BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Dan Histologi Dari Tulang...dengan jenis tulangnya, seperti pada...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Dan Histologi Dari Tulang...dengan jenis tulangnya, seperti pada...
9
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Histologi Dari Tulang
Tulang adalah jaringan dalam tubuh yang terorganisir dengan baik. Tulang
membentuk struktur tubuh, sehingga dimungkinkan terjadinya gerakan dengan
menyediakan tuas untuk otot, melindungi organ vital dan struktur lainnya, menjaga
homeostasis mineral dan keseimbangan asam-basa, berfungsi sebagai cadangan
faktor pertumbuhan dan sitokin, serta membantu proses hematopoiesis di dalam
sumsum tulang (Clarke, 2008).
Kerangka manusia dewasa secara keseluruhan terdiri dari 80% tulang
kortikal dan 20% tulang trabekular (Bayliss et al., 2012; Clarke, 2008). Setiap
tulang memiliki rasio tulang kortikal dan tulang trabekular yang berbeda sesuai
dengan jenis tulangnya, seperti pada tulang vertebrae perbandingan rasio tulang
kortikal dan tulang trabekular adalah 25:75. Rasio pada head femur adalah 50:50
dan 95:5 pada diafisis radius (Clarke, 2008).
Setiap tulang selalu mengalami perbaikan bentuk atau remodelling sehingga
membantu perubahan kekuatan biomekanik. Proses remodelling bertujuan untuk
penggantian tulang yang sudah tua, tulang yang mengalami kerusakan mikro, serta
membantu menjaga kekuatan tulang (Clarke, 2008).
Pertumbuhan tulang merupakan proses pertambahan dalam ukuran dan
mineralisasi pada masa anak-anak dan remaja. Massa tulang bertambah dari sekitar
10
80 gram saat lahir hingga 3000 gram pada puncak tertinggi massa tulang yaitu
sekitar umur 25 tahun (Bayliss et al., 2012).
Tulang panjang terdiri dari metafisis berbentuk kerucut di bawah lempeng
pertumbuhan dan epifisis yang bulat di atas piring pertumbuhan dilapisi oleh tulang
rawan pada sebagian dari strukturnya. Diafisis terdiri dari tulang kortikal yang
padat, sedangkan metafisis dan epifisis terdiri dari anyaman tulang trabekular
dikelilingi oleh tulang kortikal yang relatif tipis (Clarke, 2008; Cvetkovic et al.,
2013). Kanalis medularis pada tulang panjang yang berisi sumsum tulang, berada
di dalam diafisis dari tulang panjang dan dikelilingi oleh lapisan tulang kortikal
(Cvetkovic et al., 2013). Bagian metafisis dan diafisis dari tulang panjang lebih
banyak mengandung tulang kanselosa dimana terdapat banyak sekali jaringan
trabekula dengan sistem kanalis dan kavitas yang terisi sumsum tulang. Pada
potongan melintang dari tulang panjang terdapat 4 struktur yang berbeda yaitu:
periosteum, tulang kortikal, endosteum dan tulang kanselosa (Cvetkovic et al.,
2013).
Tulang kortikal susunannya rapat dan padat yang mengelilingi ruang
sumsum, sedangkan tulang trabekular terdiri dari jaringan piringan trabekular yang
berbentuk menyerupai sarang lebah dalam kompartemen sumsum tulang. Tulang
kortikal dan tulang trabekular tersusun oleh osteon (Clarke, 2008).
Osteon pada kortikal disebut juga sistem Haversian. Sistem Haversian
berbentuk silinder, panjang sekitar 400 mm dan lebar 200 mm pada basis, dan
bercabang dalam tulang kortikal. Dinding sistem Haversian terbentuk dari lamella
11
konsentris. Tulang kortikal biasanya kurang aktif secara metabolik dibandingkan
tulang trabekular, tetapi ini tergantung pada spesiesnya.
Struktur jaringan tulang bersifat komplek dan terdiri dari 5 level yakni
Macro-structural (mm-µm) yang merupakan diameter jaringan trabekular dan
kortikal; Micro-structural (10-500 µm) - osteon dan trabekula; Sub-microstructural
(1-10 µm) - lamellae dan trabekula individual; Nano-structural (100nm-1 µm) -
kolagen dan deposit mineral dalam matriks tulang dan Sub-nanostructural (kurang
dari 100 nm) - komponen molekular dari kolagen dan molekul protein (Pazzaglia
et al., 2008).
Tulang kortikal memiliki permukaan luar periosteal dan permukaan dalam
endosteal. Aktivitas permukaan periosteal penting untuk pertumbuhan secara
aposisi dan perbaikan terhadap fraktur. Permukaan endosteal memiliki luas total
sekitar 0,5 m2, dengan aktivitas perubahan bentuk lebih tinggi dari permukaan
periosteal, kemungkinan sebagai proses biomekanik yang lebih besar atau paparan
sitokin yang lebih besar dari kompartemen sumsum tulang yang berdekatan
(Clarke, 2008).
Osteon trabekular biasanya memiliki bentuk semilunar, biasanya memiliki
ketebalan sekitar 35 mm, dan terdiri dari lamellae konsentris. Diperkirakan ada
14x106 osteons trabekular pada orang dewasa yang sehat, dengan total luas
trabekular sekitar 7 m2 (Clarke, 2008).
12
Gambar 2.1.
Struktur osteon (Pazzaglia et al., 2008).
Tulang kortikal dan tulang trabekular biasanya terbentuk dalam pola
lamella. Mekanisme dimana osteoblas meletakkan fibril kolagen dalam pola
lamella tidak diketahui, tetapi tulang lamella memiliki kekuatan yang signifikan
sebagai akibat dari arah dari fibril kolagennya. Pola lamella yang normal tidak ada
dalam woven bone, dimana serat-serat kolagen ditetapkan secara tidak teratur
(Clarke, 2008).
Matrik tulang tersusun atas 50-70% mineral, 20-40% matrik organik, 5-10%
air, dan kurang dari 3% lemak. Kandungan mineral yang paling banyak terdapat di
dalam tulang adalah hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2], dengan sedikit jumlah
karbonat, magnesium, dan asam fosfat. Periosteum adalah selubung jaringan ikat
fibrosa yang mengelilingi permukaan luar kortikal tulang, kecuali pada sendi
dimana tulang dilapisi oleh tulang rawan artikular, berisi pembuluh darah, serabut
saraf, osteoblas dan osteoklas. Periosteum erat melekat pada permukaan luar
kortikal tulang oleh serat kolagen tebal, disebut serat Sharpeys, yang meluas ke
13
jaringan tulang yang mendasarinya. Endosteum adalah struktur membran yang
menutupi permukaan bagian dalam tulang kortikal, tulang trabekular dan kanal
pembuluh darah (kanal Volkmann) yang ada di dalam tulang. Endosteum
berhubungan dengan ruang sumsum tulang, tulang trabekular dan kanal pembuluh
darah dan mengandung pembuluh darah, osteoblas dan osteoklas (Clarke, 2008).
2.1.1 Osteoklas
Osteoklas adalah satu-satunya sel yang diketahui memiliki kemampuan
untuk meresorpsi tulang. Osteoklas multinuklear yang teraktivasi berasal dari sel
prekursor mononuklear, yang merupakan turunan dari monosit-makrofag. Sel
prekursor yang dapat berubah menjadi osteoklas terdapat pada berbagai macam
jaringan, tetapi sel prekursor sumsum tulang yang paling banyak berubah menjadi
osteoklas (Clarke, 2008). Berikut ini adalah beberapa regulasi diferensiasi
osteoklas.
2.1.1.1 Regulasi oleh sel osteoblas
Diferensiasi dari osteoclast precursor (OCP) menjadi osteoklas di dalam
sumsum tulang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, termasuk beberapa sitokin
kunci. RANKL (Receptor Activator of Nuclear Factor k-B Ligand) dan M-CSF
(Macrophage-Colony Stimulating Factor) merupakan dua sitokin yang paling
penting untuk formasi osteoklas. Kedua sitokin ini diproduksi oleh sel stromal dari
sumsum tulang dan osteoblas. RANK-L yang diproduksi oleh osteoblas akan
berikatan dengan RANK pada OCP sehingga terjadi formasi dan aktivasi osteoklas,
14
sedangkan M-CSF berfungsi untuk proliferasi dan kelangsungan dari osteoklas.
Osteoblas juga memproduksi osteoprotegerin (OPG). OPG akan berfungsi sebagai
reseptor pengalih dan berikatan dengan RANKL, sehingga mencegah ikatan antara
RANK dan RANKL (Boyce et al., 2012; Clarke, 2008).
Kebanyakan dari faktor yang menstimulasi osteoklas bekerja secara tidak
langsung melalui stimulasi RANKL oleh sel osteoblas, antara lain oleh hormon
parathyroid (PTH), Interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNF-α),
berbagai jenis hormon, sitokin, dan faktor pertumbuhan lainnya (Boyce et al.,
2012).
2.1.1.2 Regulasi oleh osteosit
Osteosit adalah osteoblas yang tertanam dalam matriks tulang selama proses
pembentukan tulang. Pada sebuah uji coba, apoptosis dari sel osteosit akan
meningkatkan ekspresi RANKL sehingga meningkatkan resorpsi tulang. Intinya,
osteosit yang mati akan mengirimkan sinyal ke sel osteoblas di dalam sumsum
tulang untuk meningkatkan ekspresi sel RANKL, sehingga menginisiasi resorpsi
osteoklastik dari matriks di sekitarnya (Boyce et al., 2012; Rochefort et al., 2010).
Resorpsi tulang bergantung dari sekresi ion hidrogen dan enzim cathepsin
K oleh osteoklas. Ion H+ berfungsi untuk melarutkan komponen mineral dari
matriks tulang dengan cara mengasamkan kompartemen yang akan diresorpsi.
Cathepsin K akan melarutkan matriks proteinaceous, yang sebagian besar tersusun
atas kolagen tipe I (Clarke, 2008; Henriksen et al., 2010).
15
Osteoklas akan berikatan dengan matriks tulang melalui reseptor integrin.
Reseptor integrin β1 pada osteoklas akan berikatan dengan kolagen, fibronectin dan
laminin, akan tetapi reseptor integrin utama yang memfasilitasi resorpsi tulang
adalah integrin αvβ3, yang akan berikatan dengan osteopontin dan sialoprotein.
Osteoklas mempunyai sitoskeleton unik yang bernama actin ring atau sealing zone,
yang berfungsi untuk mengisolasi daerah yang akan di resorpsi dari rongga
ekstraselular. Sel yang kekurangan αvβ3 akan gagal untuk membentuk actin ring
yang normal (Teitelbaum, 2011).
Ikatan antara osteoklas dengan matriks tulang akan menyebabkan polarisasi
dari matriks tulang. Ketika vesikel yang mengandung matriks metalloproteinase
dan cathepsin K menyatu dengan membran melalui mikrotubulus, permukaan
tulang yang berikatan dengan osteoklas akan berubah bentuk menjadi lapisan yang
berlekuk – lekuk. Setelah osteoklas menyelesaikan tugasnya, ia akan mengalami
proses apoptosis di dalam lakuna. Beberapa faktor dapat menstimulasi apoptosis
osteoklas, antara lain estrogen, bisphosphonate dan konsentrasi ekstraseluler
kalsium yang tinggi (Boyce et al., 2012).
2.1.2 Osteoblas
Osteoblas adalah sel mononuklear yang bertanggung jawab dalam sintesis
dan mineralisasi tulang pada saat proses pembentukan dan remodeling pada tulang.
Osteoblas berasal dari sel punca mesenkim yang pluripoten. Selain dapat menjadi
osteoblas, sel punca mesenkim ini dapat berdiferensiasi menjadi turunan sel
mesenkim lainnya seperti fibroblas, kondrosit, mioblas dan sel stroma sumsum
16
tulang. Diferensiasi ini bergantung pada jalur sinyal transkripsi yang diaktivasi.
Beberapa faktor transkripsi berperan pada diferensiasi sel punca menjadi sel
osteoblas. Salah satu faktor yang penting adalah Cbfa1 (core binding factor α 1).
Cbfa1 di keluarkan dalam jumlah yang besar pada sel turunan osteoblas dan
meregulasi ekspresi dari gen spesifik osteoblas. Gen lain yang berperan dalam
perubahan sel punca menjadi osteoblas adalah Runx-2. Runx-2 terlibat dalam
produksi matriks protein (Neve et al., 2011).
Diferensiasi dan pertumbuhan dari sel osteoblas dikontrol oleh beberapa
faktor lokal dan sistemik, yang bekerja secara parakrin dan/atau autokrin dan dapat
meregulasi aktivitas faktor transkripsi spesifik. Faktor faktor ini antara lain bone
morphogenic proteins, protein hedgehog, sel sel faktor pertumbuhan seperti
fibroblast growth factors (FGF) dan insulin-like growth factor (IGF), hormon dan
daya fisikal mekanis (Neve et al., 2011).
Osteoblas memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan,
induksi, regulasi dari mineralisasi matriks ekstraselular dan kontrol dari remodeling
tulang. Pada saat pembentukan tulang, osteoblas dewasa akan mensintesis dan
mensekresi kolagen tipe I dan protein non kolagen lainnya seperti osteocalcin,
osteopontin dan sialoprotein tulang (Neve et al., 2011).
Osteocalcin adalah vitamin-K dependent osteoblast specific protein, yang
bercirikan dengan adanya residu 3-gammacarboxyglutamic acid (Gla). Sintesis
osteocalcin ditingkatkan oleh 1,25-OH Vitamin D3 dan merefleksikan aktivitas
selular. Enam puluh hingga sembilan puluh persen dari osteocalcin akan berikatan
dengan hidroksiapatit selama mineralisasi matriks tulang. Sisanya akan dilepaskan
17
ke dalam sirkulasi dan dapat diukur sebagai tanda yang sensitif dari pembentukan
tulang (Neve et al., 2011).
Osteopontin (OPN) adalah glikoprotein asam terfosforilasi yang terdapat
pada jumlah yang banyak pada tulang imatur. OPN disintesis oleh osteoblas dan
telah terbukti berpengaruh terhadap homeostasis tulang melalui penghambatan
deposisi mineral (Neve et al., 2011).
Sialoprotein tulang adalah protein yang terglikosilasi, fosforilasi dan
sulfatisasi yang dapat memicu nukleasi kristal hidroksiapatit dan diferensiasi
osteoblas. Seperti halnya osteopontin, ekspresi sialoprotein tulang akan meningkat
pada stimulasi mekanis, namun peran dari protein ini terhadap mineralisasi tulang
berbeda. Osteoblas juga mempunyai reseptor untuk berbagai jenis hormon,
termasuk diantaranya antara lain PTH, 1,25 (OH)2D3, estrogen dan glukokortikoid.
Hormon-hormon tersebut juga berperan dalam regulasi dan diferensiasi dari
osteoblas (Neve et al., 2011).
Populasi dari osteoblas bersifat heterogen, osteoblas yang berbeda
mengekspresikan gen yang berbeda pula. Hal ini menjelaskan mikroarsitektur
trabekular yang heterogen pada lokasi tulang yang berbeda (Clarke, 2008).
2.1.3 Osteosit
Osteosit mencakup 95% dari seluruh sel tulang. Osteosit dua puluh kali lipat
lebih banyak dari osteoblas (Rochefort et al., 2010). Pada fase pembentukan tulang,
osteoblas dapat tertanam di dalam tulang dan menjadi osteosit, atau menjadi
osteoblas yang tidak aktif, atau mengalami apoptosis. Proporsi dari osteoblas yang
18
mengalami siklus tersebut atas tergantung dari spesies, umur, tipe tulang dan
hormon. Delapan tahap transisi dari osteblas untuk menjadi osteosit tampak pada
gambar 2.2 dimana selama proses ini, volume dari badan sel dan jumlah dari
organel sel berkurang (Dallas & Bonewald, 2010).
Gambar 2.2.
Diagram ilustrasi skematik transisi osteoblas menjadi osteosit dewasa; 1.
preosteoblas yang sedang berproliferasi; 2. Osteoblas preosteoblasik; 3.
Osteoblas; 4. Osteosit osteoblasik (preosteosit tipe I); 5. Osteosit osteoid
(preosteosit tipe II); 6. Preosteosit tipe III; 7. Osteosit muda; 8. Osteosit dewasa
(Dallas & Bonewald, 2010).
Teori sebelumnya menyatakan bahwa osteositogenesis dipandang sebagai
suatu proses pasif, dimana osteoblas akan terperangkap atau terkubur didalam
osteoid, tetapi ada beberapa argumen yang menyatakan bahwa osteositogenesis
adalah suatu proses aktif. Salah satu perubahan awal yang terjadi pada sel osteoblas
yang “terkubur” adalah pembentukan dendrit pada sel. Sel tersebut akan mengalami
transformasi yang dramatis dan berubah bentuk dari sel poligonal menjadi sel
dengan dendrit yang tumbuh ke permukaan tulang atau rongga vaskular. Sel ini
akan menjaga polaritasnya baik dengan cara mengontrol arah tumbuh dendrit
19
maupun arah pembentukan mineral, dimana mineral akan di deposit pada salah satu
sisi dan bukan dengan secara merata di sekitar sel. Seiring transisi dari osteoblas
menjadi osteosit, alkaline fosfatase akan berkurang, kasein kinase II dan
osteocalcin akan meningkat. Osteosit akan mengeluarkan protein matriks yang
berguna untuk membantu adhesi interselular dan regulasi pertukaran mineral pada
cairan tulang di dalam lakuna dan kanalikular. Hubungan metabolik dan elektrik
antar osteosit dihubungkan melalui gap junction yang tersusun atas connexin.
Susunan osteosit yang satu dengan yang lainnya menyerupai susunan matriks
ekstraselular (Bonewald, 2011; Kerschnitzki et al., 2011).
Fungsi utama dari osteosit adalah mekanosensori. Osteosit akan
mengirimkan sinyal dari proses bending atau stretching pada tulang. Pergerakan
arah cairan kanalikular sebagai respons dari daya eksternal akan menginduksi
respon yang berbeda pada osteosit. Sebagai contoh, osteosit akan mengirimkan
sinyal untuk pelepasan nitric oxide (NO), ATP dan prostaglandin sebagai respons
terhadap shear stress (Bonewald, 2011; Clarke, 2008).
Osteosit juga ikut berperan dalam perekrutan osteoklas pada bagian tulang
yang akan di remodeling. Apoptosis dari osteosit akan mengekspresikan RANKL
untuk merekrut osteoklas. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada proses nekrosis
karena terdapat perbedaan sinyal antara osteosit yang mengalami proses apoptosis
dan nekrosis. Apoptosis osteosit terjadi pada kondisi kurangnya oksigen, seperti
pada imobilisasi jangka panjang, pemberian glukokortikoid dan kurangnya hormon
estrogen. Inhibitor dari kematian sel osteosit antara lain estrogen, bifosfonat,
kalsitonin, ligand CD40, calbindin-D28k dan protein kemotaktik monosit 1 dan 3.
20
Beban mekanis dalam bentuk shear stress berpengaruh dalam penghambatan
apoptosis yang diinduksi glukokortikoid. Hal ini dapat terjadi melalui pelepasan
prostaglandin, yang mengaktifkan jalur Wnt/ β-catenin. Jalur ini mempunyai peran
yang penting dalam pengaturan fungsi dan viabilitas dari tulang normal (Bonewald,
2011).
2.1.4 Matriks ekstraseluler tulang
Protein tulang terdiri dari 85 sampai 90% protein kolagen. Peran dari
masing-masing protein tulang tidak dapat dijelaskan dengan baik pada saat ini, dan
banyak yang memiliki beberapa fungsi, termasuk mengatur deposisi mineral tulang
dan pembentukan ulang dan regulasi aktivitas sel tulang (Clarke, 2008).
Matriks kolagen memberikan kekuatan (energi maksimum yang dapat
diabsorbsi oleh tulang sebelum terjadi fraktur) dan mineral memberikan kekakuan
(tingkat tertinggi yang dapat ditahan oleh sebuah tulang sebelum terjadi deformitas
oleh karena tekanan yang diberikan). Abnormalitas pada kolagen dapat
mengakibatkan fraktur pada osteogenesis imperfekta oleh karena berkurangnya
kekuatan tulang (Bayliss et al., 2012).
2.1.4.1 Mineralisasi matriks tulang
Mineral pada tulang memberikan kekakuan mekanik dan beban kekuatan
untuk tulang, sedangkan matriks organik memberikan elastisitas dan fleksibilitas
(Clarke, 2008).
21
Vitamin D berperan langsung dalam merangsang mineralisasi matriks
tulang yang belum mengalami mineralisasi. Setelah penyerapan atau produksi
vitamin D melalui kulit, hati mensintesis 25-hydroxyvitamin D dan ginjal kemudian
menghasilkan 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(OH)2D] yang aktif secara biologi.
Serum 1,25-(OH)2D bertanggung jawab untuk menjaga serum kalsium dan fosfor
dalam konsentrasi yang memadai untuk memungkinkan mineralisasi pasif matriks
tulang. Serum 1,25-(OH)2D menjaga hal tersebut dengan merangsang penyerapan
kalsium di usus dan fosfor. Serum 1,25-(OH)2D juga mempromosikan diferensiasi
osteoblas dan merangsang ekspresi osteoblas alkaline phosphatase untuk tulang,
osteocalcin, osteonectin, OPG, dan berbagai sitokin lainnya. Serum 1,25-(OH)2D
juga berpengaruh pada proliferasi dan apoptosis sel tulang lainnya, termasuk
kondrosit yang hipertrofi (Clarke, 2008).
2.2 Proses Penyembuhan Tulang
2.2.1 Osifikasi intramembran
Pembentukan tulang terjadi melalui salah satu dari dua cara: osifikasi
endokondral, sel mesenkimal berdiferensiasi menjadi kondrosit dan bentuk tulang
rawan yang kemudian digantikan oleh tulang, sedangkan osifikasi intramembran
sel-sel ini berdiferensiasi menjadi osteoblas dan membentuk tulang secara langsung
(Jabalee et al., 2013; Orlando et al., 2013).
Dalam proses osifikasi, beberapa osteoblas dikelilingi oleh matriks organik
(osteoid) yang terdiri dari substansi dasar dan serat (terutama kolagen I) dari
produksi mereka sendiri. Osteoblas ini terjebak dalam matriks tulang yang baru
22
dikeluarkan dan bertransformasi menjadi osteosit. Proses terjadinya masih tidak
jelas. Dalam pembahasan terbaru menyebutkan adanya tiga mekanisme: osteoblas
dapat mensekresi kolagen menuju segala arah (contohnya sel yang tak
terpolarisasi), osteoblas dapat mensekresi kolagen dari satu permukaan sel tetapi
tidak menuju suatu arah tertentu (terpolarisasi tetapi tidak diatur) atau osteoblas
dapat mensekresi kolagen dari satu permukaan sel dan menuju arah tertentu
(terpolarisasi dan diatur). Artinya, osteoblas dapat mengubur diri dalam matriks,
dan dapat juga terkubur oleh matriks tetangganya, atau kedua proses tersebut dapat
terjadi (Jabalee et al., 2013).
2.2.1.1 Osifikasi intramembran dan angiogenesis
Hipoksia sel kondrosit adalah dasar untuk ekspresi gen yang terkait dengan
angiogenesis pada tulang rawan endokhondral dan karena hipoksia memicu
angiogenesis dalam banyak konteks lain, maka dapat diasumsikan bahwa hipoksia
dari avascular sel masenkimal adalah dasar utama untuk angiogenesis yang
berhubungan dengan osteogenesis intramembran. VEGF tidak hanya
memperantarai angiogenesis, namun diferensiasi kondrosit, diferensiasi osteoblas
dan perekrutan osteoklas, membuktikan bahwa peran regulasi selama osteogenesis
itu kompleks (Percival & Richtsmeier, 2013).
Angiogenesis lokal penting untuk osifikasi intramembran dari sel
mesenkimal yang pre-osteogenik, tetapi ini tidak berarti bahwa hipoksia berfungsi
sebagai dasar utama dari sinyal yang menyebabkan angiogenesis dalam konteks ini
(Percival & Richtsmeier, 2013).
23
Banyak faktor yang terkait dengan peningkatan regulasi angiogenesis
selama proses osteogenesis endokondral dan osteogenesis intramembran. Hal ini
mendukung teori bahwa angiogenesis sangat penting selama proses osifikasi
intramembran dan menunjukkan bahwa ada kesamaan yang kuat dalam mekanisme
regulasi angiogenesis pada kedua jenis osteogenesis tersebut. Sementara faktor-
faktor seperti VEGF dan Hypoxia Inducible Factor (HIF) berhubungan dengan
kondrosit yang hipoksia selama pertumbuhan tulang endokondral, VEGF dan HIF
juga mengalami peningkatan pada osifikasi tulang yang bergantung pada oksigen
(Percival & Richtsmeier, 2013).
2.2.1.2 Osifikasi intramembran pada enyembuhan Fraktur
Faktor mekanik terlibat pada pembentukan tulang dalam perkembangan
normal dan juga pada penyembuhan fraktur. Daya tekan sedang apabila diberikan
pada fraktur lebih menyebabkan terjadinya osifikasi intramembran daripada
pembentukan tulang rawan. Krompecher menunjukkan terjadinya pembentukan
tulang langsung dari jaringan ikat (jaringan desmoid) dengan kehadiran pembuluh
darah, bukan merupakan mekanisme pembentukan tulang endokondral dan disebut
sebagai Primäre Angiogene Knochenbildung atau pembentukan tulang primer
angiogenik (Shapiro, 2008).
Pertumbuhan tulang di daerah diafisis dan metafisis juga melalui osifikasi
intramembran dengan aposisi langsung tulang kortikal oleh osteoblas dari bagian
dalam lapisan periosteum (Shapiro, 2008).
24
Meskipun penyembuhan fraktur tidak langsung terdiri dari osifikasi
intramembran dan endokondral, pembentukan kalus tulang rawan yang kemudian
mengalami mineralisasi, resorpsi dan kemudian diganti dengan tulang adalah inti
dari proses ini. Respon osifikasi intramembran terjadi secara subperiosteal yang
dekat dengan ujung distal dan proksimal dari fraktur, dengan menghasilkan kalus
keras. Ini merupakan bridging callus dari bagian tengah yang pada akhirnya
membentuk struktur semirigid pada fraktur yang memungkinkannya untuk
menahan beban yang berat (Marsell & Einhorn, 2011).
BMP-5 dan BMP-6 dianggap dapat menginduksi proliferasi sel pada
osifikasi intramembran di periosteum. Selain itu, BMP-2 juga telah terbukti sangat
penting untuk memicu kaskade penyembuhan, seperti tikus yang mengalami mutasi
pada BMP-2 tidak mampu membentuk kalus untuk menyembuhkan fraktur. Hal ini
terjadi karena gangguan pada proliferasi sel mesenkim, diferensiasi atau migrasi
sel, walaupun hal ini masih dalam perdebatan (Marsell & Einhorn, 2011).
2.2.2 Osifikasi endokondral
Terminologi osifikasi endokondral digunakan untuk perubahan dari tulang
rawan menjadi tulang kortikal pada proses pembentukan tulang. Umumnya proses
ini berlangsung pada saat kondrosit menjadi dewasa dan pembuluh darah masuk ke
dalam tulang rawan.
Proses penyembuhan tulang menyerupai proses pembentukan tulang.
Tulang rawan akan terbentuk pada saat tahap awal penyembuhan tulang pada
fraktur yang tidak stabil. Osifikasi endokondral juga sering diartikan menjadi
25
“secondary bone healing“, yang prosesnya meliputi tiga tahap: soft callus, hard
callus dan remodeling (Claes et al., 2012).
2.2.2.1 Tahap penyembuhan tulang
Penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 tahap yakni: hematoma, inflamasi,
soft callus, hard callus dan remodeling. Perlu diingat bahwa tahap-tahap ini dapat
berjalan dengan saling tumpang tindih, sehingga pada setiap bagian fraktur,
mungkin saja sedang terjadi tahap penyembuhan yang berbeda-beda (Claes et al.,
2012; Einhorn & Gerstenfeld, 2015; Shapiro, 2008).
a. Hematoma
Fraktur menyebabkan kerusakan struktural dari tulang, sumsum tulang,
periosteum, otot, pembuluh darah dan jaringan lunak lainnya. Hal ini menyebabkan
terbentuknya hematoma, yang diawali dengan perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Hematoma ini ditandai dengan pH yang rendah, hipoksia dan terdapat sel-sel
inflamasi. Hematoma berfungsi sebagai penyangga sementara sebelum invasi dari
sel-sel inflamasi lainnya. Hal ini konsisten dengan bukti terdapatnya faktor-faktor
pertumbuhan di dalam hematoma (Claes et al., 2012; Kolar et al., 2010).
b. Inflamasi
Tahap inflamasi ini mendominasi respons selular pada tahap awal
penyembuhan tulang. Sel pertama yang akan di rekrut dalam proses inflamasi
adalah polymorphonuclear neutrophils (PMNs). Sel-sel yang berakumulasi dalam
jam-jam pertama setelah cedera ini tertarik karena adanya sel-sel mati dan debris.
PMN sendiri berumur pendek (sekitar 1 hari), tetapi akan mensekresi beberapa jenis
26
chemokines (seperti C-C motif chemokine 2 (CCL2) dan IL-6) yang akan menarik
makrofag yang berumur lebih panjang. PMN diperikirakan memiliki efek negatif
pada penyembuhan tulang, sementara makrofag memiliki efek positif. Setelah
perekrutan dan aktivasi dari makrofag, limfosit akan bermigrasi ke daerah fraktur
dan memulai respons imunitas (Claes et al., 2012; Einhorn & Gerstenfeld, 2015).
Sitokin pro inflamasi dalam jumlah besar (IL-1, IL-6, TNF, RANKL,
Macrophage-Colony Stimulating Factor) dan TGF –β, BMP-2, BMP-4, BMP-5,
BMP-6 akan dikeluarkan pada tahap awal proses inflamasi, sebagai tambahan
faktor angiogenik juga akan dikeluarkan, sebagai respons terhadap kondisi hipoksia
yang disebabkan karena gangguan vaskularisasi. Revaskularisasi merupakan tahap
yang penting dalam penyembuhan tulang dan angiogenesis dibutuhkan untuk
menciptakan kondisi yang normal, menghilangkan debris dan menyuplai daerah
fraktur dengan sel-sel inflamasi (Bigham‐Sadegh & Oryan, 2015; Claes et al.,
2012).
Reaksi inflamasi yang terjadi ini membantu proses penyembuhan tulang
dengan cara menstimulasi angiogenesis, menyebabkan terjadinya produksi dan
diferensiasi mesenchymal stem cells (MSC) dan meningkatkan sintesis ekstraselular
matriks. Pada sebuah percobaan terdapat gangguan pada proses penyembuhan
fraktur setelah pemberian obat anti inflamasi seperti cyclooxygenase-2 inhibitors
(COX-2) inhibitors. COX-2 dikeluarkan secara cepat setelah terjadinya fraktur dan
berperan sebagai enzim untuk konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin,
yang merupakan faktor induksi kuat untuk inflamasi. Perlu diingat bahwa tindakan
operasi biasanya dilakukan sewaktu tulang berada dalam tahap penyembuhan awal
27
sehingga dapat mengganggu proses formasi hematoma dan inflamasi (Claes et al.,
2012).
c. Soft Callus
Pembentukan soft callus ditandai dengan diferensiasi dari sel progenitor
menjadi kondrosit dan osteoblas. Bergantung dari lingkungan, proses mekanis dan
suplai aliran darah ke daerah fraktur, sel yang utama yang terdapat pada callus dapat
berupa tulang rawan atau osteoid. Sel-sel ini akan menggantikan hematoma dan
jaringan fibrosa (Claes et al., 2012).
Tahap pembentukan soft callus dan hard callus juga dapat disebut sebagai
tahap perbaikan atau repair dari tulang. Tahap ini ditandai dengan penambahan
kekuatan tulang secara perlahan. Jaringan granulasi dapat menahan daya sampai
dengan 0-1 nm/nm2. Seiring waktu, jaringan granulasi akan menjadi lebih matang
dan menjadi jaringan ikat kolagen, yang mampu menahan daya sampai dengan 1-
60 nm/nm2 (Bigham‐Sadegh & Oryan, 2015).
Kolagen tipe I, II dan III akan diproduksi untuk membentuk matriks, yang
berfungsi untuk mengembalikan stabilitas tulang, tetapi lebih banyak kolagen tipe
I. Jika di tes secara mekanis, stabilitas callus akan tampak seperti stabilitas jaringan
lunak. Secara radiologis, belum tampak adanya union, melainkan tampak gambaran
pembentukan callus awal (Claes et al., 2012).
d. Hard Callus
Hard Callus diartikan sebagai perubahan dari tulang rawan menjadi matriks
tulang rawan yang terkalsifikasi dengan diferensiasi pada kondrosit terminal. Pada
manusia, tahap ini terjadi beberapa minggu setelah fraktur. Seiringnya dengan
28
proses kalsifikasi, kondrosit hipertrofik akan menjadi semakin dewasa dan
pembuluh darah akan masuk ke dalam callus. Sel yang dominan pada tahap ini
adalah osteoblas dan osteoklas karena jumlah kondrosit akan semakin berkurang
pada tahap ini (Bigham‐Sadegh & Oryan, 2015).
Woven bone akan dibentuk oleh osteoblas pada tahap ini, sehingga callus
akan menjadi semakin kuat. Secara klinis, fase penyembuhan tampak sebagai
kalsifikasi dan konsolidasi dari callus fraktur secara radiologis. Pada saat terapi,
baik dengan cast atau traksi, tahap hard callus akan diikuti dengan pengurangan
rasa nyeri dan peningkatan stabilitas pada daerah fraktur (Claes et al., 2012).
e. Remodeling
Fase ini adalah fase dimana jaringan yang sebelumnya rusak, kembali ke
keadaannya sebelum rusak. Pada saat remodeling, arsitektur kanalikular dari tulang
akan dibangun kembali dan sistem haversian dengan osteositnya akan dibentuk
kembali. Prosesnya dimulai saat konsolidasi telah terjadi dan dapat terus berlanjut
sampai 6-9 tahun, sehingga memakan waktu 70% dari waktu keseluruhan
penyembuhan tulang. Saat remodeling, interaksi antara osteoblas dan osteoklas
akan mengakibatkan pembentukan tulang lamellar. Fenomena ini, dideskripsikan
sebagai Wollf’s law, mencakup penguatan dari arsitektur tulang sebagai respon dari
pemberian beban pada tulang (Bigham‐Sadegh & Oryan, 2015).
Untuk dapat menyelesaikan proses remodeling yang diinduksi oleh
pemberian beban ini, osteoblas dan osteoklas akan bekerja sebagai unit fungsional
dari remodeling. Awalnya, osteoklas akan meresorpsi woven bone yang memiliki
struktur yang tidak terorganisir dan osteoblas akan menyusul untuk membentuk
29
tulang lamellar dan membentuk suatu pola disekitar pembuluh darah. Aktivitas dari
resorpsi dan pembentukan tulang ini dapat terjadi karena mekanisme RANK,
RANKL dan osteoprotegrin (OPG) (Bigham‐Sadegh & Oryan, 2015; Clarke,
2008).
Konsentrasi dari RANKL akan meningkat dengan keberadaan IL-1β, IL-6,
TNF–α, vitamin D3, PTH dan sitokin lainnya. Ikatan antara RANKL dan RANK
akan mengaktifkan osteoklas, sementara OPG akan berfungsi sebagai pengalih
yang berikatan dengan RANK sehingga ikatan RANKL dan RANK akan terhalang.
Melalui koneksi molekular ini, keseimbangan antara resorpsi dan pembentukan
tulang untuk mengembalikan integritas struktural dari jaringan yang rusak dapat
tercapai (Claes et al., 2012; Clarke, 2008).
2.2.3 Penyembuhan tulang pada allograft
Penyembuhan tulang pada allograft umumnya terjadi melalui proses yang
dinamakan dengan creeping substitution. Creeping substitution adalah proses
resorpsi dari tulang allograft yang telah mati oleh osteoklas dan pergantiannya
dengan tulang baru hidup yang diproduksi oleh osteoblas dari inang. Substitusi dari
tulang nekrotik lama dengan tulang baru yang hidup sebagai hasil dari creeping
substitution disebut dengan incorporation (inkorporasi). Bone graft dianggap telah
terinkorporasi apabila tidak ada perbedaan yang nyata antara tulang inang dan graft
serta terdapat pergantian antara tulang yang mati dengan tulang hidup. Secara
eksperimen, sekitar setengah dari tulang kortikal autograft akan digantikan dengan
tulang hidup setelah 6 bulan proses implantasi (Delloye et al., 2007). Autograft
30
sendiri dapat memberikan bantuan struktural untuk implant dan terlebih lagi dengan
adanya proses creeping substitution, autograft dapat berinkorporasi dengan tulang
disekitarnya sehingga akan menjadi struktur yang sangat efisien secara mekanis.
Kelemahannya, autograft harus diambil dari bagian tubuh yang lain, sehingga
terdapat tindakan operasi tambahan yang dapat meningkatkan morbiditas dan
komplikasi dari pasien (Oryan et al., 2014).
Proses inkorporasi pada tulang kortikal secara dominan dimediasi oleh
osteoklas, bukan osteoblas. Creeping substitution dimulai dari perbatasan antara
graft dan inang dan akan berjalan seiring aksis dari graft tulang kortikal. Walaupun
tulang nekrotik transplantasi akan dengan cepat kehilangan kekuatannya (sekitar
75% dari kekuatan awal), tulang ini akan sembuh dengan kelemahan residual yang
minimal. Inkorporasi dari tulang kortikal allograft meliputi kaskade inflamasi, akan
tetapi setelah tahap inflamasi inisial, tulang akan sembuh secara autogenous,
dengan creeping substitution sebagai proses kuncinya (Roberts & Rosenbaum,
2012).
Data dari binatang menunjukkan bahwa substitusi bone graft dengan
kemampuan osteoinduktivitasnya, paling efektif untuk arthrodesis posterolateral
dari tulang belakang, karena dapat menggabungkan proses creeping substitution
dengan tambahan diferensiasi dari sel-sel progenitor dari jaringan lunak sekitar
yang membantu dalam proses penyembuhan tulang (Rodeo et al., 2013).
31
2.3. Pembedahan Rekonstruksi Defek Tulang Luas Dengan Fresh Frozen
Allograft
Defek tulang akibat trauma, tumor, kelainan kongenital, degenerasi dan
akibat penyakit lainnya sampai saat ini masih merupakan masalah besar di bidang
ilmu orthopaedi dan traumatologi. Dalam penanganan kondisi di atas diperlukan
pemberian (pencangkokan) tulang. Tulang merupakan jaringan kedua terbanyak
yang di transplantasikan setelah darah, lebih dari 2,2 juta cangkok tulang setiap
tahun dilakukan di seluruh dunia (Ferdiansyah et al., 2011).
Di Amerika lebih dari 500.000 pasien telah dilakukan reparasi defek tulang
akibat trauma, tumor, degenerasi dan penyakit lain di bidang orthopedi dan
traumatologi. Besarnya biaya yang dikeluarkan kurang lebih sekitar USD 2.5
miliar. Jumlah ini diperkirakan akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2020 di
Amerika Serikat dan secara global. Hal ini disebabkan karena kebutuhan yang
meningkat dan peningkatan dari angka harapan hidup (Amini et al., 2012).
Komposisi graft yang digunakan adalah 60% menggunakan autograft, 34%
menggunakan allograft dan sisanya 6% menggunakan material lain. Besarnya dana
yang dibelanjakan untuk biomaterial orthopaedi di Amerika Serikat mencapai U$
550 milyar, sedangkan di Eropa mencapai U$ 240 milyar (2007). Di Indonesia sejak
tahun 1997 sampai 2001 tercatat adanya peningkatan kebutuhan biomaterial
sebanyak 4 kali dan kebutuhan graft tulang akan terus bertambah seiring
meningkatnya kasus kerusakan tulang akibat trauma, tumor, kelainan kongenital,
infeksi dan resorbsi tulang akibat komplikasi pemasangan protesa sendi
(Ferdiansyah et al., 2011).
32
Terdapat 2 kelompok defek pada tulang. Pertama adalah defek tulang yang
kecil dan kedua defek tulang yang berukuran besar. Dalam penanganan defek
tulang yang berukuran kecil ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan seperti:
cangkok tulang kecil, pemberian bone material substitute, pemberian faktor- faktor
pertumbuhan, injeksi darah sumsum tulang dan dewasa ini telah mulai diteliti
dengan pemberian stem cell. Pada defek tulang dengan defek lebih besar dari 2 kali
diameter tulang, penanganannya lebih komplek karena memerlukan operasi yang
besar untuk rekonstruksi tulang yang hilang dengan tujuan mengembalikan fungsi
anggota gerak (Ferdiansyah et al., 2011).
Trauma adalah penyebab tersering dari defek tulang (Wiese & Pape, 2010).
Defek tulang yang disebabkan oleh trauma dapat juga disebut dengan bone loss.
Bone loss dapat terjad karena hilangnya fragmen tulang pada saat terjadi cedera
atau ketika dilakukan debridemen pada faktur terbuka, ketika bagian tulang yang
telah nekrotik dibuang. Di Eropa, atau pada populasi dengan tingkat trauma tumpul
yang lebih tinggi, defek tulang lebih sering disebabkan karena proses debridemen.
Akan tetapi, pada daerah dimana trauma tembus seperti dari luka tembak atau luka
ledakan lebih sering terjadi, hilngnya fragmen tulang terjadi pada saat terjadinya
cedera (Keating et al., 2005).
Bone loss biasanya dideskripsikan berdasarkan lokasi anatomisnya, yakni
daerah diafisis, metafisis, atau artikular. Defek tulang tersebut juga dapat
dideskripsikan dengan panjangnya tulang yang terlibat. Defek segmental lebih dari
2 cm akan sulit untuk dapat sembuh secara spontan apabila diterapi hanya dengan
stabilisasi tulang saja. Defek artikular jarang terjadi, terapinya membutuhkan
33
stabilitas yang lebih dan kapasitas permukaan sendi untuk dapat berartikulasi
dengan normal dan beban yang normal juga. Contohnya pada kasus tibial plateau,
defek lebih dari 3 cm dari permukaan sendi dan dengan kedalaman 1 cm merupakan
indikasi untuk pemasangan allograft (Keating et al., 2005).
Faktor lain juga mempengaruhi prognosis bone loss pada lokasi anatomis
tertentu memiliki prognosis yang lebih baik dikarenakan karena suplai darah dan
potensi osteogenik sekitar yang lebih baik. Derajat cedera jaringan luka sekitar juga
memiliki pengaruh pada tingkat kesembuhan. Umur pasien, penyakit kronik
(diabetes melitus), medikasi, konsumsi alkohol dan rokok dapat mengubah potensi
defek tulang untuk sembuh (Keating et al., 2005).
Bone loss yang signifikan hanya tampak dalam porsi kecil dari keseluruhan
fraktur dan insidensnya lebih sering terjadi pada fraktur terbuka. Pada sebuah
penelitian oleh Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit antara 1988 sampai dengan
1998, fraktur dengan bone loss mencakup 0,4% dari keseluruhan fraktur, tetapi
mencakup 11,4% dari fraktur terbuka. Mayoritas dari jenis fraktur ini adalah
Gustillo grade IIIB dan sebagian kecil grade IIIC (Keating et al., 2005).
Cidera yang mengakibatkan defek tulang umumnya melibatkan cedera high
energy, oleh karena itu lebih sering terjadi pada laki laki. Di Edinburgh, rerata umur
pasien fraktur dengan defek tulang adalah 37 tahun, dan 71% nya adalah laki laki.
Lokasi tersering dari defek tulang karena trauma adalah pada tibia, karena posisi
jaringan subkutannya sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya fraktur
terbuka dan hilangnya tulang. Di Edinburgh, 68% dari keseluruhan fraktur dengan
bone loss berlokasi di tibia, 22% nya di femur, dan sisanya tersebar di lokasi yang
34
lain. Diafisis merupakan daerah tersering. Di unit trauma Edinburgh, 69% dari
keseluruhan bone loss terjadi pada diafisis, dengan sisanya di antara tulang
metafisis, artikular atau keduanya (Keating et al., 2005). Kajian retrospektif
lainnya, defek pada tulang tibia mengindikasikan bahwa 3,6% (26) dari 725 fraktur
dengan bone loss >3 cm, dengan bagian distal dari tibia memiliki proporsi defek
yang lebih besar (6%, 7 dari 123), dibandingkan dengan shaft (4%, 14 dari 351),
dan bagian proksimal dari tibia (2%, 5 dari 251) (Molina et al., 2014).
Sampai saat ini belum ada definisi yang diterima dengan baik oleh umum
mengenai critical sized bone defect. Critical sized bone defect adalah defek yang
tidak akan sembuh dengan sendirinya untuk seumur hidup, baik pada manusia
ataupun hewan. Pada percobaan dengan hewan memiliki beberapa kelemahan.
diantaranya termasuk kurangnya cedera pada jaringan lunak sekitar, yang biasanya
tampak secara klinis pada saat fraktur dan termasuk variabilitas dari spesies yaitu;
kurangnya komorbiditas (seperti obesitas, diabetes atau osteoporosis) yang
memiliki pengaruh negatif pada penyembuhan fraktur. Faktor-faktor ini
menghambat perkembangan model defek tulang dan generalisasinya pada manusia
(Molina et al., 2014).
Sebuah studi menetapkan bahwa defek 5 mm pada femur tikus dianggap
sebagai critical sized defect baik pada tulang normal maupun tulang osteoporotik
(Poser et al., 2014). Sementara studi lain menetapkan bahwa defek 10 mm pada
tulang tibia pada kelinci sebagai defek yang luas (Li et al., 2009). Peneliti lain
menganggap defek tulang pada manusia yang kritikal sebagai: 3 cm pada lengan
bawah, 5 cm pada femur dan tibia dan 6 cm pada humerus (Calori et al., 2011).
35
2.3.1 Pembedahan rekonstruksi defek tulang luas
Defek tulang yang cukup besar dapat menimbulkan berkurangnya fungsi
ekstremitas yang bersangkutan. Sebaiknya dilakukan rekonstruksi untuk
mengembalikan atau memperbaiki fungsi ekstremitas yang bersangkutan. Pilihan
utama untuk rekonstruksi antara lain: bone graft autogenik atau allogenik, dan
endoprosthesis (Kamal, 2011).
Dengan berkembangnya bedah mikro, maka dapat dilakukan bone graft
yang tervaskularisasi. Dengan tetap adanya aliran darah ke sel-sel bone graft, maka
pembentukan dan penyatuan tulang akan menjadi lebih baik. Teknik ini
memberikan perbaikan pada derajat keberhasilan operasi. Allograft merupakan
bentuk rekonstruksi menggunakan tulang mati (beku atau beku kering). Di negara
tertentu allograft sulit didapatkan karena alasan sosio-religius, maka dikembangkan
beberapa metode untuk menggunakan ulang tulang yang telah direseksi, yakni
dengan: radiasi, autoclave, dan nitrogen cair (Kamal, 2011).
Bone autograft merupakan standard optimum sebagai pembanding untuk
setiap bahan pengganti, karena dia memiliki 3 sifat sebagai osteokonduktif,
osteoinduktif dan osteogenesis. Adapun kelemahan dari penggunaan autograft
antara lain nyeri dari tempat donor dan berpotensial terjadinya komplikasi lokal
seperti hematoma, fraktur dan ketersediaan jumlahnya yang terbatas (Kamal, 2011).
Karena tingginya angka morbiditas dan ketersediaannya yang terbatas inilah
kemudian dipertimbangkan untuk mencari sumber pengganti. Bone allografts telah
lama digunakan sebagai bahan alami pengganti untuk menutup defek tulang,
sebagai alternatif pengganti autograft yang ketersediaannya terbatas. Allograft
36
memungkinkan perbaikan struktural tulang dan permukaannya mendukung untuk
pembentukan tulang. Tujuan penggunaan allograft adalah untuk menginisiasi
respons penyembuhan dari permukaan dasar resepien yang akan menghasilkan
tulang baru pada permukaan host-graft dan di dalam pori-pori allograft. Selain itu
vaskularisasi dasar permukaan resepien dan stabilitas mekanik juga penting. Untuk
penyatuan optimum dengan graft, dasar permukaan resepien juga harus
mengandung sel sel pre-osteogenic dan osteogenic yang cukup, atau harus
diperkaya dengan sumber-sumber sel lainnya seperti sumsum tulang autograft.
Dasar permukaan harus dipersiapkan untuk memperdarahi tulang. Kontak host-
graft harus stabil sehingga memungkinkan pembuluh darah bertumbuh ke dalam
graft (Kamal, 2011).
Bone graft memiliki memiliki fungsi sebagai gap filler (pengisi celah) pada
bone defect. Pada saat bone graft bertaut dengan permukaan tulang maka jarak antar
fragmen tulang menjadi lebih kecil. Fiksasi yang stabil dan menurunnya jarak antar
fragmen tulang akan menurunkan strain ratio pada fracture gap sehingga
penyembuhan tulang dapat tercapai. Autograft dan allograft memiliki perbedaan
karakteristik di mana autograft memiliki ketiga karakteristik osteoinduktif,
osteokonduktif dan osteogenesis, sedangkan allograft hanya memiliki sifat
osteokonduktif dan osteoinduktif (Munthe & Suroto, 2014).
Autograft merupakan gold standard dalam bone grafting. Meskipun
allograft tidak mempunyai sifat osteogenesis, proses penyembuhan tulang pada
allograft masih dapat terjadi melalui proses osteokonduksi dan osteoinduksi. Pada
proses osteoinduksi terjadi stimulasi dari sel progenitor yang akan berdiferensiasi
37
menjadi osteoblast yang berperan dalam pembentukan tulang baru. Karakteristik
osteokonduksi allograft akan berperan sebagai scaffold untuk kerangka terjadinya
tulang. Kedua proses ini akan bersinergi dalam menyediakan komponen dan
lingkungan yang optimal untuk proses penyembuhan alamiah tulang. Komponen
penting yang berperan dalam proses pembentukan tulang baru pada allograft yaitu
BMP (Bone Morphogenetic Protein). BMP ini yang akan mengirimkan sinyal yang
akan menarik growth factors ke lokasi graft yang kemudian akan memulai proses
penyembuhan alamiah tulang. BMP inilah yang memberikan karakteristik
osteoinduktif pada allograft maupun autograft (Munthe & Suroto, 2014).
2.3.2 Allograft
Akhir-akhir ini penggunaan allograft mengalami peningkatan dibanding
dengan autograft. Hal tersebut disebabkan karena ketersediaan autograft terbatas,
apalagi bila diperlukan graft dalam jumlah yang cukup banyak. Selain itu pula,
allograft memiliki kelebihan dalam hal restorasi struktural dari rangka tulang dan
permukaan allograft juga memberikan pengaruh yang positif terhadap
pembentukan tulang. Penggunaan allograft juga meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah revisi arthroplasty (Delloye et al., 2007; Shukla et al., 2003).
Saat ini allograft menempati peringkat pertama dari penggunaan substitusi tulang
di Eropa. Demikian pula di Amerika Serikat, sekitar 800.000 allograft digunakan
setiap tahunnya.
Suatu graft tulang dapat dipertimbangkan bersifat osteogenik bila
mengandung sel osteogenik yang hidup. Hal ini dimungkinkan terjadi bila graft
38
segera diimplantasikan atau bila tulang substitusi diperkaya dengan sel tulang
autogenik yang telah dikultur (Delloye et al., 2007).
Tulang dapat disebut sebagai material osteokonduktif bila struktur yang
dimilikinya dapat bekerja sebagai pendukung dari sel yang melakukan migrasi dari
host dan berdiferensiasi menjadi sel osteogenik. Sehingga kemudian pembentukan
tulang baru, akan muncul di dalam scaffolding. Besarnya osteokonduksi ini dapat
diperiksa dan diukur secara eksperimental (Delloye et al., 2007).
Suatu graft tulang dapat disebut osteoinduktif bila dapat menginduksi
diferensiasi dari sel mesenkimal menjadi osteoblast. Proses ini hanya dapat terlihat
secara in vivo setelah implantasi heterotopik dari graft tulang menjadi non-
osteogenik seperti otot (Delloye et al., 2007).
Tujuan dari penggunaan allograft tulang adalah untuk menginisiasi respons
penyembuhan dari host bed yang akan memperoduksi tulang baru pada host-graft
interface dan didalam struktur dari material graft itu sendiri. Selain sifat dari graft
itu sendiri, vaskularisasi dari bed dan stabilitas mekanikal dari graft sangatlah
penting. Host-graft interface juga harus stabil sehingga pembuluh darah dapat
tumbuh kedalam graft. Faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman
ahli bedah, pendekatan pembedahan yang dilakukan dan persiapan dari lokasi host
yang akan ditanam graft (Delloye et al., 2007).
Allograft tulang yang ditanamkan dapat berisiko menyebarkan penyakit,
sehingga keamanan dari allograft ini menjadi pertimbangan yang utama. Virus dan
prion adalah penyakit menular yang sulit dideteksi pada allograft. Demikian pula
dengan transmisi virus Hepatitis C (HCV) dan human immunodeficiency virus
39
(HIV) juga pernah dideteksi pada allograft. Kontaminasi bakteri pada allograft
dapat mengancam nyawa (Delloye et al., 2007).
Pada tahap pengolahan tulang dapat dilakukan dengan cara aseptik atau
dapat juga dilakukan sterilisasi pada tahap akhir, yaitu dengan radiasi. Salah satu
tujuan dari pengolahan ini adalah untuk membentuk dan menentukan ukuran dari
material graft sesuai dengan keperluan. Selain itu pula, sangatlah penting untuk
melakukan inaktivasi dan menyingkirkan agen-agen yang berbahaya dari tulang
tersebut untuk mengurangi risiko terjadinya penyebaran penyakit menular,
utamanya pada fresh frozen allograft, yang pernah dilaporkan menjadi sumber
utama dari penyebaran infeksi virus kepada resipien. Penggunaan etanol, aseton dan
eter juga sering digunakan, karena terbukti dapat menginaktivasi virus yang
memiliki lapisan pelindung seperti HIV dan virus hepatitis. Hidrogen peroksida
juga telah lama digunakan sebagai agen pemutih, dan telah terbukti sebagai agen
virusidal dan bakterisidal sebagai konsekuensi dari kemampuannya membentuk
radikal bebas. Osteoinduktifitas dari tulang tetap terjaga dengan baik bila paparan
hidrogen peroksida kurang dari 60 menit (Delloye et al., 2007).
2.3.2.1 Tipe-tipe allograft
2.3.2.1.1 Allograft tulang kortikokanselosa
Tulang kortikokanselosa hanya memiliki sifat osteokonduktif namun tidak
memiliki kemampuan osteogenik dan osteoinduktif. Sumbernya didapatkan dari
kaput femur atau dari tulang panjang ekstremitas. Dan dapat memiliki kemampuan
40
mekanikal tergantung dari metode persiapan graft. Tipe ini adalah jenis allograft
yang paling sering digunakan.
Setiap allograft yang dibuat dapat juga ditambahkan dengan faktor
pertumbuhan atau dengan stem sel stromal yang bertujuan untuk menstimulasi
invasi vaskular dari graft dan pembentukan tulang baru (Delloye et al., 2007).
Bank jaringan modern memiliki bentuk hasil olahan yang bervariasi, yaitu
kaput femur beku yang belum diproses, dimana didapatkan pada kondisi yang steril;
tulang kortikokanselosa yang telah diproses dam potongan-potongan tulang
kortikokanselosa. Penggunaan tulang freeze-dried lebih tepat untuk mengisi defek
tulang yang kecil (<5 m3) dan lebih disarankan untuk menggunakan material yang
beku untuk defek yang luas (Delloye et al., 2007).
2.3.2.1.2 Allograft tulang osteoinduktif
Demineralized bone matrix (DBM) adalah jenis allograft yang hanya
memiliki kapasitas osteoinduktif. Setelah dilakukan demineralisasi, tulang kortikal
masih tetap mengandung kolagen, protein tulang (BMPs), glikoprotein dan
proteoglikan. Namun, agar sifat osteoinduktif dapat muncul, harus terdapat BMP,
kolagen tipe 1 dan sel yang diinduksi. Demineralized bone matrix mengandung
BMP dan kolagen tipe 1. Berbagai tipe DBM yang siap digunakan yaitu DBM yang
telah dicampur dengan kandungan kalsium sulfat, kolagen bovine dan bioglass.
41
2.3.2.1.3 Allograft tulang struktural masif
Allograft tulang massif banyak digunakan untuk limb salvage pada kasus
tumor muskuloskeletal dan tetap menjadi pilihan utama dalam rekonstruksi defek
tulang yang luas, hal tersebut dikarenakan allograft tulang masif ini dapat berfungsi
sebagai pendukung struktural. Allograft tipe ini biasanya digunakan untuk
rekonstruksi setelah dilakukan reseksi tumor dan revisi dari arthroplasty.
2.3.2.2 Syarat dan Karakteristik dari Allograft
Syarat allograft yaitu tulang yang digunakan harus memiliki kualitas yang
baik dan aman untuk penerima donor. Tulang yang telah terdemineralisasi
seharusnya menunjukkan aktifitas osteoinduktif, dengan dicirikan adanya
pembentukan tulang baru bila digunakan pada kasus nonunion. Tulang yang
digunakan juga harus cukup kuat untuk dapat memberikan dukungan pada defek
struktural.
2.3.2.3 Fresh Frozen Allograft
Berbagai metode pengolahan digunakan dalam produksi Allograft. Graft
seperti tendon atau potongan tulang untuk rekonstruksi, yang digunakan untuk
keperluan struktur mekanik yang kuat, harus diproses dengan cara yang secara
signifikan tidak mengubah sifat mekaniknya. Graft ini dibersihkan dan diproses
menggunakan radiasi dosis rendah, teknik kimia, atau keduanya untuk mencapai
sterilitas. Graft ini harus ketat dikontrol terhadap kontaminasi bakteri dan biasanya
disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan allograft memiliki dampak kecil pada
42
sifat mekanik dari jaringan dan akan mengurangi imunogenisitasnya (Wilkins et al.,
2013).
Penggunaan fresh frozen allograft dan relevansi klinisnya masih harus
diselidiki. Hal ini juga harus dicatat bahwa variabel lain, seperti usia donor dan jenis
kelamin, dapat mempengaruhi inkorporasi bone graft. Namun demikian tidak ada
data yang tersedia untuk hal ini (Lumetti et al., 2014).
Penggunaan fresh frozen allografts dibatasi oleh Uni Eropa karena
kemungkinan transmisi penyakit menular atau penyakit lainnya. Untuk
meminimalkan risiko infeksi, allografts dapat disterilkan dengan penyinaran atau
dengan zat kimia (Mittag et al., 2012).
Pada penelitian ditemukan bukti radiologis trabekulasi allograft yang baik
sebagai tanda remodeling lengkap dan integrasi ke dalam struktur tulang penerima
terjadi setelah 6 bulan. Angka ini juga telah ditunjukkan dalam beberapa studi
lainnya (Mittag et al., 2012).
Keuntungan fresh frozen allografts non-iradiasi adalah efektivitas biaya,
kualitas biologis yang lebih baik dan ketersediaannya di bank jaringan.
Kerugiannya adalah risiko penularan penyakit yang dapat diminimalkan dengan
donor-screening yang baik dan penanganan steril (Mittag et al., 2012).
2.4 Platelet Derived Growth Factor (PDGF)
Pada pertengahan 1970, ditemukan serum dari faktor pertumbuhan untuk
fibroblas, sel-sel otot halus dan sel glia yang berasal dari platelet. Faktor
pertumbuhan ini kemudian dinamakan Platelet Derived Growth Factor (PDGF),
43
yang kemudian oleh Herdin dipurifikasikan, bersamaan dengan ditemukannya
reseptor untuk PDGF ini yang dinamakan PDGFR, dimana reseptor tersebut
merupakan reseptor pada tirosin kinase. Ukuran dari PDGF adalah sebesar 30kDa
yang terdiri dari rantai A dan atau B, yang dikoding dengan gen yang berbeda-beda
dan mengalami regulasi sesuai gen yang berperan. Rantai C dan D kemudian
ditemukan sebagai gen tambahan yang dikoding sebagai polipeptida PDGF-C dan
PDGF-D. Masing-masing rantai dikodingkan dengan gen individu yang berbeda
yang terletak pada kromosom 7, 22, 4 dan 11. Platelet Derived Growth Factor
merupakan suatu rantai pengikat heparin bersifat polipeptida dengan 4 tipe yaitu A,
B, C, dan D. Keempat rantai PDGF ini mengandung faktor pertumbuhan domain
yang berisi kurang lebih 100 asam amino yang ditemukan juga pada kelompok
VEGF. Hingga saat ini, telah terdapat 5 komposisi dimerik yaitu: PDGF-AA, BB,
CC dan DD. Target kerja pada PDGF ini biasanya pada sel asal mesoderm spektrum
luas seperti fibroblas, perisit, sel otot halus, sel glia atau sel mesangial (Raica &
Cimpean, 2010).
Bentuk isoform dari PDGF berikatan dengan dua kelas III reseptor tirosin
kinase, PDGFR-alpha dan PDGFR-Beta. Proses pengikatan pada ligan ini
menyebabkan terjadinya proses autofosforilasi dari reseptor tirosin sehingga terjadi
aktivasi dari molekul-molekul pemberi sinyal. Rantai PDGF mempunyai afinitas
yang berbeda-beda pada dua reseptor diatas. PDFRa memiliki afinitas yang tinggi
terhadap PDGF-A, PDGF-B, dan PDGF-C, sedangkan PDGFRb memiliki afinitas
yang tinggi terhadap PDGF-B dan PDGF-D. Interaksi pada reseptor dari masing-
masing PDGF tersebut dapat dilihat pada invitro, namun pada invivo belum
44
diketahui dengan jelas. Tirosin kinase diaktifkan akibat adanya pengikatan ligand
pada reseptor. Aktivasi dari jalur inilah yang mengawali terjadinya respons seluler
sehingga terjadi proliferasi dan migrasi. Ekspresi dari p21Ras yang teraktivasi pada
sel mengakibatkan terjadinya proses pengaktivasian sinyal pada beberapa level.
Dua mekanisme berbeda terjadi pada defek sinyal PDGFRb yaitu ekspresi
transkripsi PDGFRb dan inhibisi pada ligand PDGFRb oleh suatu faktor pada
membran sel p21Ras yang mengekspresikan fibroblas. Gangguan pada fibroblas
tulang mengakibatkan berkurangnya fungsi dari PDGFRb. PDGF merupakan
mitogen utama untuk sebagian besar sel yang berasal dari mesenkim dan beberapa
sel yang berasal dari neuroektodermal, seperti oligodendrosit. PDGF berperan
penting dan memiliki fungsi dalam proses pembentukan tulang, eritropoeisis,
penyembuhan luka, serta angiogenesis, serta memiliki peranan dalam
perkembangan normal pada ginjal, otak, kardiovaskular dan sistem pernapasan.
Beberapa studi membuktikan adanya peranan PDGF pada perkembangan sel tumor
serta lesi spesifik dari penyakit inflamasi dan aterosklerosis. Sinyal PDGF
ditransmisikan melalui lapisan dua sel reseptor tirosin kinase, PDGFRa dan
PDGFRb, serta menginduksikan proses angiogenesis dengan meregulasi produksi
VEGF dan memodulasi proses proliferasi dari sel perivaskuler. Aktivitas
angiogenesis dari PDGF tidak hanya berasal dari peningkatan produksi VEGF-A,
namun dapat juga dari stimulasi yang dilakukan oleh PDGF-B sehingga
meningkatkan endotelial cells (EC) dan diferensiasi dari prekursos hemapoetik.
Pada suatu percobaan, telah dibuktikan bahwa transmisi sinyal PDGF-B dan
PDGFRb berperan penting dalam meningkatkan fungsi dari pembuluh darah
45
dengan mengambil dan menstabilkan sel yang berasal dari perivaskuler. VEGF
merangsang ekspresi endotelial PDGF-B, sedangkan FGF-2 merangsang ekspresi
PDGFRb perivaskuler. Stimulasi bersamaan yang dilakukan oleh VEGF dan FGF-
2 menyebabkan terjadinya pengeluaran sel-sel perivaskuler in vitro dan juga
pembentukan pembuluh darah fungsional in vivo. Kedua efek ini ditekan oleh
antibodi PDGFRb dan juga PDGF-B eksogen yang menunjukan pentingnya sel
gradien PDGF-B sehingga harus dipertahankan. Fungsi lain dari PDGF adalah
untuk meregulasi aktivitas transkripsi dari trombomodulin pada sel otot polos
pembuluh darah pada manusia. Contoh dari ekspresi ganda PDGF-B dan
Trombomodulin dapat dilihat pada contoh percobaan arteri karotis yang diligasi.
Pada proses ini, PDGF B meregulasi faktor yang mentranskripsikan E-26 spesifik
(Ets-1). Pada sel perivaskuler yang sedang istirahat dan sel EC, Ets-1 berada dalam
jumlah yang minimal dan meningkat dengan bantuan dari PDGF B. Proses ini
dihambat oleh rapamycin, yang mempunyai kemampuan antiangiogenik dan
antilimfangiogenik. Walaupun hal-hal diatas ditemukan pada jaringan manusia (in
vitro), hubungan antara angiogenesis normal serta patologis belum jelas diketahui
(Raica & Cimpean, 2010).
Berdasarkan sifat dasarnya, PDGF memainkan peran penting dalam
penyembuhan luka, merangsang proliferasi sel, migrasi dan angiogenesis. Peran ini
terkait dengan beberapa molekul spesifik dari matriks ekstraselular, seperti kolagen
atau heparin. Dalam percobaan in vitro, telah menunjukkan bahwa baru-baru ini
heparin meningkatkan pengikatan PDGF dengan kolagen, dan kompleks PDGF-
46
heparin-kolagen mengawali terjadinya proliferasi fibroblas, migrasi sel dan
vaskularisasi (Raica & Cimpean, 2010).
2.4.1 Peran PDGF pada remodeling vaskular
Platelet Derived Growth Factor dikenal sebagai salah satu faktor mayor
yang berperan pada remodeling vaskular dan pembentukan lesi intimal. Salah satu
keunggulan PDGF adalah sebagai penginduksi dari sel otot polos arterial untuk
bermigrasi dan berproliferasi. Secara in vivo, blokade pada PDGF atau reseptornya,
mengarah kepada terjadinya reduksi dari hiperplasia myointimal sebagai respon
terhadap terjadinya suatu cedera. Secara in vitro, beberapa percobaan telah
membuktikan bahwa PDGF BB merupakan stimulan yang lebih baik dibandingkan
dengan PDGF-AB, maupun –AA karena –AA bersifat inaktif atau terhambat. Pada
hewan percobaan, PDGF BB mengawali terjadinya penebalan pada intima dan
migrasi sel otot polos dari tunika media ke tunika intima. Walaupun PDGF
memiliki peran yang penting pada migrasi sel otot polos, mekanisme meliputi
migrasi sel otot polos dengan bantuan PDGF masih belum dapat dijelaskan.
Bagaimanapun, beberapa studi melaporkan reseptor integrin, yaitu reseptor
vitronektin αvβ3 dan αvβ5 berhubungan dengan migrasi sel otot polos yang
diinduksi oleh PDGF. Kedua antibodi integrin dan peptida antagonis arginine-
glycine-aspartate motif (RGD) secara signifikan menghambat migrasi sel otot polos
yang diinduksi oleh PDGF. Integrin merupakan suatu reseptor untuk osteopontin
(OPN), suatu glikoprotein sekresi fosforilasi, dimana ekspresinya diinduksi oleh
PDGF pada sel otot polos arterial. Osteopontin juga merupakan suatu kemoatraktan
47
untuk sel otot polos dan mekanisme kerjanya dimediasi terutama oleh integrin β3.
Sebagai tambahan, stimulasi dari sel otot polos, PDGF-BB serta OPN secara
bersamaan telah terbukti meningkatkan produksi sel otot polos matriks
metaloproteinase-9 (MMP-9) (Jarvis et al., 2012).
2.4.2 Peran PDGF pada Proses Penyembuhan Tulang
Tulang memiliki kapasitas intrinsik yang kuat untuk beregenerasi pada saat
proses homeostasis dan saat mengalami cedera. Proses regeneratif ini ditandai
dengan siklus remodeling, di mana sel-sel dalam jumlah tertentu direkrut dan
dibedakan untuk kepentingan proses resorpsi tulang atau pembentukan tulang.
Proses ini dikoordinasikan dan diatur oleh sistem yang melibatkan faktor-faktor
pertumbuhan dan sitokin, dimana faktor-faktor pertumbuhan atau sitokin tersebut
beberapa telah tersedia ataupun dalam tahap perkembangan lebih lanjut untuk
aplikasi klinis melalui teknologi rekombinan. Salah satu faktor biologis penting
yang bertanggung jawab untuk proses reparatif tulang ini adalah PDGF. PDGF
bekerja dengan mengikat reseptor permukaan sel pada sebagian sel mesenkimal,
dan merangsang proses reparatif dalam beberapa jenis jaringan. Efek stimulasi dari
PDGF adalah sebagai kemotaksis dan mitogenesis, bersamaan dengan
kemampuannya untuk mempromosikan angiogenesis, merupakan mediator kunci
dalam perbaikan jaringan (Hollinger et al., 2008).
Pada saat jaringan tulang mengalami suatu kerusakan baik karena trauma
ataupun akibat pembedahan, reaksi inflamasi yang cepat dan aktif akan segera
berespon pada area yang mengalami kerusakan dengan mengeluarkan sel darah,
48
platelet, monosit, makrofag, serta sel-sel kaskade inflamasi lainnya. Resikonya
adalah terjadinya nekrosis pada tempat yang mengalami kerusakan agar jaringan
sehat sekitarnya tidak ikut mengalami kerusakan. Proses pemisahan ini biasa
berlokasi pada tulang yang mengalami kerusakan atau tempat dimana terjadi cedera
tersebut yang pada akhirnya akan terjadi penyembuhan serta terbentuknya kalus
reparative Pada area yang terisolasi ini, platelet dan makrofag akan mengeluarkan
molekul bioaktif dalam jumlah yang sangat banyak termasuk PDGF, untuk
mempersiapkan kondisi untuk terjadinya respons perbaikan. Pada keadaan yang
stabil, pembentukan pembuluh darah baru akan berinvasi pada jaringan yang akan
mengalami perbaikan, dan pembuluh yang berasosiasi dengan Mesenchymal Stem
Cell (MSC) akan masuk membentuk lembaran-lembaran sel osteoblas yang akan
membuat tulang baru pada bagian pembuluh darah yang terganggu. Peranan PDGF
dalam perbaikan tulang belum diketahui dengan jelas namun PDGF diperikirakan
selain berperan dalam menstimulasi angiogenesis lokal, juga meregulasi peristiwa
osteogenik tersebut sehingga terjadi pembentukan tulang dengan cepat. Dalam hal
penyembuhan tulang dan regenerasi tulang, PDGF BB dapat diperikirakan berperan
paling kuat diantara kelompok PDGF lainnya (Hollinger et al., 2008).
49
Gambar 2.3
Peran PDGF pada Proses Pembentukan Tulang (Hollinger et al., 2008)
Gambar 2.4
Proses penyembuhan tulang melibatkan PDGF (Hollinger et al., 2008)
50
Peranan PDGF-BB pada lokasi yang mengalami cedera atau fraktur adalah
sebagai berikut (Caplan & Correa, 2011):
1. Menstimulasi sekresi dari VEGF pada bagian pericyte, sehingga membawa sel
endotelial untuk angiogenesis pada lokasi yang mengalami kerusakan.
2. Melepaskan kaitan pericytes dari pembuluh darah yang ada dan memfasilitasi
pericytes pada lokasi yang mengalami cedera, sehingga memungkinkan
pelepasan pericytes yang bebas untuk menjadi aktif dan sebagai mediator untuk
MSC fungsional, beberapa di antaranya berfungsi untuk membentuk
lingkungan mikro regeneratif, sementara yang lain menjadi sel
osteoprogenitor.
3. Berfungsi sebagai mitogen kuat untuk pericyte dan MSC bebas yang
teraktivasi.
4. Memodulasi respon penting dalam proses osteogenik yang melibatkan faktor-
faktor seperti BMP, yang bertanggung jawab untuk diferensiasi osteoblastik
lebih lanjut pada sel MSC bebas yang teraktivasi.
5. Berfungsi untuk membawa PDGFR-b mengekspresikan MSC/ pericytes
kembali untuk melakukan kontak dengan pembuluh darah mikro yang
mengalami pembesaran dan infiltrasi dan menstabilkan posisi dan formasi
pembuluh darah.
6. Berperan integral untuk mengkoordinasikan dan menghubungkan sel-sel
endotel, pericytes, MSC, ECM, reseptor PDGF.
51
2.5 Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
Faktor pertumbuhan angiogenik seperti faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF) mulai diperhatikan karena beperan dalam angiogenesis selama
penyembuhan tulang. Pembentukan jaringan pembuluh darah penting dalam
implantasi biomaterial, oksigenasi, dan nutrisi. VEGF mempromosikan
vaskularisasi polimer dan kalsium fosfat bahan pengganti tulang. Selain itu,
beberapa penelitian memberikan bukti bahwa pemberian VEGF lokal
meningkatkan penyembuhan defek pada tulang (Wernike et al., 2010).
Vascular Endothelial Growth Factor adalah mitogen khusus untuk sel
endotel vaskular. Pertama kali diidentifikasi sebagai faktor pertumbuhan endotel
dari sel-sel folikel hipofisis sapi oleh Ferrara dan Davis Symth (Yang et al., 2012).
VEGF memiliki banyak isoform, tapi VEGF-A dianggap sebagai prototipe dalam
family ini. Isoform lain dalam family ini memiliki VEGF-B, VEGF-C, dan VEGF-
D. Peran VEGF-B saat ini belum diketahui. VEGF-C dan isoform VEGF-D
terutama terlibat dalam lymphangiogenesis. Dari semua isoform, VEGF-A adalah
faktor dominan dalam regulasi angiogenesis dan pertumbuhan sel endotel. VEGF
diproduksi oleh sel endotel, makrofag, fibroblas, sel-sel otot polos, osteoblas, dan
kondrosit hipertrofik. Seperti faktor pertumbuhan peptide lainnya , VEGF berikatan
dengan reseptor (VEGFR-1 dan 2) pada permukaan sel target (Beamer et al., 2010).
Osteoblas primer manusia mengekspresikan sejumlah besar VEGFR-1 dan
sinyal VEGFR-1 pada osteoblas menginduksi respon kemotaksis kuat. VEGF juga
secara tidak langsung menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel-sel prekursor
osteoblas. Hal ini dicapai oleh sekresi faktor osteoanabolik, seperti endotelin-I dan
52
insulin-like growth factor-I. VEGF juga berfungsi untuk mempromosikan
kemotaksis mesenchymal stem cell (MSC). Periosteum, otot, jaringan adiposa, dan
sumsum tulang merupakan sumber yang kaya MSC yang mampu berdeferensiasi
menjadi osteoblas, dan juga menyediakan sel progenitor endotel yang mendukung
postnatal vasculogenesis. Vaskulogenesis dan angiogenesis dipicu oleh
peningkatan kadar VEGF lokal dan sistemik, sehingga memungkinkan mobilisasi
substrat osteogenik, stem cell pericyte, dan MSC yang mampu berdiferensiasi
menjadi tambahan osteoblas. Proses ini memberi umpan balik positif antara
osteoblas dan sel endotel (Beamer et al., 2010).
2.5.1 Pengaruh VEGF pada sel tulang
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Bone Morphogenetic
Protein 2 (BMP 2) adalah dua regulator kunci dari angiogenesis dan osteogenesis
dan diferensiasi osteogenik dari sel induk. Kedua faktor ini secara sinergis
meningkatkan regenerasi tulang. Hasil penelitian menegaskan bahwa kombinasi
dari VEGF dan BMP 2 memiliki efek aditif pada regenerasi tulang. Namun, masih
belum ada bukti langsung mengenai mekanisme kerja dari kedua faktor selama
diferensiasi dan regenerasi tulang. Berdasarkan pengamatan kombinasi dari VEGF
dan BMP 2 mempromosikan pertumbuhan jaringan pada proses angiogenesis dan
peningkatan regenerasi tulang dalam rongga sinus (Zhang et al., 2014).
53
2.5.2 Pengaruh VEGF pada osteoblas
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) terlibat dalam berbagai aspek
fungsi osteoblas. Dua penelitian telah menunjukkan efek chemoattractive dose-
dependent VEGF pada osteoblas primer dan sel-sel progenitor mesenkimal (Yang
et al., 2012). VEGF merangsang proliferasi sel hingga 70% dan mempromosikan
diferensiasi osteoblas primer in vitro dengan meningkatkan pembentukan aktivitas
alkali fosfatase secara dose-dependent. Dilaporkan juga bahwa VEGF
diekspresikan dalam jumlah sedikit pada awal diferensiasi osteoblas dan
ekspresinya meningkat hanya selama diferensiasi terminal dan mencapai jumlah
maksimum selama periode mineralisasi. Dengan demikian, VEGF memainkan
peran penting dalam regulasi pembentukan tulang dengan merangsang diferensiasi
osteoblas (Yang et al., 2012).
2.5.3 Pengaruh VEGF pada osteoklas
VEGF secara signifikan dapat meningkatkan ekspresi RANK mRNA dan
ekspresi RANK pada sel endotel melalui jalur kinase FLK-1 / KDR-protein C-ERK.
VEGF memainkan peran penting dalam modulasi aksi angiogenik RANKL dalam
kondisi fisiologis atau patologis. Kombinasi dari VEGF dan dosis rendah colony-
stimulating factor-1 (CSF-1) dapat meningkatkan ekspresi RANK dalam prekursor
osteoklas yang diperlukan untuk osteoklastogenesis. Pada kultur osteoklas kelinci
dewasa, VEGF ikut serta dalam perekrutan osteoklastik, diferensiasi dan
peningkatan aktivitas penyerapan-tulang osteoklastik (Yang et al., 2012).
54
Gambar 2.5
Skema efek VEGF pada angiogenesis dan osteogenesis (Yang et al., 2012)
Dampak VEGF pada sel endotel yaitu memulai proses angiogenesis yang
merekrut sel mesenkimal dan bermigrasi ke tulang rawan atau jaringan ikat
subperiosteal melalui pembuluh darah. Selama proses osifikasi endokondral, sel-
sel mesenkimal berdiferensiasi menjadi kondrosit, dan mengalami hipertrofi.
Kemudian, proses pembentukan tulang dimulai. Di samping itu, selama proses
osifikasi intramembran, sel-sel mesenkimal yang bermigrasi ke jaringan ikat
subperiosteal berdiferensiasi menjadi osteoblas secara langsung dan memulai
proses pembentukan tulang. VEGF meregulasi ekspresi faktor pertumbuhan dan
sitokin dalam sel endotel dan memainkan peran penting selama proses
penyembuhan tulang intramembran (Yang et al., 2012).
55
2.5.4 Pengaruh VEGF pada osifikasi endokondral
Osifikasi endokondral merupakan proses penting selama pembentukan
dasar dan pertumbuhan tulang panjang, dan penyembuhan patah tulang. Osifikasi
endokondral merupakan proses dimana kondrosit mengalami proliferasi, hipertrofi,
kematian sel dan penggantian osteoblastik. Vascular Endothelial Growth Factor
terbukti berfungsi sebagai mediator penting selama proses ini karena
kemampuannya dalam invasi pembuluh darah (neovaskularisasi) ke tulang rawan
hipertrofik. Vaskularisasi membantu sel mesenkimal berdiferensiasi menjadi
osteoblas dan terlibat dalam osteogenesis. Sebuah studi terbaru oleh Bluteau et al.
menunjukkan bahwa kondrosit dapat mengeluarkan empat anggota keluarga VEGF.
VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C dan VEGF-D terdeteksi dan diregulasi di mRNA
pada tingkat protein selama diferensiasi kondrogenik kondrosit. Zelzer et al.
menjelaskan bahwa secara in vivo untuk VEGF berperan penting dalam invasi
pembuluh darah ke tulang rawan hipertrofik selama perkembangan tulang (Yang et
al., 2012).
Penyembuhan patah tulang tergantung pada vaskularisasi tulang, yang
dipromosikan oleh VEGF. Dalam osteogenesis, yang terkait erat dengan
angiogenesis, VEGF mempromosikan vaskularisasi dari lempeng pertumbuhan dan
transformasi tulang rawan pada tulang. Satu studi penelitian mengamati apakah
VEGF diperlukan untuk perbaikan tulang dengan menghambat aktivitas VEGF
selama penyembuhan tulang sekunder pada model tikus (Street et al., 2002).
Fraktur femur digunakan sebagai model osifikasi endokondral. Perbaikan fraktur
terjadi dalam serangkaian tahap, yang melibatkan tahap awal inflamasi, fase kalus
56
lunak, fase kalus keras dan fase remodeling. Penghambatan VEGF pada tikus
mengahambat perbaikan patah tulang femur dan gangguan pembentukan tulang
baru. Hasil penelitian memberikan bukti bahwa aktivitas VEGF sangat penting
untuk konversi dari kalus tulang rawan lunak untuk tulang kalus keras dan
mineralisasi sebagai respon cedera tulang. Berdasarkan percobaan pada kelinci,
menunjukkan bahwa gen VEGF yang diaktifkan matriks, menyebabkan
peningkatan yang signifikan dalam vaskularisasi dan regenerasi tulang pada defek
segmental yang luas pada tulang (Geiger et al., 2007). Dengan demikian, matriks
gen VEGF yang diaktifkan dapat berfungsi sebagai media yang tepat untuk
mempromosikan angiogenesis, osteogenesis dan penyembuhan tulang. Peningkatan
penyembuhan defek segmental pada tulang panjang kelinci menggunakan transfer
gen VEGF berbasis sel tanpa vektor virus (Li et al., 2009).
Interaksi antara faktor angiogenik dan osteogenik dalam pembentukan
tulang dan penyembuhan tulang. Penelitian menunjukan bahwa kombinasi dari
VEGF dan BMP-4 mampu merekrut MSC lebih bayak untuk meningkatkan
kelangsungan hidup sel dan menginduksi pembentukan tulang rawan pada tahap
awal pembentukan tulang endokondral. Selanjutnya, efek pada VEGF pada
penyembuhan tulang tergantung pada rasio VEGF terhadap BMP-4 (Yang et al.,
2012).
2.5.5 Pengaruh VEGF pada osifikasi intramembran
Osifikasi intramembran adalah proses dimana pembentukan jaringan tulang
terjadi secara langsung dari jaringan ikat tanpa melalui tahap tulang rawan. Sebuah
57
contoh pada fossa glenoid yang terbentuk ketika sel-sel mesenkimal langsung
berdiferensiasi menjadi osteoblas sebelum akhirnya membentuk tulang. VEGF
meningkatkan neovaskularisasi, yang akan meningkatkan jumlah sel-sel
mesenkimal dalam jaringan ikat perivaskular. VEGF juga merangsang sel-sel
endotel vaskular untuk mengeluarkan faktor pertumbuhan dan sitokin yang
mempengaruhi diferensiasi sel mesenkimal untuk memasuki jalur osteogenik dan
terlibat dalam osteogenesis (Yang et al., 2012).
Penyembuhan tulang adalah suatu proses tahapan yang melibatkan migrasi,
proliferasi, diferensiasi dan aktivasi jenis beberapa sel. Penambahan VEGF pada
demineralized bone matrix intramembranous (DBMIM) terbukti meningkatkan
kualitas dan kuantitas tulang yang baru dibentuk pada daerah graft (Yang et al.,
2012). Penelitian menunjukkan bahwa angiogenesis yang diinduksi VEGF, tidak
hanya berperan dalam pembentukan tulang di lokasi cedera lempeng pertumbuhan
tetapi juga di osifikasi endokhondral dan konversi tulang rawan hipertrofik ke
tulang trabekular (Chung et al., 2014).
2.6 Bone Morphogenetic Protein-2
Penyembuhan dan regenerasi tulang menggunakan BMP pertama kali
dikemukakan pada tahun 1965. Marshall Urist menemukan bahwa implantasi
Demineralized Bone Matrix (DBM) pada kelinci menginduksi pembentukan tulang
baru, yang kemudian dinamakan BMP. Sejak saat itu kemampuan BMP untuk
menstimulasi penyembuhan tulang pada fraktur menjadi lini depan dalam
orthopedi. Osteogenetic Protein-1 (OP-1), yang juga dikenal sebagai BMP-7 dan
58
BMP-2 telah disetujui oleh FDA sebagai BMP rekombinan yang dapat
dikombinasikan dengan DBM secara klinis untuk pembentukan tulang. Penelitian
terbaru dengan percobaan klinis menunjukkan hasil menjanjikan pada pengobatan
fraktur non union dan meningkatkan fusi tulang belakang. Bone Morphogenetic
Protein diketahui dapat mengikat reseptor sel pada permukaan mesenkimal, yang
kemudian mengirim sinyal melalui protein spesifik yang akan mengaktifkan,
menginduksi sel mesenkim untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas atau kondrosit
(L. Dorman et al., 2011).
Bone morphogenetic Protein (BMP) merupakan family growth factor yang
berhubungan dengan TGF-β yang menggunakan sinyal menyerupai transduksi
melibatkan reseptor transmembran serine treonine kinase dan protein Smad.
Mereka terlibat dalam regulasi angiogenesis fisiologis pada masa perkembangan
embrio dan pembentukan tulang. Sel endotel dan sel otot halus vaskuler
mengekspresikan BMP, termasuk BMP-2 (Raida et al., 2005). Lebih dari 20
anggota family BMP telah diidentifikasi sejauh ini. Dari semua BMP yang telah
diidentifikasi, BMP-2, BMP-4, BMP-7 masing-masing dapat menginduksi formasi
tulang secara de novo dan pada daerah ektopik secara in vivo. Pada penelitian
tertentu, BMP-2 merupakan anggota family BMP yang paling poten dalam proses
osteoinduksi (Razzouk & Sarkis, 2011).
59
Gambar 2.6
Aktivitas osteogenik BMP (Razzouk & Sarkis, 2011).
BMP merupakan sitokin multifungsi yang mempengaruhi diferensiasi
berbagai tipe sel. Hampir semua efek BMP 2 tergantung pada waktu dan
konsentrasi (Steinert et al., 2008). BMP 2 memiliki sifat kemotaktik terhadap
monosit manusia dan menstimulasi ekspresi sitokin angiogenesis TGF-β1. Monosit
dalam sirkulasi meninggalkan aliran darah dan memasuki jaringan, dimana akan
terjadi diferensiasi menjadi makrofag, yang dapat mensekresikan sitokin yang
mempromosikan respon angiogenik (Raida et al., 2005).
Bone morphogenetic Protein (BMP) penting dalam pembaharuan tulang
dan penyembuhan fraktur. Analisis menunjukan bahwa BMP 2 meningkat
maksimal pada 24 jam pertama masa penyembuhan. Ekspresi BMP 2 yang kurang
pada tikus menunjukan bahwa hewan ini memiliki kemampuan yang kurang baik
dalam penyembuhan tulang (Razzouk & Sarkis, 2011). BMP 2 memperluas potensi
aktivitas dalam menginduksi pembentukan tulang rawan dan tulang secara in vivo
dan in vitro melalui reseptor spesifik tipe I dan tipe II. BMP 2 memegang peran
vital dalam proliferasi, apoptosis, dan diferensiasi sel tulang (Wang et al., 2011).
60
2.6.1 Bone morphogenetic protein dan penyembuhan tulang
Bone morphogenetic Protein (BMP) memiliki peran penting dalam
pembentukan tulang dan tulang rawan, penyembuhan patah tulang dan perbaikan
jaringan muskuloskeletal lainnya. BMP adalah protein yang disekresikan oleh sel-
sel, yang berfungsi sebagai sinyal agen yang mempengaruhi pembelahan sel,
sintesis matriks dan diferensiasi jaringan (Garrison et al., 2010).
Bone morphogenetic Protein (BMP) menginduksi tulang melalui dua jalur.
BMP dikumpulkan dari protein sekitar otot, sumsum tulang atau pembuluh darah
dan berdiferensiasi menjadi osteoblas untuk membuat tulang secara langsung atau
melalui sel tulang rawan yang kemudian berubah menjadi sel-sel tulang. BMP juga
membantu dalam produksi matriks tulang dan vaskularisasi. BMP pada fraktur
nonunion bermanfaat untuk merangsang penyembuhan, sedangkan pada fraktur
akut, BMP digunakan untuk mempercepat penyembuhan patah tulang. Di ruang
operasi BMP 2 dicampur dan ditambahkan ke pembawa kolagen spons, dan BMP-
7 dengan carier kolagen. Penggunaan BMP juga memiliki potensi untuk
meningkatkan kualitas kesehatan yang berhubungan dengan hidup pasien dengan
menghindari nyeri pada lokasi donor bone graft (Garrison et al., 2010).
Pengobatan BMP-2 bisa lebih efisien untuk stimulasi penyembuhan. Telah
terbukti dalam berbagai model hewan dimana kaskade sinyal BMP-2 dimulai saat
awal fase awal penyembuhan tulang, memicu respon inflamasi dan aktivasi
periosteal. Namun, BMP-2 juga penting selama fase kondrogenesis dan
osteogenesis (Faßbender et al., 2014).
61
2.6.2 Bone morphogenetic protein dan allograft
Allografts tidak seefektif autografts dan penularan penyakit dari donor
masih menjadi perhatian. Untuk alasan ini, banyak penelitian saat ini telah
difokuskan pada pengembangan scaffold yang dapat digunakan sebagai pengganti
bone graft. Scaffold ini dirancang untuk memberikan matriks osteoblas yang dapat
melekat dan berproliferasi. Idealnya, scaffold akan memberikan kekuatan mekanik
dan kemudian merangsang pembentukan tulang baru (Reves et al., 2011). Idealnya,
scaffold digunakan untuk regenerasi tulang yang membutuhkan kekuatan mekanik.
Pori-pori scaffold harus tetap terbuka untuk memungkinkan ingrowth jaringan ke
dalam interior scaffold dan menjaga baik pertukaran nutrisi maupun limbah.
Hidroksiapatit adalah komponen anorganik utama tulang dan telah digunakan
dalam pelapis untuk meningkatkan respon osteoblas untuk implan (Reves et al.,
2011).
Untuk lebih meningkatkan sifat regeneratif bone graft, scaffold juga dapat
berfungsi sebagai carier faktor pertumbuhan lokal. Bone Morphogenetic Protein-2
merekrut sel ke lokasi fraktur, mempromosikan angiogenesis, dan menyebabkan
diferensiasi sel menjadi osteoblas. Peningkatan kadar BMP-2 dapat dilakukan
dengan menggunakan scaffold. Penelitian juga menunjukkan bahwa BMP-2
loading dapat dicapai dengan menggunakan liofilisasi (freeze-drying) untuk
meningkatkan luas permukaan scaffold (Reves et al., 2011).
Bone morphogenetic Protein (BMP) seperti BMP-2, BMP-4 dan BMP-7
bersifat osteoinduktif. BMP-2 telah terbukti menjadi gen yang sangat penting yang
terlibat dalam osteoporosis dan metabolisme tulang. Saat ini, BMP-2 dianggap
62
sebagai salah satu terapi yang paling menjanjikan untuk patah tulang dan
pengobatan defek tulang. Pemberian BMP 2 memicu tidak hanya penyembuhan
tulang tetapi juga beberapa efek yang tidak diinginkan termasuk peradangan pada
jaringan lunak, resorpsi tulang atau pembentukan tulang yang berlebihan dan tulang
tumbuh pada lokasi yang tidak diinginkan (osifikasi heterotopik) (Kisiel, 2013).
2.7 Osteocalcin
2.7.1 Karakteristik struktural osteocalcin
Osteocalcin, merupakan protein matriks non-kolagen yang banyak terdapat pada
tulang setelah osteopontin. Protein ini dikenal sebagai gama-carboxyglutamic acid
(Gla) protein (BPG) yang banyak diproduksi secara spesifik oleh osteoblas. Protein
matriks ini tersusun atas 46 sampai 50 asam amino yang bersifat spesifik spesies.
Khususnya pada vertebrata, terdapat 3 residu asam amino glutamat yang tersusun
secara berurutan pada bagian tengah sekuens. Residu glutamat ini kemudian
mengalami modifikasi post-translasional dalam sekresi osteocalsin menghasilkan
gamma-carboxyglutamic acid protein (BPG) (Patti et al., 2013).
Gambar 2.7
Struktur kimia osteocalsin (Patti et al., 2013).
63
Modifikasi post-translasi ini melibatkan proteolisis dan karboksilasi tiga
residu asam amino glutamat. Struktur yang banyak tersusun oleh gama-
carboxyglutamic acid memudahkan osteocalsin sebagai protein adhesi yang
berikatan dengan ion kalsium dan mempermudah proses absoprsi hidroksiapatit di
tulang (Patti et al., 2013).
2.7.2 Regulasi sekresi osteocalcin
Vitamin D menstimulasi secara langsung transkripsi mRNA osteocalcin,
sementara vitamin K diketahui berfungsi sebagai regulator modifikasi post-
translasional yakni karboksilasi tiga residu glutamat. Selain dua faktor induksi
utama tersebut, produksi osteocalsin juga turut diregulasi oleh beberapa sitokin,
hormon, dan growth factor seperti VEGF, OFG, dan IGF yang berinteraksi pada
promoter osteocalsin (BGLAP). Gen ini secara normal tidak aktif ketika proliferasi
osteoblas dan diekspresikan secara melimpah pada tahap akhir diferensiasi
osteoblas (Patti et al., 2013).
Aktivasi transkripsi gen BGLAP pada osteoblas maupun odontoblas
dimulai dengan inisisiasi oleh vitamin D. Peptida preproosteocalsin mengalami
proteolisis yang memecah preproosteocalsin menjadi peptida (23 asam amino) dan
proosteocalsin peptida (75 asam amino). Modifikasi pasca translasional selanjutnya
melibatkan peranan vitamin K sebagai induser. Proses karboksilasi residu glutamat
berperan sangat penting dalam fungsi adhesinya terhadap ion Ca2+ dan mineral
hidroksiapatit. Sebaliknya, osteocalsin non-karboksilasi memiliki afinitas yang
64
rendah terhadap mineral hidroksiapatit sehingga dapat disekresikan langsung ke
dalam aliran darah (Patti et al., 2013).
Kedua bentuk osteocalcin, terkarboksilasi maupun non-karboksilasi dapat
dideteksi dalam aliran darah, namun hanya osteocalsin terkarboksilasi yang
disekresikan pada matriks tulang. Regulasi sekresi dan perbandingan antara
osteocalsin terkarboksilasi dan non-karboksilasi ditentukan oleh asupan vitamin K
yang didapat tubuh. Semakin tinggi asupan vitamin K, maka semakin banyak
osteocalsin yang disekresikan sebagai matriks tulang. Hal ini turut mempengaruhi
kompatisitas trabekula tulang (Patti et al., 2013).
Gambar 2.8
Sekresi dan post-translasional modifikasi osteocalcin (Patti et al., 2013).
2.7.3 Peranan osteocalcin dalam remodeling tulang
Walaupun fungsi utama osteocalcin belum diketahui secara pasti, namun
penelitian terbaru menunjukkan bahwa osteocalcin berperan serta dalam
65
mineralisasi tulang, berfungsi sebagai kemoatraktan dari monosit, sel mesenkimal,
dan sel resopsi seperti osteoklas. Penelitian menunjukkan adanya fungsi endokrin
dari osteocalcin dan peranannya dalam tumerogenesis. Sebagian besar fungsi
osteocalcin mirip dengan fungsi osteopontin, namun demikian, osteocalcin lebih
banyak ditemukan pada tulang dengan aktivitas mineralisasi/ kalsifikasi tinggi.
Sementara osteopontin memiliki konsentrasi tertinggi pada tulang yang aktif
mengalami remodeling (Patti et al., 2013).
Serum konsentrasi osteocalsin berhubungan dengan histomorphometri
indices dari tulang yang baru terbentuk. Pada kasus tertentu, sel yang positif
mengekspresikan osteocalsin berlokasi didekat jaringan yang berbatasaan dengan
zona osteogenik. Intensitas ekspresi osteocalsin relatif lebih bervariasi
dibandingkan dengan osteopontin, namun demikian tidak terdapat perbedaan
bermakna antara ekspresi osteocalsin pada wanita dan laki – laki (Patti et al., 2013).
Deposisi osteocalsin ditemukan spesifik sebagai marker bebas pada
osteoblastik osteosarkoma dan kondoblastik osteosarkoma, namun tidak pada
benign chondroma dan benign giant cell tumor. Hal ini menunjukan bahwa deposit
osteocalsin terjadi pada fase akhir dari mineralisasi dan meningkat signifikan pada
sel – sel tulang dengan malignansi, khususnya pada osteoblas dan kondrosit.
Ditemukannya perbedaan signifikan osteocalsin pada benign tumor dan malignan
tumor menunjukkan fungsi potensial osteocalsin sebagai marker diagnostik pada
tumor tulang yang kaya akan giant cell serta untuk membedakan chondroblastic
osteosarcoma dengan benign chondroma (Patti et al., 2013).
66
2.7 Biologi Molekuler Proses Osteogenesis
Proses resorpsi tulang atau pembentukan tulang diatur oleh sistem yang
melibatkan faktor-faktor pertumbuhan dan sitokin. Salah satu faktor biologis
penting yang bertanggung adalah PDGF yang merupakan mitogen poten dari sel
mesenkim. Ikatan PDGF dengan reseptornya (PDGFR) menyebabkan proses
fosforilasi yang diikuti dengan perekrutan protein adaptor Grb2 dan faktor
pertukaran nukleotida Son of Sevenless (SOS) yang dapat mengaktivasi
downstream pathways yaitu mitogen-activated protein kinase (MAPK) Erk. Erk
yang terfosforilasi kemudian masuk ke dalam nukleus dan mengaktivasi gen
transkripsi proliferasi sel c-myc (Rodrigues et al., 2010).
Gambar 2.9
Growth Factor Signaling Pathways yang memediasi proliferasi sel – sel stromal
multipotensial (Rodrigues et al., 2010).
67
Faktor transkripsi yang berperan dalam proses osteogenesis adalah Runt-
related transcription factor 2 (Runx-2), ATF 4 melalui jalur signal BMP, Wnt/
catenin, Hedgehog. Signal Wnt, BMP dan protein Hedgehog mempunyai peran
sangat penting dalam terbentuknya Runx-2 yang selanjutnya menstimulasi
terjadinya bone formation (Yaccoby, 2010).
Gambar 2.10
Target molekuler potensial pada prekursor sel osteogenik dan osteoklas yang
diinduksi oleh inhibisi proteosome (Yaccoby, 2010).
Runt-related transcription factor 2 (Runx-2) selanjutnya berperan dalam
diferensiasi sel mesenkim untuk menjadi sel osteoblas, osteosit, kondroblas, dan
kondrosit. Pada proses diferensiasi osteoblas, Runx-2 bersama dengan osterix
(OSX) memediasi kondensasi sel mesenkim menjadi preosteoblas dan osteoblast
imatur. Sedangkan pada proses diferensiasi kondosit, Runx-2 berperan dalam
maturasi sel kondroblas imatur (Bruderer et al., 2014).
68
Gambar 2.11
Regulasi diferensiasi osteoblas dan kondrosit oleh Runx-2 (Bruderer et al., 2014).