BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran...

31
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Dalam penelitian ini, teori yang akan dikaji adalah: (1) pembelajaran matematika, (2) konsep mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan, (3) metode pembelajaran bermain peran, (4) pembelajaran matematika dengan materi mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan melalui metode bermain peran, (5) kerja sama, dan (6) hasil belajar. 2.1.1 Pembelajaran Matematika Pada hakikatnya, setiap manusia pasti pernah mengalami proses belajar dan pembelajaran dalam hidupnya. Proses belajar dan pembelajaran tersebut dapat berupa proses yang terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja, oleh karena itu istilah pembelajaran bukan merupakan istilah asing lagi. Terkadang istilah pembelajaran dan pengajaran disamaartikan dalam penggunaannya, padahal pembelajaran dan pengajaran merupakan dua hal berbeda. Suprijono (2012: 11-12) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan terjemahan dari learning dan pengajaran merupakan terjemahan dari teaching. Pengajaran adalah proses pengajaran, cara menyampaian, dan proses menyampaikan. Pengajaran mengakibatkan konstruksi belajar mengajar yang berpusat pada guru. Suprijono (2012: 13) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan mempelajari. Pada pembelajaran, guru bertugas menyediakan fasilitas belajar bagi siswa untuk mempelajari materi pembelajaran, dan subyek pembelajaran adalah siswa. Pembelajaran mengakibatkan proses konstruksi belajar mengajar yang berpusat pada siswa. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) (2007: 6) mengungkapkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien. Ghufron (2012: 8) menjelaskan bahwa pembelajaran bukanlah suatu proses yang

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran...

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

Dalam penelitian ini, teori yang akan dikaji adalah: (1) pembelajaran

matematika, (2) konsep mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan, (3)

metode pembelajaran bermain peran, (4) pembelajaran matematika dengan materi

mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan melalui metode bermain peran,

(5) kerja sama, dan (6) hasil belajar.

2.1.1 Pembelajaran Matematika

Pada hakikatnya, setiap manusia pasti pernah mengalami proses belajar

dan pembelajaran dalam hidupnya. Proses belajar dan pembelajaran tersebut dapat

berupa proses yang terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja, oleh karena itu

istilah pembelajaran bukan merupakan istilah asing lagi. Terkadang istilah

pembelajaran dan pengajaran disamaartikan dalam penggunaannya, padahal

pembelajaran dan pengajaran merupakan dua hal berbeda.

Suprijono (2012: 11-12) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan

terjemahan dari learning dan pengajaran merupakan terjemahan dari teaching.

Pengajaran adalah proses pengajaran, cara menyampaian, dan proses

menyampaikan. Pengajaran mengakibatkan konstruksi belajar mengajar yang

berpusat pada guru. Suprijono (2012: 13) menjelaskan bahwa pembelajaran

adalah proses, cara, perbuatan mempelajari. Pada pembelajaran, guru bertugas

menyediakan fasilitas belajar bagi siswa untuk mempelajari materi pembelajaran,

dan subyek pembelajaran adalah siswa. Pembelajaran mengakibatkan proses

konstruksi belajar mengajar yang berpusat pada siswa.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) (2007: 6) mengungkapkan

bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber

belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan,

dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien.

Ghufron (2012: 8) menjelaskan bahwa pembelajaran bukanlah suatu proses yang

8

singkat dan terukur dengan angka yang pasti, tetapi merupakan proses sepanjang

hayat tidak terbatas dan terus berkembang sesuai dengan kemampuan dan

dorongan dari diri maupun luar diri individu. Dari berbagai pendapat para ahli

tentang pembelajaran, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses interaksi siswa

dengan guru sebagai suatu usaha menciptakan kondisi untuk mempermudah siswa

belajar, di mana proses interaksi memerlukan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi

agar terlaksana secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Depdiknas (2006: 416) mengungkapkan matematika merupakan ilmu

universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran

penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Pembelajaran

matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk

membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,

dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Ruang lingkup pembelajaran

matematika SD meliputi aspek-aspek bilangan, geometri dan pengukuran, serta

pengolahan data (Depdiknas, 2006: 417).

Pembelajaran matematika SD bertujuan agar siswa memiliki kemampuan

sebagai berikut (Depdiknas, 2006: 417):

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep

dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,

efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh.

4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau

media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,

yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam

mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam

pemecahan masalah.

Pitadjeng (2006: 49) menjelaskan bahwa terdapat 2 (dua) hal yang harus

diupayakan guru untuk membantu siswa belajar secara maksimal dalam

pembelajaran matematika, yaitu memberi kesan matematika tidak sulit dan

9

menantang. Memberi kesan matematika tidak sulit adalah memberi siswa

persepsi, sehingga setelah siswa melihat, mendengar, atau menghadapi masalah

matematika, siswa merasa matematika tidak sulit dan memotivasi siswa untuk

mendapatkan hasil belajar maksimal. Cara yang dapat digunakan guru untuk

memberi kesan matematika tidak sulit antara lain (Pitadjeng, 2006: 49):

1) Memastikan kesiapan anak untuk belajar matematika.

2) Menggunakan media belajar yang mempermudah pemahaman siswa.

3) Memberikan permasalahan yang berupa masalah dalam kehidupan

sehari-hari.

4) Memberikan soal dengan tingkat kesulitan yang sesuai kemampuan

siswa.

5) Meningkatkan kesulitan masalah sedikit demi sedikit.

6) Memberi kebebasan kepada siswa untuk mencari penyelesaian

masalah yang dihadapi dengan caranya sendiri.

7) Menghilangkan rasa takut siswa untuk belajar matematika.

Pitadjeng (2006: 59) menjelaskan untuk memberi kesan matematika

menantang adalah memberikan persepsi kepada siswa bahwa matematika

merangsang siswa untuk belajar lebih giat dalam meningkatkan kemampuan

mengatasi masalah. Cara yang dapat digunakan guru untuk memberi kesan

matematika menantang antara lain (Pitadjeng, 2006: 59):

1) Memberikan kegiatan untuk mempelajari topik baru dengan

pendekatan permainan.

2) Memberikan masalah teka-teki.

3) Memberikan tantangan kepada anak untuk menyelesaikan suatu

masalah dengan disediakan hadiah bagi yang dapat.

4) Memberikan masalah kontekstual yang menarik minat anak.

5) Menunjukkan kebutuhan anak untuk belajar matematika dan

memberikan motivasi.

Dari berbagai pendapat para ahli tentang pembelajaran matematika,

pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai proses interaksi siswa dengan

guru sebagai suatu usaha guru menciptakan kondisi yang mempermudah siswa

belajar dan mengajarkan matematika pada siswanya dalam mencapai

tujuan/kompetensi matematika yang diinginkan. Pembelajaran matematika

merupakan proses konstruksi belajar mengajar yang berpusat pada siswa,

sehingga pembelajaran matematika menuntut guru berperan sebagai pembimbing

dan motivator siswa dalam belajar dengan cara menciptakan pembelajaran

10

matematika yang memberi kesan tidak sulit dan menantang siswa untuk mencapai

tujuan pembelajaran secara optimal.

2.1.2 Konsep Mengali dan Membagi Berbagai Bentuk Pecahan

Pitadjeng (2006: 129) menjelaskan bahwa banyak guru SD yang mengeluh

karena siswanya kesulitan dalam belajar bilangan pecahan, terutama pada saat

memecahkan masalah yang berkaitan dengan bilangan pecahan. Beberapa

kesulitan yang dialami siswa dalam belajar bilangan pecahan antara lain adalah

(Muhsetyo, dkk., 2008: 4.20-4.440):

1) Siswa kurang tahu makna dari pecahan, misalnya: , , dan .

2) Siswa kurang memahami perkalian bilangan asli dengan bilangan

pecahan.

3) Siswa mengalami kesulitan dalam memahami pecahan-pecahan yang

senilai.

4) Siswa mengalami kesulitan dalam membandingkan dan mengurutkan

pecahan.

5) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:

, , dan .

6) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:

2 , , , dan 4 .

7) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:

1 , , , dan .

8) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:

dan .

9) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:

.

10) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian sembarang

pecahan dengan kosep .

11) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil penjumlahan

dan pengurangan .

Salah satu penyebab kesulitan yang dialami siswa dalam belajar bilangan

pecahan adalah penerapan metode pembelajaran yang kurang tepat. Metode

pembelajaran yang kurang tepat kurang dapat menciptakan kondisi yang

mempermudah siswa belajar dan mengajarkan matematika oleh guru pada

11

siswanya. Muhsetyo, dkk. (2008: 4.20) mengungkapkan bahwa guru cenderung

menggunakan cara yang mekanistik, yaitu memberikan konsep secara langsung

untuk dihafal, diingat dan diterapkan, dimana cara pengajaran yang sama

dilakukan dari waktu ke waktu. Untuk menghindari pembelajaran dengan cara

mekanistik, guru hendak memahami terlebih dahulu konsep-konsep atau aturan-

aturan yang berlaku pada bilangan pecahan, pembuktian konsep dan contoh

penerapan konsep.

Karso, dkk. (2008: 7.4) menyimpulkan bahwa bilangan pecahan adalah

bilangan yang dapat dilambangkan , a dinamakan pembilang (numerator) dan b

diamaka penyebut (denumerator), di mana a dan b bilangan bulat dan b ≠ 0,

bentuk juga dapat diartikan a : b (a dibagi b). Terdapat dua macam pecahan,

yaitu (Karso, dkk., 2008: 7.7):

1) Pecahan murni atau sejati, yaitu pecahan yang pembilangnya lebih

kecil dari penyebutnya dan pecahan itu tidak dapat disederhanakan

lagi. Contoh: .

2) Pecahan campuran, yaitu pecahan yang terdiri dari campuran bilangan

bulat dan bilangan pecahan murni/sejati. Contoh: .

Pembelajaran matematika materi bilangan pecahan pada kelas 5 semester

II terdapat dalam Standar Kompetensi (SK) 5, di mana fokus penelitian ini adalah

KD 5.3 yang disajikan dalam tabel 2.1 berikut (Depdiknas, 2006: 427):

Tabel 2.1

SK dan KD Konsep Mengali dan Membagi Berbagai Bentuk Pecahan

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

5. Menggunakan pecahan dalam

pemecahan masalah.

5.3 Mengali dan membagi berbagai

bentuk pecahan.

Beberapa konsep yang terdapat dalam materi mengali dan membagi

berbagai bentuk pecahan yaitu:

1) Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan biasa.

Perkalian pecahan biasa dengan pecahan biasa: .

12

Contoh : .

Pembagian pecahan biasa dengan pecahan biasa: .

Contoh : .

Pembuktian :

terbukti.

2) Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan campuran.

Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan campuran dapat

dilakukan dengan cara mengubah pecahan campuran menjadi pecahan biasa,

sehingga pengerjaannya menjadi perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan

pecahan biasa. Perkalian pecahan biasa dengan pecahan campuran:

Contoh : .

: .

Pembagian pecahan biasa dengan pecahan campuran:

Contoh : .

: .

3) Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan desimal.

Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan desimal dapat

dilakukan dengan cara mengubah pecahan desimal menjadi pecahan biasa,

sehingga pengerjaannya menjadi perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan

pecahan biasa. Perkalian pecahan biasa dengan pecahan desimal:

Contoh : .

: .

Pembagian pecahan biasa dengan pecahan desimal:

Contoh : .

: .

13

4) Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan persen.

Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan persen dapat

dilakukan dengan cara mengubah pecahan persen menjadi pecahan biasa,

sehingga pengerjaannya menjadi perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan

pecahan biasa. Perkalian pecahan biasa dengan pecahan persen:

Contoh : .

: .

Pembagian pecahan biasa dengan pecahan persen:

Contoh : .

: .

5) Perkalian dan pembagian pecahan campuran dengan pecahan persen.

Perkalian dan pembagian pecahan campuran dengan pecahan persen dapat

dilakukan dengan cara mengubah pecahan campuran dan pecahan persen menjadi

pecahan biasa, sehingga pengerjaannya menjadi perkalian dan pembagian pecahan

biasa dengan pecahan biasa. Perkalian pecahan campuran dan pecahan persen:

Contoh : .

: .

Pembagian pecahan campuran dan pecahan persen:

Contoh :

: .

6) Operasi hitung campuran berbagai bentuk pecahan.

Contoh : .

:

.

Dengan memahami konsep-konsep, pembuktian konsep serta contoh

penerapan konsep dalam mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan, guru

dapat lebih mudah memilih metode pembelajaran yang tepat. Penerapan metode

14

pembelajaran yang tepat dapat menciptakan kondisi yang mempermudah siswa

belajar untuk lebih memahami konsep dalam mengali dan membagi berbagai

bentuk pecahan secara maksimal serta utuh, bukan belajar secara mekanistik saja.

2.1.3 Metode Pembelajaran Bermain Peran

Dalam suatu pembelajaran diperlukan sebuah metode pembelajaran

tertentu. Sudjana (2011: 76) mengungkapkan bahwa metode pembelajaran adalah

cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat

berlangsungnya pengajaran. Metode pembelajaran merupakan alat untuk

menciptakan proses belajar mengajar dengan interaksi edukatif agar dapat

menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Sependapat dengan Sudjana, Rohman

(2011: 180) menjelaskan bahwa metode pembelajaran merupakan cara praktis

yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pembelajaran agar siswa

dapat menerima secara efektif dan efisien. Metode pembelajaran dipilih

berdasarkan hakikat pembelajaran, karakteristik siswa, jenis mata pelajaran,

situasi dan kondisi lingkungan, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, serta

kelemahan dan kelebihan metode pembelajaran itu sendiri. Macam-macam

metode pembelajaran antara lain: ceramah, diskusi, praktik, bermain peran,

pemecahan masalah, inkuiri reflektif, penyampaian cerita, investigasi, dan kerja

lapangan. Salah satu metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran

matematika adalah metode bermain peran.

Sudjana (2011: 84) mengungkapkan bahwa metode sosiodrama dan role

playing dapat dikatakan sama artinya dan dalam penggunaannya sering

disilihgantikan. Role playing atau bermain peran adalah mendramatisasikan

tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Sependapat dengan

Sudjana, Huda (2013: 208-209) menjelaskan bahwa bermain peran adalah sejenis

permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan, dan edutainment yang

mengkondisikan siswa dalam situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu siswa

berada di dalam kelas dan membayangkan dirinya seolah-olah orang lain

(memainkan peran orang lain).

15

Bermain peran merupakan suatu cara penguasaan bahan pembelajaran

melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa dalam memerankan

dirinya sebagai tokoh atau benda mati lain. Tujuan penggunaan metode bermain

peran dalam suatu pembelajaran adalah (Sudjana, 2011: 85):

1) Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain.

2) Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab.

3) Dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi

kelompok secara spontan.

4) Merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah.

Metode pembelajaran bermain peran diorganisasikan berdasarkan

kelompok heterogen, di mana masing-masing kelompok menampilkan skenario

dan setiap siswa dapat berimprovisasi, namun tetap dalam batasan skenario yang

telah diberikan oleh guru. Dari berbagai pendapat para ahli tentang metode

bermain peran, metode bermain peran dapat diartikan sebagai suatu cara yang

digunakan untuk menguasai suatu bahan pembelajaran dengan menampilkan suatu

peran tokoh atau benda mati secara berkelompok dalam suatu situasi tertentu.

Penerapan metode bermain peran dalam suatu pembelajaran dapat efektif dan

efisien, apabila seorang guru harus memahami karakteristik yang dimiliki oleh

metode bermain peran, seperti langkah-langkah pembelajaran, serta kelebihan dan

kekurangan pembelajaran bermain peran.

2.1.3.1 Langkah-Langkah Metode Pembelajaran Bermain Peran

Dalam penerapan metode bermain peran, terdapat langkah-langkah

pembelajaran yang harus dilakukan. Ngalimun (2014: 174) mengungkapkan

langkah-langkah atau sintak metode pembelajaran bermain peran adalah:

1) Guru menyiapkan skenario pembelajaran.

2) Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajarai skenario.

3) Membentuk kelompok siswa.

4) Menyampaikan kompetensi.

5) Menunjuk siswa untuk menampilkan skenario yang telah dipelajari.

6) Kelompok siswa membahas peran yang ditampilkan.

7) Presentasi hasil kelompok.

8) Bimbingan kesimpulan dan refleksi.

16

Sependapat dengan Ngalimun, Sudjana (2011: 95) mengelompokkan

langkah-langkah penerapkan metode pembelajaran bermain peran ke dalam tiga

tahapan, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi atau tindak lanjut yang

masing-masing tahapan meliputi:

Tahap 1: Persiapan.

1) Menentukan dan menceritakan situasi sosial yang akan

didramatisasikan.

2) Memilih para pelaku.

3) Mempersiapkan pelaku untuk menentukan peranan masing-masing.

Tahap 2: Pelaksanaan.

1) Siswa melakukan sosiodrama.

2) Guru menghentikan sosiodrama pada saat situasi sedang memuncak

(tegang).

3) Mengakhiri sosiodrama dengan diskusi tentang jalan cerita, atau

pemecahan masalah selanjutnya.

Tahap 3: Evaluasi/tindak lanjut.

1) Siswa diberi tugas untuk menilai atau memberikan tanggapan terhadap

pelaksanaan sosiodrama.

2) Siswa diberi kesempatan untuk membuat kesimpulan hasil

sosiodrama.

Sependapat dengan Sudjana, Hamalik (2011: 215-217) secara lebih

terperinci menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam menerapkan metode

pembelajaran bermain peran adalah:

Tahap 1: Persiapan dan instruksi.

1) Guru memilih situasi-situasi masalah yang akan menjadi “sosiodrama”.

2) Seluruh siswa mengikuti latihan pemanasan, baik siswa yang sebagai

partisipasi aktif maupun siswa sebagai pengamat aktif.

3) Guru memberikan penjelasan tentang latar belakang dan deskripsi tentang

karakter yang akan diperankan dalam sosiodrama. Siswa bersama teman

dapat merancang ruangan dan peralatan yang diperlukan dalam sosiodrama

dengan bimbingan guru.

4) Guru menjelaskan peran-peran yang akan dimainkan dan memberikan

instruksi berkaitan dengan masing-masing peran kepada para audience.

Tahap 2: Tindakan dramatik dan diskusi.

1) Para aktor melakukan perannya, sedangkan para audience mengamati

jalannya permainan.

17

2) Bermain peran harus berhenti pada titik-titik penting atau ketika terdapat

tingkah laku tertentu yang menunttut dihentikannya permainan.

3) Keseluruhan kelas berpartisipasi dalam diskusi yang terpusat pada situasi

bermain peran.

Tahap 3: Evaluasi bermain peran.

1) Siswa memberikan keterangan, baik secara tertulis maupun dengan kegiatan

diskusi tentang hasil-hasil yang dicapai dalam bermain peran.

2) Guru menilai efektivitas dan keberhasilan bermain peran.

3) Guru membuat catatan atau jurnal tentang bermain peran yang telah

dilaksanakan dan dievaluasi untuk perbaikan bermain peran selanjutnya.

Dalam metode bermain peran menurut Hamalik, siswa yang bertugas

sebagai pengamat aktif disebut juga sebagai audience. Audience kelas dibagi

menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pengamat dan kelompok spekulator.

Masing-masing kelompok harus melaksanakan tugasnya. Kelompok pengamat

bertugas mengamati: perasaan individu karakter, karakter-katakter khusus yang

diinginkan dalam situasi, dan mengapa karakter merespons cara yang mereka

lakukan. Kelompok spekulator bertugas menanggapi pendapat kelompok

pengamat berdasarkan dari tujuan bermain peran dan analisis pendapat. Dalam

tahap diskusi, masing-masing kelompok audience menyampaikan hasil observasi

dan tanggapan-tanggapannya. Para pemeran juga dilibatkan dalam diskusi dengan

bimbingan guru untuk menumbuhkan pengalaman baru untuk mengamati dan

merespon situasi lain dalam kehidupan sehai-hari.

Pembelajaran yang menerapkan metode bermain peran umumnya hanya

menggunakan satu kali pemeranan, tetapi tidak menutup kemungkinan jika terjadi

lebih dari satu kali pemeranan. Dalam suatu pembelajaran yang menerapkan

metode bermain peran dengan menggunakan lebih dari satu kali pemeranan,

sintak pembelajaran yang harus dilaksanakan hampir sama dengan sintak

pembelajaran metode bermain peran dengan satu kali pemeranan, tetapi dalam

pelaksanaannya terjadi pengulangan dalam kegiatan pemeranan, diskusi, dan

evaluasi. Huda (2013: 116-117) menyebutkan sintak metode pembelajaran

bermain peran dengan menggunakan lebih dari satu kali pemeranan meliputi:

18

Tahap 1: Pemanasan suatu kelompok.

1) Guru mengidentifikasi dan memaparkan masalah.

2) Guru menjelaskan masalah.

3) Guru menafsirkan masalah.

4) Guru menjelaskan bermain peran.

Tahap 2: Seleksi partisipan.

1) Guru menganalisis peran.

2) Guru memilih pemain (siswa) yang akan melakukan peran.

Tahap 3: Pengaturan setting.

1) Guru mengtur sesi-sesi peran.

2) Guru menegaskan kembali tentang peran.

3) Guru dan siswa mendekati situasi yang bermasalah.

Tahap 4: Persiapan pemilihan siswa sebagai pengamat.

1) Guru dan siswa memutuskan apa yang akan dibahas.

2) Guru memberi tugas pengamatan terhadap salah seorang siswa.

Tahap 5: Pemeran.

1) Guru dan siswa memulai bermain peran.

2) Guru dan siswa mengukuhkan bermain peran.

3) Guru dan siswa menyudahi bermain peran.

Tahap 6: Diskusi dan evaluasi.

1) Guru dan siswa mereview pemeranan (kejadian, posisi dan

kenyataan).

2) Guru dan siswa mendiskusikan fokus-fokus utama.

3) Guru dan siswa mengembangkan pemeranan selanjutnya.

Tahap 7: Pemeranan kembali.

1) Guru dan siswa memainkan peran yang berbeda.

2) Guru memberikan masukan atau alternatif perilaku dalam langkah

selanjutnya.

Tahap 8: Diskusi dan evaluasi. Dilakukan sebagaimana tahap 6.

Tahap 9: Sharing dan generalisasi pengalaman.

1) Guru dan siswa menghubungkan situasi yang diperankan dengan

kehidupan di dunia nyata dan masalah-masalah lain yang mungkin

muncul.

2) Guru menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku.

Dari berbagai pendapat para ahli tentang langkah-langkah metode

pembelajaran bermain peran, maka langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam

menerapkan metode pembelajaran bermain peran adalah sebagai berikut.

19

Tabel 2.2

Langkah-Langkah Metode Pembelajaran Bermain Peran

Tahapan

Bermain Peran Kegiatan

Tahap I:

Persiapan.

1) Guru menyusun skenario bermain peran.

2) Siswa membentuk kelompok yang beranggota 5 orang.

3) Siswa mempelajari skenario bermain peran sebelum

pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

4) Siswa melakukan latihan pemanasan.

Tahap II:

Pelaksanaan.

Kegiatan Awal.

1) Siswa mengecek kesiapan belajar.

2) Siswa menerima motivasi dan apersepsi dari guru.

3) Siswa menyimak penjelasan guru tentang tujuan dan

teknik pembelajaran bermain peran.

4) Siswa menyimak penjelasan guru tentang kompetensi yang

akan dicapai.

Kegiatan Inti.

1) Siswa menyimak penjelasan guru tentang konsep materi

pembelajaran.

2) Siswa bertanya kepada guru tentang konsep materi

pembelajaran yang belum dimengerti.

3) Siswa berada dalam kelompok masing-masing.

4) Para aktor menampilkan skenario.

5) Para audience mengamati jalannya penampilan skenario.

6) Siswa bersama guru mereview penampilan skenario.

7) Siswa menerima tugas kelompok yang diberikan guru.

8) Siswa mendiskusikan tugas yang didapat.

9) Siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

10) Siswa bertanya tentang presentasi kelompok lain.

11) Siswa memberi masukan kepada kelompok lain.

12) Siswa bersama guru bertanya jawab meluruskan kesalahan

pemahaman dan memberikan penguatan positif terhadap

informasi yang telah didapat.

Kegiatan Akhir.

1) Siswa bersama guru melakukan refleksi serta menghu-

bungkan situasi yang diperankan dengan kehidupan di

dunia nyata dan masalah lain yang mungkin muncul.

2) Siswa bersama guru membuat kesimpulan pembelajaran.

3) Siswa mengerjakan soal evaluasi.

20

2.1.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Bermain Peran

Metode pembelajaran bermain peran memiliki beberapa kelebihan dalam

penerapannya. Huda (2013: 210) menyebutkan kelebihan penerapan metode

pembelajaran bermain peran antara lain:

1) Memungkinkan siswa untuk terjun langsung memerankan sesuatu

yang akan dibahas dalam proses pembelajaran.

2) Dapat memberikan kesan pembelajaran yang kuat dan tahan lama

dalam ingatan siswa.

3) Bisa menjadi pengalaman belajar menyenangkan yang sulit untuk

dilupakan.

4) Membuat suasanan kelas menjadi lebih dinamis dan antusiastis.

5) Membangkitkan gairah semangat dan optimisme dalam diri siswa

serta menumbuhkan rasa kebersamaan.

Sependapat degan Huda bahwa penerapan metode pembelajaran bermain

peran dapat memungkinkan siswa untuk terjun langsung memerankan sesuatu,

Hamalik (2011: 214) menjelaskan salah satu kelebihan penerapan metode

pembelajaran bermain peran yaitu siswa dapat bertindak dan mengekspresikan

perasaan dan pendapatnya tanpa adanya kekhawatiran akan mendapat sanksi,

apalagi ketika siswa mendiskusikan tentang isu-isu sosial yang bersifat manusiawi

dan pribadi. Dalam pembelajaran dengan metode bermain peran, siswa dapat

mengidentifikasi situasi-situasi dunia nyata dengan bimbingan guru, sehingga

memungkinkan siswa untuk mengubah perilaku dan sikap sebagaimana siswa

menerima karakter orang lain yang diperankan.

Sependapat dengan Huda bahwa penerapan metode pembelajaran bermain

peran dapat memberi kesan pembelajaran yang kuat dan tahan lama dan menjadi

pengalaman belajar menyenangkan yang sulit untuk dilupakan, Sudjana (2011:

90) mengungkapkan bahwa bermain peran ditujukan untuk mengkreasi kembali

peristiwa masa lampau, mengkreasi kemungkinan masa depan, mengekspose

kejadian masa kini, dan sebagainya. Penerapan metode bermain peran yang tidak

hanya terpaku dengan kejadian-kejadian yang terjadi saat ini, maka akan membuat

pembelajaran semakin berkembang dengan kemungkinan menampilkan kejadian

di masa lampau dan bahkan kejadian yang akan terjadi sebagai pengalaman baru

bagi siswa yang seolah-olah mengalaminya. Pengalaman baru yang didapatkan

21

siswa dalam pembelajaran akan memberi kesan pembelajaran yang

menyenangkan dan tahan lama.

Dalam penerapan metode bermain peran juga terdapat beberapa

kekurangan. Huda (2013: 211) menyebutkan kekurangan penerapan metode

pembelajaran bermain peran antara lain:

1) Memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk menyiapkan skenario

yang sesuai dengan tujuan pembelajaran serta untuk berlatih

menampilkan suatu peran.

2) Memerlukan penghayatan untuk menampilkan suatu peran.

3) Memerlukan suasana kelas yang kondusif.

4) Memerlukan kekompakan, kerja sama yang baik, dan sikap saling

menghargai antaranggota kelompok.

5) Tidak semua materi pelajaran dapat disampaikan dengan

menggunakan metode bermain peran.

Metode pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif, efisien, dan

mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan apabila guru dapat

memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan metode pembelajaran

yang digunakan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat

keberhasilan penerapan suatu metode pembelajaran, guru dapat menetapkan

beberapa indikator yang perlu diobservasi. Hamalik (2011: 217-218)

menyebutkan indikator keberhasilan dalam menerapkan metode pembelajaran

bermain peran antara lain:

1) Merencanakan suatu siatuasi yang bersifat terbuka yang

memungkinkan para karakter dapat berinteraksi.

2) Mempertimbangkan minat para siswa dalam dilema bermain peran.

3) Berupaya meyakinkan siswa, bahkan hak pribadi mereka tidak

terganggu dalam situasi bermain peran.

4) Menjelaskan situasi bermain peran kepada para siswa.

5) Meminta kepada para volunteer untuk ikut serta dalam bermain peran.

6) Menyediakan instruksi-instruksi bagi para pemeran dalam bermain

peran yang memberikan informasi adekuat untuk melakukan kegiatan.

7) Melaksanakan latihan-latihan pemanasan bagi para peserta/pemeran,

terutama untuk melakukan tindakan sewaktu bermain peran.

8) Memberikan tugas kepada para audience untuk berperan sebagai

pengamat atau sebagai spekulator dan menjelaskan tanggung jawab

mereka.

9) Melaksanakan penjelasan ulang bermain peran segera setelah

melakukan peran-perannya.

22

10) Menilai keberhasilan bermain peran berdasarkan balikan dari guru dan

komentar para siswa serta masukan lainnya.

Observasi dengan berpedoman pada indikator-indikator keberhasilan

penerapan metode pembelajaran bermain peran berguna untuk menentukan

prinsip-prinsip yang mendasari metode bermain peran dan langkah-langkah yang

perlu dilakukan agar pelaksanaan pembelajaran berhasil dan berjalan lancar.

Apabila hasil observasi menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi, maka

langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan dalam penerapan metode

pembelajaran bermain peran tepat, namun apabila hasil observasi menunjukkan

tingkat keberhasilan yang rendah, maka langkah-langkah pembelajaran yang

dilakukan dalam penerapan metode pembelajaran bermain peran kurang tepat dan

memerlukan beberapa perbaikan.

Berdasarkan pendapat para ahli tentang kelebihan dan kekurangan metode

pembelajaran bermain peran, maka aspek penilaian pelaksanaan proses

pembelajaran yang meliputi observasi aktivitas guru dan siswa, terdiri atas aspek

(1) persiapan, (2) kegiatan awal, (3) kegiatan inti, serta (4) kegiatan akhir.

2.1.4 Pembelajaran Matematika dengan Materi Mengali dan Membagi

Berbagai Bentuk Pecahan melalui Metode Bermain Peran

Pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai proses interaksi guru dan

siswa sebagai suatu usaha guru menciptakan kondisi yang mempermudah siswa

belajar dan mengajarkan matematika pada siswanya. Dalam pembelajaran

matematika, guru berperan sebagai pembimbing siswa untuk mencapai tujuan

pembelajaran secara optimal. Dalam pembelajaran matematika SD mencakup

materi yakni tentang bilangan, geometri dan pengukuran dan pengolahan data.

Pada materi bilangan, siswa SD akan mempelajari beberapa macam bilangan yang

salah satunya bilangan pecahan beserta operasi hitungnya.

Pada bilangan pecahan terdapat beberapa operasi hitung, antara lain adalah

perkalian dan pembagian. Dalam mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan,

siswa dituntut benar-benar memahami konsep yang berlaku sebab untuk

menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan mengali dan membagi berbagai

23

bentuk pecahan tidak dapat diselesaikan dengan cara belajar mekanistik, yaitu

siswa menerima konsep secara langsung untuk dihafal, diingat dan diterapkan.

Untuk menghindari cara belajar mekanistik, guru dapat membantu siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya terhadap konsep mengali dan

membagi berbagai bentuk pecahan dengan memilih metode pembelajaran yang

tepat. Terdapat berbagai macam metode pembelajaran yang dapat diterapkan

dalam pembelajaran pecahan, salah satunya adalah metode bermain peran.

Metode pembelajaran bermain peran dapat diartikan sebagai suatu cara

yang digunakan untuk menguasai suatu bahan pembelajaran dengan menampilkan

suatu peran tokoh atau benda mati secara berkelompok dalam suatu situasi

tertentu. Dari pengertian di atas tentang pembelajaran matematika dan metode

bermain peran, pembelajaran matematika dengan materi mengali dan membagi

berbagai bentuk pecahan melalui metode bermain peran merupakan usaha guru

menciptakan kondisi yang mempermudah siswa belajar dan mengajarkan

siswanya bahan pembelajaran matematika membagi pecahan dengan cara

menampilkan suatu peran tokoh atau benda mati secara berkelompok dalam

situasi tertentu. Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan materi

mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan melalui metode bermain peran

adalah sebagai berikut.

Tabel 2.3

Langkah-Langkah Pembelajaran Matematika dengan Materi Mengali dan

Membagi Berbagai Bentuk Pecahan melalui Metode Bermain Peran

Tahapan

Bermain Peran Kegiatan

Tahap I:

Persiapan.

1) Guru menyusun skenario bermain peran mengali dan

membagi berbagai bentuk pecahan.

2) Siswa membentuk kelompok yang beranggota 5 orang.

3) Siswa mempelajari skenario bermain peran sebelum

pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

4) Siswa melakukan latihan pemanasan.

Tahap II:

Pelaksanaan.

Kegiatan Awal.

1) Siswa mengecek kesiapan belajar.

2) Siswa menerima motivasi dan apersepsi dari guru tentang

mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan.

24

Tahapan

Bermain Peran Kegiatan

3) Siswa menyimak penjelasan guru tentang tujuan dan teknik

pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran mengali

dan membagi berbagai bentuk pecahan.

4) Siswa menyimak penjelasan guru tentang kompetensi yang

akan dicapai dalam pembelajaran mengali dan membagi

berbagai bentuk pecahan.

Kegiatan Inti.

1) Siswa menyimak penjelasan guru tentang konsep materi

pembelajaran mengali dan membagi berbagai bentuk

pecahan (eksplorasi).

2) Siswa bertanya kepada guru tentang konsep materi

pembelajaran yang belum dimengerti (eksplorasi).

3) Siswa berada dalam kelompok masing-masing (eksplorasi).

4) Para aktor menampilkan skenario (elaborasi).

5) Para audience mengamati jalannya penampilan skenario

(elaborasi).

6) Siswa bersama guru mereview penampilan skenario

(elaborasi).

7) Siswa menerima tugas kelompok yang diberikan guru

tentang mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan

(elaborasi).

8) Siswa mendiskusikan tugas yang didapat (elaborasi).

9) Siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok (elaborasi).

10) Siswa bertanya tentang presentasi kelompok lain (elaborasi).

11) Siswa memberi masukan kepada kelompok lain (elaborasi).

12) Siswa bersama guru bertanya jawab meluruskan kesalahan

pemahaman dan memberikan penguatan positif terhadap

informasi yang telah didapat (konfirmasi).

Kegiatan Akhir.

1) Siswa bersama guru melakukan refleksi serta menghu-

bungkan situasi yang diperankan dengan kehidupan di dunia

nyata dan masalah lain yang mungkin muncul dalam

mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan.

2) Siswa bersama guru membuat kesimpulan pembelajaran

tentang mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan.

3) Siswa mengerjakan soal evaluasi pembelajaran mengali dan

membagi berbagai bentuk pecahan.

2.1.5 Kerja Sama

Dalam suatu pembelajaran, kerja sama antaranggota kelompok diperlukan

untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam bentuk belajar bersama. Belajar

bersama merupakan proses belajar secara berkelompok di mana antaranggota

25

kelompok saling menghargai pendapat dan saling membantu satu sama lain.

Dalam pembelajaran kerja sama (pembelajaran kooperatif), tingkat kerja sama

merupakan kunci utama dalam proses pembelajaran, sebab jika siswa tidak dapat

mengembangkan kemampuan kerjasamanya dengan baik untuk mencapai tujuan

yang lebih besar, maka siswa akan kalah dan tidak dapat mencapai tujuan suatu

pembelajaran.

Huda (2013: 111) mengungkapkan yang mendasari pengembangan

pembelajaran kerja sama adalah kerja sama akan meningkatkan motivasi yang

jauh lebih besar daripada melalui lingkungan kompetitif individual. Sependapat

dengan Huda, Muschla (2009: 17) menjelaskan bahwa kerja sama membantu

mengembangkan penyelidikan dan pembahasan, serta para siswa sering kali lebih

banyak belajar ketika bekerja bersama-sama dibandingkan ketika mencoba

memecahkan masalah yang rumit sendirian, sebab banyak siswa yang merasa

enggan untuk berbagi ide dengan seluruh kelas dan merasa lebih berani untuk

berbagi ide dengan kelompok mereka. Kelompok yang bekerjasama mengerjakan

tugas-tugas matematika terlibat dalam berbagai aktivitas, antara lain membahas

dan mengerjakan tugas, mempertimbangkan cara memecahkan masalah, mencoba

berbagai strategi, mengumpulkan dan menganalisis data, meneliti solusi,

memutuskan cara mempertanggungjawabkan, serta berbagi hasil.

Huda (2013: 109) mengungkapkan sasaran utama pembelajaran kerja sama

adalah untuk membantu siswa belajar bekerjasama, mengidentifikasi dan

menyelesaikan masalah, baik yang sifatnya akademik maupun sosial. Sependapat

dengan Huda, Hamdani (2011: 33) menjelaskan bahwa penerapan pembelajaran

kerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari materi saja, tetapi siswa

juga mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan

kerja sama. Keterampilan kerja sama terdiri dari tiga tingkat, yaitu keterampilan

kerja sama tingkat awal, menengah, dan mahir (Hamdani, 2011: 33-34).

26

Tabel 2.4

Keterampilan Kerja Sama

Tingkatan Keterampilan

Tingkat Awal 1) Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan

pendapat untuk meningkatkan hubungan kerja dalam

kelompok.

2) Menghargai kontribusi, yaitu memerhatikan/mengenal

apa yang dikatakan atau dikerjakan anggota lain.

3) Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu setiap

anggota kelompok bersedia menggantikan dan

mengemban tugas/tanggung jawab dalam kelompok.

4) Berada dalam kelompok, yaitu setiap anggota tetap

dalam kelompok selama kegiatan berlangsung.

5) Berada dalam tugas, yaitu meneruskan tugas yang

menjadi tanggungjawabnya agar kegiatan dapat

diselesaikan tepat sesuai waktu yang ditentukan.

6) Mendorong partisipasi, yaitu mendorong semua

anggota kelompok berkontribusi pada tugas kelompok.

7) Mengundang orang lain, yaitu meminta orang lain

untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap tugas.

8) Menyelesaikan tugas dalam waktunya.

9) Menghormati perbedaan individu, yaitu bersikap

menghormati budaya, suku, ras, dan pengalaman siswa.

Tingkat Menengah 1) Menunjukkan penghargaan dan simpati.

2) Mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang

dapat diterima.

3) Mendengarkan dengan arif.

4) Bertanya.

5) Membuat ringkasan.

6) Menafsirkan.

7) Mengorgaanisasikan.

8) Mengurangi ketegangan.

Tingkat Mahir 1) Mengelaborasi.

2) Memeriksa dengan cermat.

3) Menanyakan kebenaran.

4) Menetapkan tujuan.

5) Berkompromi.

Penerapan pembelajaran kerja sama memiliki beberapa kelebihan dan

kekurangan. Salah satu kelebihan pembelajaran kerja sama antara lain adalah

siswa dapat bekerjasama dalam satu tim sehingga siswa lebih mudah memahami

materi. Kerja sama dalam kelompok juga akan membentuk kepercayaan diri

27

siswa, mengembangkan cara berpikir kritis, dan menghasilkan rasa kepemilikan

dalam tugasnya (Muschla, 2009: 18). Salah satu kekurangan pembelajaran kerja

sama antara lain adalah jika tidak terjalin kerja sama yang baik dalam suatu

kelompok (tidak kompak), maka suatu kelompok kurang dapat mengerjakan tugas

yang diberikan oleh guru secara optimal serta setiap siswa anggota kelompok akan

kurang memahami materi pembelajaran sebab kurang adanya diskusi untuk

bertukar pendapat dalam kelompok. Kerja sama yang kurang baik dalam

pembelajaran tidak akan menumbuhkan motivasi untuk belajar para anggota

kelompok, melainkan akan menjadi persaingan yang kurang sehat sehingga siswa

dapat merasa kurang nyaman dan terbebani untuk mengerjakan tugas yang

diberikan oleh guru secara berkelompok.

Untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan

pembelajaran kerja sama, guru harus berusaha membuat suasana yang terbuka

dengan kebiasaan-kebiasaan kerja sama positif. Suasana yang terbuka dengan

kebiasaan kerja sama positif akan menjadikan lingkungan belajar siswa menjadi

kondusif dan memudahkan siswa untuk belajar. Terdapat tiga macam lingkungan

belajar yang tercipta dalam pembelajaran kooperatif, yaitu (Ronis, 2009: 109):

1) Lingkungan yang kompetitif bermanfaat membuat siswa “berdiri

sendiri”, kompetitif dalam hal ini sebaiknya diartikan tingkat stress

minimal dan tingkat tantangan maksimal.

2) Lingkungan belajar individual bermanfaaat untuk membantu

mengembang-kan keterampilan introspeksi dan evaluasi pribadi yang

diperlukan untuk perkembangan metakognisi serta untuk praktik dan

ulangan.

3) Lingkungan belajar kerja sama bermanfaat membantu siswa belajar

bekerjasama untuk mencapai sasaran bersama.

Terdapat perbedaan antara menempatkan siswa dalam kelompok dengan

kelompok belajar untuk membentuk saling ketergantungan kerja sama antarsiswa

(Ronis, 2009: 109). Dalam pembelajaran yang hanya menempatkan siswa dalam

kelompok, siswa pada kenyataannya tetap belajar sendiri-sendiri tanpa adanya

komunikasi yang mengarah pada diskusi menuju pencapaian tujuan kelompok

secara bersama. Dalam pembelajaran yang membentuk kelompok belajar untuk

membentuk saling ketergantungan kerja sama antarsiswa, siswa dibagi dalam

28

kelompok kecil dan mendapat tugas akhir yang harus dikerjakan secara bersama,

di mana dalam kelompok kecil siswa dapat memaksimalkan pembelajaran satu

sama lain secara sinergis (Ronis, 2009: 110). Pedoman menyusun kelompok

matematika dalam pembelajaran kerja sama, yaitu (Muschla, 2009: 19):

1) Membentuk kelompok yang terdiri dari tiga hingga lima siswa.

2) Mengatur kelompok secara acak, tetapi tetap memperhatikan

keanggotaan kelompok agar siswa bekerjasama dengan baik.

3) Mengubah keanggotaan secara berkala sehingga siswa mendapat

peluang berinteraksi dengan siswa lain dan mendapat pengalaman

baru dalam bekerjasama.

4) Menjelaskan tujuan berkerjakelompok dan tingkah laku yang

diharapkan.

5) Melaksanakan pembagian tanggung jawab siswa dalam peranan

tertentu, meliputi: pemimpin yang bertugas membimbing kelompok

meraih tujuannya dan memastikan setiap orang mengerjakan

tugasnya; pencatat yang bertugas mencatat ide, gagasan, dan solusi

kelompok; pemeriksa yang bertugas meninjau kerja kelompok;

pemantau materi yang bertugas bertanggungjawab atas setiap materi

yang digunakan oleh kelompok; serta presenter yang bertugas

membagi temuan kelompoknya dengan teman-teman sekelasnya.

Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada pembentukan kelompok

belajar matematika yang masing-masing kelompok terdiri dari lima siswa.

Menurut Lie (2004: 47) kelompok belajar yang terdiri dari lima siswa memiliki

kelebihan antara lain: jumlah ganjil memudahkan dalam pengambilan suara, lebih

banyak ide muncul, lebih banyak tugas yang bisa dilakukan, dan guru mudah

memonitor kontribusi. Kelompok belajar yang terdiri dari lima siswa memiliki

kekurangan antara lain: membutuhkan lebih banyak waktu, membutuhkan

sosialisasi yang lebih baik, siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan

tidak memperhatikan, serta kurang kesempatan untuk individu. Berdasarkan

kelebihan dan kekurangan dari kelompok belajar yang terdiri dari lima siswa, guru

dituntut selalu membimbing siswa agar dapat bekerjasama menyelesaikan tugas

secara efektif dan efisien. Marzano (Ronis, 2009: 113) menjelaskan keberhasilan

penerapan pembelajaran kerja sama membutuhkan penerapan lima elemen dasar,

yaitu:

29

1) Ketergantungan positif, yaitu siswa akan saling bekerjasama dalam mencapai

tujuan yang telah ditetapkan dengan melalui pembagian kerja, perlengkapan,

sumber materi dan informasi antaranggota kelompok.

2) Interaksi tatap muka, yaitu diskusi yang terjadi antarsiswa dalam kelompok

sama yang tersusun secara cermat.

3) Pertanggungjawaban individu, yaitu setiap anggota dalam kelompok harus

menyelesaikan tugas yang didapatkan dan membantu anggota kelompok yang

lain dalam menyelesaikan tugasnya agar tugas kelompok dapat diselesaikan

dengan baik.

4) Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil, yaitu keterampilan dalam

kelompok yang meliputi keterampilan komunikasi, kepemimpinan,

kepercayaan, pengambilan keputusan, dan manajemen masalah yang tepat

dalam proses kerja sama kelompok.

5) Pemrosesan kelompok, yaitu umpan balik untuk mengevaluasi proses dan

hasil kerja kelompok dalam memperbaiki tingkat kerja sama kelompok dan

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Mendukung pendapat Johnson, Muschla (2009: 20) menyebutkan beberapa

aturan untuk membantu bekerjasama dalam kelompok agar terlaksana dengan

optimal, di mana masing-masing anggota kelompok harus:

1) Bertingkahlaku dengan benar.

2) Bekerja dengan anggota-anggota lain dalam kelompok.

3) Membantu sesama.

4) Membagi ide.

5) Memberi kesempatan anggota lain berbicara.

6) Medengarkan dengan seksama dan sopan ketika anggota lainnya

sedang berbicara.

7) Mengajukan pertanyaan ketika tidak mengerti mengenai sesuatu hal.

8) Tetap membahas pada tugas matematika.

9) Membahas ide-ide secara tenang.

10) Melakukan yang terbaik.

Dari berbagai pendapat para ahli tentang kerja sama, kerja sama dapat

diartikan sebagai proses interaksi siswa dengan siswa lain untuk mengerjakan

sesuatu tugas secara bersama dengan saling membantu, menghargai pendapat,

30

mendorong berpartisipasi, berani bertanya, mendorong teman untuk bertanya,

mengambil giliran dan berbagai tugas untuk mencapai tujuan bersama dalam

kelompok dan tercapainya tujuan pembelajaran. Tingkat keberhasilan kerja sama

yang terjalin dalam kelompok belajar siswa dapat diketahui melalui pengamatan

(observasi) yang dilakukan guru. Aspek penilaian dapat diambil dari elemen dasar

dalam kerja sama atau dari atauran kerja sama yang harus dilakukan oleh masing-

masing anggota kelompok. Aspek yang telah ditetapkan guru, dapat dijabarkan

dalam beberapa butir indikator penilaian. Menurut Ronis (2009: 166) yang

menjadi penilaian pribadi aspek kerja sama dalam kerja kelompok adalah:

1) Menjaga rencana sasaran agar realistis.

2) Mengorganisasi kerja sebagai tim.

3) Melakukan tugas perseorangan di kelompok.

4) Menerima tanggung jawab perseorangan.

5) Mendengarkan satu sama lain.

6) Menunggu giliran berbicara.

7) Saling memberi semangat.

8) Mencegah pelecehan.

Kerja sama yang diteliti dalam penelitian ini adalah kerja sama dalam

proses pembelajaran matematika melalui metode bermain peran pada materi

mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan. Woolfolk (2009: 261-262)

menjelaskan bahwa sebagian guru memberikan berbagai peran kepada siswa

untuk mendorong kerja sama dan partisipasi penuh dalam proses pembelajaran,

guru harus memastikan bahwa peran-peran yang diberikan mendukung proses

pembelajaran dan peran itu bukan tujuan dari pembelajaran.

Berdasarkan pendapat para ahli tentang keterampilan dan aspek penilaian

kerja sama, maka aspek penilaian kerja sama yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi: (1) mengambil giliran dan berbagi tugas, (2) berada dalam kelompok,

(3) menyelesaikan tugas tepat waktu, (4) menghargai kontribusi, serta (5)

menyamakan pendapat.

2.1.6 Hasil Belajar

Proses belajar dalam suatu pembelajaran (belajar secara sengaja) akan

menghasilkan hasil belajar yang bertahan lebih lama dan sistematik daripada hasil

31

belajar dari proses belajar yang dilakukan secara tidak sengaja. Slameto (2010: 2)

berpendapat belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan sesorang untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai

hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sependapat

dengan Slameto, Ghufron (2012: 7-8) mengungkapkan belajar merupakan suatu

proses perubahan yang cenderung menetap dan merupakan hasil dari pengalaman,

serta tidak termasuk perubahan fisiologis, namun perubahan psikologis yang

berupa perilaku dan representasi atau asosiasi mental. Sependapat dengan

Ghufron, Hergenhahn (2012: 8) mengungkapkan belajar adalah perubahan

perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman

dan tidak bisa dinisbahkan ke temporary body states (keadaan tubuh yang

temporer) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan atau obat-obatan.

Baharuddin (2008: 15) mengungkapkan belajar adalah proses perubahan

manusia ke arah tujuan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun

orang lain. Berbeda pendapat dengan Baharuddin, Mustaqim (2010: 62)

menjelaskan bahwa belajar adalah proses perubahan yang dapat berupa perubahan

lahir, perubahan batin, perubahan tingkah laku yang nampak, perubahan tingkah

laku yang tidak dapat diamati, perubahan ke arah positif maupun perubahan ke

arah negatif. Dari berbagai pendapat para ahli tentang belajar, belajar dapat

diartikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dalam bentuk pengetahuan,

keterampilan, atau sikap yang menetap ke arah yang lebih baik sebagai hasil

pengalaman berinteraksi dengan informasi dan lingkungan. Slameto (2010: 3-4)

menjelaskan bahwa ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar

adalah: (1) perubahan secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu

dan fungsional, (3) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, (4)

perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, (5) perubahan dalam belajar

bertujuan atau terarah, serta (6) perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.

Supratiknya (2012: 1) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk perubahan

tingkah laku yang sesuai dengan SK, KD dan indikator setelah seorang siswa

mengikuti pembelajaran disebut hasil belajar. Sudjana (2011: 49) mengungkapkan

bahwa hasil belajar dikategorikan menjadi tiga bidang, yaitu bidang kognitif,

32

bidang afektif, dan bidang psikomotor, di mana ketiganya merupakan satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bidang kognitif merupakan hasil belajar

yang berhubungan dengan kegiatan mental atau kemampuan berpikir. Hasil

belajar di bidang kognitif meliputi: mengingat, memahami, mengaplikasikan,

menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (Anderson, 2010: 100-102). Bidang

afektif merupakan hasil belajar yang berhubungan dengan minat, perasaan, emosi,

sistem nilai, sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan

terhadap sesuatu. Hasil belajar di bidang afektif meliputi: menerima, memberikan

respon, nilai, organisasi, dan karakterisasi (Suprijono, 2012: 7). Bidang

psikomotor merupakan hasil belajar berupa keterampilan motorik yang

berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan

koordinasi antara syaraf dan otot. Hasil belajar di bidang psikomotor meliputi:

gerakan refleks, keterampilan pada gerakan dasar, kemampuan perseptual,

kemaampuan di bidang fisik, gerakan-gerakan skill, dan kemampuan yang

berkenaan dengan non decurcive komunikasi (Sudjana, 2011: 54).

Widoyoko (2012: 25-29) menjelaskan bahwa hasil belajar pada diri siswa

dibedakan menjadi dua, yaitu output dan outcome. Output merupakan kecapakan

yang dikuasai siswa yang segera dapat diketahui setelah mengikuti suatu

pembelajaran dan bersifat jangka pendek. Output dibedakan menjadi dua macam,

yaitu hard skills dan soft skills. Hard skills merupakan kecakapan yang relatif

lebih mudah diukur. Hard skills dibedakan menjadi dua macam, yaitu kecakapan

akademik dan kecakapan vokasional. Kecakapan akademik (academic skills)

merupakan kecakapan untuk menguasai berbagai konsep dalam bidang ilmu yang

dipelajari, seperti kecakapan mendefinisikan, menghitung, menjelaskan,

menguraikan, dan lain sebagainya. Kecakapan vokasional (vocational skills)

merupakan kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan tertentu,

seperti dalam bidang seni lukis dibutuhkan kecakapan mendesain dan

mengharmonikan warna. Soft skills merupakan strategi yang diperlukan untuk

meraih sukses hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Soft skills dibedakan

menjadi dua macam, yaitu kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan

personal (personal skills) merupakan kecakapan yang diperlukan agar siswa dapat

33

selalu eksis dan dapat mengambil peluang yang positif dalam kehidupan.

Kecakapan sosial (social skills) kecakapan yang dibutuhkan untuk hidup dalam

masyarakat yang multikultural, masyarakat demokrasi, dan masyarakat global

yang penuh persaingan dan tantangan. Dengan menguasai berbagai kecakapan,

siswa diharapkan akan mempunyai prestasi sosial (social achievement) dalam

mengatasi berbagai tantangan dan permasalahan hidup. Prestasi sosial siswa

dalam masyarakat merupakan hasil pembelajaran yang berifsat jangka panjang

(outcome). Berbagai kecakapan hasil belajar tersusun dalam bagan berikut.

Bagan 2.1 Klasifikasi Hasil Pembelajaran

Dari berbagai pendapat para ahli tentang hasil belajar, hasil belajar dapat

diartikan sebagai perubahan perilaku yang relatif tetap akibat berkembangnya

pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang setelah mengikuti suatu

pembelajaran. Dalam penelitian ini hasil belajar yang diteliti adalah hasil belajar

matematika siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika melalui metode

bermain peran dalam bidang kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Kegiatan pembelajaran dapat dikatakan berhasil atau tidak, dapat terbukti

dari hasil belajar yang diperoleh melalui evaluasi belajar. Hasil belajar digunakan

sebagai patokan untuk melihat penguasaan belajar siswa setelah mengikuti

kegiatan pembelajaran. Hasil belajar yang menjadi objek penilaian kelas berupa

kemampuan-kemampuan baru yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses

belajar mengajar tentang mata pelajaran tertentu. Pemerolehan kemampuan

tersebut akan terwujud dalam perubahan tingkah laku tertentu, seperti dari tidak

34

tahu menjadi tahu tentang sesuatu, dari acuh tak acuh menjadi menyukai objek

dan aktivitas tertentu, serta dari tidak bisa menjadi cakap dalam melakukan

keterampilan tertentu (Supratiknya, 2012: 5). Secara umum penilaian terhadap

hasil belajar dapat dilakukan dengan tes (tes tertulis, tes lisan, maupun tes

perbuatan), pemberian tugas, penilaian kinerja, penilaian proyek, penilaian

produk, penilaian sikap, dan penilaian berbasis portofolio (Widoyoko, 2012: 33).

Setiap teknik penilaian memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing,

sehingga penilaian hasil belajar yang komprehensif memerlukan lebih dari satu

teknik penilaian.

2.2 Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan judul penelitian ini adalah penelitian Indah

Kristina W. pada tahun 2012 dengan judul “Penggunaan Metode Role Playing

untuk Meningkatkan Hasil Belajar dalam Pembelajaran IPS Dampak Globalisasi

Siswa Kelas 4 Semester II SD Negeri Pesaren 01 Warungasem Kabupaten Batang

2011/2012”. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan hasil belajar IPS siswa

tentang dampak globalisasi setelah menggunakan metode pembelajaran role

playing dengan perbandingan nilai rata-rata yakni pada kondisi pra siklus sebesar

60, sedangkan pada siklus I naik menjadi 65 dan pada siklus I meningkat lagi

menjadi 70. Adapun skor kreativitas belajar klasikal pada kondisi pra siklus 55%,

siklus I meningkat naik menjadi 75% dan pada siklus II meningkat naik menjadi

85%, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran role playing dapat

meningkatkan hasil belajar siswa, serta meningkatkan rasa sosial antarteman

dalam mata pelajaran IPS.

Sejenis dengan penelitian yang dilakukan Kristina W., Leinna Mega

Reinny melakukan penelitian pada tahun 2012 yang berjudul “Peningkatan Hasil

Belajar Matematika Pembagian Dua Angka melalui Metode Bermain Peran pada

Siswa Kelas II SD Muhammadiyah Ambarketawang 3 Gamping Sleman Semester

II Tahun Ajaran 2011/2012”. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,

dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode bermain peran,

dalam siklus I dan II hasil belajar yang diperoleh dalam penelitian ini adalah

35

terjadi peningkatan hasil belajar sesuai kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang

telah ditetapkan yaitu 65. Dari siswa yang berjumlah 29 anak, sebelum diadakan

tindakan siswa yang mengalami ketuntasan hanya 11 siswa (38%) sedangkan

yang tidak tuntas berjumlah 18 siswa (62%). Setelah diadakan penelitian tindakan

kelas dengan menggunakan metode bermain peran pada siklus I siswa yang tuntas

belajar berjumlah 19 siswa (66%) sedangkan yang tidak tuntas dalam belajar

berjumlah 10 siswa (34%) dengan nilai rata-rata 70, pada siklus II siswa yang

tuntas belajar adalah 27 (93%) dan yang tidak tuntas 2 siswa (7%) dengan rata-

rata 82. Hal ini terbukti bahwa melalui metode bermain peran mampu

meningkatkan hasil belajar matematika pembagian dua angka.

Pada tahun 2013 Dwiyanto Joko Pranowo melakukan penelitian berjudul

“Implementasi Pendidikan Karakter Kepedulian dan Kerja Sama pada Mata

Kuliah Keterampilan Berbicara Bahasa Prancis dengan Metode Bermain Peran”.

Hasil penelitian menunjukkan penerapan teknik bermain peran dalam mata kuliah

Expression Orale I mampu meningkatkan nilai-nilai kepedulian dan kerja sama

antarmahasiswa pada kategori Mulai Terlihat (tahap Heteronomi), serta

meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Prancis mahasiswa. Mahasiswa

antusias dalam mengikuti kuliah, merasa tidak ada tekanan, bebas berekspresi, dan

kelas lebih hidup. Peningkatan hasil pembelajaran terlihat dari rerata skor pretes

62 meningkat menjadi 72,7 pada postes.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Reinny dan Kristina W. dapat

diketahui bahwa metode bermain peran mampu meningkatkan hasil belajar serta

meningkatkan rasa sosial antar teman. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan Pranowo dapat diketahui bahwa penerapan pembelajaran melalui

metode bermain peran dapat meningkatkan kerja sama dan hasil belajar siswa.

Dalam penelitian yang akan dilakukan, penulis lebih menekankan pada upaya

meningkatkan kerja sama dan hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika

melalui metode bermain peran. Dalam peneletian ini penulis bekerjasama dengan

praktisi pendidikan (kepala sekolah, guru, siswa, dan pihak lainnya) dalam

menerapkan metode bermain peran untuk meningkatkan kerja sama dan hasil

36

belajar siswa pada pembelajaran matematika kelas 5 SDN Jepon 02 Kecamatan

Jepon Kabupaten Blora semester II tahun 2013/2014.

2.3 Kerangka Berpikir

Mengapa metode bermain peran juga dijadikan salah satu metode

pembelajaran yang dapat meningkatkan sikap kerja sama dalam belajar

matematika, karena dalam metode bermain peran siswa akan bekerja secara

kelompok dengan teman lainnya untuk berdiskusi menyelesaikan tugas, saling

membantu dalam menghayati suatu peran, dan saling menghargai pendapat teman

lain dalam membuat kesepakatan-kesepakatan berkaitan dengan hal-hal yang

diperlukan dalam menampilkan peran. Dengan melalui metode bermain peran

siswa belajar membentuk sikap kerja sama dalam memahami nilai-nilai sosial

yang didapat dari pemeranan, selain itu siswa dapat bekerjasama dalam

memahami dan mengembangkan kompetensi matematika yang ingin dicapai.

Selain metode pembelajaran bermain peran dapat membentuk sikap kerja

sama, metode pembelajaran bermain peran dijadikan salah satu metode

pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar matematika, karena

metode ini diyakini dapat membuat siswa aktif dan mudah memahami materi.

Dalam metode pembelajaran bermain peran siswa terlibat aktif dalam diskusi dan

memerankan suatu peran secara berkelompok, maka mereka akan mudah dalam

memahami materi pembelajan yang termuat dalam skenario pembelajaran

berkaitan dengan kompetensi-kompetensi matematika yang ingin dicapai. Ketika

siswa paham maka hasil belajar matematika siswa juga menjadi lebih baik.

Melalui metode bermain peran, siswa belajar membentuk sikap kerja dan lebih

mudah memahami kompetensi-kompetensi matematika yang ingin dicapai. Secara

sistematis kerangka berpikir digambarkan sebagai berikut.

37

Bagan 2.2 Kerangka Berpikir

2.4 Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis

penelitian tindakan kelas dirumuskan sebagai berikut:

1) Melalui metode bermain peran dapat meningkatkan kerja sama siswa kelas 5

SDN Jepon 02 Kecamatan Jepon Kabupaten Blora semester II tahun

2013/2014.

2) Melalui metode bermain peran dapat meningkatkan hasil belajar matematika

siswa kelas 5 SDN Jepon 02 Kecamatan Jepon Kabupaten Blora semester II

tahun 2013/2014.

Pembelajaran matematika saat ini melalui metode ceramah. Hasil belajar

matematika rendah, 73,5% dari 34 siswa memperoleh nilai di bawah KKM

atau < 65. Kerja sama rendah, hanya untuk penyelesaian tugas dan latihan

soal, serta didominasi oleh siswa yang pandai.

Pembelajaran matematika melalui metode bermain peran.

Langkah-langkah pembelajaran matematika melalui metode bermain peran:

1) Persiapan, yaitu guru menyusun skenario bermain peran, siswa membentuk

kelompok 5 orang, siswa mempelajari skenario bermain peran, dan siswa

melakukan latihan pemanasan.

2) Pelaksaaan.

a. Kegiatan awal, yaitu siswa mengecek kesiapan belajar, menerima

motivasi dan apersepsi, menyimak penjelasan tentang tujuan, teknik

pembelajaran dan kompetensi yang akan dicapai.

b. Kegiatan inti, yaitu siswa menyimak penjelasan konsep materi

pembelajaran, bertanya tentang konsep materi yang belum dimengerti,

berada dalam kelompok, menampilkan skenario, mengamati

penampilan skenario, bersama guru mereview penampilan skenario,

menerima dan mendiskusikan tugas yang didapat, mempresentasikan

hasil diskusi kelompok, bertanya tentang presentasi kelompok lain,

memberi masukan kepada kelompok lain, bersama guru meluruskan

kesalahan pemahaman, serta menerima penguatan positif.

c. Kegiatan akhir, yaitu siswa bersama guru melakukan refleksi,

menghubungkan situasi pemeranan dengan kehidupan nyata, membuat

kesimpulan dan siswa mengerjakan soal evaluasi.

Kerja sama 80% dari 34 siswa

berkriteria tinggi.

80% dari 34 siswa memperoleh

nilai di atas KKM atau ≥ 65.