
KUHP harus adanya unsur perencanaan, dimana si pelaku harus
lebih dulu memiliki rencana dalam melakukan tindak pidana
(pembunuhan). Dalam Pasal 338 KUHP di atur mengenai
pembunuhan akan tetapi dalam Pasal 340 KUHP adanya
kekhususan karena adanya perencanaan terlebih dahulu. Di lihat
dari unsur obyektif dan subyektif dalam Pasal 338 dan 340
KUHP pun sama, yang membedakan hanyalah unsur adanya
perencanaan pada Pasal 340 KUHP.
Berbeda halnya dalam Pasal 338 KUHP, seseorang dapat
membunuh walaupun tidak memiliki niat atau rencana terlebih
dahulu, seperti contohnya seseorang yang melindungi diri dari
orang yang ingin mencelakainya ataupun contoh lain adalah
seseorang yang berkendara dan mengalami kecelakaan sehingga
temannya meninggal dunia.
50
4. Motif Dalam Tindak Pidana
Dalam lingkungan masyarakat, kita banyak mendengarkan
berita melalui surat kabar maupun televisi bahwa selalu dikatakan
motif dari suatu perbuatan pidana akan dibuktikan. Hal ini
membuat masyarakat berpikir akan hal yang menyebabkan
seseorang melakukan pembunuhan. Salah satu hal yang sering
dikatakan oleh masyarakat pada umumnya adalah menanyakan
motif seseorang melakukan pembunuhan atau motif pelaku dalam
melakukan tindak pidana. Apapun bentuk kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana, maka yang akan ditanyakan
oleh masyarakat yang tidak mengetahui hukum adalah
menanyakan motif seseorang melakukan tindak pidana serta
melihat motif apa di balik seseorang melakukan tindak pidana.
Berangkat dari hal tersebut maka Penulis akan menjelaskan
mengenai motif dalam tindak pidana.
Pengertian motif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia:
motif/mo·tif alasan (sebab) seseorang melakukan sesuatu.
Merujuk pengertian motif di dalam Black’s Law Dictionary yaitu:
Motive. Cause or reason that moves the will and introduces
action. An idea, belief or emotion that impels or incites one to act
51
in accordance with his states of mind or emotion30.( Motive yang
berarti penyebab atau alasan yang menggerakkan dan melakukan
tindakan. Sebuah ide, kepercayaan atau emosi yang mendorong
atau menghasut pikiran seseorang untuk bertindak sesuai dengan
keadaan atau emosi).
Menurut Eldar & Laist, motif adalah alasan atau kondisi
jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana.
Atau dengan kata lain, motif adalah alasan yang melatarbelakangi
tindakan (reason for action).31 Dengan pengertian seperti ini,
motif bisa bertumpang tindih dengan kesengajaan. Hal ini
digambarkan oleh Glanville Williams sebagai berikut: dalam
tindak pidana pencurian, pelaku memiliki kesengajaan untuk
masuk ke dalam rumah dengan maksud mengambil barang milik
orang lain dengan sengaja pula. Di sini tindakan “mengambil
barang milik orang lain” merupakan kesengajaan. Namun, dari sisi
lain, tindakan “mengambil barang milik orang lain” merupakan
motif yang melatarbelakangi tindakan “masuk ke dalam rumah.”
Dengan demikian, tindakan “mengambil barang milik orang lain”
bisa dilihat sebagai unsur kesengajaan, namun juga bisa dilihat
sebagai motif bagi tindakan yang mendahului, yakni tindakan
“masuk ke dalam rumah32”. Pembedaan antara motif dengan
kesengajaan juga tampak dari ilustrasi berikut: di sebuah ruas
jalan, seseorang (A) secara sengaja mendorong orang lain (B)
hingga B terpelanting ke pinggir jalan dan mengalami luka-luka.
Belakangan diketahui bahwa A mendorong B karena A melihat
ada mobil yang melaju kencang ke arah B dan pasti B akan
tertabrak jika ia tidak menyingkir. Dalam ilustrasi ini, unsur
kesengajaan tampak pada tindakan A yang dengan sengaja
mendorong B. Namun ada pula aspek lain, yakni motif atau
latarbelakang tindakan A mendorong B, yaitu keinginan untuk
menghindar kan B dari tertabrak mobil.
30 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 6th end, , Centennial
Edition (1891-1991). 31 Antony Duff Kutipan dalam Shachar Eldar& Elkana Laist, “The
Irrelevance of Motive and The Rule of Law”, hlm. 2 dan 5. 32 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The
Rule of Law”, hlm. 5.
52
Menurut pandangan konvensional dalam hukum pidana,
motif seorang pelaku tindak pidana, apakah itu motif yang baik
atau tidak baik, tidaklah relevan untuk menentukan
pertanggungjawaban pidana. Pandangan ini didasarkan pada
anggapan bahwa mempertimbangkan motif pelaku untuk
menentukan pertanggung jawaban pidana akan menimbulkan
kesulitan dan ketidakpastian.33 Meskipun motif dianggap tidak
relevan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku,
dalam praktik motif bisa dipertimbangkan oleh jaksa untuk
menentukan berat atau ringannya tuntutan dan oleh hakim untuk
menentukan berat atau ringannya pidana. Secara historis, gagasan
yang menganggap bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan
untuk menentukan tanggung jawab pidana seorang pelaku tindak
pidana ditegaskan oleh Cesare Beccaria yang mengatakan bahwa
kalau motif setiap pelaku tindak pidana harus dipertimbangkan
untuk menentukan tanggung jawab pidananya, itu ibarat
menerapkan hukum pidana yang berbeda-beda untuk masing-
masing pelaku, karena masing-masing pelaku mungkin memiliki
motif yang berbeda-beda.34
Pada abad ke-20, salah satu sarjana yang mendukung
gagasan bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan dalam
menentukan tanggung jawab pidana adalah Jerome Hall. Hall
mengatakan bahwa kalau motif menjadi unsur yang harus
dipertimbangkan, maka hal ini akan memberi kemungkinan bagi
setiap orang untuk menilai sendiri perbuatan yang akan mereka
lakukan, termasuk perbuatan pidana. Dalam hal seseorang menilai
bahwa motifnya benar, ia akan melakukan sebuah perbuatan.
Sebaliknya, kalau ia menilai motifnya tidak benar, ia tidak akan
melakukan perbuatan itu. Jadi, menurut Hall, dalam keadaan
seperti ini ada tidaknya pertanggungjawaban pidana akan menjadi
sangat subjektif.35
Motif dapat diartikan sebagai daya yang menggerakkan
seseorang untuk melakukan atau bertingkah laku, memiliki niat
serta melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang telah
33 Ibid, hlm.2. 34 Beccaria dalam Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of
Motive and The Rule of Law”, hlm. 3. 35 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule
of Law”, hlm. 9.
53
diinginkan serta memiliki tujuan yang ingin dicapai. Akan tetapi,
motif dalam hal ini akan dijadikan oleh penegak hukum (dalam
hal ini hakim) menjadikan salah satu dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Motif juga merupakan dorongan yang ada didalam diri
seseorang dan dorongan itu diwujudkan dalam tindakan. Tindakan
tersebut biasanya menyalahi peraturan yang berlaku. Jikalau
seseorang melakukan sesuatu, maka motivasi tersebut merupakan
keadaan yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan
faktor-faktor dalam menggerakkan seseorang melakukan hal
tersebut.
Motif dipergunakan untuk menjelaskan mengapa
seseorang melakukan tindak pidana. Motif berbeda dari
kesengajaan (intent). Kesengajaan merupakan salah satu unsur
yang terdapat dalam hampir semua tindak pidana. Namun, motif
biasanya bukan merupakan unsur tindak pidana. Penuntutan
dalam perkara pidana tidak perlu membuktikan bahwa terdakwa
memiliki motif di dalam melakukan tindak pidana. Motif
umumnya dibuktikan oleh penuntut umum untuk lebih
meyakinkan hakim bahwa terdakwa bersalah.36
Example: John and Sue have been happily married
for 30 years. John is diagnosed with a terminal illness and is in
constant pain. After living in agony for several months, he
repeatedly asks Sue to kill him. After much deliberation, Sue
shoots and kills John. Sue’s intent was to kill. Her motive was to
stop her husband’s pain. She’s guilty of murder even though her
motive may have been compassionate37. Terjemahannya:
Sebagai contoh John dan Sue sudah menjalani 30 tahun
perkawinan yang bahagia. John di diagnosa menderita penyakit
parah dan selalu merasa kesakitan. Setelah menderita selama
beberapa bulan, John terus-menerus memohon kepada Sue untuk
mengakhiri hidupnya. Setelah mem- pertimbangkan permintaan
itu, Sue akhirnya menembak dan membunuh John.
36 http://www.nolo.com/legal-encyclopedia/is-motive-required-criminal-
offense.html di akses pada tanggal 29 April 2017 pukul 19.00 WIB. 37http://www.nolo.com/legal-encyclopedia/is-motive-required-criminal-
offense.html di akses pada tanggal 29 April 2017 pukul 21.00 WIB.
54
Dalam hal ini Sue memiliki kesengajaan untuk
membunuh John dengan motif menghentikan penderitaan
suaminya. Sue akan dianggap bersalah, meskipun tindak
pidananya dilakukan dengan motif belas kasihan.
Pandangan motif menurut hukum pidana, bahwa motif
pelaku entah baik atau buruk tidak relevan untuk melaksanakan
tanggungjawab pidana. Pandangan ini didasari anggapan bahwa
mempertimbangkan motif pelaku akan menimbulkan kesulitan
dalam penerapan pidana.38 Argumen untuk mendukung
pendapat bahwa motif tidak perlu dibuktikan atau
dipertimbangkan adalah argumen bahwa secara eksplisit motif
tidak di sebut sebagai salah satu unsur tindak pidana.39 Menurut
pandangan ini membuktikan motif tidak disebut sebagai unsur
tindak pidana akan menyimpang dari prinsip kepastian hukum.40
38 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule of
Law”, hlm. 1. 39 Ibid., hlm. 3. 40 Ibid., hlm. 4.
55
5. Hubungan Motif Dengan Unsur Tindak Pidana
Apabila motif dibuktikan dengan melihat perilaku
terdakwa maka adanya beberapa perilaku/tindakan yang
dilakukan karena alasan serta adanya perilaku yang dikarenakan
oleh motif. Sebagai contoh dalam pembunuhan yang disengaja,
pasti memiliki motif. Di mana adanya kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain. Contohnya Si A yang telah
beristri berselingkuh dengan si B wanita muda. Hasil hubungan si
A dan si B, akhirnya si B pun hamil. Maka si A ingin membunuh
si B karena si B memintai pertanggungjawaban pada si A,
sedangkan si A telah memiliki istri. Karena takut diketahui oleh
istrinya, maka si A pun membunuh si B. Hal tersebut dilakukan
oleh si A karena motif agar terlepas dari pertanggungjawaban.
Kemudian dalam hal pembunuhan yang dilakukan untuk
membela diri seperti contoh, rumah si A di rampok oleh
sekelompok orang. Selain merampok, para perampok juga ingin
menganiaya si A. Untuk membela diri maka si A pun melawan
dan menyerang para perampok sehingga ada 2 orang korban yang
meninggal yaitu si B dan si C. Dalam contoh kasus seperti ini,
maka si A tidak memiliki perencanaan untuk membunuh si B dan
si C, akan tetapi untuk melindungi diri serta adanya kegoncangan
56
jiwa yang melampaui batas maka si A melakukan hal tersebut
karena jikalau si A tidak melakukan hal tersebut maka yang
menjadi korban adalah si A.
Pada dasarnya, motif dalam tindak pidana memiliki
hubungan dengan unsur tindak pidana. Dalam hal ini motif dapat
termasuk dalam unsur subyektif. Karena motif adalah suatu
kehendak yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku,
sehingga dalam melakukan tindak pidana, seseorang telah
memiliki motif tersebut. Dalam melakukan perbuatan tersebut,
pelaku telah memiliki tujuan-tujuan tertentu. Motif juga dapat
diartikan sebagai suatu hal yang mendorong si pelaku untuk
melakukan tindak pidana.
B. PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA
1. Definisi Pembuktian
Dalam persidangan salah satu hal yang terpenting
adalah pembuktian dimana semua alat bukti akan dihadirkan
didalam persidangan serta akan menjadi tolok ukur bagi
penegak hukum (hakim) dalam membuat pertimbangan
dalam memutuskan perkara pidana. Menurut M. Yahya
Harahap, Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
57
undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwa
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan
yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan41.
Hakim dalam proses pembuktian dalam persidangan di
Indonesia menggunakan 4 (empat) prinsip yang berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu:
a) Dalam Pasal 183 KUHAP dibutuhkan adanya 2 (dua)
alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
b) Dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP dimana hal yang
sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Dalam Pasal
184 ayat (2) berbunyi:
“Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan”.
c) Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP satu saksi bukan
saksi. Jika berbicara mengenai pasal ini, maka akan
dikenal dengan prinsip dalam hukum pidana yaitu Unus
testis nullum testis. Dalam Pasal 185 ayat (2) ini
berbunyi :
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
d) Dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa pengakuan
terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut
41 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan kembali)
Edisi ke 2, Jakarta, Sinar Grafika, 2000, hlm. 252.
58
umum membuktikan kesalahan terdakwa. Pasal 189
ayat (4) berbunyi:
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain”.
2. Teori Pembuktian Melalui Alat Bukti
a. Teori Pembuktian
Dalam pemeriksaan perkara pidana, hakim akan
memeriksa dan selanjutnya akan menjatuhkan putusan
terhadap perkara yang diperiksa, akan tetapi harus adanya
pembuktian apakah benar apa yang telah didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Hakim dalam
memeriksa perkara dengan tujuan untuk ditemukannya
kebenaran materiil dan untuk menemukan kebenaran
mengalami kesulitan karena:42
a. Kebenaran materiil yang akan ditemukan tersebut sudah
lampau waktu (terlalu lama);
b. Oleh karena itu alat-alat bukti berupa saksi-saksi menjadi
relatif dan kabur.
Pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-
peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh kepastian
bagi Hakim tentang kebenaran peristiwa tertentu. Perkara
42 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga, 2013, hlm. 117.
59
pidana dibawa ke persidangan dengan maksud untuk
memperoleh keputusan yang setimpal atas perbuatan
Terdakwa, unsur keyakinan Hakim dipersyaratkan bagi
perkara pidana.43
Dalam teori pembuktian, ada 3 (tiga teori) yaitu:
1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara
Positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie): yaitu teori-
teori pembuktian yang mendasarkan pada alat-alat bukti
yang terdapat dalam Undang-Undang. Dikatakan
pembuktian secara positif, karena jika telah terbukti
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti dalam Undang-
Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama
sekali, sehingga teori pembuktian ini disebut juga
Formele Bewijstheorie.
2. Teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction
Intime): yaitu teori ini berdasarkan pada pendapat
bahwa pengakuan terdakwa tidak selalu dapat
membuktikan kebenaran. Oleh karena itu
bagaimanapun diperlukan juga keyakinan hakim. Teori
ini mendasarkan pada keyakinan hati nurani hakim
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya oleh Penuntut Umum.
3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas
alasan yang logis (La Conviction Rais Onnee): yaitu
dengan teori ini maka di dalam Hakim memutuskan
seseorang bersalah harus berdasarkan keyakinannya,
keyakinan tersebut harus didasarkan pada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan
(Conslusie) yang berlandaskan kepada peraturan-
peraturan pembuktian tertentu. Teori ini disebut juga
teori pembuktian bebas, karena dengan teori hakim
bebas untuk menyebut alasan-alasan tentang
keyakinannya (Vrije Bewijdtheorie). Dalam teori ini
terbagi menjadi dua yaitu
a. Teori Pembuktian Berdasarkan keyakinan Hakim
atas alasan yang logis (Conviction Raisonnee):
teori ini berpangkal pada keyakinan hakim yang
43 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia
Indonesia, Jakarta Timur, 1983, hlm. 19.
60
didasarkan pada suatu kesimpulan (Conclusi) yang
logis, yang tidak didasarkan pada Undang-Undang,
tetapi menurut Ilmu Pengetahuan sendiri, menurut
pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian
yang mana yang akan digunakan.
b. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara
negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori): teori ini
berpangkal tolak dari aturan-aturan pembuktian
yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-
Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan
keyakinan Hakim.44
Teori pembuktian menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
“Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
Pengadilan, karena alat bukti pembuktian yang sah menurut
Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas
perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.45
Teori pembuktian jika mengacu pada KUHAP maka
terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yaitu:
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua alat bukti) yang
sah.
2. Dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan
hakim.46
Pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana terdapat dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal
44 M. Haryanto, (2013) Op. Cit, hlm. 117-119. 45 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. 46 M. Haryanto, (2013) Op. Cit, hlm. 119.
61
202. Adapun tujuan dari pembuktian adalah mencari dan
menetapkan kebenaran-kebenaran yang terdapat pada suatu
perkara, jadi bukan untuk mencari-cari kesalahan terdakwa.47
Hal ini dilakukan untuk mencegah agar tidak adanya
kesalahan dalam menjatuhi pidana pada seorang yang tidak
bersalah. Oleh karena itu, hakim didalam pembuktian di
persidangan harus benar-benar memastikan apakah peristiwa
pidana tersebut terjadi, kemudian memastikan apakah
kejadian tersebut adalah tindak pidana atau bukan, serta
melihat bukti-bukti yang ada atau alasan-alasan yang
menyebabkan peristiwa tersebut.
b. Alat bukti Dan Fungsi Alat bukti Dalam Perkara Pidana
Proses untuk mencari alat bukti dalam hukum pidana
yaitu sesuatu hal yang harus diverifikasi pada saat sidang
pengadilan dan apa yang terjadi diluar sidang. Maka akan
berdasarkan pada Pasal 184 KUHAP yang berbunyi:
Alat-alat bukti yang sah ialah:
(1) a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa
47 Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, mandar
maju, Bandung, 2006, hlm. 293.
62
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan.
Alat-alat bukti yang telah dijelaskan diatas akan dijelaskan satu
persatu yaitu:
1. Keterangan Saksi
Salah satu alat bukti yaitu keterangan saksi, syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi adalah:48
a. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi,
kecuali yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP:
(1) Keluarga sedarah/semenda dalam garis lurus
keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari
terdakwa.
(2) Saudara terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai Terdakwa juga yang mempunyai
hubungan perkawinan dan anak-anak saudara
Terdakwa sampai derajat ke tiga.
(3) Suami atau istri terdakwa meski sudah
bercerai.
b. Menurut Pasal 170 KUHAP, mereka yang kerena
pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta
dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan
sebagai saksi.
c. Menurut Pasal 160 KUHAP, pengucapan sumpah
oleh saksi adalah merupakan syarat mutlak
kesaksian sebagai alat bukti, hal ini dapat
dibuktikan:
1. Apabila saksi menolak mengucapkan sumpah
atau janji, pemeriksaan tetap dilakukan, dan
berdasarkan surat penetapan hakim ketua sidang
48 M. Haryanto, (2013) Op. Cit,, hlm. 122-124.
63
saksi yang menolak mengucapkan sumpah
dapat di sandera di Rutan selama 14 hari. Hal ini
di atur dalam Pasal 161 ayat (1) KUHAP.
2. Apabila telah disandera, tetapi saksi tetap
menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji,
maka saksi tersebut tetap dapat dimintai
keterangan yang diberikan dapat menguatkan
keyakinan hakim, tetapi bukan kesaksian
menurut Undang-undang dan juga bukan
merupakan alat bukti petunjuk.
3. Apabila kesaksian diberikan dibawah sumpah,
maka merupakan dasar atau sumber keyakinan
hakim.
4. Kekecualian memberi kesaksian di bawah
sumpah yaitu:
(a) Bagi mereka yang belum cukup umur 15
tahun atau belum kawin.
(b) Orang sakit ingatan, walaupun kadang-
kadang normal (psikopat), karena mereka
tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
sempurna di depan hakim.
Alat bukti berikutnya adalah Isi dan Nilai Keterangan
berarti agar suatu keterangan saksi mempunyai nilai sebagai
keterangan saksi, maka isi keterangan harus memenuhi syarat
sebagai berikut:49
1) Menurut Pasal 185 ayat (5) KUHAP, keterangan saksi
bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh
dari hasil pemikiran saja.
2) Menurut Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP,
keterangan saksi bukan keterangan yang diperoleh dari
orang lain atau Testimonium de Auditu atau Hearsay
Evidence.
3) Menurut Pasal 1 ayat (27) KUHAP keterangan saksi
harus menerangkan apa yang dilihat, didengar atau
dialami sendiri.
49 Ibid., hlm. 124.
64
4) Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP keterangan saksi
harus diucapkan di depan hakim atau di sidang
pengadilan agar keterangan saksi tersebut dapat dipakai
sebagai alat bukti. Hal ini bertujuan agar hakim dapat
menilai keterangan-keterangan saksi itu, yaitu tentang
kebenaran keterangan saksi apakah yang diterangkan
tersebut sesuai yang ia lihat, ia dengar dan ia alami
sendiri.
5) Menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang
saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah telah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya (Unus Testis Nullus Testis).
Ketentuan tentang seorang saksi tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya ada
kekecualiannya yaitu sebagaimana dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 184 yang mengatakan bahwa dalam
acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim didukung satu
alat bukti saja.
6) Menurut Pasal 185 ayat (4) KUHAP, keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sama apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian/keadaan tertentu.
2. Keterangan Ahli
Alat bukti selanjutnya adalah keterangan ahli. Alat bukti
dimaksud dengan keterangan ahli yaitu:50
a. Tentang apa yang dimaksud ahli dalam KUHAP maupun
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tidak
memenuhi jawaban.
b. Menurut Pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli ialah apa
yang seseorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan.
c. Menurut Penjelasan Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli
tersebut dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
50 Ibid.,hlm. 125-126.
65
penyidik/penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu
menerima jabatan/pekerjaan.
d. KUHAP tidak pernah memberikan penjelasan tentang apa
yang dimaksudkan dengan keterangan ahli.
e. Keterangan ahli sebagai alat bukti menurut Undang-
Undang, menurut Pasal 161 ayat (1) KUHAP harus
diberikan dengan mengucapkan sumpah/janji dan menurut
Pasal 161 ayat (2) KUHAP jika keterangan ahli diberikan
dengan tidak mengucapkan sumpah/janji tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti yang sah tetapi hanyalah
keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
f. Isi keterangan ahli adalah penilaian mengenai hal-hal yang
sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai
hal itu.
g. Keterangan ahli di persidangan = Keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 KUHAP,
sedangkan;
h. Keterangan ahli yang diberikan secara tertulis = Surat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP.
3. Surat
Kemudian, dalam hal alat bukti Surat yang diatur dalam
Pasal 187 KUHAP, dimaksudkan bahwa surat yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang, surat yang dibuat menurut peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat, surat
keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya dan surat lain dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Surat-surat yang dimaksudkan sebagai alat bukti dalam
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah
merujuk pada Pasal 187 KUHAP yang berbunyi:
66
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain”.
Dari bunyi pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa arti
surat yang dimaksud adalah tiga jenis surat yaitu surat authentik
(akta otentik) yaitu surat-surat yang dibuat oleh atau dihadapan
pejabat yang berwenang, dimana isi surat itu berkuasa untuk
membuatnya dan berkuasa pula ditempat dimana surat itu dibuat.
Berikutnya surat dibawah tangan yaitu akte-akte yang dibuat di
bawah tangan yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat,
daftar-daftar dan surat-surat lain, yang tidak dibuat dihadapan
pejabat yang berwenang. Surat tersebut juga dilegalisasi
dihadapan pejabat yang berwenang, maka kekuatan disamakan
dengan akte yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.
Surat biasa adalah semua surat yang memberikan bukti dimana
isinya ada hubungan dengan perkara yang sedang disidangkan,
misalnya surat yang dibuat oleh seseorang ketika yang
bersangkutan akan melakukan sesuatu hal, seperti bunuh diri.
Dalam surat tersebut, biasanya menjelaskan alasan mengapa
seseorang melakukan tindakan bunuh diri tersebut.51
51 Faisal salam, (2006), Op. Cit., hlm. 299-300.
67
4. Petunjuk
Petunjuk adalah suatu kejadian-kejadian atau keadaan atau hal
lain, yang keadaannya dan persamaannya satu sama lain maupun
dengan peristiwa itu sendiri.52 Jika merujuk pada Pasal 188
KUHAP:
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b.surat;
c. keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan
arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
Jika ingin membuktikan kesalahan terdakwa maka
diperlukan beberapa petunjuk dalam melihat kesalahan
terdakwa. Sehingga dengan kejadian yang terjadi bisa
menjadikan petunjuk-petunjuk untuk peristiwa pidana, karena
dalam hal tindak pidana terjadi maka akan ada kaitannya dengan
hubungan yang masuk akal. Petunjuk dalam hal ini juga dapat
52 Ibid hlm. 300-301.
68
berupa keterangan saksi, surat-surat yang berkaitan dengan
peristiwa pidana serta keterangan terdakwa.
Petunjuk dalam alat bukti dimaksudkan bahwa adanya
suatu kejadian atau keadaan yang sesuai antara satu maupun
yang lain dalam hal tindak pidana dan menandakan adanya suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Kemudian dalam menilai
kekuatan pembuktian dari petunjuk-petunjuk tersebut, maka
akan menjadi kewenangan hakim dalam memutuskan.
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dalam alat bukti adalah sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan oleh sebab itu
semua yang dikatakan oleh terdakwa haruslah didengar sehingga
dapat dinilai apakah yang dikatakan terdakwa adalah
penyangkalan, pengakuan ataupun perbuatan. Keterangan
terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas
pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut
Memorie Van Toelichting Ned. Sv Penyangkalan terdakwa boleh
juga menjadi alat bukti yang sah dengan demikian keterangan
terdakwa yang menyangkal dakwaan tetapi membenarkan
beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus pada
terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.
69
Keterangan terdakwa mempunyai sifat yang sama dengan
keterangan saksi, sehingga kekuatan pembuktiannya diserahkan
kepada hakim.53
Pada Pasal 183 KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh
menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Fungsi alat bukti didalam perkara pidana adalah guna
melihat kejelasan dalam memutuskan terdakwa bersalah atau
benar dalam sidang di pengadilan. Dengan adanya alat bukti
tersebut, maka suatu kasus pidana akan semakin jelas. Dalam
KUHAP, alat bukti terdapat dalam pasal 184 yang berbunyi:
“Alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, keterangan terdakwa”. Fungsi alat bukti adalah
untuk membangun keyakinan hakim bahwa sekurang-kurangnya
dua alat bukti sah telah terjadi tindak pidana serta seorang
terdakwa yang bersalah melakukannya.
53 Ibid,, hlm. 129.
70
3. Proses Pembuktian
Pembuktian dalam hukum acara pidana adalah tahapan
terjadinya suatu proses, cara, perbuatan membuktikan apakah
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dalam persidangan
di pengadilan terbukti atau tidak. Pembuktian merupakan
tindakan untuk menghadirkan alat-alat bukti yang
dibenarkan/ditentukan oleh undang-undang, untuk membukti-
kan apakah benar terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dan
sebagai orang yang patut dipersalahkan dalam perkara tersebut.
Dalam pembuktian, akan dilakukan kegiatan membuktikan yaitu
dengan menghadirkan alat bukti dan barang bukti dan
melakukan verifikasi untuk memperoleh kebenaran.
Dalam proses membuktikan bersalah atau tidaknya
seorang terdakwa harus dilakukan melalui proses pemeriksaan
di depan pengadilan. Menurut M. Haryanto dalam buku
Hukum Acara Pidana, ada dua hal yang diperhatikan oleh
Hakim dalam hal pembuktian yaitu:
1. Kepentingan Masyarakat, yaitu bahwa seseorang yang
telah melanggar ketentuan pidana dalam KUHP atau UU
Hukum Pidana di luar KUHP harus mendapatkan
hukuman setimpal dengan kesalahannya.
2. Kepentingan Terdakwa, yaitu terdakwa harus
diperlakukan adil sedemikian rupa, sehingga kalau
memang tidak bersalah tidak perlu mendapatkan hukuman,
atau kalau memang ia bersalah, maka akan mendapatkan
71
hukuman sesuai dengan kesalahannya. Prinsip ini seperti
dikemukakan oleh Socrates bahwa “lebih baik melepaskan
seribu orang penjahat daripada menghukum seorang yang
tidak bersalah”.
Yang dimaksudkan dengan pembuktian adalah
pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,
sehingga harus mempertanggung jawabkannya.
Sehingga ada dua hal yang dibuktikan, yaitu:
kebenaran peristiwa pidana yang didakwakan (unsur
obyektif) dan kebenaran terdakwa sebagai pelaku yang
dapat bertanggungjawabkan (unsur subyektif).54
Kemudian, dalam buku Eddy O. S. Hiariej, mengutip
pendapat William R. Bell, bahwa faktor-faktor yang berkaitan
dengan pembuktian adalah sebagai berikut:
Bukti harus relevan atau berhubungan. Oleh karena itu,
dalam konteks perkara pidana, ketika menyidik suatu
kasus biasanya polisi mengajukan pertanyaan-
pertanyaan mendasar, seperti apa unsur-unsur kejahatan
yang disangkakan? Apa kesalahan tersangka yang harus
dibuktikan? Fakta-fakta mana yang harus dibuktikan?
Bukti harus dapat dipercaya (reliable). Dengan kata
lain, bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk
memperkuat suatu bukti harus didukung oleh bukti-
bukti lainnya.
Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang
tidak semestinya. Artinya, bukti tersebut bersifat
objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu
fakta.
Dasar pembuktian, yang dimaksudnya adalah
pembuktian haruslah berdasarkan alat-alat bukti yang
sah.
54 Ibid., hlm. 106-107.
72
Berkaitan dengan cara mencari dan mengumpulkan
bukti, harus dilakukan dengan cara-cara sesuai dengan
hukum.55
Sehingga didalam proses pembuktian dalam persidangan
yang akan dilakukan dalam pengungkapan fakta yaitu melalui
pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli dan pemeriksaan barang
bukti dan alat bukti. Dengan demikian mengungkapkan fakta
serta alat-alat bukti ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum,
Penasehat Hukum, dan majelis Hakim akan melakukan
penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum,
Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini
dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir), kemudian
Penasehat Hukum dapat mengajukan pembuktiannya yang
dilakukan dengan cara nota pembelaan (pledooi), dan terakhir
Majelis Hakim akan membaca vonnis atau putusan akhir pada
kasus tersebut.
55 Eddy O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta,
2002, hlm. 13.
73
C. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA PIDANA
1. Pengertian Pertimbangan Hakim
Dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaats), kekuasaan kehakiman merupakan badan yang
sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum
positif.56 Kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam tindakan
pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia
tertentu serta menentukan nilai situasi konkret dan
menyelesaikan persoalan atau konflik yang ditimbulkan secara
imparsial berdasarkan hukum sebagai patokan objektif.57
Oleh karena itu, dengan adanya kewenangan tersebut
maka dalam hal melaksanakan tugas serta pertimbangan hakim
dalam persidangan haruslah bersih, profesional, arif serta
bijaksana. Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah
argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai
pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus
perkara.58
56 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, 2014, hlm. 1. 57 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 93. 58 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2010, hlm. 193.
74
Salah satu hal yang terpenting dalam menentukan
terwujudnya suatu nilai keadilan adalah pertimbangan hakim
yang mengandung keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Dalam pertimbangan hakim haruslah disikapi dengan cermat,
baik serta teliti. Hal ini agar para pihak yang berperkara
merasakan keadilan. Karena putusan hakim merupakan
serangkaian dalam proses penjatuhan pidana pada seseorang
maka hakim harus berpedoman pada pembuktian dalam hal
menentukan seseorang benar melakukan tindak pidana. Apabila
dalam hasil persidangan, terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana maka putusan hakim
haruslah lepas dari segala tuntutan hukum yang ada atau putusan
pembebasan (vrjspraak).
Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa dan
memutuskan serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di
suatu sidang pengadilan, dengan menjatuhkan suatu putusan,
yang disebut dengan putusan hakim.59
Putusan Hakim akan begitu dihargai dan mempunyai
nilai kewibawaan, jika putusan tersebut dapat merefleksikan rasa
59 Ahmad Rifai, ( 2014), Op. Cit hlm. 52.
75
keadilan hukum masyarakat dan juga merupakan sarana bagi
masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan kebenaran dan
keadilan.60 Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan
seorang hakim dilakukan dalam kerangka menegakkan
kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang dicita-citakan
selama ini, dengan berpedoman pada hukum, undang-undang
dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.61
2. Kewajiban Hakim Dalam Memutuskan Perkara Pidana
a. Hal-hal Yang harus Dipertimbangkan Hakim Dalam
Perkara Pidana
Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus
memperhatikan serta mengusahakan semaksimal mungkin
agar jangan sampai putusan tersebut memungkinkan
timbulnya perkara baru (sedapat mungkin para pihak dalam
perkara tidak mengajukan banding atau upaya hukum
lainnya).62
Menurut Ahmad Rifai, dalam memeriksa dan
mengadili suatu perkara pidana, dan kemudian menjatuhkan
60 Ibid, hlm. 3. 61 Ibid, hlm. 3. 62 Ibid hlm. 52.
76
putusan, seorang hakim harus melakukan 3 (tiga) tahap
tindakan dipersidangan yaitu:
1. Tahap Mengkonstatir
Dalam tahap ini, hakim akan mengkonstatir
atau melihat untuk membenarkan ada tidaknya suatu
peristiwa yang diajukan kepadanya. Untuk
memastikan hal tersebut, maka diperlukan
pembuktian dan oleh karena itu hakim harus
bersandarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut
hukum, di mana dalam perkara pidana dapat
diketemukan dalam Pasal 184 KUHAP.
2. Tahap Mengkualifikasi
Pada tahap ini, hakim mengkualifisir dengan
menilai peristiwa konkret yang telah dianggap
benar-benar terjadi itu, termasuk hubungan hukum
apa atau yang bagaimana atau menemukan hukum
untuk peristiwa hukum (apakah itu pencurian,
penganiayaan, perzinahan, perjudian, atau peralihan
hak, perbuatan melawan hukum, dan sebagainya).
Jika peristiwa sudah terbukti dan peraturan
hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan
hukumnya akan mudah, tetapi jika tidak jelas atau
tidak tegas hukumnya, maka hakim bukan lagi
harus menemukan hukumnya saja, tetapi lebih dari
itu ia harus menciptakan hukum, yang tentu saja
tidak boleh bertentangan dengan keseluruhan
sistem perundang-undangan dan memenuhi
pandangan serta kebutuhan masyarakat atau
zamannya.
3. Tahap Mengkonstituir
Dalam tahap ini, hakim menerapkan
hukumnya terhadap peristiwa tersebut dan
memberi keadilan kepada para pihak yang
bersangkutan (para pihak atau terdakwa). Keadilan
yang diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari
intelektualitas hakim, tetapi merupakan semangat
hakim itu sendiri.
77
Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), faktor-faktor yang
memperingan dan memperberat pidana terdapat pada Pasal 132,
133,134, dan 135. Pasal 132 RUU KUHP berbunyi:
Faktor yang memperingan pidana meliputi:
1) Percobaan melakukan tindak pidana;
2) Pembantuan terjadinya tindak pidana;
3) Penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib
setelah melakukan tindak pidana;
4) Tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
5) Pemberian ganti kerugian yang layak perbaikan
kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana
yang dilakukan;
6) Tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
7) Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Pasal 133 berbunyi:
(1) Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per
tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun
minimum khusus untuk tindak pidana tertentu.
(2) Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan
penjara seumur hidup. Maksimum pidananya penjara
15 (lima belas) tahun.
(3) Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana
dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih
berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Pasal 134 berbunyi: “faktor yang memperberat pidana meliputi:
a. Pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus
diancam dengan pidana atau tindak pidana yang di lakukan
oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan
kepadanya karena jabatan;
78
b. Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau
lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak
pidana;
c. Penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan
tindak pidana;
d. Tindak pidana yang dilakukan oleh dewasa bersama-sama
dengan anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun;
e. Tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-
sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau
dengan berencana;
f. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru
hara atau bencana alam;
g. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam
keadaan bahaya;
h. Pengulangan tindak pidana; atau
i. Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam
masyarakat.”
Pasal 135 berbunyi: “pemberatan pidana adalah penambahan 1/3
(satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana”.
Kemudian hal yang meringankan dalam putusan hakim
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP terdapat pada Pasal
34 dan 35 yang berbunyi:
Pasal 34: “setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana
karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman
serangan segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri
atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta benda atau orang
lain, tidak dipidana”. Pasal 35: “termasuk alasan pembenar
adalah tidak adanya sifat melawan hukum sebagaimana di
maksud dalam Pasal 11 ayat (2)”.
Hal-hal yang memberatkan yaitu bahwa perbuatan
seorang terdakwa telah melanggar peraturan yang berlaku serta
merugikan orang lain. Hal-hal yang meringankan adalah
terdakwa berlaku sopan dipersidangan dan berterus terang
79
sehingga memperlancar proses persidangan, terdakwa menyesali
perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi di
kemudian hari sebagai wujud nilai baik dari terdakwa, serta
terdakwa belum pernah di hukum.
Hal-hal yang dipertimbangkan seorang hakim dalam
dalam proses persidangan, jika berdasarkan pada Pasal 197
KUHAP yang berbunyi:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta
dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat
tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim
kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah
terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana
disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan;
80
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan
mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau
keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat
surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama
hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e,
f, g, h, i, j, k, l dan I Pasal ini mengakibatkan putusan batal
demi hukum
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan
dalam undang-undang ini.
Dalam hal ini, hakim dalam surat putusan
pemidanaannya harus mengacu pada Pasal 197 KUHAP
tersebut. Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari
suatu perkara yang sedang di periksa dan di adili oleh hakim
tersebut.63 Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat
putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai
dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin
ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil
sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.64 Dalam
proses penjatuhan putusan, seorang hakim harus meyakini
apakah seseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah
63 Ibid , hlm. 94. 64 Ibid, hlm. 94.
81
tidak, dengan tetap berpedoman dengan pembuktian untuk
menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan oleh
seorang pelaku pidana, atau untuk menentukan adanya
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak
berperkara.65
Putusan hakim dalam perkara pidana, dapat berupa
putusan penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak pidana
terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari
tindak pidana (vrijspraak), dalam hal menurut hasil pemeriksaan
di persidangan, kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan
hukum (onslaag van alle rechtsvervolging), dalam hal perbuatan
terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi
perbuatan tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana.66
Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau
pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam
mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara
yaitu:67
65 Ibid, hlm. 95 66 Ibid, hlm. 95. 67 Ibid hlm. 105-112.
82
1. Teori keseimbangan
Yang dimaksud teori keseimbangan adalah
keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain
seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan
kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan
pihak tergugat.
2. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi
atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam
penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan
keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku
tindak pidana. Dalam praktik peradilan, kadangkala teori
ini dipergunakan hakim di mana pertimbangan akan
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
3. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa
proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik
dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya
dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini
merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutuskan
suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar
intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan
ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan
hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.
4. Teori pendekatan pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal
yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara yang
dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang
dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana
dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara
pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun
masyarakat
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang
mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang
83
berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan
kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara yang disengketakan
sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta
pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan
keadilan bagi para pihak yang berperkara.
6. Teori kebijaksanaan
Teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam
perkara di pengadilan anak. Landasan dari teori ini
menekankan rasa cinta tanah air, nusa, dan bangsa
Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk, dan
dibina. Aspek dalam teori ini menekankan bahwa
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua ikut
bertanggungjawab untuk membimbing,membina,
mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi
manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi
bangsanya.
Tujuan dari teori kebijaksanaan adalah pertama,
sebagai upaya perlindungan terhadap beberapa tujuan,
yaitu pertama, sebagai upaya perlindungan terhadap
masyarakat dari suatu kejahatan, yang kedua, sebagai
upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan
tindak pidana, yang ketiga, untuk memupuk solidaritas
antara keluarga dengan masyarakat dalam rangka
membina, memelihara, dan mendidik pelaku tindak pidana
anak, dan yang keempat, sebagai pencegah umum dan
khusus.68
Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku
tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan
segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari
ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh
pelakunya.
b. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana
membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan
tindak pidana di kemudian hari.
68 Madhe Sadhi Astusi, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku
Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang, 1997, hlm. 87.
84
c. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak
melakukan tindak pidana sebagaimana yang
dilakukan oleh pelakunya.
d. Mempersiapkan mental masyarakat dalam
menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan
tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak
pidana dapat diterima dalam pergaulan
masyarakat.69
b. Korelasi Antara Pertimbangan Dengan Pembuktian
Hakim
Hubungan antara pertimbangan hakim dan
pembuktian hakim tidak dapat dipisahkan karena saling
berkaitan. Seorang hakim tidak dapat memutuskan seorang
terdakwa bersalah jika tidak ada bukti yang cukup bahwa
seseorang telah melakukan tindak pidana. Sebaliknya,
seorang terdakwa tidak dapat menyangkali perbuatannya jika
terdapat alat bukti yang menguatkan bahwa seorang terdakwa
tersebut benar-benar telah melakukan tindak pidana.
Ketentuan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia
adalah untuk menghukum seorang terdakwa hakim haruslah
berdasarkan pada alat-alat bukti. Karena alat-alat bukti
tersebut hakim sebagai orang yang berwenang memutuskan
perkara pidana dapat menyimpulkan tentang kesalahan
69 Ahmad Rifai, (2014), Op. Cit. hlm. 112.
85
terdakwa serta dapat menjatuhkan pidana atau membebaskan
terdakwa dari jerat hukum pidana.
Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana harus
mengungkapkan fakta-fakta sidang pengadilan yang
diperoleh melalui alat-alat bukti dan barang bukti itulah yang
akan menjadi pertimbangan hakim di dalam memutuskan
perkara pidana yang sedang diperiksa, apakah perkara itu
terbukti sebagai tindak pidana atau tidak terbukti sebagai
tindak pidana. Dengan kata lain, bahwa pertimbangan hakim
haruslah mengacu pada hasil pembuktian selama proses
pembuktian dalam persidangan yang diperolah melalui fakta-
fakta persidangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
korelasi pembuktian dan pertimbangan hakim adalah didalam
rangka pembuktian, hakim harus mempertimbangkan hal-hal
yang terungkap dalam persidangan melalui fakta-fakta dalam
persidangan.