BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara...
![Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Virus Dengue
2.1.1. Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue tersebar di wilayah tropis dan subtropis,
terutama Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah
endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Sejak tahun 1968 hingga
tahun 2009, WHO mencatat Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara. Jumlah kasus tahun 2009 sendiri sebanyak 154.855
orang dengan mortalitas 1.384 orang atau CFR 0,89% (Gubler et al., 1998; Umar
Ali Imran dan Suroso Thomas, 1999; Suhendro et al., 2006; Kusriastuti, 2010).
Data dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP & PL) Depkes RI tahun 2011 mencatat jumlah kasus DBD
di Indonesia tahun 2010 meningkat menjadi 156.086 kasus dengan angka
kematian sebesar 1358 kasus dan Incidence Rate (IR) 65,7 per 100.000 penduduk.
Namun, dari bulan januari 2011 hingga oktober 2011 jumlah kasus menurun
hingga 49.486 dengan angka mortalitas sebesar 403 dan IR 20,83 per 100.000
penduduk serta CFR 0,81% (Depkes RI, 2011).
Kasus pertama DBD di Bali sendiri ditemukan pada tahun 1970. Pada
tahun 2010 angka penderita DBD di Bali tercatat sebesar 12.490 kasus dengan
CFR sebesar 0,28 dan angka insiden / IR sebesar 320,96 per 100.000 penduduk.
Sementara itu, data jumlah kasus infeksi VD yang tercatat selama tahun 2008 di
8
![Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/2.jpg)
9
Rumah Sakit Sanglah adalah sebesar 3023 kasus dengan 2079 kasus DBD dan
314 kasus DD. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, terdapat 1678 orang laki-
laki dan 1345 orang perempuan, dan jika dilihat berdasarkan umur terdapat 778
orang berumur antara 0-14 tahun serta 2254 orang berumur di atas 14 tahun
dengan jumlah kematian sebanyak 22 orang (0,72%). Jumlah kasus yang
mendapatkan perawatan intensif selama tahun 2008 sebesar 54 kasus, 9 orang
berumur kurang dari 12 tahun dan 45 orang berumur lebih atau sama dengan 12
tahun.
Perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban,
arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta
berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor
penyakit seperti nyamuk Aedes. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi
masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas
penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi
menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas (Pusat
Data dan Surveilens Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010; Muhadir,
2013).
2.1.2. Struktur Virus Dengue
Virus dengue merupakan arbovirus dan termasuk dalam genus Flavivirus,
family Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus berdiameter 30 nm yang terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4×106. Terdapat 4
serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, dengan variasi DEN-3
![Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/3.jpg)
10
merupakan serotipe terbanyak yang ditemukan di Indonesia (Martina et al., 2009).
Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat di Indonesia (Chaiyaratana et al., 2008).
Virus Dengue memiliki satu untaian genom RNA (single-stranded
positive-sense genome), disusun didalam satu unit protein yang dikelilingi dinding
icosahedral yang tertutup oleh selubung lemak. Genome virus dengue terdiri dari
11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3 struktur Capsid (C), Membrane
(M), Envelope (E) protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3,
NS4, NS4B, dan NS5) (Idrees et al., 2012).
Gambar 2.1 Struktur virus dengue, Idress et al.,2012 2.1.3. Penularan virus dengue
Virus dengue ditularkan ke manusia melalui nyamuk aedes (terutama
aedes aegypty dan aedes alboviktus). Penularan terjadi secara transseksual dari
nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial
dari induk nyamuk ke keturunannya. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh
nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh
![Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/4.jpg)
11
manusia) berkisar antara 4-6 hari. Setelah masa inkubasi 8-10 hari, nyamuk yang
terinfeksi mampu mentransmisikan virus sepanjang hidupnya (Gubler, 1998,
Umar Ali Imran dan Suroso Thomas, 1999; Rothman, 2003). Setelah masuk
dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dan mengalami replikasi
dalam sel target (makrofag, monosit, sel mast, sel dendritik, sel B dan sel endotel)
yang selanjutnya diikuti dengan viremia selama 5-7 hari. Fase viremia ditandai
oleh demam yang berlanjut menjadi kebocoran plasma sehingga menjadi DBD/
DSS (Umar Ali Imran dan Suroso Thomas, 1999).
2.1.4. Perjalanan klinis infeksi virus dengue
Infeksi virus dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, dan/atau nyeri otot, nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi atau
penumpukan cairan dalam rongga tubuh (Chuansumrit dan Tangnararat 2006;
WHO 2009). Manifestasi klinis meliputi infeksi asimptomatik dan simptomatik
yang terdiri dari undifferentiated febrile illness, DD dan DBD (WHO, 1997).
Gambar 2.2 Spektrum klinis infeksi virus dengue, WHO 1997
![Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/5.jpg)
12
Sementara itu, perjalanan klinis DBD dibagi menjadi 3 tahap yaitu febris,
kritis, dan pemulihan (convalescent).
Fase Febris
Fase febris biasanya ditandai dengan adanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari,
disertai kemerahan pada muka dan kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia
dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan anoreksia, mual hingga muntah.
Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda-tanda perdarahan seperti petekie,
perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam
dan perdarahan gastrointestinal. Jumlah platelet kurang dari 100.000 mm3
biasanya menunjukkan akhir dari fase febris dan mulai memasuki fase kritis.
Fase Kritis
Fase ini umumnya terjadi pada hari 3 – 5 onset sakit dan ditandai dengan
penurunan suhu tubuh disertai peningkatan permeabilitas kapiler serta timbulnya
kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran
plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung
trombosit. Pada kasus kebocoran plasma yang berat akan terjadi kehilangan
volume plasma yang besar dan terjadi syok. Kondisi syok yang berkepanjangan
selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan organ progresif, asidosis metabolik,
dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang dapat berujung pada
perdarahan masif (WHO, 2009).
Fase Pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka cairan dari ekstravaskuler akan kembali ke
intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Beberapa indikatornya
![Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/6.jpg)
13
antara lain : keadaan umum penderita mulai membaik, nafsu makan pulih
kembali, tampak convalescent rash, gatal pada telapak tangan dan kaki,
hemodinamik stabil, diuresis membaik, hematokrit kembali normal dan terjadi
peningkatan trombosit (WHO, 2009).
Gambar 2.3 Perjalanan klinis infeksi virus dengue, WHO 2009
2.1.5. Kriteria diagnosis infeksi virus dengue
Infeksi virus dengue seperti dipaparkan sebelumnya terdiri dari DD dan
DBD. Berdasarkan WHO, 1997, DD ditegakkan bila terdapat demam akut 2-7
hari, dengan sekurang-kurangnya 2 manifestasi klinis seperti nyeri kepala,
mialgia, atralgia, nyeri retroorbital, ruam kulit, manifestasi perdarahan, serta tanpa
adanya tanda-tanda kebocoran plasma dan ditunjang dengan pemeriksaan serologi
dengue positif (WHO, 1997).
Diagnosis DBD berdasarkan kriteria WHO 1997 ditegakkan bila
ditemukan 1) demam tinggi 2-7 hari, 2) adanya tendensi perdarahan seperti tes
tornikuet positif atau petekie, 3) trombositopenia (kadar platelet < 100.000 / µl),
![Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/7.jpg)
14
serta 4) adanya tanda-tanda kebocoran plasma seperti hemokonsentrasi
(peningkatan kadar hematokrit > 20% dibandingkan standar umur dan jenis
kelamin), penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan
dibandingkan nilai hematokrit sebelumnya atau tanda kebocoran plasma lainnya
seperti efusi pleura, asites, serta hipoproteinemia (WHO, 1997). Sensitivitas
dalam mendiagnosis infeksi VD berdasarkan WHO 1997 mencapai hingga 90%
(Gan, et al., 2014)
Sementara itu, ada 2 metode yang digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi
VD yaitu deteksi virus melalui isolasi virus dan pemeriksaan antigen virus atau
deteksi antibodi (serologi). Selama stadium awal penyakit, isolasi virus atau
pemeriksaan antigen virus dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi dengue
(Tumbelaka, 1999). Pada fase febris sebelum hari ke-5, infeksi dengue dapat
dikonfirmasi dengan deteksi RNA virus menggunakan tes amplifikasi asam
nukleat atau pemeriksaan antigen virus dengan teknik ELISA atau rapid test.
Isolasi virus merupakan cara yang paling baik dalam mendiagnosis infeksi VD,
namun diperlukan peralatan dan teknik yang canggih sehingga tidak dipakai
secara rutin. Saat ini sudah ada pemeriksaan antigen NS1 yang dapat digunakan di
berbagai laboratorium. Glikoprotein NS1 dihasilkan oleh semua flavirirus dan
memberikan respon humoral yang kuat. Antigen NS1 dapat terdeteksi sampai
beberapa hari setelah deverfesen (Wuryadi, 1999; WHO, 2009). Penelitian
Dussart dkk pada sampel darah penderita infeksi dengue di Guyana menunjukkan
antigen NS1 dapat terdeteksi mulai hari ke-0 (onset demam) hingga hari ke-4
dalarn jumlah yang cukup tinggi. Pada penelitian ini didapatkan sensitivitas
![Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/8.jpg)
15
deteksi antigen NS1 sebesar 88,7% sedangkan spesifisitas mencapai 100%,
dibandingkan terhadap pemeriksaan isolasi virus dan RT-PCR dengan kontrol
sampel darah infeksi non-dengue (Dussart et al., 2006).
Uji serologi dengan mendeteksi kenaikan antibodi jauh lebih sederhana dan
lebih cepat, namun tidak dapat menentukan serotipe dari virus dengue yang
menginfeksi. Uji ini merupakan metode pilihan untuk mendiagnosis pada akhir
fase akut. Ada 5 pemeriksaan serologi yang dianggap sebagai dasar, antara lain :
uji HI (Hemaglutination Inhibition), uji pengikatan komplemen (Complement
Fixation Test), uji neutralisasi (Neutralization test), uji Mac.Elisa (IgM capture
enzyme-linked immunosorbent assay) dan uji IgG Elisa indirek (Wuryadi, 1999).
Diantara beberapa uji serologi, pemeriksaan HI adalah uji yang paling lazim
digunakan sebagai gold standard. Seluruh pasien DD dan DBD dikonfirmasi
dengan pemeriksaan serologi dengue. Pada infeksi primer, IgM muncul pada hari
ke 3-5 setelah onset sakit, kemudian meningkat hingga 99% pada hari ke-10.
Kadar IgM akan mencapai puncak sekitar 14 hari setelah onset sakit dan menurun
sampai tidak terdeteksi setelah 2 hingga 3 bulan. Antibodi IgG terdeteksi dengan
kadar yang rendah saat akhir minggu pertama, meningkat secara perlahan, dan
masih dapat terdeteksi setelah beberapa bulan. Sementara itu, pada infeksi
sekunder, antibodi IgG terdeteksi dengan kadar tinggi pada fase akut dan menetap
dalam waktu 10 bulan hingga seumur hidup. Antibodi IgM terdeteksi dengan
kadar yang rendah pada fase pemulihan. Untuk membedakan infeksi primer dan
sekunder dapat menggunakan rasio IgM/IgG. Infeksi dengue primer bila rasio
IgM/IgG > 1,2 (menggunakan serum pasien dengan dilusi 1/100) atau > 1,4
![Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/9.jpg)
16
(menggunakan serum pasien dengan dilusi 1/20), sedangkan infeksi dengue
sekunder bila rasio IgM/IgG < 1,2 atau < 1,4. Infeksi dengue dinyatakan positif
bila didapatkan 1) PCR positif atau 2) kultur virus positif atau 3) terjadi
serokonversi IgM / IgG pada 2 kali pengukuran pada fase akut dan penyembuhan
atau 4) kenaikan 4 kali lipat kadar IgG pada 2 kali pengukuran (Gubler, 1998;
Tumbelaka, 1999; Suhendro et al., 2006; WHO, 2009).
2.1.6. Klasifikasi infeksi virus dengue
Derajat DBD berdasarkan WHO 1997 dibagi menjadi 4 yaitu grade I bila
didapatkan tes torniket positif tanpa adanya perdarahan spontan, grade II bila
didapatkan ada perdarahan seperti epistaksis dan ekimosis, grade III bila
didapatkan ada gangguan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi yang menyempit atau adanya hipotensi tapi akral masih hangat serta
grade IV bila ditemukan adanya tanda-tanda syok seperti tekanan darah dan nadi
yang tidak terukur (WHO, 1997).
Gambar 2.4 Klasifikasi dan derajat infeksi virus dengue, WHO 1997
![Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/10.jpg)
17
Saat ini WHO telah membagi derajat keparahan infeksi virus dengue
menjadi 3 yaitu : (WHO, 2009)
(1) Dengue tanpa tanda bahaya, apabila penderita yang tinggal di / berkunjung
ke daerah endemik dengue menderita demam dengan 2 atau lebih kriteria :
- ruam
- nyeri sendi
- mual muntah
- tes tourniquet positif
- leukopenia
- laboratorium untuk mengkonfirmasi dengue
(2) Dengue dengan tanda bahaya, apabila didapatkan :
- muntah persisten
- nyeri perut / nyeri tekan abdomen
- akumulasi cairan secara klinis
- perdarahan mukosa
- letargi dan gelisah
- hepatomegali > 2 cm
- peningkatan hematokrit bersama dengan penurunan trombosit yang
cepat
(3) Dengue berat, apabila didapatkan :
- kebocoran plasma berat yang berujung pada syok (Dengue Shock
Syndrome) atau akumulasi cairan dengan distres nafas
- perdarahan mayor
![Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/11.jpg)
18
- keterlibatan organ-organ berat seperti hepar dengan peningkatan
enzim SGOT atau SGPT > = 1000, Susunan Saraf Pusat dengan
gangguan kesadaran, jantung dan organ lain.
Gambar 2.5 Klasifikasi dan derajat infeksi virus dengue, WHO 2009
2.1.7. Patogenesis infeksi virus dengue
Beberapa teori telah dikemukakan untuk menerangkan patogenesis DBD
yaitu teori virulensi virus dan imunopatologi yaitu hipotesis infeksi sekunder
heterolog. Teori lainnya adalah teori endotoksin, mediator, apoptosis, genetik, dan
teori endotel. Namun demikian terdapat dua teori atau hipotesis imunopatogenesis
DBD dan DSS yang banyak dianut yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus
infection) dan Antibody Dependent Enhancement (ADE) (Sutaryo, 1999;
Suhendro et al., 2006; Lei et al., 2008; Martina et al., 2009; Candra Aryu, 2010;
Sellahewa, 2013).
Teori Infeksi Sekunder.
Dalam hipotesis infeksi sekunder ini menyatakan bahwa apabila seseorang
yang pernah terinfeksi oleh salah satu serotipe virus dengue (infeksi primer) akan
![Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/12.jpg)
19
memberikan imunitas jangka panjang pada serotipe tersebut (infeksi homotipik).
Imunitas terhadap serotipe lain (infeksi heterotipik) akan bertahan selama
beberapa bulan, dan setelah itu penderita kembali rentan terhadap terjadi infeksi
heterotipik.
Gambar 2.6 Teori Infeksi Sekunder Virus Dengue, Suhendro et al., 2006
Pada hipotesis infeksi sekunder juga disebutkan, bila seseorang
mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses
kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu
yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe
virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena
antibodi heterolog yang terbentuk pada infeksi primer akan membentuk kompleks
dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat
dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat
opsonisasi dan internalisasi, selanjutnya akan teraktivasi dan memproduksi
sitokin-sitokin inflamasi IL-1, IL-6, Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-A) serta
Platelet Activating Factor (PAF), dan akibatnya akan terjadi peningkatan
![Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/13.jpg)
20
(enhancement) infeksi virus dengue (Sutaryo, 1999). Kompleks virus-antibodi
bersama-sama dengan sitokin yang dihasilkan akan mengaktivasi komplemen,
melepaskan C3a dan C5a yang juga akan meningkatkan permeabilitas kapiler dan
kebocoran plasma (Suhendro et al., 2006; Lei et al., 2008).
Teori Antibody Dependent Enhancement (ADE)
Teori ADE berdasarkan pada peran sel fagosit mononuklear dan
terbentuknya antibodi non netralisasi. Pada teori ini disebutkan bahwa antibodi
spesifik yang terbentuk dari infeksi dengue pertama yang tidak dapat
menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Antibodi
heterolog ini diduga meningkatkan uptake dan replikasi virus yang membawa
reseptor Fc sel mononuklear fagosit (terutama makrofag) mempermudah virus
masuk ke sel dan meningkatkan multiplikasi (Halstead, 1989; Despres et al.,
1996; Sutaryo, 1999; Trai-Ming et al.,2006; Lei et al., 2008; Martina et al.,
2009).
Gambar 2.7 Teori Antibody Dependent Enhancement, Trai-Ming et al., 2006
![Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/14.jpg)
21
Teori Virulensi Virus
Peran virulensi virus sudah banyak dilaporkan. Teori virulensi virus
mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3
dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi
berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Teori ini menekankan pada
kemampuan virus untuk menimbulkan penyakit pada penjamu. Perbedaan
manifestasi pada infeksi dengue disebabkan oleh varian dari virus dengue dengan
derajat virulensi yang berbeda-beda. Kan dkk di Manado mendapatkan penderita
DSS terbanyak disebabkan oleh virus DEN 2 sama dengan anak-anak di Thailand
memiliki resiko terjadinya DBD/DSS lebih banyak disebabkan virus DEN 2
(Sutaryo, 1999; Lei et al., 2008; Martina et al., 2009).
Teori Antigen Antibodi
Teori antigen-antibodi mengemukakan bahwa pada penderita DBD terjadi
penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan
C5. Semakin berat derajat penyakit, semakin rendah kadar komplemen tersebut.
Virus dengue dalam darah akan berikatan dengan IgG dan membentuk kompleks
imun. Kompleks imun selanjutnya mengaktivasi komplemen sehingga
menginduksi sel mast mengeluarkan anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan
mediator kuat dalam meningkatkan permeabilitas vaskular. Pengeluaran mediator
ini kemudian menyebabkan kebocoran plasma dan dapat terjadi syok pada
penderita infeksi dengue (Sutaryo, 1999; Martina et al., 2009).
![Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/15.jpg)
22
Teori Mediator
Teori mediator yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus
dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF
dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya syok
septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler (Bozza, 2008). Ada
beberapa pertimbangan yang menyebabkan teori mediator berkontribusi terhadap
patogenesis DBD. Pertama, makrofag yang terinfeksi virus akan mengeluarkan
mediator atau sitokin. Kedua, masa kritis pada DBD selama 48-72 jam
berlangsung sangat pendek, dengan masa penyembuhan yang cepat. Mediator
diduga berperan dalam hal ini. Ketiga, beberapa mediator seperti IFN, IL-1, IL-6,
IL-12, TNF serta Leucocyte Inhibiting Factor diduga berperan atas terjadinya
demam, syok dan permeabilitas kapiler yang meningkat (Sutaryo, 1999; Lei et al.,
2008; Bozza, 2008).
Gambar 2.8 Teori Mediator pada infeksi dengue, Bozza et al., 2008
![Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/16.jpg)
23
Teori Endotoksin
Syok pada DBD akan menyebabkan iskemia pada usus, disamping iskemia
pada jaringan lain. Saat iskemia usus, terjadi translokasi bakteri dari lumen usus
ke dalam sirkulasi. Endotoksin sebagai komponen bakteri gram negatif akan
mudah masuk ke dalam sirkulasi pada kejadian syok yang diikuti iskemia berat.
Endotoksin akan mengaktivasi kaskade sitokin terutama TNF α dan IL-1. TNF α
meningkat sejak awal perjalanan penyakit dan kemudian menurun setelah infeksi
mereda. Selain itu IL-6 juga meningkat pada DBD dengan syok (Sutaryo, 1999).
Teori Apoptosis
Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologik yang merupakan
reaksi terhadap berbagai stimuli. Proses tersebut dapat dibagi menjadi 2 tahap
yaitu kerusakan inti sel, perubahan bentuk dan permeabilitas membran sel.
Konsekuensi dari apoptosis adalah fragmentasi DNA inti sel, vakuolisasi
sitoplasma, pembentukan bleb, dan peningkatan granulasi membran plasma
menjadi DNA subseluler yang berisi badan-badan apoptotik. Limfosit sitotoksik
mengkode protease yang menginduksi apoptosis sel target. Selain itu limfosit
yang teraktivasi guna merespon infeksi virus menunjukkan ekspresi Fas dalam
kadar tinggi dan sangat rentan terhadap apoptosis (Despres et al., 1996; Sutaryo,
1999).
Teori Trombosit Endotel
Virus Dengue dapat menginfeksi sel endotel secara in vitro dan
menyebabkan pengeluaran sitokin dan kemokin. Sel endotel yang telah terinfeksi
VD mengaktivasi komplemen dan selanjutnya menyebabkan peningkatan
![Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/17.jpg)
24
permeabilitas vaskuler. Trombosit dan endotel diduga mempunyai peran penting
dalam patogenesis DBD, mengingat bahwa pada DBD terjadi trombositopenia dan
permeabilitas kapiler yang meningkat yang berarti ada pengaruh terhadap
integritas sel endotel. Endotel mempunyai bermacam-macam reseptor, disamping
mengeluarkan bahan-bahan vasoaktif kuat seperti prostasiklin, Platelet Activating
Factor (PAF), faktor plasminogen dan IL-1. Gangguan pada endotel akan
menimbulkan agregrasi trombosit serta aktivasi koagulasi (Sutaryo, 1999; Lei et
al., 2008).
2.1.8. Mekanisme kebocoran plasma pada infeksi virus dengue
Infeksi virus dengue menginduksi sekresi sitokin proinflamasi seperti IL-
8, TNF alpha, PAF (Platelet Activating Factor), IL-1, IL-6 dan histamin yang
kemudian meningkatkan permeabilitas sel endotel. Selain itu, VEGF (Vascular
Endothelial Growth Factor) juga ikut berperan meningkatkan permeabilitas
endotel yang selanjutnya memicu terjadinya kebocoran plasma pada DBD.
Terjadinya kebocoran plasma sendiri ditandai oleh adanya peningkatan
hematokrit, hipoalbuminemia, dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.
Kebocoran plasma terjadi pada fase kritis, umumnya hari ketiga sampai kelima
dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur, jenis kelamin, dan Indeks Massa
Tubuh (IMT) (Srikiatkhachorn, 2009; WHO, 2009).
Perubahan morfologi sel endotel meliputi pelebaran endotelial gap dimana
terjadi longgarnya interendothelial cell adherens junction yang melibatkan
mekanisme kompleks sitokin proinflamasi, faktor biokimia dan respon host
![Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/18.jpg)
25
individual (Walles dan Huber, 2008; Trung dan Wills, 2010). Migrasi
transendotelial atau diapedesis, merupakan proses fisiologis yang terjadi sebagai
salah satu respon inflamasi. Tahapannya meliputi leukocyte rolling yang
dimediasi oleh selektin, aktivasi oleh sinyal chemokin, adhesi yang dimediasi oleh
integrin yang selanjutnya menembus endotelium melalui interendotelial junction,
memasuki intertsisial melalui migrasi langsung sel endotel via celah transeluler
atau celah paraseluler (Ping et al., 2009; Trung dan Wills, 2010).
Gambar 2.9 Struktur sel endotel interseluler dan interaksi matriks, Mehta dan Malik 2006
Kebocoran plasma pada DBD terjadi akibat longgarnya interendothelial
junction dan adhesi fokal akibat respon host terhadap infeksi. Interendothelial
junction yang bertanggung jawab terhadap kebocoran plasma meliputi thight
junction dan adhesion junction. Tight Junctions (TJ) terdiri dari claudin, occludin,
dan Junctional Adhesion Molecules (JAMs) yang berhubungan dengan actin
cytoskeleton melalui zonula occludens protein (ZO-1), sedangkan Adhesion
![Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/19.jpg)
26
Junction (AJ) disusun oleh calcium ion-dependent vascular endothelial- (VE-)
cadherin yang berkaitan dengan cytoskeletal actin melalui catenins (α, β, γ, dan
p120-catenins) (Mehta dan Malik, 2006; Walles dan Huber, 2008).
Longgarnya struktur interendotelial junction dirangsang oleh mediator
proleakage seperti trombin, bradikinin, histamin, Reactive Oxygen Species (ROS),
VEGF, TNFα, dan Bacterial Lipopolysaccharides (LPS) yang dikenal dengan
endotoksin. Mediator-mediator tersebut akan berinteraksi dengan thight junction,
adhesion junction dan matriks ekstraseluler menyebabkan longgarnya
interendotelial junction dan pada akhirnya terjadi kebocoran plasma (Mehta dan
Malik, 2006).
2.2. Feritin
2.2.1. Struktur feritin
Feritin adalah reaktan fase akut positif yang kadarnya dapat meningkat dalam
darah sebagai respon terhadap fase akut. Molekul feritin terdiri dari lapisan luar
protein tiga dimensi dengan diameter 12-13 nm yang membungkus lapisan dalam
dengan diameter 7-8 nm. Bagian luar selubung protein feritin melindungi inti dari
erric-hydroxy-phosphate dan mampu membawa 4000 atom Fe. Sementara di
rongga bagian dalam, feritin mampu mensekuestrasi Fe+2 sebagai mineral
ferrihydrate. (Worwood, 1990; Knovich et al., 2009; Cohen et al., 2010; Rosario
et al., 2013).
Protein feritin merupakan protein dengan massa molekul sekitar 500 kDa
yang terdiri dari 24 subunit, dengan 2 tipe subunit yaitu subunit H dan subunit L.
![Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/20.jpg)
27
Gen yang terekspresi pada subunit H berada pada kromosom 11 (11q13) dan
subunit L berada pada kromosom 19 (19q13). Gen H dan L pada manusia
memiliki struktur yang sama, namun memiliki intron yang berbeda dalam hal
ukuran dan sekuens. Messenger Ribonucleic Acid (mRNA) pada gen feritin
mengandung 1.1 kb. Subunit H memiliki ukuran sedikit lebih besar (178 asam
amino) dibandingkan subunit L (174 asam amino). Kedua subunit feritin H dan L
memiliki fungsi berbeda dalam proses mineralisasi besi. Feritin subunit H
memiliki daya proteksi yang lebih baik dibandingkan feritin subunit L. Feritin
subunit L sebagian besar berada di dalam sel dan berperan dalam penyimpanan
besi (Krol dan Cunha, 2003; Knovich et al., 2009; Koorts dan Viljoen, 2011).
Gambar. 2.10 Struktur subunit feritin, Rosario et al., 2013
Struktur subunit feritin memiliki 5 heliks dan loop interheliks yang
panjang. Loop L dan residu N terminal berada di luar dari subunit 24, sementara
residu C terminal berada di dalam. Pada manusia, isoferitin H ditemukan banyak
ditemukan pada sel otot jantung, sel darah merah, limfosit dan monosit,
sedangkan isoferitin L ditemukan pada liver, limpa, dan plasenta. Komposisi
subunit molekul feritin penting sebagai determinan utama fungsi isoform feritin.
Ekspresi feritin dan subunitnya dipengaruhi oleh jumlah besi yang dimetabolisme,
![Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/21.jpg)
28
adanya stress oksidatif, serta sitokin pro dan antiinflamasi (Knovich et al., 2009;
Cohen et al., 2010; Koorts dan Viljoen, 2011; Rosario et al., 2013).
2.2.2. Regulasi sintesis dan turnover feritin
Secara umum feritin berasal dari sintesis, pelepasan dari sel, serta bersihan
(clearance) dari plasma. Feritin diproduksi dan disekresi oleh hepatosit. Selain
itu, feritin juga disekresi sel lain termasuk makrofag. Sebagian besar feritin
disintesis di dalam sel dan kemudian melepaskan besi dalam rangka mengatur
homeostasis intraseluler. Feritin disintesis di poliribosom dan sebagian kecil
disintesis di retikulum endoplasma kasar. Selain berada di dalam sitosol sel,
feritin juga ditemukan dalam plasma. Feritin dapat masuk ke sirkulasi melalui
sekresi feritin oleh sel atau berasal dari pelepasan sel yang rusak. Ke dua hal ini
mempengaruhi kadar feritin dalam plasma. Kadar feritin plasma normal bervariasi
antara 15-300 µg/ l, dengan kadarnya yang lebih rendah pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa. Mekanisme bagaimana feritin didegradasi hingga
kini masih belum jelas. Suatu studi pada binatang didapatkan bahwa waktu paruh
molekul feritin adalah 72 jam (Cohen et al., 2010, Koorts dan Viljoen, 2011, Kell
dan Pretorius, 2014).
Ekspresi feritin diregulasi oleh banyak faktor. Selain jumlah besi yang
disimpan, kondisi inflamasi, faktor lainnya yang juga mempengaruhi antara lain :
stress oksidatif, nekrosis jaringan, hormon tiroid, hormon pertumbuhan, rusaknya
jaringan yang kaya feritin, infeksi, penyakit neoplastik, peningkatan turnover dari
sel darah merah, malnutrisi dan pembedahan. Sintesis feritin baik dalam tahap
![Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/22.jpg)
29
transkripsi, post transkripsi maupun translasi diregulasi oleh sitokin. Sitokin
mempengaruhi proses translasi secara tidak langsung dengan menginduksi sintesa
nitrit oxide sintase dan selanjutnya meningkatkan nitrit oxide (NO). NO kemudian
dapat menginhibisi translasi feritin. Terdapat mekanisme feedback yang
melibatkan feritin dan sitokin dalam mengontrol mediator sitokin proinflamasi
dan antiinflamasi, dimana sitokin dapat menginduksi ekspresi feritin, dan
sebaliknya feritin dapat menginduksi ekspresi sitokin proinflamasi dan
antiinflamasi (Rosario et al., 2013). Kadar feritin yang rendah didapatkan pada
beberapa kondisi seperti anemia defisiensi besi, defisiensi vitamin C, serta celiac
disease. Pada remaja dan dewasa muda, kadar feritin yang rendah dapat
menimbulkan gejala restless legs syndrome. Sekitar 40% vegetarian juga
ditemukan dengan kadar feritin yang rendah. Sementara itu, kadar feritin yang
tinggi didapatkan pada penyakit kelebihan besi, gangguan fungsi ginjal maupun
hati. Feritin diketahui sebagai marker penyakit kelebihan besi seperti
hemokromatosis dan hemosiderosis. Selain itu, beberapa penyakit seperti Adult
onset still disease, porfiria, hemofagositik limfohistiositosis/ Macrophage
Activation Syndrome juga memiliki kadar feritin yang tinggi. Pada kasus
hemophagocytic syndrome, mekanisme hiperferitinemia yang terjadi juga masih
belum jelas. Beberapa hipotesa antara lain pelepasan pasif oleh karena kerusakan
sel, peningkatan sekresi feritin oleh makrofag, peningkatan ekspresi gen feritin
oleh sitokin TNF α, gangguan bersihan oleh karena glikosilasi rendah (Rosario et
al., 2013).
![Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/23.jpg)
30
Gambar 2.11 Kontrol ekspresi feritin, Rosario et al., 2013
Penelitian pada tikus tentang feritin dan peningkatan permeabilitas
vaskular paru sebelumnya pernah dilaporkan. Peningkatan permeabilitas pada
edema paru ditandai dengan kebocoran cairan dan plasma protein keluar dari
kapiler paru dan selanjutnya masuk ke interstisial paru. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron didapatkan anion feritin berikatan dengan heparin sulfat
proteoglikan pada permukaan luar membran basal alveolar, sementara kation
feritin berikatan pada lamina densa membran kapiler. Pada kasus kerusakan paru
yang berat, kation feritin juga berpenetrasi pada sel endotel, tampak pada
interstisial dan membran basal alveolar (Brody et al., 1984).
Feritin sebagai reaktan fase akut juga ditemukan pada kondisi inflamasi
hingga infeksi. Kadar serum feritin yang tinggi sebagai reaksi infeksi akut
sebelumnya telah dilaporkan pada pasien West Nile Encephalitis dan berhubungan
dengan derajat penyakit. Tingginya kadar feritin selama respon fase akut
berhubungan dengan redistribusi besi ke dalam hati sistem fagosit mononuklear.
![Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/24.jpg)
31
Pada percobaan in vitro, sitokin menginduksi peningkatan sintesis feritin (Cunha
et al., 2004). Pada suatu studi didapatkan bahwa kadar feritin > 3000 ng/ml
berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi (Koorts dan Viljoen, 2011;
Rosario et al., 2013).
2.2.3. Fungsi Feritin
Penyimpan besi
Besi terdiri dari bentuk Fe+2 yang toksik atau Fe+3 yang non toksik. Besi yang
bebas menjadi toksik terhadap sel karena mengkatalisa pembentukan radikal
bebas dari ROS. Dalam sel, besi disimpan sebagai protein kompleks dalam bentuk
feritin atau hemosiderin. Feritin melakukan detoksifikasi dengan mengkonversi
Fe+2 menjadi Fe+3. Apoferitin berikatan dengan besi bebas ferrous (Fe+2) dan
menyimpannya dalam bentuk ferric (Fe+3). Sekitar 4500 atom Fe terakumulasi
sebagai mineral ferrihydrate. Feritin menyimpan besi dalam bentuk non toksik
dan selanjutnya menyalurkan besi ke daerah yang membutuhkan. Fungsi dan
struktur protein feritin yang terekspresi berbeda di tiap sel. Hal ini diatur oleh
berapa banyak mRNA yang ditranslasi dan seberapa stabil mRNA tersebut. Besi
yang berada dalam feritin atau hemosiderin dapat diekstraksi keluar dari sel
retikuloendotelial meskipun hemosiderin yang tersedia sedikit (Knovich et al.,
2009; Cohen et al., 2010; Koorts dan Viljoen, 2011).
Aktivitas ferroksidase
Rantai feritin melibatkan aktivitas feroksidase, konversi dari bentuk ferrous (Fe+2)
menjadi bentuk ferric (Fe+3). Reaksi ini dikenal dengan reaksi fenton (Fenton
![Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/25.jpg)
32
reaction) yang memproduksi hidroksil radikal yang bersifat sangat merusak
(Cohen et al., 2010; Koorts dan Viljoen, 2011).
Respon imun
Feritin subunit H memiliki efek imunomodulator antara lain menekan
hipersensitivitas tipe lambat yang memicu anergi, menekan produksi antibodi oleh
limfosit B, mengurangi fagositosis oleh granulosit, serta meregulasi
granulomonositopoiesis. Dalam kaitan dengan efek penekanan terhadap
proliferasi dan diferensiasi sel hematopoietik, feritin subunit H disinyalir memiliki
peranan penting dalam sinyal reseptor chemokin dan migrasi reseptor cell
mediated. Feritin subunit H merupakan regulator negatif dari CXC Chemokine
Receptor 4 (CXCR4). Feritin subunit H yang terikat pada CXCR4 selanjutnya
mengganggu sinyal aktivasi Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK), suatu
protein kinase yang berperan penting dalam proliferasi, diferensiasi dan migrasi
sel (Rosario et al., 2013).
Respon inflamasi
Peran feritin ekstraseluler sebagai mediator proinflamasi telah diteliti sebelumnya.
Feritin mengaktivasi jalur TIM2 independent yang juga berkaitan dengan aktivasi
PI3 kinase fosforilasi, protein kinase C zeta dan MAPK, serta aktivasi nuclear kB
(NF-kB). Aktivasi NF-kB meningkatkan ekspresi mediator proinflamasi seperti
IL-1ß, inducible Nitric Oxide Synthase dan mediator lainnya. Feritin memainkan
peranan penting pada kondisi inflamasi yang berhubungan dengan infeksi pada
organ seperti jantung, paru, ginjal dan pankreas (Rosario et al., 2013).
![Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/26.jpg)
33
2.2.4. Feritin sebagai protein fase akut
Respon fase akut merupakan respon terhadap infeksi lokal atau sistemik,
adanya kerusakan jaringan, kanker, ataupun adanya gangguan imun. Respon fase
akut dirangsang oleh liver serta beberapa jaringan lain dan terdiri dari protein fase
akut intraseluler dan ekstraseluler. Respon inflamasi yang berhubungan dengan
produksi sitokin membentuk bagian integral dari respon fase akut. Sitokin baik
sitokin proinflamasi maupun sitokin antiinflamasi berperan dalam regulasi protein
fase akut, dengan memediasi peningkatan protein fase akut positif dan penurunan
protein fase akut negatif. Sitokin memodulasi produksi protein fase akut meliputi
sitokin proinflamasi yang terdiri dari interleukin-1β (Il-1β) dan interleukin-6 (Il-
6), serta sitokin antiinflamasi interleukin-10 (Il-10). Feritin disinyalir merupakan
protein fase akut positif yang diregulasi intraseluler dalam banyak sel dan
ekstraseluler dalam plasma, sebagai respon terhadap peningkatan sekresi
intraseluler (Cohen et al., 2010; Fragnaud et al., 2012; Kilicarslan et al., 2013;
Rosario et al., 2013).
Feritin sebagai reaktan fase akut diketahui perannya pada sekuestrasi besi
intraseluler. Fungsi ini sangat penting dalam hal proteksi tubuh dalam melawan
proliferasi mikroba, oksidatif yang merusak, inflamasi dan kanker. Peningkatan
sintesis feritin bertujuan untuk mengurangi ketersediaan besi dalam sel sehingga
mencegah penggunaan besi untuk metabolisme mikroorganisme. Peran penting
feritin selama respon fase akut adalah dengan membatasi avaibilitas besi dengan
mensekuestrasi besi ke dalam protein feritin. Selanjutnya feritin dapat
![Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/27.jpg)
34
memodulasi banyak fungsi imun, memainkan peran penting pada jalur
proapoptosis dan antiapoptosis (Barut et al., 2010; Koorts dan Viljoen, 2011).
Oksigen radikal seperti molekul dengan elektron yang tidak berpasangan
dihasilkan dalam jumlah besar selama proses infeksi ataupun kondisi inflamasi.
Molekul ini akan bereaksi dengan protein, lipid, dan asam nukleat menghasilkan
degradasi material fagositosis pada neutrofil dan makrofag. Besi, seperti perannya
pada reaksi fenton dapat menghasilkan eksaserbasi reaksi oksigen. Peningkatan
produksi radikal oksigen yang tidak diinginkan oleh karena sejumlah besi toksik
dapat terlihat pada kondisi inflamasi kronik. Secara umum, penurunan
bioavaibilitas besi akan melindungi kerusakan sel dari radikal hidroksil yang
dihasilkan oleh neutrofil dan makrofag. Sekuestrasi besi oleh sel pada daerah
inflamasi dapat melindungi dari efek radikal bebas. Makrofag berperan dalam
memproduksi ROS dan juga dapat melindungi dari efek tersebut dengan
mengurangi jumlah besi yang tersedia. Restriksi bioavaibilitas besi selama
inflamasi dan infeksi dapat mengontrol produksi ROS. Adanya bioavaibilitas besi
dari mikroorganisme dapat membatasi proliferasi dan penyebaran
mikroorganisme selama proses infeksi (Koorts dan Viljoen, 2011).
2.2.5. Makrofag, metabolisme besi dan feritin selama respon fase akut
Makrofag adalah sentral dari penurunan besi plasma yang berhubungan
dengan aktivasi imun. Kondisi hipoferimia ini sebagian besar dipengaruhi oleh
sitokin. Inflamasi yang dimediasi oleh sitokin akan menyebabkan perpindahan
besi yang juga dipengaruhi oleh makrofag. Feritin berperan penting dalam
menghambat transfer besi. TNF α, IL-1ß, IL-6 dan IL-10 secara langsung
menstimulasi transkripsi dan translasi feritin. Aktivasi makrofag oleh sitokin
![Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/28.jpg)
35
seperti TNF α, IL-1 akan menurunkan pelepasan besi jika dibandingkan makrofag
yang tidak teraktivasi. IF-γ melalui peningkatan ekspresi divalent metal
transporter 1 akan merangsang uptake besi dari makrofag. Tidak hanya sitokin
proinflamasi, sitokin antiinflamasi juga terlibat dalam penghambatan transfer besi.
IL-4 dan IL-10 dapat menyebabkan up regulation ekspresi reseptor transferin
yang kemudian menyebabkan peningkatan uptake dari makrofag (Rizvi et al.,
1997; Cohen et al., 2010; Koorts dan Viljoen, 2011).
IFN-γ menyebabkan down regulation ekspresi feroportin, protein
transmembran mayor yang bertanggungjawab terhadap pelepasan besi makrofag
yang selanjutnya akan menghambat eksport besi dari makrofag. Down regulation
feroportin terjadi setelah respon inflamasi, setelah onset hipoferimia. Banyak
sitokin proinflamasi pada proses homeostasis besi yang menghasilkan efek
berkebalikan dengan sitokin antiinflamasi seperti IL-4 dan IL-13. Adanya retensi
besi oleh makrofag akibat peningkatan sintesis feritin telah lama dihubungkan
dengan reaktan fase akut dari suatu proses inflamasi. Peningkatan sintesis feritin
terjadi sebelum adanya penurunan kadar serum besi, dan dipertimbangkan sebagai
hasil diversi besi dari cadangan besi intraseluler ke feritin. Peningkatan ekspresi
makrofag sebagian besar dipengaruhi oleh fase awal dari pelepasan besi. Pada
kondisi normal, 2/3 besi memasuki makrofag/ sistem retikuloendotelial yang
dilepaskan pada fase ini, namun peningkatan ekspresi feritin dapat menurunkan
pelepasan besi hingga hanya 10% besi saja yang memasuki makrofag/ sistem
retikuloendotelial. Bagaimanapun, pelepasan besi secara lambat dari makrofag
menyebabkan sekitar 33% besi masih terdapat di dalam makrofag/ sistem
retikuloendotelial setelah 60 hari. Selanjutnya sekali makrofag dan macrophage
like cells teraktivasi, seperti yang terjadi selama proses inflamasi, maka sel-sel ini
![Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/29.jpg)
36
akan meningkatkan kadar reseptor transferin, dan selanjutnya mampu
meningkatkan sejumlah besi melalui proses endositosis dari iron-transferrin-
transferrin receptor complex. Peningkatan uptake besi melalui jalur ini
berkontribusi terhadap peningkatan sekuestrasi besi. Mekanisme ini merupakan
suatu strategi pertahanan dalam rangka mengurangi besi aktif pada daerah
inflamasi atau pada respon inflamasi sistemik (Leimberg et al., 2008; Koorts dan
Viljoen, 2011; Kell dan Pretorius, 2014).
Beberapa penelitian longitudinal tentang feritin sebelumnya telah
dilaporkan bahwa pada suatu penelitian eksperimental yang menginduksi
terjadinya demam didapatkan kadar konsentrasi feritin mencapai kadar maksimum
setelah 3 hari dan perlahan-lahan menurun ke kadar normal setelah hari ke 10.
Setelah terjadi infeksi akut, konsentrasi serum feritin akan meningkat hingga 3
kali lipat dengan kadar maksimum tercapai dalam waktu 1 minggu. Konsentrasi
serum feritin selanjutnya akan menurun secara perlahan-lahan dalam beberapa
minggu. Setelah infark miokard, konsentrasi feritin meningkat setelah 30 jam,
mencapai puncak dalam waktu 4 hari dan menurun setelah 2 minggu. Infeksi dan
inflamasi akut menginduksi hambatan pelepasan besi yang terkumpul di dalam sel
dan disimpan dalam bentuk feritin sehingga kadar besi serum menurun.
Peningkatan feritin serum sebagai reaktan fase akut merefleksikan respons klinis
untuk menghambat penggunaan besi serum oleh mikroorganisme (Koorts dan
Viljoen, 2011).
2.3. Feritin dan infeksi virus dengue
Peran feritin pada patogenesis infeksi virus dengue hingga kini memang
masih belum jelas. Pada penelitian terdahulu, kadar feritin yang tinggi didapatkan
![Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/30.jpg)
37
pada penderita infeksi virus dengue berat. Penelitian pada populasi anak dengan
infeksi dengue di Thailand sebelumnya memperlihatkan bahwa kadar feritin
serum dapat dijadikan sebagai prediktor clinical outcome pada infeksi VD.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kadar feritin pada DBD derajat III dan
IV lebih tinggi dibandingkan DD serta DBD derajat I dan II, dan hal ini diduga
berkaitan dengan adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang terjadi pada
DBD terutama pada derajat III dan IV. Dari penelitian itu juga disimpulkan bahwa
cut off kadar feritin > 1200 ng/ml dapat digunakan untuk memprediksi
progresivitas infeksi DBD. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian pada
pasien dengan West Nile Encephalitis dimana West Nile virus dan dengue virus
sama-sama merupakan family flaviviridae (Chaiyaratana et al., 2008).
Selain penelitian di Thailand, penelitian lain tentang kadar feritin dengan
infeksi dengue pada populasi orang dewasa juga telah dilakukan di Aruba,
Amerika Selatan. Penelitian tersebut mengevaluasi kadar feritin serum pada
pasien infeksi non severe dan severe dengue. Pada fase kritis, feritin meningkat
secara signifikan. Pada non severe dengue without warning signs (p = 0,0014),
non severe dengue with warning signs (p < 0,0001), dan severe dengue (p=
0,0028). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa kadar feritin serum dengan
cut off > 1500 ng/ml berhubungan dengan derajat progresivitas infeksi dengue.
Kadar feritin serum yang diperiksa pada hari ke-4 dan ke-5 dari onset sakit dapat
menjadi prediktor outcome infeksi dengue pada fase akut infeksi. Kadar feritin
yang tinggi disinyalir berhubungan dengan indikator aktivasi makrofag pada
patogenesis dengeu (Van de weg et al., 2011).
![Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/31.jpg)
38
Sementara itu, penelitian tentang hubungan antara kadar feritin dengan
derajat keparahan infeksi dengue pada populasi anak-anak di Indonesia sudah
pernah dilakukan sebelumnya. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa kadar
feritin yang tinggi berhubungan dengan derajat keparahan infeksi dengue.
Terdapat hubungan kuat dan sangat bermakna antara kadar feritin serum dengan
derajat beratnya penyakit (p<0,001; r=0,635). Semakin tinggi kadar feritin serum,
semakin berat derajat keparahan infeksi dengue. Inflamasi dan stres oksidatif
dalam hal ini berperan dalam regulasi feritin. Peningkatan sitokin inflamasi
terutama TNF α dan IL-2 pada berbagai infeksi termasuk infeksi dengue akan
meningkatkan sintesis feritin oleh sel mesenkim, hepatosit, dan makrofag,
sehingga perlu dipertimbangkan pemeriksaan kadar feritin serum sebagai
prediktor awal infeksi dengue berat pada awal fase demam pada anak yang
dicurigai mengalami infeksi dengue (Ruslianti et al., 2013).
Penelitian lainnya dengan menggunakan Isotope Coded Protein Labeling
(ICPL) mengevaluasi perbedaan antara infeksi akut dengue berat dan tidak berat.
Melalui pemeriksaan ELISA kuantitatif, 3 protein yang teridentifikasi yaitu
Leucine-rich glycoprotein 1, vitamin D binding protein dan feritin meningkat
kadarnya pada infeksi dengue berat. Ketiga protein ini diperkirakan dapat menjadi
biomarker prognostik derajat keparahan infeksi dengue yang perlu
dipertimbangkan (Fragnoud et al., 2012).
Kadar feritin yang tinggi diduga merupakan indikator aktivasi makrofag
yang dapat merefleksikan peran makrofag dan monosit pada patogenesis dengue.
Menurut penelitian, antigen dengue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang
![Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/32.jpg)
39
beredar dalam sirkulasi dibanding dengan sel makrofag yang menetap di jaringan.
Makrofag memiliki peran penting dalam mensintesis dan menjadi sumber feritin
pada infeksi fase akut. Makrofag merupakan sel target primer in vivo pada infeksi
virus dengue. Virus yang masuk selanjutnya berkembang di dalam darah dan
ditangkap oleh makrofag. Makrofag yang teraktivasi akan ikut terlibat pada proses
hemofagositosis yang kemudian berlanjut pada mekanisme kebocoran plasma
pada DBD. Aktivasi makrofag yang tinggi akan menyebabkan kadar feritin serum
meningkat dan selanjutnya berkontribusi terhadap derajat beratnya infeksi virus
dengue yang terjadi (Rizvi et al., 1987; Chaiyaratana et al., 2008; Leimberg et al.,
2008; Cohen et al., 2010).
Gambar 2.12 Aktivasi makrofag dan hemofagositik pada infeksi virus dengue, Lei et al., 2008
Histamin merupakan salah satu mediator yang berperan dalam kebocoran
plasma termasuk pada infeksi dengue. Pada studi sebelumnya didapatkan bahwa
histamin berikatan dengan glutaralhydehyd activated ferritin. Ikatan histamin-
ferritin
![Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/33.jpg)
40
feritin ini selanjutnya menginduksi terbukanya endothelial junction. Marker
biologis aktif telah memperlihatkan ikatan histamin-feritin memiliki afinitas yang
kuat pada membran plasma. Ikatan histamin-feritin menginduksi histamine like
effect menyebabkan kebocoran plasma melalui pembukaan pada endothelial
junction (Heltianu et al., 1982; Bhargava, 1997).
Gambar. 2.13 Agregrasi Histamin-Feritin (tanda panah) menyebabkan
pembukaan endothelial junction (*) (Heltianu et al., 1982)
Distribusi reseptor histamin terdapat pada beberapa sel, jaringan dan organ
termasuk pembuluh darah. Efek histamin pada sistem kardiovaskuler dimediasi
oleh reseptor histamin. Pada lumen endotel pembuluh darah terdapat membran
reseptor histamin dan terutama paling banyak pada vena. Pembukaan endothelial
junction pada vena, extravasasi, diapedesis merupakan suatu proses yang
kompleks, di mana histamin berperan dalam merangsang kontraksi filamen (yang
kemudian diikuti fase relaksasi) pada sel endotel, perisit, dan sel otot polos.
Degranulasi sel mast akan menyebabkan pelepasan histamin dan selanjutnya
histamin akan berikatan dengan reseptor histamin yang ada pada endotel vaskular
![Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/34.jpg)
41
(H1). Histamin membuka endothelial junction melalui kontraksi filamen
intrasitoplasmik dan kemudian menyebabkan vasodilatasi dan kebocoran plasma
(Bhargava, 1997; Zoe et al., 2007).
Histamin berikatan kovalen dengan glutaraldehyde activated ferritine
dalam bentuk monomer atau agregasi kecil berukuran 0,05-0,15 µm yang dapat
terlihat pada pemeriksaan mikroskop elektron. Ikatan konjugasi histamin-feritin
banyak didapatkan pada daerah lumen sel endotel plasmalema terutama pada
daerah yang banyak filamen dan pada endothelial junction (Heltianu et al., 1982).
Beberapa studi mencoba meneliti tentang parameter kebocoran plasma
pada DBD di samping parameter kebocoran plasma yang sudah ada
(hipoalbuminemia, hemokonsentrasi, asites atau efusi pleura). Laktat serum
disinyalir berhubungan dengan kebocoran plasma pada DBD. Adanya
peningkatan permeabilitas vaskular yang mendadak pada DBD, mengakibatkan
terjadinya rembesan plasma, viskositas darah meningkat, terjadi penurunan aliran
darah, gangguan mikrosirkulasi dan perfusi jaringan, serta penurunan hantaran
oksigen dan suplai nutrisi ke organ-organ tubuh sehingga menyebabkan
metabolisme anaerob dengan penimbunan asam laktat. Penelitian lainnya juga
menyatakan bahwa kadar laktat serum > 2,4 mmol/L dapat digunakan sebagai
acuan untuk menentukan adanya kebocoran plasma dalam mendiagnosis DBD
(Santosa, 2011).
Selain itu, ada beberapa penelitian lain yang menghubungkan sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi dengan parameter kebocoran plasma pada DBD.
Seperti dipaparkan pada patogenesis teori mediator pada infeksi VD, beberapa
![Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Virus Dengue 1 · et al., 2009). Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di](https://reader031.fdocument.pub/reader031/viewer/2022021716/5cfdf67b88c99367218be0df/html5/thumbnails/35.jpg)
42
mediator seperti IFN, IL-1, IL-6, IL-12, TNF serta Leucocyte Inhibiting Factor
diduga berperan atas terjadinya demam, syok dan permeabilitas kapiler yang
meningkat (Sutaryo, 1999; Lei et al., 2008; Bozza, 2008).
IL-8, TGF-β1 merupakan beberapa sitokin proinflamasi yang berhubungan
dengan kebocoran plasma pada DBD. Penelitian yang dilakukan oleh M. Juffrie
dkk menyimpulkan adanya korelasi antara IL-8 dengan manifestasi asites, efusi
pleura pada DBD (p< 0,05). Penelitian lainnya terhadap 52 anak yang positif
terinfeksi dengue, pada fase awal perawatan (hari ke 1-3 demam) didapatkan
kadar TGF-β1 pada plasma secara bermakna lebih tinggi pada kelompok DBD
daripada DD (Winoto, 2009). Penelitian tentang hubungan kadar feritin serum
sendiri yang dihubungkan dengan parameter kebocoran plasma pada infeksi VD
hingga kini memang masih belum jelas. Ikatan konjugasi histamin-feritin
membuka endothelial junction melalui kontraksi filamen intrasitoplasmik dan
kemudian diduga menyebabkan vasodilatasi dan kebocoran plasma pada infeksi
VD (Bhargava, 1997; Zoe et al., 2007).