BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Amputee Transtibial Dalam ......2.1 Amputee Transtibial Dalam Efisiensi...

36
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Amputee Transtibial Dalam Efisiensi Berjalan dan Kualitas Hidup Efisiensi berjalan dapat dicapai dengan sikap berjalan alamiah, saat tubuh didorong maju ke depan dengan mempergunakan energi yang dikeluarkan tubuh sekecil-kecilnya (Swartz, 2010). Efisiensi berjalan dipengaruhi pusat gravitasi (CoG) tubuh yang terletak tepat di depan segmen sakral ke dua sekitar kira-kira 5 cm. Gambar 2.1 Pusat Gravitasi (CoG) Pada Tubuh (Sumber: Swartz, 2010) Sikap berjalan bagian dari efisiensi berjalan, disebabkan perpindahan pusat gravitasi (CoG) tubuh terhadap jarak. Sikap berjalan kurang alamiah yang terus menerus membuat berjalan menjadi tidak efisien. Peningkatan energi yang signifikan memberikan konstribusi terhadap ketidakmampuan fisik seseorang. Semakin efisien seseorang berjalan dapat memberikan kontribusi pada kualitas hidup dengan mening- katnya kenyamanan, penerimaan yang terbuka, merasa puas, penurunan terhadap beban kerja, keluhan muskuloskeletal, kelelahan. Membangun aspek non fisik dari kesehatan dan kesejahteraan membuat hidup menjadi lebih mudah dan lebih aktif. 10

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Amputee Transtibial Dalam ......2.1 Amputee Transtibial Dalam Efisiensi...

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 10

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Amputee Transtibial Dalam Efisiensi Berjalan dan Kualitas Hidup

    Efisiensi berjalan dapat dicapai dengan sikap berjalan alamiah, saat tubuh

    didorong maju ke depan dengan mempergunakan energi yang dikeluarkan tubuh

    sekecil-kecilnya (Swartz, 2010). Efisiensi berjalan dipengaruhi pusat gravitasi (CoG)

    tubuh yang terletak tepat di depan segmen sakral ke dua sekitar kira-kira 5 cm.

    Gambar 2.1 Pusat Gravitasi (CoG) Pada Tubuh (Sumber: Swartz, 2010)

    Sikap berjalan bagian dari efisiensi berjalan, disebabkan perpindahan pusat

    gravitasi (CoG) tubuh terhadap jarak. Sikap berjalan kurang alamiah yang terus

    menerus membuat berjalan menjadi tidak efisien. Peningkatan energi yang signifikan

    memberikan konstribusi terhadap ketidakmampuan fisik seseorang. Semakin efisien

    seseorang berjalan dapat memberikan kontribusi pada kualitas hidup dengan mening-

    katnya kenyamanan, penerimaan yang terbuka, merasa puas, penurunan terhadap

    beban kerja, keluhan muskuloskeletal, kelelahan. Membangun aspek non fisik dari

    kesehatan dan kesejahteraan membuat hidup menjadi lebih mudah dan lebih aktif.

    10

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 11

    Efisien tidaknya seorang amputee pada saat memakai kaki prosthetik sebagai

    alat bantu untuk berjalan dapat diukur dari keseimbangan berjalan dan efisiensi gait.

    Kualitas hidup seorang amputee dapat dilihat dari kenyamanan, kepuasan, beban

    kerja sewaktu berjalan, adanya keluhan muskuloskeletal dan timbulnya kelelahan.

    2.1.1 Efisiensi Berjalan

    Efisiensi berjalan adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseim-

    bangan dan kestabilan postur melalui aktivitas motorik yang tidak dapat dipisahkan

    dari faktor lingkungan dan sistem tubuh yang berperan dalam membentuk keseimba-

    ngan (Carroll dan Edelstein, 2006). Tujuan efisiensi gait agar tubuh dapat memper-

    tahankan koordinasi dari kedua kaki dalam menopang tubuh melawan gravitasi dan

    faktor eksternal lain pada pusat massa tubuh agar tetap seimbang pada bidang tumpu,

    menstabilisasi bagian tubuh lain ketika bagian anggota gerak tubuh lain bergerak.

    1. Keseimbangan berjalan

    Keseimbangan diartikan kemampuan seseorang untuk mengendalikan kondisi

    equilibrium baik statis maupun dinamis (Thomson, 2008). Keseimbangan (equilibri-

    um) gerak merupakan karakteristik keadaan di mana terjadi keseimbangan gaya dan

    momen (torsi) pada gerak tubuh manusia. Hall (2011) menjelaskan bahwa terdapat

    tiga kondisi tubuh untuk mencapai kondisi equilibrium statis sebagai berikut :

    a. Jumlah total gaya vertikal yang terjadi pada tubuh sama dengan nol (0).

    b. Jumlah total gaya horisontal yang terjadi pada tubuh sama dengan nol (0).

    c. Jumlah total momen (torsi) harus sama dengan nol (0).

    ∑ Fx = 0; ∑ Fy = 0; ∑ M = 0..................................................................... (1)

    Fy = gaya horisontal (N); Fx = gaya vertikal (N); M = momen/torsi (N.m)

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 12

    Definisi dari gaya sebagai hasil perkalian massa (m) dengan percepatan (a).

    Satuan gaya berdasarkan sistem metrik adalah Newton (N).

    F = m x a …................................................................................................ (2)

    dengan; F = gaya (N) m = massa (kg) a = percepatan (m/s2)

    Panjang segmen tubuh (link) berotasi di sekitar sambungan dan mekanika

    yang mengikuti hukum Newton. Dempster dalam Chaffin et al. (2006) menjelaskan

    penentuan center of mass (CoM) setiap link didasarkan pada persentase yang di-

    standarisasi dalam model pusat massa. Webb Associaties dalam Chaffin et al. (2006)

    menjelaskan model distribusi berat tubuh untuk gaya mekanik pada segmen tubuh

    diperlukan untuk mengimbangi gaya-gaya yang terjadi pada pusat massa tubuh.

    Tabel 2.1

    Pemodelan Distribusi Berat Tubuh

    Group Segment (%) of Total Body Weight

    Individual Segment (%) of Group Segment Body Weight

    Head dan neck 8,40% a. Head 73,80% b. Neck 26,20% Torso 50,00% a. Thorax 43,80% b. Lumbar 29,40% c. Pelvis 26,80% Total arm 10,20% a. Upper arm 54,90% b. Fore arm 33,30% c. Hand 11,80% Total leg 15,70% a. Thigh 63,70% b. Shank 27,40% c. Foot 8,90%

    (Sumber: Webb Associaties dalam Chaffin et al., 2006)

    Fase berjalan untuk amputasi bawah lutut terdiri dari fase kontak tumit (heel

    contact), kaki menapak kontak pada bagian ujung luar kaki (flat foot), bertumpu pada

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 13

    satu kaki (midstance) kaki siap mengayun ke depan, tumit hilang kontak (heel off),

    jari kaki depan hilang kontak (toe off) dan gerakan maksimum gaya di lutut (swing

    off) (Prinsen et al., 2011).

    Gambar 2.2 Siklus Berjalan Amputasi Bawah Lutut

    O’Sullivan dan Schmitz (2007), keseimbangan berjalan adalah kemampuan

    tubuh dalam keadaan statik atau dinamik menggunakan aktivitas otot yang minimal

    untuk mempertahankan pusat gravitasi (CoG) pada bidang tumpu pada saat posisi

    berdiri tegak diberbagai posisi. Biomekanika statis model Dempster menjelaskan

    bahwa center of gravity (CoG) terhadap berat tubuh (W) memberikan reaksi ke atas

    yang berupa gaya normal (FN) (Herdiman et al., 2006; Fromuth dan Parkinson, 2008;

    Lu dan Mao Jiun; 2008; Winter, 2009) dapat dijelaskan pada Lampiran 5.1 yaitu :

    ∑∑ += ssiiNN rWrWrxF

    )()( 665544332211 ssNN rxWrxWrxWrxWrxWrxWrxWrxF ++++++= …(3)

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 14

    dengan;

    FN : Gaya normal yang terjadi pada kaki sewaktu berjalan (N)

    rN : Panjang stride antara tumit kaki depan dan tumit kaki belakang (cm)

    Wi : Berat segmen kaki normal (kg) ri : Panjang kaki normal (cm)

    Ws : Berat segmen stump kaki (kg) rs : Panjang stump kaki (cm)

    W1 : Berat segmen tubuh bagian atas (kg) r1 : Panjang step kaki ke depan (cm)

    W2 : Berat segmen thigh kaki normal (kg) r2 : Panjang thigh kaki normal (cm)

    W3 : Berat segmen shank kaki normal (kg) r3 : Panjang shank kaki normal (cm)

    W4 : Berat segmen thigh kaki prosthetik (kg) r4 : Panjang thigh kaki prosthetik (cm)

    W5 : Berat segmen shank kaki prosthetik (kg) r5 : Panjang shank kaki prosthetik (cm)

    W6 : Berat segmen foot kaki normal (kg) r6 : Panjang foot kaki normal (cm)

    Ws : Berat segmen stump kaki (kg) rs : Panjang stump kaki (cm)

    Keseimbangan berjalan diukur berdasarkan gaya pada setiap fase berjalan

    yang dimulai saat sebelum bergerak, mengayunkan kaki, melangkah dan kembali ke

    dua kaki ke posisi semula (Whittle, 2007; Perry dan Burnfield, 2010). Keseimbangan

    berjalan di mana posisi tubuh ketika kaki normal dengan kaki prosthetik berjalan

    yang dapat dilihat kesimetrisan gerakannya yang dihitung dari sudut persendian

    dalam 1 siklus gait mulai dari fase heel contact sampai pada fase swing off.

    Keseimbangan Berjalan = Kaki Normal (KN) – Kaki Prosthetik (KP).............(4)

    Semakin kecil perbedaan dari selisih kaki normal dengan kaki prosthetik

    artinya semakin seimbang menempatkan berat tubuh sewaktu berjalan secara propor-

    sional. Sebaliknya, semakin besar selisih kaki normal dengan kaki prosthetik artinya

    berat tubuh seorang amputee transtibial lebih banyak bertumpu di kaki normal.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 15

    2. Efisiensi gait

    Sikap berjalan seseorang tergantung bagaimana cara memindahkan berat

    tubuh antara setengah langkah pertama dan setengah langkah ke dua (Hafner et al.,

    2002). Setengah langkah pertama, pusat berat tubuh naik sedikit pada setengah

    langkah, gerak dapat laju melambat; energi kinetik turun. Ketika gerak laju me-

    lambat, energi kinetik berubah menjadi energi potensial, terus meningkat seiring

    menurunnya energi kinetik. Pemakaian kaki prosthetik membuat seorang amputee

    menyesuaikan dalam berjalan hingga muncul cara jalan yang hemat energi, sedikit

    tenaga dengan beban kardiovaskular menjadi lebih ringan dan lebih lama.

    Oliveira et al. (2009), secara umum cara amputee berjalan tidak efisien,

    hanya memanfaatkan 35% energi yang diambil dan 65% energi hilang untuk meng-

    gerakkan otot yang tidak perlu. Efisiensi gait berpengaruh pada kontraksi otot pada

    saat perpindahan berat tubuh secara dinamis yang bersifat ritmik. Kontraksi otot dan

    relaksi otot bertukar secara bergantian maka aliran darah tidak cepat terganggu dan

    memperlambat munculnya rasa sakit pada otot. Efisiensi gait merupakan perbandi-

    ngan kaki normal dengan kaki prosthetik dan dinyatakan dalam persentase yang

    dicapai dalam penggunaan gaya dorong yang terbatas.

    100(KN) Normal Kaki

    (KP) Prosthetik Kaki - (KN) Normal Kaki - 1 (%)Gait Efisiensi x⎥⎦

    ⎤⎢⎣

    ⎡= ……..(5)

    Gerak otot statis pada tubuh pada pengerahan tenaga 50% dari kekuatan

    maksimum otot bekerja selama 1 menit (Miller, 2010). Efisiensi gait yang rendah

    menyebabkan kenaikan energi yang tidak sebanding peningkatan energi kinetik,

    tubuh tidak segera maju ke depan mengakibatkan kehilangan sejumlah energi.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 16

    2.1.2 Kualitas Hidup (Quality Of Life)

    Kualitas hidup pasca amputasi menggambarkan dari pertimbangan dimensi

    fungsi fisik, psikologis dan sosial (Kuijer dan de Ridder, 2003). Kualitas hidup

    amputee adalah kemampuan amputee yang berfungsi secara fisik, emosi dan sosial

    pada lingkungannya yang konsisten dengan harapannya (Grant dan Higgins, 2003).

    Fungsi fisik minimal mempunyai kemandirian dan kemampuan untuk memenuhi

    peranan dalam kehidupan. Fungsi emosional minimal dengan kesehatan mental dan

    mempunyai kemampuan kognitif untuk memenuhi peranan emosional dalam ke-

    hidupan. Fungsi sosial yang secara individu minimal dengan dukungan sosial yang

    tersedia untuk memenuhi peranan harapan sosial dalam kehidupan.

    World Health Organization (2001), mendefinisikan kualitas hidup adalah

    sehat secara fisik, mental dan sosial, tidak hanya ada atau tidaknya penyakit pada

    seseorang secara kualitatif dan kuantitatif. Pengukuran kualitas hidup dapat dilihat

    dari kesejahteraan fisik terdiri dari mobilitas, kenyamanan, kesehatan, dan kebugaran

    (Guberina et al., 2005). Kualitas hidup pada amputee dapat diukur dari interaksi

    Tuntutan Tugas (TT) terhadap Kemampuan Tubuh (KT) selama aktivitas dari suatu

    kegiatan (Brown, 2003; Felce dan Perry, 2003; Siporin dan Lysack, 2004) yaitu :

    1. Kualitas hidup dicapai adanya keseimbangan saat berjalan; apabila TT = KT.

    2. Kualitas hidup terjadi understress berupa ketidaknyamanan dan ketidakpuasan

    yang pada akhirnya merasa tidak produktif dalam hidup; apabila TT < KT.

    3. Kualitas hidup terjadi overstress dengan bertambahnya beban kerja sewaktu ber-

    jalan, keluhan muskuloskeletal, kelelahan, rasa sakit pada stump dan cidera; hal

    ini terjadi apabila TT > KT.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 17

    1. Kenyamanan

    International Council of Societies of Industrial Design atau ICSID (2002)

    menyatakan bahwa kenyamanan manusia mencakup kenyamanan inderawi (sensing

    conformity); kenyamanan fisik (ergonomic), dan kenyamanan nilai pada makna

    produk (product semantics). Kenyamanan adalah upaya mempertahankan kondisi

    perubahan yang fluktuaktif berupa energi panas, dingin, bising, getaran, dan bebas

    dari ikatan mobilitas informasi dan produk berguna di kondisi aktual (Bubb, 2006).

    Kenyamanan amputee transtibial dipengaruhi dimensi produk dan teknologi untuk

    terwujud sikap berjalan dengan punggung tidak membungkuk, kepala menunduk,

    lengan tidak hiperekstensi dan tidak menimbulkan kontraksi otot yang dipaksakan.

    Desain penilaian pada kuesioner kenyamanan berjalan menggunakan 4 skala

    likert diperoleh untuk skor terendah sebesar 20 (Sangat Tidak Nyaman) dan skor

    tertinggi sebesar 80 (Sangat Nyaman) dapat dijelaskan pada Lampiran 2.1.

    Tabel 2.2

    Klasifikasi Tingkat Kenyamanan Berdasarkan Total Skor Individu

    Tingkat Penilaian

    Total Skor Individu

    Nilai Kenyamanan Tindakan Perbaikan

    1 20 - 35 Rendah Diperlukan perbaikan segera mungkin

    2 36 - 50 Sedang Diperlukan tindakan perbaikan segera

    3 51 - 65 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan

    4 66 - 80 Sangat Tinggi Tidak diperlukan tindakan perbaikan

    Produk yang akan dihasilkan mempunyai tingkat kenyamanan yang tinggi

    selalu berhubungan dengan data anthropometri mengenai ukuran, bentuk anggota

    tubuh berdasarkan usia, jenis kelamin, suku, bangsa (etnis), posisi dan dimensi tubuh

    dalam persentil yang diakomodasikan dengan penetapan atas rancangan dari dimensi

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 18

    ukuran sesuai rancangan dengan prinsip “tailor made” yang memenuhi syarat

    “fittnes for use” bagi pengguna sebagai pemakai(Sanders dan McCormick, 1992).

    2. Kepuasan

    Kepuasan (satisfaction) berasal dari bahasa latin ”satis” artinya cukup baik,

    memadai dan ”facio” artinya melakukan atau membuat. Kepuasaan dapat diartikan

    sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai (Tjiptono, 2008).

    Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau

    hasil yang dirasakan dengan harapannya. Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari

    perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja di bawah

    harapan, maka pengguna menjadi kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan, peng-

    guna menjadi sangat puas. Harapan pengguna yang dibentuk oleh pengalaman masa

    lampau dan terciptanya kepuasan memberikan manfaat yang salah satunya hubungan

    dari hasil produk yang dibuat dan penggunanya menjadi erat.

    Desain penilaian pada kuesioner kepuasan memakai produk menggunakan

    4 skala likert diperoleh untuk skor terendah sebesar 20 (Tidak Puas) dan skor ter-

    tinggi sebesar 80 (Sangat Puas) dapat dijelaskan pada Lampiran 2.2.

    Tabel 2.3

    Klasifikasi Tingkat Kepuasan Produk Berdasarkan Total Skor Individu

    Tingkat Penilaian

    Total Skor Individu

    Nilai Kepuasan Produk Tindakan Perbaikan

    1 20 - 35 Rendah Diperlukan perbaikan segera mungkin

    2 36 - 50 Sedang Diperlukan tindakan perbaikan segera

    3 51 - 65 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan

    4 66 - 80 Sangat Tinggi Tidak diperlukan tindakan perbaikan

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 19

    Kepuasan pengguna yang berasal dari perbandingan kesannya terhadap

    kinerja aktual pada suatu produk dengan harapan dan evaluasi pada pengalaman

    menggunakan suatu produk. Resistansi pengguna ditunjukkan dengan loyalitas ter-

    hadap produk yang digunakan. Kepuasan tinggi menciptakan kelekatan emosional

    terhadap produk yang akan menimbulkan loyalitas berkelanjutan (Kotler dan Kevin,

    2009). Pengguna melakukan proses evaluasi terhadap pemakaian yang selanjutnya

    merasakan puas atau tidak puas. Pengguna memberikan respon sebagai evaluasinya

    terhadap kesenjangan antara harapannya dengan kinerja produk. Griffin (2003),

    kepuasan pengguna merupakan sikap penilaian secara individu atau kelompok yang

    merespon secara emosional dan evaluatif pasca pemilihan setelah seleksi pemakaian

    dan pengalaman menggunakan produk tersebut.

    3. Beban kerja

    Munculnya beban kerja yang diterima amputee sebagai akibat atas respon

    sewaktu berjalan dalam menggunakan kaki prosthetik yang ditunjukkan dengan

    adanya peningkatan denyut nadi (Miao et al., 2006). Beban kerja sewaktu berjalan

    sangat dipengaruhi oleh faktor somatik (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh); faktor

    somatipe (kondisi kesehatan, gizi); faktor psikis (motivasi, persepsi, keinginan,

    emosi, kepuasan, percaya diri) yang berdampak pada kualitas hidup. Schlick et al.

    (2013), beban kerja bagi amputee transtibial dihitung dari denyut nadi kerja yang

    dipakai sebagai dasar untuk menentukan seberapa besar penurunan beban kerja.

    Nadi Kerja (NK) = Denyut Nadi Kerja – Denyut Nadi Istirahat ……...(6)

    Pemakaian kaki prosthetik merupakan perpaduan beban kerja secara fisik dan

    mental yang dipengaruhi oleh beban ekternal dan internal. Beban kerja dapat diseta-

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 20

    rakan sebagai beban kardiovascular dalam aktivitas berjalan dari keadaan yang me-

    ngakibatkan adanya beban yang diterima tubuh meskipun kegiatan ini terlihat mudah

    dan sederhana (Rodahl, 2003; Adiputra, 2004) adalah sebagai berikut :

    1. Beban eksternal (stressor) adalah beban yang berasal dari luar tubuh berupa tugas

    (task), organisasi dan lingkungan. Tugas yang bersifat fisik seperti sarana, kon-

    disi, sikap, dan mental seperti kompleksitas atau tingkat emosi. Organisasi men-

    cakup waktu, proses dan sistem. Lingkungan seperti lingkungan, panas, intensitas

    penerangan, kelembaban dan lain-lain.

    2. Beban internal (strain) adalah beban yang berasal dalam tubuh yang berkaitan

    erat dengan adanya keinginan, kepuasan dan lain-lain.

    Rodahl (2003), menjelaskan perubahan rerata denyut nadi berhubungan linier

    dengan pengambilan oksigen. Penilaian beban kerja dengan mengukur peningkatan

    denyut nadi dilaksanakan saat bekerja atau selesai bekerja, menilai cardiovascular

    strain menggunakan metode 10 denyut (Louhevaara dan Kilbom, 2005). Peningkatan

    denyut nadi dengan pengukuran metode 10 denyut melalui denyut nadi palpasi (stop-

    watch ditekan start saat denyutan satu dan ditekan stop pada denyutan ke sebelas).

    (dpm) nPerhitungaWaktu

    600 MenitDenyut NadiDenyut =⎟

    ⎠⎞

    ⎜⎝⎛ ……..……………….(7)

    Penilaian obyektif diukur melalui denyut nadi berdasarkan banyaknya kon-

    traksi otot jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh (Johnson, 2007). Denyut

    nadi keadaan normal adalah 70 denyut/menit dengan selang 50 - 100 denyut/menit.

    Keluaran energi, denyut nadi kerja, konsumsi O2 yang dapat dibedakan berdasarkan

    pada kategori tingkat beban kerja (Kroemer, 2008) seperti pada Tabel 2.4.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 21

    Tabel 2.4

    Tingkat Beban Kerja Terhadap Keluaran Energi

    Kategori Beban Kerja Denyut

    Nadi Kerja(dpm)

    KonsumsiOksigen (l/menit)

    Keluaran Energi

    (kkal/min)

    Keluaran Energi / 8 jam

    (d-kkal) Istirahat 60 – 70 0,3 1,5 < 720 Beban kerja sangat ringan 65 – 75 0,32 – 0,50 1,6 – 2,5 768 - 1200 Beban kerja ringan 75 – 100 0,50 – 1,00 2,5 – 5,0 1200 – 2400 Beban kerja sedang 100 – 125 1,00 – 1,50 5,0 – 7,5 2400 – 3600 Beban kerja berat 125 – 150 1,50 – 2,00 7,5 – 10,0 3600 – 4800 Beban kerja sangat berat 150 – 180 2,00 – 2,50 10,0 – 12,5 4800 – 6000 Beban kerja luar biasa berat > 180 > 2,50 > 12,5 > 6000

    (Sumber: Kroemer, 2008)

    Denyut nadi ditentukan oleh usia dan jenis kelamin. Jantung yang sehat

    kembali bekerja normal setelah 15 menit sesudah beraktivitas. Denyut nadi sebelum

    dan sesudah bekerja menurut Kroemer (2008) adalah sebagai berikut :

    1. Resting pulse, jumlah rerata denyut nadi sebelum memulai suatu pekerjaan.

    2. Working pulse, jumlah rerata denyut nadi selama melakukan suatu pekerjaan.

    3. Work pulse, selisih jumlah denyut nadi selama bekerja dan sebelum bekerja.

    4. Total recovery pulse (recovery cost), jumlah denyut nadi mulai dari berhenti

    bekerja sampai denyut nadi kembali normal. Muller dalam Grandjean (2000)

    menjelaskan total recovery pulse adalah salah satu cara untuk mengukur kelela-

    han (fatigue) dan pemulihan (recovery) secara objektif.

    5. Total work pulse (cardiac cost), jumlah denyut nadi mulai dari awal pekerjaan

    sampai dengan tingkat istirahat.

    Riley (2005), cadangan kardiovaskular yang terbatas pada tubuh amputee,

    tidak cukup untuk mentolerasi adanya peningkatan kebutuhan energi, bilamana ber-

    jalan yang cukup jauh yang melebihi batas kapasitas kemampuannya.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 22

    Tabel 2.5

    Klasifikasi Beban Kerja Berdasarkan Beban Kardiovaskular

    %CVL Klasifikasi

    Beban Kerja Keterangan

    < 30% Ringan Tidak terjadi kelelahan (no particular fatigue, no action required)

    30% < CVL ≤ 60% Sedang Perlu perbaikan (attention level, improvement measurement advised)

    60% < CVL ≤ 80% Berat Kerja dalam waktu singkat (action required on short term)

    80% < CVL ≤ 100% Sangat Berat Perlu segera tindakan (immediate action required)

    (Sumber: Louhevaara dan Kilbom, 2005)

    Louhevaara dan Kilbom (2005), nilai denyut nadi setiap aktivitas merupakan

    denyut nadi aktivitas atau beban kardiovaskuler yang dapat disetarakan sebagai

    beban kerja pada aktivitas tersebut sebagai berikut :

    1. Denyut Nadi Maksimum (DNMaks) = 220 – umur (untuk laki-laki) …...…..…(8)

    = 200 – umur (untuk wanita) ….....……...(9)

    2. Denyut Nadi Kerja Maks/6jam eksperimen pengujian atau denyut nadi kerja

    maks /6 jam (DNmaks/6jam) = 6/24 (Denyut Nadi Maks) - Denyut Nadi Istirahat

    3. 100DNI - jam /6Maks DN

    DNI) -(DNK %CVL x= ; 100Maks) (DN6/24DNI -DNK x ; 100

    Maks) (DN1/4DNI -DNK x

    100 Umur)- (2201/4DNI -DNK laki)-(laki %CVL x= ………...….....…………….….………(10)

    4. Keluhan muskuloskeletal

    Keluhan muskuloskeletal pada amputee selama aktivitas berjalan dengan

    melibatkan bagian otot-otot skeletal dimulai fase heel contact (HC), flat foot (FF),

    midstance (MS), heel offI (HO), toe off (TO) dan swing off (SO) (Canobbio, 2005).

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 23

    Keluhan yang sering dirasakan setelah aktivitas berjalan munculnya rasa nyeri dan

    keram di stump, pegal-pegal di kaki normal, nyeri di lutut kaki amputasi, nyeri di

    pantat, dan nyeri di pinggang (Gailey et al., 2008; Herdiman et al., 2010b). Akibat

    aktivitas ini anggota gerak bawah terus menjaga posisi tubuh agar tetap stabil.

    Semakin banyak gerakan yang berlawanan dengan kaidah faal semakin banyak ener-

    gi yang digunakan (Grandjean, 2000; Astrand et al., 2003; Kroemer, 2008).

    Bentuk kelelahan otot disertai dengan sensasi nyeri pada otot dapat dideteksi

    berupa keluhan pada otot-otot. Keluhan otot yang terjadi pada organ tubuh dapat

    ditelusuri menggunakan alat ukur ergonomi yang digunakan sebagai berikut :

    1. Electromyography (EMG). Alat ini fungsinya digunakan untuk mengevaluasi dan

    mencatat aktivasi otot. Surata (2013) dalam penelitiannya menggunakan EMG

    untuk analisis ergonomi yang membandingkan tegangan otot skeletal dengan ber-

    bagai variasi posisi kerja, postur atau kegiatan dalam intervensi ergonomi.

    2. Model fisik untuk mengetahui keluhan otot skeletal sewaktu beban kerja sewaktu

    berjalan. Indikator dari beban kerja dari denyut nadi, konsumsi oksigen yang

    dapat diketahui keluhan muskuloskeletal (Becker et al., 2007; Klodd et al, 2010).

    3. Psikofisik tabel merupakan penilaian psikologi yang digunakan mengevaluasi

    pemindahan material secara manual (Snook, 2005).

    4. Pengukuran subjektif yaitu cara pengumpulan data menggunakan catatan harian,

    wawancara dan kuesioner (David, 2005). Menilai keluhan muskuloskeletal dapat

    menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM). Kuesioner ini dipergunakan

    dalam penelitian ergonomi karena biaya rendah, keterlibatan subjek sampel, dan

    mudah dalam pengumpulan data (Ercan dan Erdinc, 2006; David et al., 2008).

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 24

    Adiputra (2002), keluhan subjektif akibat kerja yang berhubungan dengan

    reaksi individu terhadap pengalamannya. Metode subjektif untuk menilai keluhan

    otot skeletal menggunakan Nordic Body Map yang menggunakan metode rating

    maupun ranking (Tirtayasa et al., 2003). Prosedur mapping untuk menilai keluhan

    otot skeletal dari keseluruhan dan istirahat melalui kuesioner pada skala 5 likert

    (Corlett dan Wilson, 2005) dapat dilihat pada Tabel 2.6.

    Tabel 2.6

    Klasifikasi Tingkat Resiko Otot Skeletal Berdasarkan Total Skor Individu

    Tingkat Keluhan

    Total Skor Individu

    Tingkat Resiko Otot Skeletal Tindakan Perbaikan

    1 26,0 – 46,7 Sangat Rendah Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan

    2 46,8 – 67.5 Cukup Rendah Diperlukan adanya tindakan perbaikan

    3 67,6 – 88,3 Rendah Diperlukan tindakan perbaikan segera

    4 88,4 – 109,1 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan segera mungkin

    5 109,2 – 130,0 Sangat Tinggi Diperlukan tindakan menyeluruh segera mungkin

    Metode penilaian ini merupakan kelanjutan upaya perbaikan sikap berjalan.

    Desain penilaian pada kuesioner keluhan otot skeletal menggunakan 5 skala likert

    dengan 28 pertanyaan. Penilaian skor Nordic Body Map pada kasus amputasi bawah

    lutut pada kaki kanan dikurangi 2 pertanyaan (pertanyaan 25 dan 27), sama halnya

    pada amputasi kaki kiri kurangi 2 pertanyaan (pertanyaan 24 dan 26) diperoleh untuk

    skor terendah sebesar 26 (Tidak Terasa Sakit) dan skor tertinggi sebesar 130 (Sangat

    Sakit) dapat dijelaskan pada penjelasan Lampiran 2.4a dan Lampiran 2.4b.

    Hasil tingkat keparahan otot skeletal dievaluasi terhadap perlu atau tidaknya

    tindakan perbaikan dari resiko otot skeletal yang mengalami gangguan. Munculnya

    gejala nyeri punggung dan gangguan muskuloskeletal pada amputee transtibial lebih

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 25

    disebabkan ketidakcocokan panjang dari ke dua tungkai kaki pada saat fitting

    prosthetik (Gailey et al., 2008). Keluhan muskuloskeletal pada amputee transtibial

    akibat keluhan otot sesuai Nordic Body Map yang dimodifikasi dengan otot trunkus

    meliputi punggung, pinggang, bokong, pantat dan otot ekstremitas atas meliputi bahu

    kiri, bahu kanan, seperti dijelaskan pada Lampiran 2.4a dan Lampiran 2.4b.

    Gambar 2.3 Nordic Body Map

    Otot ekstremitas bawah meliputi paha kiri, paha kanan, lutut kiri, lutut kanan,

    betis kiri atau betis kanan, pergelangan kaki kiri atau pergelangan kaki kanan.

    Friberg dalam Bateni et al. (2004) yang mengevaluasi sebanyak 113 subjek amputasi

    di Filandia yang hasilnya 15% dari subjek dengan amputasi kaki mengenakan pros-

    thetik sama panjang dengan kaki normal, 34% tidak dapat diterima dikarenakan ke-

    tidakcocokan panjang kaki (> 20 mm) dan 79% tidak dapat diterima dikarenakan

    panjang kaki prosthetik yang lebih pendek dari kaki normal. Ketidaksimetrian kaki

    prosthetik yang menyebabkan masalah seperti scoliosis fungsional, gejala nyeri

    punggung, sakit punggung kronis, lutut dan pinggul nyeri pada tungkai kaki normal.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 26

    5. Kelelahan

    Kroemer dan Grandjean (2000), kelelahan merupakan keadaan yang tercer-

    min dari gejala perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motorik dan res-

    pirasi, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, pelemahan motivasi, penurunan

    aktivitas yang akan mempengaruhi aktivitas fisik dan mental. Kelelahan umum yang

    ditandai berupa tahapan rasa berkurangnya kesiapan mempergunakan energi. Pulat

    (2002), menjelaskan bahwa gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan

    sampai perasaan yang sangat melelahkan.

    Kelelahan pada amputee saat berjalan ditimbulkan dalam penggunaan kaki

    prosthetik. Kelelahan adalah suatu pola pada keadaan yang secara umum terjadi pada

    setiap individu yang tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya (Sutalaksana et al.,

    2006). Kelelahan subjektif adalah kelelahan akibat beban aktivitas dari interaksi

    dengan kegiatan, rancangan tempat kerja, peralatan kerja, sikap kerja atau postur

    (Suardana, 2001; Bridger, 2008). Kelelahan menunjukkan berbeda-beda, tetapi

    semuanya berakibat pengurangan kapasitas dan ketahanan tubuh (Suma’mur, 2011).

    Istilah "kelelahan" yang digunakan sebagai deskripsi operasional dari ke-

    adaan sementara dalam mengurangi kemampuan untuk melanjutkan kontraksi otot

    atau pekerjaan fisik (Kroemer et al., 2010). Kelelahan tergantung pada besarnya dan

    durasi usaha dibandingkan dengan kemampuan otot yang terlibat, pelatihan fisik dan

    pengembangan keterampilan yang dapat menanggulangi masalah subjektif ini, efektif

    sampai batas tertentu. Pendekatan ergonomi yang tepat dengan merancang apapun

    untuk persyaratan pekerjaan yang menimbulkan kelelahan sebagai penyelesaiannya

    merekayasa melalui “fitting the task to the human” (Grandjean, 2000).

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 27

    Kelelahan subjektif dengan 30 pertanyaan IFRC (Industrial Fatigue Research

    Committee) Jepang dengan skala 4 likert (Sudo dan Ohtsuka, 2002). Pertanyaan

    1 sampai 10 menunjukkan melemahnya kegiatan, pertanyaan 11 sampai 20 menun-

    jukkan melemahnya motivasi, dan pertanyaan 21 sampai 30 memberikan gambaran

    kelelahan fisik. Penilaian kuesioner kelelahan dilakukan dengan skoring maka setiap

    skor harus mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami respon-

    den. Desain penilaian pada kuesioner kelelahan subjektif menggunakan 4 skala likert

    diperoleh untuk skor terendah sebesar 30 (Sangat Tidak Merasa) dan skor tertinggi

    sebesar 120 (Sangat Merasa) dapat dijelaskan pada Lampiran 2.5.

    Tabel 2.7

    Klasifikasi Tingkat Kelelahan Subjektif Berdasarkan Total Skor Individu

    Tingkat Kelelahan

    Total Skor

    Individu

    Klasifikasi Kelelahan Tindakan Perbaikan

    1 30 - 52,5 Rendah Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan

    2 53,5 - 75 Sedang Diperlukan tindakan perbaikan

    3 76 - 97,5 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan segera

    4 98,5 - 120 Sangat tinggi Diperlukan tindakan menyeluruh segera mungkin

    Stanton (2005), berkurangnya frekuensi akan menurunkan kekuatan dan kon-

    traksi otot dan gerakan menjadi lambat. Pada kerja otot statis, pengerahan tenaga

    50% dari kekuatan maksimum otot dapat bekerja selama 1 menit. Pengerahan tenaga

    < 20% kerja fisik yang berlangsung cukup lama. Pengerahan otot statis 15% - 20%

    dengan pembebanan sepanjang hari menyebabkan kelelahan dan nyeri. Suma'mur

    (2011), kelelahan yang memerlukan tindakan segera, kerja otot statis mengalami

    aktivitas berat (strenous). Kontraksi dan relaksi pada otot secara bergantian; aliran

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 28

    darah tidak cepat terganggu, rasa sakit pada otot tidak cepat timbul. Pembebanan otot

    dalam waktu cukup lama dan berulang-ulang mengakibatkan repetitve strain injuries

    (RSI) menimbulkan rasa nyeri pada otot dan tendon (Wilson dan Perez, 2004).

    2.2 Sikap Berjalan

    Sikap berjalan dengan postur tubuh yang benar penting bagi penampilan diri

    yang memungkinkan gerakan yang baik, luwes, tidak kaku dan enak dipandang

    (Sunarno, 2006). Postur tubuh yang benar ini dapat memperbaiki bentuk tubuh,

    membantu mencegah cepat terjadinya kelelahan, menyenangkan dan menyehatkan.

    Gambar 2.4 Kelainan Sikap Berjalan Pada Amputee Transtibial

    (Sumber: Toro et al., 2003)

    Sikap berjalan ini memungkinkan gerakan menjadi efeisien dengan tenaga

    otot yang dikeluarkan seminimal mungkin. Sebaliknya, sikap berjalan dengan lang-

    kah jalan seperti di seret-seret pertanda adanya gangguan berjalan pada seseorang.

    Fenton (2008), ada 3 langkah dalam cara berjalan yang efisien saat melangkah yaitu :

    1. Berdiri tegak dengan bahu tidak terkulai, otot di pinggang tidak buncit, jangan

    melakukan gerakan mengayun berlebihan di bagian belakang tubuh.

    2. Fokus pada langkah, bukan langkah panjang dan biarkan secara alamiah untuk

    melangkah lebih nyaman. Petunjuk: hitung berapa langkah selama 20 detik.

    3. Tahan siku agar bersudut tegak lurus, lengan dapat mengayun secara baik.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 29

    Kelainan alat gerak didefinisikan sebagai kelainan komponen alat gerak yang

    terdiri dari otot, tulang, syaraf, pembuluh darah dan kelainan pola gerak akibat

    kelainan yang dapat terjadi akibat amputasi atau bawaan atau trauma (Kupriyanova

    et al., 2014). Kelainan alat gerak akibat tindakan operasi amputasi, fungsí kaki

    menjadi terhambat untuk melakukan mobilitas dalam kegiatan sehari-hari atau

    activities of daily living (ADL). Segala usaha berupa latihan dan rehabilitasi ber-

    tujuan mengubah, memperbaiki dan membentuk pola berjalan mendekati normal.

    2.2.1 Nutrisi sebagai sumber energi

    Semakin besar usaha yang dilakukan otot pada aktivitas maka lebih banyak

    energi dibutuhkan (Manuaba, 2005a). Semakin banyak aktivitas manual dilakukan

    akan semakin besar kebutuhan energi yang harus dipenuhi. Manusia dapat beraktivi-

    tas apapun sepanjang persediaan makanan dalam tubuh cukup. Nutrisi sebagai sum-

    ber energi yang harus diperhatikan selama beraktivitas, bila energi berkurang pada

    amputee akan berdampak dengan melambatnya ritme langkah berjalan atau masih

    berjalan tetapi sudah tidak efisien lagi. Manusia dalam beraktivitas memerlukan yaitu

    (a) makanan (gula, protein, lemak) sebagai sumber energi, (b) bahan pelindung (vita-

    min, garam, mineral, besi, jodium), dan (c) cairan sebagai pendinginan. Status nutrisi

    bagi amputee dalam aktivitasnya merupakan faktor yang penting untuk proses pe-

    nyembuhan luka dan penggunaan prosthetik yang tepat (Deé dan Lelovics, 2012).

    2.2.2 Kudapan (snack) dan istirahat

    Snack bagi amputee dalam beraktivitas perlu padat kalori yang disebabkan

    pengaruh laju ambilan glukosa oleh otot. Distribusi jam makan dengan memberikan

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 30

    kudapan (snack) setiap 2 jam yang sesuai dibutuhkan yang tujuannya agar menjaga

    gula darah yang memberikan pengaruh pada efisiensi tenaga pada level yang tinggi

    di sepanjang hari kerja (Grandjean, 2000). Kebutuhan cairan tubuh sekitar 0,5 liter

    sampai 1 liter dan musim panas meningkat menjadi 1,5 liter sampai 2 liter. Status

    gizi dan nutrisi pada amputee memberikan pengaruh pada proses penyembuhan luka,

    pemulihan kesehatan yang dimonitor (Esquenazi dan DiGiacomo, 2001). Pentingnya

    istirahat bagi amputee transtibial sewaktu berjalan pada jarak tertentu dan berguna

    untuk memulihkan kebugaran kembali (Paysant et al., 2006).

    2.3 Amputasi Ekstremitas Bawah

    Amputasi diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau

    seluruh bagian ekstremitas, atau tindakan pembedahan dengan membuang bagian

    tubuh (Smeltzer et al., 2010). Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan

    dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas

    sudah tidak mungkin dapat diperbaiki menggunakan teknik lain.

    Gambar 2.5 Level Amputasi Ekstremitas Bawah (Sumber: Zaretsky et al., 2011)

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 31

    Keseimbangan berjalan dan efisiensi gait dipengaruhi oleh jenis amputasi.

    Amputasi ekstremitas bawah bervariasi mulai menghilangkan parsial jari kaki sampai

    seluruh kaki atau hingga bagian dari panggul. Kualitas dan jenis amputasi yang

    dilakukan mempengaruhi hasil keseluruhan dari anggota gerak yang diangkat. Ketika

    menentukan tingkat amputasi, semua faktor yang mempengaruhi fungsi gerak harus

    dipertimbangkan. Faktor-faktor ini tidak hanya kelangsungan hidup dari jaringan

    yang diangkat tetapi pilihan prosthetik yang akan digunakan, dinamika dari gaya

    berjalan, kosmetik dari segi estetika, dan biomekanik dari sisa ekstremitas.

    Zaretsky et al. (2011) level amputasi ekstremitas bawah dengan amputasi

    unilateral hanya pada satu sisi seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.5 terdiri dari

    (1) hemipelvectomy yaitu amputasi seluruh sendi pada hip, ada juga amputasi

    sebagian pada pelvic, (2) hip disarticulation yaitu amputasi sendi panggul. Beberapa

    variasi hip disarticulation menyisakan bagian femur atas untuk posisi duduk yang

    lebih baik, (3) above knee atau amputasi trans-femoral yaitu amputasi bagian bawah

    kaki sampai bagian atas lutut, di mana bagian stump kaki masih mampu untuk

    menanggung berat tubuh karena femur masih utuh, (4) knee disarticulation yaitu

    amputasi sendi lutut, (5) below knee atau amputasi transtibial yaitu amputasi bawah

    lutut, (6) ankle disarticulation yaitu amputasi sendi pergelangan kaki, (7) symes yaitu

    amputasi sendi pergelangan kaki dengan maleolus tibia dan fibula juga hilang,

    (8) chopart yaitu amputasi menghilangkan satu atau beberapa jari kaki pada amputasi

    sendi talo navicular dan talocuneiforme 1 sampai 3. Amputasi parsial foot yaitu

    amputasi menghilangkan sendi pergelangan kaki sampai ke distal ekstremitas bawah.

    Amputasi transtarsal yaitu amputasi menghilangkan tarsal (tarsus) atau tulang kaki.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 32

    LeMura dan Von Duvillard (2004), amputasi ekstremitas bawah lebih dari

    satu meliputi (1) bilateral atau amputasi ganda yaitu amputasi pada anggota gerak

    bawah yang sama di kedua sisi yang berbeda terdiri dari bilateral trans-tibialis (di

    bawah sendi lutut) dan bilateral trans-femoral (di atas sendi lutut), (2) cross section

    amputasi yaitu amputasi satu tingkat di satu tungkai bawah dan tingkat berbeda di

    tungkai yang lain, (4) cross site amputasi yaitu amputasi pada satu ekstremitas atas

    dan satu ekstremitas bawah, dan (5) quadruple amputasi yaitu amputasi pada bagian

    keempat anggota gerak pada badan di tingkat manapun.

    2.4 Anthropometri Pada Amputee Transtibial

    Anthropometri berarti pengukuran tubuh manusia berasal dari kata Yunani,

    “anthropos” berarti manusia dan “metron“ berarti mengukur. Anthropometri adalah

    pengetahuan yang menyangkut pengukuran dimensi tubuh manusia dan karakteristik

    khusus lain dari tubuh yang relevan dengan perancangan alat-alat atau benda-benda

    yang digunakan manusia.

    Anthropometri sebagai pertimbangan ergonomis dalam mendesain suatu

    produk yang terjadi interaksi manusia dengan peralatannya secara anthropometris,

    biomekanis, fisiologis, dan psikologis (Wignjosoebroto, 2008). Ukuran data anthro-

    pometri manusia bervariasi dalam berbagai dimensi ukuran seperti kebutuhan, mo-

    tivasi, intelegensia, imajinasi, usia, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, ke-

    kuatan, bentuk dan ukuran tubuh. Dimensi tubuh diukur meliputi tinggi tubuh, berat

    badan, tinggi atau panjang lutut pada saat berdiri atau duduk. Pulat (2002), penggu-

    naan desain dijabarkan dalam persentil dengan kurva distribusi normal dengan batas

    kemaknaan pada tingkat kepercayaan 95% dan 5% atau (µ ± 1,645 σ) dengan nilai

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 33

    rerata (µ). Data anthropometri menyatakan untuk nilai persentase kelompok data

    lebih kecil dari nilai interval pada nilai persentil.

    Gambar 2.6 Kurva Distribusi Normal (Sumber: Preedy, 2012)

    Anthropometri dalam perhitungan persentil dihitung dari nilai rerata data ( x )

    dan simpangan baku atau standar deviasi (σ) dengan batas kemaknaan dan nilai α

    berdasarkan dari tabel distribusi normal (Preedy, 2012).

    Tabel 2.8

    Perhitungan Nilai Persentil

    Nilai Persentil Area Persentil Nilai Persentil Area Persentil 99,5-th µ + (2,585 x σ) 50,0-th µ 99,0-th µ + (2,325 x σ) 30,0-th µ - (0,520 x σ) 97,5-th µ + (1,960 x σ) 25,0-th µ - (0,670 x σ) 97,0-th µ + (1,885 x σ) 20,0-th µ - (0,840 x σ) 95,0-th µ + (1,645 x σ) 10,0-th µ - (1,280 x σ) 90,0-th µ + (1,280 x σ) 5,0-th µ - (1,645 x σ) 80,0-th µ + (0,840 x σ) 3,0-th µ - (1,885 x σ) 75,0-th µ + (0,670 x σ) 2,5-th µ - (1,960 x σ) 70,0-th µ + (0,520 x σ) 1,0-st µ - (2,325 x σ) 0,5 µ - (2,585 x σ)

    (Sumber: Wignjosoebroto, 2008)

    Perhitungan parameter anthropometri dilakukan pada masing-masing subjek

    secara terpisah. Sudut yang terbentuk diukur secara relatif atau sudut sendi dapat

    didefinisikan sebagai sudut antar segmen tubuh dan horisontal pada bidang sagital.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 34

    Gambar 2.7 Pengukuran Anthropometri Pada Amputee Transtibial

    Sebagian data anthropometri diperlukan dalam biomekanika untuk mengukur

    pemindahan gaya yang terjadi pada tubuh sewaktu berjalan, yaitu:

    1. W : Weight = Berat Tubuh (Kg)

    2. H : Height = Tinggi (Cm)

    3. TH : Trochanter Height = Tinggi dari Pinggang ke Telapak Kaki (Cm)

    4. KH : Knee Joint Height = Panjang dari Lutut sd Telapak Kaki (Cm)

    5. KS : Distance Knee Joint - Stump Top = Panjang dari Lutut - Ujung Stump (Cm)

    6. FL : Foot Length = Panjang Telapak Kaki (Cm)

    7. LBKN : Lingkar Betis Kaki Normal = Keliling Betis (Cm)

    8. LPKN : Lingkar Pergelangan Kaki Normal = Keliling Pergelangan Kaki (Cm)

    9. TRH : Trochanter Residual Height = Tinggi Trochanter (Cm)

    10. LFA1 : Lingkar Femur Atas 1 (Cm)

    11. LFA2 : Lingkar Femur Atas 2 (Cm)

    12. LP : Lingkar Patella (Cm)

    13. LSB1 : Lingkar Stump Bawah 1 (Cm)

    14. LSB2 : Lingkar Stump Bawah 2 (Cm)

    15. LSB3 : Lingkar Stump Bawah 3 (Cm)

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 35

    Ukuran rancangan ini dapat diubah-ubah ukurannya menjadi cukup fleksibel

    yang memiliki berbagai ukuran tubuh. Rancangan fleksibel, nilai 5-th persentil untuk

    dimensi maksimum dan 95-th persentil untuk dimensi minimum dari rancangan.

    2.5 Intervensi Ergonomi Pada Modifikasi Pergelangan Kaki Prosthetik

    Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang tediri dari dua kata yaitu “ergos”

    yang berarti kerja dan “nomos” yang berarti aturan atau hukum. Jadi secara ringkas

    ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. International Ergono-

    mics Association (IEA) (2000) mendefinisikan bahwa ergonomi atau human factors

    adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dengan sebuah

    sistem pekerjaan yang menerapkan teori, data dan metode untuk desain agar ter-

    capainya kesejahteraan dan kinerja yang optimal pada pengguna atau pekerja.

    Ergonomi merupakan dari tuntutan tugas, peralatan, cara kerja, fasilitas kerja,

    produk yang dibuat, organisasi dan lingkungan yang diserasikan dengan kemampuan,

    kebolehan dan batasan manusia dengan kondisi dan lingkungan kerja yang efisien,

    nyaman, aman, sehat dan efektif atau disingkat ENASE (Manuaba, 2000; Chandna

    et al., 2010). Prinsip ergonomi menggunakan prinsip “fitting the task to the man“

    bahwa pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia

    agar menghasilkan pengelolaan yang maksimal dan berdayaguna dalam upaya untuk

    melaksanakan tugas yang dibebankannya pada pekerja atau karyawan atau pengguna

    (Kroemer dan Grandjean, 2000; Mittal et al. 2013). Intervensi berbasis ergonomi ini

    dapat dimulai dengan mengindentifikasi masalah dari delapan aspek ergonomi yang

    dikaitkan dengan task, organisasi dan lingkungan sebagai penyelesaian masalah yang

    harus diselesaikan secara seksama (Manuaba, 2006a) adalah sebagai berikut :

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 36

    1. Gizi dan nutrisi

    Manusia memerlukan kualitas gizi dan nutrisi terutama bagi seorang amputee

    dalam segala aktivitasnya terutama kegiatan berjalan. Adanya beban kerja yang

    berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk berjalan yang dapat dikategorikan

    dari ringan sampai berat, tentunya harus diimbangi asupan energi yang masuk

    pada tubuh berupa makanan dan minuman.

    2. Sikap berjalan

    Sikap berjalan dengan postur tubuh yang tidak fisiologis di mana saat memindah-

    kan berat tubuh sewaktu berjalan terlihat seperti membungkuk sebagai upaya

    untuk mendorong tubuh agar dapat bergerak ke depan. Sewaktu berjalan di mana

    kaki yang memakai prosthetik terlihat seperti diseret-seret. Cara ini dilakukan

    berulang-ulang yang menimbulkan keluhan muskuloskeletal dan kelelahan.

    3. Pemanfaatan tenaga otot

    Produk kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut dirancang sedemikian rupa agar

    dapat mengaktivasi gerakan otot-otot kaki agar tidak bertentangan dengan gerak-

    an alamiah otot itu sendiri. Pemanfaatan tenaga otot dalam aktivitas berjalan me-

    minimalkan kebutuhan energi dan terjadinya penimbunan asam laktat di otot.

    4. Kondisi lingkungan

    Kondisi suhu yang gerah di stump yang dapat menyebabkan suhu dipermukaan

    kulit pada stump naik yang dipengaruhi paparan suhu ruang di lingkungan sekitar

    sewaktu berjalan, faktor penyebab timbulnya ketidakseimbangan berjalan, ber-

    kurangnya rasa nyaman memakai kaki prosthetik, timbulnya rasa letih, pegal-

    pegal, keram bahkan gatal-gatal di permukaan kulit pada stump kaki.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 37

    5. Kondisi waktu

    Penyesuaian waktu aktivitas dan jadwal kegiatan akan mendukung kesehatan dan

    rasa nyaman bagi amputee agar membuat hidup menjadi lebih produktif.

    6. Kondisi sosial

    Anggapan amputasi merupakan hukuman yang menimbulkan perasaan malu, in-

    troversi, mengkasihani diri sendiri, perasaan inferior dan isolasi sosial.

    7. Akses informasi

    Akses informasi yang memberikan dukungan emosional melalui konseling, ma-

    najemen sosial untuk mengatasi perasaan kehilangan, rasa marah dan sedih.

    8. Interaksi pengguna - kaki prosthetik

    Informasi kaki prosthetik yang inovatif, pemakaiannya tidak rumit dan memu-

    dahkan amputee dalam menyesuaikan segala aktivitas sehari-hari (ADL).

    2.6 Implementasi Pendekatan Ergonomi Total Pada Pergelangan Kaki Prosthetik

    Pendekatan ergonomi total merupakan pendekatan secara menyeluruh yang

    terdiri dari pelaksanaan pendekatan SHIP dan bagaimana menerapan teknologi tepat

    guna (TTG). Implementasi konsep ergonomi total melalui beberapa langkah yang

    dapat dijelaskan melalui diagram alir pada Gambar 2.8.

    Diawali dengan (1) indentifikasi masalah mobilitas pada amputee transtibial

    dengan delapan aspek ergonomi; (2) analisis masalah dengan pendekatan SHIP (Sis-

    temik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori) luarannya berupa skala prioritas;

    (3) mendesain pergelangan kaki prosthetik dengan menerapkan teknologi tepat guna

    (TTG), (4) membuat gambar kerja untuk mengerjakan pergelangan kaki prosthetik;

    (5) proses manufaktur dan membuat konstruksinya antara pergelangan kaki pros-

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 38

    thetik dan komponen prosthetik lainnya; (6) merakit pergelangan kaki prosthetik

    dengan komponen prosthetik lainnya menjadi kaki prosthetik endoskeletal bawah

    lutut; (5) evaluasi (kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut dengan anatomi amputee

    dan kebiasaan; (7) bilamana, sudah sesuai dilanjutkan proses uji coba dan rehabilitasi

    cara berjalan; (8) bilamana belum sesuai dilanjutkan perbaikan ukuran dan desain

    dari pergelangan kaki hingga proses uji coba dan rehabilitasi cara berjalan.

    Gambar 2.8 Implementasi Pendekatan Ergonomi Total

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 39

    2.7 Pendekatan Ergonomi Total Pada Kaki Prosthetik Endoskeletal

    Pedekatan ergonomi total melalui pemecahan masalah yang fokus pada cara

    berpikir dan bertindak secara multi disiplin dalam melakukan perbaikan. Konsep

    ergonomi total terdiri dari pendekatan SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner,

    Partisipatori) dan penerapan Teknologi Tepat Guna (Manuaba, 2003a; 2003b; 2003c;

    2006a; 2006b). Pendekatan SHIP merupakan usaha pemecahan masalah yang ber-

    kaitan sistem kerja atau aktivitas manusia untuk menjawabnya (Manuaba, 2003b;

    Adiputra, 2007). Pendekatan SHIP bertujuan menyeimbangkan Tuntutan Tugas

    (beban aktivitas) dan kapasitas (kemampuan, kebolehan dan keterbatasan) amputee

    sehingga mereka dapat berjalan secara efisien, nyaman, aman, sehat dan efektif demi

    tercapai kualitas hidup untuk bekerja dan beraktivitas yang setinggi-tingginya.

    Para ilmuwan menerapkan konsep ergonomi total di berbagai bidang kegiatan

    manufaktur dan industri dengan hasil yang bermakna. Konsep ergonomi total pada

    sektor industri kecil dan menengah guna mencapai kondisi dan lingkungan kerja

    yang nyaman, produktif dan berkelanjutan (Manuaba, 2006c; 2007). Penerapan

    ergonomi secara terpadu pada manajemen pembangkit listrik berhasil mengoptimal-

    kan kinerja karyawan dan memberikan keuntungan yang signifikan dalam peng-

    operasian bagi perusahaaan (Fam et al., 2007).

    Penerapan ergonomi partisipasi dibidang usaha kecil dan menengah pada

    industri otomotif (Erensal dan Albayrak, 2007). Pekerja sebagai subjek diajak par-

    tisipasi dalam kegiatan produksi yang meyakinkan pemilik perusahaan dapat ber-

    kontribusi terhadap peningkatan produktivitas. Kogi (2006), metode partisipasi ini

    efektif bergantung pada struktur lingkungannya dalam memperbaiki tempat kerja

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 40

    dengan melakukan modifikasi di tempat kerja yang selalu fokus pada low-cost

    improvement. Alat peraga dengan beberapa tindakan sebagai fasilitas yang terbaik

    ketika dimasukkan ke dalam daftar periksa tindakan dan panduan kerja yang menga-

    cu pada biaya rendah dengan perbaikan praktis sesuai kondisi setempat.

    A. Kajian SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori)

    Pendekatan SHIP untuk modifikasi pergelangan kaki prosthetik endoskeletal

    secara ergonomi agar memperoleh kemaknaan adalah sebagai berikut :

    1. Sistemik

    Sistemik dalam pendekatan SHIP diartikan sebagai upaya meningkatkan

    efisiensi berjalan dengan indikator adanya peningkatan keseimbangan berjalan dan

    efisiensi gait; peningkatan kualitas hidup dengan indikator peningkatan kenyamanan

    dan kepuasan, penurunan beban kerja sewaktu berjalan, keluhan muskuloskeletal,

    kelelahan (Sanders dan Mc Cormick, 1992; Fu Su et al., 2007). Semua unsur ini harus

    dipahami sebagai sistem yang mempengaruhi kondisi kondisi amputee dalam segala

    aktivitasnya adalah sebagai berikut :

    a. Rancangan kaki prosthetik endoskeletal yang melibatkan desainer produk untuk

    menentukan dimensi atau ukuran, ahli bahan, dan ahli pembuat kaki prosthetik.

    b. Penggunaan kaki prosthetik endoskeletal akan mengubah amputee dengan sikap

    berjalan menjadi lebih alamiah dan memperbaiki kepercayaan diri.

    c. Kesehatan amputee lebih terjamin dan lebih aktif dengan penurunan kelelahan.

    d. Sikap berjalan yang alamiah dan ergonomis dimulai dari fase mengayunkan kaki

    prosthetik dan dilanjutkan kaki normal yang didukung oleh kontraksi otot kaki

    yang minimal agar meningkatkan efisiensi berjalan dan kualitas hidup.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 41

    2. Holistik

    Holistik diartikan bahwa sistem terdiri dari subsistem yang saling terkait satu

    dengan yang lain sebagai pertimbangan dalam efisiensi berjalan dan kualitas hidup

    pada amputee yang terdiri dari beberapa faktor adalah sebagai berikut :

    a. Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat tubuh, pengala-

    man memakai kaki prosthetik, kepercayaan diri dan keterampilan berjalan.

    b. Faktor eksternal, stigma di masyarakat dalam beraktivitas pada amputee.

    b. Faktor kondisi lingkungan yang berpengaruh pada cara dan sikap berjalan.

    3. Interdisipliner

    Pendekatan interdisipliner dengan menekankan pada proses pemecahan ma-

    salah dengan sistem dalam satu kesatuan tim untuk merumuskan kaki prosthetik dari

    berbagai disiplin ilmu secara realistis meliputi (a) medis untuk mengevaluasi peran

    dan fungsi organ tubuh pada saat mulai - sedang berjalan dan juga melatih otot-otot

    kaki - pinggang agar diperoleh sikap berjalan alamiah, (b) desainer prosthetik dalam

    hal ini ergonomon mengevaluasi antara pengguna dan kaki prosthetik, (c) workshop

    berperan dalam tahap proses seleksi bahan dalam menentukan teknologi dan desain

    yang realistis dan secara teknis dapat diwujudkan dari segi pembiayaan, pembuatan

    produk sampai biaya komersialisasi, (d) amputee transtibial sebagai pengguna akhir

    yang akan memakai kaki prosthetik hasil dari rancangan.

    4. Partisipatori

    Pihak yang dilibatkan secara partisipatori adalah medis, prosthetik expert,

    desainer prosthetik, workshop, ahli bahan dan amputee transtibial. Ergonomi partisi-

    patori dimulai proses perencanaan, perancangan dan pengendalian dari sejumlah

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 42

    aktivitas yang melibatkan pengguna, teknisi atau pembuat dengan pengetahuan

    dalam proses untuk mencapai tujuan (Wilson et al., 2005; Hignett et al., 2005).

    Ergonomi partisipasi adalah semua komponen yang terlibat dalam pemecahan

    masalah agar terlaksananya satu gagasan dengan dilibatkan seawal mungkin untuk

    mencapai hasil secara maksimal (Manuaba, 2006b).

    B. Kajian Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG)

    Penerapan TTG adalah teknologi yang digunakan dan diterapkan pada ampu-

    tee agar dapat dimanfaatkan melalui teknologi yang sederhana tetapi moderen, tidak

    perlu perawatan berlebih, terkait budaya lokal, memanfaatkan sumber daya, dapat

    mengatasi permasalahan, mempunyai fungsional dan kosmetik yang baik dan men-

    capai berdayaguna tinggi (Munaf et al., 2008). Manuaba (2005c, 2006c), penerapan

    TTG dapat dilaksanakan dengan terpenuhinya unsur tujuh kriteria sebagai berikut :

    1. Teknis

    Pergelangan kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut yang ergonomis bertujuan

    meningkatkan efisiensi berjalan dan kulitas hidup. Kaki prosthetik ini dirancang

    menggunakan proses permesinan manual pada tingkat presisi (±0,01) mm dengan

    bahan atau komponen yang digunakan handal dan mudah diperoleh dipasaran,

    kualitas terjamin juga perawatannya yang murah, mudah dan aman dipakai.

    2. Ekonomi

    Pergelangan kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut yang ergonomis dibuat

    dengan biaya rendah dan terjangkau atau low cost. Proses pembuatannya tidak

    mahal, umur pakai dapat mencapai 5 tahun dan memberikan kemanfaatan bagi

    amputee transtibial dalam berjalan secara maksimal.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 43

    3. Ergonomis/kesehatan

    Pergelangan kaki prosthetik yang ergonomis menggunakan socket PTB-SC yang

    nyaman, SACH foot yang mudah diarahkan dan shank foot mampu menumpu

    berat tubuh. Sikap berjalan yang fisiologis dengan pemanfaatan otot-otot kaki

    yang minimal dan menjadikan amputee menjadi lebih merasa nyaman dan sehat.

    4. Sosial budaya

    Rancangan pergelangan kaki prosthetik mempertimbangkan sikap berjalan, ke-

    biasaan sehari-hari, norma, tata nilai, keinginan, kepercayaan diri dan penerimaan

    pada masyarakat disekitarnya. Semua unsur ini diselaraskan terhadap kemampu-

    an, kebolehan dan keterbatasan amputee transtibial secara fisik maupun mental

    yang dapat diterima dan tidak menimbulkan resistensi sosial pada masyarakat.

    5. Hemat energi

    Penggunaan komponen spherical plain bearing berdiameter inner 10 mm dan

    outer 19 mm yang diterapkan pada rancangan pergelangan kaki prosthetik dan

    tidak memakai daya listrik. Telapak kaki (foot) mampu melakukan gerakan multi

    axis yang alamiah dengan sistem pegas (inward dan outward) menghasilkan

    energi store-return. Meminimalkan tenaga otot dengan mengaktiviasi otot-otot

    kaki dan pinggul sewaktu berjalan. Sistem pegas yang diterapkan disesuaikan

    berat badan pengguna untuk menjaga agar tetap nyaman dan stabil dipakai.

    6. Ramah lingkungan

    Bahan yang dipakai dalam pembuatan kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut

    memakai bahan yang dapat di daur ulang dan tidak menimbulkan polutan atau

    pencemaran dan limbahnya tidak berdampak negatif pada lingkungan sekitarnya.

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 44

    7. Trend

    Teknologi dan desain pergelangan kaki dirancang secara ergonomis untuk kaki

    prosthetik endoskeletal bawah lutut seperti umumnya kaki bionic yang sesuai di

    era jaman moderen.

    2.8 Lingkungan Dalam Ruangan

    Pertimbangan ergonomi adalah manusia dalam perancangannya, prosedur

    kerja dan lingkungan kerja (Sanders dan McCormick, 1992; Kroemer, 2008). Metode

    pendekatannya dengan mempelajari hubungan manusia, pekerjaan dan fasilitas pen-

    dukungnya untuk mencegah kelelahan yang terjadi akibat sikap berjalan yang keliru.

    2.8.1 Mikroklimat dalam ruangan

    Mikroklimat dalam ruangan terdiri dari suhu udara, panas radiasi, kelemba-

    ban dan gerakan udara (Grandjean, 2000; Kroemer, 2008). Pada musim panas suhu

    ideal 22oC - 24oC dengan kecepatan udara 0,15 m/det - 0,4 m/det dan kelembaban

    40% - 60% sepanjang tahun. Batas toleransi suhu tinggi 35oC - 40oC; perbedaan suhu

    permukaan ≤ 4oC; kelembaban udara 40% - 50% dan kecepatan udara 0,2 m/det.

    2.8.2 Intensitas penerangan dalam ruangan

    Pencahayaan yang baik dan sesuai kebutuhan pekerjaan merupakan salah satu

    faktor penting untuk meningkatkan kenyamanan beraktivitas. Suma’mur (2011),

    penerangan ditentukan oleh (a) panas penerangan terhadap lingkungan; (b) pembagi-

    an luminensi penglihatan; (c) pencegahan kesilauan di dalam ruang; (d) arah sinar;

    dan (e) warna dinding ruangan. Rentang penerangan untuk pekerjaan setengah teliti

    170 lux – 350 lux dan pekerjaan teliti dengan ≥ 350 lux (Manuaba, 2005b; 2005c).

  • UNIVERSITAS UDAYANA | 45

    2.8.3 Kecepatan angin dalam ruangan

    Gerakan udara di ruangan memberi pengaruh kepada suhu. Agar gerakan

    udara tidak menimbulkan yang tidak diinginkan, dianjurkan gerakan udara di dalam

    ruangan pada kondisi tertentu tidak lebih dari 0,2 m/detik (Manuaba, 2005c).

    2.9 Analisis Umur Ekonomis Produk

    Analisis ekonomi pada ergonomi terhadap aktivitas dengan penghematan

    biaya bahan baku, biaya produksi dan menentukan umur ekonomis. Hery (2009),

    menjelaskan bahwa umur ekonomis adalah jangka waktu atau periode dari umur fisik

    suatu produk yang masih memberikan keuntungan dan dimanfaatkan sebagai aktiva

    tetap (masa manfaat) dan juga berarti sebagai jumlah unit produksi (output) atau

    jumlah jam operasional (jasa) yang diharapkan dari aktiva.

    Umur ekonomis aktiva dapat dinyatakan baik berdasarkan faktor estimasi

    waktu maupun faktor estimasi penggunaan. Faktor waktu dapat berubah periode

    bulanan atau tahunan. Sedangkan faktor pemakaian berupa jumlah jam operasional

    atau jumlah unit produksi (output) yang dihasilkan dari aktiva tetap. Berdasarkan

    waktu yang dilampaui atau tingkat pemakaian inilah alokasi terhadap nilai perolehan

    aktiva dilakukan dengan suatu tarif alokasi yang telah ditentukan.

    Sugiono et al. (2009), menjelaskan estimasi umur ekonomis memerlukan per-

    timbangan manajemen yang berdasarkan pengalaman terhadap jenis aktiva. Cara

    penentuan estimasi umur ekonomis sifatnya sama dengan menentukan estimasi nilai

    residu berdasarkan pertimbangan subyektif. Nilai sisa sifatnya adalah subyektif, di

    mana sangat tergantung pada kebijakan manajemen mengenai penghentian aktiva

    tetap, dan juga tergantung pada kondisi pasar serta faktor lainnya.