BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf ·...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf ·...
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini berisikan kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian,
memaparkan teori-teori dan konsep yang berhubungan dengan tema yang dikaji
yaitu mengenai ” Umat muslim di Xinjiang dalam meghadapi kebijakan politik
pemerintah komunis Tiongkok 1950-2014 (kajian konflik etnis Uighur)”.
Landasan teori tersebut diambil dari berbagai literatur yang relevan, selain itu
diperkuat dengan penggunaan pendekatan interdisipliner. Jika dihubungkan
dengan penelitian ini, pendekatan yang dimaksud adalah penggunaan disiplin ilmu
sosial lain yang secara seimbang untuk membantu dalam menganalisis masalah
penelitian yang dikaji sehingga dapat dijadikan fondasi dan pegangan dalam
pelaksanaan penelitian.
Pembahasan bab ini terbagi kedalam beberapa sub bab. Sub bab ini
merupakan konsep-konsep yang diambil dari beberapa ilmu, seperti ilmu Politik
dan sosiologi. Konsep pertama, yaitu mengenai Konsep Etnis. Kemudian konsep
yang kedua adalah konsep Diskriminsi, ketiga Pembentukan identitas etnik
Uighur, dan konsep terakhir adalah Kajian tentang konflik. Selain penggunaan
teori-teori dan konsep, peneliti juga menggunakan penelitian- penelitian terdahulu
berupa skripsi, tesis dan artikel jurnal yang akan dibahas dalam bab ini.
2.1. Kajian Tentang Etnis.
Pembahasan mengenai konflik umat muslim di Xinjiang tidak terlepas dari
pembahasan mengenai konsep etnis. Konsep etnis ini digunakan untuk
menganalisis latar belakang permasalahan yang terjadi diantara pemerintah
Tiongkok dengan umat muslim Uighur yang merupakan etnis minoritas di negara
Tiongkok tersebut. Kata etnis sendiri berasal dari kata ethnos dalam bahasa
Yunani berarti “masyarakat” (Abdullah, 2005, hlm.193). Etnis adalah golongan
masyarakat yang di definisikan secara sosial berdasarkan berbagai macam
karakteristik kulturnya. Etnik atau suatu ras sendiri adalah sekelompok orang
yang memiliki sejumlah unsur biologis atau fisik khas yang disebabkan oleh
faktor hereditas atau keturunan (Oliver, 1964, hlm. 153). Sedangkan etnik
menurut Marger (1985)
13
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
“....... are groups within a larger society that display a unique set of cultures traits”
(hlm.7).
Jadi, dalam kajian etnik lebih menekankan kelompok sosial bagian dari ras
yang memiliki ciri-ciri budaya yang sifatnya unik. Etnisitas sendiri adalah
kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan sejarah, nenek moyang, asal usul
dan bahasa yang tercermin dalam simbol-simbol yang khas, seperti agama,
pakaian dan tradisi. Secara singkat, etnisitas didefinisikan sebagai kelompok
masyarakat yang secara budaya berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
Suatu bangsa dan negara bisa jadi memiliki beragam etnis yang masing-masing
memiliki ciri yang khas dan menonjol yang dengan mudah dapat dibedakan dari
kelompok etnis yang lain.
pengertian etnisitas atau kesukubangsaan menurut Tumanggor (2010,
hlm.110) selalu muncul dalam konteks interaksi sosial pada masyarakat majemuk.
Dalam proses sosial kelompok etnik akan memanfaatkan atribut-atribut sosial-
budaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan tertentu. Manifestasi etnisitas sering
menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di antara pihak-pihak yang terlibat
atau yang berkepentingan. Sedangkan menurut Hall, dalam (Barker, 2009, hlm.
258) mengemukakan bahwa istilah etnisitas mengakui peran sejarah, bahasa, dan
budaya dalam penciptaan subjektivitas dan identitas, juga mengakui kenyataan
bahwa semua wacana itu ditempatkan, diposisikan, disituasikan, dan bahwa
semua pengetahuan bersifat kontekstual.
Kelompok etnis sendiri di dalam masyarakat terbagi menjadi dua yaitu
kelompok Etnis Mayoritas dan Etnis Minoritas. Kelompok mayoritas atau
kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang merasa
memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol. Konsep mayoritas sering
dihubungkan dengan dominant culture. Menurut Liliweri (2005, hlm.102) definisi
mayoritas adalah himpunan bagian dari suatu himpunan yang jumlah elemen di
dalamnya mencapai lebih dari separuh himpunan tersebut. Mayoritas bisa
dibedakan dengan pluralitas, yang berarti himpunan bagian yang lebih besar dari
pada himpunan bagian lainnya. Lebih jelasnya, pluralitas tidak bisa dianggap
mayoritas jika jumlah elemennya lebih sedikit daripada separuh himpunan
14
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
tersebut. Sebagai contohnya Masyarakat China yang bisa kita lihat merupakan
masyarakat Plural didalamnya memiliki banyak etnis baik itu etnis mayoritas dan
minoritas Penulis melihat bahwa pada dasarnya di sini pemerintah China dengan
masyarakatnya yang Pluralnya berusaha untuk menerapkan kesatuan identitas
nasional bangsa China dan integrasi politik terhadap warganya dengan berusaha
menerapkan kebijakan asimilasi kultural (cultural assimilationist policy) terhadap
masyarakat China yang bervariasi etnik serta latar belakang keturunannya
sehingga identitas lokal tersebut dapat “ditenggelamkan” ke dalam identitas China
(Heberer, 1989, hlm.22). Terkadang penenggelaman identitas lokal tersebut dapat
berujung pada punahnya identitas lokal tersebut. Etnis mayoritas sendiri yang
paling besar jumlahnya adalah etnis Han atau Tionghoa. Dalam bahasa Inggris
atau Britania, mayoritas (majority) dan pluralitas (plurality) sering disamakan dan
kata mayoritas juga kadang dipakai untuk menyebut margin kemenangan, yaitu
jumlah suara yang memisahkan pemenang pertama dan pemenang kedua.
Kedua adapun kelompok Minoritas beberapa pengertian kelompok
minoritas menurut Liliweri (2005, hlm.107) yaitu :
a. Kelompok minoritas adalah kelompok yang susunan anggotanya selalu
memiliki karakteristik yang sama, sehingga tetap menampilkan perbedaan
dengan kelompok dominan.
b. Menurut Hebding, kelompok minoritas merupakan kelompok yang berbeda
secara kultural, fisik, kesadaran sosial, ekonomi, sehingga perlu di
diskriminasi oleh segmen masyarakat dominan atau kelompok masyarakat
sekeliling.
c. Kelompok minoritas menurut Louis Wirth (1945) diartikan sebagai kelompok
yang karena memiliki karakteristik fisik dan budaya yang sama, kemudian
ditujukan kepada orang lain dimana mereka hidup dan berada.
Sedangkan kelompok minoritas menurut Suparlan dalam Budiman (2009,
hlm.47). yaitu orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh asal-usul
keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan
diperlukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka
hidup. Kelompok minoritas ini mengalami eksploitasi dan diskriminasi karena
kelompok minoritas tidak mempunyai kebudayaan yang dominan sehingga
15
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
berkembang persaingan yang ketat antar etnik dan hubungan antar etnik pun
mengalami ketegangan.
Selain itu penulis melihat dari dari kaca mata sosiologi, yang dimaksudkan
dengan minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga
gambaran berikut: 1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari
tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; 2) anggotanya memiliki
solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka
memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; 3)
biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar (Fadhli,
2014,hlm.356).
Kemudia ada sebuah studi minoritas mengajarkan kepada kita bahwa
setiap negara memiliki kelompok kecil yang disebut minoritas. Ciri-ciri kelompok
minoritas yaitu: 1). Kebangsaan yang berbeda; 2).Bahasa yang berbeda; 3).
Agama yang berbeda; 4). Kebiasaan dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan
bahwa kelompok minoritas memiliki perbedaan baik dari segi budaya, fisik, kelas
sosial, ekonomi yang termarginalisasi oleh kelompok mayoritas. Uighur sendiri
merupakan etnis minoritas yang termarginalkan.
2.2. Kajian Tentang Diskriminasi.
Menurut Banton, diskriminasi di definisikan sebagai perlakuan yang
berbeda terhadap orang yang termasuk dalam kategori tertentu menciptakan apa
yang disebut dengan jarak sosial (social distance). Sedangkan Ransford
membedakan antara diskriminasi individu (individual discrimination) dan
diskriminasi institusi (Institutional Discrimination). Diskriminasi individu
merupakan tindakan seorang pelaku yang berprasangka (prejudice). Sedangkan
diskriminasi institusional merupakan tindakan diskriminasi yang tidak ada
kaitannya dengan prasangka individu, melainkan merupakan dampak kebijakan
atau praktik tertentu berbagai institusi dalam masyarakat (Sunarto, 2004, hlm.
146).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi adalah pembedaan
perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan,
suku, ekonomi, agama, dan sebagainya). Danandjaja (2003,hlm.5) menyatakan
16
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang
terhadap sekelompok orang yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok
pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa
kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi
dianggap ilegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan,
atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan
pada prinsip diskriminasi. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap
perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser,
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.
Kemudian penulis mengambil konsep Diskriminasi Rasial untuk melihat
suatu permasalahan dalam skripsi ini, Diskriminasi rasial sendiri adalah ketika
seseorang diperlakukan dengan kurang baik dari pada orang lain dalam situasi
yang sama karena ras, warna kulit, keturunan, status asal etnis atau asal imigran
mereka (Amalia, 2018, hlm.25). Hal yang juga merupakan diskriminasi rasial
adalah apabila ada peraturan atau kebijakan yang sama untuk semua orang namun
memiliki efek tidak adil pada orang-orang dengan ras, warna kulit, keturunan,
status etnis atau asal imigran tertentu atau etnis tertentu, ini disebut sebagai
'diskriminasi tidak langsung'(indirect discrimination).
Konsep diskriminasi rasial kebanyakan orang melibatkan kekerasan
eksplisit dan langsung yang diungkapkan oleh orang kulit putih terhadap anggota
kelompok rasial yang kurang beruntung. Namun, diskriminasi dapat mencakup
lebih dari sekedar perilaku langsung (seperti penolakan kesempatan kerja atau
sewa); Hal itu juga bisa halus dan tidak sadar (seperti permusuhan nonverbal
dalam postur atau nada suara).Selanjutnya, diskriminasi terhadap individu dapat
didasarkan pada asumsi keseluruhan tentang anggota kelompok rasial yang
kurang beruntung yang diasumsikan berlaku untuk orang tersebut (yaitu,
diskriminasi atau pembuatan profil statistik).Diskriminasi juga dapat terjadi
sebagai akibat dari prosedur kelembagaan dan bukan perilaku individu (Amalia,
2018, hlm.26).
Istilah diskriminasi rasial kadang disamakan dengan segregasi rasial atau
ketidakadilan, dan kemudian dipertentangkan dengan istilah keadilan rasial.
Dalam prinsip keadilan rasial, ketidakadilan adalah masalah pengucilan dari
17
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
institusi masyarakat yang dominan dan persamaan adalah persoalan non
diskriminasi serta kesempatan yang sama untuk berperan serta. Dari prinsip ini,
peraturan-perundangan yang memberikan intitusi terpisah bagi minoritas bangsa
tidak berbeda dari segregasi rasial, sehingga perluasan alaminya adalah
melepaskan status terpisah kebudayaan minoritas, dan mendorong partisipasi yang
sama dalam masyarakat yang dominan. Dalam hukum internasional, istilah dan
prinsip ini di Amerika Serikat pernah dimanfaatkan untuk melindungi hak-hak
orang Indian, penduduk asli Hawai, dan hak-hak minoritas bangsa (Augusta dan
Yunanto, 2010, hlm.18-19). Bentuk tindakan diskriminasi rasial ini berbeda-beda,
namun secara umum terdiri dari:
a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah
etnosentrisme, yaitu pandangan yang merasa bahwa kelompoknya sendiri
adalah pusat segalanya, sehingga semua kelompok yang lainnya selalu
dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompoknya. Maka dengan
demikian etnosentrisme selalu menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai
kebudayaan yang paling baik. Orang yang berprinsip etnosentris cenderung
kurang bergaul karena hanya bergaul dengan kalangannya saja, tidak mau
membuka wawasan, dan fanatik, pemeluk agama yang fanatik (Priandono,
2014, hlm.200).
b. Diskriminasi Xenophobia Kata xenophobia berasal dari kata Yunani, xenos
dan phobos. Xenos artinya orang asing, dan phobos artinya ketakutan (Arge,
2008, hlm.373). Jadi xenophobia adalah ketakutan yang berlebihan terhadap
orang asing, atau segala sesuatu yang berbau asing.
c. Diskriminasi Miscegenation Miscegenation adalah sikap diskriminasi yang
menolak terjadinya hubungan antar ras, termasuk dalam hal kawin campur
antar ras yang berbeda. Sikap ini sangat menjaga kemurnian rasnya dan
berusaha sekuat mungkin agar tidak “terkotori” oleh kawin campur antar ras.
Sejarah mencatat Hitler dengan nazinya adalah kelompok yang sangat
mendukung sikap miscegenation ini. Ia berpandangan bahwa ras arya adalah
ras yang paling unggul di dunia, oleh karena itu harus dijaga kemurnian
rasnya (Downing, 2005, hlm. 9).
18
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
d. Diskriminasi Stereotipe Stereotipe termasuk bentuk dari sikap diskriminasi
ras, sebab menilai seseorang hanya berdasarkan persepsi kepada kelompok
dimana orang tersebut berasal. Stereotipe bisa juga diartikan sebagai sikap
mengeneralisir terhadap suatu kelompok tertentu. Jadi tak penting apa dan
bagaimana sesungguhnya seseorang di mata pengikut sikap diskriminasi ras
ini. Apapun dan bagaimana pun yang dilakukan orang lain, maka tak
mempengaruhi penilaian terhadap orang tersebut, sebab mereka telah
memiliki penilaian tersendiri yang bersifat general (Sochmawardiah, 2013.
hlm.75).
2.3. Pembentukan Identitas Etnik Uighur.
Sebelum menjelaskan secara lebih mendetail mengenai aspek-aspek apa
sajakah yang membentuk identitas etnik Uighur itu sendiri, pertama-tama peneliti
terlebih dahulu menjelaskan apa saja perbedaan-perbedaan perspektif dari pada
akademisi mengenai pembentukan identitas itu sendiri. Berdasarkan tulisan
Abanti Bhattacharya, dijelaskan bahwa ada dua pendekatan yang secara umum
digunakan untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu pendekatan primordialis dan
pendekatan konstruktivis (Bhattacharya, 2003, hlm. 358-361).
Pendekatan primoridialis melihat identitas etnik sebagai sesuatu fenomena
yang given atau natural. Perspektif ini melihat bahwa kelompok etnik membentuk
jaringan kinship yang dilahirkan bersama dengan individu-individu tersebut
sehingga individu-individu tadi menjadi bagian darinya. Hal inilah yang membuat
individu-individu tersebut mendapatkan teritorinya dan memiliki atribut-atribut
seperti bahasa, ras, agama, adat, tradisi, makanan, cara berpakaian, dan musik.
Selain penanda-penanda kultural obyektif tersebut, terdapat pula penanda-penanda
subyektif yang termasuk pula aspek-aspek psikologis identitas seperti self dan
group-related feeling. Ini membuktikan bagaimana keterikatan darah memiliki
kekuatan bagi keterikatan etnik primordial serta emosi di dalamnya (Bhattacharya,
2003, hlm. 358).
Pendekatan berikutnya yang sering dipakai ialah pendekatan kontruktivis
di mana dijelaskan bahwa identitas etnik merupakan sebuah konstruksi sosial dan
sebuah produk dari proses yang menyatu dalam tindakan-tindakan maupun
19
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
pilihan-pilihan manusia. Pendekatan konstruktivis percaya bahwa yang paling
penting adalah orang-orang mendefinisikan dirinya secara berbeda baik dari segi
kultural maupun fisik dengan orang-orang lainnya. Ketimbang melihat dari
keturunan yang sama, kontruktivis percaya bahwa tindakan-tindakan politis yang
sesuai dapat memobilisasi faktor-faktor etnik ke dalam sebuah formasi kelompok.
Meskipun begitu, harus ditekankan bahwa kedua pendekatan tersebut
tidaklah sempurna. Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan serta
kekurangannya masing-masing. Namun ketika kita mencoba memakai pendekatan
yang seimbang, sebuah kelompok etnik membentuk penanda-penanda kultural
baik subyektif maupun obyektif atau diturunkan dan identitas-identitas etnik
tersebut mengkristalisasi ke dalam sebuah formasi kelompok etnik ketika
berseberangan dengan identitas-identitas lainnya. Ini berarti bahwa kelompok
etnik hanya dapat dikembangkan ketika ada kontak dengan lainnya (Bhattacharya,
2003, hlm. 359).
Kemudian etnis itu sendiri bukan merupakan sesuatu fenomena yang
statis. Batas-batas dari sebuah kelompok etnik terbentuk dan dinegosiasikan
melalui keterkaitannya dengan perubahan- perubahan konteks sosial, politik, dan
ekonomi (Smith, 2002, hlm.155). Pemahaman mengenai etnikitas inilah yang
akan benar-benar berguna ketika kita berusaha untuk memahami kasus identitas
Uighur di Xinjiang. Berdasarkan perspektif baik dari konstruktivis maupun
primordialis, disini Battacharnya pun berpendapat bahwa identitas Uighur pun
secara umum dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu: 1) identitas agama, 2)
identitas politik- historis, dan 3) identitas regional. Sebelumnya, perlu ditekankan
baik-baik bahwa pada dasarnya ketiga identitas yang akan peneliti tulis dibawah
ini sama seperti pendapat Battacharnya dimana untuk memperjelas mengenai
posisi etnis Uighur di dalam struktur kebangsaan etnis China dapat dilihat dari
beberapa aspek yakni, identitas politik- Historis, Identitas agama, dan identitas
regional. Kemudian dalam menjelaskan aspek-aspek tersebut dalam
pembahasannya tidak berdiri sendiri secara independent melainkan beririsan atau
berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu akan terdapat banyak irisan ketika
peneliti membicarakan satu aspek identitas etnik Uighur dengan aspek identitas
lainnya.
20
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
2.3.1 Identitas Politik-Historis.
Identitas pertama yang akan peneliti jelaskan adalah identitas politik-
historis dari etnik Uighur. Peneliti melihat bahwa identitas ini merupakan identitas
yang paling penting. Peneliti melihat bahwa identitas inilah yang kemudian akan
membentuk identitas geografis serta identitas agama etnik Uighur tersebut
sehingga ketiganya saling berkaitan satu dengan yang lain. Peneliti merasa bahwa
kata “politik-historis” memang perlu peneliti cantumkan karena pada dasarnya
faktor historis inilah yang melatarbelakangi identitas politik masyarakat Uighur.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sejarah Uighur membentuk identitas
politiknya. Untuk menjelaskan secara lebih mendalam, peneliti akan terlebih
dahulu mengutip tulisan Owen Lattimore (1988) di bawah ini
“The record of the Chinese in Central Asia is by no means continuous; in fact,
their effective control has been estimated at only about 425 out of about 2000
years, divided into a number of periods, of which the present Chinese rule in the
province of Sinkiang is the fifth major period”. (hlm.359).
Kutipan kalimat di atas setidaknya memberikan gambaran mengenai
perbandingan pendudukan wilayah Asia Tengah oleh China. Dari kutipan tersebut
dapat kita lihat bahwa China sendiri pun “hanya” menguasai wilayah tersebut
selama kurang-lebih 425 tahun apabila kita mencoba untuk mengambil rentang
waktu 2.000 tahun terakhir. Berdasarkan literatur yang peneliti temukan, tidak
dapat disangkal bahwa wilayah yang saat ini menjadi Xinjiang merupakan
kampung halaman bagi berbagai cabang orang-orang keturunan Bangsa Turkic
seperti contohnya saja Uighur, Kazak, Kyrgyz, Tatar, dan Uzbek (Edikresnha,
2012, hlm.38). Di antara etnik-etnik tersebut, Uighur membentuk kelompok yang
paling besar di Xinjiang. Uighur yang bertempat tinggal di sekitar wilayah Jalan
Suter tersebut memainkan peran yang sangat penting dalam pertukaran budaya
antara Barat dan Timur serta pengembangan budaya dan peradaban mereka
sendiri yang unik.
Peneliti juga mencatat bahwa pada tahun 744 Masehi Uighur berhasil
mendirikan kerajaannya sendiri yang saat ini berada di daerah Mongolia.
Sayangnya kerajaan ini mengalami perpecahan akibat invasi Kyrgiz dan kemudian
21
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
pecah menjadi dua bagian, yaitu Kerajaan Kanchow di bagian timur dan
Kerajaan Karakhoja di bagian Barat. Kedua bagian ini kemudian dapat bertahan
selama kurang lebih empat abad lamanya atau sekitar tahun 850 hingga 1250
masehi (Gladney,1996, hlm. 359).
Kerajaan tersebut kemudian jatuh ke tangan Mongol yang berhasil
menduduki wilayah Asia Tengah pada tahun 1220 Masehi. Wilayah Asia Tengah
pun dibagi ke dalam dua khanate, yaitu Transoxiana atau Turkistan Barat
(Western Turkistan) di bagian barat yang saat ini kurang lebih berlokasi di sekitar
Kyrgiztan dan Tajikistan serta Turkistan Timur di bagian timur yang kurang lebih
saat ini berlokasi di sekitar Xinjiang. Pendudukan Mongol pun akhirnya
mengalami keruntuhan dan Uighur pun pecah ke dalam beberapa wilayah kecil.
Meskipun begitu ternyata Turkistan Timur masih dapat bertahan hingga tahun
1876 ketika akhirnya Manchu berhasil menginvasi Turkistan Timur. Manchu pun
menganeksasi Turkistan Tirmur ke dalam teritorinya dan menyebutnya “Xinjiang”
yang berarti New Territor atau New Frontier pada tanggal 18 November 1884
(Gladney,1996, hlm. 360).
Secara historis, penulis juga mencatat bahwa identitas masyarakat Uighur
juga tidak dapat dilepaskan dari ide pan-Turkisme dan pan-Islamisme. Untuk
lebih memudahkan pemahaman, penulis akan menceritakan selengkapnya pada
periodisasi menjelang abad ke-19 dan pada awal abad ke-20. Pada paruh kedua
abad ke-19, terjadi pergolakan di wilayah Xinjiang dan pergolakan ini pun
berujung pada didirikannya negara teokratis Islam yang bernama Yettishar (yang
dapat diartikan sebagai negara dengan tujuh kota) dengan ibukotanya di Kashgar.
Yettishar pun diterima dengan baik oleh sultan kerajaan Turki Usmani yaitu
Sultan Abdulaziz. Abdulaziz pun kemudian mengakui Yaqub Beg (penguasa
Yettishar saat itu) sebagai pemimpin resmi Yettishar dan membantunya dengan
mengirimkan pejabat-pejabat Abdulaziz untuk membantu mendirikan pasukan-
pasukan militer di wilayah Yettishar. Simbol-simbol dari Yettishar sendiri pun
sangat mirip dengan Kerajaan Usmani dan ini bisa dilihat dari bagaimana
Yettishar mengopi bendera Turki Usmani. Kemudian Yaqub Beg pun meresmikan
status politik Yettishar sebagai protektorat Turki. Meskipun begitu pada akhirnya
22
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
China berhasil menaklukkan wilayah tersebut pada tahun 1878 (Edikresnha, 2012,
hlm. 40).
Meskipun begitu penulis mencatat bahwa penaklukkan dari Yettishar ini
tidak menghentikan penetrasi ide-ide Pan-Turkic dari China. Ide pan-Turkisme
ini kemudian memasuki fase baru di era 1930-an di mana berhasil
diproklamasikannya Turkish Islamic Republic of East Turkestan (TIRET) pada
tanggal 2 November 1933 dengan Kashgar sebagai ibu kotanya. Penulis juga
mencatat bahwa Turki ternyata memiliki peran yang amat penting dibalik
eksistensi TIRET pada masanya. Ini bisa terlihat misalnya saja dari pengiriman
representasi entitas tersebut ke Turki pada awal tahun 1933 oleh para pemimpin
TIRET seperti Sabit Damulla dan Muhammad Bughra (Edikresnha, 2012,
hlm.40). Sebaliknya, Turki pun mengirimkan berbagai kelompok orang yang ahli
dalam hal politik, militer, dan para ahli lainnya ke Kashgar. Penulis mencatat
bahwa representasi yang dikirim Turki tersebut ternyata memberikan dampak
yang begitu besar baik secara organisasional hingga penamaan dari TIRET itu
sendiri. Para pemimpin TIRET pun percaya bahwa pemerintah Turki yang saat itu
dipimpin oleh kabinet Mustafa Kemal Attaturk akan melindungi TIRET dari
segala ancaman eksternal yang mungkin akan dihadapi (David, 2005, hlm.15).
Sayangnya, ideology pan-Turkisme (dan juga pan-Islamisme) yang
dimanifestasikan melalui TIRET pun tidak bertahan lama karena direspon sangat
negatif oleh pemerintah Uni Soviet dan China. TIRET pun berhasil dibubarkan
setelah melalui intervensi pemerintah Uni Soviet.
Usaha terakhir yang sempat dilakukan terkait identitas historis
independensi entitas Uighur di Xinjiang ialah melalui pendirian Republik
Turkestan Timur (East Turkestan Republic) pada akhir Perang Dunia II atau lebih
tepatnya sekitar tahun 1944 – 1949. Republik Turkestan Timur ini sendiri
sebenarnya dahulu merupakan negara dependen Uni Soviet yang saat ini berada di
wilayah Xinjiang. Namun begitu setelah perang saudara berhasil diselesaikan dan
pemerintah komunis berhasil menguasai dataran China, pemerintah Uni Soviet
pun mendukung pemerintahan komunis tersebut dan memastikan bahwa Republik
Turkestan Timur berada di bawah kedaulatan China.
23
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
2.3.2 Identitas Agama.
Tidak dapat disangkal bahwa identitas agama ini bisa jadi merupakan
identitas yang melekat pada etnik Uighur yang membedakan dengan etnik-etnik
lainnya di China. Identitas Islam etnik Uighur dapat ditelusuri ketika masuknya
islam ke wilayah Asia Tengah pada abad ke-8 Masehi oleh bangsa Arab. Isalam
menyediakan kesadaran pemersatu dan muslim Xinjiang mengidentifikasikan diri
mereka sebagai dari Ummah (komunitas dunia masyarakat yang beragama islam)
melalui ibadah-ibadah seperti shalat, membaca Al-quran, memperingati hari-hari
besar keagamaan, memakan makanan yang dianggap halal yang diperbolehkan
dalam islam, serta memakai simbol-simbol ke-islam-an lainnya. Identitas islam
inilah yang kemudian dapat menghubungkan Uighur dengan dunia luar, dalam
artian identitas Islam yang dimiliki Uighur mengoneksi Uighur dengan
masyarakat Islam lainnya di luar Xinjiang sekaligus memberikan batasan identitas
agama Uighur dengan pemeluk agama lainnya (Bhattacharya, 1995, hlm. 361).
Keterkaitan antara etnik Uighur dengan identitas Islam ini pun tidak dapat
terpisahkan sehingga muncullah istilah etnoreligi. Masyarakat Uighur
menganggap bahwa Islam merupakan bagian dari diri mereka untuk melestarikan
tradisi dan budaya mereka.
Lebih spesifik lagi, peneliti juga menemukan literatur yang mengatakan
bahwa agama dari masyarakat Uighur tersebut adalah Muslim Sunni yang
mempraktikkan mazhab Hanafi. Di Xinjiang dan beberapa kawasan di wilayah
Asia Tengah sendiri sebenarnya juga sempat berkembang aliran Sufisme yang
ternyata kurang harmonis. Peneliti mencatat terdapat ketegangan di antara sekte-
sekte Sufi tersebut di Xinjiang dalam kurun waktu abad ke-17 hingga abad ke- 20.
Secara umum kehidupan beragama Islam di oasis-oasis selatan Xinjiang,
terutama Kashgar terlihat cenderung lebih konservatif ketimbang di wilayah
Utara. Praktik-praktik Islam terutama bangkit kembali belum lama dan mengingat
bagaimana sulit dipisahkannya agama dari seluruh aspek kehidupan umat Islam,
termasuk pula politik dan pemerintahan, ini menyebabkan identitas agama Islam
menjadi identitas yang dominan dalam konfrontasi etnik Uighur dengan
pemerintah China. Dengan menggunakan Islam, masyarakat Uighur menolak
24
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
konsep ateisme PKC dan juga tujuan PKC untuk memodernisasi dan
meliberalisasi sosial. Meskipun begitu harus dicampak pula bahwa perasaan
antimodernis tersebut tidaklah dipegang secara menyeluruh di Xinjiang,
mengingat beberapa kelompok dari etnik Uighur sendiri diuntungkan dengan
perkembangan dan pembangunan ekonomi yang diadakan oleh pemerintah China
di wilayah tersebut.
2.3.3. Identitas Regional.
Identitas ketiga yang akan penulis bahas di sini berkaitan dengan lokasi di
mana masyarakat Uighur itu sendiri tinggal, yaitu identitas geografis. Secara
topografi, Xinjiang dikelilingi oleh pegunungan dan terdiri dari kawah sungai,
padang pasir, oasis, dan sungai-sungai. Jarak antara Xinjiang dengan pusat
pemerintahan (Beijing) pun sangat jauh yaitu kurang-lebih berjarak 4.000
kilometer. Kombinasi dari karakteristik geografis Uighur serta jarak antara tempat
Uighur tinggal dengan pemerintahan ini pun memicu terbentuknya keterikatan
Uighur dengan lokasi di mana mereka tinggal. Separatisme yang terjadipun
disebutkan oleh Owen Lattimore (1988, hlm. 360) sebagai fenomena “Stubborn
Separatism”.
Apabila ditelusuri secara historis, penulis menemukan bahwa masyarakat
Uighur yang kini tinggal di Xinjiang merupakan masyarakat yang sangat
bergantung pada oasis. Mereka tinggal di oasis-oasis yang terpencar dan
bergantung pada oasis tersebut untuk kehidupan agraris mereka. Oasis ini rupanya
lebih dari sekedar oasis belaka namun juga menjadi pengidentifikasian diri
masyarakat Uighur. Berdasarkan literatur yang penulis temukan, masyarakat
Uighur mengidentifikasikan diri melalui oasis tempat di mana mereka berasal
misalnya saja Kashgar, Yarkand, Khargalik, Turpan, dan sebagainya (Giglio, TT,
hlm.9). Pengidentifikasikan ini masih terjadi pada akhir abad ke-19 yang
dilakukan oleh Grenard dan kemudian diteliti kembali pada tahun 1980-an oleh
Justin Rudelson. Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan bahwa parokialisme
ditambah dengan isolasi oasis dan pengaruh-pengaruh kultural sejarah Turkistan
Timur masih melekat kuat pada tahun 1980-an tersebut ketika studi dilakukan
(Rudelson, 1997, hlm.68).
25
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
Meskipun begitu tidak semua sepakat dengan penelitian tersebut.
Penelitian lain ternyata menyebutkan bahwa pengidentifikasian masyarakat
Uighur terhadap oasis di mana mereka berasal dan juga parokialisme mulai
memudar pada tahun 1990-an dan ini terutama dikarenakan perkembangan
pendidikan di Xinjiang tersebut. Selain itu penulis juga menemukan bahwa
disebutkan dalam penelitian Joanne Smith di mana fragmentasi identitas Uighur
terkait identitas Oasis mulai memudar dan mulai kurang dianggap penting lagi
mengingat keterikatan antara identitas Uighur pada era tersebut (1990-an) lebih
disebabkan karena oposisi identitas Uighur dengan identitas Han. Pada era 1990-
an ini, rasa keterikatan identitas lebih berskala besar dalam artian mencakup etnik
Uighur terlepas dari asal oasis mereka. Ini terutama terlihat jelas pada generasi
muda Uighur apabila dibandingkan dengan generasi yang lebih tua (Smith, 2006,
hlm. 153-174).
2.4 Kajian Tentang Konflik.
2.4.1 Definisi Konflik.
Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan
manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mencapai keinginan atau tujuan. Menurut beberapa ahli konflik
diartikan sebagai satu bentuk upaya untuk menampakkan, untuk mengidentifikasi,
dan menjelaskan bahwa diantara setidaknya dua belah pihak memiliki perbedaan
atau pertentangan. Perbedaan atau pertentangan dapat berwujud dalam bentuk
perbedaan tujuan, kepentingan, nilai-nilai, budaya, suku, kelompok, ras dan
agama. Fisher merupakan salah satu ahli yang telah membantu memberikan
definisi tersebut. Fisher (2001, hlm. 6) mengungkapkan bahwa konflik dapat
diartikan sebagai situasi sosial dimana terdapat dua atau lebih kelompok yang
memiliki perbedaan tujuan ataupun perbedaan nilai-nilai.
Kemudian konflik menurut Ramlan Surbakti (1992, hm.149) menyebutkan
konflik yaitu “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan
pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, indivudu dan
kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Definisi
konflik (dari kata confligere, conflicium=saling berbenturan) ialah semua bentuk
26
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
benturan, tabrakan, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan
interaksi–interaksi yang antagonistis–bertentangan (Kartini Kartono, 1983,
hlm.245). Konflik juga dapat diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang
antagonistik atau bertentangan, benturan antara macam–macam paham,
perselisihan, kurang mufakat, pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata
dan perang. Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik
selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik dan pendorong
dalam dinamika dan perubahan Sosial politik (Kornblurn, 2003, hlm.294).
Dari beberapa pengertian tersebut, dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa konflik ialah situasi dimana terdapat setidaknya dua belah pihak yang
memiliki perbedaan atau pertentangan baik secara laten maupun manifes.
Kemudian dapat peneliti simpulkan bahwa Konflik dari semenjak dulu telah ada
dalam masyarakat. Konflik dapat diklasifakasikan dalam berbagai tingkatan dan
skala yang berbeda. Jadi menurut peneliti konflik adalah pertikaian sebagai gejala
ketidaksesuaian yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan sosial masyarakat
dilihatnya sebagai gejala yang mencakup berbagai proses yang tidak mungkin
terpisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.
2.4.2 Cara-Cara Penanganan konflik.
Terdapat beberapa cara untuk menyelesaikan konflik menurut Soerjono
Soekanto (1990, hlm. 77-78), yaitu:
1. Coercion (Paksaan) Penyelesaiannya dengan cara memaksa dan menekan
pihak lain agar menyerah. Coercion merupakan suatu cara dimana salah satu
pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak
lawan. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak harus mengalah
dan menyerah secara terpaksa.
2. Compromise Suatu cara dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi
tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.
3. Arbitration Merupakan suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan diantara
kedua belah pihak. Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan
berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat.
27
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
4. Mediation (Penengahan) Menggunakan mediator yang diundang untuk
menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta,
menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah
serta melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu.
5. Conciliation Merupakan suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-
keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan
bersama.
Konsep sentral dari teori konflik adalah wewenang dan posisi yang keduanya
merupakan fakta sosial. Distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata
menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematik, karena dalam
masyarakat selalu terdapat golongan yang saling bertentangan yaitu penguasa dan
yang dikuasai (Soetomo, 1995, hlm. 33). Teori konflik melihat apapun keteraturan
yang terdapat dalam masyarakat merupakan pemaksaan terhadap anggotanya oleh
mereka yang berada di atas dan menekankan peran kekuasaan dalam
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (Ritzer dan J.Goodman, 2003,
hlm.153).
Adapun menurut Rahmadi (2011, hlm.12-20) menuliskan beberapa macam
penyelesaian konflik antara lain :
1. Negosiasi Negosiasi adalah penyelesaian konflik melaluli perundingan
langsung antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik tanpa
bantuan pihak lain. Tujannya adalah menghasilkan keputusan yang diterima
dan dipatuhi secara sukarela.
2. Mediasi Mediasi adalah suatu penyelesaian sengketa atau konflik antara dua
pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan meminta
bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Mediator
hanya berfungsi memfasilitasi perundingan dan membantu merumuskan
persoalan.
3. Arbitrasi Arbitrasi adalah cara penyelesaian konflik oleh para pihak yang
terlibat dalam konflik dengan meminta bantuan kepada pihak netral yang
memiliki kewenangan memutuskan. Hasil keputusan dalam arbitrasi dapat
bersifat mengikat maupun tidak mengikat. Dalam arbitrasi, pemilihan
arbitrator adalah berdasarkan pilihan oleh pihak yang berkonflik.
28
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
4. Ligitasi Litigasi diartikan sebagai proses penyelesaian konflik melalui
pengadilan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan mengadukan gugatan ke
pengadilan terhadap pihak lain yang menyebabkan timbulnya kerugian.
Keputusan dalam ligitasi adalah bersifat mengikat. Sedangkan pihak
berkonflik tidak memiliki wewenang memilih hakim yang akan memimpin
sidang dan memutuskan perkara.
2.4.3. Dampak Adanya Konflik.
Konflik sejatinya menghasilkan dua dampak yaitu dampak positif dan
negatif. Konflik akan menghasilkan dampak negatif jika konflik itu dibiarkan,
tidak dikelola serta telah mengarah pada tindakan destruktif. Sebaliknya, konflik
akan berdampak positif jika konflik itu dapat dikelola sehingga konflik kemudian
bersifat konstruktif. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Coser dalam Susan
(2009, hlm.53-57) yang mengatakan bahwa konflik tidaklah hanya menghasilkan
dampak yang negatif tetapi konflik juga memiliki dampak positif. Hanya saja,
menurut Coser fungsi positif akan diperoleh ketika konflik memang dikelola dan
diekspresikan sewajarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dampak
dari konflik sangat bergantung apakah konflik itu bersifat destruktif ataukah
bersifat konstruktif.
Carpenter dan Kennedy dalam Susan (2009, hlm.7) mengatakan konflik
yang destruktif senantiasa muncul dalam bentuk kehancuran disemua sisi, seperti
kehancuran tata sosial dan fisik. Konflik destruktif menyertakan cara-cara
kekerasan didalamnya. Dampak dari konflik destruktif menurut penulis
diantaranya : (1) korban luka, (2) korban jiwa, (3) kerusakan sarana dan prasarana
sosial, (4) kerugian materil, (5) keretakan dan kehancuran hubungan sosial.
Carpenter dan Kennedy (Susan, 2009:7) melanjutkan bahwa konflik konstruktif
akan muncul dalam bentuk peningkatan kerjasama atau kesepakatan yang
menguntungkan seluruh pihak berkonflik. Adapun dampak positif dari konflik
sosial menurut Coser diantaranya yaitu mampu menciptakan dan memperkuat
identitas dan kohesi kelompok sosial , meningkatkan partisipasi setiap anggota
terhadap pengorganisasian kelompok serta dapat menjadi alat bagi suatu
kelompok untuk mempertahankan eksistensinya (Susan, 2009, hlm. 55-56)
29
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
2.5 Penelitian Terdahulu.
Penelitian dan penelitian sejarah mengenai Islam di Tiongkok telah
banyak ditulis oleh para sarjana dan sejarawan Indonesia maupun luar negeri.
Akan tetapi, kebanyakan dari mereka menitikberatkan kajiannya pada sejarah
awal masuknya Islam di Tiongkok serta rintangan-rintangan yang dialami oleh
para pemeluk Islam Tiongkok oleh para penyerang Manchu yang tidak menyukai
keIslaman mereka karena dianggap mendukung pemerintahan terdahulu yang pro
Islam. Penelitian ini terdiri dari buku, jurnal, dan Skripsi.
2.5.1. Jurnal.
Pertama, adalah dari artikel yang diterbitkan oleh central asian affairs
Journal Vol 2 hlm. 221-245 ditulis oleh Remi Castets (2015) yang berjudul The
Modern Chinese State and Strategies of Control over Uighur Islam. Dalam artikel
ini dijelaskan mengenai strategi Pemerintah Tiongkok dalam mengkontrol umat
muslim Uighur, dalam artil ini dijelaskan bahwa pemerintah komunis Tiongkok
telah menerapkan berbagai kebijakan yang bertujuan menghilangkan interpretasi
atau instrumentasi Islam yang bertentangan dengan kebijakannya sendiri. Lebih
baru-baru ini, Tiongkok telah menerapkan seperangkat aturan baru melalui
"peradilan" kegiatan keagamaan. Aturan-aturan ini bertujuan memberantas semua
bentuk politisasi Islam di masjid Uighur dan sistem pengajaran Alquran, dan
sampai pada mendefinisikan batas "Islam modern dan patriotik." Fokus penelitian
Jurnal ini lebih terfokus pada Kontrol-kontrol yang dilakukan oleh pemerintah
Tiongkok sebagai proses modernisasi sebagai perwujudan dari negara sosialis
komunis Tiongkok yang baru, harus melegitimasi monopoli kekuasaannya dan
fondasi ideologis dari proyek sosial, ekonomi, dan budaya. Kontrol ini, yang
diberlakukan melalui berbagai sistem sosialisasi, adalah kuncinya untuk proses
homogenisasi representasi dimana politik dan legitimasi ideologis negara baru
dapat dijamin. Artikel ini tidak banyak membahas mengenai kehidupan muslim
Uighur di Xinjiang sehingga ini menjadi pembeda dengan penelitian peneliti.
Kedua Artikel yang diterbitkan oleh Asian Affairs: AnAmerican Review
vol 35 (1), hlm. 15-30 ditulis oleh Elizabeth, V.W.Davis (2008) yang berjudul
“Uighur Muslim Ethnic Separatism in Xinjiang, Tiongkok.” Isi artikel Davis
30
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
adalah sejarah singkat kebijakan Tiongkok terhadap kelompok Muslim di
Tiongkok Barat, dan sebuah analisis tentang bagaimana sejarah tersebut telah
berkontribusi pada politik masa kini. Artikel ini sangat membantu bagi peneliti
karena peneliti tertarik secara khusus dalam hubungan antara Tiongkok dan Asia
Tengah. Selain itu, artikel ini menjelaskan perubahan hubungan antara Tiongkok
dan populasi Muslimnya pasca 9/11. Sementara artikel ini terutama berfokus pada
Tiongkok dan Timur Tengah, artikel ini juga membahas kebijakan luar negeri AS
sehingga memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti tulis.
Ketiga Artikel yang diterbitkan oleh Terrorism and political violence vol
20 (2), halaman. 271-301, ditulis oleh Michael Clarke tahun (2008) yang berjudul
“Tiongkok‟s „War on Terror‟ in Xinjiang: Human Security and the Causes of
Violent Uighur Separatism.” Clarke membahas tentang konsekuensi dari label
"teroris" yang ditempatkan pada orang Uighur di Xinjiang oleh pemerintah
Tiongkok. Clarke menunjukkan bahwa, sepanjang sejarah, pemberontakan
kekerasan utama di Xinjiang telah menjadi respons terhadap perubahan kebijakan
mengenai orang Uighur, baik selama masa Maois Tiongkok atau pemerintahan
saat ini. Kekerasan tersebut bukanlah tindakan terorisme, bertentangan dengan
yang diklaim oleh Tiongkok dan negara-negara lain. Selain itu, label "teroris"
telah berbuat banyak untuk meningkatkan kesadaran akan perjuangan mereka di
dalam masyarakat internasional. Jika ada, label itu telah menghambat
perkembangan yang telah mereka capai selama dua dekade terakhir ini. Artikel ini
menjelaskan bahwa kebijakan politik dan ekonomi Tiongkok membuat sangat
sulit, jika bukan tidak mungkin, bagi orang Uighur untuk mempertahankan
budaya dan identitas mereka sendiri di Tiongkok.
Keempat Artikel yang diterbitkan oleh Media Masyarakat, kebudayaan,
dan politik vol 24 (4), halaman. 1-15, ditulis oleh Baiq L.S.W. Wardhani tahun
(2011) yang berjudul “ Respons Tiongkok atas Gerakan Pan-Uighuris di Provinsi
Xinjiang”. Paper ini berisi tentang upaya-upaya pemerintah Tiongkok untuk
mempertahankan wilayah Xinjiang dan mencegah meluasnya gerakan Pan-
Uighurisme berkembang di Tiongkok bagian barat adalah masalah identitas,
sumber daya alam dan geografi. Dalam Paper ini juga menjelaskan bagaimana
Tiongkok mengambil hati kaum Uighur di Xinjiang dengan cara memberi
31
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
prioritas pembangunan pada provinsi tertinggal itu agar mereka bersedia meredam
keinginannya untuk mendirikan negara merdeka sendiri. Jadi paper ini
menjelaskan bahwa upaya-upaya Pemerintah Tiongkok meredam Gerakan Pan-
Uighuris di Provinsi Xinjiang.
Kelima artikel yang diterbitkan oleh jurnal Sosiologi vol 19 (1), halaman.
41-51, yang ditulis oleh Gita karisma pada tahun (2017) yang berjudul “Konflik
etnis di xinjiang: kebijakan monokultural dan kepentingan negara Tiongkok
terhadap keutuhan wilayah”. Yang terkait dengan bahasan peneliti adalah
Tulisannya mengkaji lebih lanjut perihal konflik internal Xinjiang dan penyebab
konflik internal di wilayah Tiongkok tersebut. Tapi yang membedakan dengan
tulisan saya adalah dalam jurnal ini dia menitikberatkan pada kebijakan
monokultural dan kemudian penelitian ini ditinjau dari segi hubungan
internasional.
Keenam artikel yang diterbitkan oleh The Tiongkok Journal vol 7 (3) hlm.
65-90, yang ditulis oleh Becquelin, N. Pada tahun (2000), yang berjudul “Xinjiang
in the Nineties.” dalam The Tiongkok Journal membahas tentang saat jatuhnya
Uni Soviet pada awal 1990an, pemerintah Tiongkok mengenali volatilitas
kawasan ini dan mencoba untuk memerintah dalam budaya Uighur di provinsi
Xinjiang untuk menyesuaikannya lebih dengan budaya dan politik Tionghoa.
Selain itu, Tiongkok menyesuaikan diri dengan membentuk sebuah aliansi yang
disebut "kelompok lima" dengan negara-negara Asia Tengah lainnya untuk
mengendalikan atmosfir sosiopolitik di wilayah tersebut. Becquelin menulis
sketsa sejarah Xinjiang yang sangat informatif selama tahun 1990an, khususnya
setelah jatuhnya Uni Soviet. Artikel ini akan sangat berguna bagi peneliti yang
ingin mengetahui bagaimana aspek politik, ekonomi, dan sosial masyarakat
Xinjiang berkembang selama akhir. dua dekade.
Ketujuh artikel yang diterbitkan oleh jurnal Independence vol 1 (3) hlm.
165-179, yang ditulis oleh Muhammad Nizar Hidayat. Pada tahun 2013, yang
berjudul Diaspora Uighur dan Hak Sipil di Xinjiang Tiongkok. Jurnal ini
mendeskripsikan menganalisis upaya diaspora Uygur dalam memperjuangkan hak
rakyat Uygur di Tiongkok. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa diaspora
Uighur berupaya untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara, yang terkadang
32
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
saling melemahkan. Pada tahun 2004 diaspora Uighur di Jerman mencoba untuk
menyatukan gerakan ini dengan membentuk World Uighur Congress (WUC).
Organisasi tersebut kemudian secara aktif memperjuangkan hak rakyat Uighur
melalui advokasi dan propaganda. Walaupun sekilas tampak bahwa perjuangan
WUC ini tidak membuahkan hasil apapun dikarenakan statu quo masih
dipertahankan di Xinjiang, namun jika dianalisis lebih lanjut, maka akan terlihat
bahwa WUC telah membuka jalan bagi tercapainya tujuan yang mereka inginkan.
Mereka berhasil dalam langkah yang paling awal dalam perjuangan mereka, yakni
mengenalkan isu Uighur kepada dunia internasional. Mereka telah mengangkat
isu Uighur ke dunia internasional, meningkatkan awareness diantara para politisi
dan masyarakat di negara-negara tersebut mengenai isu Uighur. Public awareness
yang dihasilkan oleh lobi-lobi dan propaganda WUC ini akan sangat berguna bagi
perjuangan mereka di kemudian hari.
Kedelapan artikel yang diterbitkan oleh Human Right And Human
Walfare vol 4 hlm. 05-29 yang ditulis oleh Katie Corradini pada tahun 2011, yang
berjudul Uighurs under the Chinese State: Religious Policy and Practice in
Tiongkok. Artikel ini Menyebutkan bahwa Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok
(RRC) terkenal karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan
berbagai pelanggaran-pelanggara yang dilakukannya antara lain, Pelanggaran
pembunuhan bayi, perdagangan manusia, penegakan kekerasan terhadap
kebijakan satu anak, dan penganiayaan agama. Masyarakat internasional
umumnya mengabaikan penganiayaan agama terhadap orang Uighur, yang
menjadi sasaran dan sering ditindas oleh pemerintah Tiongkok. Tiongkok bisa
dibilang sebagai pusat sistem politik dan ekonomi internasional, namun, karena
diaspora Uighur berkembang ke negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat,
seluruh dunia harus memahami isu-isu yang berada di garis depan konflik.
2.5.2. Skripsi.
Peneliti juga menemukan beberapa Skripsi terkai dengan pembahasan
peneliti diantaranya adalah, karya Muhamad izzul mubarak tahun 2018 yang
berjudul Kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap muslim uighur perpektif
siyasah syar’iyyah. Skripsi ini menjelaskan mengenai pemerintah Tiongkok
33
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
melanggar Hak-hak anak Adam dalam konsep siyasah syar’iyyah yang dimiliki
oleh muslim Uighur bahwasa-nya di sini peneliti meneliti kebijakan pemerintah
Tiongkok yang di rasa melanggar konsep hukum-hukum dan hak-hak anak Adam
yang dimiliki oleh muslim Uighur, dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip
agama Islam dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia yang memenuhi
kebutuhan nya. dan pemerintah Tiongkok melanggar Hak Asasi International
yang tercantum dalam konvensi jenewa 1949 dan statuta Roma. Pemerintah
Tiongkok mengeluarkan kebijakan represif terhadap muslim Uighur dengan
alasan ingin melawan terorisme. Akan tetapi kebijakan pemerintah Tiongkok
tersebut justru dikecam oleh International maupun Islam. Jadi sangat berbeda
dengan fokus penelitian yang akan peneliti tulis.
Kedua skripsi Ika Yogyantari yang berjudul Muslim Uighur di Propinsi
Xinjiang Pada Masa Pemerintahan Komunis Tiongkok Tahun 1949-2008 M. Ika
dalam skripsinya tersebut menjelaskan tentang bagaimana kebijakan pemerintah
komunis Tiongkok terhadap umat Islam suku Uighur, serta respon Uighur
terhadap kebijakan itu. Adapun di dalam pembahasannya, Ika membagi isi
skripsinya menjadi tiga bagian penting, yaitu (1) gambaran umum Propinsi
Xinjiang, (2) Islam di Xinjiang, dan (3) respon muslim Uighur di Xinjiang
terhadap kebijakan Pemerintah Tiongkok. Meskipun skrispi Ika sama-sama
meneliti tentang muslim di Xinjiang tetapi yang membedakan dengan penelitian
saya yang pertama mengenai periode kedua ika hanya membahas mengenai umat
muslim di Xinjiang saja tanpa mengkaji lebih dalam mengenai kebijakann apa
saja yang telah dikeluarkan oleh pemerintah komunis Tiongkok.
Ketiga Amelia, Lidya Elmira pada tahun 2018 yang berjudul Diskriminasi
rasial terhadap minoritas muslim uighur di Tiongkok ditinjau dari hukum islam.
Skripsi ini membahas mengenai salah satu contoh kasus diskriminasi rasial oleh
pemerintah Tiongkok terhadap muslim Uighur. Kasus ini ialah kasus diskriminasi
yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap etnis minoritas Uighur di
Tiongkok, etnis Uighur merupakan salah satu etnis minoritas di Tiongkok.
mayoritas etnis Uighur tersebut mendiami wilayah Tiongkok yang bernama
Xianjiang dan penelitian ini ditinjau dari hukum islam, Hasil penelitian ini bahwa
diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok tidak bisa dibenarkan
34
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
meskipun dengan alasan sebagai tindakan represif untuk menjaga keamanan dan
kestabilan negara.
Keempat ada skripsi yang berjudul Perkembangan Agama Islam di
Tiongkok Pasca Revolusi Kebudayaan pada Tahun 1976-1999”. Oleh Tony
Setiawan. Skripsi ini membahs mengenai kondisi keagamaan di Xinjiang sebelum
dan pasca Revolusi Budaya, Organisasi internal di Xinjiang maupun internasional,
penentangan kaum Muslim terhadap kebijakan pemerintah Tiongkok,
Sumbangannya di bidang perekonomian, pendidikan. Adanya kekerasan,
penindasan,dan tekanan dari pihak pemerintah serta kelompok-kelompokter tentu
yang tidak menginginkan Islam berkembang di Xinjiang, juga perlawanan
mereka. Skripsi ini bisa menjadi sumber referensi bagi peneliti.
Kelima Skripsi yang bisa dijadikan Referensi oleh peneliti adalah karya
Muhamad Fajrin Saragih, tahun 2015 yang berjudul, Tinjauan Yuridis
Pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di Tiongkok ditinjau dari hukum
humaniter. Skripsi ini menjelaskan tentang peristiwa kejahatan yang menimpa
Muslim Uighur di Tiongkok telah menjurus kepada Genosida, usaha pembersihan
etnis karena dilakukan secara sistematis, dimulai dengan kebijakan-kebijakan
Pemerintah Tiongkok yang menyudutkan keberadaan Muslim Uighur.Skripsi ini
juga menyebutkan bahwa Pemerintah Tiongkok melakukan pelanggaran HAM di
Xinjiang, diantaranya pelanggaran kebebasan beragama, warga Muslim Uighur
dilarang untuk melakukan ritual keagamaan seperti Sholat dan berpuasa pada saat
bulan Ramadhan, Masjid-Masjid dijaga ketat oleh pasukan keamanan pemerintah
Tiongkok. Jadi menurut penelitian ini Pemerintah Tiongkok telah melanggar Hak
Asasi Manusia terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Keenam skripsi dari James Senduk, dalam penelitiannya di tahun 2014
yang berjudul “Analisis Yuridis Atas Perlakuan Rasisme Berdasarkan
International Convention on The Elimination of All Forms of Racial
Discrimination 1965 Studi Kasus Diskriminasi Terhadap Etnis Uighur Di
Tiongkok” Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pelanggaran
hak-hak yang seharunya dijamin oleh negara peserta konvensi hak tersebut adalah
hak untuk diperlakukan sama hak sipil dan hak politik serta hak ekonomi, sosial
dan budaya. Sebagai upaya untuk memperjuangkan haknya etnis Uighur
35
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu
menempuh dua cara yaitu yang pertama secara damai melalui World Uighur
Congress, yang kedua dengan cara memberikan tekanan kepada pemerintah
Tiongkok melalui aksi-aksi teror yang dilakukan oleh beberapa organisasi serta
kelompok etnis Uighur yang ingin memisahkan diri dari Tiongkok.