BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Partai Politik 1 ...eprints.umm.ac.id/38995/3/04 BAB II.pdfpartai...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Partai Politik 1 ...eprints.umm.ac.id/38995/3/04 BAB II.pdfpartai...
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab II ini disampaikan mengenai beberapa kajian teori seperti definisi dari
partai politik dan kaderisasi serta dicantumkan pula penelitian terdahulu yang ada
hubungannya dalam sistem pengaderan sebagai acuan dalam melakukan penelitian.
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Definisi Partai Politik
1. Pengertian Partai Politik
Pengertian partai secara etmologis menurut Assiddiqie (2006),
mengemukakan bahwa partai berasal dari kata part yang berarti
bagian / golongan. Kata partai menunjukkan pada golongan sebagai
pengelompokan masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu seperti
tujuan, ideology, agama, atau bahkan kepentingan. Pengelompokan
itu berbentuk organisasi keagamaan, organisasi, kepemudaan, serta
organisasi politik. Kata partai lebih banyak diasosiasikan untuk
organisasi politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di
bidang politik.
Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
menyatakan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat bangsa dan Negara serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasakan Pancasila dan Undang-
11
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, sehingga
praktek di lapangan ini belum memenuhi isi ayat tersebut, perlu
adanya peninjauan ulang dalam pelaksanaan pendidikan kader pada
partai Demokrat, bila permasalahan yang muncul adalah pencalonan
diri yang berfokus aka pengumpulan massa saja bukan berlandaskan
kesamaan kehendak dan cita-cita kebangsaan.
Menurut Budiardjo (2008), partai politik adalah sekelompok
manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan
partainya berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat idiil secara materiil.
Berdasarkan pendapat ahli yang telah disebutkan di atas, maka
dapat disimpulkan baghwa partai politik merupakan organisasi politik
yang memiliki ideology dan cita-cita tertentu yang ingin diraih secara
bersama-sama dan memilki tujuan untuk merebut dan atau
mempertahankan kekuasaan dengan cara bersaing dalam pemilu untuk
menduduki jabatan-jabatan politik.
2. Dasar Hukum Pembentukan Partai Politik
Undang-Undang No. 2 tahun 2011 Pasal 2 mengatakan:
a. Partai politik didirikan dan dibentuk paling sedikit 30 (tiga
puluh) orang warga Negara Indonesia yang berusia 21 (dua puluh
satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.
12
(1) Partai politik sebagaimana dimaksudkan ayat (1) didaftarkan
oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang
mewakili seluruh pendiri partai politik dengan akta notaris
(2) Pendiri dan pengurus partai politik dilarang merangkap
sebagai anggota partai politik lain.
b. Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan.
c. Akta notaris sebagimana dimaksudkan pada ayat (1a) harus
memuat AD dan ART serta kepengurusan partai politik tingkat
pusat.
d. AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:
(1) Asas dan ciri partai politik;
(2) Visi dan misi partai politik;
(3) Nama,lambang,dan tanda gambar partai politik;
(4) Tujuan dan fungsi Partai Politik;
(5) Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
(6) Kepengurusan Partai Politik;
(7) Mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan
jabatan politik;
(8) Sistem kaderisasi;
(9) Mekanisme pemberhentiaan anggota Partai Politik;
(10) Peraturan dan keputusan Partai Politik;
(11) Pendidikan politik;
13
(12) Keuangan politik; dan
(13) Mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik.
e. Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagimana
dimaksudkan pada ayat (2) disusun dengan menyertakan paling
sedikit 30% (tigapuluh perseratus) keterwakilan perempuan.
3. Fungsi Partai Politik
Menurut Surbakti (2007), ada tujuh fungsi partai politik yaitu:
a. Sebagai sarana komunikasi politik.
b. Pemandu kepentingan.
c. Sebagai sarana sosialisasi politik
d. Sebagai sarana rekrutmen politik.
e. Pengendali konflik.
f. Partisipasi politik.
g. Sebagai kontrol politik.
Berdasarkan kenyataannya, tidak semua fungsi partai politik
dilaksanakan dalam porsi dan tingkat keberhasilan yang sama. Hal ini
tida hanya bergantung pada sistem politiknya, akan tetapi dipengaruhi
faktor lain seperti tingkat dukungan yang diberikan anggota
masyarakat terhadap partai politik, kemampuan adaptasi,
kompleksitas organisasi, otonomi, dan kesatuannya.
2.1.2 Definisi Konseptual Mengenai Kader dan Kaderisasi
1. Pengertian kader
14
Menurut Budiardjo (2008), kader adalah orang yang berada
dalam suatu organisasi yang mempunyai tugas untuk mewujudkan visi
dan misi suatu organisasi. Dalam pendapat lain kader suatu organisasi
adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai
keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki kemampuan
yang di atas rata- rata orang umum.
Pengertian di atas dapat dimaknai bahwa kader merupakan
sumber daya manusia sebagai calon anggota dalam organisasi yang
melakukan proses seleksi yang dilatih dan dipersiapkan untuk
memiliki keterampilan dan disiplin ilmu. Proses seleksi dapat disebut
juga kaderisasi. Fungsi dari kaderisasi adalah mempersiapkan calon-
calon (embrio) yang siap melanjutkan tongkat estafet perjuangan
sebuah organisasi.
Menurut Budiardjo (2008), kaderisasi merupakan fungsi yang
terabaikan sejak awal kehidupan partai politik sampai masa pasca
Orde Baru sekarang ini. Pada masa lalu, kaderisasi dilakukan bukan
oleh partai politik, melainkan oleh ormas-ormas yang menjadi
underbow di partai. Pimpinan partai tinggal menerima kader-kader
yang telah dihasilkan oleh ormas-ormas tersebut. Pada masa
demokratisasi sekarang ini, pimpinan partai politik seharusnya
melakukan pendidikan kader secara berjenjang dan
berkesinambungan untuk menghasilkan kader-kader partai politik
yang akan menjadi pimpinan nasional di masa mendatang. Oleh
karena itu, tepat sekali bila dikatakan bahwa partai politik adalah
15
penghasil pimpinan nasional di masa depan. Bila partai politik mampu
menghasilkan kader yang berkualitas, berarti partai politik mampu
menyediakan pemimpin nasional masa depan yang berkualitas pula.
Menurut Tohir (2007), proses kaderisasi partai politik
memiliki cara sendiri untuk menumbuhkan militansi, salah satu
caranya yaitu dengan penanaman ideologi atau yang biasa disebut
visioning. Penanaman ideologi adalah faktor kunci pengkaderan yang
dalam institusi yang merupakan bagian dari format pengkaderan
formal dengan tahapan-tahapan yang dimatangkan oleh institusi yang
bersangkutan.
Menurut Asshiddiqie (2006) “Partai dibentuk memang
dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi
kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi
tertentu”. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh
rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak
langsung lainnya.
Sumber daya manusia sebagai calon anggota atau calon kader
dalam partai politik akan menjalani proses seleksi yang disebut
kaderisasi berupa pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan
agar memahami platform partai, sejarah perjuangan partai, arah
perjuangan partai dan strategi perjuangan politik yang digunakan oleh
partai serta memiliki militansi yang tinggi pada partai politik tersebut.
16
Salah satu caranya, yang merupakan faktor kunci yaitu dengan
penanaman ideologi.
2. Definisi Konseptual Mengenai Partai Kader
Menurut Amal, (1996) “Partai kader merupakan
perkembangan lebih lanjut dengan keanggotaan berasal dari golongan
kelas menengah ke atas”. Akibatnya ideologi yang dianut partai ini
adalah Konservatisme Ekstrem atau maksimal Reformis Moderat.
Karena itu partai kader tidak memerlukan organisasi besar yang dapat
memobilisasi massa. Sehingga partai kader lebih tampak sebagai
kelompok informal daripada sebagai organisasi yang didasarkan
disiplin.”
Selain itu juga ada pengertian partai kader yang dikemukakan
oleh Maryanah, ( 2004) yaitu partai yang mengandalkan pada kualitas
anggota, keketatan organisasi dan disiplin anggota sebagai sumber
kekuatan utama. Seleksi keanggotaan sangat ketat, melalui
pengkaderan yang berjenjang dan intensif, serta penegakan displin
partai yang konsisten, tanpa pandang bulu. Struktur organisasi sangat
hirarki, sehingga jalur perintah dan tanggung jawab sangat jelas dan
elitis.
Berdasarkan dua pengertian partai kader dari ahli-ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa partai politik yang mengandalkan kualitas
anggota serta keanggotaannya melalui sistem yang sudah ditentukan
dengan ketat, berjenjang serta intensif yang memiliki tanggung jawab
17
dan disiplin yang tinggi. Partai kader biasanya menganut ideologi
Konservatisme Ekstrem atau maksimal Reformis Moderat.
2.1.3 Kaderisasi Partai Politik
Menurut Andrianus, (2006) Kaderisasi lebih bersifat sebagai
proses “intervensi” dari partai politik untuk meningkatkan kapasitas
individual para anggotanya agar mampu menjalankan sebagai fungsi
partai. Selain itu, secara eksternal, kaderisasi juga berarti penting bagi
tanggung jawab partai dalam melakukan pendidikan politik kepada
publik.
Kaderisasi sekaligus juga berguna untuk memastikan bahwa
orang-orang yang terseleksi dalam proses rekrutmen adalah orang yang
kompeten atau memiliki layolitas terhadap partai. Karakteristik kaderisasi
yang ingin dihasilkan ini akan juga ditentukan oleh kecenderungan
tipedari partai yang bersangkutan.
Agar proses kaderisasi ini dapat terjaga kontinuitasnya, maka
dibutuhkan pelembagaan kaderisasi. Ada dua dimensi utama yang penting
dicermati dalam rangka melakukan pelembagaan kaderisasi, yang
sebenarnya menjadi ciri khas pelembagaan demokrasi dalam internal
partai, yakni dimensi formal dan dimensi politis.
Dimensi formal berkenaan dengan soal bahwa internalisasi nilai-
nilai demokrasi dan perjuangan partai butuh dicangkokkan melalui
instrumen program pendidikan dan pembentukan lembaga yang khusus
mengelola kaderisasi. Dengan kata lain ini berkenaan dengan
pembentukan sistem formal kaderisasi. Sedangkan dimensi politis
18
menempatkan kaderisasi dalam makna ruang politik, yakni ruang tarik-
menarik atau kompetisi berbagai kepentingan atau faksi-faksi internal
partai yang rawan konflik. Secara spesifik, benturan antara dimensi formal
dan politis ini akan diawali dari ketegangan kebutuhan partai untuk
menciptakan standar-standar kapasitas tertentu bagi para anggotanya di
satu sisi, dan potensi kehendak politis untuk mengabaikannya. Dimensi
politis yang muncul di sini sebenarnya juga karena keterkaitan kaderisasi
dengan dimensi politis dalam proses rekrutmen.
Komitmen untuk melaksanakan kaderisasi tidak cukup dengan
hanya mencantumkannya dalam AD/ART. Ini berikutnya harus
diterjemahkan dalam program-program partai dalam setiap periode dan
tingkatan kepengurusan. Komitmen dan keseriusan partai politik dalam
melakukan kaderisasi harus bisa diukur dengan ukuran-ukuran yang
kongkret dan dipahami oleh publik. Oleh karena itu, setidaknya komitmen
dan tingkat keseriusan itu dapat diukur dengan mencermati beberapa
indikator sebagai berikut :
1. Sistem Kaderisasi terdiri dari: orientasi pengkaderan, kesesuaian
materi kaderisasi dengan platform dan program, mekanisme
kaderisasi.
2. Kelembagaan terdiri dari: keberadaan lembaga kadrisasi dalam tiap
tingkatan kepengurusan partai, penjaluran kader pasca kaderisasi
(penjaluran output), adanya trainer yang melaksanakan kegiatan
pengkaderan.
19
3. Kuantitas terdiri dari: jumlah orang yang mengikuti pengkaderan, dan
jumlah trainer.
4. Kualitas meliputi: tingkat kapasitas keahlian peserta kaderisasi, karya
atau prestasi peserta pasca kaderisasi, waktu dan dana. Sedangkan
pada alokasi waktu dan dana di bagi lagi menjadi Alokasi waktu yang
dialokasikan bagi program-program pengkaderan dan Alokasi dana
yang dianggarkan untuk program-program pengkaderan.
2.1.4 Kriteria Kader
Menurut Tohir, (2007) “kader adalah pendukung yang telah
menjadi anggota dari partai politik tertentu yang ditentukan berdasarkan
mekanisme rekrutmen yang berlaku dalam setiap partai politik”. Mereka
ini berikutnya akan diproyeksikan untuk tampil sebagai penggerak roda
organisasi partai, baik sebagai pengelola atau pemimpin partai maupun
untuk menjadi pejabat-pejabat publik yang direkomendasikan oleh partai.
Agar partai politik dapat menjalankan fungsinya secara efektif,
maka kader partai harus terlebih dahulu bersepakat dengan garis ideologi
dan aturan - aturan yang berlaku dalam partai. Ini misalnya ditunjukkan
dengan penerimaan terhadap AD/ART dan arah perjuangan partai.
Konsekuensinya, saat bersamaan, partai politik tidak dapat mentoleransi
kader-kadernya yang secara fundamental tidak bersepakat dengan
kepemimpinan dan ide-ide perjuangan partai, loyal kepada partai lain atau
menolak untuk terlibat kerja dalam struktur partai. Namun demikian,
setiap partai politik harus tetap terbuka bagi munculnya berbagai
pandangan maupun inisiatif dari individu-individu partai. Ini penting agar
20
tidak terjadi stagnasi dalam partai politik. Artinya, partai politik
sungguhpun dituntut untuk memiliki konsistensi ideologi dan format
organisasi yang koheren dengannya, namun harus memperhatikan
munculnya ide-ide dan inovasi baru sesuai dengan kebutuhan obyektif
yang ada.
Demi mendapatkan kader-kader yang sesuai dengan kebutuhan
partai, maka tiap partai memiliki kriterianya masing-masing. Perbedaan
kriteria kader ini adalah konsekuensi dari perbedaan tipe partai,
sungguhpun kombinasi juga dimungkinkan karena pergeseran
kecenderungan dari partai yang bersangkutan.
21
Tabel 2.1
Kriteria Kader
Tipe Partai Kriteria Kader
Partai Massa
1. Kader memiliki kesamaan
ideologi dengan ideologi partai.
2. Kader memiliki kedekatan
sejarah sosio - kultural dengan
basis sosio - kultural pendukung
partai.
3. Kader harus dihasilkan melalui
proses pengkaderan internal
partai.
4. Kader adalah simpul mobilisasi
pendukung partai (simpul
massa).
Partai kader
1. Kader memiliki kesamaan
ideologi dengan ideologi partai
meskipun mungkin dalam batas
yang cair.
2. Kader dihasilkan melalui proses
pengkaderan internal partai
namun bisa juga tidak.
3. Kader memilki kualitas untuk
merancang kebijakan partai dan
memiliki kapasitas menduduki
jabatan-jabatan publik.
4. Kader tidak mesti menjadi
simpul massa / mobilitas massa.
Partai Catch all
1. Kader memilki kesamaan ideologi
dengan ideologi partai meskipun
mungkin dalam batas yang sangat
cair.
2. Kader memiliki kesesuaian dengan
isu-isu utama partai bagi
pemenangan pemilu.
3. Kader tidak mesti berasal melalui
kaderisasi formal partai, namun
bisa juga berasal dari mantan
anggota atau kader partai lain.
4. Kader memiliki kualitas untuk
merancang kebijakan partai dan
memiliki kapasitas menduduki
jabatan-jabatan publik.
Sumber: Andrianus, 2006
22
2.1.5 Alternatif Model Kaderisasi
Menurut Surbakti, (2007) “Untuk mendapatkan kader-kader
dengan kriteria yang dibutuhkan maka partai politik butuh untuk
mendesain sistem kaderisasi yang jelas dan sesuai dengan kebutuhan
partai untuk menjawab tantangan kebutuhan”. Berikutnya, untuk
menjamin keberlanjutan kaderisasi, maka sistem kaderisasi ini butuh
dilembagakan segera formal dalam satu lembaga khusus yang dalam
logika struktur fungsi, format kelembagaannya akan mengikuti fungsi-
fungsi yang dibebankan dalam sistem kaderisasi berikut.
Sistem kaderisasi bisa disusun berdasarkan model hirarkhi,
spesialisasi atau keahlian atau campuran dari keduanya. Model ini bisa
disesuaikan dengan kebutuhan fungsi-fungsi partai yang akan dijalankan
di tiap wajah partai. Selain itu masing-masing model akan memiliki
implikasi, misalnya, bagi pengelolaan struktur organisasi partai baik
untuk bagan organisasi yang sifatnya vertikal (struktur vertikal organisasi)
atau yang bersifat horisontal (struktur keahlian/spesialisasi dari
organisasi) dan sitem karir.
23
Tabel 2.2
Alternatif Model Kaderisasi
KADERISASI
Kebutuhan Sifat Lembaga
1. Kebutuhan untuk
menduduki jabatan-
jabatan publik,
2. Kebutuhan
mengorganisir dan
memobilisasi massa
pendukung,
3. Menjadi jembatan
kumunikasi antara
partai dengan
pendukung, publik
luas dan media
massa
4. Kebutuhan
kemampuan
penggalangan dana
1. Hierarki/Penjenjangan
• Tingkat Dasar
• Tingkat Menengah
• Tingkat Lanjut
2. Spesialisasi/keahlian
• Training Policy
making (based
issue)
• Training Organizer
• Training Fund
raiser
• Training berbasis
isu. Misalnya :
Gender
Campuran/kombina
si
1. Lembaga
pengkaderan
(kaderisasi
formal
dan/atau non
formal)
• Lembaga
pengkader
an tingkat
nasional
• Lembaga
pengkader
an tingkat
Provinsi
• Lembaga
pengkader
an tingkat
Kabupaten
/Kota
• Lembaga
pengkader
an tingkat
desa
Sumber: Surbakti, 2007
1. Model Hirarkhi
Menurut Surbakti, (2007) pengertian model hirarkhi adalah
penjenjangan kaderisasi berdasarkan pelapisan yang bertahap,
bertingkat atau piramidal. Ini misalnya bisa disusun dengan
melakukan penjenjangan kaderisasi tingkat dasar, tingkat menengah,
tingkat lanjut atau penyebutan lainnya. Rasionalisasi penjenjangan
model hirarkhi ini bisa dilakukan karena alasan penjenjangan sebagai
akibat pentahapan materi kaderisasi (materi bersifat piramidal) dan
24
penjenjangan sebagai akibat pentahapan karir dalam organisasi (karir
bersifat piramidal).
Penggunaan model penjenjangan dengan model hirarkhi
seperti ini menciptakan beberapa implikasi dalam kaitannya dengan
kehidupan internal partai. Ini misalnya dilakukan karena ada
kebutuhan untuk menyelesaikan pada pembekalan kapasitas lainnya.
Intinya, materi pengkaderan diandaikan dalam skema piramidal.
Pentahapan materi dalam skema piramidal akan berguna untuk
dapat memastikan bahwa setiap kader partai akan memiliki tingkat
kapasitas yang sama karena melalui proses kaderisasi yang sama
(standarisasi). Sedangkan pentahapan sebagai akibat dari kebutuhan
untuk melakukan pentahapan karir bisa berguna bagi salah satu
persyaratan meniti karir organisasi pada posisi-posisi yang ada di
tingkat lokal dengan regional atau pusat. Ini misalnya tampak tingkat
melalui persyaratan tingkat kaderisasi tertentu yang harus diikuti oleh
calon ketua partai, sekretaris jenderal dan sebagainya di setiap
tingkatan.
2. Model Spesialisasi/Keahlian
Menurut Surbakti, (2007) “Model selain dengan menggunakan
model hirarkhi, jenjang kaderisasi juga disusun dengan model yang
berbasis spesialisasi atau keahlian tertentu yang harus dimiliki oleh
seorang kader untuk dapat terlibat secara aktif sebagai aktivis partai
politik”. Model ini didasarkan pada rasionalisasi adanya beragam
fungsi dalam pengelolaan partai yang membutuhkan keahlian khusus
25
sehingga materi-materi kaderisasi lebih menonjolkan sisi keahlian
tertentu yang harus dimiliki kader partai. Saat bersamaan, model
berbasis spesialisasi ini juga akibat dari upaya penciptaan sistem karir
yang lebih bersifat menyebar, artinya disesuaikan dengan karir yang
hendak ditempuh oleh seorang kader partai.
Keberagaman fungsi-fungsi ini misalnya menyangkut fungsi
internal seperti keahlian manajerial dalam mengelola organisasi,
keahlian sebagai calon pengelola hubungan partai dengan masyarakat
dan media, keahlian sebagai penggalang dukungan dalam pemilu,
keahlian sebagai penggalang dana, dan sebagainya. Fungsi-fungsi ini
diandaikan berdiri sendiri namun tetap dalam satu kesatuan sistem
pengelolaan partai.
2.2 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan
dilakukan yang pertama adalah Roni, (2014) dengan judul “Sistem Kaderisasi
Dan Penetapan Calon Anggota Legislatif Dalam Pemilu 2009 (Studi Kasus
Partai Golkar Kabupaten Penajam Paser Utara)”.
Hasil penelitian penelitian ini menunjukkan kapasitas dan kapabilitas
serta kredibilitas yang tinggi dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, perekonomian dan infrastuktur adalah sesuatu yang diharapkan oleh
partai Golkar untuk merekrut kader-kader yang berpotensi dan mampu diajukan
sebagai calon anggota legislatif pada pemilihan umum periode tahun 2004-2009
di Kabupaten Penajam Paser Utara. Proses rekrutmen yang diproyeksikan pada
26
pemilihan anggota legislative menunjukan adanya peningkatan kualitas kader
pada partai Golkar, hal ini terjadi pada pemilihan anggota legislatif untuk tahun
2004-2009 yang mana kader yang dipilih untuk menjadi anggota legislatif
berasal dari dalam partai Golkar. Walaupun di dalam prosesnya partai Golkar
menggunakan sistem tertutup dalam menentuan calon, partai Golkar sebenarnya
juga memakai sistem tertbuka tetapi hanya pada proses pendaftaran, karena
partai Golkar membuka peluang kepada siapa saja yang ingin mendaftarkan diri
menjadi calon legislatif dari partai Golkar di Kabupaten Penajam Paser Utara
Diharapkan DPD partai Golkar Kabupaten Penajam Paser Utara
mengkolaborasikan antara sistem bottom up dari (bawah ke atas) dan sistem top
down (dari atas ke bawah), supaya partai tidak hanya fokus pada kaderisasi di
tingkat desa saja atau yang lebih dikenal sebagai Karekterdes (kaderisasi tingkat
desa), tetapi partai Golkar juga harus lebih fokus kepada kaderisasi di tingkat
nasional, agar nantinya elit-elit politik yang di hasilkan dari proses kaderisasi
yang dilakukan bener-benar sesuai dengan apa yang di harapkan oleh partai
Golkar itu sendiri, karena hasil dan kinerja dari para pemimpin di tingkat
nasional dan di tingkat desa akan menjadi tolak ukur penilaian masyarakat
terhadap baik buruknya citra partai Golkar di mata masyarakat.
Perbedaan penelitian Saputra, (2014) dengan penelitian ini adalah
periode penelitian yang dilakukan Saputra, Roni Tamara (2014) adalah tahun
2014 sedangkan penelitian ini adalaha pada tahun 2018. Penelitian Saputra,
(2014) membahas soal sistem kaderisasi dan penetapan calon anggota
legislative pada partai golkar sedangkan pada penelitian ini hanya membahas
soal sistem kaderisasi pada partai demokrat.
27
Penelitian Nurazizah, (2015) dengan judul “Kaderisasi Partai Nasdem
Dalam Menghadapi Pemilu Legislatif 2014 Di Kabupaten Maros”. Berdasarkan
hasil pembahasan terkait DPD Partai Nasdem Kabupaten Maros dalam hal pola
kaderisasi calon anggota legislatif yang di gunakan adalah Pola Rekrutmen
calon anggota legislatif yang digunakan pada DPD Partai Nasdem Kabupaten
Maros adalah Pola rekrutmen terbuka, yaitu memberikan kesempatan yang
sangat luas bagi siapapun anggota masyarakat yang ingin mendaftarkan diri
sebagai calon anggota legislatif dari Partai Nasdem Kabupaten Maros,
walaupun seseorang itu bukan kader atau pengurus partai asal dapat memenuhi
syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku.
Langkah-langkah yang ditempuh Partai Nasdem Kabupaten Maros yang
mampu memudahkan dalam proses perekrutan yaitu: membentuk tim seleksi
rekrutmen, syarat dan prosedur diumumkan secara luas, dan memberi peluang
yang sama.
Perbedaan penelitian Nurazizah, (2015) dengan penelitian ini adalah
periode yang dilakukan Nurazizah, (2015) adalah pada tahun 2015 sedangkan
penelitian ini pada tahun 2018. Pada penelitian Nurazizah, (2015) membahas
soal kaderisasi partai nasdem dalam menghadapi pemilu legislatif 2014 di
kabupaten maros sedangkan pada penelitian ini membahas sistem kaderisasi
pada partai demokrat.
Penelitian Sulaeman, (2015) dengan Judul “Demokrasi, Partai Politik,
Dan Pemilihan Kepala Daerah”. Hasil dari penelitian ini Pertama, partai politik
pengusung sebelum mendaftarkan calonnya ke KPU harus telah menemukan
pasangan calon yang kapabel dan akuntabel disamping tingkat elektabilitas
28
memadai. Kiranya dapat dipertimbangkan bahwa calon kepala daerah yang
akan menentukan siapa calon wakilnya, supaya ketika mereka sama-sama
terpilih, wakil kepala daerah merasa direkomendasi oleh kepala daerah. Dengan
cara ini sang wakil kepala daerah tidak akan menempatkan diri sebagai rival
dan akan loyal bahkan patuh pada kepala daerah, karena yang bersangkutan
eksistensinya bisa menjadi wakil kepala daerah karena keinginan dan usulan
kepala daerah. Formasi demikian diharapkan pada penyelenggaraan
pemerintahan akan menjadi lebih solid dan fungsional. Dengan kata lain,
memahami dan bijaksana tau posisi menempatkan diri.
Kedua, visi dan misi kebijakan program seyogyanya dibicarakan secara
matang oleh calon gubernur dan calon wakil gubernur beserta partai politik
pengusung, apakah satu partai atau koalisi, dikaitkan dengan ideology dan
platform partai. Terdapat kesan selama ini, hal tersebut digarap secara dadakan
dan hanya memakai pola copy-paste dari pengalaman pemilihan kepala daerah
di tempat lain oleh tim ahlinya.
Ketiga, partai politik pengusung, baik yang ada di gedung DPRD
maupun di DPW beserta kadernya, wajib mengawal pasangan terpilih gubernur
dan wakil gubernur, apakah yang bersangkutan mampu menjalankan
menjalankan visi, misi, kebijakan, dan program dibingkai oleh ideologi dan
platform partai politik secara nyata, sesuai dengan janji kampanyenya. Hal ini
merupakan pertanggungjawaban partai politik pada rakyat pemilih sehingga
rakyat percaya pada partai politik tersebut.
Perbedaan penelitian Sulaeman, (2015) dengan penelitian ini adalah
penelitian Sulaeman, Affan (2015) membahas tentang bagaimana demokrasi,
29
partai politik, dan pemilihan kepala daerah dapat berjalan dengan baik
sedangkan pada penelitian ini membahas tentang sistem kaderisasi partai
demokrat.
Penelitian Pinem, (2016) dengan judul “Membangun Partai Yang
Demokratis Dan Memilih Sistem Pemilu”. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan pemilihan tertutup dianggap merupakan sistem pemilu yang baik
karena mampu menekan praktik politik uang yang terjadi serta menekan biaya
pemilu yang cenderung mahal terutama dalam internal partai.
Sistem ini Partai tahu betul siapa kader yang punya kapasitas dan
integritas dan sesuai dengan visi-misi partai. Sistem ini juga untuk
menyederhanakan pilihan, dimana masyarakat cukup memilih partai, kemudian
partai mengirim kader-kader terbaiknya ke parlemen, sebab partai telah
mengetahui rekam jejak masing-masing calon.
Perbedaan penelitian Pinem, (2016) dengan penelitian ini adalah
penelitian Pinem, (2016) membahas tentang bagaimana cara membangun partai
yang demokratis dan memilih sistem pemilu sedangkan pada penelitian ini
membahas tentang sistem kaderisasi partai demokrat.
Penelitian Itiniyo (2016) dengan judul “Peran Partai Politik Dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau Dari Uu. No. 2 Tahun 2011”.
Hasil dari penelitian ini mengahasilkan 2 hasil antara lain pengaturan kepartaian
di Indonesia dalam hukum positif ialah diatur dengan Undang-Undang No. 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, yang mengatur berbagai aspeknya antara lain tentang
Pembentukan Partai Politik, tentang asas dan ciri partai politik tentang Tujuan
30
dan Fungsi Partai Politik, tentang hak dan kewajiban Partai Politik, dan lain-
lainnya, yang menempatkan dan merumuskan keberadaan Partai Politik sebagai
sarana penting dalam berbagai bidang seperti dalam pendidikan politik,
partisipasi politik, rekrutmen politik, dan lain sebagainya.
Peran Partai Politik terjelma dari pelaksanaan tujuan dan fungsi Partai
Politik. Peranan yang diberikan tersebut tidak dalam bentuk dan wujud materi
seperti dana bagi pembangunan daerah, melainkan dalam rumusan kebijakan
politik seperti politik penganggaran yang ditujukan untuk membiayai
kegiatankegiatan yang memberikan jaminan bagi kesejahteraan masyarakat.
Perbedaan penelitian Itiniyo (2016) dengan penelitian ini adalah
penelitian Itiniyo (2016) membahas tentang bagaimana peran partai politik
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sedangakan pada penelitian ini
membahas tentang sistem kaderisasi partai demokrat. Persamaan penelitian
itiniyo (2016) dengan penelitian ini adalah penelitian yang membahas tentang
partai politik di masyarakat.