BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Belajar€¦ · magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana....
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Belajar€¦ · magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana....
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Belajar
Purwanto (2011:38) mengatakan bahwa belajar adalah proses dalam diri
individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan
dalam perilaku. Belajar sebagai konsep mendapatkan pengetahuan dalam
praktiknya yang dianut. Guru bertindak sebagai pengajar yang berusaha
memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan peserta didik giat
mengumpulkan atau menerimanya. Proses belajar mengajar ini banyak
didominasi aktivitas menghafal. Peserta didik sudah belajar jika mereka sudah
hafal dengan hal-hal yang telah dipelajarinya (Suprijono,2009:3). Hal sama
disampaikan Joko Susilo (2009:23) mengatakan bahwa belajar adalah modifikasi
atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Dalam pengertian ini, belajar
adalah merupakan suatu proses, atau kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan.
Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni
mengalami. Hasil belajar bukan penguasaan dan latihan, melainkan perubahan
kelakuan.
Slameto (2010:2) mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Belajar sebagai suatu proses artinya kegiatan belajar terjadi
secara dinamis dan terus-menerus yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam
diri anak. Perubahan yang dimaksud dapat berupa pengetahuan (knowledge) atau
perilaku (behavior).
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar sesungguhnya
mengandung tiga unsur yaitu belajar merupakan perubahan tingkah laku,
perubahan tingkah laku itu terjadi karena didahului oleh proses latihan dan
pengalaman secara berulang–ulang dan perubahan tingkah laku karena belajar
bersifat relatif permanen dan secara terus menerus.
8
2.2 Pembelajaran IPA di SD
Ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu pegetahuan atau
sains yang semula berasal dari bahasa Inggris ‘scince’. Trianto (2010:136). Kata
‘science’ sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Latin ‘scientia’ yang berarti tahu.
Menurut Sri Sulistyorini (2007:8) menyatakan bahwa pembelajaran IPA harus
melibatkan keaktifan anak secara penuh (active learning ) dengan cara guru dapat
merealisasikan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan pada anak didik
untuk melakukan keterampilan proses meliputi: mencari, menemukan,
menyimpulkan, mengkomunikasikan sendiri berbagai pengetahuan, nilai-nilai,
dan pengalaman yang di butuhkan. Selanjutnya menurut Usman Samatowa
(2006:146) menyatakan bahwa pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan
IPA dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa diberi kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan, membangkitkan ide-ide siswa, membangun rasa ingin
tahu tentang segala sesuatu yang ada di lingkungannya, membangun keterampilan
(skill) yang diperlukan, dan menimbulkan kesadaran siswa bahwa belajar IPA
menjadi sangat diperlukan untuk dipelajari.
Trianto (2010:151-153) menyatakan bahwa pembelajaran IPA di sekolah
sebaiknya memberikan pengalaman pada peserta didik untuk belajar menguji
suatu pernyataan yang didapat dari pengamatan terhadap kejadian sehari-hari,
sehingga dari hasil pengujian tersebut mereka dapat memperoleh jawaban
sementara dari pengamatan yang dilakukan. Adanya jawaban sementara yang
dibuat dapat membantu peserta didik untuk berpikir logis terhadap suatu bentuk
peristiwa alam yang terjadi karena pembelajaran IPA itu dapat membantu
menjawab berbagai masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam yang terjadi.
Selanjutnya menurut Samatowa (2010:2) menyatakan bahwa IPA di SD
hendaknya membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu anak didik
secara alamiah. hal ini akan membantu mereka mengembangkan kemampuan
bertanya dan mencari jawaban atas berdasarkan bukti serta mengembangkan cara
berfikir ilmiah. Fokus program pengajaran IPA di SD hendaknya ditunjukkan
untuk memupuk minat dan pengembangan anak didik terhadap dunia mereka
dimana mereka hidup.
9
Jadi pembelajaran IPA di SD hendaknya melibatkan keaktifan anak secara
penuh dan memberi kesempatan kepada anak didik untuk mencari, menemukan,
menyimpulkan dan mengkomunikasikan sendiri berbagai pengetahuan, nilai-nilai,
dan pengalaman yang di butuhkan serta membuka kesempatan kepada anak didik
untuk memperoleh pemahaman secara mendalam dan pengalaman secara
langsung untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar secara ilmiah.
2.2.1 Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Tujuan mata pelajaran IPA menurut Permendiknas nomor 22 tahun 2006
adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebeseran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan dan ciptaan
Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep
IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran
tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA,
lingkungan, teknologi dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam
sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaaran untuk berperan serta dalam memelihara,
menjaga dan melestarikan lingkungan.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
Menurut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 ruang
lingkup mata pelajaran IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,
tumbuhan, dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaanya meliputi: cair, padat, dan
gas.
10
3. Energi dan perubahannya, yang meliputi: gaya, bunyi, panas,
magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana.
4. Bumi dan alam semesta, yang meliputi: tanah, bumi, tata surya dan
benda-benda langit lainnya.
Rungan lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi (1) makhluk hidup
dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan, dan interaksinya dengan
lingkungan, serta kesehatan, (2) benda/materi, sifat-sifat dan kegunaanya
meliputi: cair, padat, dan gas, (3) energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi,
panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana, (4) bumi dan alam semesta
meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya (BNSP:2006)
2.2.2 Karakteristik Siswa Kelas 5 Sekolah Dasar
Menurut Sugihartono, dkk, (2008:109), tahap perkembangan berpikir anak
dibagi menjadi empat tahap yaitu:
1. Tahap sensorimotorik (0-2 tahun)
2. Tahap praoperasional (2-7 tahun)
3. Tahap operasional konkrit (7-11 tahun), dan
4. Tahap operasional formal (12-15 tahun)
Berdasarkan uraian di atas, siswa kelas 5 Sekolah Dasar termasuk berada
pada tahap operasional konkrit dalam berpikir. Anak pada masa operasional
konkrit sudah mulai menggunakan operasi mentalnya untuk memecahkan
masalah-masalah yang aktual. Anak mampu menggunakan kemampuan
mentalnya untuk memecahkan masalah yang bersifat konkrit. Kemampuan
berpikir ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas mental seperti mengingat,
memahami, dan memecahkan masalah.
Rita Eka Izzaty, dkk (2008:116) membagi masa anak-anak di Sekolah Dasar
menjadi dua fase yaitu masa anak kelas rendah (kelas I sampai dengan kelas 3),
dan masa anak kelas tinggi (kelas 4 sampai dengan kelas 6). Masa anak kelas
rendah berlangsung antara usia 7-9 tahun, sedangkan masa anak kelas tinggi
berlangsung antara usia 9-12 tahun. Kelas 5 Sekolah Dasar tergolong pada masa
anak kelas tinggi. Anak kelas tinggi Sekolah Dasar memiliki karakteristik sebagai
berikut:
11
1. Perhatian tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari.
2. Ingin tahu, ingin belajar, dan berpikir realitas.
3. Timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus.
4. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi
belajarnya di sekolah.
5. Anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk
bermain bersama, mereka membuat peraturan sendiri dalam
kelompoknya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk
kelas 5 Sekolah Dasar termasuk berada pada tahap operasional konkrit dan
termasuk pada kelompok kelas tinggi. Anak kelas 5 Sekolah Dasar berpikir secara
realistis, yaitu berdasarkan apa yang ada di sekitarnya. Hal yang perlu
diperhatikan oleh guru IPA, bahwa anak pada tahap operasional konkrit masih
sangat membutuhkan benda-benda konkrit untuk membantu pengembangan
kemampuan intelektualnya. Oleh karena itu, guru seharusnya selalu mengaitkan
konsep-konsep yang dipelajari siswa dengan benda-benda konkrit yang ada di
lingkungan sekitar. Salah satu kegiatan pembelajaran yang memungkinkan anak
untuk dapat mempelajari segala sesuatu yang bersifat konkrit adalah
pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan alam sebagai sumber belajar.
2.3 Pembelajaran Kooperatif
Menurut Isjoni (2011:22) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif
berasal dari kata “kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-
sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu
tim. Sedangkan menurut Agus Suprijono (2009:54) menyatakan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah konsep lebih luas meliputi semua jenis kerja
kelompok termasuk bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh
guru.
Trianto (2007:42) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan
sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara
berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tidak
hanya sekedar belajar kelompok saja tapi pembelajaran kooperatif merupakan
12
strategi belajar dengan beberapa jumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil
yang tingkat kemampuannya berbeda-beda dimana dalam menyelesaikan tugas
kelompok, setiap anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling
membantu guna mecapai tujuan dalam pembelajaran tertentu. Selanjutnya Wina
(2013:242) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model
pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan/tim kecil, yaitu
antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar kemampuan akademik,
jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen).
Tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut: 1) untuk meningkatkan
partisipasi siswa, 2) untuk memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap
kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, 3) memberikan
kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang
berdeda latar belakangnya (Trianto,2007:42). Langkah-langkah pembelajaran
kooperatif oleh (Trianto,2009:66-67) adalah sebagaimana terlihat pada tabel
berikut:
13
Berdasarkan enam fase sintaks pembelajaran kooperatif di atas, maka
pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-
tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti
dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian
dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja
bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase
terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok
atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan
usaha-usaha individu.
Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) adalah
suatu model dimana siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok, lalu
secara acak guru memanggil nomor dari siswa. Ahmad Zuhdi (2010:64) . Senada
dengan itu, Afisanti Lusita (2011:77) juga menyatakan bahwa model
pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) merupakan metode belajar
dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian
secara acakuru memanggil nomor dari siswa.
2.3.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together
Menurut Miftahul Huda (2014:130) pada dasarnya Numbered Heads
Together (NHT) merupakan varian dari diskusi kelompok. Teknis pelaksanaanya
hampir sama dengan diskusi kelompok. Pertama-tama guru meminta siswa untuk
duduk berkelompok-kelompok. Masing-masing anggota diberi nomor. Setelah
selesai guru memanggil nomor untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Guru
tidak memberitahukan nomor berapa yang akan berpresentasi selanjutnya. Begitu
seterusnya hingga semua nomor terpanggil. Pemanggilan secara acak ini akan
memastikan semua siswa benar-benar terlibat dalam diskusi selanjutnya menurut
Anita Lie (2004:59) Numbered Heads Together (NHT) adalah suatu tipe dari
pembelajaran kooperatif pendekatan struktural yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkanjawaban
yang paling tepat. Sedangkan menurut Trianto (2007:62) Numbered Heads
Together (NHT) merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk
14
mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternative terhadap struktur
kelas tradisional.
Metode pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) adalah
penggunaan model cooperative learning tipe Numbered Heads Together (NHT)
yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide
dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Sebuah tekhnik pembelajaran
kooperatif dimana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar
dalam pelaksanaan pembelajaran menurut Lie (2005:59). Adapun tujuan dari
metode pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) ini adalah untuk
mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai
pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh bila mereka
mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian (Trianto,2010:85).
Jadi dapat disimpulkan Numbered Heads Together (NHT) adalah model
pembelajaran kooperatif dimana terdapat penomoran siswa dalam kelompok
untuk bekerja sama dalam menyelesaikan soal.
2.3.2 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together
(NHT) menurut Mifthaful Huda (2014:138) sebagai berikut:
1. Siswa dibagi dalam kelompok. Masing-masing siswa dalam
kelompok diberi nomor.
2. Guru memberikan tugas/pertanyaan dan masing-masing kelompok
mengerjakannya
3. Kelompok berdiskusi untuk menemukan jawaban yang dianggap
paling benar dan memastikan semua anggota kelompok
mengetahui jawaban tersebut.
4. Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang
dipanggil mempresentasikan jawaban hasil diskusi kelompok
mereka.
15
Langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Heads Together (NHT) menurut Trianto (2007:62) sebagai berikut:
a. Penomoran
Penomoran adalah hal yang utama dalam Numbered Heads Together
(NHT), dalam tahap ini guru membagi siswa menjadi beberapa
kelompok atau tim yang beranggotakan tiga sampai lima orang dan
memberi siswa nomor sehingga setiap siswa dalam tim mempunyai
nomor berbeda-beda, sesuai dengan jumlah siswa di dalam kelompok.
b. Pengajuan Pertanyaan
Langkah berikutnya adalah pengajuan pertanyaan, guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan yang diberikan dapat diambil dari
materi pelajaran tertentu yang sedang dipelajari, dalam membuat
pertanyaan usahakan dapat bervariasi dari yang spesifik hingga bersifat
umum dang dengan tingkat kesulitan yang bervariasi pula.
c. Berpikir Bersama
Setelah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari guru, siswa berpikir
bersama untuk menemukan jawaban dan menjelaskan jwaban kepada
anggota dalam timnya sehingga semua anggota mengetahui jawaban
dari masing-masing pertanyaan.
d. Pemberian Jawaban
Langkah terakhir yaitu guru salah atu nomor dan setiap siswa dari tiap
kelompok ang bernomor sama mengangkat tangan dan menyiapkan
jawaban untuk seluruh kelas, kemudian guru secara random memilih
kelompok yang harus menjawab pertanyaan tersebut, selanjutnya siswa
yang nomornya disebut guru dari kelompok tersebut mengangkat tangan
dan berdiri untuk menjawab pertanyaan. Kelompok yang lain yang
bernomor sama menanggapi jawaban tersebut.
16
Tabel 2.2
Sintak pembelajaran Numbered Heads Together
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas terdapat persamaan pada langkah-
langkah pembelajaran model kooperatif tipe NHT yang dikemukakan Miftahul
Huda (2014:138) dan Trianto (2007:62) yaitu siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok. Setiap siswa diberi nomor dan beberapa kelompok harus berdiskusi
dan mencari jawaban yang benar. Kemudian guru memenggil nomor siswa dan
nomor yang dipanggil harus melaporkan hasil kerja sama dalam kelompok.
17
Dari sintaks pembelajaran di atas, maka penerapan langkah-langkah
pembelajaran model kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dalam
penelitian iniadalah sebagai berikut
Tabel 2.3
Langkah-langkah pembelajaran Numbered Heads Together
Sesuai Standar Proses
18
2.4 Media Pembelajaran
Pengertian media menurut Arsyad (2006:3), Kata media berasal dari kata
latin medius yang secara harfiah berarti “tengah”, “perantara”, atau, “pengantar”.
Dalam bahasa arab, media adalah (wassail) atau pengantar pesan dari pengirim
kepada penerima pesan.istilah “media“ bahkan sering dikaitkan atau
dipergantikan dengan kata teknologi yang berasal dari kata latin “tekne’ bahasa
inggris “art” dan “logos” bahas indonesia “ilmu”. Menurut Hujar Sanaky,
(2009:3), media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan
pesan. Penggunaan media dalam proses pembelajaran cukup penting, hal ini dapat
membantu para siswa dalam mengembangkan imajinasi dan daya pikir. Dalam
pengertian yang lebih luas media pembelajran adalah alat, metode, dan tehnik
yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi
antara pengajar dan pembelajar dalam proses pembelajaran di kelas.
Menurut Azhar Arsyad, (2006:3), media apabila dipahami secara garis besar
adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat
siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam
pengertiian ini, guru, buku tek, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara
lebih khusus, pengertian media dalam proses pembelajaran dapat diartikan
sebagai media alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap,
memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal lebih lanjut
Azhar Arsyad, (2006:4), secara implisit mengatakan bahwa media pembelajaran
meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi
pengajaran, yang terdiri antara lain buku, tape recorder, kaset, vidio camera, vidio
recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi, dan
komputer. Dengan kata lain media adalah komponen sumber belajar atau bahan
fisik yang mengandung materi instruksional dilingkungan siswa yang dapat
merangsang siswa untuk belajar.
Menurut Basuki dan Farida, (2001:12) media ialah pembawa pesan yang
berasal dari suatu sumber pesan ( yang dapat berupa orang atau benda ) kepada
penerima pesan. Dalam proses belajar mengajar, penerima pesan ialah siswa.
Pembawa pesan (media) itu berinteraksi dengan siswa melalui indra mereka.
19
Siswa dirangsang oleh media itu untuk menggunakan indranya untuk menerima
informasi.
2.4.1 Peran Dan Fungsi Media
A. Peran Media
1. Mengatasi perbedaan pengalaman pribadi peserta didik.
2. Mengatasi batas-batas ruang kelas.
3. Mengatasi kesulitan apabila suatu benda secara langsung tidak
dapat diamati karena terlalu kecil.
4. Mengatasi gerak benda secara cepat atau terlalu lambat, sedangkan
proses gerakan itu menjadi pusat perhatian peserta didik.
5. Mengatasi hal-hal yang terlalu kompleks dapat dipisahkan bagian
demi bagian untuk diamati secara terpisah.
6. Mengatasi suara yang terlalu halus untuk didengar secara langsung
melalui telinga. Misalnya: alat bantu sistem pengeras suara.
7. Mengatasi peristiwa-peristiwa alam. Misalnya: terjadinya letusan
gunung berapi, pertumbuhan tumbuhan atau perkembang biakan
binatang, dapat digunakan media gambar, film, dan sebagainya.
8. Memungkinkan terjadinya kontak langsung dengan masyarakat
atau dengan keadaaan sekitar. Misalnya: kunjungan ke museum,
kebun binatang, dan sebagainya.
9. Memberika kesamaan/ kesatuan dalam pengamatan peserta didik.
10. Membangkitkan minat belajar yang baru dan membangkitkan
motivasi kegiatan belajar peserta didik.
B. Fungsi Media Menurut Derek Rowntree (Ahmad Rohani,1997:7), media
berfungsi:
1) Membangkitkan motivasi belajar.
2) Mengungkap apa yang telah dipelajari.
3) Menyediakan stimulus belajar.
4) Mengaktifkan respon peserta didik.
5) Memberikan balikan dengan segera.
20
Menurut Mc Known (Ahmad Rohani,1997:8), ada 4 fungsi yaitu:
1. Mengubah titik berat pendidikan formal, yaitu pendidikan yang
menekankan pada instruksional akademis menjadi pendidikan yang
mementingkan kebutuhan pendidikan peserta didik.
2. Membangkitkan motivasi belajar pada peserta didik karena :
a. Media pada umumnya merupakan sesuatu yang baru bagi
peserta didik, sehingga menarik peserta didik.
b. Penggunaan media memberikan kebebasan kepada peserta didik
lebih besar dibandingkan dengan cara belajar tradisional.
c. Media lebih konkrit dan mudah dipahami.
d. Mendorong peserta didik untuk ingin tahu lebih banyak.
e. Memberikan kejelasan (clarification)
f. Memberikan rangsangan (stimulation)
Selain dari pendapat di atas Basuki Wibawa (2001:13) juga mengungkap
fungsi media sebagai alat yang dapat digunakan dalam proses balajar mengajar
dengan dua cara, yaitu sebagai alat bantu mengajar dan sebagai media belajar
yang dapat digunakan sendiri oleh siswa. Media yang digunakan sebagai alat
bantu mengajar disebut dependent media. Media belajar yang digunakan oleh
siswa yang digunakan dalam kegiatan belajar mandiri disebut independent media.
Penggunaan media dalam pembelajaran, guru perlu :
a. Memahami media yang akan digunakan, dengan mengkaji dan
mengumpulan informasi sebanyak mungkin tentang media yang akan
digunakan.
b. Menyimpan media dan mencobanya sebelum digunakan di depan kelas.
c. Mengatur fasilitas dan lingkungan yang terkait dengan menggunakan
media, seperti tempat duduk siswa, ventilasi, pencahayaan ruangan, udara,
suasana, dan kondisi kelas.
d. Menyiapkan siswa, misal dengan menyampaikan terlebih dahulu kepada
siswa tentang garis besar materi pembelajaran, latar belakangnya,
keuntungan mempelajari materi tersebut, atau memberikan penekanan
terhadap hal-hal penting.
21
e. Menyediakan pengalaman belajar bagi siswa.
2.4.2 Prinsip-Prinsip Pemilihan Media
Menghasilkan suatu produk media pembelajaran yang baik maka
diperlukan prinsip dalam pemilihan media. Setyosari (2008:22) mengidentifikasi
prinsip-prinsip media sebagai berikut:
1. identifikasi ciri-ciri media yang diperhatikan sesuai dengan kondisi,
unjuk kerja (performance) atau tingkat setiap tujuan pembelajaran,
2. identifikasi kerakteristik siswa (pembelajar) yang memerlukan media
pembelajaran khusus,
3. identifikasi karakteristik lingkungan belajar berkenaan dengan media
pembelajar yang akan digunakan,
4. identifikasi pertimbangan praktis yang memungkinkan media mana
yang mudah dilaksanakan,
5. identifikasi faktor ekonomi dan organisasi yang menentukan
kemudahan penggunaan media pembelajaran.
Menggunakan media harus memperhatikan prinsip pemilihan media
terlebih dahulu. Prinsip-prinsip dalam pemilihan media pembelajaran menurut
Saud (2009:97) adalah sebagai berikut:
a) tepat guna, artinya media pembelajaran yang digunakan sesuai dengan
kompetensi dasar,
b) berdaya guna, artinya media pembelajaran yang digunakan mampu
meningkatkan motivasi siswa,
c) bervariasi, artinya media pembelajaran yang digunakan mampu
mendorong sikap aktif siswa dalam belajar.
Prinsip-prinsip media yang dipaparkan oleh Saud tersebut mengidentifikasikan
bahwa media yang tepat guna, berdaya guna, dan bervariasi dapat menjadi suatu
media pembelajaran yang baik. Isi media yang dirancang sesuai dengan
desain pembelajaran dapat menjadikan media berkualitas. Media yang
berkualitas akan menumbuhkan ketertarikan bagi peserta didik untuk belajar
menggunakan media
22
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
prinsip-prinsip pemilihan media harus diperhatikan dengan baik, sehingga
dapat menghasilkan suatu media pembelajaran yang menarik dengan materi yang
tepat.Belajar menggunakan media pembelajaran menjadi optimal. Media
pembelajaran yang baik adalah media pembelajaran yang mampu membantu
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Prinsip-prinsip pembuatan media
harusmemperhatikan beberap faktor. Faktor yang diperhatikan (1) perangkat
pembelajaran, (2) lingkungan belajar, (3) tempat belajar, (4) ekonomi sosial
budaya.
2.4.3 Media Konkrit
Media Benda Konkrit menurut Ibrahim dan Nana Syaodih (2003:119),
menyatakan bahwa “media benda konkrit adalah objek yang sesungguhnya yang
akan memberikan rangsangan yang amat penting bagi siswa dalam mempelajari
berbagai hal, terutama yang menyangkut pengembangan keterampilan tertentu.”
Bagi kaum konstruktifisme belajar diartikan sebagai usaha mengubah konsepsi
kognitif siswa melalaui usaha stimulan oleh guru menggunakan berbagai metode
dan media yang memadai dan mendukung ke arah tersebut.
2.4.4 Manfaat Media Konkrit
Penggunaan media konkrit dalam proses pembelajaran membawa dampak
yang sangat luas terhadap pola pembelajaran tingkat sekolah dasar. Sebagian
besar materi pembelajaran di SD bersifat imajinatif baik rasional maupun tidak,
baik yang menyangkut saintifik dan non sains. Hal tersebut berbeda dengan pola
pembelajaran sekolah kkejuruan yang mutlak harus menampilkan media asli ke
dalam ruang belajar. Akan tetapi dengan luasnya bidang pembelajaran di SD yang
meliputi IPA, IPS, Matematika, Bahasa hingga keterampilan sehingga
menyulitkan kita apabila semua pembelajaran harus dilengkapi dengan media
asli. Sehingga timbul gagasan untuk memanipulasi benda asli agar menjadi media
yang mendekati asli. Hal tersebut akan memudahkan siswa untuk membangun
struktur konsepnya di otak. Secara rinci berikut manfaat dari media konkrit:
23
1. memudahkan siswa dalam membangun struktur kognitif dalam
membentuk konsep.
2. memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran agar sesuai dengan
program yang sudah ditetapkan.
3. mengefektifkan proses pembelajaran
4. meningkatkan interaksi komponen pembelajaran
Seperti yang dikutip oleh Arsyad (2006:25), merinci manfaat media
pendidikan sebagai berikut:
a. Meletakkan dasar-dasar yang konkrit untuk berfikir, oleh karena
itu mengurangi verbalisme.
b. Memperbesar perhatian siswa.
c. Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar,
oleh karena itu membuat pelajaran lebih mantap.
d. Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan
kegiatan berusaha sendiri dikalangan siswa.
e. Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu, terutama
melalui gambar hidup.
f. Membantu tumbuhnya pengertian yang dapat membant
perkembangan kemampuan berbahaya.
g. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara
lain dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih banyak.
Manfaat media pembelajaran menurut Purnamawati dan Eldarni (2001:4)
yaitu:
1. Membuat konkrit konsep yang abstrak, misalnya untuk menjelaskan
peredaran darah;
2. Membawa objek yang berbahaya atau sukar didapat di dalam
lingkungan belajar;
3. Menampilkan objek yang terlalu besar, misalkan pasar, candi;
4. Menampilkan objek yang tidak dapat diamati dengan mata
telanjang;
5. Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat;
24
6. Memungkinkan siswa dapat berinteraksi langsung dengan
lingkungannya;
7. Membangkitkan motivasi belajar;
8. Memberi kesan perhatian individu untuk seluruh anggota kelompok
belajar;
9. Menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang
maupun disimpan menurut kebutuhan;
10. Menyajikan informasi belajar secara serempak (mengatasi waktu
dan ruang
11. Mengontrol arah maupun kecepatan belajar siswa.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa manfaat media pembelajaran benda konkrit yaitu:
1) Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis;
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra;
3) Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid
dengan sumber belajar;
4) Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan
kemampuan visual, auditori & kinestetiknya;
5) Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman &
menimbulkan persepsi yang sama.
Keunggulan media konkrit merupakan media yang saat ini paling
dianjurkan penggunaannya oleh para pakar pendidikan, praktisi pendidikan dan
pengamat pendidikan. Hal tersebut terjadi karna media konkrit memiliki banyak
keunggulan di antaranya adalah : memiliki tingkat obyektifitas yang tinggi,
mudah berinteraksi dengan siswa melalui segenap panca indra, memiliki
fleksibilitas yang tinggi dimana dapat digunakan untuk pembelajaran mata
pelajaran yang lain, dapat dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan, situasi dan
kondisi.
Kelemahan media benda konkrit dalam Mulyani Sumantri dan Johar
Permana (2001:176), kelemahan media benda konkrit antara lain: memerlukan
tambahan anggaran biaya pendidikan, memerlukan ruang dan tempat yang
25
memadai jika media tersebut berukuran besar, apabila media yang diperlukan
sulit didapat ditempat tersebut, maka akan menghambat proses pembelajaran,
baik guru atau siswa harus mampu menggunakan media pembelajaran tersebut.
Namun dari kelemahan penggunaan media benda konkrit tersebut diatas, tidak
akan mengurangi manfaat atau memberikan dampak kerugian yang begitu besar
terhadap proses pembelajaran.
2.5 Hasil Belajar
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:40-41) menyatakan bahwa hasil
belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari
sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental
yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat
perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor. Selanjutnya menurut Purwanto (2011:46) menyatakan bahwa
hasil belajar adalah perubahan perilaku peserta didik akibat belajar. Perubahan
perilaku disebabkan karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang
diberikan dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa
hasil belajar dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat
terselesaikannya bahan. Menurut Hamalik (2006:3) menyatakan bahwa hasil
belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku
pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak
mengerti menjadi mengerti.
Pendapat beberapa para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah perubahan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya dari hal yang tidak tahu menjadi tahu. Hasil
belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai
suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami
belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku.
26
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Menurut Slameto (2010:54), adapun faktor yang mempengaruhi hasil
belajar dapat dibedakan menjadi 2 golongan, yang meliputi: Faktor yang ada pada
diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu (intern), yang meliputi:
1. Faktor biologis, meliputi: kesehatan, gizi, pendengaran dan
penglihatan. Jika salah satu faktor biologis terganggu akan
mempengaruhi hasil prestasi belajar
2. Faktor Psikologis, meliputi: intelegensi, minat, dan motivasi serta
perhatian ingatan berfikir
3. Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan
jasmani nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar, dan haus.
Faktor yang ada pada luar individu yang di sebut faktor ekstern, yang
meliputi:
1. Faktor keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan terutama.
Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi bersifat
menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar
2. Faktor sekolah meliputi metode mengajar, kurikulum,hubungan guru
dengan siswa, siswa dengan siswa danberdisiplin di sekolah
3. Faktor masyaraka meliputi bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah
lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong
untuk lebih giat belajar.
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar di atas dapat
dikaji bahwa belajar itu merupakan proses yang cukup kompleks. Aktivitas
belajar siswa memang tidak selamanya menguntungkan. Kadang-kadang juga
lancar, kadang mudah menangkap apa yang dipelajari, kadang sulit menangkap
mata pelajaran. Dalam keadaan dimana siswa dapat belajar sebagaimana
mestinya, itulah yang disebut belajar. Tetapi di sini peneliti hanya meneliti
kemampuan, keterampilan dan sikap siswa saja.
Menurut Huda (2014:32) pembelajaran kooperatif mengacu pada metode
pembelajaran dimana siswa bekerja sama dalam kelompok kecil dan saling
27
membantu dalam belajar. Pembelajaran kooperatif umumnya melibatkan
kelompok yang terdiri dari 4 siswa dengan kemampuan yang berbeda dan ada
pula yang menggunakan kelompok dengan ukuran yang berbeda-beda selanjutnya
menurut Isjoni (2011:15) dengan model kooperatif dapat diterapkan untuk
memotivasi siswa berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat
teman, dan saling memberikan pendapat.
Dari beberapa ahli diatas Pembelajaran kooperatif merupakan model
pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang
dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompok -
kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang
difasilitasi oleh guru. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran
dengan setting kelompok-kelompok kecil dengan memperhatikan keberagaman
anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu
masalah melalui interaksi sosial dengan teman sebayanya, memberikan
kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada
waktu yang bersamaan dan ia menjadi narasumber bagi teman yang lain.
2.6 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Alustina Isyuniarsih dalam sikripsinya yang berjudul “Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif dan Afektif Pada Mata Pelajaran IPA
Melalui Penerapan Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) Pada
Siswa Kelas V SD Negeri 03 Ngumbul Kecamatan Todanan Kabupaten Blora
Tahun pelajaran 2011/2012.” Hasil penelitian menyebutkan bahwa hasil belajar
kognitif dan hasil belajar afektif siswa mengalami peningkatan. Peningkatan hasil
belajar siswa ada kondisi awal siswa yang tuntas 8 orang (33,33%) dan yang tidak
tuntas 16 orang atau (66,67%). Pada siklus I siswa yang tuntas 22 orang (91,67%)
dan yang tidak tuntas 2 orang (8,33%). Sedangkan pada siklus II semua siswa
yang terdiri dari 24 orang tersebut sudah memenuhi KKM atau semua dikatakan
tuntas 100%. Sedangkan untuk peningkatan hasil belajar afektif pada kondisi
awala kurang aktif (41,67%), pada siklus I menjadi cukup aktif (45,83%) dan
28
pada siklus II manjadi aktif (58%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan pembelajaran Numbered Heads Together dapat meningkatkan hasil
belajar afektif siswa kelas V SDN 03 Ngumbul, kecamatan Todanan, Kabupaten
Blora Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012. Dengan penerapan model
pembelajaran numbered heads together secara tepat dan sesuai standar proses,
sehingga keberhasilan tersebut tercapai.
Selain itu, penelitian tindakan yang dilakukan oleh Yuni Winarti dalam
skripsinya yang berjudul “Penggunaan Metode NHT (Numbered Heads Together)
Untuk Meningkatkan Keaktifan Dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SD Negeri
Banyumundul 02, Kabupaten Wonosobo, Semester 2 Tahun Pelajaran
2011/2012.” Juga menunjukkan peningkatan pada keaktifan dan hasil belajar
siswa. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terjadi peningkatan
keaktifan untuk mata pelajaran IPA kelas V semester 2 tahun pelajaran
2011/2012. Siswa yang mencapai KKM 65 dari 32 sebanyak 17 siswa satu
53,13% tuntas dan sebanyak 15 siswa atau 46,87% belum tuntas. Nilai rata-
ratanya adalah 66,25, sedangkan nilai tertinggi adalah 88 dan nilai terendah
adalah 52 dan siklus II sebanyak 36 siswa atau 100% dari jumlah siswa mencapai
ketuntas siklus II siswa yang mencapai KKM 65 sebanyak 36 siswa atau 100%
dan tidak ada siswa yang mendapat nilai dibawah KKM. Simpulan dari penelitian
tersebut adalah pembelajaran IPA menggunakan metode Numbered Heads
Together dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas V SD
Negeri Banyumudal 02, Kabupaten Wonosobo, semester 2 tahun pelajaran
2011/2012.
Dari dua penelitian terdahulu, dapat dilihat perbedaan yang cukup jelas,
diantaranya oleh Alustina Isyuniarsih yang berjudul Upaya Meningkatkan Hasil
Belajar Kognitif Dan Afektif Mata Pelajaran IPA Pada Siswa Kelas V SD Negeri
03 Ngumbul Kecamatan Todanan Kabupaten Blora Tahun Pelajaran 2011/2012.
Oleh Yuni Winarti (2011) yang berjudul Penggunaan Metode NHT Untuk
Meningkatkan Keaktifan Dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SD Negeri
Banyumundul 02, Kabupaten Wonosobo Semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012.
Penelitian terdahulu membuktikan bahwa model pembelajaran Numbered Heads
29
Together (NHT) dapat membantu proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil
belajar siswa. Mengacu pada penelitian terdahulu, maka peneliti ingin melakukan
penelitian lagi dengan menggunakan model pembelajaran yang sama. Meskipun
demikian, terdapat beberapa perbedaan antara penelitian yang dilakukan kali ini,
dengan penelitian-penelitian terdahulu. Perbedaan tersebut pertama bahwa pada
penelitian terdahulu, para peneliti belum menambahkan media konkrit dalam
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together
(NHT), peneliti menduga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kedua, subyek
penelitian. Pada penelitian terdahulu subyek penelitiannya adalah siswa sekolah
yang berbeda. Penulis berasumsi bahwa perbedaan subyek didik, merupakan
faktor lain yang akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Situasi sekolah yang
berbeda, fasilitas yang berbeda, tantangan masyarakat yang berbeda, demikian
juga pola asuh dari orang tua yang berbeda karena budaya yang berbeda tentu
berkontribusi terhadap hasil belajar siswa juga. Karena itu, dengan memilih
subyek penelitian yaitu siswa kelas 5 SDN Jombor Kecamatan Tuntang, peneliti
bermaksud melihat efektivitas penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT) berbantuan media konkrit dalam
meningkatkan hasil belajar siswa. Artinya, jika model ini efektif, maka model ini
akan menjadi rujukan bagi sekolah bersangkutan, maupun sekolah yang berbeda,
karena terbukti teruji pada sekolah yang tentu saja memiliki situasi yang berbeda-
beda.
2.7 Kerangka Berfikir
Ada berbagai macam cara guru untuk meningkatkan hasil belajar siswanya,
misalnya dengan menggunakan media yang beragam agar pembelajaran tidak
membosankan bagi siswa. Untuk itu salah satu model yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads
Together (NHT) berbantuan media konkrit dengan menggunakan model
pembelajaran ini dapat mengubah situasi kondisi belajar yang dapat
membangkitkan semangat belajar siswa serta dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Karena dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT) berbantuan media ini siswa dilatih untuk
30
berpikir kritis teliti dan melatih tanggung jawab sekaligus siswa dapat
mendapatkan pengalaman yang nyata atas apa yang dipelajarinya.
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
2.8 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan uraian pada landasan teori dan kerangka berpikir sebagaimana
yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah melalui
“Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Heads Together
(NHT) Berbantuan Media Konkrit Dapat Meningkatkan Hasil Belajar IPA Pada
Siswa Kelas 5 SDN Jombor Kecamatan Tuntang “.