BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian atau Kajian Terdahulu · Makna Simbolik Dan Nilai Estetik Batik...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian atau Kajian Terdahulu · Makna Simbolik Dan Nilai Estetik Batik...
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian atau Kajian Terdahulu
Batik Tegal sudah pernah diteliti oleh beberapa peneliti dengan sudut
pandang yang berbeda. Penelitian Desi R.M dalam tesisnya berjudul “Mengkaji
Makna Simbolik Dan Nilai Estetik Batik Beras Mawur” (Tesis, 2013). Penelitian
tersebut membahas tentang arti pola hias serta keindahan motif beras mawur.
Krismawan A.S dalam penelitiannya berjudul “Tinjauan Motif, Warna, Dan Nilai
Estetik Batik Tegal Produksi Kelompok Usaha Bersama Sidomulyo Di Pasangan
Talang Tegal” (Tesis, 2012), membahas tentang tinjauan motif, warna, dan nilai
estetik motif batik Tegal produksi ciri khas kelompok usaha Sidomulyo. Jurnal
batik pada tanggal 10 Februari 2014, artikel M. Budi Mulyaman berjudul “Era
Baru Batik Tegal” yang membahas tentang perkembangan batik Tegal dengan
motif baru.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang mengangkat tema“Kajian
Estetika Corak Batik Tegal di Kelurahan Bandung, Kecamatan Tegal Selatan”
merupakan bentuk pengkajian baru pada penelitian tulisan sebelumnya, sehingga
apa yang belum dibahas sebelumnya akan tersampaikan dalam penelitian ini.
7
B. Batik
1. Pengertian Batik
Kata “batik” berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: yaitu “amba”, yang
mempunyai arti “menulis” dan “titik” yang mempunyai arti “titik”, di mana dalam
pembuatan kain batik sebagian prosesnya dilakukan dengan menulis dan
sebagian dari tulisan tersebut berupa titik. Titik berarti juga tetes. Seperti
diketahui bahwa dalam membuat kain batik dilakukan pula penetesan lilin di atas
kain putih (Lisbijanto, 2013:6).
a. Menurut Nian Djumena, berdasarkan sudut daerah pembatikan batik
dibedakan menjadi 2 kelompok besar yakni:
1) Batik Vorstenlanden
Batik Vorstenlanden adalah batik dari Solo dan Yogya. Batik yang berasal
dari keraton dan batik yang mendapat pengaruh sangat kuat dari keraton, baik
ragam hias maupun warnanya. Berdasarkan sifat ragam hias dan warnanya, batik
Vorstenlanden memiliki ciri khas antara lain, ragam hias bersifat simbolis berlatar
kebudayaan Hindu-Jawa, warna cenderung kewarna coklat sogan, indigo, hitam
dan putih.
Warna dominan kain batik klasik Jawa pada awalnya dapat ditemukan
sebagai berikut : warna coklat (Dragem Sogan) adalah simbolis dari warna tanah
lempung yang subur, dapat membangkitkan rasa kerendahan hati, kesederhanaan
dan “membumi”, selain kehangatan bagi pemakainya. Warna biru tua (Wulung),
pakaian dengan warna ini memberikan efek rasa ketenangan, kepercayaan,
kelembutan pekerti, keikhlasan, dan rasa kesetiaan. Warna biru tua biasanya
ditemukan pada motif batik klasik Yogyakarta, misalnya pada motif Modang.
8
Warna putih melambangkan arah timur, muncul pada motif gagrak Yogyakarta
dan menunjukkan kesan inocent (rasa tidak bersalah), kesucian, ketentraman hati
dan keberanian serta sifat pemaaf pemakainya.
Menurut H.Santoso Doellah, Batik Keraton sebagai wastra batik
tradisional, terutama yang tumbuh dan berkembang di Keraton-Keraton Jawa
(termasuk Keraton Cirebon dan Sumenep). Tata susun ragam hias dan
pewarnaannya merupakan paduan yang menganggumkan antra matra seni, adad,
pandangan hidup dan kepribadian lingkungan yang melahirkan karya seni ini,
yaitu lingkungan Keraton.
Pola-pola batik Keraton mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa yang pada
zaman Pajajaran dan Majapahit berpengaruh sangat besar dalam seluruh tata
kehidupan dan kepercayaan masyarakat Jawa. Pengaruh Hindu-Jawa tercermin
dengan jelas pada batik-batik Kerton berpola Semen. Meskipun susunan ragam
hias batik Keraton memeiliki aturan yang baku, namun berkat kebebasan dalam
menyusun serta memilih ragam hias utama, isen-isen dan ragam hias pengisi,
maka batik motif Semen memiliki banyak sekali ragamnya (Kusrianto, 2013:36).
Ragam hias batik yang ada hubungannya dengan kedudukan sosial
umpamanya, adalah ragam hias Parang Rusak Barong, Sawat, dan Kawung.
Aturan atau tata cara pemakaian batik, antara lain menyangkut, kedudukan sosial
si pemakai dan pada kesempatan atau peristiwa mana kain batik ini dipakai atau
dipergunakan tergantung dari makna atau arti dan harapan ragam hias tersebut.
Struktur batik merupakan struktur atau prinsip dasar penyusunan batik.
Struktur batik terdiri dari unsur pola atau motif batik yang disusun berdasarkan
pola yang sudah baku.
9
Motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara
keseluruhan. Motif batik disebut juga corak batik atau pola batik. Menurut unsur-
unsurnya, maka motif batik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
ornamen motif batik dan isen motif batik (Susanto, 1980:212).
Menurut Sewan Susanto, motif batik berdasarkan unsur-unsurnya
dibedakan menjadi 2 yaitu:
1) Ornamen Motif Batik, dibedakan lagi atas ornamen utama dan
ornamen pengisi bidang atau ornamen tambahan. Ornamen utama adalah suatu
ragam hias menentukn dari pada motif tersebut, dan pada umumnya ornamen-
ornamen utama itu masing-masing mempunyai arti, sehingga susunan ornamen-
ornamen itu dalam suatu motif membuat jiwa atau arti pada motif itu sendiri.
Ornamen tambahan tidak mempunyai arti dalam pembentukan motif dan
berfungsi sebagai pengisi bidang.
2) Isen motif adalah berupa titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan
garis yang berfungsi untuk mengisi ornamen-ornamen motif atau mengisi bidang
diantara ornamen-ornamen tersebut. Bentuk-bentuk isen yaitu cecek-cecek, cecek
pitu, sisik melik, cecek sawut, cecek sawut daun (bentuk megar), herangan, sisik,
gringsing, sawut, galaran, rambutan atau rawan, siarapan, cacah gori. Tetapi
sering dapati bahwa pada suatu motif, tidak dapat dibedakan mana yang ornamen
utama dan mana ornamen tambahan sehingga hanya mempunyai susunan yang
indah saja dan tidak mempunyai jiwa yang mendalam.
Ornamen pengisi ialah ornamen-ornamen yang berfungsi sebagai pengisi
bidang untuk memperindah motif secara keseluruhan. Ornamen pengisi ini
bentuknya lebih kecil dan lebih sederhana, sedang yang digambarkan dapat
10
berbagai macam, bentuk burung, bentuk binatang sederhana atau tumbuhan,
seperti kuncup, daun, bunga atau lung-lungan. Dalam satu motif, ornamen pengisi
itu dapat hanya satu macam ornamen pengisi, dapat pula diisi dengan beberapa
macam ornamen pengisi (Susanto, 1980:212).
Bila pengendalian hidupnya salah akan masuk di dunia bawah atau lembah
kesengsaraan dan apabila pengendalian hidupnya dapat mencapai kebenaran
maka, ia akan masuk dunia atas atau kemuliaan abadi. Maka motif tersebut secara
keseluruhan adalah menggambarkan bahwa hidup itu adalah tidak gampang
menjadi sengsara atau mulia adalah tergantung dari perbuatan dan pengendalian
hidup dari manusia itu sendiri. Demikian sebagai gambaran bahwa motif-motif
batik yang klasik pada umumnya mempunyai dua macam keindahan yaitu:
Keindahan visual, yaitu rasa indah yang diperoleh karena perpaduan yang
harmoni dari susunan bentuk dan warna melalui penglihatan atau panca indera.
Keindahan jiwa, atau keindahan filosofis, yaitu rasa indah yang diperoleh karena
susunan arti lambang ornamen-ornamennya yang membuat gambaran sesuai
dengan paham yang dimengertinya (Susanto, 1990:212).
Mengenai ornamen utama dan isen yang merupakan unsur motif batik,
masing-masing ditinjau tersendiri pada bagian lain, pada bagian ini akan ditinjau
lebih lanjut mengenai susunan motif yang merupakan rangkaian dari unsur-unsur
motif dan pengertian serta jiwanya yang terkandung didalamnya.
11
2) Batik Pesisiran
Batik pesisiran adalah semua batik yang pembuatannya dikerjakan diluar
Solo dan Yogya. Karena dibuat didaerah pesisir yang sarat pengaruh dari luar,
batik pesisiran mempunyai ragam hias dan warna mengandung unsur-unsur
budaya dari luar. Berdasarkan sifat ragam hias dan warnanya, batik Pesisiran
memiliki ciri khas antara lain, ragam hias bersifat naturalistis dan pengaruh
berbagai kebudayaan asing terlihat kuat, warna beraneka ragam (Djoemena,
1990:8).
Berdasarkan motifnya batik pesisir terdiri dari:
a) Batik India atau Batik Sembagi
Merupakan batik yang menerapkan ragam hias wastra India, yaitu kain
patola dan chinz atau sembagi, serta mulai dibuat oleh pedagang-pedagang Arab
dan Cina pada awal abad ke-19 dikawasan utara pulau Jawa (Doellah, 2002:154).
b) Batik Belanda
Merupakan jenis batik yang tumbuh dan berkembang antara tahun 1840
sampai dengan tahun 1840 sampai dengan tahun 1940, hampir semua sarung,
pada mulanya hanya dibuat bagi masyarakat Belanda dan Indo-Belanda, dan
kebanyakan dibuat di daerah pesisir (Pekalongan) (Doellah, 2002:164).
c) Batik Cina
Merupakan pengaruh budaya Cina pada kehidupan di bumi Nusantara
yang telah berlangsung lebih dari seribu tahun yang lalu, masuk melalui arus
perpindahan penduduk dan perdagangan orang-orang Cina yang berasal dari Cina
Selatan. Batik Cina adalah jenis batik yang dibuat oleh orang-orang Cina atau
peranakan, yang menampilkan pola-pola dengan ragam hias satwa mitos Cina,
12
seperti naga, singa, burung phoenix (burung hong), kura-kura, kilin (anjing
berkepala singa), dewa dan dewi, ragam hias yang berasal dari keramik Cina
kuna, serta ragam hias berbentuk mega dengan warna merah atau merah dan biru
(Doellah, 2002:182).
d) Batik Djawa Hokokai
Batik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan batik di Pekalongan
selama masa penjajahan Jepang di tahun 1942-1945, dengan pola hias dan warna
yang dipengaruhi oleh budaya Jepang dan latar yang menampakkan pola batik
keraton. Batik Djawa Hokokai berformat “pagi-sore”, yaitu ditata dengan dua pola
dan dua nuansa warna berbeda dalam satu kain (Doellah, 2002:202).
Pada batik pesisir dari berbagai daerah, warna dan tatawarna biru putih
(kelengan), merah putih (bang-bangan), merah biru (bang-biru), merah-putih-hijau
(bang-biru-ijo) hampir selalu ada, tentu saja dengan perbedaan nuansa warna
menurut selera daerah yang bersangkutan. Dilihat dari segi ragam hias, warna dan
tatacara serta gayanya, batik pesisir yang menonjol dan yang sampai sekarang
masih digemari, antara lain batik dari daerah Indramayu, Cirebon, Pekalongan,
Lasem, Garut, Madura dan Jambi.
b. Menurut Kartika (2007:137), berdasarkan Polanya, batik dibedakan
menjadi 2 antara lain, yaitu :
1. Batik Pola Klasik yaitu pengrajin batik secara utuh masih mengacu pada batik
klasik dengan teknik pembatikan menggunakan pewarna sintetis.
2. Batik Pola Kreasi yaitu pembuatan batik tidak ideal lagi secara utuh (tidak
sepenuhnya) mengacu pada batik klasik, teknik pewarnaan maupun
pembatikan bebas (cap atau printing) dan menggunakan pewarna sintetis.
13
c. Batik berdasarkan motif batik yang beredar dipasaran, dibedakan
menjadi 2 yaitu:
a) Motif yang bersifat klasik:
Merupakan motif batik yang sudah ada sejak dahulu kala, sido luhur, sido
mukti, sido karno, srikaton, bokor kencana, pringgodani, kembang asem dan
wirasat. Ditambah dengan yang bermotif garis yaitu : kawung, parikesit, parang
kusuma, gringsing, pamor, udan liris rujak sente, parang rusak, tirta tirja dan
jlamprang.
b) Motif yang bersifat moderen :
Batik modern sudah tidak lagi menggunakan patokan dari batik klasik,
tetapi cenderung mengikuti selera merancangnya dan disesuaikan dengan si
pemakai (Lisbijanto, 2003:46).
Ciri-ciri batik moderen yaitu mempunyai ragam hias bebas biasanya
binatang, tumbuhan, rangkaian bunga, buah dan sebagainya, motif atau corak
batik tidak mempunyai arti simbolik tertentu, warna yang digunakan bebas, tidak
terikat pada pakem seperti biru, merah dan ungu, biasanya motif batik modern
memiliki ciri daerah asal (Lisbijanto, 2003:48).
Motif-motif batik yang tergolong motif-motif moderen, keindahan visual
dan dan keindahan jiwa tidak menonjol atau tidak ada sama sekali dan yang ada
hanya merupakan keindahan yang pertama. Sehingga sering terjadi bahwa
pemberian nama motif batik tidak sesuai dengan ragam yang ada dalam motif
tersebut (Susanto, 1990:213).
14
d. Menurut Sewan Susanto (1990:215) , berdasarkan pada pembagian
bidang letak susunan motif, maka motif batik dapat dibagi menjadi 2
golongan yaitu:
a) Golongan Motif Geometris
Merupakan motif-motif yang tersusun atas unsur-unsur bentuk geometris,
seperti lingkaran, segiempat, segitiga, dan sebagainya. Persamaan ciri-ciri motif
golongan geometris yaitu motif banji, motif ganggong, motif ceplokan, motif
seperti anyaman, motif parang dan lereng.
b) Golongan Non-Geometris
Merupakan motif-motif yang tersusun dari ornamen-ornamen tumbuhan
dan tidak dapat dimasukkan geometris, terbagi 4 macam, antara lain: motif semen,
buketan, dinamis, dan pinggiran. Dalam susunan tidak teratur meskipun dalam
bidang luas akan terjadi berulang kembali susunan motif tersebut.
e. Batik berdasarkan teknik pembuatan dibedakan menjadi 3 macam,
antara lain:
a) Batik tulis
Batik tulis adalah kain batik yang menggunakan teknik tulis dalam
membentuk motif atau corak batik dengan menggunakan tangan dan alat bantu
canting. Kain batik tulis mempunyai ciri khas yang tidak sama dengan setiap kain
batik. Motif batik di corek pada kain dengan detail menggunakan media malam.
Proses pembuatannya menghabiskan waktu sekitar 2 hingga 3 bulan(Lisbijanto,
2003:10).
15
b) Batik cap
Batik cap adalah kain yang cara pembuatan corak dan motifnya dengan
menggunakan cap atau semacam stempel yang terbuat dari tembaga. Dalam hal
ini proses pembuatannya tidak serumit dan selama batik tulis. Cap tersebut
menggantikan fungsi canting dalam membatik. Cetakan motif tersebut dicelupkan
ke dalam lilin atau malam kemudian diletakkan pada kain. Proses pembuatan
batik dengan metode cap relatif cepat sekitar 2 hingga 3 hari. Namun, kain batik
cap ini kurang mempunyai nilai seni, karena hasil dari proses terlinat sama dan
kurang menarik bagi yang memahami batik (Lisbijanto, 2003:11).
c) Batik lukis
Batik lukis adalah kain batik yang proses pembuatannya dengan cara
dilukis pada kain putih, dalam melukis juga menggunakan bahan malam yang
kemudian diberi warna sesuai dengan kehendak seniman tersebut. Motif dan
corak batik lukis tidak terpaku dengan desain pada umumnya tetapi sesuai dengan
keinginan pelukis tersebut. Batik lukis merupakan pengembangan motif batik tulis
dan batik cap. Pembuatan batik dengan metode lukis memakan waktu lama
walaupun tidak seperti batik tulis karena motif dilukis langsung di media kain
yang akan dibuat menjadi batik (Lisbijanto, 2003:12).
2. Batik Pesisir
Batik pesisiran adalah batik yang berkembang dikawasan pantai utara
Jawa seperti Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Pekalongan. Kemunculannya
dengan membawa ciri yang sangat kuat membuat para pengamat batik di zaman
16
pendudukan Belanda dengan tegas mengelompokkan batik Jawa menjadi dua,
yaitu batik Vorstenlanden dan batik Pesisiran. Pengertian tersebut dianalisis oleh
pemikiran Belanda pada akhir abad 19 (Kusrianto, 2013:208).
Mulai tahun 1980-an antropolog Rens-Heringa meneliti batik dari pesisir
utara Jawa, begitu pula Harmen C.Veldhuisen, seorang sosiolog dan kolektor
batik. Keduanya berasal dari Belanda. Mereka tidak sependapat dengan Rouffaer
yang menyatakan batik pesisir yang berwarna-warni mestinya berkembang
kemudian. Dalam Five Centuries of Indonesian Textiles, Rens Heringa
mengemukakan bahwa penelitian lebih baru mengungkapkan:”.... perkembangan
gaya batik berwarna cerah dari pesisir utara Jawa, secara historis tidak dapat
dipertanggungjawabkan bila dikaitkan dengan kematian perdagangan cina dari
Gujarat dan Partai Koromandel pada akhir abad XVIII atau awal abad XIX”.
Batik pesisir diperkirakan sudah mulai berkembang sejak abad XV (Ishwara,
2013:24).
Malaka merupakan tempat pertemuan para pedagang dari berbagai penjuru
dunia. Mereka membawa barang dagangan dari tempat asal untuk dijual di
Malaka dan membeli barang dari pedagang lain untuk keperluan pembeli di
tempat asal. Barang-barang yang diperdagangkan di Malaka antara lain bahan
makanan (beras), bahan pakaian (wol, katun, sutera), bahan pewarna pakaian
(indigo), perak, tembaga, cermin, porselin, dan sebagainya.
Kawasan Indonesia banyak ditawarkan rempah-rempah, seperti pala,
merica, cengkih, beras, teh, malam tawon, kapur barus, kemenyan, kayu gaharu,
cendana dan sebagainya. Ketika mengunjungi Jawa, Tomes Pires (Armando
Cortesao, 1944) mencatat beberapa komoditas, seperti emas bermutu, tembaga,
17
bermacam ternak, ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, beras yang putih, dan”....
For merchandise they have countless Javanese cloths, which they take to Malacca
to sell”.
Dalam catatan lain, ketika mengunjungi pesisir sunda (Kelapa), Tomes
Pires (Armando Cortesao, 1944) mencatat barang dagangan yang dibutuhkan dari
Malaka sebagai berikut:
“They buy white sinabaffs, both large and small, syinhaves, pachauelezez,
balachos, atobalachos (these are white cloths). They buy kling cloths,
enraladosof large and small, ladrilho which are then marketable, and they
buy much. They buy pachak, catechu, and seeds from Cambay, turias,
tiricandies, caydes in quantities. A great dial is used, there and bought for
gold. Areca, rosewater, and thing like that are bought in Sunda”.
Yang menarik dari catatan Tomes Pires adalah istilah Javanese cloth dan
Kling cloth. Menurut Mattiebelle Gittinger(1982), istilah Kling cloth adalah
pengertian umum untuk jenis kain (panjang) dari India, yang diperdagangkan
untuk pasar Asia Tenggara. Ini terjadi pada saat kata Portugis menguasai Malaka
tahun 1511. Istilah ini merujuk pada kata Kalinga, nama suatu tempat di India.
Kain panjang dari India berukuran sekitar 27cm x 11cm, dibuat dengan teknik
lukisan atau cetak rintang warna dan menyerupai batik.
Batik yang jumlah ragamnya tak terhitung ini dibuat oleh pengrajin batik
pesisiran yang telah memeluk agama Islam. Batik-batik itu dipasarkan tidak hanya
Malaka, tetapi juga tempat-tempat lain diseluruh pelosok Indonesia. Penyebaran
batik dilakukan oleh para pedagang muslim pesisir utara pulau Jawa. Mereka
melakukan hal itu sambil menawarkan komoditas lain yang diangkut dengan
kapal ke pasar manca.
18
Produksi batik pesisir tumbuh dengan pesat sekitar tahun 1870-an,
didukung oleh kemajuan transportasi dengan adanya kereta api dan kapal uap.
Pedagang dan penghasil batik berusaha memenuhi selera konsumen yang beragam
yang senantiasa menuntut inovasi baru. Akibatnya, batik yang dibuat di sepanjang
pesisir terutama di daerah Pekalongan, coraknya sangat dinamis (Ishwara,
2013:27).
Fenomena kemunculan batik pesisiran adalah suatu “pemberontakan”
terhadap bentuk batik klasik yang telah lama ada. Motif batik pesisiran dianggap
“nyeleh”, tidak mirip batik yang telah akrab dalam kehidupan orang Jawa,
terutama dalam tampilan warna dan motifnya (Kusrianto, 2013:208).
Batik pesisiran adalah batik nonklasik, nama lain batik moderen. Batik
pesisiran tidak mengenal pengkhususan pengguna sebagaimana batik Keraton.
Batik pesisiran yang merupakan budaya silang berbagai bangsa yang pernah
berinteraksi dengan penduduk didaerah pesisir utara pulau Jawa mampu
menembus batas-batas bangsa, mengabaikan batas-batas kasta maupun strata
sosial. Dengan demikian, batik pesisiran cenderung lebih luwes, tidak kaku, dan
bernuansa lebih ceria (Kusrianto, 2013:209).
Batik pesisir terbagi menjadi delapan model, batik pesisir tradisional yang
merah biru, batik hasil pengembangan pengusaha keturunan, khususnya Cina dan
Indo Eropa, batik yang dipengaruhi kuat oleh Belanda, batik yang mencerminkan
kekuasaan kolonial, batik hasil modifikasi pengusaha Cina yang ditujukan untuk
kebutuhan kalangan Cina, kain panjang, batik hasil pengembangan dari model
batik merah biru, kain adat.
19
Ragam hias batik pesisir utara Jawa, pada kenyataannya, lebih merupakan
gabungan ragam hias daripada satu jenis ragam hias. Kelompok ragam hias yang
cukup dominan adalah ragam hias flora menyusul geometris, dan fauna
(Hasanudin, 2001:148).
3. Cara Pembuatan Raport
Pembagian motif-motif menurut rapor-rapor tertentu sebagai gambar dasar
dari suatu motif akan mempunyai beberapa keuntungan antara lain; jika seseorang
menghendaki suatu motif dan disuruh membuat oleh tukang perencana gambar
(desainer) maka contoh gambar tidak perlu seluruhnya, tetapi cukup sebagiam
sebagai rapor gambar. Jika motif batik diajarkan pada suatu lembaga pendidikan
sebagai suatu mata pelajaran maka cara memberikan contoh-contoh motif kepada
para pengikut seluruh motif digambar lengkap (akan menghabiskan waktu dan
tenaga) tetapi cukup diberikan contoh gambar sebagian saja, bila sautu contoh
gambar perlu dikirim ketempat yang jauh, maka cukup mengirimkan rapor
gambar pada tiap-tiap motif sehingga akan menjadi lebh praktis (Susanto,
1980:216)
Cara menggambarkan motif batik menurut pembagian raport motif
4.1 Pola Tubruk
Bila gambar rapor ABCD, disusun kekanan dan kekiri menurut arah
horisontal dan kedepan dan kebelakang menurut arah horisontal dan kedepan dan
kebelakang menurut arah vertikal akan terbentuk suatu motif dari dasar rapor
ABCD.
20
ABCD = ± 1langkah semua arah. Artinya rapor ABCD harus
disusun kearah horisontal dan vertikal dan bergeser satu langkah. Sistim susunan
disebut “Tubruk”
4.2 Pola Tubruk Miring
Bila Rapor segi empat WXYZ disusun ke arah garis miring kekanan dan
kekiri maka akan tersusun suatu suatu motif dengan dasar rapor WXYZ.
D
B A
C
Gambar 1. Pola Tubruk
Sumber : Sewan Susanto, 1980:216
Gambar 2. Pola Tubruk Miring
Sumber : Sewan susanto, 1980:216
21
WXYZ = ± 1langkah. Sistim susunan disebut “Tubruk” miring.
Artinya rapor WXYZ harus disusun kearah garis miring yang miring kearah
kanan maupun kearah kiri bergeser satu langkah.
4.3 Pola Parang
Bila rapor motif belah ketupat OPQR disusun kearah garis miring maka
akan terbentuk motif OPQR tersebut.
OPQR = ± 1langkah
Artinya untuk memperoleh motif, rapor OPQR harus disusun kearah garis miring
yang miring kekanan saja atau kekiri saja dan bergeser satu langkah. Sistim
susunsn disebut “Parang” atau sisi miring.
3.4 Pola Pembagian Sarung dan pembagian kepala kain
Kepala kain adalah bagian dari sehelai kain batik yang berwajah lain, baik
dalam corak maupun warna. Kepala kain terdapat hanya pada kain sarun dan
sering pula pada kain sarung dan sering pula pada kain panjang pesisir. Kain
Gambar 3. Pola Parang
Sumber : Sewan Susanto, 1980:216
22
panjang Solo-Yogya atau “Vorstenlanden tidak mempunyai kepala kain. Panjang
sehelai kain sarung ±2m yang dapat dibagi atas badan, kepala kain dan sisi yang
terdiri dari hiasan pinggir. Kepala kain terdiri dari hiasan pinggir, papan dan
tumpal, yang merupakan bagian penting dari sehelai kain sarung. Ini dapat dilihat
dari segi pengerjaannya dan coraknya yang kaya, rumit dan semarak. Lebar kepala
kain sarung ±0,7m (±1/3 dari panjang kain tersebut) dan berada ditengah-tengah
atau salah satu ujung umumnya disebelah kain dalam pemakaiannya (Nian,
1990:30).
4. Estetika
Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang
filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada
alam dan seni (Kartika, 2004:5).
Gambar 4. Pola Pembagian Sarung dan Kepala kain
Sumber : Nian Djemuna, 1990:30
23
Estetika dari kata Yunani aesthesis atau pengamatan adalah cabang filsafat
yang berbicara tentang keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari
keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani dan
keindahan rohani, keindahan alam dan keindahan seni), diselidiki emosi manusia
sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan, dan
sebagainya.
Estetika dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif.
Estetika deskriptif menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan,
sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman. Misalnya ditanyakan
apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam lukisan) atau
justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri) (Surajiyo, 2012:101).
Pengalaman estetika bukanlah sesuatu yang mudah muncul atau mudah
diperoleh, karena untuk semua itu memerlukan pemusatan atau perhatian yang
sungguh-sungguh. Pengalaman estetika dari seseorang adalah persoalan
psikologis yang kini banyak pula dibahas didalam estetika. Pada dasarnya
pengalaman estetik merupakan hasil suatu interaksi antara karya seni dan
penghayatnya. Interaksi tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang
mendukung dan dalam kondisi penangkapan nilai-nilai estetik yang terkandung
didalam karya seni yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional (Dharsono,
2012:83).
24
C. Teori dan Kerangka Pikir
1. Estetika
Teori Estetika yang digunakan sebagai landasan dalam pengkajian yang
membahas tentang kajian corak batik Tegal yang diungkapkan oleh Dharsono
Sony Kartika, Estetika merupakan bentuk apreasiasi dalam menghadapi dan
menghargai atau menafsirkan makna yang terkandung di dalam karya seni.
a. Unsur-unsur Rupa (unsur desain)
1) Unsur Garis
Unsur garis merupakan dua titik yang dihubungkan. Garis bukan hanya
sebagai garis tetapi juga sebagai simbol emosi yang diungkapkan lewat garis atau
lebih tepat disebut goresan. Goresan atau garis yang dibuat seorang seniman akan
memberikan pesan psikologis yang berbeda pada setiap garis yang dihadirkan.
Garis mempunyai peranan sebagai garis, yang kehadirannya untuk
memberi tanda dari bentuk logis, seperti yang terdapat pada ilmu-ilmu eksakta.
Garis berperan sebagai lambang, informasi yang sudah merupakan pola baku dari
kehidupan sehari-hari, seperti pola pada lambang yang terdapat pada logo, tanda
pada peraturan lalu lintas, dan lambang-lambang lainnya.
Garis memiliki peranan sifat formal dan non formal, misalnya garis
geometris yang bersifat formal, beraturan, dan resmi. Garis non geometris bersifat
tak resmi dan luwes, lemah gemulai, lembut, acak-acakan, yang semuanya
tergantung oleh sipembuat garis.
Dalam bidang seni dan desain, garis merupakan unsur yang memiliki
peranan paling besar dan terpenting, karena garis memiliki peran ganda, yaitu
25
sebagai goresan nyata yang dapat menghasilkan nilai tersendiri, dan sebagai garis
semu yang dapat membantu membentuk keindahan suatu karya seni. Semua jenis
garis tersebut memiliki karakter-karakter tertentu. Garis nyata maupun garis semu
mempunyai potensi sendiri-sendiri (Sanyoto, 2009:91).
Berdasarkan karakter, garis dibedakan menjadi 2 yaitu:
a) Garis horizontal
Garis horizontal atau garis mendatar air mengasosiasikan cakrawala laut
mendatar, pohon tumbang, orang tidur atau mati, dan benda-benda lain yang
panjang mendatar, mengesankan keadaan istirahat. Garis horizontal memberi
karakter tenang, damai, pasif, kaku. Garis ini melambangkan ketenangan,
kedamaian, dan kemantapan.
b) Garis vertikal
Garis vertikal atau garis tegak mengasosiasikan benda-benda yang berdiri
tegak lurus seperti batang pohon, orang berdiri, tugu, dan lain-lain. Garis vertikal
mengesankan tak bergerak sesuatu yang melesat menusuk langit, mengesankan
keadaan agung, jujur, tegas, cerah, cita-cita atau pengharapan. Garis vertikal
memberikan karakter seimbang (stabil), megah, kuat tetapi statis dan kaku. Garis
melambangkan kestabilan atau keseimbangan, kemegahan, kekuatan, kekokohan,
kejujuran, dan kemashuran.
c) Garis diagonal
Garis diagonal atau garis miring kekanan atau kekiri mengasosiasikan
orang lari, kuda meloncat, pohon doyong, dan lain-lain yang mengesankan objek
26
dalam keadaan tak seimbang dan menimbulkan gerakan akan jatuh. Garis
diagonal memberikan karakter gerakan (movement), gerak lari atau meluncur,
dinamis, tak seimbang, gerak gesit, lincah, kenes, dan menggetarkan. Garis
diagonal melambangkan kedinamisan, kegesitan kelincahan dan kekenesan.
d) Garis lengkung
Garis lengkung meliputi lengkung mengapung, lengkung kubah, lengkung
busur; memberi kualitas mengapung seperti pelampung, mengasosiasikan
gumpalan asap, buih sabun, balon, dan semacamnya; mengesankan gaya
mengapung (bouyancy), ringan dan dinamis. Garis ini memberi karakter ringan,
dinamis, kuat; dan melambangkan kemegahan, kekuatan, dan kedinamisan.
e) Garis lengkung S
Garis lengkung S atau garis lemah gemulai (grace) merupakan garis
lengkung majemuk atau lengkung ganda. Garis ini dibuat dengan gerakan
melengkung ke atas bersambung melengkung kebawah atau melengkung kekanan
bersambung melambung ke kiri, yang merupakan gerakan indah sehingga garis ini
sering disebut “line of beauty”. Garis ini merupakan garis terindah dari semua
garis; memberikan asosiasi gerakan ombak, pohon/padi tertiup angin, gerakan
lincah bocah/anak binatang, dan semacamnya. Garis lengkung S memberi indah,
dinamis, luwes, melambangkan keindahan, kedinamisan, dan keluwesan.
f) Garis zig-zag
Garis zig-zag merupakan garis lurus patah-patah bersudut runcing yang
dibuat dengan gerakan naik turun secara spontan merupakan gabungan dari garis-
27
garis vertikal dan diagonal memberi sugesti semangat dan gairah. Garis zig-zag
memberi karakter gairah (excited), semangat, bahaya, dan kengerian. Karena
dibuat dengan tikungan-tikungan tajam dan mendadak maka mengesankan
nervous, kalau irama musik seperti rock, metal, dan semacamnya. Garis ini
melambangkan gerak semangat, kegairahan, dan bahaya (Sanyoto, 2012:96).
2) Unsur Shape (Bangun)
Shape adalah suatu bidang kecil yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah
kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap
terang pada arsiran atau karena adanya teksture. Fungsi shape dalam karya seni
yaitu simbol perasaan seniman di dalam menggambarkan objek hasil subject
matter.
Shape mengalami perubahan dalam penampilannya (transformasi) yang
sesuai dengan gaya dan cara mengungkapkan secara pribadi seniman. Shape bisa
berupa wujud alam (figur) dan tidak menyerupai wujud alam (non figur).
Perubahan wujud atau bentuk antara lain: stilasi, distorsi, transformasi dan
deformasi.
Stilasi merupakan cara penggambaran untuk mencapai bentuk keindahan
dengan cara menggayakan objek dan atau benda yang digambar. Distorsi adalah
penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter. Transformasi
adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan
cara memindahkan (trans=pindah) wujud atau figur dari objek lain ke objek yang
digambar. Deformasi merupakan penggambaran bentuk yang menekankan pada
interpretasi karakter.
28
3) Unsur Texture (rasa permukaan bahan)
Texture (tekstur) adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan
bahan, yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk
rupa, sebagai usaha memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang pada
perwajahan bentuk pada karya seni rupa secara nyata atau semu.
4) Unsur Warna
Warna sebagai salah satu elemen atau medium seni rupa merupakan unsur
susun yang sangat penting, baik di bidang seni murni maupun seni terapan. Warna
mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia antara lain;
warna sebagai warna, warna sebagai sebagai representasi alam, warna sebagai
lambang/simbol dan warna sebagai simbol ekspresi.
Warna sebagai warna yaitu warna memberi tanda pada suatu benda atau
barang, membedakan ciri benda satu dengan lainnya, tanpa maksud tertentu dan
tidak memberikan potensi apapun. Warna sebagai representasi warna yaitu
penggambaran sifat objek secara nyata, atau penggambaran dari suatu objek alam
sesuai dengan apa yang dilihatnya. Warna sebagai tanda/lambang/simbol
merupakan lambang atau melambangkan sesuatu yang merupakan tradisi atau
pola umum (Kartika, 2004:108).
5) Intensity/Chroma
Intensity/Chroma diartikan sebagai gejala kekuatan/intensitas warna
(jernih atau suramnya warna). Warna yang mempunyai intensity penuh atau tinggi
adalah warna yang sangat menyolok dan menimbulkan efek yang brilian,
29
sedangkan warna yang intensity nya rendah adalah warna-warna yang lebih
berkesan lembut.
6) Ruang dan Waktu
Ruang dalam unsur rupa merupakan wujud tiga matra yang mempunyai:
panjang, lebar, dan tinggi (punya volume). Ruang dalam seni rupa dibagi atas dua
macam yaitu ruang nyata dan ruang semu. Ruang semu, artinya indera
penglihatan menangkap bentuk dan ruang sebagai gambaran sesungguhnya yang
tampak. Ruang nyata adalah bentuk dan ruang yang benar-benar dapat dibuktikan
dengan indera peraba.
b. Prinsip Desain
Penyusunan atau komposisi dari unsur-unsur estetik merupakan prinsip
unsur dalam desain. Hal-hal yang menjadi perhatian prinsip-prinsip komposisi
saat menyusun karya seni antara lain: harmoni, kontras, unity, balance, simplicity,
aksentuasi, dan proporsi.
1) Harmoni (Selaras)
Harmoni atau selaras merupakan paduan unsur-unsur yang berbeda dekat.
Yaitu unsur-unsur estetika dipadu secara berdampingan maka akan timbul
kombinasi tertentu dan timbul keserasian (harmoni). Dapat menimbulkan laras
dan desain yang halus umumnya berwatak laras, akan tetapi harmoni bukan
berarti syarat untuk semua komposisi/susunan yang baik, sering kali penggunaan
susunan harmonis banyak disukai pada masyarakat konservatif.
30
2) Kontras
Kontras merupakan paduan unsur-unsur yang berbeda tajam. Kontras
memiliki sifat merangsang minat, menghidupkan desain, kontras juga merupakan
unsur komposisi dalam pencapaian bentuk.
3) Irama (Repetisi)
Repetisi atau pengulangan merupakan unsur-unsur pendukung karya seni
yang memiliki selisih antara dua wujud terletak pada ruang dan waktu. Repetisi
memiliki sifat terukur dengan interval ruang adalah bagian penting di dalam
desain visual.
4) Gradasi (Harmonis menuju kontras)
Gradasi merupakan satu sistem paduan dari laras menuju ke kontras,
dengan meningkatkan masa dari unsur yang dihadirkan. Gradasi merupakan
penggambaran susunan monoton menuju dinamika yang menarik.
c. Azas Desain
1) Azas kesatuan (Unity)
Kesatuan adalah kohensi, konsistensi, atau keutuhan yang merupakan isi
pokok dari komposisi. Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam suatu
susunan atau komposisi diantara hubungan unsur pendukung karya, sehingga
secara keseluruhan menampilkan kesan tanggapan secara utuh.
31
Keutuhan yang dihasilkan oleh dominan dan dominan dapat dihasilkan
oleh ulang. Penekanan dominan adalah jenis yang paling sederhana dan paling
mudah menciptakan keutuhan estetik.
2) Keseimbangan (Balance)
Keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara
kekuatan yang saling berhadapan dari menimbulkan adanya kesan seimbang
secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Bobot visual ditentukan oleh
ukuran, wujud, warna, tekstur, dan kehadiran semua unsur dipertimbangakan dan
memperhatikan keseimbangan. Ada dua macam keseimbangan yang diperhatikan
dalam penyusunan bentuk yaitu keseimbangan formal dan keimbangan
nonformal.
3) Keseimbangan formal (Formal balance)
Keseimbangan formal adalah keseimbangan pada dua pihak berlawanan
dari satu poros. Bentuk keseimbngan formal yaitu bentuk simetris secara eksak
atau ulangan berbalik pada sebelah menyebelah. Keseimbangan formal bersifat
statis dan tenang, tetapi tidak menampakkan kesan membosankan.
4) Keseimbangan informal (Informal balance)
Keseimbangan informal adalah keseimbangan sebelah menyebelah dari
susunan yang menggunakan prinsip susunan ketidaksamaan atau kontras dan
asimetris. Keseimbangan informal lebih rumit akan tetapi lebih menarik perhatian
karena memiliki kesan dinamika yang memberi kemungkinan variasi yang lebih
banyak. Yaitu mempunyai keunikan yang didasarkan atas perhitungan kesan
32
bobot visual dari unsur-unsur yang dihadirkan ataupun ukuran bentuk yang
dominan, selain itu mempertimbangkan karakter pada masing-masing unsur.
5) Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan dalam desain, pada dasarnya adalah kesederhanaan selektif
dan kecermatan pengelompokkan unsur-unsur artistik dalam desain. Aspek
kesederhanaan yaitu kesederhanaan unsur arrtinya unsur-unsur dalam desain atau
komposisi hendaklah sederhana, sebab unsur yang terlalu rumit sering menjadi
bentuk yang mencolok dan penyendiri, asing atau terlepas sehingga sulit diikat
dalam kesatuan keseluruhan. Kesatuan struktur artinya suatu komposisi yang baik
dapat dicapai melalui penerapan struktur yang sederhana, dalam artinya sesuai
dengan pola, fungsi atau efek yang dikehendaki. Kesederhanaan teknik artinya
sesuatu komposisi jika mungkin dapat dicapai dengan teknik yang sederhana.
6) Aksentual (Emphasisi)
Desain yang baik mempunyai titik berat untuk menarik perhatian (Center
of interest). Ada berbagai cara untuk menarik perhatian pada titik berat tersebut,
yaitu melalui perulangan ukuran serta kontras antara tekstur, warna, garis, ruang,
bentuk atau motif. Aksentuasi melalui perulangan, misalnya kain bermotif (kain
bergambar) dengan berbagai warna, hijau, dan biru, didekatkan pada kain polos
berwarna hijau, maka warna hijau dalam kain bermotif akan nampak lebih
menonjol.
Aksentuasi melalui ukuran, suatu unsur bentuk yang lebih besar akan
tampak menarik perhatian karena besarnya. Aksentuasi melalui susunan: tata letak
dari unsur visual dengan benda-benda lain yang diatur sedemikian rupa sehingga
33
mengerahkan pandangan orang ke tempat atau objek yang menjadi pusat
perhatian.
7) Proporsi
Proporsi dan skala mengacu pada hubungan antara bagian dari suatu
desain dan hubungan antara bagian dengan keseluruhan. Proposi tergantung pada
tipe dan besarnya bidang, warna, garis, dan tekstur dalam beberapa area(Kartika,
2007:69-87).
34
2. Kerangka Pikir
Sejarah masuknya batik Tegal
pengaruh pedalaman (Sunan
Amangkurat I)
Batik Tegal
Letak geografis pesisir utara
Pulau Jawa
Azaz Desain
Kebutuhan pasar
Batik Tegal
Gaya Pedalaman
Budaya masyarakat
setempat
Batik Tegal
Gaya Pesisir Batik Tegal Gaya
Kontemporer
Estetika
Unsur Desain Prinsip Desain
Struktur
Bagan 1.
Kerangka Pikir
35
Uraian dari kerangka pikir menyangkut penelitian tentang batik Tegal
dilatarbelakangi oleh 4 faktor yaitu pertama budaya masyarakat. Budaya
merupakan sesuatu yang berkenaan dengan hasil karya. Kota Tegal memiliki
bermacam-macam kebudayaan salah satunya adalah batik yang merupakan
warisan budaya Indonesia. Budaya batik yang di wariskan orangtua pengrajin
batik Tegal perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Faktor kedua yaitu wilayah kota Tegal terletak di pesisir pantai Utara
pulau Jawa. Kota Tegal salah satu daerah yang merupakan tempat singgahnya
para pedagang dari luar negeri menawarkan barang dagangannya. Negara-negara
yang mempengaruhi corak batik Tegal yaitu negara Belanda, Cina, Jepang dan
India. Corak batik Tegal dipengaruhi oleh motif-motifnya seperti motif buketan
dari Belanda, motif naga dari Cina dan warna-warna cerah. Kegiatan perdagangan
juga berperan dalam perkembangan proses pembatikan di kota Tegal. Hal tersebut
memicu pengrajin batik di kota Tegal meningkatkan kreatifitas dan menciptakan
karya seni batik yang dapat di terima oleh masyarakat.
Faktor ketiga yaitu masuknya pembatik keraton yang dibawa Sunan
Amangkurat I yang singgah dan berdagang di pesisir Utara Pulau Jawa, dari sini
batik Tegal terpengaruh oleh batik keraton yang cenderung warna batik yaitu
sogan.
Faktor keempat yaitu adanya pengaruh dari kebutuhan pasar dengan motif
batik Tegal saat ini. Batik Tegal terus berkembang mengikuti zaman yang
dipengaruhi oleh permintaan pasar, yaitu konsumen batik baik dari kalangan
orangtua juga oleh kalangan muda.