BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi HIV-SN8... · 2017. 4. 1. · 11 Gambar 2.2 Struktur virion...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi HIV-SN8... · 2017. 4. 1. · 11 Gambar 2.2 Struktur virion...
-
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi HIV-SN
Definisi HIV-SN adalah gangguan fungsi atau perubahan patologis
pada saraf tepi yang ditemukan pada penderita HIV/AIDS yang umumnya
melibatkan sistem sensorik, jarang pada sistem motorik (Ellis dkk, 2005).
Secara umum terdapat 2 tipe HIV-SN, yang disebabkan karena virus HIV
secara langsung dikenal dengan HIV-associated distal sensory
polyneuropathy (HIV-DSP) dan yang timbul akibat efek toksik ARV
dinamakan dengan antiretroviral toxic neuropathy (ATN) (Keswani dkk,
2002).
2.2 Gambaran Klinis
Penderita HIV-SN memiliki gejala klinis menyerupai neuropati umum,
seperti pada neuropati diabetika dan neuropati alkoholik (Evans dkk, 2011).
Gejala klasik yang dijumpai adalah gejala sensorik dengan awitan gejala
yang sifatnya gradual, bilateral terutama dirasakan pada bagian distal
ekstremitas, membentuk pola distribusi yang khas, menyerupai sarung
tangan dan kaos kaki (Keswani dkk, 2002 ; Phillips dkk, 2011). Pada tipe
yang klasik, rasa tidak nyaman dimulai dari telapak kaki kemudian meluas
ke tungkai bawah dalam beberapa bulan selanjutnya dapat melibatkan ujung
jari tangan pada tahap lanjut (Keswani dkk, 2002 ; Phillips dkk, 2011).
-
7
Gejala sensorik didominasi dengan rasa nyeri pada 90% kasus (nilai P <
0,02) (Keswani dkk, 2002 ; Smyth dkk, 2007) yang terutama dirasakan pada
telapak kaki terutama pada malam hari (Phillips dkk, 2011). Keluhan sensorik
lainnya dapat berupa rasa kesemutan pada 76% kasus (nilai P < 1) dan rasa
kebas pada 67% kasus (nilai P < 0,4) (Smyth dkk, 2007). Penderita HIV-SN
seringkali mengalami hiperalgesia (penurunan ambang nyeri) dan alodinia
(nyeri yang dicetuskan oleh rangsangan non-noxious seperti gesekan), yang
menyebabkan rasa tidak nyaman pada telapak kaki saat disentuh, terutama
saat menggunakan alas kaki (Keswani dkk, 2002).
Membedakan HIV-DSP dan ATN secara klinis sulit dilakukan, namun
apabila dijumpai neuropati sensorik yang sifatnya akut, berkembang
progresif, dan memiliki hubungan antara awitan gejala dengan paparan ARV
serta membaik saat agen ARV yang diduga sebagai penyebab dihentikan,
maka dapat dipertimbangkan bahwa neuropati sensorik tersebut disebabkan
karena ATN. Karena sulit dibedakan dan seringkali timbul bersamaan, maka
digunakan istilah yang mencakup kedua tipe tersebut yaitu HIV-SN (Phillips
dkk, 2010).
Penderita HIV-SN yang klasik jarang mengalami kelemahan motorik,
dan apabila ditemukan umumnya terbatas pada otot intrinsik kaki (Keswani
dkk, 2002). Apabila ditemukan kelemahan motorik pada penderita HIV,
maka perlu dipertimbangkan alternatif diagnosis selain HIV-SN (Phillip dkk,
2010).
-
8
Pemeriksaan fisik pada HIV-SN ditemukan penurunan refleks achilles
dibandingkan refleks patella dan pada tahap lanjut refleks tadi dapat
menghilang, disamping itu terdapat penurunan sensasi getar pada kedua ibu
jari kaki, yang pada tahap lanjut dapat menghilang sama sekali. Pada HIV-
SN juga didapatkan penurunan sensibilitas nyeri tajam dan suhu, dengan pola
distribusi yang khas menyerupai sarung tangan dan kaos kaki (Keswani dkk,
2002 ; Evans dkk, 2011).
Pemeriksaan penunjang pada HIV-SN menggunakan elektrofisiologi
akan terlihat polineuropati sensorik tipe aksonal yang bersifat length-
dependent (Keswani dkk, 2002), dengan ambang sensorik kuantitatif /
quantitative sensory threshold (QST) terlihat gangguan sensibilitas suhu
yang merupakan penanda khas kerusakan serabut saraf tipis tipe C
(Bouhassira dkk, 1999 ; Martin dkk, 2003).
2.3 Gambaran Patologi
Penderita HIV-SN yang klasik akan mengalami degenerasi akson
panjang terutama bagian distal (Pardo dkk, 2001), pola seperti ini dikenal
dengan istilah dying-back, karena degenerasi serabut saraf awalnya terjadi
pada bagian distal dan disusul dengan kerusakan ke arah proksimal
(Keswani dkk, 2002).
Penderita HIV-SN yang dilakukan skin punch biopsies pada tungkai
bawah akan didapatkan penurunan kepadatan serabut saraf intraepidermal,
yang dominan melibatkan serabut saraf tipis tidak bermielin (gambar 2.1),
temuan ini memberi gambaran patologis yang khas sesuai dengan small
-
9
fiber neuropathy (Holland dkk, 1997 ; Polydefkis dkk, 2002). Gambaran
patologis yang demikian serupa dengan yang ditemukan pada penderita
dengan neuropati diabetika (Keswani dkk, 2002).
Perubahan neuropatologis pada HIV-SN juga meliputi adanya infiltrat
limfosit yang mengalami inflamasi serta aktivasi makrofag, dengan
pengecatan imunokimia tampak pula berbagai sitokin proinflamasi seperti
tumor necrosis factor (TNF)-α, interferon-γ dan interleukin (IL)-6
(Keswani dkk, 2002; Mc Arthur dkk, 2005; Zhu dkk, 2007; Kamerman dkk,
2012).
Gambar 2.1 Biopsi kulit dari penderita HIV. (A) Dari kelompok HIV-SN sama
sekali tidak terlihat adanya serabut saraf tipis tidak bermielin yang dapat
mencapai epidermis. Terlihat pleksus saraf pada lapisan dermis di bawah lapisan
epidermis (panah warna biru). (B) Dari kelompok bukan HIV-SN terlihat
serabut saraf tipis tidak bermielin yang mencapai lapisan epidermis (panah
hitam), perbatasan dermis epidermis ditandai dengan garis terputus berwarna
merah, dan terlihat pula pleksus saraf pada lapisan dermis (panah biru) pada
pewarnaan saraf. Pembesaran 40x, batang hitam berukuran = 50 µm. HIV-SN,
HIV sensory neuropathy (Phillips dkk, 2014)
-
10
2.4 Patogenesis HIV-SN
Patogenesis HIV-SN hingga saat ini belum diketahui secara pasti,
infeksi HIV secara langsung pada neuron sangat jarang terjadi. Hipotesis
mengenai patogenesis HIV-SN yang ada saat ini lebih menjelaskan pada
neurotoksisitas akibat protein yang dihasilkan oleh virus HIV dan adanya
disregulasi sistem imun pada infeksi HIV (Phillip dkk, 2010).
Aktivasi makrofag multifokal pada jaringan saraf tepi dan dorsal radix
ganglion (DRG) pada penderita HIV merupakan mekanisme yang paling
penting dalam terjadinya HIV-SN, yang dijelaskan melalui beberapa teori.
Teori pertama menyebutkan bahwa degenerasi aksonal derajat ringan akibat
berbagai kondisi seperti defisiensi nutrisi, paparan alkohol, penyalahgunaan
obat, dan dislipidemia termasuk peningkatan kadar trigliserida akan
menyebabkan aktivasi makrofag dan pada penderita HIV respon makrofag
terjadi secara berlebihan, menyebabkan inflamasi multifokal dan
mengakibatkan degenerasi aksonal lebih lanjut dan lebih berat (Keswani
dkk, 2002). Teori kedua menjelaskan bahwa infeksi HIV dikaitkan dengan
peningkatan sirkulasi sitokin proinflamasi dan makrofag yang teraktivasi,
dan akibat kebocoran sawar darah saraf maka sistem imun yang beredar
dalam darah dapat masuk ke jaringan saraf tepi dan DRG dengan mudah,
menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin lebih lanjut yang bersifat
toksik terhadap jaringan saraf (Keswani dkk, 2002).
-
11
Gambar 2.2 Struktur virion virus HIV (Verma, 2001)
2.4.1 Patogenesis HIV-DSP
Virus HIV memerlukan bantuan protein untuk masuk ke dalam sel
imun dan melakukan replikasi, protein tersebut merupakan bagian
dari pembungkus virus HIV yaitu gp120 (gambar 2.2).
Interaksi gp120 dengan reseptor neuron, Chemokine Co
Receptor 4 (CXCR4) / Chemokine Co Receptor 5 (CCR5) akan
menginduksi proses apoptosis neuron melalui sekresi TNF-α (Melli
dkk, 2006 ; Wallace dkk 2007 ; Bhangoo dkk, 2009 ; Maratou dkk,
2009), dan sekresi sitokin proinflamasi yang bersifat toksik secara
berlebihan akibat aktivasi makrofag dan sel Schwann. Degenerasi
akson saraf perifer terjadi melalui disfungsi mitokondria (Gambar
2.3) (Kaul dan Lipton, 1999 ; Keswani dkk, 2003 ; Melli dkk, 2006).
2.4.2 Patogenesis ATN
Berbagai penelitian yang telah dikerjakan untuk menemukan model
hewan coba yang mengalami ATN selalu menemui kegagalan, hal
-
12
ini mendasari pemikiran perlunya adanya infeksi HIV bersamaan
dengan paparan NRTI untuk memunculkan ATN. Teori double hit,
menjelaskan bahwa awalnya neuron DRG mengalami kerusakan
atau tersensitisasi akibat disregulasi sistem imun pada infeksi HIV.
Infeksi HIV mendasari kerusakan sawar darah saraf sehingga
memudahkan sel imun masuk ke dalam jaringan saraf tepi dan
DRG, dan menyebabkan kerusakan lanjutan (Keswani dkk, 2002),
neuron DRG mengalami kerusakan lebih lanjut akibat paparan
dideoxynucleoside reverse transcriptase inhibitors (dNRTI)
(Keswani dkk, 2002), melalui mekanisme disfungsi mitokondria
(Kakuda, 2000 ; Wallace dkk, 2007).
Teori double hit ini memerlukan infeksi HIV dengan segala
kelainan pada sistem saraf tepi yang menyertainya sebagai
prasyarat terjadinya ATN (Keswani dkk, 2002).
Gambar 2.3 Patogenesis kerusakan saraf tepi oleh protein virus HIV gp120
(Kamerman dkk, 2012)
-
13
2.5 Faktor Risiko HIV-SN
Penelitian kohort yang dilakukan oleh Evans dkk (2011) pada penderita
HIV mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat beberapa faktor risiko HIV-
SN, antara lain: umur > 40 tahun [OR 1,89, IK 95% (1,73 - 2,07), p < 0,001]
; penggunaan HAART saat ini [OR 1,40, IK 95% (1,20 – 1,63), p < 0,001]
; tinggi badan > 170 cm [OR 1,11, IK 95% (1,05 – 1,17), p < 0,001] ; ras
kulit hitam dibandingkan kulit putih [OR 1,25, IK 95% (1,03 – 1,51), p =
0,004] ; ras selain kulit putih dibandingkan ras kulit putih [OR 1,96, IK 95%
(1,21 – 3,19), p = 0,004].
Individu dengan tinggi badan > 170 cm lebih berisiko mengalami
neuropati karena semakin panjang akson maka permukaan akson makin luas
sehingga makin berisiko mengalami cedera baik akibat bahan toksik
maupun akibat trauma. Disamping itu akson yang panjang memerlukan
waktu regenerasi yang lebih lama setelah mengalami cedera. Risiko
terjadinya neuropati perifer juga meningkat seiring dengan penambahan
usia (Cheng dkk, 2006).
Evans dkk (2011) juga menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor
risiko yang tidak bermakna secara statistik dalam timbulnya HIV-SN, antara
lain: baseline CD4 200 atau kurang dibandingkan dengan CD4 minimal 501
[OR 1,39, IK 95% (1,02 – 1,90), p = 0,121] ; current CD4 200 atau kurang
dibandingkan dengan CD4 minimal 501 [OR 1,47, IK 95% (1,16 – 1,87), p
= 0,007] ; riwayat diabetes mellitus (DM) [OR 1,57, IK 95% (0,96 – 2,59),
p = 0,080] ; penggunaan statin [OR 1,17, IK 95% (0,98 – 1,41), p = 0,097].
-
14
Namun pada penelitian yang dilakukan Astika (2014) disimpulkan
bahwa kadar CD4 nadir < 200 sel/µl merupakan faktor risiko timbulnya nyeri
neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah.
Lebih lanjut pada penelitian yang dilakukan Banerjee dkk (2011)
menyimpulkan bahwa kadar serum trigliserida tinggi berkorelasi bermakna
dengan status HIV (p < 0,001), dan dengan kejadian HIV-SN [OR 5,1, IK
95% (2,4-11)], dan pada analisis multivariat dengan melakukan kontrol
terhadap usia, tinggi badan, CD4 nadir, DM tipe 2, penggunaan PI dan
statin, kadar serum trigliserida tinggi tetap berkorelasi bermakna dengan
kejadian HIV-SN secara independen [OR 2,6, IK 95% (1,2 – 5,8)].
2.6 Patofisiologi Peningkatan Kadar Serum Trigliserida Penderita HIV
Trigliserida merupakan produk lipid yang tidak larut darah, sehingga
memerlukan lipoprotein sebagai pembawa agar dapat larut dalam darah.
Trigliserida endogen dihasilkan oleh jaringan hati dan terlarut dalam darah
sebagai very low density lipoprotein (VLDL), sedangkan trigliserida
eksogen dihasilkan melalui proses penyerapan lemak dari saluran cerna dan
terlarut dalam darah sebagai chylomicrons. Trigliserida dan asam lemak
bebas memiliki peran penting sebagai sumber energi dalam proses
metabolisme tubuh (gambar 2.4). Perubahan metabolisme lipid pada
penderita HIV diketahui dapat mempengaruhi proses imun (Ceraciolo dkk,
2002).
-
15
Gambar 2.4 Metabolisme lipid. Lemak yang berasal dari saluran pencernaan
diserap dan dilarutkan dalam darah dalam bentuk chylomicrons, lemak dapat
juga dihasilkan oleh jaringan hati dan dilarutkan dalam darah dalam bentuk
VLDL. Chylomicrons dan VLDL merupakan lipoprotein yang kaya akan
trigliserida sebagai sumber energi dalam proses metabolisme dan agar dapat
masuk ke dalam jaringan otot maupun adiposa diperlukan proses pemecahan
trigliserida dari lipoprotein pengangkutnya oleh enzim lipoprotein lipase
(vanWijk dan Cabezas, 2011)
2.6.1 Pada era pre HAART
Penderita HIV yang tidak mendapat cART, secara alamiah akan
mengalami gangguan metabolisme lipid, mekanisme pasti yang
mendasari belum sepenuhnya dipahami dan diduga multifaktor,
termasuk salah satunya karena infeksi HIV itu sendiri (Souza dkk,
2013).
Gangguan metabolisme lipid pada penderita HIV meliputi
peningkatan kadar trigliserida yang diikuti penurunan total
-
16
kolesterol, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density
Lipoprotein (LDL) (Souza dkk, 2013).
Peningkatan kadar serum trigliserida pada penderita HIV
seropositif yang tidak mendapat cART ditemukan lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol yang tidak terinfeksi HIV (Fourie
dkk, 2010). Pada penderita HIV peningkatan kadar serum
trigliserida dikaitkan dengan peningkatan jumlah virus HIV dan
penurunan kadar limfosit CD4+ dalam darah tepi, secara klinis
ditandai dengan munculnya berbagai infeksi opertunistik (vanWijk
dan Cabezas, 2011).
Peningkatan kadar serum trigliserida diduga disebabkan karena
peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6 dan IFN-γ
(Grunfeld dan Feingold, 1992 ; Haugaard dkk, 2006) serta
peningkatan kadar hormon steroid (Nguemaem dkk, 2010). Sitokin
proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6 mempengaruhi metabolisme
asam lemak bebas (FFA), menekan proses lipogenesis,
menyebabkan terjadinya peroksidase lipid, aktivasi endotel dan
platelet, serta peningkatan produksi Reactive Oxygen Species
(ROS) (Ducobu dan Payen, 2000 ; Haugaard dkk, 2006).
2.6.2 Pada era HAART
Gangguan metabolisme lipid pada penderita HIV pre HAART telah
banyak dilaporkan, pada era HAART kondisi ini menjadi semakin
sering ditemukan dan semakin parah (Mehta dan Reilly, 2005).
-
17
Lebih dari 50% penderita HIV era HAART mengalami gangguan
metabolisme lipid, kondisi ini ditemukan pada berbagai kelompok
usia (Souza dkk, 2013).
Dislipidemia yang diinduksi cART memiliki karakteristik
berupa peningkatan serum trigliserida, total kolesterol, LDL-C,
VLDL dan apolipoprotein B (apoB) disertai dengan penurunan
kadar HDL-C (Ducobu dan Payen, 2000).
Penggunaan cART secara khusus mengakibatkan peningkatan
kadar serum trigliserida (Carr, 2003 ; Grinspoon dan Carr, 2005),
peningkatan > 92 mg/dL (> 2,3 mmol/L) dijumpai pada 23% - 40%
penderita HIV era HAART, tergantung dari golongan ARV yang
digunakan (Friis-Møller dkk, 2003).
Perubahan profil lipid ini mulai tampak 3 bulan setelah terpapar
ARV dan menetap hingga 6 sampai 9 bulan (Sherer, 2003).
Perubahan ini terutama dijumpai pada penderita HIV dengan
penggunaan ARV golongan PI, namun kemudian dijumpai pula
pada kelompok yang menggunakan preparat nucleoside analogue
reverse transcriptase inhibitors (NRTI) dan nonnucleoside
analogue reverse-transcriptase inhibitor (NNRTI) (Zou dan
Berglund, 2007 ; Souza dkk, 2013). Risiko peningkatan kadar serum
trigliserida akibat penggunaan ARV golongan protease inhibitor
(PI) lebih besar dibandingkan dengan ARV dari golongan lainnya
(Mehta dan Reilly, 2005 ; Boccara, 2008).
-
18
Penderita HIV era HAART umumnya menggunakan
kombinasi dari 3 golongan ARV, terdiri dari: 2 ARV dari golongan
NRTI dengan 1 bahan aktif dari golongan NNRTI, atau dari
golongan PI (Kementerian Kesehatan RI, 2012b ; Panel On
Antiretroviral Guidelines For Adult and Adolescents, 2014).
Penggunaan cART melibatkan 3 golongan ARV tersebut mengacu
pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh Panel On Antiretroviral
Guidelines For Adult and Adolescents seperti dapat dilihat pada
tabel 2.1, dan sesuai dengan rekomendasi Nasional yang diterbitkan
oleh Kementrian Kesehatan RI seperti dapat dilihat pada tabel 2.2.
Berbagai golongan ARV dan pengaruhnya terhadap profil
lipid dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.1
Rekomendasi cART lini pertama (Panel On Antiretroviral Guidelines For Adult
and Adolescents, 2014)
-
19
Tabel 2.2
Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV (treatment-naive) (Kementerian Kesehatan RI,
2012b)
Tabel 2.3
Dampak ARV terhadap profil lipid (Feeney dan Mallon, 2011)
Golongan ARV Kolesterol Total LDL-C HDL-C Trigliserida
PI
Lopinavir (LPV) ↑↑ ↑↑ ↔ / ↓ ↑↑↑
Atazanavir (ATV) ↑ ↔ / ↑ ↔ / ↓ ↔
Fosamprenavir (FPV) ↑ ↑ ↔ / ↓ ↑↑
Saquinavir (SQV) ↑↑ ↑↑ ↔ / ↓ ↑
Darunavir (DRV) ↑ ↑ ↔ / ↓ ↑
Tipranavir (TPV) ↑↑ ↑↑ ↔ / ↓ ↑↑↑
NNRTI
Efavirenz (EFV) ↑ ↑ ↑ ↑
Nevirapine (NVP) ↑ ↑ ↑↑ ↔ / ↑
NRTI
Tenofovir (TDF) ↔ / ↑ ↔ / ↑ ↔ / ↑ ↔ / ↑
Abacavir (ABC) ↔ / ↑ ↑ ↑ ↑
Lamivudine (3TC) ↔ ↔ ↔ ↔
Zidovudine (AZT) ↑ ↑ ↑ ↑↑
Stavudine (d4T) ↑↑ ↑↑ ↑ ↑↑
CCR5 Inhibitors
Maraviroc (MVC) ↔ ↔ ↔ / ↑ ↔
Integrase Inhibitors
Raltegravir (RAL) ↔ / ↑ ↔ / ↑ ↔ / ↑ ↔
-
20
2.6.2.1 Efek langsung ARV terhadap profil lipid
Penggunaan ARV golongan PI seringkali dikaitkan dengan
kejadian dislipidemia. Perubahan profil lipid yang paling nyata ditemukan
pada penggunaan ritonavir dosis booster, suatu dosis kecil yang sengaja
ditambahkan untuk menghambat kerja enzim sitokrom hati yang
memetabolisme ARV dari golongan lain. Perubahan profil lipid pada
penggunaan ARV golongan PI dikaitkan dengan paparan obat secara
langsung, dibuktikan pada pemberian ritonavir pada relawan sehat non
HIV selama 4 minggu dan didapatkan peningkatan kadar serum trigliserida
serta penurunan kolesterol HDL (Pao dkk, 2010), perubahan profil lipid ini
mulai terlihat pada minggu pertama setelah paparan PI, tanpa bergantung
pada stadium infeksi HIV maupun distribusi lemak tubuh (vanWijk dan
Cabezas, 2011).
Penggunaan preparat golongan NRTI juga memiliki dampak
serupa, walaupun peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida umumnya
tidak lebih tinggi daripada ARV golongan PI (Friis-Møller dkk, 2003).
Jaringan adiposa yang terpapar NRTI akan menunjukkan disfungsi
mitokondria, yang terlihat dari penurunan aktivitas mitokondria DNA
(mtDNA) (Nolan dkk, 2003 ; Janneh dkk, 2003) dan penurunan ekspresi
mitokondria RNA (mtRNA) (Mallon dkk, 2008), hal ini kemungkinan
karena penghambatan DNA polymerase-γ, enzim yang menghambat
mtDNA (Cote, 2005). Preparat dari golongan NRTI memiliki peran yang
sama seperti PI dalam menekan ekspresi peroxisome proliferation
-
21
activated receptor gamma (PPARγ) pada jaringan adiposa. Perubahan
molekular ini yang menjelaskan terjadinya inhibisi proses diferensiasi
jaringan preadiposit menjadi adiposit (Stankov dkk, 2008).
Preparat dari golongan NNRTI juga dikaitkan dengan peningkatan
kadar trigliserida dan kolesterol (Grunfeld dkk, 1992). Prevalensi dan
derajat keparahan dari kondisi dislipidemia pada penderita HIV
dipengaruhi oleh stadium infeksi, kondisi resistensi insulin serta
lipodistrofi yang menyertai pada penderita tersebut (Friis-Møller dkk,
2007).
2.6.2.2 Efek tidak langsung ARV terhadap profil lipid
Secara biomolekuler, ARV dari golongan PI menghambat aktivitas
Sterol Regulatory Element Binding Protein-1 (SREBP-1) pada jaringan
adiposit (Caron dkk, 2003), yang menyebabkan penurunan diferensiasi
jaringan adiposit, sehingga menghambat kemampuan menyimpan lemak
yang beredar dalam sirkulasi darah. Preparat dari golongan PI juga
menurunkan ekspresi reseptor PPARγ (Caron dkk, 2001), yang merupakan
hasil transkripsi dari SREBP-1. Kerusakan pada SREBP-1 secara tidak
langsung turut berperan menurunkan ekspresi PPARγ. Berkurangnya
jaringan lemak subkutan, akibat proses lipodistrofi, merupakan faktor
risiko dislipidemia termasuk peningkatan kadar serum trigliserida
(vanWijk dan Cabezas, 2011).
Terdapat 2 teori berkaitan dengan fungsi jaringan adiposa, pertama
menyebutkan bahwa jaringan lemak subkutan dapat diasumsikan sebagai
-
22
tempat pembersihan kelainan metabolik, mencegah penumpukan lemak
ektopik yang berbahaya seperti trigliserida dan asam lemak bebas / Free
Fatty Acid (FFA) pada organ seperti hati yang dapat menyebabkan
peningkatan produksi VLDL dan penumpukan lemak pada otot skeletal
yang menimbulkan risiko terjadinya resistensi insulin. Berkurangnya
jaringan lemak subkutan pada HIV lipodistrofi dikaitkan dengan
penurunan kemampuan pembersihan asam lemak bebas (Berthold dkk,
1999), peningkatan risiko perlemakan hati (Young dkk, 2005),
peningkatan produksi VLDL (Shor-Posner dkk, 1993 ; Berthold dkk,
1999), dan gangguan pembersihan trigliserida (Gambar 2.5) (Anastos dkk,
2007).
Kedua, jaringan adiposa memiliki peran penting dalam
menghasilkan sejumlah sitokin dan mediator bioaktif lainnya yang dapat
mempengaruhi keseimbangan berat badan, respon inflamasi dan
sensitivitas insulin (Gallant dkk, 2004 ; 2006). Mediator bioaktif yang
dihasilkan antara lain adalah adipositokin dan adiponectin, leptin, IL-6 dan
TNF-α (vanWijk dan Cabezas, 2011). Sehingga jaringan adiposa memiliki
peranan sebagai organ endokrin aktif dan turut terlibat dalam proses
inflamasi dan proses metabolik lainnya.
-
23
Gambar 2.5 Patogenesis hiperlipidemia berkaitan dengan penggunaan cART.
ARV golongan PI menghambat pemecahan SREBP-1, termasuk nascent apoB
dari jaringan hati, menyebabkan peningkatan VLDL (1). Pada fase post-prandial,
terjadi penurunan pembersihan trigliserida akibat penurunan aktivitas
lipoprotein lipase (LPL), (2) dan penurunan pembersihan partikel remnant oleh
jaringan hati (3). Penderita dengan lipodistrofi mengalami gangguan
penyimpanan FFA (4) menyebabkan peningkatan lipid yang bersirkulasi (5) dan
peningkatan produksi VLDL oleh jaringan hati (vanWijk dan Cabezas, 2011)
2.7 Kadar Serum Trigliserida Tinggi dan Infeksi HIV Sebagai Faktor
Risiko HIV-SN
Dari semua komponen sindrom metabolik, hanya peningkatan
trigliserida yang meningkatkan risiko HIV-SN (p = 0,009). Dari penelitian
CHARTER, kohort terhadap 1518 penderita HIV, diketahui bahwa
peningkatan kadar serum trigliserida baik yang puasa maupun tidak,
merupakan faktor risiko terjadinya HIV-SN (OR = 1.30, p = 0.01, 95% CI
1.06–1.59) (Ances dkk, 2009).
Timbulnya neuropati perifer akibat kadar serum trigliserida tinggi
dapat terjadi melalui 2 mekanisme: (1) mikroangiopati dan (2) stress
oksidatif (Shankar dkk, 2012).
-
24
Mikroangiopati akibat kadar serum trigliserida tinggi mengakibatkan
penebalan dinding pembuluh darah sehingga lumen pembuluh darah
menyempit, mengakibatkan aliran darah pada vasa nervorum menurun,
dan memicu perubahan patologis pada serabut saraf tepi dan mencetuskan
degenerasi Wallerian (Eckel, 1981). Pada penderita HIV terdapat
disregulasi sistem imun yang akan menyebabkan aktivasi sistem imun
terjadi secara berlebihan dan menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada
sistem saraf tepi.
Selain menyebabkan mikroangiopati, kadar serum trigliserida tinggi
juga merupakan kontributor penting terjadinya stres oksidatif (Honjo dkk,
2008). Mitokondria merupakan sumber utama penghasil stres oksidatif
(Akude dkk, 2011), pada kondisi fisiologis mitokondria merupakan
penghasil energi utama bagi sel termasuk neuron, namun pada kondisi
patologis proses tersebut dapat disertai dengan pembentukan reactive
oxygen spesies (ROS).
Proses pembentukan ROS terjadi melalui jalur sebagai berikut (gambar 2.6) :
1) Pompa proton yang terdapat pada membran mitokondria secara fisiologis
bertugas untuk mempertahankan potensial membran dan menghasilkan
peroxidase (O2-) sebagai produk sampingan dari proses electron
respiratory chain (ERC) yang fisiologis.
2) ERC terletak pada membran mitokondria, terdiri atas kompleks I - IV dan
kompleks penghasil ATP. Dalam kondisi patologis, akan terjadi kebocoran
elektron dari ERC dan elektron tersebut akan berikatan dengan O2- dan
-
25
menghasilkan ROS, menyebabkan stress oksidatif, dan bersifat toksik
terhadap jaringan saraf tepi (Akude dkk, 2010). Dalam kondisi ERC tidak
bekerja dengan baik, produksi ATP oleh mitokondria juga mengalami
penurunan, kondisi ini semakin memperberat stres oksidatif yang telah ada
(Chowdhury dkk, 2010 ; Edwards dkk, 2010).
3) mtDNA merupakan komponen penting yang menjamin mitokondria tetap
dapat bekerja dengan baik. Saat produksi mitokondria DNA (mtDNA)
mengalami penurunan akan terjadi perubahan pada ERC, potensial
membran mitokondria dan gangguan produksi ATP yang pada akhirnya
meningkatkan produksi ROS dan memperberat stres oksidatif (Hur dkk,
2010).
4) Selain itu mitokondria juga menghasilkan antioksidan yang penting bagi
tubuh, beberapa antioksidan tersebut antara lain adalah: Manganese
Superoxide Dismutase (MnSOD), glutathione peroxidase (GPX) dan
katalase. Antioksidan MnSOD akan mengubah O2- menjadi H2O2, ;
selanjutnya GPX dan katalase akan mengubah H2O2 menjadi H2O (Zhang,
2013).
5) Penggunaan ARV golongan NRTI secara in vitro menekan kerja enzim DNA
polymerase, yang bertugas membentuk mtDNA, bila terjadi penurunan
mtDNA akan terjadi disfungsi mitokondria (Feng dkk, 2001 ; Johnson dkk,
2001).
-
26
Gambar 2.6 Mekanisme disfungsi mitokondria pada penderita HIV, akibat
paparan ARV maupun metabolik toksik seperti hipertrigliseridemia. (1) Pompa
proton pada membran mitokondria menghasilkan O2- sebagai produk sampingan
dari oksidasi fosforilasi, (2) Disfungsi mitokondria akibat penurunan mtDNA
menyebabkan struktur membran, pompa proton, dan fungsi ERC tidak bekerja
dengan baik, (3) Terjadi kebocoran elektron pada kompleks ERC I-IV termasuk
kegagalan produksi ATP (4) Elektron yang bocor akan berikatan dengan O2-
menghasilkan radikal bebas yang toksik terhadap DRG dan akson saraf tepi (5)
Disfungsi mitokondria menyebabkan produksi antioksidan mitokondria
terganggu (Keswani dkk, 2002)
2.8 Dasar Diagnosis HIV-SN
Pemeriksaan penunjang pada HIV-SN menggunakan kecepatan hantar
saraf dapat memperlihatkan gambaran polineuropati sensorik tipe aksonal
yang bersifat length-dependent (Keswani dkk, 2002), dengan QST dapat
terlihat adanya gangguan sensibilitas suhu (Bouhassira dkk, 1999 ; Martin
dkk, 2003) dan dengan Intra Epidermal Nerve Fibre Density (IENFD)
ditemukan penurunan kepadatan serabut saraf tipis tidak bermielin
(Holland dkk, 1997 ; Polydefkis dkk, 2002).
-
27
Diagnosis neuropati perifer serabut saraf tipis dengan IENFD
merupakan yang paling objektif namun merupakan prosedur invasif dan
memerlukan biaya mahal sehingga tidak praktis dikerjakan secara rutin
(Widjaja dkk, 2014).
Kelompok studi AIDS di Amerika Serikat mengembangkan alat
penapisan yang mudah, murah dan akurat untuk mendeteksi HIV-SN
secara klinis, alat tersebut terdiri dari sejumlah kuisioner serta pedoman
pemeriksaan neurologis singkat yang dikenal dengan nama Penapisan
Neuropati Perifer Singkat / Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS)
(Birbeck dkk, 2009). Alat penapisan ini telah digunakan secara luas di
berbagai negara untuk kepentingan penelitian epidemiologis dan
menunjukkan hasil yang baik (Cherry dkk, 2005).
Penegakkan diagnosis klinis HIV-SN menggunakan BPNS memiliki
sensitivitas dan spesifisitas sebesar 86% dan 81% untuk keluhan subjektif
; 84% dan 98% untuk pemeriksaan fisik dibandingkan dengan IENFD
(Cherry dkk, 2005).
Uji reliabilitas terhadap BPNS bahasa Indonesia telah dilakukan oleh
Widjaja dkk. (2014) dan disimpulkan bahwa BPNS dapat digunakan
sebagai instrumen pemeriksaan yang reliabel dengan kappa coefficient
agreement adalah 0,735.