BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pelayanan 2.1.1 ... 2.pdf2.1.1 Definisi Kualitas Pelayanan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pelayanan 2.1.1 ... 2.pdf2.1.1 Definisi Kualitas Pelayanan...
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kualitas Pelayanan
2.1.1 Definisi Kualitas Pelayanan
Menurut Tjiptono (2012) Kualitas, apabila dikelola dengan tepat,
berkontribusi positif terhadap terwujudnya kepuasan dan loyalitas pelanggan.
Kualitas memberikan nilai plus berupa motivasi khusus bagi para pelanggan untuk
menjalin ikatan relasi saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan
perusahaan.
Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berpengaruh dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan (Tjiptono, 2012). Sehingga definisi kualitas pelayanan dapat diartikan
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen. Kualitas
pelayanan (service quality) dapat diketahui dengan cara atau perolehan dengan
pelayanan yang sesungguhnya mereka harapkan. Jika jasa yang diterima atau
dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan
baik dan memuaskan. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari pada
yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk/tidak sesuai
dengan harapan konsumen.
Selanjutnya menurut Kotler (2004) kualitas pelayanan merupakan bentuk
penilaian konsumen terhadap tingkat pelayanan yang diterima (perceived service)
dengan tingkat pelayanan yang diharapkan (expected sevice). Apabila pelayanan
yang diterima atau yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas
9
10
pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Kepuasan yang telah dibentuk
dapat mendorong konsumen melakukan pembelian ulang dan nantinya akan
menjadi pelanggan setia.
Menurut Tjiptono (2012) apabila perceived service sesuai dengan expected
service, maka kualitas layanan akan dinilai baik atau positif. Jika perceived
service melebihi expected service, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai
kualitas ideal. Sebaliknya apabila perceived service lebih jelek dibandingkan
expected service, maka kualitas layanan dipersepsikan negatif atau buruk. Baik
tidaknya kualitas layanan tergantung pada kemampuan perusahaan dan stafnya
memenuhi harapan pelanggan secara konsisten.
Kepuasan pelanggan akan tercapai bila kualitas pelayanan yang dirasakan
oleh pelanggan sama dengan jasa yang diharapkan, dalam arti kesenjangan yang
terjadi adalah kecil atau masih dalam batas toleransi ( Daryanto, 2014).
2.1.2 Dimensi Kualitas Pelayanan
Dalam artikel Parasuraman, dkk 1985 (dalam Tjiptono, 2012) bahwa
terdapat 10 (sepuluh) dimensi pokok kualitas pelayanan sebagai berikut:
1. Reliabilitas, mencangkup dua aspek utama, yaitu konsistensi kinerja
(performance) dan sifat kepercayaan (dependability) yaitu kemampuan
perusahaan menyampaikan layanannya secara benar sejak awal, memenuhi
janjinya secara akurat dan andal.
2. Responsivitas atau daya tanggap yaitu kesediaan dan kesiapan para karyawan
untuk membantu dan melayani para pelanggan dengan segera, diantaranya
11
ketepatan waktu layanan, kecepatan menghubungi kembali pelanggan, dan
penyampaian layanan secara cepat.
3. Kompetensi, yaitu penguasaan ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan
agar dapat melayani sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Termasuk
didalamnya adalah pengetahuan dan ketrampilan karyawan.
4. Akses, meliputi kemudahan untuk dihubungi atau ditemui (approachability)
dan kemudahan kontak. Hal ini berarti lokasi fasilitas layanan mudah
dijangkau, waktu mengantri atau menunggu tudak terlalu lama, saluran
komunikasi mudah dihubungi.
5. Kesopanan (courtesy), meliputi sikap santun, respek, atensi dan keramahan
para karyawan.
6. Komunikasi, artinya penyampaian informasi kepada para pelanggan dalam
bahasa yang mudah dipahami, masalah yang mungkin timbul.
7. Kredibilitas, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya Kredibilitas mencangkup
nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakter pribadi karyawan dan
interaksi dengan pelanggan.
8. Keamanan (Security), yaitu bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan
termasuk di dalamnya adalah keamanan secara fisik (physical safety),
keamanan financial (finalcial security), privasi dan kerahasiaan
(confidentiality).
9. Kemampuan memahami pelanggan, yaitu berupa memahami pelanggan dan
kebutuhan spesifik mereka, memberikan perhatian individual, dan mengenal
pelanggan regular.
12
10. Bukti fisik (Tangibles), meliputi penampilan fasilitas fisik, peralatan,
personil, dan bahan-bahan komunikasi perusahaan.
Selanjutnya dalam riset berikutnya di tahun 1988, Parasuraman (Tjiptono,
2012) menyederhanakan sepuluh dimensi pelayanan menjadi lima dimensi pokok.
Kompetensi, kesopanan, kredibilitas, dan keamanan disatukan menjadi jaminan
(assurance). Sedangkan akses, komunikasi dan kemampuan memahami pelanggan
diintegrasikan menjadi empati (empathy).dengan demikian, terdapat lima dimensi
utama yang disusun sesuai urutan tingkat kepentingan relatifnya sebagai berikut:
1. Reliabilitas (Reliability), berkaitan dengan kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
2. Daya Tanggap (Responsiveness), berkenaan dengan kesediaan dan
kemampuan penyedia layanan untuk membantu para pelanggan dan merespon
permintaan dengan segera dan tanggap.
3. Jaminan (Assurance), berkenaan dengan pengetahuan dan kesopanan
karyawan serta kemampuan dalam menumbuhkan rasa percaya (trust) dan
keyakinan pelanggan (confidence).
4. Empaty (Empathy), berarti memahami masalah para pelanggan dan bertindak
demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal kepada
para pelanggan.
5. Bukti Fisik (Tangibles), berkenaan dengan penampilan fisik fasilitas
pelayanan, peralatan/perlengkapan, sumber daya manusia, dan materi/sarana
komunikasi.
13
2.1.3 Model untuk mengukur kualitas layanan
1. Model Servqual Parasuraman
Model kualitas layanan yang banyak dijadikan acuan dalam mengukur
kualitas layanan adalah model Servqual (service quality) yang dikembangkan oleh
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry terhadap enam sektor jasa (Tjiptono, 2012)
Model servqual bermanfaat dalam melakukan analisis gap yang biasanya
terjadi dan lima gap (kesenjangan) yang berpengaruh terhadap kualitas layanan.
Gap-gap yang biasanya terjadi dan berpengaruh terhadap kualitas layanan
meliputi :
1. Gap pertama ( Knowlegde Gap)
Kesenjangan antara harapan atau ekspektasi pelanggan aktual dan
pemahaman atau persepsi manajemen terhadap ekspektasi pelanggan (Knowledge
Gap). Kesenjangan ini terjadi karena ada perbedaan antara harapan pelanggan
aktual dan pemahaman atau persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan.
Penyempurnaan layanan pelanggan mutlak membutuhkan pemahaman atas apa
yang sesungguhnya dibutuhkan pelanggan berdasarkan perspektif pelanggan
sendiri.
2. Gap kedua ( Standards Gap)
Gap antara persepsi manajemen terhadap ekspektasi/harapan konsumen
dan spesifikasi kualitas layanan atau standards gap. Spesifikasi kualitas layanan
tidak konsisten dengan persepsi manajemen terhadap harapan konsumen.
Penyebabnya antara lain: tidak adanya standar kinerja yang jelas, kesalahan
perencanaan atau prosedur perencanaan tidak memadai, manajemen perencanaan
14
buruk, kurangnya penetapan tujuan yang jelas dalam organisasi, kurangnya
dukungan manajemen puncak terhadap perencanaan kualitas layanan, kekurangan
sumber daya, dan situasi permintaan berlebihan.
3. Gap ketiga (Delivery Gap).
Gap antara spesifikasi kualitas layanan dan penyampaian layanan (delivery
gap). Kesenjangan ini berarti spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja
dalam proses produksi dan penyampaian layanan. Penyebabnya antara lain: para
karyawan tidak menyepakati spesifikasi dan tidak berusaha memenuhinya, beban
kerja karyawan terlampau berlebihan, dan standar kerja tidak dapat dipenuhi
karyawan (terlalu tinggi atau tidak realistis).
4. Gap keempat (Communications Gap).
Gap antara penyampaian layanan dan komunikasi eksternal
(communications gap). Kesenjangan ini berarti bahwa janji-janji yang
disampaikan melalui aktifitas komunikasi pemasaran tidak konsisten dengan
layanan yang diberikan kepada para pelanggan. Hal ini disebabkan beberapa
faktor, diantaranya: perencanaan komunikasi antara pemasaran tidak terintegrasi
dengan operasi layanan, kurangnya koordinasi antara aktifitas pemasaran
eksternal dan operasi layanan, dan organisasi gagal memenuhi spesifikasi yang
telah ditetapkan. Iklan dan slogan serta janji-janji perusahaan sering kali
mempengaruhi harapan pelanggan. Jika penyedia layanan memberikan janji
berlebihan, maka resikonya harapan pelanggan bisa membumbung tinggi dan sulit
dipenuhi.
15
5. Gap kelima (Service Gap)
Gap antara persepsi terhadap layanan yang diterima dan layanan yang
diharapkan (service gap). Gap ini bisa menimbulkan sejumlah konsekuensi
negatif, seperti kualitas buruk (negatively onfirmed quality) dan masalah kualitas;
komunikasi gethok tular yang negatif; dampak negatif terhadap citra lokal; dan
kehilangan pelanggan. Kesenjangan ini berarti bahwa layanan yang dipersepsikan
tidak konsisten dengan layanan yang diharapkan. Kesenjangan ini terjadi apabila
pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan atau organisasi berdasarkan
kriteria atau ukuran yang berbeda atau keliru menginterpretasikan kualitas
layanan.
Menurut Tjiptono (2012) kunci utama mengatasi Gap 5 (service gap)
adalah menutup Gap 1 sampai Gap 4 melalui perencanaan sistem layanan secara
komprehensif, komunikasi dengan pelanggan secara terintegrasi dan konsisten,
dan pengembangan staf layanan atau sumber daya manusia (SDM) terlatih yang
mampu secara konsisten memberikan layanan prima. Selama masih ada gap,
persepsi pelanggan terhadap layanan perusahaan atau organisasi akan rendah.
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (Tjiptono, 2012), model
servqual meliputi analisis terhadap lima gap (kesenjangan) yang berpengaruh
terhadap kualitas layanan jasa. Adapun kesenjangan-kesenjangan tersebut dapat
digambarkan dengan model seperti Gambar 2.1.
16
PELANGGAN
GAP 5
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
PEMASAR GAP 4
GAP 1 GAP 3
GAP 2
Gambar 2.1 Model Konseptual Servqual,
Zeithaml (1990) (Tjiptono, 2012)
2. Model Importance-performance oleh Martilla dan James
Pada tahun 1977 Martilla dan James memperkenalkan suatu analisis yang
memperbandingkan antara tingkat kepentingan menurut pelanggan dengan
performance atau kinerja yang dihasilkan oleh suatu organisasi. Analisisnya
Komunikasi
Gethok Tular
Pengalaman Masa
Lalu
Kebutuhan
Pribadi
Kebutuhan
Pribadi
Layanan Yang
Diharapkan
Persepsi Manajemen Atas
Harapan Pelanggan
Spesifikasi Kualitas
Layanan
Penyampaian
Layanan
Persepsi terhadap
Layanan
Komunikasi
Eksternal kepada
Pelanggan
17
dikenal dengan nama Importance-Performance Analysis (IPA). IPA pada
dasarnya merupakan pengembangan dari model servqual dari Parasuraman dan
kawan-kawan dengan mengganti istilah-istilah persepsi atas layanan atau jasa
yang dirasakan dengan performance atau kinerja. Sedangkan istilah-istilah
layanan yang diharapkan atau expectation diganti dengan importance atau
kepentingan (Rangkuti, 2003).
Importance-Performance Analysis (IPA) pengembangan dari model
servqual, maka variable dan indikator yang digunakan dalam analisis ini juga
adalah sama dengan variabel-variabel dan indikator-indikator oleh Parasuraman
dkk., yaitu lima variabel yang terdiri atas 22 indikator.
2.1.4 Unsur-unsur Kualitas Pelayanan
Menurut Daryanto & Setyobudi (2014) unsur-unsur kualitas pelayanan
antara lain:
1. Penampilan
Penampilan Personal dan fisik sebagaimana layanan kantor depan (resepsionis)
memerlukan persyaratan seperti: wajah harus menawan, badan harus
tegap/tidak cacat, tutur bahasa menarik, familiar dalam perilaku, penampilan
penuh percaya diri, busana harus menarik.
2. Tepat waktu dan janji
Secara utuh dan prima petugas pelayanan dalam menyampaikan perlu
diperhitungkan janji yang disampaikan kepada pelanggan bukan sebaliknya
selalu ingkar janji.
18
3. Kesediaan melayani
Sebagaimana fungsi dan wewenang harus melayani kepada pelangan,
konsekuensi logis petugas harus benar-benar bersedia melayani para
pelanggan.
4. Pengetahuan dan keahlian
Sebagai syarat untuk melayani dengan baik, petugas harus mempunyai
pengetahuan dan keahlian. Petugas pelayanan harus memiliki tingkat
pendidikan tertentu dan pelatihan tertentu yang disyaratkan dalam jabatan serta
memiliki pengalaman yang luas dibidangnya.
5. Kesopanan dan ramah tamah
Masyarakat pengguna jasa pelayanan dan lapisan masyarakat baik tingkat
status ekonomi sosial rendah maupun tinggi terdapat perbedaan karakternya
maka petugas pelayanan masyarakat dituntut adanya keramahtamahan yang
standar dalam melayani, sabar, tidak egois, dan santun dalam bertutur kepada
pelanggan.
6. Kejujuran dan kepercayaan
Pelayanan ini oleh pengguna jasa dapat dipergunakan berbagai aspek, maka
dalam penyelenggaraannya harus transparan dari aspek kejujuran, jujur dalam
bentuk aturan, jujur dalam pembiayaan dan jujur dalam penyelesaian
waktunya. Dari aspek kejujuran petugas pelayanan dikatagorikan sebagai
pelayanan yang dipercaya dari segi sikapnya, dipercaya dari tutur katanya,
dapat dipercaya dalam penyelesaian akhir pelayanan sehingga otomatis
pelanggan merasa puas.
19
7. Kepastian hukum
Hasil pelayanan terhadap masyarakat harus mempunyai legitimasi atau
mempunyai kepastian hukum.
8. Keterbukaan
Keterbukaan akan mempengaruhi unsur-unsur kesederhanaan, kejelasan
informasi kepada masyarakat.
9. Efisien
Dari setiap pelayanan dalam berbagai urusan, tuntutan masyarakat adalah
efisiensi dan efektifitas dari berbagai aspek sumber daya sehingga
menghasilkan biaya yang murah, waktu yang singkat dan tepat serta hasil
kualitas yang tinggi. Dengan demikian efisiensi dan efektifitas merupakan
tuntutan yang harus diwujudkan.
10. Biaya
Pemantapan pengurusan dalam pelayanan diperlukan kewajaran dalam
penentuan pembiayaan, pembiayaan harus disesuaikan dengan daya beli
masyarakat dan pengeluaran biaya harus transparan dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Tidak rasial
Pengurusan pelayanan dilarang membeda-bedakan kesukuan, agama, aliran
dan politik dengan demikian segala urusan harus memenuhi jangkauan yang
luas dan merata.
20
12. Kesederhanaan
Prosedur dan tata cara pelayanan kepada masyarakat untuk diperhatikan
kemudahan, tidak berbelit-belit dalam pelaksanaan.
2.1.5 Cara Menjaga Kualitas Pelayanan
Salah satu upaya untuk menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan
hubungan yang lebih baik dengan anggota sebagai pelanggan adalah dengan cara
memberikan pelayanan berkualitas secara konsisten dan baik, serta memberikan
pelayanan yang lebih unggul dari pada pesaing (Salim, 2002).
Kualitas pelayanan hendaknya dilihat dari sudut pandang anggota, karena anggota
yang menentukan nilai kualitasnya.
Menurut Davis (1995), bahwa keunggulan dari koperasi adalah dalam hal
pelayanan dan kualitas yang sesuai dengan kehendak anggota. Oleh karena itu,
untuk memelihara kesetiaan anggota maka dalam pelayanan koperasi hendaknya
menggunakan program-program yang memberikan nilai tambah pada koperasi
dan produk di mata anggota, seperti membangun hubungan baik dalam jangka
panjang dengan para anggota, dan membangun komunikasi secara berkala melalui
penyebaran daftar pertanyaan seputar produk dan pelayanan yang dikonsumsi oleh
anggota.
Ropke (2000) yang menyatakan bahwa koperasi merupakan organisasi
yang anggotanya adalah sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pelanggan.
Sehingga upaya untuk menciptakan dan mempertahankan pelanggan atau anggota
hendaknya menjadi perioritas bagi koperasi. Manajer koperasi harus terus
berupaya agar anggotanya dapat menjadi pelanggan yang setia kepada koperasi.
21
Karena umumnya koperasi bergerak dalam bidang jasa, yaitu pemberian sarana
produksi dan komunikasi untuk anggota, pemasaran produk hasil usaha anggota,
serta jasa perkreditan.
2.2 Kepuasan Pelanggan
2.2.1 Definisi Kepuasan Pelanggan
Kepuasan adalah perasaan yang bersifat positif seperti senang dan bahagia
atau bersifat negatif seperti kecewa yang muncul dalam membandingkan antara
kinerja suatu produk atau jasa yang dirasakan dengan yang diharapkan. Apabila
kinerja tidak sesuai dengan keinginan, maka pelanggan akan menunjukkan
kekecewaan atau sikat negatif terhadap produk dan jasa yang ditawarkan, dan
sebaliknya apabila sesuai atau melebihi harapan maka akan timbul kepuasan
(Kotler dan Keller, 2009).
Kepuasan pelanggan menurut Rangkuti (2003), adalah respon pelanggan
terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja
aktual atau hasil yang dirasakan setelah pemakaian.
Selanjutnya menurut Tse & Wilton (dalam Tjiptono, 2012) kepuasan
pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi persepsi atas perbedaan
antara harapan awal sebelum pembelian (atau standar kinerja lainnya) dan kinerja
aktual produk sebagaimana dipersepsikan setelah memakai atau mengkonsumsi
produk bersangkutan.
Lebih lanjut menurut Tjiptono (2012) kepuasan pelanggan berpotensi
memberikan sejumlah manfaat spesifik, diantaranya: (1) berdampak positif
terhadap loyalitas pelangggan. (2) berpotensi menjadi sumber pendapatan masa
22
depan, terutama melalui pembelian ulang, cross-selling, dan up-selling. (3)
menekan biaya transaksi pelanggan di masa depan, terutama biaya-biaya
komunikasi pemasaran, penjualan, dan layanan pelanggan. (4) menekan volatilitas
dan resiko berkenaan dengan prediksi aliran kas masa depan. (5) meningkatkan
toleransi harga, terutama kesedian pelanggan untuk membayar harga premium dan
pelanggan cenderung tidak mudah tergoda untuk beralih pemasok. (6)
menumbuhkan rekomendasi gethok tular positif. (7) pelanggan cenderung lebih
reseptif terhadap product-line extension, brand extension, dan new add-on
services yang ditawarkan perusahaan, serta (8) meningkatkan bargaining power
relative perusahaan terhadap jaringan pemasok, mitra bisnis, dan saluran
distribusi.
2.2.2 Metode Mengukur Kepuasan Pelanggan
Menurut Tjiptono (2012) prinsip dasar yang melandasi pentingnya
pengukuran kepuasan pelanggan adalah doing best what matter most to customers
(melakukan yang terbaik aspek-aspek terpenting bagi pelanggan). Secara garis
besar ada empat metode yang digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan
yakni:
1. Sistem keluhan dan saran
Pelanggan menyampaikan keluhan dan saran melalui kotak saran di lokasi
strategis, kartu pos berperangko, saluran telepon bebas pulsa, website, email,
fax, blog dan lain lain.
23
2. Ghost shopping (mystery shopping)
Salah satu bentuk riset observasi partisipatoris yang memakai jasa orang-orang
yang menyamar sebagi pelanggan perusahaan dan pesaing dan merinci aspek-
aspek layanan dan kualitas produk.
3. Lost Customer Analysis
Menghubungi atau mewawancarai para pelanggan yang telah beralih pemasok
dalam rangka memahami penyebabnya dan melakukan perbaikan layanan.
4. Survei Kepuasan pelanggan
Metode survey digunakan baik via post, telepon, email, website, blog maupun
tatap muka langsung.
2.2.3 Loyalitas Pelanggan
Griffin (1995) menyatakan bahwa pelanggan yang loyal adalah pelanggan
yang memiliki ciri : melakukan pembelian secara berulang pada perusahaan yang
sama. Membeli melalui lini produk dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan
yang sama, memberitahukan kepada orang lain tentang kepuasan yang dirasakan
dan menunjukkan kekebalannya terhadap tawaran dari perusahaan pesaing. Oleh
karena itu, atribut-atribut yang digunakan dalam mengukur loyalitas pelanggan
menurut Griffin (1995) adalah sebagai berikut:
1.Make regular repeat purchases, yaitu dilakukannya pembelian secara berulang
2. Purchase across product and service line, dilakukannya pembelian melalui lini
produk.
3. Refers to other, direkomenasinya kepuasan yang dirasakan.
24
4. Demonstrate an immunity to the pull of the competition, ketahanannya terhadap
ajakan perusahan pesaing.
2.3 Koperasi
2.3.1 Definisi Koperasi
Undang-Undang No 25 Tahun 1992 pasal 1 menyatakan, Koperasi adalah
badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan azas kekeluargaan, Koperasi adalah
organisasi bisnis yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang-seorang demi
kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan azas kekeluargaan (Hendar & Kusnadi,
2005).
2.3.2 Prinsip koperasi
Prinsip koperasi adalah suatu sistem ide-ide abstrak yang merupakan
petunjuk untuk membangun koperasi yang efektif dan tahan lama (Daryanto,
2014). Prinsip koperasi menurut UU No. 25 tahun 1992 adalah:
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2. Pengelolaan dilakukan secara demokrasi
3. Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan jasa usaha masing-
masing anggota
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
5. Kemandirian
6. Pendidikan perkoperasian
25
7. Kerjasama antar koperasi
2.3.3 Bentuk dan Jenis Koperasi
Hendar & Kusnadi, (2005) menjelaskan bahwa jenis koperasi menurut
fungsinya terdiri atas :
1. Koperasi pembelian/pengadaan/konsumsi adalah koperasi yang
menyelenggarakan fungsi pembelian atau pengadaan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan anggota sebagai konsumen akhir. Di sini anggota
berperan sebagai pemilik dan pembeli atau konsumen bagi koperasinya.
2. Koperasi penjualan/pemasaran adalah koperasi yang menyelenggarakan fungsi
distribusi barang atau jasa yang dihasilkan oleh anggotanya agar sampai
ditangan konsumen. Di sini anggota berperan sebagai pemilik dan pemasok
barang atau jasa kepada koperasinya.
3. Koperasi produksi adalah koperasi yang menghasilkan barang dan jasa,
dimana anggotanya bekerja sebagai pegawai atau karyawan koperasi. Di sini
anggota berperan sebagai pemilik dan pekerja koperasi.
4. Koperasi jasa adalah koperasi yang menyelenggarakan pelayanan jasa yang
dibutuhkan oleh anggota, misalnya: simpan pinjam, asuransi, angkutan, dan
sebagainya. Di sini anggota berperan sebagai pemilik dan pengguna layanan
jasa koperasi (Hendar & Kusnadi, 2005)
2.3.4 Jenis koperasi berdasarkan tingkat dan luas daerah kerja
Koperasi mempunyai luas daerah kerja yang dimaksudkan agar dapat
dikelola dengan baik dan terstruktur sehingga koperasi dapat dibagi menjadi
koperasi primer dan koperasi skunder ( Daryanto, 2014)
26
1. Koperasi Primer yaitu koperasi yang minimal memiliki anggota sebanyak 20
orang perseorangan.
2. Koperasi sekunder adalah koperasi yang terdiri dari gabungan badan-badan
koperasi serta memiliki cakupan daerah kerja yang luas dibandingkan dengan
koperasi primer.
2.3.5 Kewirausahaan koperasi
Kewirausahaan koperasi adalah suatu sikap mental positif dalam berusaha
secara koperatif, dengan mengambil prakarsa inovatif serta keberanian mengambil
risiko dan berpegang teguh pada prinsip identitas koperasi, dalam mewujudkan
terpenuhinya kebutuhan nyata serta peningkatan kesejahteraan bersama
(Daryanto, 2014).
Dari definisi tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa kewirausahaan
koperasi merupakan sikap mental positif dalam berusaha secara koperatif
Tugas utama wirakop adalah mengambil prakarsa inovatif, artinya berusaha
mencari, menemukan, dan memanfaatkan peluang yang ada demi kepentingan
bersama. Kewirausahaan dalam koperasi dapat dilakukan oleh anggota, manajer
birokrat yang berperan dalam pembangunan koperasi dan katalis, yaitu orang yang
peduli terhadap pengembangan koperasi (Daryanto, 2014)
2.3.6 Pengurus koperasi
Pengurus koperasi dipilih dari kalangan dan oleh anggota dalam suatu
rapat anggota (Chaniago, 1983). Ada kalanya rapat anggota tersebut tidak berhasil
memilih Pengurus dari kalangan anggota sendiri. Hal itu terjadi jika calon-calon
yang berasal dari kalangan anggota sendiri tidak memiliki kesanggupan yang
27
diperlukan untuk memimpin koperasi yang bersangkutan, sedangkan yang dapat
memenuhi syarat ialah mereka yang bukan anggota atau belum menjadi anggota
koperasi (mungkin sudah turut dilayani oleh koperasi akan tetapi resminya belum
meminta menjadi anggota) (Chaniago, 1983).
2.3.7 Tujuan Koperasi
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh koperasi adalah untuk memajukan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut
membangun tatanan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat
yang maju, adil dan makmur berdasarkan UUD 1945. Anggota koperasi dapat
dikatagorikan ke dalam dua kelompok besar yaitu produsen dan konsumen,
sedangkan pendapatan anggota dikatagorikan berbentuk pendapatan nominal dan
pendaptan riil. Sumber pendapatan produsen adalah laba usaha yang lebih
berkonotasi dengan pendapatan nominal, sehingga tujuan koperasi produsen
adalah meningkatkan laba yang diraih oleh anggota. Sedangkan, pendapatan
konsumen adalah berasal dari sumber tertentu dan kesejahteraanya dapat diukur
dari pendapatan riilnya (Arifin, 2002).
2.3.8 Program Pelayanan Koperasi
Hanel (1992) menyatakan bahwa kopersi harus menyusun forderplan
(rencana pelayanan) yang jelas dan rasional di dalam menjalankan tugas-tugasnya
mempromosikan anggota. Selanjutnya, pada akhir masa kerja perlu disusun apa
yang disebut dengan neraca pelayanan ( forderbilanz). Oleh karena itu kualitas
pelayanan terhadap anggota harus menjadi pijakan utama manajeman koperasi.
28
Dengan demikian koperasi perlu menerapkan strategi biaya rendah dan keunikan
pelayanan di dalam mempromosikan anggota.
Anggota koperasi harus dilibatkan dalam penyusunan program dan
pengesahannya. Arifin (2002) menyebutkan bahwa tahap-tahap yang harus
ditempuh dalam penyusunan pelayanan koperasi adalah :
1. Identifikasi kegiatan ekonomi pada rumah tangga anggota
2. Merumuskan masalah ekonomi yang dihadapi oleh rumah tangga anggota
3. Menyusun alternatif pemecahan masalah dan menetapkan suatu alternatif yang
terbaik sebagai landasan penyusunan program pelayanan koperasi.
4. Menyusun rencana pelayanan koperasi untuk disahkan oleh rapat anggota
termasuk target pelayanan.
2.4 Hasil Penelitian Terdahulu.
Penelitian-penelitian sebelumnya yang digunakan untuk referensi dalam
penelitian ini tentang kualitas pelayanan, dan kepuasan. Hasil-hasil penelitian
terdahulu tentu sangat relevan sebagai referensi ataupun pembanding, karena
terdapat beberapa kesamaan prinsip, walaupun menggunakan variabel dan metode
penelitian yang berbeda-beda. Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan
dalam penelitian ini adalah:
1. Mustika (2007) dalam penelitiannya “Analisis Kepuasan Kelompok Tani dan
Kualitas Pendampingan Yayasan Maha Bhoga Marga di Bali menyatakan
Yayasan Maha Bhoga Marga belum mampu memberikan kualitas
pendampingan prima atau superior kepada kelompok berbasis pertanian yang
didampinginya. Hal ini terlihat pada kesenjangan-kesenjangan antara kualitas
29
pendampingan yang mampu diberikan oleh Yayasan Maha Bhoga Marga
dibandingkan dengan kualitas pendampingan yang diharapkan oleh kelompok
dampingan. Tetapi Yayasan Maha Bhoga marga telah mampu memberikan
tingkat kepuasan dengan kategori “sangat puas” pada kemampuan staf dalam
memberikan pendampingan dan dalam menumbuhkan kepercayaan kelompok
kepada mereka. Selanjutnya pada tingkat kepuasan dengan kategori “cukup
puas” untuk kepedulian staf terhadap kepentingan kelompok dan penampilan
fasilitas fisik organisasi, serta tingkat kepuasan dengan kategori “kurang puas”
pada kecepatan respon staf untuk membantu dan melayani kelompok
dampingan.
2. Sugiarta, 2006 dalam penelitiannya tentang ” Hubungan Dimensi Kualitas
Pelayanan Dengan Kepuasan Anggota Koperasi Pasar Srinadi di Kabupaten
Klungkung ” menyatakan kepuasan anggota koperasi pasar Srinadi
dipengaruhi oleh lima dimensi kualitas pelayanan yaitu kehandalan, jaminan,
daya tanggap, perhatian, wujud fisik. Kontribusi kelima dimensi tersebut
memberikan kepuasan sebesar 35% sisanya 65% ditentukan oleh faktor lain.
3. Abdhi, 2001 dalam penelitian tentang ” Faktor yang Mempengaruhi
Kepuasan Wisatawan menginap pada Hotel Berbintang di Kawasan Nusa
Dua” menyatakan bahwa tingkat kepuasan wisatawan dipengaruhi oleh lima
faktor yaitu fasilitas, keandalan, tanggapan, kenyamanan dan perhatian.
4. Pemayun (2003) dalam penelitiannya tentang ”Faktor yang Menentukan
Kepuasan Pelanggan PT. Bali Intercont Cargo di Denpasar” menyatakan
bahwa dari 26 variabel kualitas layanan yang diteliti terdapat enam faktor
30
yang menentukan kepuasan pelanggan dengan kontribusi terbesar adalah dari
faktor assurance. Sedangkan faktor tangibles hanya memberikan kontribusi
variasi sebesar 2,297%, faktor reliability sebesar 11,574% faktor
responsiveness sebesar 16,996%, faktor asurance sebesar 34,363%, faktor
emphaty sebesar 7,928% dan faktor recovery sebesar 4,719 %.
Dari penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yaitu pada variabel dan metode penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Mustika
(2007), Sugiarta (2006) dan Abdhi (2001) dengan menggunakan lima dimensi
kualitas pelayanan yaitu kehandalan, daya tanggap, jaminan, empati dan bukti
fisik. Sedangkan penelitian dari Pemayun (2003) dengan menggunakan enam
faktor kualitas pelayanan yang menentukan kepuasan pelanggan yaitu faktor
assurance, faktor tangibles, faktor reliability, responsiveness, faktor empati dan
faktor recovery. Metode penelitian yang digunakan oleh Sugiarta, Pemayun dan
Abdhi dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif, sedangkan metode
penelitian Mustika dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan
kuantitatif. Persamaan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama meneliti
kepuasan anggota/ pelanggan.
Pada Penelitian ini menganalisis tentang kualitas pelayanan yang diukur
dari kesenjangan antara pelayanan yang dirasakan dengan pelayanan yang
diharapkan oleh anggota koperasi. Tingkat kepuasan anggota Koperasi Unit Desa
Suraberata diukur dari indeks kepentingan menurut anggota dengan indeks
kinerja yang dihasilkan oleh Koperasi Unit Desa Suraberata.