BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius ...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius ...
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius Descendens
Sindroma miofasial adalah kondisi yang bercirikan adanya regio yang
hipersensitif, yang disebut sebagai Trigger Area pada otot atau jaringan ikat
longgar yang bersama-sama dengan adanya reaksi nyeri spesifik pada daerah yang
berhubungan dengan titik itu pada saat Trigger Point (Myofascial Trigger Point)
dan Tender Point diberi suatu rangsangan. yang ditandai dengan terdapatnya
trigger points yang dijumpai pada taut band serabut otot yang membentuk seperti
jalinan tali dan lunak, ketika disentuh atau dipalpasi, menimbulkan respon kejang
lokal yang dikenal sebagai jump sign yang merupakan sebuah pemendekan pada
serabut otot yang mengalami fibrosis (Wodsworth, 2010).
Sindroma miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau
beberapa titik picu (trigger points) dan dicirikan oleh nyeri otot kronis dengan
peningkatan sensitivitas terhadap tekanan. Tipe rasa sakit berupa sensasi dalam
dan tumpul pada otot yang terkena dan sering menjalar ke daerah yang tidak
spesifik disekitar otot yang terkena. Sekolompok otot tegang dapat teraba dan
masa yang dapat teraba ini sering disebut sebagai “trigger points”. Taut band ini
sangat sensitif terhadap tekanan dan pasien merasa nyeri tajam ketika tekanan
dilakukan tepat pada titiknya. Keluhan sindroma miofasial bukan dari artikuler,
tetapi akan mengurangi lingkup gerak sendi pada sendi yang terkait dengan otot
tersebut (Werenski, 2011).
8
9
Sindroma dicirikan dengan adanya spasme otot, tenderness, stiffness
(kekakuan), keterbatasan gerak, kelemahan otot dan sering pula timbul disfungsi
autonomik pada area yang dipengaruhi yang umumnya gejala timbul cukup jauh
dari trigger area. Kondisi ini sering ditemukan pada leher, bahu, punggung atas,
punggung bawah dan ekstremitas bawah. Kondisi sindroma miofosial umumnya
pasien datang dengan keluhan nyeri yang menjalar apabila dilakukan penekanan
pada daerah tersebut, sehingga ditemukan adanya taut band yaitu berbentuk
seperti tali yang membengkak yang ditemukan di otot, yang membuat
pemendekan sarabut otot yang terus-menerus, sehingga terjadi peningkatan
ketegangan serabut otot (Wodsworth, 2010).
Trigger points dapat berupa primer ataupun sekunder. Trigger points primer
berkembang secara mandiri dan bukan hasil dari aktifitas trigger points yang lain.
Trigger points sekunder bisa terjadi pada otot antagonis dan otot agonis sebagai
akibat stres dan tegang otot (Fernandez et al, 2005).
Taut band adalah satu bendel bagian muscle belly yang mengeras, kaku dan
ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Taut band
merupakan kontraktur yang terlokalisir dalam muscle belly tanpa aktivasi dari
motor end plate dan kekakuan yang terjadi tidak menyeluruh pada sebuah otot.
Taut band dalam otot ini akan berakibat penurunan tingkat ekstensibilitas dan
fleksibilitas pada otot tersebut. Perlengketan dalam struktur otot yang terjadi
berakibat pada fascia dan myofilament dalam sarcomer taut band maka ada
peningkatan konsentrasi secara abnormal dari asetilkolin dalam end plate taut
band. Perlengketan ini berdampak penurunan sirkulasi darah sehingga kebutuhan
10
akan nutrisi dan oksigen pada area taut band berkurang. Dampaknya terjadinya
hiperkontraksi sel otot yang akan mempengaruhi peningkatan metabolisme
bersifat lokal serta teraktivasinya saraf simpatik yang berakibat vasokonstriksi
pada pembuluh darah kapiler (Gerwin et al, 2004).
Sindrom myofascial memiliki tanda dan gejala berupa nyeri yang terlokalisir
pada daerah leher, terdapat taut band pada otot trapezius descendens dan fascia
serta jaringan ikat longgar (connective tissue), nyeri menjalar sepanjang leher dan
punggung atas, belakang telinga dan pelipis mata, adanya titik sangat peka
(hyperirritable spot) atau trigger points pada satu tempat disepanjang taut band
yang menimbulkan twitch respon (respon kejang lokal) atau yang dikenal sebagai
jump sign, tightness pada otot trapezius descendens sehingga menyebabkan
keterbatasan lingkup gerak sendi, spasme otot trapezius descendens akibat
sekunder dari rasa nyeri yang timbul juga akibat iskemik pada otot, perubahan
otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat yang berlebihan
disepanjang area rujukan (referred pain}
.
Gambar 2.1 Penjalaran nyeri otot trapezius descendens (Fernandez et al, 2006)
11
2.2 Anatomi Biomekanik dan fisiologi Otot Trapezius Descendens
Otot trapezius descendens termasuk dalam jenis otot skeletal tipe 1 (slow
twitch muscle) yang terletak di daerah bahu dan leher. Otot ini berorigo pada
protuberentia occipital eksternal dan bagian medial ligamentum nuchae, dan
berinsersio pada batas posterior dari 1/3 bagian luar clavicula serta dipersarafi
oleh nervus assesorius dan nervus C3, C4 (Kenyon, 2004).
Trapeziu descendenss anterior view
Gambar 2.2 Otot Trapezius descendens (Porterfield and DeRosa, 2004)
Otot ini berkontraksi konsentrik bersama dengan otot levator scapula dalam
melakukan gerakan elevasi scapula. Gerakan lateral fleksi leher maka otot
trapezius descendens yang searah juga ikut terlibat aktif. Otot trapezius
descendens bersama-sama dengan otot-otot ekstensor leher bekerja juga sebagai
penggerak utama gerakan ekstensi leher.
Trapezius descendens posterior
view
12
Otot trapezius descendens mempunyai kerja yang khas yaitu sebagai fiksasi
scapula pada saat otot deltoid beraktivitas. Fiksasi ini menjaga agar tidak terjadi
depresi scapula saat lengan sedang mengangkat .
2.2.1 Jaringan Miofasial
Fasia adalah tipe jaringan yang meliputi seluruh tubuh, dan berada dimana-
mana. Fascia tidak hanya memberikan bentuk bagi tubuh baik diluar ataupun di
dalam tetapi juga menyediakan bentuk untuk semua sistem tubuh seperti sirkulasi
darah, saraf dan sistem limfatik. Fascia adalah jenis jaringan ikat yang
mengambil bentuk lain seperti tendon, ligamen, aponeurosis dan jaringan parut
(scar tissue). Fascia juga memiliki nama yang berbeda pada tempat yang berbeda
di sekitar otak dan spinal cord, fascia disebut meningen, disekitar tulang disebut
periosteum, disekitar jantung disebut perikardium, dilapisan rongga perut disebut
peritoneum, yang menutupi seluruh tubuh dilapisan bawah kulit, yang
melampirkan otot dan membagi otot disebut myofascia (Clay, 2008).
Fascia adalah selembar jaringan ikat yang menjadi sampul atau bungkus dari
otot dan fasikula, ini terdiri dari kolagen, elastin dan substansi dasar. Substansi
dasar adalah sebuah gel seperti gel yang jijka dikombinasikan dengan elastin dan
kolagen akan membentuk jaringan tubular. Fascia menjalin, mendukung dan
melindungi setiap sel di tubuh (Werenski, 2011).
Substansi dasar yang disebut juga mukopolisakarida ini mempunyai fungsi
sebagai pelumas yang mengizinkan serabut untuk mudah bergeser satu sama lain
dan sebagai perekat yang menahan serabut dari jaringan supaya tetap dalam satu
13
ikatan. Jaringan ikat colagen terdiri atas sebagian besar colagen yang
memungkinkan adanya daya rentang (tensile strength) sedangkan jaringan ikat
elastin terdiri atas sebagian besar elastin yang mengizinkan adanya elastisitas.
Gambar 2.3 Struktur myofascia (Baechle, 2008)
Berdasarkan tempat dimana fascia ditemukan dalam otot, maka fascia
dibedakan menjadi:
1. Epymisium, merupakan jaringan fascia terluar yang mengikat seluruh
fasikel.
2. Perymisium, merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok
serabut otot ke dalam individual fasikuli.
3. Endomysium, merupakan jaringan fascia terdalam yang membungkus
individual otot.
Jaringan myofascial terdapat suatu bahan yang disebut substansi dasar
(ground substance). Substansi dasar ini mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai
alat transpor yang memindahkan nutrisi dari bagian dimana makanan dipecahkan
14
ke bagian dimana zat gizi ini dibutuhkan, mengangkut zat-zat sisa metabolisme,
merubah konsistensi gelatin bebas ke gel-foam (busa gel) sehingga apabila terkena
trauma baik biokimia maupun mekanis maka akan terjadi pengerasan dan
kehilangan elastisitas sehingga pada akhirnya myofascial akan mengalami
ketegangan, mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat sehingga terjaga
dari pembentukan perlengketan (microadhesion) serta menjaga jaringan ini tetap
fleksibel (Chantu and Gradin, 2006).
Fascia memiliki fungsi yaitu membentuk dan menunjang bagian tubuh dan
menahan agar tetap berada pada tempatnya, memberikan batas tegas yang akan
meningkatkan kekuatan otot, mengandung dan mengalirkan cairan tubuh yang
akan membantu mencegah penyebaran infeksi, menyediakan infrastruktur untuk
sistem percabangan, pendukung peredaran darah dan sistem limfatik, serta mana-
mana percabangan dari sistem saraf, Fascia akan menimbulkan jaringan ikat baru.
Fascia mengandung sel jaringan ikat (fibroblas) yang mengkhususkan diri jika
diperlukan untuk menebalkan jaringan ikat, membantu perbaikan tendon dan
ligamen dan membentuk jaringan parut (Clay, 2008).
2 2.2 Histologi Muskuler
Mempelajari susunan anatomi jaringan tubuh manusia terdiri dari beberapa
otot dibagi menjadi tiga bagian terdiri dari otot polos, otot jantung dan otot
rangka. Maka yang akan dibahas lebih dalam 11-20 lagi yang berhubungan
dengan kondisi sindroma miofasial ini adalah otot rangka dan selubung otot yaitu
fasia.
15
2.2.2.1. Otot Rangka
Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan “balok penyusun”
(building blocks) sistem otot dalam arti yang sama dengan neuron merupakan
balok penyusun sistem saraf. Hampir seluruh otot rangka berawal dan berkahir
ditendo dan serat-serat otot rangka tersusun sejajar diantara ujung tendo, sehingga
daya kontraksi setiap unit akan saling menguatkan. Otot merupakan satu sel otot
yang berinti banyak, memanjang, silinder dan diliputi oleh membran sel yang
dianamakn sarkolema. Antara sel-selnya tidak terdapat jembatan sinsition. Serat-
serat otot tersusun atas miofibril yang terbagi menjadi filamen-filamen. Filamen-
filamen ini tersusun dari protein-protein kontraktil.
Mekanisme kontraktil otot rangka tergantung dari protein miosin (berat
molekul 460.000), aktin (berat molekul 43.000), tropomiosin berat molekul
70.000 dan troponin dengan berat molekul 18.000 – 35.000 dan terdiri dari
troponin I,T,C. Filamen yang tersusun dari protein kontraktil dibagi dalam dua
jenis yaitu filamen tipis (yang tersusun dari aktin, tropomiosin dan troponin) dan
filamen tebal yang tersusun dari miosin yang berkaitan dengan aktin. Jenis miosin
yang terdapat pada otot adalah bentuk miosin II dengan dua kepala berbentuk
globular serta ekor yang panjang.
Serabut otot dikelilingi oleh struktur yang terbentuk dari membran yang
tampak sebagai vesikel dan tubulis. Struktur ini membentuk sistem sarkotubuler
yang terdiri atas sistem I dan retikulum sarkoplasmik. Sistem T merupakan
kalanjutan dari membran serat otot yang membentuk jaringan berlubang pada tiap
fibril yang berfungsi menghantar potensial aksi dengan kecepatan tinggi dari
16
membran sel ke seluruh fibril otot. Retikulum sorkoplasmik membentuk substansi
secara acak mengelilingi fibril dengan bentuk tak beraturan dan melebar pada
bagian ujung yang disebut sebagai sisterna terminal dan berfungsi dalam proses
perpindahan ion C²+ dan metabolisme otot.
Tipe Serabut Otot
Serabut otot memiliki dua tipe otot yang berbeda, dimana kedua tipe
serabut otot tersebut memiliki fungsi dan peranan yang berbeda-beda pula dengan
mengetahui dan memahami dari kedua tipe serabut otot yaitu :
a. Tipe I (slow twitch)
Disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot lainnya, yang
banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria (tahan lama terhadap
tahanan). Yang berfungsi untuk mempertahankan sikap, kelainan tipe otot ini
cenderung tegang dan memendek diantaranya adalah otot-otot postural seperti
m. Quadratus lumborum, group ekstensor trunk diantaranya adalah m.erector
spine, m. Multifidus, group fleksor panggul yang meliputi : m. Illopsoas, m.
Tensor fascia latae, m. Rektus femoris, group ekssorotasi panggul yang
meliputi m. Piriformis, , group hamstring dan m. Gastrocnemius dan soleus.
b. Tipe II (fast twitch) atau otot pashik
Disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat, yang banyak
mengandung myofibril (tidak tahan lama terhadap tekanan), durasi kontraksi
lebih pendek dan menghasilkan gerakan-gerakan halus dengan keterampilan
gerak, yang berfungsi untuk gerakan cepat dan kuat, yang berasal dari dua
macam serabut yaitu serabut otot tipe 2A yang kelelahannya rata-rata
17
intermediate (sedang) dan serabut tipe 2B yang kelelahannya sangat cepat.
Kelainan tipe otot ini cenderung lemah dan lembek.
Tabel.2.1. Klasifikasi serabut otot skelet
N Karakteristik Tipe I (Red) Tipe II (White)
1
Myosin AT Pase activity
Low
High
2 Contraction and
relaxation rate/tension
Slow Fast
3 Type contraction Tonik Phasic
4 Muscle function Stabilizer/postural Mobilizer
5 Fatique Resistent Fast
6 Myoglobin and capillary High/Red Low/Red
7 Mitochondria Many Few
Metabolism Aerobic / oxidative Anaerob/glicolitic
9 Diameter 27 mcm 44 mcm
Blood Supplay Extensive Less extensive
1 Motor and plate Smaller Larger
1 Nerve fiber diameter Smaller Larger
1 Motor unit size Smaller Larger
1 Contraction time 85 ml second
1 Nerve conduction velocity Low
1 Endurance Long sustained
contraction
Fatique easly
Function Jalan,maraton,ADL Rapid, high power
suddent contraction
Sumber : (Guyton, 2007)
18
Guyton (2007) telah mengidentifikasi perbedaan serabut fast twith dan slow
twitch sebagai berikut :
Serabut otot fast twitch : serabut-serabut lebih besar untuk kekuatan
konstraksi yang besar, retikulum sarkoplasma yang luas sehingga cepat
melepaskan ion-ion kalsium untuk memulai kontraksi otot, enzim glikolitik yang
banyak untuk pengeluaran energi yang cepat melalui proses glikolitik. Persediaan
darah yang tidak terlalu luas karena metabolisme oksidatif tidak begitu penting.
Serabut otot slow twitch : serabut-serabutnya lebih kecil, juga disarafi oleh
serabut saraf yang lebih kecil, sistem pembuluh darah lebih luas untuk
menyediakan oksigen ekstra, besarnya mitokondria, juga sangat membantu
metabolisme oksidatif, serabut-serabut mengandung sejumlah besar mioglobin
sel-sel darah merah. Mioglobin bergabung dengan oksigen dan menyimpannya di
dalam sel otot sampai oksigen tersebut diperlukan oleh mitokondria.
Type otot trapezius descendens tersebut adalah otot dengan tipe tonik atau
postural muscle otot tipe I yang berfungsi sebagai stabilisator / mempertahankan
skapula dengan mekanisme kerja otot dan respon yang lambat, masa laten yang
panjang sehingga dapat beradaptasi pada konstarksi yang panjang/lama.
Kemampuan tipe otot ini dalam pemompaan Ca2+ retikulum sarkoplasmiknya
juga sedang dan kapasitas oksidasi yang tinggi berhubung otot tipe I ini
mempunyai kandungan mitokondria, kepadatan kapiler dan kandungan mioglobin
yang besar dibanding dengan otot tipe II. Secara mikroskopis otot ini mempunyai
warna merah. (Guyton, 2007)
19
2.2.3 Fisiologi Muskular
Mekanisme kontraksi otot dimulai dengan adanya beda potensial pada motor
end plate akibat suatu stimulus sehingga tercetusnya suatu potensial aksi pada
serat otot. Penyebaran depolarisasi terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan
pelepasan Ca2+ dari sisterna terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi Ca2+ ke
filamen tebal dan filamen tipis. Selanjutnya terjadi suatu pengikatan Ca2+ oleh
troponin C, yang membuka tempat pengikatan miosin dari aktin. Proses tadi
menyebabkan terbentuknya ikatan silang (cross link) antara aktin dan miosin dan
terjadi pergeseran filamen tipis pada filemen tebal (pemendekan atau kontraksi).
Ada tahap relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum
sarkoplasmik dan terjadi pelepasan Ca2+ dari troponin sehingga interaksi antara
aktin dan miosin berhenti (Sherwood, 2002).
Gambar 2.4 : Mekanisme Kontraksi Otot
Sumber : (Meyers, 2001)
20
2.2.4 Histologi Otot Skeletal
Otot skeletal merupakan otot yang melekat pada tulang sekaligus berfungsi
untuk menggerakkan atau memfiksasinya. Otot skeletal mempunyai 4 karakter
yaitu exitability, contractility, ekstensibility, dan elasticity/flexibility. Empat
karakter ini membuat otot skeletal dapat merespon stimulus dari impuls saraf,
dapat berkontraksi dengan memendekkan panjangnya, dapat terulur dan kembali
ke bentuk dan panjang semula setelah memendek atau memanjang. Kontraksi
yang terjadi pada otot ini adalah kontraksi yang disadari. Fungsinya adalah
sebagai penggerak tubuh, mempertahankan dan memelihara postur, dan
memproduksi panas.
Satuan organisasi otot rangka adalah serat otot, yaitu sel-sel silindris
panjang multinuklear. Serat-serat paralel berkumpul membentuk berkas atau
fasikel yang cukup besar untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Masing-
masing serat, fasikel, dan otot seluruhnya dibungkus oleh jaringan ikat yang
membentuk kerangka penyokong yang utuh.
Serabut otot mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu miofibril.
Setiap miofibril tersusun oleh sekitar 1500 filamen miosin yang berdekatan dan
3000 filamen aktin, yang merupakan molekul protein polimer besar yang
bertanggung jawab untuk kontraksi otot sesungguhnya. Filamen tebal adalah
miosin dan filamen tipis adalah aktin (Guyton and Hall, 2008).
Miosin dan aktin membentuk sub unit yang saling bersambung dalam
miofibril yang dikatakan sebagai sarcomer, dalam sebuah sarcomer aktin terletak
di pinggir mengapit miosin sehingga dilihat dalam miskropis daerah pinggir
21
sarcomer lebih terang dengan tengah yang berwarna gelap, daerah terang disebut
I-band karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan dan gelap
disebut A-band karena bersifat anisotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan,
serta yang memisahkan keduanya disebut Z-line. Jadi sarcomer merupakan daerah
antara dua Z-line (Guyton and Hall, 2008).
Gambar 2.5 Organisasi otot rangka (Guyton and Hall, 2008)
Sel otot diselubungi membran sarkolem yang seperti neuron, mengandung
potensial membran. Impuls yang berasal dari neuron akan berjalan juga ke
sarkolema yang mengakibatkan sel otot untuk berkontraksi. Dalam sarkolema ada
lubang disebut tranverse tubules, tranverse tubules masuk ke dalam seluruh
miofibril tanpa menembusnya dan berfungsi menghantarkan impuls dari
sarkolema ke dalam sel terutama pada struktur lain di dalam sel yang
menyelubungi myofilamen yang disebut sarcoplasmic reticulum.
22
Transverse tubules mempunyai lubang yang berhubungan dengan
sarcoplasmic reticulum dalam menghantarkan impuls serta terdapat sebagai
tempat penyimpanan ion kalsium. Antara sarcoplasmic reticulum dengan
cytoplasma sel otot disebut sacoplasma terjadi pemompaan ion calcium.
Ketika impuls dari saraf pada membran sacoplasmic reticulum terjadi
pembukaan membran yang memungkinkan ion kalsium melewati menuju pada
sarkoplasma yang akan mempengaruhi myofibril untuk berkontraksi.
Thick myofilamen merupakan komposisi dari sebuah protein yang disebut
miosin yang mempunyai ekor yang mempunyai kepala yang keluar dari filamen
yang nantinya membentuk cross-bridge dengan molekul aktin dari thin
myofilamen.
Kepala dari miosin mempunyai dua tempat tautan yaitu ATP, binding site
dan aktin binding site, jika kepala bertemu dengan molekul aktin dalam
myofilamen maka akan terjadi pergeseran miosin yang mengakibatkan sel otot
berkontraksi.
Thin myofilamen terdiri 3 komponen protein aktin, tropomiosin dan
troponin. Aktin adalah bulatan lonjong yang saling bergandengan membentuk dua
rantai aktin yang panjang dalam thin myofilamen, tropomiosin seperti benang
yang membelit rantai aktin, ujung dari masing-masing tropomiosin adalah
molekul troponin.
Otot dalam keadaan relaks maka molekul miosin menempel pada benang
molekul tropomiosin, ketika ion kalsium mengisi troponin maka akan mengubah
bentuk dan posisi troponin, perubahan ini membuat molekul tropomiosin
23
terdorong dan menjadikan kepala miosin bersentuhan dengan molekul aktin.
Persentuhan ini akan menjadikan kepala miosin bergeser. Selama pergeseran ini
kepala miosin menempel erat pada aktin sehingga mendorong aktin untuk
bergerak.
Akhir gerakan ATP masuk dalam crossbridge dan memecah ikatan antara
miosin dan aktin. Kepala miosin akan bergerak kembali ke belakang, pada saat
bergerak ke belakang ATP dipecah sebagai ADP + P dan kepala miosinkembali
berikatan dengan molekul aktin yang lain, ikatan ini membuat terjadinya lagi
gerakan aktin terdorong oleh kepala miosin.
Selama ion kalsium mengisi troponin maka proses ini akan terjadi berulang,
tampak bahwa thick dan thin myofilamen seperti bergeser satu sama lain, pada
saat terjadi geseran maka jarak antara dua Z-line dalam sarcomer akan memendek,
akibatnya myofibril akan memendek dan seluruh sel otot akan memendek dan otot
akan tampak berkontraksi.
Otot skeletal akan relaks bila tidak ada impuls saraf melalui end plates,
ketiadaan impuls mengakibatkan tidak ada ion kalsium yang masuk ke dalam
cytoplasma sel karena pintu untuk kalsium masuk menjadi tertutup, kalsium akan
kembali mengalir masuk dalam sarcoplasmic reticulum, aliran ini akan
menjadikan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali
normal dan memutuskan hubungan antara kepala miosin dengan aktin. Ketika
kepala miosin tak lagi berhubungan dengan aktin maka tak ada pergeseran
molekul yang terjadi dan otot kembali relaks.
24
Kejadian yang lain, ketika kontraksi otot berlangsung dalam waktu yang
lama, maka terjadi penurunan jumlah ATP yang dibutuhkan untuk menggeser
molekul-molekul tadi bergeser. Walaupun kepala miosin masih menempel pada
aktin, karena konsentrasi ion kalsium masih cukup untuk menggerakkan troponin,
namun tak ada pergeseran yang terjadi karena ketiadaan energi untuk
menggerakkan. Kejadian ini disebut “muscle fatigue”.
Otot skeletal memiliki 2 tipe serabut yang memiliki fungsi dan peranan yang
berbeda, yaitu serabut tipe I dan serabut tipe II. Tipe I atau otot tonik (slow twitch)
disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot lainnya, serabut
ototnya kecil, lebih banyak mengandung mitokondria sehingga sangat lambat
mengalami kelelahan dan memungkinkan untuk dapat menghasilkan energi yang
lebih banyak, metabolisme aerobic (oxidative) dan berfungsi untuk
mempertahankan sikap. Patologi pada tipe otot ini cenderung tegang dan
memendek diantaranya adalah otot-otot postural.
Serabut tipe II terdiri dari dua tipe yaitu tipe II A dan tipe II B. Tipe II A
disebut juga pink muscle karena berasal dari dua macam serabut yaitu serabut otot
tipe I yang kelelahannya lambat dan serabut tipe II B yang kelelahannya sangat
cepat. Otot tipe II A ini memiliki kelelahan rata-rata intermediate (sedang),
serabut ototnya kecil-besar, metabolisme dengan aerobik-anaerobik dan kekuatan
motor unit tinggi.
Serabut otot II B atau otot phasik (fast twitch) disebut juga white muscle
karena berwarna lebih pucat, serabut ototnya besar, sedikit mengandung
mitokondria sehingga cepat mengalami kelelahan, metabolisme dengan anaerob
25
(glycolytic) dan berfungsi sebagai mobilisasi. Patologi pada tipe otot ini
cenderung lemah dan atrofi diantaranya adalah otot-otot perut
2.2.5 Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi Otot
Kontraksi otot adalah proses terjadinya pengikatan aktin dan miosin sehingga
otot memendek. Aktin merupakan bentuk jaring otot yang berfungsi untuk
membentuk permukaan sel, pigmen penyusun otot yang berdinding tipis, protein
yang merupakan unsur kontraksi dalam otot, sedangkan miosin adalah protein
dalam otot yang mengatur kontraksi dan relaksasi filamen penyusun otot yang
berdinding tebal. Otot memiliki beberapa karakteristik yaitu :
a. Kontraktibilitas yaitu kemampuan untuk memendek
b. Ekstensibilitas yaitu kemampuan untuk memanjang
c Elastisitas yaitu kemampuan untuk kembali ke ukuran semula setelah
memendek atau memanjang.
Metode pergeseran filamen dijelaskan melalui mekanisme kontraksi
pencampuran aktin dan miosin membentuk kompleks akto-miosin yang
dipengaruhi oleh ATP. Miosin merupakan produk, dan proses tersebut
mempunyai ikatan dengan ATP. ATP yang terikat dengan miosin terhidrolisis
membentuk kompleks miosin ADP-Pi dan akan berikatan dengan aktin. Tahap
selanjutnya, tahap relaksasi konformasional kompleks aktin, miosin, dan ADP-Pi
secara bertahap melepaskan ikatan dengan Pi dan ADP, proses terkait dan
terlepasnya aktin menghasilkan gaya fektorial (Sherwood, 2002).
26
Mekanisme kontraksi otot, dimulai dengan pembentukan kolin menjadi
asetilkolin yang terjadi di dalam otot. Proses itu akan diikuti dengan
penggabungan antara ion kalsium, troponium, dan tropomisin. Penggabungan ini
memacu penggabungan miosin dan aktin menjadi akto-miosin. Terbentuknya
aktin-miosin menyebabkan sel otot memendek (berkontraksi) pada plasma sel, ion
kalsium akan berpisah dari troponium sehingga aktin dan miosin juga terpisah dan
otot akan kembali relaksasi. Saat kontraksi, filamen aktin akan meluncur atau
mengerut diantara miosin ke dalam zona H (Zona H adalah bagian terang antara 2
pita), kemudian serabut otot memendek atau yang tetap panjang adalah pita A
(pita Gelap), sedangkan pita I (pita terang) dan zona H bertambah pendek pada
saat kontraksi (Sherwood, 2007).
Ujung miosin dapat mengikat ATP dan menghidrolisis menjadi ADP.
Beberapa energi dilepaskan dengan cara memotong pemindahan ATP ke miosin
yang berubah ke konfigurasi energi tinggi. Miosin yang berenergi tinggi ini
kemudian mengikatkan diri dengan kedudukan khusus pada aktin membentuk
jembatan silang, kemudian simpanan energi miosin dilepaskan dan ujung miosin
lalu beristirahat dengan energi rendah pada saat ini terjadi relaksasi.
Mekanisme otot ketika berelaksasi, relaksasi terjadi jika ion-ion Ca++
dipompa lagi masuk ke dalam retikulum sarkoplasma secara transport aktif
dengan bantuan ATP, sehingga binding site aktin kembali tertutupi oleh
tropomiosin, cross bridge tidak dapat terjadi dan relaksasi terjadi.
27
Gambar 2.6 Mekanisme Kontraksi dan relaksasi otot (Guyton and Hall. 2008)
Saat otot berkontraksi, impuls datang melalui neuron muskular dan diterima
di tubulus. Impuls dihantarkan kemudian melewati retikulum sarkoplasma
sehingga keluarlah ion Ca2+ akan ditangkap oleh troponim C dalam gugus aktin.
Sehingga menyebabkan miosin mengikat aktin. Aktin bergerak karena dorongan
miosin menuju pita H sehingga pita I dan zona H menghilang.Terikatnya miosin
pada aktin membutuhkan ATP sebagai energi penggerak terus buat relaksasinya
dimulai ketika ion Ca2+ terlepas dari ikatannya dengan troponim c sehingga
menyebabkan terlepasnya ikatan antara daerah aktif pada kepala miosin dengan
aktin sehingga aktin akan kembali ke posisi semula, Panjang pita I dan zona H
kembali seperti semula
28
2.3 Patologi Sindroma Miofasial
2.3.1 Etiologi
Penyebab terjadinya nyeri miofasial otot trapezius descendens disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain :
1. Faktor mekanik
Postural otot trapezius descendens yang berfungsi sebagai fiksator leher
dan sebagai fiksator scapula ketika lengan beraktivitas, maka kesalahan
postur berupaya forward head akan menyebabkan kerja statis yang terus
menerus pada saat aktifitas dalam posisi duduk atau berdiri. Pada lateral head
posture maka posisi kepala yang miring ke salah satu sisi juga akan
menyebabkan overload work pada otot trapezius descendens. Kerja statis
yang terus menerus dan overload work menyebabkan trigger points dan taut
band pada otot. Ergonomi yang meliputi poor body mechanics, penggunaan
otot dalam kondisi statis lama, kompresi pada otot dan mekanisme kerja
yang buruk pada leher dan bahu menggambarkan beban kerja otot trapezius
descendens lebih berat, digambarkan seperti pada posisi mengetik dengan
layar terlalu tinggi atau posisi bekerja yang menyebabkan kepala miring atau
menoleh terus menerus (Widodo, 2011).
2. Degenerasi pada otot
Proses degenerasi pada otot akan terjadi penurunan jumlah serabut otot, atrofi
beberapa serabut, fibril menjadi tidak teratur, berkurangnya 30% massa otot
terutama otot tipe II, degenerasi myofibril yang akan mempengaruhi
penurunan kekuatan dan fleksibilitas dari otot.
29
3. Trauma makro pada struktur miofasial
Cedera akut pada otot, tulang dan sendi maka akan membentuk trigger area
ini dapat diartikan sebagai daerah yang kecil terbatas tegas dan hipersensitif
pada otot atau jaringan ikat (connective tissue) dimana bila daerah tersebut
diberi rangsangan atau penekanan akan menimbulkan nyeri lokal dan juga
menyerang sistem saraf pusat yang menimbulkan nyeri yang menjalar
(reffered pain). Disebut trigger area karena perangsangannya.
4. Trauma Mikro Pada Struktur Miofasial
Akibat tambahan dari trauma makro yang hebat menimbulkan serangan
gejala yang jelas dan timbul dengan cepat, trauma dari cidera yang ringan
juga dapat memainkan peranan yang sama pentingnya. Trauma yang ringan
terdapat hubungan antara cidera dengan sindroma nyeri tidak begitu jelas
terlihat dan hubungan tersebut dapat diabaikan karena gejala yang timbul
secara bertahap. Walaupun frekuensinya jarang diakui tetapi hal ini sama
pentingnya sebagai penyebab nyeri miofasial adalah trauma mikro yang
berulang-ulang (Repetitive Injury) akibat aktifitas sehari-hari dan strains otot
khususnya pada individu dengan kegiatan yang sama dan menetap setiap
harinya pada usia di atas 35 tahun.
30
2.3.2 Patofisiologi Sindroma Miofasial Otot Trapezius Descendens
Otot trapezius descendens merupakan otot tipe I (slow twitch) yang berfungsi
sebagai fiksator scapula ketika lengan beraktivitas dan sebagai fiksator leher,
termasuk mempertahankan postur kepala yang cenderung jatuh ke depan karena
kekuatan gravitasi dan berat kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan semakin
meningkat jika otot mengalami trauma, degenerasi otot dan faktor mekanik yang
meliputi poor body mechanics, penggunaan otot dalam kondisi statis lama,
kompresi pada otot dan mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu.
Akibatnya, otot tersebut sering mengalami gangguan berupa spasme, pemendekan
otot (tightness) dan disabilitas fungsi leher (Meyers, 2001)
Kerja otot akan bertambah berat dengan adanya postur yang jelek, mikro dan
makro trauma. Trauma makro akibat kontraksi otot yang cepat dan kuat akan
menimbulkan kerobekan jaringan otot demikian pula trauma repelitip secara
komulatif akan menimbulkan kerobekan jaringan otot. Penyebab ini akan terjadi
proses inflamasi dan regenerasi sebagai berikut: cedera jaringan akan
mengeluarkan zat kimia algogen seperti serotonin, prostaglandin, istamin,
bradikinin. Zat algogen akan menimbulkan reaksi delatasi kapiler, sensitasi saraf
nosi sensoris sehingga timbul sensasi nyeri lokal. Akibat sensitasi tersebut akan
dibawa ke ganglion spinalis dan merangsang produksi “ P “ substance yang
kemudian di transport ke perifer dan menimbulkan delatasi kapiler yang lebih
luas, sementara di area ke medulla spinalis akan menimbulkan sensitasi dan
ketraktus spirotalaminikus untuk selanjutnya ke pusat nyeri di otak. Proses
inflamasi, diikuti proses regenerasi jaringan kolagen (Meyers, 2001)
31
Proses penyembuhan jaringan terjadi mekanisme penumpukkan kolagen
(jaringan fibrous) yang akan menimbulkan perlengketan antara myofibril dan
fasia.
Ambang rangsang nosi sensoris rendah akan menimbulkan tender point yaitu
pada jaringan tersebut di provokasi akan terjadi nyeri lokal. Bila ambang rangsang
nosi sensorik menjadi nol akan terjadi trigger point dan taut band.
Disabilitas umumnya pasien enggan menggerakan bagian tersebut, sehingga
berada pada posisi immobilisasi akibatnya otot akan menjadi kontraktur.
Terbentuk taut band dan trigger point. Serabut saraf terjadi peningkatan
mekanisme refleks segmental dan supra segmental seperti adanya spasme otot,
hiperaktivitas vasomotor dan glandular, penurunan ambang rangsang nyeri dan
peningkatan kecepatan konduksi saraf serta terjebaknya reseptor saraf tipe Aδ dan
C akibat tekanan jaringan fibrous sehingga menimbulkan tenderness lokal dan
nyeri rujukan.
Jaringan miofasial dalam keadaan immobilisasi, maka terjadi perubahan
substansi dan serabut kolagen, protein dan karbohidrat kompleks dalam substansia
dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel tak terbentuk yang dikenal
sebagai glikoaminoglikan.
Immobilisasi viskositas matrix akan berkurang dan bagian terbesar dari
substansia dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen saling berdempetan,
ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen lain menurun hingga
pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk ikatan
menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena
32
serabut kolagen dan lapisan fascia kehilangan pelumas, menyebabkan molekul
dari lembaran fascia ternyata terikat bersama-sama.
Keadaan immobilisasi dari jaringan miofasial ini banyak disebabkan oleh
ergonomik kerja yang jelek, dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan
fibroblast dan banyak kolagen membuat ikatan tali (cross link). Cross link kolagen
secara fisiologis timbul perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam
jaringan, akibatnya menurunkan jarak kritis pada area ini. Disamping itu aliran
darah pada area akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia sehingga
mencetuskan timbulnya distabilitas fungsi leher.
2.3.3 Patologi Fungsional
Patologi fungsional sebagai akibat adanya patologi sindroma miofasial
sehingga menimbulkan disabilitas neck, meliputi bodyfuntion/structure
inpairment, activity limitation dan participation retriction yang dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal. Impairment pada level anatomik berupa inflamasi
dan adhesi pada miofasial, spasme serta taut band pada serabut otot. Impairment
akan menimbulkan impairment secara fisiologis atau kinesiologis berupa nyeri,
keterbatasan gerak leher dan pundak, posture kepala yang kedepan {Forward
head posture) (WHO, 2012)
2.3.3.1 Body structures/body functions impairment
Body structures impairment atau problematik anatomik pada penderita
sindroma miofasial otot trapezius descendens yaitu adhesi pada miofasial,
33
spasme otot, taut band pada serabut otot, tendernes, trigger points/tenderpoint.
Tightnes m trapezius descendens yang berakibat forward head posture dan
weakness m lower trapezius dan serratus anterior weakness deep cervical flexors
(Janda, 2002)
2.3.3.2 Body functions impairment
Problematik fisiologi pada penderita miofasial otot trapezius descendens antara
lain: hypomobilitas atau problem pola kapsuler sendi cervikal yaitu ROM lateral
fleksi diikuti keterbatasan ROM ekstensi leher dan elevasi scapula; hipertonus
jaringan kontraktil sendi leher (Diercks and Stevens, 2004; Magee, 2008;
Brotzman and Manske, 2011).
Forward Head Posture dapat ditimbulkan karena kontraksi terus menerus
otot trapezius decsendens, gerakan lateral elevasi dan scoliosis, Muscle spasme
juga terjadi sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi dan metabolik lokal yang
terjadi ketika otot dalam keadaan kontraksi yang terus menerus, Nyeri yang
mengakibatkan disabilitas juga merupakan hasil dari adanya perubahan
lingkungan sirkulasi dan metabolik (Kisner and Colby, 2007).
Scoliosis fungsional dapat ditimbulkan oleh faktor postur tubuh yang buruk
dalam jangka waktu yang lama, seperti terbiasa dengan posisi miring di satu sisi
secara terus menerus yang berakibat otot spasme dan tighness otot trapezius
descendens sehingga menekan otot yang ke sisi dan keterbatasan gerak yang
mengakibatkan disabilitas (Kisner and Colby, 2007).
34
2.3.3.3 Activities limitation
Activity limitation sebagai akibat dari functional impairment, antara lain tidak
mampu duduk lama didepan komputer, tidak mampu menyetir mobil tidak
mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, tidak mampu perawatan diri misal
mandi, kesulitan dalam berpakaian, kesulitan membasuh badannya dengan air dan
sabun ke seluruh tubuh , memakai sampo, tidak dapat menganggkat dan
membawa beban berat atau dalam waktu lama , mengalami kesulitan melakukan
pekerjaan dengan duduk lama (Jurgel et al., 2005; Kelley et al., 2009; Hsu et al.,
2011).
2.3.3.4 Participation restrictions
Participation retriction sebagai akibat dari Activity limitation, antara lain
berupa hambatan didalam bekerja di kantor, terganggunya untuk berolah raga
hambatan melakukan aktivitas sosial di lingkungan sosialnya. Pasien tidak
percaya diri dan merasa kurang dibutuhkan oleh masyarakat lingkungannya,
hambatan untuk menyetir, hambatan disaat berbaring membungkuk, hambatan
untuk rekreasi , hambatan untuk mempertahankan posisi berdiri, mempertahankan
posisi leher, hambatan untuk bertanggung jawab dalam sutu pekerjaan (Jurgel et
al., 2005; Kelley et al., 2009; Hsu et al., 2011).
2.3.3.5 Faktor Eksternal Dan Internal
a. Trauma pada jaringan, baik akut maupun kronik akan menimbulkan kejadian
yang berurutan yaitu hiperalgesia dan spasme otot skelet, vasokontriksi kapiler.
35
Jaringan miofasial akan terjadi penumpukan zat-zat nutrisi dan oksigen ke
jaringan serta tidak dapat dipertahankanya jarak antar serabut jaringan ikat,
sehingga akan menimbulkan iskemik pada jaringan myofascial.
b. Posture yang buruk akan menyebabkan stres dan strain pada otot trapezius
descendens, misalnya forward head posture , kifosis, scoliosis. Forward Head
Posture dimana posisi kepala terus jatuh kedepan yang mengakibatkan otot-
otot yang fungsinya sebagai stabilisasi kepala terulur secara terus menerus
menyebabkan kelemahan pada otot trapezius descendens (McKenzie and
Kubey, 2000).
c. Pada usia lanjut perubahan yang jelas pada sistem otot adalah berkurangnya
massa otot, terutama mengenai serabut otot type II. Penururnan massa otot ini
lebih disebabkan karena atropi. Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem
otot lebih disebabakan oleh disuse. Efek dari penuaan dan disuse terhadap
tubuh adalah sistem yang dimana otot dalam posisi yang statik sehingga otot
tidak ada penguluran.
d. Ergonomi kerja yang buruk yang berlangsung berulang-ulang dan dalam waktu
yang lama akan menimbulkan stress mekanik yang berkepanjangan, misalnya
seorang di depan komputer dengan layar yang terlalu tinggi agak jauh dari
kursi duduk.
e. Faktor psikososial beberapa penelitian mengidenditifikasi adanya hubungan
antara faktor-faktor psikososial dengan miofasial sindroma otot trapezius
descendens, Psikososial distress merupakan faktor psikososial yang
berhubungan dengan miofasial sindroma otot trapezius descendens.
36
2.4 Myofascial Release Technique (MRT)
2.4.1 Introduksi
Myofascial manipulasi atau dikenal sebagai myofascial release technique
adalah suatu bentuk terapi jaringan lunak yang digunakan untuk mengobati
disfungsi somatik yang menghasilkan nyeri dan keterbatasan gerak. Terapi ini
ditujukan pada fascia yang mengelilingi otot dan menghubungkan setiap sel otot
didalamnya (Cantu and Grodin, 2001).
Myofascial release technique merupakan teknik pengobatan yang
memfokuskan pada membebaskan keterbatasan gerak yang berasal dari jaringan
lunak tubuh. Myofascial release technique memfokuskan pada kondisi-kondisi
yang berkaitan dengan kebiasaan postural yang jelek, aktivitas spesifik atau
kurangnya aktivitas, kompensasi terhadap injury sebelumnya akibat mekanikal
stress yang kronik. Kondisi-kondisi tersebut sering menghasilkan kontraktur otot
dan adhesion diantara lapisan-lapisan fascia. Fascia membentuk struktur pasif
pada jaringan tubuh, adanya adhesion menyebabkan serabut fascia saling terikat
satu sama lain secara disfungsional (Grant and Riggs, 2009).
Metode ini berperan memberikan stretch atau elongasi pada struktur otot
dan fascia dengan tujuan akhir adalah mengembalikan kualitas cairan atau
lubrikasi pada jaringan fascia, mobilitas jaringan fascia dan otot, dan fungsi sendi
normal (Grant and Riggs, 2009).
Banyak manfaat dari myofascial release technique ini. Efek yang dapat
dirasakan tubuh seperti pengurangan rasa nyeri, peningkatan kinerja pada atletik,
37
fleksibilitas yang lebih baik dan gerak yang lebih mudah contohnya postur yang
bagus,dan jika digabungkan dengan metode konvensional dapat juga untuk
mengurangi oedema dan peradangan, pengurangan penggunaan analgesik,
pemulihan otot pasca trauma dengan baik dan meningkatkan lingkup gerak sendi
dari sendi yang terkena (Cantu and Gradin, 2001)
Metode MRT sangat berfokus pada bagaimana kebiasaan postur, aktifitas
spesifik atau kurangnya aktifitas, dan kompensasi kronis setelah cedera dan
gerakan yang menghindari lingkup gerak sendi yang penuh yang merupakan hasil
dari pemendekan unit otot dan perlengketan diantara lapisan fascia. Fascia
membentuk struktur pasif dari tubuh kita. Aplikasi MRT ini diperlukan kontrol
dan fokus pada tekanan, diterapkan ke arah yang dituju, berperan untuk
meregangkan atau memanjangkan struktur fascia (myofascial) dan otot dengan
tujuan memulihkan kualitas cairan/pelumas dari jaringan fascia, mobilitas
jaringan dan fungsi normal sendi (Riggs and Grant, 2008).
Gambar 2.6. Direct Myofascial Release Technique otot Trapezius
Descendens Sumber : (Faizah. 2015).
38
2.4.2. Penerapan Myofascial Release Technique pada Sindroma Miofasial otot
Trapezius Descendens.
Teknik aplikasi MRT, mencakup teknik general, skin rolling, direct technique,
dan lifting atau rolling. Dalam penelitian ini hanya dijelaskan direct technique.
Direct technique
Direct technique ini, terapis menggunakan lengan bawah, kedua palmar
tangan, atau suatu permukaan yang kasar. Perlu diingat bahwa penting
melakukan stretch yang cepat pada fascia baik dengan menggunakan posisi tubuh
untuk memanjangkan komponen fascia (meletakkan jaringan dalam posisi cukup
stretch untuk memanjangkan otot tanpa adanya ketegangan yang dapat
menyebabkan kesulitan penetrasi) atau dengan menggunakan anchor pada satu
tangan dan tangan lain melakukan stretch secara terlokalisir. Direct Technique ini
banyak digunakan dalam klinis (Grant and Riggs, 2009).
Otot diposisikan sepanjang mungkin sehingga receptor stretch terstimulasi
dan menyebabkan otot berkontraksi. Menguntungkan bagi terapis didalam
memulai teknik pada akhir lingkup gerak dimana jaringan fascial ter-stretch.
Ditambah lagi, pembebasan hambatan yang terjadi pada akhir lingkup gerak
stretch yang relaks dapat memberikan input neurologik yang bermakna terhadap
receptor stretch sehingga membantu reprogram learning terhadap disfungsi
pemendekan. Teknik ini cocok diaplikasikan pada otot quadratus lumborum,
dimana tungkai dipanjangkan ke bawah dan dorsal sementara sangkar thoraks
bagian bawah dipertahankan (Grant and Riggs, 2009).
39
Teknik ini bisa menggunakan anchor (jangkar) sebagai fixator dan aplikasi
stretch, dimana gaya gerakan atau gaya stretch yang terlokalisir pada area spesifik
yang mengalami penebalan atau adhesion. Anchor diletakkan pada area yang
fibrotik kemudian diposisikan otot kedalam posisi stretch sehingga stretch
terfokus pada titik tersebut ketika gaya stretch diaplikasikan (Grant and Riggs,
2009).
2.4.3 Prosedur Penerapan Myofascial Release Technique
Prosedur penerapan myofascial release technique adalah :
a) Pasien dalam posisi tidur terlentang dengan leher digerakkan kearah
sedikit fleksi, lateral fleksi dan rotasi sehingga terjadi pemanjangan pada
otot trapezius descendens.
b) Ibu jari tangan terapis melakukan stroking secara gentle pada serabut otot
yang mengalami spasme atau tightness.
c) Teknik ini dilakukan 15 kali stroking pada jaringan lunak setiap kali
kunjungan, frekuensi 3 kali seminggu dengan interval waktu 1 hari, jumlah
terapi sebanyak 6 kali.
2.4.4 Mekanisme Penurunan Disabilitas Leher Akibat Sindroma Miofasial
Melalui Myofascial Release Technique
Penelitian baru-baru ini menjelaskan bahwa pengobatan dengan myofascial
release technique dapat menghasilkan efek penyembuhan scar dan kolagen
(Cantu and Grodin, 2001).
40
2.4.2.1 Efek terhadap aliran darah dan temperatur
Peningkatan aliran darah dan temperatur cutaneus terjadi secara
signifikan setelah diberikan myofascial release technique. Peningkatan aliran
darah tersebut akan bertahan selama 30 menit dan setelah 30 menit terjadi
penurunan aliran darah. Penelitian mikroskopik menunjukkan bahwa tekanan
yang dihasilkan oleh myofascial release technique dapat dengan cepat membuka
kapiler-kapiler darah (dilatasi) sehingga terjadi peningkatan aliran darah. Reaksi
kapiler berdilatasi oleh stimulus tersebut (myofascial release technique) akan
diikuti oleh peningkatan temperatur cutaneous
2.4.2.2 Efek Terhadap Metabolisme
Myofascial release technique dapat mempengaruhi proses metabolik,
termasuk tanda-tanda vital dan hasil sisa-sisa metabolisme tubuh. Myofascial
release technique tidak mempengaruhi basal, tetapi peningkatan volume darah
dan aliran darah pada area tersebut dapat menyebabkan area tersebut membuang
sisa-sisa metabolisme atau cairan yang berlebihan selama pemberian myofascial
release technique sehingga terjadi penurunan nyeri yang berakibat menurunya
disabilitas leher sehingga aktivitas kehidupan sehari-hari seperti nyeri kepala,
membaca, bekerja, rekreasi, konsentrasi tidak terganggu.
2.4.2.3 Efek Terhadap Sistem Autonomik (Refleks Fisiologis)
Myofascial release technique dapat merangsang sirkulasi pada area tubuh
yang dimassage, kemudian secara refleks membuka jalur sirkulasi ke regio tubuh
41
lainnya. Peningkatan sirkulasi tersebut bersifat sekunder dari ketegangan
mekanikal yang diciptakan oleh myofascial release technique dimana langsung
merangsang jaringan tersebut.
Mekanikal friction yang dihasilkan oleh myofascial relase technique dapat
merangsang struktur-struktur didalam jaringan konektif khususnya sel mast. Sel
mast dirangsang maka akan menghasilkan histamin, dimana histamin merupakan
vasodilator. Vasodilatasi akan meningkatkan aliran darah ke area yang diobati dan
ke area lain yang menerima histamin melalui aliran darah. Peningkatan
permeabilitas kapiler dan venule (vena kecil) dapat menghasilkan diffusi yang
lebih cepat dan lebih komplit untuk membuang produk sisa-sisa metabolisme dari
jaringan ke darah.
2.4.2.4 Efek Terhadap Aktivitas Fibroblastik atau Sinthesis Collagen Selama
Proses Penyembuhan
Penelitian menunjukan bahwa myofascial release technique dapat
menghasilkan mobilisasi pada jaringan lunak dimana gerakan yang terkontrol
dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Jaringan lunak tubuh dapat
dibangkitkan melalui gaya internal dan gaya eksternal. Tanpa adanya stress pada
jaringan tersebut maka kekuatan regangan akan menurun. Beberapa ahli telah
mengobservasi efek gerakan terhadap aktivitas fibroblastic dalam proses
penyembuhan jaringan konektif, dimana jaringan fibril membentuk hampir
seluruh jaringan yang regenerasi. Adanya gaya eksternal dapat menyusun jaringan
fibril yang terbentuk. Cyriax dan Russel percaya bahwa gerakan pasif yang
42
lembut (gentle) pada jaringan lunak akan mencegah perlengketan abnormal dari
jaringan fibril tanpa mempengaruhi penyembuhan jaringan.
2.5 Ultrasound
2.5.1 Pengertian Ultrasound
Bunyi atau gelombang suara dimana terjadi peristiwa getaran mekanik
dengan bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu
dengan frekuensi yang bervariasi (Prentice, 1999).
Terapi Ultrasound adalah suatu usaha pengobatan yang menggunakan
mekanisme getraran dari gelombang suara dengan frekwensi lebih dari 30 KHz,
frekwensi yang umum digunakan antara 0,7 MHz dan 3 MHz. Ultrasound terbagi
menjadi 2 bagian yaitu termal ultrasound dan non termal ultrasound (Hoogland,
2010).
2.5.2 Generator Ultrasound
Pesawat ultrasound merupakan suatu generator yang menghasilkan arus
bolak balik berfrekwensi tinggi (high frequency alternating current) yang
mencapai 0,75 s.d 3 MHz. Arus ini berjalan menembus kabel koaksial pada
tranducer yang kemudian di konversikan menjadi vibrasi oleh adanya efek
piezoelektrik (Sadono, 2000).
Efek piezoelektrik ini pertama kali diperkenalkan oleh Pierre dan Jacques
Curie (1880), yang di peroleh dari vibrasi kristal quartz atau dari produk sintetis
kristal keramik berupa barium titanate maupun lead zirconate titanate.
43
Kristal ini dibentuk dengan ketebalan 2-3 mm melingkar sesuai dengan axis
elektrik, kemudian dieratkan pada bagian dalam permukaan tranducer. Saat di
aliri arus atau beda potensial, kristal ini akan mengalami vibrasi baik secara
kompresi maupun ekspansi dengan frekwensi sama dengan sinyal elektrik yang
datang. Umumnya frekwensi yang di hasilkan oleh generator adalah 1 dan 3 MHz.
Gambar 5.1 Ultrasound Sumber (Enraf, 2010)
2.5.3 Penyebaran Efek Ultrasound Dalam Jaringan
Efek penyebaran ultrasound dalam jaringan bergantung pada :
1. Kedalaman Penetrasi
Kedalaman penetrasi tergantung pada absorpsi dan penyebaran pancaran
ultrasound selama dalam jaringan.
44
2. Absorpsi
Merupakan penerimaan panas yang di konversikan dari energi akustik oleh
adanya penyebaran ultrasound dalam jaringan. Menurut Michloyitz, 1990
absorpsi ultrasound berkaitan dengan kandungan protein dalam jaringan.
Tabel 2.2
Absorpsi Ultrasound
Tissue type Attenuation Protein content
Bone 96% per cm 20-25%
Cartilago 68% per cm
Tendon 59% per cm
Skin 39% per cm
blood vessel 32% per cm 15-20%
Muscle 24% per cm 10-15%
Fat 13% per cm
blood 3% per cm
Beberapa jaringan yang dapat diberikan ultrasound :
Superficial bone peripheal nerves
Joint capsules myofascial interface
Tendon Cell membranes
Scar tissue
Ultrasound frekwensi tinggi (3 MHz) akan lebih mudah di absorpsi dari
pada berfrekwensi rendah ( 1 MHz), (Wadsworth, Chanmugam, 1988).
45
3. Penyebaran (scattering)
Merupakan penyebaran secara refleksi maupun refraksi ultrasound dari
permukaan tak beraturan atau inhomogenitas kedalam jaringan.
2.5.4 Frekwensi
ultrasound merupakan jumlah iscilasi gelombang suara yang dicapai dalam
waktu satu detik yang dinyatakan dengan megahertz (MHz). Umumnya frekwensi
yang di pergunakan dalam terapi ultrasound adalah 1 dan 3 MHz, Penelitian ini
menggunakan 1 MHz.
2.5.5 Penentuan Dosis/Intensitas
Merupakan rata-rata energi yang dipancarkan tiap unit area, dan dinyatakan
dalam watt per sentimeter persegi (W/cm²). sedangkan power ialah total output
dari tranducer yang dinyatakan dalam watt (W).
Total power output (watts)
Intensitas = _________________________
ERA pada transducer (cm²)
Umumnya intensitas untuk terapi ultrsound ini berkisar antara 0 s.d 5 W/cm².
namun yang sering di pergunakan dalam klinik berkisar antara 0,5 s.d 2 W/cm².
Daam penelitian ini menggunakan 1 MHz, agar diperhatikan bahwa pemberian
46
ultrasound dengan intensitas tinggi dapat mengakibatkan terjadinya unstable
cavitation ataupun mikrotrauma jaringan (Tim Watson, 2010).
Tabel dibawah ini menunjukkan pulse ratio dan duty cycle dalam presentase
siklus
Tabel 2.3
Pulse Ratio
Mode Pulse Ratio Cycle Duty
Continues 100 %
Pulse 1 : 1 50 %
1 : 2 33 %
1 : 3 25 %
1 : 4 20 %
2.5.6 Efek Fisiologis Ultrasound
1. Efek Termal dan Implikasi klinisnya
a. Meningkatkan Ekstensibilitas colagen dari tendon, kapsul sendi dan
scar tissue
b. Meningkatkan konduksi syaraf motor maupun sensor dengan
meningkatkan ambang rangsang rasa nyeri.
c. Mempengaruhi aktivitas kontraktil otot rangka, mengurangi aktivasi
muscle spindel, mengurangi spasme otot yang secara sekunder
menyebabkan nyeri
d. Melancarkan sirkulasi darah.
47
2. Efek Fisiologi non termal dan implikasi klinisnya
a. Menstimulasi pelepasan histamin dari sel mast oleh adanya
degranulasi
b. Stimulasi pelepasan serotonin dari sel darah
c. Stimulasi pelepasan chemotactic agents dan growth factor dari
makrofag
d. Stimulasi pembentukan kapiler darah baru oleh sel-sel endotel
e. Stimulasi fibroblast untuk meningkatkan sintetis protein
f. Meningkatkan kandungan kolagen
g. Meningkatkan velositas konduksi saraf motor dan sensor yang akan
meningkatkan ambang nyeri
2.5.7 Efek Klinis Ultrasound
1. Efek termal
a. Memudahkan penguluran jaringan dan Lingkup Gerak Sendi (LGS)
b. Mengurangi nyeri
c. Menurunkan peradangan kronis
2. Efek non termal
a. Mempercepat penyembuhan luka
b. Mempercepat penyembuhan dengan mempercepat akhir peradangan
48
2.5.8 Implikasi Klinis
1. Mempercepat penyembuhan luka dengan percepatan fase awal
peradangan
2 Mempercepat penyembuhan luka dengan percepatan fase akhir
peradangan
3 Mempercepat penyusutan luka akibat kurangnya pembentukan scar
tissue
4. Mempercepat penyembuhan luka dengan perbaikan sirkulasi yang
memerlukan sintesis colagen
5. Mempercepat penyembuhan dengan memproduk kolagen yang hilang
6. Meningkatkan daya lentur jaringan
7. Mengurangi nyeri
2.5.9. Tissue Target
Kondisi sindroma miofasial otot trapezius descendens dimana yang terletak di
bagian badan ototnya yang berlapis-lapis dengan kedalaman 3 centimeter akan
sangat efektif bila menggunakan ultrasound dengan frekweinsi 1 MHz dengan
intensitas 1 W/cm , pulses 20% dengan waktu 10 menit akan lebih mudah
diabsorbsi karena penyerapan dari efek panas ultrasound lebih luas (Wadsworth
1998, Chanmugam, 2012).
49
2.5.10 Prosedur Pelaksanaan Ultrasound
(1) Jelaskan kepada pasien tujuan, efek yang dirasakan selama pemberian
ultrasound.
(2) Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman dengan daerah leher terlihat
dengan jelas tidak terhalang oleh pakaian ataupun rambut, posisi pasien
duduk depan fisioterapis.
(3) Anjurkan pasien untuk memberitahu fisioterapis jika terdapat nyeri pada
otot ataupun jika nyeri yang dirasakan bertambah berat karena hal tersebut
menandakan bahwa kemungkinan terjadi burning di dalam jaringan
tersebut.
(4) Pastikan setiap tombol dalam posisi nol.
(5) Nyalakan mesin generator ultraasound kemudian atur frekwensi dan
intensitas yang sesuai untuk kondisi miofasial otot trapezius descendens
adalah frekwensi 1 MHz, pulsed 20%, intensitas 1 W/cm2 selama 10
menit.
(6) Kemudian koupling media diberikan pada treatment head yang digunakan
adalah aquasonik gel. Treatment head ditempatkan pada daerah leher
yang mengalami sindroma miofasial otot trapezius descendens, tranduser
di gerakkan secara longitudinal maksimal sepanjang 10 cm.
(7) Tanyakan pasien sensasi yang dirasakan sehingga intensitas dapat ditambah
atau dikurangi sesuai dengan toleransi pasien dan tidak melebihi 1 W/cm2.
50
(8) Setelah terapi selesai mesin dimatikan, leher sampai bahu pasien
dibersihkan dengan menggunakan tissue/lap bersih begitu juga dengan
treatment head dan alat dirapikan kembali.
(9) Tanyakan keluhan yang dirasakan pasien setelah terapi apakah berkurang
atau timbul keluhan lain.
(10) Pasien dianjurkan untuk datang setiap 3 kali seminggu.
Gambar 5.2. Aplikasi Ultrasound
Sumber : (Faizah 2015)
2.5.11 Mekanisme Penurunan Nyeri Sindroma Miofasial yang Berakibat
Disabilitas Leher Melalui Ultrasound.
Pemberian modalitas ultrasound dapat terjadi iritan jaringan yang
menyebabkan reaksi fisiologis seperti kerusakan jaringan, disebabkan oleh efek
mekanik dan thermal ultrasound. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan
terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis
51
sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi
sekunder atau dikenal “neurogenic inflammation”. Namun dengan terangsangnya
“P” substance tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih
terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan jaringan yang mengalami
kerusakan. Pengaruh gosokan juga akan membantu “venous dan lymphatic”,
sehingga akan menghasilkan pumping action dan fleksibilitas kapsul sendi
meningkat (Heru, 2001) .
Efek heating akan memberikan panas lokal pada kapsul sendi, otot ataupun
ligament yang dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah dan menghasilkan
peningkatan sirkulasi darah ke daerah tersebut sehingga zat-zat iritan penyebab
nyeri dapat terangkat dengan baik dan dapat masuk kembali ke dalam aliran darah
dan membantu dalam mengatasi spasme otot. Pengaruh panas dari ultrasound
yang lain yaitu meningkatkan aktivitas sel, vasodilatasi pembuluh darah yang
memberikan penambahan nutrisi, oksigen dan memperlancar pengangkutan sisa
metabolisme, namun demikian efek termal ultrasound pengaruhnya lebih kecil
mengingat durasi panas yang diperoleh hanya 1 (satu) menit pada tiap-tiap
jaringan.
2.6. Stretching Metode Janda (Contract Relax Stretching)
2.6.1. Pengertian Stretching
Stretching adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
setiap manuver terapi yang dirancang untuk meningkatkan perpanjangan jaringan
lunak, dengan demikian akan meningkatkan fleksibilitas dengan cara memperpan
52
jang struktur adaptif yang memendek dan menjadi hipomobile seiring berjalannya
waktu (Kisner and Colby, 2012).
Stretching metode Janda bertujuan mengulur jaringan otot yang tegang atau
kontraktur sehingga diperoleh penurunan spasme, meningkatkan kelenturan dan
diperoleh efek penurunan nyeri, memperbaiki posture sehingga akan berdampak
pada penurunan disabilitas leher. Konsep dasar Stretching metode janda untuk
mengulur jaringan otot. Janda mengklasifikasi apabila ada tightness, nyeri dan
spasme otot maka Janda menggunakan stretching dengan metode Contract Relax
Stretching dimana contract relax stretching ini dikembangkan dari technik PNF
(Pprofrioceptive Neuromuscular Fascilatation). Prinsipnya saat kontraksi
isometrik diperoleh peregangan pada tendon maupun miofasial, Pada saat relax
setelah kontraksi maka diperoleh penurunan tonus otot yang bersangkutan untuk
kemudian dilakukan peregangan (Janda, 2012).
Contract relax stretching merupakan kombinasi dari tipe stretching
isometrik dengan stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract
relax stretching yang dilakukan adalah memberikan kontraksi isometrik pada otot
yang memendek dan dilanjutkan dengan relaksasi dan stretching pada otot
tersebut (Kisner and Colby, 2012)
2.6.2 Respon Neurofisiologis Otot Terhadap Stretching Metode Janda
Stretching metode Janda dilakukan untuk mendapatkan[ efek rileksasi dan
pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat membutuhkan
53
waktu 20 detik untuk mencapai efek relaksasi sedangkan otot membutuhkan
waktu 2 menit untuk dapat mencapai efek rileksasi.
Efek contract relax stretching jangka panjang pada manusia didapatkan bahwa
individu yang mendapatkan contract relax stretching dengan durasi 7 detik menunjukkan
panjang otot yang maksimum. Contract relax stretching dengan durasi 7 dan 7 detik
dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ke 7 dan contract relax stretching
dengan durasi 7 mencapai efek maksimal pada minggu ke-10 sedangkan contract relax
stretching yang diberikan dengan durasi 30 detik dapat menghasilkan efek maksimal pada
minggu keenam dan ketujuh (Kisner and Colby, 2012).
Otot terulur dengan sangat cepat maka spindel otot berkontraksi untuk
menghantarkan rangsangan serabut afferen primer yang menimbulkan ekstrafusal
melaju dan tegangan otot meningkat. Peristiwa ini disebut monosinaptik refleks
stretch. Contract relax stretching yang dilakukan dengan kecepatan tinggi dapat
meningkatkan tegangan dalam otot. Sedangkan jika otot diulur dengan kekuatan
yang sedang dan perlahan-lahan maka laju golgi tendon organ dan inhibisi dalam
otot menyebabkan sarkomer memanjang. Penerapan prosedur contract relax
stretching pasien menunjukkan suatu kontraksi isometrik dari otot yang
mengalami ketegangan sebelum secara pasif otot dipanjangkan. Penerapan teknik
ini adalah bahwa kontraksi isometrik yang diberikan sebelum stretching dari otot
yang mengalami ketegangan akan menghasilkan rileksasi sebagai hasil dari
autogenic inhibition. Kontraksi isometrik akan membantu menggerakkan stretch
reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot yang
maksimal. Golgi tendon organ dapat terlibat dan menhambat ketegangan otot
sehingga otot dapat dengan mudah dipanjangkan (Kisner and Colby, 2007).
54
2.6.3 Klasifikasi Contract Relax Stretching
1. Contract Relax Stretching pasif : merupakan contract relax stretching yang
dilakukan dengan kekuatan dari luar tubuh yaitu dengan bantuan fisioterapis
yang diaplikasikan secara manual atau dengan alat bantu mekanik.
2. Contract Relax Stretching aktif : merupakan metode contract relax stretching
yang dilakukan secara aktif dengan kekuatan pasien sendiri yang bertujuan
untuk menginhibisi otot yang spasme dan memendek.
2.6.4 Respon Otot Terhadap Stretching Metode Janda (Contract Relax
Stretching)
Contract relax stretching diberikan pada otot maka pengaruh stretching
pertama terjadi pada komponen elastrik (aktin dan miosin) dan tegangan dalam
otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-
menerus otot akan beradaptasi dan hanya bertahan sementara untuk mendapatkan
panjang otot yang diinginkan (Kisner and Colby, 2012).
Contract relax stretching yang dilakukan pada serabut otot pertama kali
mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot.
Sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih antara komponen miofilamen
tebal dan komponen miofilamen tipis akan meningkat. Penguluran (stretch)
terjadi apabila area yang tumpang tindih ini akan berkurang yang menyebabkan
serabut otot memanjang. Serabut otot saat berada pada posisi memanjang yang
55
maksimum maka seluruh sarkomer terulur secara penuh dan memberikan
dorongan kepada jaringan penghubung yang ada di sekitarnya, sehingga pada saat
ketegangan meningkat serabut kolagen pada jaringan penghubung berubah
posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Saat terjadi suatu
penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu
pada kondisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Penguluran terjadi ketika
menyebabkan serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur dirubah
posisinya sehingga menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima.
Perubahan dan pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut / scarred untuk
kembali normal (Kisner and Colby, 2007).
Otot pada saat diulur beberapa dari serabutnya akan memanjang tetapi
beberapa serabut otot yang lain mungkin berada pada posisi yang diam. Panjang
yang dihasilkan di dalam otot tergantung kepada jumlah serabut otot yang terulur.
Sesuai dengan Syner Stretch yaitu kantong-kantong kecil yang menahan serabut
otot menyebar di sepanjang otot tubuh yang terulur dan serabut otot yang lainnya.
Kekuatan total dari sebuah otot yang berkontraksi adalah merupakan hasil dari
sejumlah serabut otot yang berkontraksi, sehingga panjang total yang dihasilkan
oleh otot yang diulur juga merupakan hasil dari penguluran sejumlah serabut otot
sehingga semakin banyak serabut otot yang terulur akan menyebabkan semakin
besar panjang otot yang dihasilkan penguluran yang diberikan pada otot tersebut
(Kisner and Colby, 2007).
56
2.6.5. Prosedur Aplikasi Stretching Metode Janda
Lebih utama digunakan untuk memanjangkan jaringan kontraktil, metode ini
lebih agresif dari hold relax, Pertama kali pasien melakukan kontraksi isotonik
kemudian dilanjutkan dengan kontraksi isometrik selama 7 detik , setelah itu
rileks, kemudian dibawa keposisi elongasi yang lebih panjang kemudian ditahan 7
detik , prosedur ini di ulang 6 kali (Janda , 2012).
2.6.6 Prosedur Pelaksanaan Stretching Metode Janda
1. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman dan daerah yang menjadi target
terapi terlihat jelas tanpa terhalang baju dan rambut.
2. Jelaskan prosedur, tujuan dan efek Stretching metode Janda yang
dirasakan.
3. Fisioterapis berada disamping pasien, posisi tidur terlentang bahu pasien
netral) dengan lengan. telapak tangan fisioterapis memfiksasi distal
humerus pasien pada posisi yang sakit. .
4. Pasien melakukan inspirasi maksimal kemudian melakukan gerakan
abduksi melawan dorongan tangan fisioterapis yang diberikan dengan arah
berlawanan (ke medial) dan ditahan selama 7 detik, kemudian relaksasi
diikuti ekspirasi dan fisioterapis melakukan stretching kearah lateral fleksi
rotasi selama 7 detik, lakukan 6 kali pengulangan
5. Pasien dianjurkan untuk datang seminggu 3 kali.
57
Gambar : Stretching Metode Janda Sumber : (Faizah, 2015)
2.6.7 Mekanisme Penurunan Disabilitas Leher pada Sindroma Miofasial
Melalui Intervensi Stretching Metode Janda
Mekanisme penurunan nyeri yang berakibat disabilitas leher pada sindroma
miofasial otot trapezius descendens dengan intervensi Contract Relax Stretching
dengan adanya komponen Stretching maka panjang otot dapat dikembalikan
dengan mengaktifasi golgi tendon organ sehingga rileksasi dapat dicapai dengan
nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai Viscous Circle
dapat diputuskan. Pemberian intervensi Contract Relax Stretching dapat
mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri yang
berakibat terjadi disabilitas akibat adanya Abnormal Cross Link dapat diturunkan.
Semua ini terjadi karena saat diberikan intervensi Contract Relax Stretching
serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika terjadi maka
58
akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau Abnormal Cross Link
pada ketegangan akibat sindroma miofasial.
Kontraksi isometrik selama 7 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal
akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Kontraksi
maksimal juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga memicu rileksasi
otot setelah kontraksi (Reverse Innervation) yang menyebabkan terjadinya
pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon (Janda, 2012).
Metode contract relax stretching rileksasi setelah kontraksi isometrik
maksimal dilakukan 7 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal
yang difasilitasi Reverse Innervation. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi
maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan
peregangan secara bersamaan pada saat rilexsasi dan ekspresi maksimal maka
diperoleh pencapaian panjang otot yang tightness/kontraktur lebih maksimal
karena contract relax melalui mekanisme stretch relax, autogenic inhibition
sehingga dapat dikatakan bahwa stretching pada maksimal range of motion
(ROM) akan merangsang golgi tendon organ sehingga timbul relaksasi pada otot
antegonis (Chaitow, 2001).
Kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping action
sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung dengan baik
sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaxsasi setelah kontraksi maksimal dari otot
tersebut, dengan demikian maka pengangkutan sisa-sisa metabolisme (P
substance) dan asetabolic yang diproduksi melalui proses inflamasi dapat berjalan
dengan lancar sehingga rasa nyeri dapat berkurang Kontraksi isometrik pada
59
intervensi contract relax stretching akan membantu menggerakkan stretch
reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal.
Kontraksi isometrik ini terjadi penurunan stroke volume jantung, diafragma
menekan organ dalam dan pembuluh darah yang ada di dalamnya sehingga
menekan darah agar keluar dari organ dalam. Kontraksi isometrik selama 7 detik
yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal
yang ada pada seluruh otot. Kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus golgi
tendo organ sehingga memicu relaksasi otot setelah kontraksi (reverse
innervation) yang menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di
dalam intermiofibril dan tendon (Kisner and Colby, 2007).
2.7 Disabilitas Leher
Disabilitas diartikan sebagai sebuah difinisi payung dimana didalamnya
terdapat impairment (body function dan body structure), activity limitation dan
participation retrictions. Impairment adalah masalah yang terjadi pada tingkatan
body function dan body structure dan aktivity limitation adalah suatu bentuk
kesulitan individual dalam menyesuaikan gerakan atau aktivitas, sedangkan
participation retriction adalah masalah yang terjadi pada individu dalam
menghadapi kehidupannya (WHO, 2012).
Neck Disability Index (NDI) adalah untuk mengukur disabilitas leher secara
khusus. untuk membuat kita memahami lebih baik bagaimana nyeri leher dapat
mempengaruhi kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari - hari.
60
Kuisionernya memiliki 10 macam pertanyaan yang terfokus pada nyeri dan
aktifitas hidup sehari – hari termasuk intensitas nyeri, perawatan diri sendiri,
mengangkat, membaca, sakit kepala, konsentrasi, status bekerja, mengemudi,
tidur dan rekreasi. Pengukurannya dirancang untuk diberikan kepada pasien dan
mengisi kuesiner, dapat memberikan informasi yang berguna untuk manajemen
dan prognosis pada mereka yang menderita disabilitas leher.
Penilaian neck disability index dinilai dengan menggunakan separately test,
dimana score separately memiliki 10 bagian dari setiap bagian memiliki nilai
masing –masing nilainya 0 - 5, yang kemudian dijumlahkan maka maksimal
adalah 50 (Fairbanks et al, 2008).
. Jika semua kuisioner penilaian terisi, maka jumlah skore maksimal penilaian
dikalikan 2 (2x50) menjadi 100. Jika tidak semua penilaian terisi maka total
pembagi adalah jumlah yang terisi dikalikan 5.
Rumus: Nilai pasien X 100 = ________ % DISABILITY
jumlah Kuisioner penilaian terisi X 5
Hasil score
Disabilitas dalam % Level Disabilitas
0 – 4 0 – 10 % Bukan disabilitas
5 – 14 10 – 28 % Mild Trapeszius
15 – 24 30 – 48 % Moderat
25 – 34 56 – 68 % Severe
Diatas 34 Diatas 60 % Komplit
61