BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Amputee Transtibial Dalam ......2.1 Amputee Transtibial Dalam Efisiensi...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Amputee Transtibial Dalam ......2.1 Amputee Transtibial Dalam Efisiensi...
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Amputee Transtibial Dalam Efisiensi Berjalan dan Kualitas Hidup
Efisiensi berjalan dapat dicapai dengan sikap berjalan alamiah, saat tubuh
didorong maju ke depan dengan mempergunakan energi yang dikeluarkan tubuh
sekecil-kecilnya (Swartz, 2010). Efisiensi berjalan dipengaruhi pusat gravitasi (CoG)
tubuh yang terletak tepat di depan segmen sakral ke dua sekitar kira-kira 5 cm.
Gambar 2.1 Pusat Gravitasi (CoG) Pada Tubuh (Sumber: Swartz, 2010)
Sikap berjalan bagian dari efisiensi berjalan, disebabkan perpindahan pusat
gravitasi (CoG) tubuh terhadap jarak. Sikap berjalan kurang alamiah yang terus
menerus membuat berjalan menjadi tidak efisien. Peningkatan energi yang signifikan
memberikan konstribusi terhadap ketidakmampuan fisik seseorang. Semakin efisien
seseorang berjalan dapat memberikan kontribusi pada kualitas hidup dengan mening-
katnya kenyamanan, penerimaan yang terbuka, merasa puas, penurunan terhadap
beban kerja, keluhan muskuloskeletal, kelelahan. Membangun aspek non fisik dari
kesehatan dan kesejahteraan membuat hidup menjadi lebih mudah dan lebih aktif.
10
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 11
Efisien tidaknya seorang amputee pada saat memakai kaki prosthetik sebagai
alat bantu untuk berjalan dapat diukur dari keseimbangan berjalan dan efisiensi gait.
Kualitas hidup seorang amputee dapat dilihat dari kenyamanan, kepuasan, beban
kerja sewaktu berjalan, adanya keluhan muskuloskeletal dan timbulnya kelelahan.
2.1.1 Efisiensi Berjalan
Efisiensi berjalan adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseim-
bangan dan kestabilan postur melalui aktivitas motorik yang tidak dapat dipisahkan
dari faktor lingkungan dan sistem tubuh yang berperan dalam membentuk keseimba-
ngan (Carroll dan Edelstein, 2006). Tujuan efisiensi gait agar tubuh dapat memper-
tahankan koordinasi dari kedua kaki dalam menopang tubuh melawan gravitasi dan
faktor eksternal lain pada pusat massa tubuh agar tetap seimbang pada bidang tumpu,
menstabilisasi bagian tubuh lain ketika bagian anggota gerak tubuh lain bergerak.
1. Keseimbangan berjalan
Keseimbangan diartikan kemampuan seseorang untuk mengendalikan kondisi
equilibrium baik statis maupun dinamis (Thomson, 2008). Keseimbangan (equilibri-
um) gerak merupakan karakteristik keadaan di mana terjadi keseimbangan gaya dan
momen (torsi) pada gerak tubuh manusia. Hall (2011) menjelaskan bahwa terdapat
tiga kondisi tubuh untuk mencapai kondisi equilibrium statis sebagai berikut :
a. Jumlah total gaya vertikal yang terjadi pada tubuh sama dengan nol (0).
b. Jumlah total gaya horisontal yang terjadi pada tubuh sama dengan nol (0).
c. Jumlah total momen (torsi) harus sama dengan nol (0).
∑ Fx = 0; ∑ Fy = 0; ∑ M = 0..................................................................... (1)
Fy = gaya horisontal (N); Fx = gaya vertikal (N); M = momen/torsi (N.m)
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 12
Definisi dari gaya sebagai hasil perkalian massa (m) dengan percepatan (a).
Satuan gaya berdasarkan sistem metrik adalah Newton (N).
F = m x a …................................................................................................ (2)
dengan; F = gaya (N) m = massa (kg) a = percepatan (m/s2)
Panjang segmen tubuh (link) berotasi di sekitar sambungan dan mekanika
yang mengikuti hukum Newton. Dempster dalam Chaffin et al. (2006) menjelaskan
penentuan center of mass (CoM) setiap link didasarkan pada persentase yang di-
standarisasi dalam model pusat massa. Webb Associaties dalam Chaffin et al. (2006)
menjelaskan model distribusi berat tubuh untuk gaya mekanik pada segmen tubuh
diperlukan untuk mengimbangi gaya-gaya yang terjadi pada pusat massa tubuh.
Tabel 2.1
Pemodelan Distribusi Berat Tubuh
Group Segment (%) of Total Body Weight
Individual Segment (%) of Group Segment Body Weight
Head dan neck 8,40% a. Head 73,80% b. Neck 26,20% Torso 50,00% a. Thorax 43,80% b. Lumbar 29,40% c. Pelvis 26,80% Total arm 10,20% a. Upper arm 54,90% b. Fore arm 33,30% c. Hand 11,80% Total leg 15,70% a. Thigh 63,70% b. Shank 27,40% c. Foot 8,90%
(Sumber: Webb Associaties dalam Chaffin et al., 2006)
Fase berjalan untuk amputasi bawah lutut terdiri dari fase kontak tumit (heel
contact), kaki menapak kontak pada bagian ujung luar kaki (flat foot), bertumpu pada
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 13
satu kaki (midstance) kaki siap mengayun ke depan, tumit hilang kontak (heel off),
jari kaki depan hilang kontak (toe off) dan gerakan maksimum gaya di lutut (swing
off) (Prinsen et al., 2011).
Gambar 2.2 Siklus Berjalan Amputasi Bawah Lutut
O’Sullivan dan Schmitz (2007), keseimbangan berjalan adalah kemampuan
tubuh dalam keadaan statik atau dinamik menggunakan aktivitas otot yang minimal
untuk mempertahankan pusat gravitasi (CoG) pada bidang tumpu pada saat posisi
berdiri tegak diberbagai posisi. Biomekanika statis model Dempster menjelaskan
bahwa center of gravity (CoG) terhadap berat tubuh (W) memberikan reaksi ke atas
yang berupa gaya normal (FN) (Herdiman et al., 2006; Fromuth dan Parkinson, 2008;
Lu dan Mao Jiun; 2008; Winter, 2009) dapat dijelaskan pada Lampiran 5.1 yaitu :
∑∑ += ssiiNN rWrWrxF
)()( 665544332211 ssNN rxWrxWrxWrxWrxWrxWrxWrxF ++++++= …(3)
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 14
dengan;
FN : Gaya normal yang terjadi pada kaki sewaktu berjalan (N)
rN : Panjang stride antara tumit kaki depan dan tumit kaki belakang (cm)
Wi : Berat segmen kaki normal (kg) ri : Panjang kaki normal (cm)
Ws : Berat segmen stump kaki (kg) rs : Panjang stump kaki (cm)
W1 : Berat segmen tubuh bagian atas (kg) r1 : Panjang step kaki ke depan (cm)
W2 : Berat segmen thigh kaki normal (kg) r2 : Panjang thigh kaki normal (cm)
W3 : Berat segmen shank kaki normal (kg) r3 : Panjang shank kaki normal (cm)
W4 : Berat segmen thigh kaki prosthetik (kg) r4 : Panjang thigh kaki prosthetik (cm)
W5 : Berat segmen shank kaki prosthetik (kg) r5 : Panjang shank kaki prosthetik (cm)
W6 : Berat segmen foot kaki normal (kg) r6 : Panjang foot kaki normal (cm)
Ws : Berat segmen stump kaki (kg) rs : Panjang stump kaki (cm)
Keseimbangan berjalan diukur berdasarkan gaya pada setiap fase berjalan
yang dimulai saat sebelum bergerak, mengayunkan kaki, melangkah dan kembali ke
dua kaki ke posisi semula (Whittle, 2007; Perry dan Burnfield, 2010). Keseimbangan
berjalan di mana posisi tubuh ketika kaki normal dengan kaki prosthetik berjalan
yang dapat dilihat kesimetrisan gerakannya yang dihitung dari sudut persendian
dalam 1 siklus gait mulai dari fase heel contact sampai pada fase swing off.
Keseimbangan Berjalan = Kaki Normal (KN) – Kaki Prosthetik (KP).............(4)
Semakin kecil perbedaan dari selisih kaki normal dengan kaki prosthetik
artinya semakin seimbang menempatkan berat tubuh sewaktu berjalan secara propor-
sional. Sebaliknya, semakin besar selisih kaki normal dengan kaki prosthetik artinya
berat tubuh seorang amputee transtibial lebih banyak bertumpu di kaki normal.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 15
2. Efisiensi gait
Sikap berjalan seseorang tergantung bagaimana cara memindahkan berat
tubuh antara setengah langkah pertama dan setengah langkah ke dua (Hafner et al.,
2002). Setengah langkah pertama, pusat berat tubuh naik sedikit pada setengah
langkah, gerak dapat laju melambat; energi kinetik turun. Ketika gerak laju me-
lambat, energi kinetik berubah menjadi energi potensial, terus meningkat seiring
menurunnya energi kinetik. Pemakaian kaki prosthetik membuat seorang amputee
menyesuaikan dalam berjalan hingga muncul cara jalan yang hemat energi, sedikit
tenaga dengan beban kardiovaskular menjadi lebih ringan dan lebih lama.
Oliveira et al. (2009), secara umum cara amputee berjalan tidak efisien,
hanya memanfaatkan 35% energi yang diambil dan 65% energi hilang untuk meng-
gerakkan otot yang tidak perlu. Efisiensi gait berpengaruh pada kontraksi otot pada
saat perpindahan berat tubuh secara dinamis yang bersifat ritmik. Kontraksi otot dan
relaksi otot bertukar secara bergantian maka aliran darah tidak cepat terganggu dan
memperlambat munculnya rasa sakit pada otot. Efisiensi gait merupakan perbandi-
ngan kaki normal dengan kaki prosthetik dan dinyatakan dalam persentase yang
dicapai dalam penggunaan gaya dorong yang terbatas.
100(KN) Normal Kaki
(KP) Prosthetik Kaki - (KN) Normal Kaki - 1 (%)Gait Efisiensi x⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡= ……..(5)
Gerak otot statis pada tubuh pada pengerahan tenaga 50% dari kekuatan
maksimum otot bekerja selama 1 menit (Miller, 2010). Efisiensi gait yang rendah
menyebabkan kenaikan energi yang tidak sebanding peningkatan energi kinetik,
tubuh tidak segera maju ke depan mengakibatkan kehilangan sejumlah energi.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 16
2.1.2 Kualitas Hidup (Quality Of Life)
Kualitas hidup pasca amputasi menggambarkan dari pertimbangan dimensi
fungsi fisik, psikologis dan sosial (Kuijer dan de Ridder, 2003). Kualitas hidup
amputee adalah kemampuan amputee yang berfungsi secara fisik, emosi dan sosial
pada lingkungannya yang konsisten dengan harapannya (Grant dan Higgins, 2003).
Fungsi fisik minimal mempunyai kemandirian dan kemampuan untuk memenuhi
peranan dalam kehidupan. Fungsi emosional minimal dengan kesehatan mental dan
mempunyai kemampuan kognitif untuk memenuhi peranan emosional dalam ke-
hidupan. Fungsi sosial yang secara individu minimal dengan dukungan sosial yang
tersedia untuk memenuhi peranan harapan sosial dalam kehidupan.
World Health Organization (2001), mendefinisikan kualitas hidup adalah
sehat secara fisik, mental dan sosial, tidak hanya ada atau tidaknya penyakit pada
seseorang secara kualitatif dan kuantitatif. Pengukuran kualitas hidup dapat dilihat
dari kesejahteraan fisik terdiri dari mobilitas, kenyamanan, kesehatan, dan kebugaran
(Guberina et al., 2005). Kualitas hidup pada amputee dapat diukur dari interaksi
Tuntutan Tugas (TT) terhadap Kemampuan Tubuh (KT) selama aktivitas dari suatu
kegiatan (Brown, 2003; Felce dan Perry, 2003; Siporin dan Lysack, 2004) yaitu :
1. Kualitas hidup dicapai adanya keseimbangan saat berjalan; apabila TT = KT.
2. Kualitas hidup terjadi understress berupa ketidaknyamanan dan ketidakpuasan
yang pada akhirnya merasa tidak produktif dalam hidup; apabila TT < KT.
3. Kualitas hidup terjadi overstress dengan bertambahnya beban kerja sewaktu ber-
jalan, keluhan muskuloskeletal, kelelahan, rasa sakit pada stump dan cidera; hal
ini terjadi apabila TT > KT.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 17
1. Kenyamanan
International Council of Societies of Industrial Design atau ICSID (2002)
menyatakan bahwa kenyamanan manusia mencakup kenyamanan inderawi (sensing
conformity); kenyamanan fisik (ergonomic), dan kenyamanan nilai pada makna
produk (product semantics). Kenyamanan adalah upaya mempertahankan kondisi
perubahan yang fluktuaktif berupa energi panas, dingin, bising, getaran, dan bebas
dari ikatan mobilitas informasi dan produk berguna di kondisi aktual (Bubb, 2006).
Kenyamanan amputee transtibial dipengaruhi dimensi produk dan teknologi untuk
terwujud sikap berjalan dengan punggung tidak membungkuk, kepala menunduk,
lengan tidak hiperekstensi dan tidak menimbulkan kontraksi otot yang dipaksakan.
Desain penilaian pada kuesioner kenyamanan berjalan menggunakan 4 skala
likert diperoleh untuk skor terendah sebesar 20 (Sangat Tidak Nyaman) dan skor
tertinggi sebesar 80 (Sangat Nyaman) dapat dijelaskan pada Lampiran 2.1.
Tabel 2.2
Klasifikasi Tingkat Kenyamanan Berdasarkan Total Skor Individu
Tingkat Penilaian
Total Skor Individu
Nilai Kenyamanan Tindakan Perbaikan
1 20 - 35 Rendah Diperlukan perbaikan segera mungkin
2 36 - 50 Sedang Diperlukan tindakan perbaikan segera
3 51 - 65 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan
4 66 - 80 Sangat Tinggi Tidak diperlukan tindakan perbaikan
Produk yang akan dihasilkan mempunyai tingkat kenyamanan yang tinggi
selalu berhubungan dengan data anthropometri mengenai ukuran, bentuk anggota
tubuh berdasarkan usia, jenis kelamin, suku, bangsa (etnis), posisi dan dimensi tubuh
dalam persentil yang diakomodasikan dengan penetapan atas rancangan dari dimensi
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 18
ukuran sesuai rancangan dengan prinsip “tailor made” yang memenuhi syarat
“fittnes for use” bagi pengguna sebagai pemakai(Sanders dan McCormick, 1992).
2. Kepuasan
Kepuasan (satisfaction) berasal dari bahasa latin ”satis” artinya cukup baik,
memadai dan ”facio” artinya melakukan atau membuat. Kepuasaan dapat diartikan
sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai (Tjiptono, 2008).
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau
hasil yang dirasakan dengan harapannya. Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari
perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja di bawah
harapan, maka pengguna menjadi kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan, peng-
guna menjadi sangat puas. Harapan pengguna yang dibentuk oleh pengalaman masa
lampau dan terciptanya kepuasan memberikan manfaat yang salah satunya hubungan
dari hasil produk yang dibuat dan penggunanya menjadi erat.
Desain penilaian pada kuesioner kepuasan memakai produk menggunakan
4 skala likert diperoleh untuk skor terendah sebesar 20 (Tidak Puas) dan skor ter-
tinggi sebesar 80 (Sangat Puas) dapat dijelaskan pada Lampiran 2.2.
Tabel 2.3
Klasifikasi Tingkat Kepuasan Produk Berdasarkan Total Skor Individu
Tingkat Penilaian
Total Skor Individu
Nilai Kepuasan Produk Tindakan Perbaikan
1 20 - 35 Rendah Diperlukan perbaikan segera mungkin
2 36 - 50 Sedang Diperlukan tindakan perbaikan segera
3 51 - 65 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan
4 66 - 80 Sangat Tinggi Tidak diperlukan tindakan perbaikan
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 19
Kepuasan pengguna yang berasal dari perbandingan kesannya terhadap
kinerja aktual pada suatu produk dengan harapan dan evaluasi pada pengalaman
menggunakan suatu produk. Resistansi pengguna ditunjukkan dengan loyalitas ter-
hadap produk yang digunakan. Kepuasan tinggi menciptakan kelekatan emosional
terhadap produk yang akan menimbulkan loyalitas berkelanjutan (Kotler dan Kevin,
2009). Pengguna melakukan proses evaluasi terhadap pemakaian yang selanjutnya
merasakan puas atau tidak puas. Pengguna memberikan respon sebagai evaluasinya
terhadap kesenjangan antara harapannya dengan kinerja produk. Griffin (2003),
kepuasan pengguna merupakan sikap penilaian secara individu atau kelompok yang
merespon secara emosional dan evaluatif pasca pemilihan setelah seleksi pemakaian
dan pengalaman menggunakan produk tersebut.
3. Beban kerja
Munculnya beban kerja yang diterima amputee sebagai akibat atas respon
sewaktu berjalan dalam menggunakan kaki prosthetik yang ditunjukkan dengan
adanya peningkatan denyut nadi (Miao et al., 2006). Beban kerja sewaktu berjalan
sangat dipengaruhi oleh faktor somatik (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh); faktor
somatipe (kondisi kesehatan, gizi); faktor psikis (motivasi, persepsi, keinginan,
emosi, kepuasan, percaya diri) yang berdampak pada kualitas hidup. Schlick et al.
(2013), beban kerja bagi amputee transtibial dihitung dari denyut nadi kerja yang
dipakai sebagai dasar untuk menentukan seberapa besar penurunan beban kerja.
Nadi Kerja (NK) = Denyut Nadi Kerja – Denyut Nadi Istirahat ……...(6)
Pemakaian kaki prosthetik merupakan perpaduan beban kerja secara fisik dan
mental yang dipengaruhi oleh beban ekternal dan internal. Beban kerja dapat diseta-
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 20
rakan sebagai beban kardiovascular dalam aktivitas berjalan dari keadaan yang me-
ngakibatkan adanya beban yang diterima tubuh meskipun kegiatan ini terlihat mudah
dan sederhana (Rodahl, 2003; Adiputra, 2004) adalah sebagai berikut :
1. Beban eksternal (stressor) adalah beban yang berasal dari luar tubuh berupa tugas
(task), organisasi dan lingkungan. Tugas yang bersifat fisik seperti sarana, kon-
disi, sikap, dan mental seperti kompleksitas atau tingkat emosi. Organisasi men-
cakup waktu, proses dan sistem. Lingkungan seperti lingkungan, panas, intensitas
penerangan, kelembaban dan lain-lain.
2. Beban internal (strain) adalah beban yang berasal dalam tubuh yang berkaitan
erat dengan adanya keinginan, kepuasan dan lain-lain.
Rodahl (2003), menjelaskan perubahan rerata denyut nadi berhubungan linier
dengan pengambilan oksigen. Penilaian beban kerja dengan mengukur peningkatan
denyut nadi dilaksanakan saat bekerja atau selesai bekerja, menilai cardiovascular
strain menggunakan metode 10 denyut (Louhevaara dan Kilbom, 2005). Peningkatan
denyut nadi dengan pengukuran metode 10 denyut melalui denyut nadi palpasi (stop-
watch ditekan start saat denyutan satu dan ditekan stop pada denyutan ke sebelas).
(dpm) nPerhitungaWaktu
600 MenitDenyut NadiDenyut =⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ ……..……………….(7)
Penilaian obyektif diukur melalui denyut nadi berdasarkan banyaknya kon-
traksi otot jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh (Johnson, 2007). Denyut
nadi keadaan normal adalah 70 denyut/menit dengan selang 50 - 100 denyut/menit.
Keluaran energi, denyut nadi kerja, konsumsi O2 yang dapat dibedakan berdasarkan
pada kategori tingkat beban kerja (Kroemer, 2008) seperti pada Tabel 2.4.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 21
Tabel 2.4
Tingkat Beban Kerja Terhadap Keluaran Energi
Kategori Beban Kerja Denyut
Nadi Kerja(dpm)
KonsumsiOksigen (l/menit)
Keluaran Energi
(kkal/min)
Keluaran Energi / 8 jam
(d-kkal) Istirahat 60 – 70 0,3 1,5 < 720 Beban kerja sangat ringan 65 – 75 0,32 – 0,50 1,6 – 2,5 768 - 1200 Beban kerja ringan 75 – 100 0,50 – 1,00 2,5 – 5,0 1200 – 2400 Beban kerja sedang 100 – 125 1,00 – 1,50 5,0 – 7,5 2400 – 3600 Beban kerja berat 125 – 150 1,50 – 2,00 7,5 – 10,0 3600 – 4800 Beban kerja sangat berat 150 – 180 2,00 – 2,50 10,0 – 12,5 4800 – 6000 Beban kerja luar biasa berat > 180 > 2,50 > 12,5 > 6000
(Sumber: Kroemer, 2008)
Denyut nadi ditentukan oleh usia dan jenis kelamin. Jantung yang sehat
kembali bekerja normal setelah 15 menit sesudah beraktivitas. Denyut nadi sebelum
dan sesudah bekerja menurut Kroemer (2008) adalah sebagai berikut :
1. Resting pulse, jumlah rerata denyut nadi sebelum memulai suatu pekerjaan.
2. Working pulse, jumlah rerata denyut nadi selama melakukan suatu pekerjaan.
3. Work pulse, selisih jumlah denyut nadi selama bekerja dan sebelum bekerja.
4. Total recovery pulse (recovery cost), jumlah denyut nadi mulai dari berhenti
bekerja sampai denyut nadi kembali normal. Muller dalam Grandjean (2000)
menjelaskan total recovery pulse adalah salah satu cara untuk mengukur kelela-
han (fatigue) dan pemulihan (recovery) secara objektif.
5. Total work pulse (cardiac cost), jumlah denyut nadi mulai dari awal pekerjaan
sampai dengan tingkat istirahat.
Riley (2005), cadangan kardiovaskular yang terbatas pada tubuh amputee,
tidak cukup untuk mentolerasi adanya peningkatan kebutuhan energi, bilamana ber-
jalan yang cukup jauh yang melebihi batas kapasitas kemampuannya.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 22
Tabel 2.5
Klasifikasi Beban Kerja Berdasarkan Beban Kardiovaskular
%CVL Klasifikasi
Beban Kerja Keterangan
< 30% Ringan Tidak terjadi kelelahan (no particular fatigue, no action required)
30% < CVL ≤ 60% Sedang Perlu perbaikan (attention level, improvement measurement advised)
60% < CVL ≤ 80% Berat Kerja dalam waktu singkat (action required on short term)
80% < CVL ≤ 100% Sangat Berat Perlu segera tindakan (immediate action required)
(Sumber: Louhevaara dan Kilbom, 2005)
Louhevaara dan Kilbom (2005), nilai denyut nadi setiap aktivitas merupakan
denyut nadi aktivitas atau beban kardiovaskuler yang dapat disetarakan sebagai
beban kerja pada aktivitas tersebut sebagai berikut :
1. Denyut Nadi Maksimum (DNMaks) = 220 – umur (untuk laki-laki) …...…..…(8)
= 200 – umur (untuk wanita) ….....……...(9)
2. Denyut Nadi Kerja Maks/6jam eksperimen pengujian atau denyut nadi kerja
maks /6 jam (DNmaks/6jam) = 6/24 (Denyut Nadi Maks) - Denyut Nadi Istirahat
3. 100DNI - jam /6Maks DN
DNI) -(DNK %CVL x= ; 100Maks) (DN6/24DNI -DNK x ; 100
Maks) (DN1/4DNI -DNK x
100 Umur)- (2201/4DNI -DNK laki)-(laki %CVL x= ………...….....…………….….………(10)
4. Keluhan muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal pada amputee selama aktivitas berjalan dengan
melibatkan bagian otot-otot skeletal dimulai fase heel contact (HC), flat foot (FF),
midstance (MS), heel offI (HO), toe off (TO) dan swing off (SO) (Canobbio, 2005).
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 23
Keluhan yang sering dirasakan setelah aktivitas berjalan munculnya rasa nyeri dan
keram di stump, pegal-pegal di kaki normal, nyeri di lutut kaki amputasi, nyeri di
pantat, dan nyeri di pinggang (Gailey et al., 2008; Herdiman et al., 2010b). Akibat
aktivitas ini anggota gerak bawah terus menjaga posisi tubuh agar tetap stabil.
Semakin banyak gerakan yang berlawanan dengan kaidah faal semakin banyak ener-
gi yang digunakan (Grandjean, 2000; Astrand et al., 2003; Kroemer, 2008).
Bentuk kelelahan otot disertai dengan sensasi nyeri pada otot dapat dideteksi
berupa keluhan pada otot-otot. Keluhan otot yang terjadi pada organ tubuh dapat
ditelusuri menggunakan alat ukur ergonomi yang digunakan sebagai berikut :
1. Electromyography (EMG). Alat ini fungsinya digunakan untuk mengevaluasi dan
mencatat aktivasi otot. Surata (2013) dalam penelitiannya menggunakan EMG
untuk analisis ergonomi yang membandingkan tegangan otot skeletal dengan ber-
bagai variasi posisi kerja, postur atau kegiatan dalam intervensi ergonomi.
2. Model fisik untuk mengetahui keluhan otot skeletal sewaktu beban kerja sewaktu
berjalan. Indikator dari beban kerja dari denyut nadi, konsumsi oksigen yang
dapat diketahui keluhan muskuloskeletal (Becker et al., 2007; Klodd et al, 2010).
3. Psikofisik tabel merupakan penilaian psikologi yang digunakan mengevaluasi
pemindahan material secara manual (Snook, 2005).
4. Pengukuran subjektif yaitu cara pengumpulan data menggunakan catatan harian,
wawancara dan kuesioner (David, 2005). Menilai keluhan muskuloskeletal dapat
menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM). Kuesioner ini dipergunakan
dalam penelitian ergonomi karena biaya rendah, keterlibatan subjek sampel, dan
mudah dalam pengumpulan data (Ercan dan Erdinc, 2006; David et al., 2008).
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 24
Adiputra (2002), keluhan subjektif akibat kerja yang berhubungan dengan
reaksi individu terhadap pengalamannya. Metode subjektif untuk menilai keluhan
otot skeletal menggunakan Nordic Body Map yang menggunakan metode rating
maupun ranking (Tirtayasa et al., 2003). Prosedur mapping untuk menilai keluhan
otot skeletal dari keseluruhan dan istirahat melalui kuesioner pada skala 5 likert
(Corlett dan Wilson, 2005) dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6
Klasifikasi Tingkat Resiko Otot Skeletal Berdasarkan Total Skor Individu
Tingkat Keluhan
Total Skor Individu
Tingkat Resiko Otot Skeletal Tindakan Perbaikan
1 26,0 – 46,7 Sangat Rendah Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan
2 46,8 – 67.5 Cukup Rendah Diperlukan adanya tindakan perbaikan
3 67,6 – 88,3 Rendah Diperlukan tindakan perbaikan segera
4 88,4 – 109,1 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan segera mungkin
5 109,2 – 130,0 Sangat Tinggi Diperlukan tindakan menyeluruh segera mungkin
Metode penilaian ini merupakan kelanjutan upaya perbaikan sikap berjalan.
Desain penilaian pada kuesioner keluhan otot skeletal menggunakan 5 skala likert
dengan 28 pertanyaan. Penilaian skor Nordic Body Map pada kasus amputasi bawah
lutut pada kaki kanan dikurangi 2 pertanyaan (pertanyaan 25 dan 27), sama halnya
pada amputasi kaki kiri kurangi 2 pertanyaan (pertanyaan 24 dan 26) diperoleh untuk
skor terendah sebesar 26 (Tidak Terasa Sakit) dan skor tertinggi sebesar 130 (Sangat
Sakit) dapat dijelaskan pada penjelasan Lampiran 2.4a dan Lampiran 2.4b.
Hasil tingkat keparahan otot skeletal dievaluasi terhadap perlu atau tidaknya
tindakan perbaikan dari resiko otot skeletal yang mengalami gangguan. Munculnya
gejala nyeri punggung dan gangguan muskuloskeletal pada amputee transtibial lebih
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 25
disebabkan ketidakcocokan panjang dari ke dua tungkai kaki pada saat fitting
prosthetik (Gailey et al., 2008). Keluhan muskuloskeletal pada amputee transtibial
akibat keluhan otot sesuai Nordic Body Map yang dimodifikasi dengan otot trunkus
meliputi punggung, pinggang, bokong, pantat dan otot ekstremitas atas meliputi bahu
kiri, bahu kanan, seperti dijelaskan pada Lampiran 2.4a dan Lampiran 2.4b.
Gambar 2.3 Nordic Body Map
Otot ekstremitas bawah meliputi paha kiri, paha kanan, lutut kiri, lutut kanan,
betis kiri atau betis kanan, pergelangan kaki kiri atau pergelangan kaki kanan.
Friberg dalam Bateni et al. (2004) yang mengevaluasi sebanyak 113 subjek amputasi
di Filandia yang hasilnya 15% dari subjek dengan amputasi kaki mengenakan pros-
thetik sama panjang dengan kaki normal, 34% tidak dapat diterima dikarenakan ke-
tidakcocokan panjang kaki (> 20 mm) dan 79% tidak dapat diterima dikarenakan
panjang kaki prosthetik yang lebih pendek dari kaki normal. Ketidaksimetrian kaki
prosthetik yang menyebabkan masalah seperti scoliosis fungsional, gejala nyeri
punggung, sakit punggung kronis, lutut dan pinggul nyeri pada tungkai kaki normal.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 26
5. Kelelahan
Kroemer dan Grandjean (2000), kelelahan merupakan keadaan yang tercer-
min dari gejala perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motorik dan res-
pirasi, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, pelemahan motivasi, penurunan
aktivitas yang akan mempengaruhi aktivitas fisik dan mental. Kelelahan umum yang
ditandai berupa tahapan rasa berkurangnya kesiapan mempergunakan energi. Pulat
(2002), menjelaskan bahwa gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan
sampai perasaan yang sangat melelahkan.
Kelelahan pada amputee saat berjalan ditimbulkan dalam penggunaan kaki
prosthetik. Kelelahan adalah suatu pola pada keadaan yang secara umum terjadi pada
setiap individu yang tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya (Sutalaksana et al.,
2006). Kelelahan subjektif adalah kelelahan akibat beban aktivitas dari interaksi
dengan kegiatan, rancangan tempat kerja, peralatan kerja, sikap kerja atau postur
(Suardana, 2001; Bridger, 2008). Kelelahan menunjukkan berbeda-beda, tetapi
semuanya berakibat pengurangan kapasitas dan ketahanan tubuh (Suma’mur, 2011).
Istilah "kelelahan" yang digunakan sebagai deskripsi operasional dari ke-
adaan sementara dalam mengurangi kemampuan untuk melanjutkan kontraksi otot
atau pekerjaan fisik (Kroemer et al., 2010). Kelelahan tergantung pada besarnya dan
durasi usaha dibandingkan dengan kemampuan otot yang terlibat, pelatihan fisik dan
pengembangan keterampilan yang dapat menanggulangi masalah subjektif ini, efektif
sampai batas tertentu. Pendekatan ergonomi yang tepat dengan merancang apapun
untuk persyaratan pekerjaan yang menimbulkan kelelahan sebagai penyelesaiannya
merekayasa melalui “fitting the task to the human” (Grandjean, 2000).
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 27
Kelelahan subjektif dengan 30 pertanyaan IFRC (Industrial Fatigue Research
Committee) Jepang dengan skala 4 likert (Sudo dan Ohtsuka, 2002). Pertanyaan
1 sampai 10 menunjukkan melemahnya kegiatan, pertanyaan 11 sampai 20 menun-
jukkan melemahnya motivasi, dan pertanyaan 21 sampai 30 memberikan gambaran
kelelahan fisik. Penilaian kuesioner kelelahan dilakukan dengan skoring maka setiap
skor harus mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami respon-
den. Desain penilaian pada kuesioner kelelahan subjektif menggunakan 4 skala likert
diperoleh untuk skor terendah sebesar 30 (Sangat Tidak Merasa) dan skor tertinggi
sebesar 120 (Sangat Merasa) dapat dijelaskan pada Lampiran 2.5.
Tabel 2.7
Klasifikasi Tingkat Kelelahan Subjektif Berdasarkan Total Skor Individu
Tingkat Kelelahan
Total Skor
Individu
Klasifikasi Kelelahan Tindakan Perbaikan
1 30 - 52,5 Rendah Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan
2 53,5 - 75 Sedang Diperlukan tindakan perbaikan
3 76 - 97,5 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan segera
4 98,5 - 120 Sangat tinggi Diperlukan tindakan menyeluruh segera mungkin
Stanton (2005), berkurangnya frekuensi akan menurunkan kekuatan dan kon-
traksi otot dan gerakan menjadi lambat. Pada kerja otot statis, pengerahan tenaga
50% dari kekuatan maksimum otot dapat bekerja selama 1 menit. Pengerahan tenaga
< 20% kerja fisik yang berlangsung cukup lama. Pengerahan otot statis 15% - 20%
dengan pembebanan sepanjang hari menyebabkan kelelahan dan nyeri. Suma'mur
(2011), kelelahan yang memerlukan tindakan segera, kerja otot statis mengalami
aktivitas berat (strenous). Kontraksi dan relaksi pada otot secara bergantian; aliran
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 28
darah tidak cepat terganggu, rasa sakit pada otot tidak cepat timbul. Pembebanan otot
dalam waktu cukup lama dan berulang-ulang mengakibatkan repetitve strain injuries
(RSI) menimbulkan rasa nyeri pada otot dan tendon (Wilson dan Perez, 2004).
2.2 Sikap Berjalan
Sikap berjalan dengan postur tubuh yang benar penting bagi penampilan diri
yang memungkinkan gerakan yang baik, luwes, tidak kaku dan enak dipandang
(Sunarno, 2006). Postur tubuh yang benar ini dapat memperbaiki bentuk tubuh,
membantu mencegah cepat terjadinya kelelahan, menyenangkan dan menyehatkan.
Gambar 2.4 Kelainan Sikap Berjalan Pada Amputee Transtibial
(Sumber: Toro et al., 2003)
Sikap berjalan ini memungkinkan gerakan menjadi efeisien dengan tenaga
otot yang dikeluarkan seminimal mungkin. Sebaliknya, sikap berjalan dengan lang-
kah jalan seperti di seret-seret pertanda adanya gangguan berjalan pada seseorang.
Fenton (2008), ada 3 langkah dalam cara berjalan yang efisien saat melangkah yaitu :
1. Berdiri tegak dengan bahu tidak terkulai, otot di pinggang tidak buncit, jangan
melakukan gerakan mengayun berlebihan di bagian belakang tubuh.
2. Fokus pada langkah, bukan langkah panjang dan biarkan secara alamiah untuk
melangkah lebih nyaman. Petunjuk: hitung berapa langkah selama 20 detik.
3. Tahan siku agar bersudut tegak lurus, lengan dapat mengayun secara baik.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 29
Kelainan alat gerak didefinisikan sebagai kelainan komponen alat gerak yang
terdiri dari otot, tulang, syaraf, pembuluh darah dan kelainan pola gerak akibat
kelainan yang dapat terjadi akibat amputasi atau bawaan atau trauma (Kupriyanova
et al., 2014). Kelainan alat gerak akibat tindakan operasi amputasi, fungsí kaki
menjadi terhambat untuk melakukan mobilitas dalam kegiatan sehari-hari atau
activities of daily living (ADL). Segala usaha berupa latihan dan rehabilitasi ber-
tujuan mengubah, memperbaiki dan membentuk pola berjalan mendekati normal.
2.2.1 Nutrisi sebagai sumber energi
Semakin besar usaha yang dilakukan otot pada aktivitas maka lebih banyak
energi dibutuhkan (Manuaba, 2005a). Semakin banyak aktivitas manual dilakukan
akan semakin besar kebutuhan energi yang harus dipenuhi. Manusia dapat beraktivi-
tas apapun sepanjang persediaan makanan dalam tubuh cukup. Nutrisi sebagai sum-
ber energi yang harus diperhatikan selama beraktivitas, bila energi berkurang pada
amputee akan berdampak dengan melambatnya ritme langkah berjalan atau masih
berjalan tetapi sudah tidak efisien lagi. Manusia dalam beraktivitas memerlukan yaitu
(a) makanan (gula, protein, lemak) sebagai sumber energi, (b) bahan pelindung (vita-
min, garam, mineral, besi, jodium), dan (c) cairan sebagai pendinginan. Status nutrisi
bagi amputee dalam aktivitasnya merupakan faktor yang penting untuk proses pe-
nyembuhan luka dan penggunaan prosthetik yang tepat (Deé dan Lelovics, 2012).
2.2.2 Kudapan (snack) dan istirahat
Snack bagi amputee dalam beraktivitas perlu padat kalori yang disebabkan
pengaruh laju ambilan glukosa oleh otot. Distribusi jam makan dengan memberikan
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 30
kudapan (snack) setiap 2 jam yang sesuai dibutuhkan yang tujuannya agar menjaga
gula darah yang memberikan pengaruh pada efisiensi tenaga pada level yang tinggi
di sepanjang hari kerja (Grandjean, 2000). Kebutuhan cairan tubuh sekitar 0,5 liter
sampai 1 liter dan musim panas meningkat menjadi 1,5 liter sampai 2 liter. Status
gizi dan nutrisi pada amputee memberikan pengaruh pada proses penyembuhan luka,
pemulihan kesehatan yang dimonitor (Esquenazi dan DiGiacomo, 2001). Pentingnya
istirahat bagi amputee transtibial sewaktu berjalan pada jarak tertentu dan berguna
untuk memulihkan kebugaran kembali (Paysant et al., 2006).
2.3 Amputasi Ekstremitas Bawah
Amputasi diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau
seluruh bagian ekstremitas, atau tindakan pembedahan dengan membuang bagian
tubuh (Smeltzer et al., 2010). Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan
dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas
sudah tidak mungkin dapat diperbaiki menggunakan teknik lain.
Gambar 2.5 Level Amputasi Ekstremitas Bawah (Sumber: Zaretsky et al., 2011)
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 31
Keseimbangan berjalan dan efisiensi gait dipengaruhi oleh jenis amputasi.
Amputasi ekstremitas bawah bervariasi mulai menghilangkan parsial jari kaki sampai
seluruh kaki atau hingga bagian dari panggul. Kualitas dan jenis amputasi yang
dilakukan mempengaruhi hasil keseluruhan dari anggota gerak yang diangkat. Ketika
menentukan tingkat amputasi, semua faktor yang mempengaruhi fungsi gerak harus
dipertimbangkan. Faktor-faktor ini tidak hanya kelangsungan hidup dari jaringan
yang diangkat tetapi pilihan prosthetik yang akan digunakan, dinamika dari gaya
berjalan, kosmetik dari segi estetika, dan biomekanik dari sisa ekstremitas.
Zaretsky et al. (2011) level amputasi ekstremitas bawah dengan amputasi
unilateral hanya pada satu sisi seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.5 terdiri dari
(1) hemipelvectomy yaitu amputasi seluruh sendi pada hip, ada juga amputasi
sebagian pada pelvic, (2) hip disarticulation yaitu amputasi sendi panggul. Beberapa
variasi hip disarticulation menyisakan bagian femur atas untuk posisi duduk yang
lebih baik, (3) above knee atau amputasi trans-femoral yaitu amputasi bagian bawah
kaki sampai bagian atas lutut, di mana bagian stump kaki masih mampu untuk
menanggung berat tubuh karena femur masih utuh, (4) knee disarticulation yaitu
amputasi sendi lutut, (5) below knee atau amputasi transtibial yaitu amputasi bawah
lutut, (6) ankle disarticulation yaitu amputasi sendi pergelangan kaki, (7) symes yaitu
amputasi sendi pergelangan kaki dengan maleolus tibia dan fibula juga hilang,
(8) chopart yaitu amputasi menghilangkan satu atau beberapa jari kaki pada amputasi
sendi talo navicular dan talocuneiforme 1 sampai 3. Amputasi parsial foot yaitu
amputasi menghilangkan sendi pergelangan kaki sampai ke distal ekstremitas bawah.
Amputasi transtarsal yaitu amputasi menghilangkan tarsal (tarsus) atau tulang kaki.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 32
LeMura dan Von Duvillard (2004), amputasi ekstremitas bawah lebih dari
satu meliputi (1) bilateral atau amputasi ganda yaitu amputasi pada anggota gerak
bawah yang sama di kedua sisi yang berbeda terdiri dari bilateral trans-tibialis (di
bawah sendi lutut) dan bilateral trans-femoral (di atas sendi lutut), (2) cross section
amputasi yaitu amputasi satu tingkat di satu tungkai bawah dan tingkat berbeda di
tungkai yang lain, (4) cross site amputasi yaitu amputasi pada satu ekstremitas atas
dan satu ekstremitas bawah, dan (5) quadruple amputasi yaitu amputasi pada bagian
keempat anggota gerak pada badan di tingkat manapun.
2.4 Anthropometri Pada Amputee Transtibial
Anthropometri berarti pengukuran tubuh manusia berasal dari kata Yunani,
“anthropos” berarti manusia dan “metron“ berarti mengukur. Anthropometri adalah
pengetahuan yang menyangkut pengukuran dimensi tubuh manusia dan karakteristik
khusus lain dari tubuh yang relevan dengan perancangan alat-alat atau benda-benda
yang digunakan manusia.
Anthropometri sebagai pertimbangan ergonomis dalam mendesain suatu
produk yang terjadi interaksi manusia dengan peralatannya secara anthropometris,
biomekanis, fisiologis, dan psikologis (Wignjosoebroto, 2008). Ukuran data anthro-
pometri manusia bervariasi dalam berbagai dimensi ukuran seperti kebutuhan, mo-
tivasi, intelegensia, imajinasi, usia, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, ke-
kuatan, bentuk dan ukuran tubuh. Dimensi tubuh diukur meliputi tinggi tubuh, berat
badan, tinggi atau panjang lutut pada saat berdiri atau duduk. Pulat (2002), penggu-
naan desain dijabarkan dalam persentil dengan kurva distribusi normal dengan batas
kemaknaan pada tingkat kepercayaan 95% dan 5% atau (µ ± 1,645 σ) dengan nilai
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 33
rerata (µ). Data anthropometri menyatakan untuk nilai persentase kelompok data
lebih kecil dari nilai interval pada nilai persentil.
Gambar 2.6 Kurva Distribusi Normal (Sumber: Preedy, 2012)
Anthropometri dalam perhitungan persentil dihitung dari nilai rerata data ( x )
dan simpangan baku atau standar deviasi (σ) dengan batas kemaknaan dan nilai α
berdasarkan dari tabel distribusi normal (Preedy, 2012).
Tabel 2.8
Perhitungan Nilai Persentil
Nilai Persentil Area Persentil Nilai Persentil Area Persentil 99,5-th µ + (2,585 x σ) 50,0-th µ 99,0-th µ + (2,325 x σ) 30,0-th µ - (0,520 x σ) 97,5-th µ + (1,960 x σ) 25,0-th µ - (0,670 x σ) 97,0-th µ + (1,885 x σ) 20,0-th µ - (0,840 x σ) 95,0-th µ + (1,645 x σ) 10,0-th µ - (1,280 x σ) 90,0-th µ + (1,280 x σ) 5,0-th µ - (1,645 x σ) 80,0-th µ + (0,840 x σ) 3,0-th µ - (1,885 x σ) 75,0-th µ + (0,670 x σ) 2,5-th µ - (1,960 x σ) 70,0-th µ + (0,520 x σ) 1,0-st µ - (2,325 x σ) 0,5 µ - (2,585 x σ)
(Sumber: Wignjosoebroto, 2008)
Perhitungan parameter anthropometri dilakukan pada masing-masing subjek
secara terpisah. Sudut yang terbentuk diukur secara relatif atau sudut sendi dapat
didefinisikan sebagai sudut antar segmen tubuh dan horisontal pada bidang sagital.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 34
Gambar 2.7 Pengukuran Anthropometri Pada Amputee Transtibial
Sebagian data anthropometri diperlukan dalam biomekanika untuk mengukur
pemindahan gaya yang terjadi pada tubuh sewaktu berjalan, yaitu:
1. W : Weight = Berat Tubuh (Kg)
2. H : Height = Tinggi (Cm)
3. TH : Trochanter Height = Tinggi dari Pinggang ke Telapak Kaki (Cm)
4. KH : Knee Joint Height = Panjang dari Lutut sd Telapak Kaki (Cm)
5. KS : Distance Knee Joint - Stump Top = Panjang dari Lutut - Ujung Stump (Cm)
6. FL : Foot Length = Panjang Telapak Kaki (Cm)
7. LBKN : Lingkar Betis Kaki Normal = Keliling Betis (Cm)
8. LPKN : Lingkar Pergelangan Kaki Normal = Keliling Pergelangan Kaki (Cm)
9. TRH : Trochanter Residual Height = Tinggi Trochanter (Cm)
10. LFA1 : Lingkar Femur Atas 1 (Cm)
11. LFA2 : Lingkar Femur Atas 2 (Cm)
12. LP : Lingkar Patella (Cm)
13. LSB1 : Lingkar Stump Bawah 1 (Cm)
14. LSB2 : Lingkar Stump Bawah 2 (Cm)
15. LSB3 : Lingkar Stump Bawah 3 (Cm)
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 35
Ukuran rancangan ini dapat diubah-ubah ukurannya menjadi cukup fleksibel
yang memiliki berbagai ukuran tubuh. Rancangan fleksibel, nilai 5-th persentil untuk
dimensi maksimum dan 95-th persentil untuk dimensi minimum dari rancangan.
2.5 Intervensi Ergonomi Pada Modifikasi Pergelangan Kaki Prosthetik
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang tediri dari dua kata yaitu “ergos”
yang berarti kerja dan “nomos” yang berarti aturan atau hukum. Jadi secara ringkas
ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. International Ergono-
mics Association (IEA) (2000) mendefinisikan bahwa ergonomi atau human factors
adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dengan sebuah
sistem pekerjaan yang menerapkan teori, data dan metode untuk desain agar ter-
capainya kesejahteraan dan kinerja yang optimal pada pengguna atau pekerja.
Ergonomi merupakan dari tuntutan tugas, peralatan, cara kerja, fasilitas kerja,
produk yang dibuat, organisasi dan lingkungan yang diserasikan dengan kemampuan,
kebolehan dan batasan manusia dengan kondisi dan lingkungan kerja yang efisien,
nyaman, aman, sehat dan efektif atau disingkat ENASE (Manuaba, 2000; Chandna
et al., 2010). Prinsip ergonomi menggunakan prinsip “fitting the task to the man“
bahwa pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia
agar menghasilkan pengelolaan yang maksimal dan berdayaguna dalam upaya untuk
melaksanakan tugas yang dibebankannya pada pekerja atau karyawan atau pengguna
(Kroemer dan Grandjean, 2000; Mittal et al. 2013). Intervensi berbasis ergonomi ini
dapat dimulai dengan mengindentifikasi masalah dari delapan aspek ergonomi yang
dikaitkan dengan task, organisasi dan lingkungan sebagai penyelesaian masalah yang
harus diselesaikan secara seksama (Manuaba, 2006a) adalah sebagai berikut :
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 36
1. Gizi dan nutrisi
Manusia memerlukan kualitas gizi dan nutrisi terutama bagi seorang amputee
dalam segala aktivitasnya terutama kegiatan berjalan. Adanya beban kerja yang
berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk berjalan yang dapat dikategorikan
dari ringan sampai berat, tentunya harus diimbangi asupan energi yang masuk
pada tubuh berupa makanan dan minuman.
2. Sikap berjalan
Sikap berjalan dengan postur tubuh yang tidak fisiologis di mana saat memindah-
kan berat tubuh sewaktu berjalan terlihat seperti membungkuk sebagai upaya
untuk mendorong tubuh agar dapat bergerak ke depan. Sewaktu berjalan di mana
kaki yang memakai prosthetik terlihat seperti diseret-seret. Cara ini dilakukan
berulang-ulang yang menimbulkan keluhan muskuloskeletal dan kelelahan.
3. Pemanfaatan tenaga otot
Produk kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut dirancang sedemikian rupa agar
dapat mengaktivasi gerakan otot-otot kaki agar tidak bertentangan dengan gerak-
an alamiah otot itu sendiri. Pemanfaatan tenaga otot dalam aktivitas berjalan me-
minimalkan kebutuhan energi dan terjadinya penimbunan asam laktat di otot.
4. Kondisi lingkungan
Kondisi suhu yang gerah di stump yang dapat menyebabkan suhu dipermukaan
kulit pada stump naik yang dipengaruhi paparan suhu ruang di lingkungan sekitar
sewaktu berjalan, faktor penyebab timbulnya ketidakseimbangan berjalan, ber-
kurangnya rasa nyaman memakai kaki prosthetik, timbulnya rasa letih, pegal-
pegal, keram bahkan gatal-gatal di permukaan kulit pada stump kaki.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 37
5. Kondisi waktu
Penyesuaian waktu aktivitas dan jadwal kegiatan akan mendukung kesehatan dan
rasa nyaman bagi amputee agar membuat hidup menjadi lebih produktif.
6. Kondisi sosial
Anggapan amputasi merupakan hukuman yang menimbulkan perasaan malu, in-
troversi, mengkasihani diri sendiri, perasaan inferior dan isolasi sosial.
7. Akses informasi
Akses informasi yang memberikan dukungan emosional melalui konseling, ma-
najemen sosial untuk mengatasi perasaan kehilangan, rasa marah dan sedih.
8. Interaksi pengguna - kaki prosthetik
Informasi kaki prosthetik yang inovatif, pemakaiannya tidak rumit dan memu-
dahkan amputee dalam menyesuaikan segala aktivitas sehari-hari (ADL).
2.6 Implementasi Pendekatan Ergonomi Total Pada Pergelangan Kaki Prosthetik
Pendekatan ergonomi total merupakan pendekatan secara menyeluruh yang
terdiri dari pelaksanaan pendekatan SHIP dan bagaimana menerapan teknologi tepat
guna (TTG). Implementasi konsep ergonomi total melalui beberapa langkah yang
dapat dijelaskan melalui diagram alir pada Gambar 2.8.
Diawali dengan (1) indentifikasi masalah mobilitas pada amputee transtibial
dengan delapan aspek ergonomi; (2) analisis masalah dengan pendekatan SHIP (Sis-
temik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori) luarannya berupa skala prioritas;
(3) mendesain pergelangan kaki prosthetik dengan menerapkan teknologi tepat guna
(TTG), (4) membuat gambar kerja untuk mengerjakan pergelangan kaki prosthetik;
(5) proses manufaktur dan membuat konstruksinya antara pergelangan kaki pros-
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 38
thetik dan komponen prosthetik lainnya; (6) merakit pergelangan kaki prosthetik
dengan komponen prosthetik lainnya menjadi kaki prosthetik endoskeletal bawah
lutut; (5) evaluasi (kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut dengan anatomi amputee
dan kebiasaan; (7) bilamana, sudah sesuai dilanjutkan proses uji coba dan rehabilitasi
cara berjalan; (8) bilamana belum sesuai dilanjutkan perbaikan ukuran dan desain
dari pergelangan kaki hingga proses uji coba dan rehabilitasi cara berjalan.
Gambar 2.8 Implementasi Pendekatan Ergonomi Total
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 39
2.7 Pendekatan Ergonomi Total Pada Kaki Prosthetik Endoskeletal
Pedekatan ergonomi total melalui pemecahan masalah yang fokus pada cara
berpikir dan bertindak secara multi disiplin dalam melakukan perbaikan. Konsep
ergonomi total terdiri dari pendekatan SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner,
Partisipatori) dan penerapan Teknologi Tepat Guna (Manuaba, 2003a; 2003b; 2003c;
2006a; 2006b). Pendekatan SHIP merupakan usaha pemecahan masalah yang ber-
kaitan sistem kerja atau aktivitas manusia untuk menjawabnya (Manuaba, 2003b;
Adiputra, 2007). Pendekatan SHIP bertujuan menyeimbangkan Tuntutan Tugas
(beban aktivitas) dan kapasitas (kemampuan, kebolehan dan keterbatasan) amputee
sehingga mereka dapat berjalan secara efisien, nyaman, aman, sehat dan efektif demi
tercapai kualitas hidup untuk bekerja dan beraktivitas yang setinggi-tingginya.
Para ilmuwan menerapkan konsep ergonomi total di berbagai bidang kegiatan
manufaktur dan industri dengan hasil yang bermakna. Konsep ergonomi total pada
sektor industri kecil dan menengah guna mencapai kondisi dan lingkungan kerja
yang nyaman, produktif dan berkelanjutan (Manuaba, 2006c; 2007). Penerapan
ergonomi secara terpadu pada manajemen pembangkit listrik berhasil mengoptimal-
kan kinerja karyawan dan memberikan keuntungan yang signifikan dalam peng-
operasian bagi perusahaaan (Fam et al., 2007).
Penerapan ergonomi partisipasi dibidang usaha kecil dan menengah pada
industri otomotif (Erensal dan Albayrak, 2007). Pekerja sebagai subjek diajak par-
tisipasi dalam kegiatan produksi yang meyakinkan pemilik perusahaan dapat ber-
kontribusi terhadap peningkatan produktivitas. Kogi (2006), metode partisipasi ini
efektif bergantung pada struktur lingkungannya dalam memperbaiki tempat kerja
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 40
dengan melakukan modifikasi di tempat kerja yang selalu fokus pada low-cost
improvement. Alat peraga dengan beberapa tindakan sebagai fasilitas yang terbaik
ketika dimasukkan ke dalam daftar periksa tindakan dan panduan kerja yang menga-
cu pada biaya rendah dengan perbaikan praktis sesuai kondisi setempat.
A. Kajian SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori)
Pendekatan SHIP untuk modifikasi pergelangan kaki prosthetik endoskeletal
secara ergonomi agar memperoleh kemaknaan adalah sebagai berikut :
1. Sistemik
Sistemik dalam pendekatan SHIP diartikan sebagai upaya meningkatkan
efisiensi berjalan dengan indikator adanya peningkatan keseimbangan berjalan dan
efisiensi gait; peningkatan kualitas hidup dengan indikator peningkatan kenyamanan
dan kepuasan, penurunan beban kerja sewaktu berjalan, keluhan muskuloskeletal,
kelelahan (Sanders dan Mc Cormick, 1992; Fu Su et al., 2007). Semua unsur ini harus
dipahami sebagai sistem yang mempengaruhi kondisi kondisi amputee dalam segala
aktivitasnya adalah sebagai berikut :
a. Rancangan kaki prosthetik endoskeletal yang melibatkan desainer produk untuk
menentukan dimensi atau ukuran, ahli bahan, dan ahli pembuat kaki prosthetik.
b. Penggunaan kaki prosthetik endoskeletal akan mengubah amputee dengan sikap
berjalan menjadi lebih alamiah dan memperbaiki kepercayaan diri.
c. Kesehatan amputee lebih terjamin dan lebih aktif dengan penurunan kelelahan.
d. Sikap berjalan yang alamiah dan ergonomis dimulai dari fase mengayunkan kaki
prosthetik dan dilanjutkan kaki normal yang didukung oleh kontraksi otot kaki
yang minimal agar meningkatkan efisiensi berjalan dan kualitas hidup.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 41
2. Holistik
Holistik diartikan bahwa sistem terdiri dari subsistem yang saling terkait satu
dengan yang lain sebagai pertimbangan dalam efisiensi berjalan dan kualitas hidup
pada amputee yang terdiri dari beberapa faktor adalah sebagai berikut :
a. Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat tubuh, pengala-
man memakai kaki prosthetik, kepercayaan diri dan keterampilan berjalan.
b. Faktor eksternal, stigma di masyarakat dalam beraktivitas pada amputee.
b. Faktor kondisi lingkungan yang berpengaruh pada cara dan sikap berjalan.
3. Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner dengan menekankan pada proses pemecahan ma-
salah dengan sistem dalam satu kesatuan tim untuk merumuskan kaki prosthetik dari
berbagai disiplin ilmu secara realistis meliputi (a) medis untuk mengevaluasi peran
dan fungsi organ tubuh pada saat mulai - sedang berjalan dan juga melatih otot-otot
kaki - pinggang agar diperoleh sikap berjalan alamiah, (b) desainer prosthetik dalam
hal ini ergonomon mengevaluasi antara pengguna dan kaki prosthetik, (c) workshop
berperan dalam tahap proses seleksi bahan dalam menentukan teknologi dan desain
yang realistis dan secara teknis dapat diwujudkan dari segi pembiayaan, pembuatan
produk sampai biaya komersialisasi, (d) amputee transtibial sebagai pengguna akhir
yang akan memakai kaki prosthetik hasil dari rancangan.
4. Partisipatori
Pihak yang dilibatkan secara partisipatori adalah medis, prosthetik expert,
desainer prosthetik, workshop, ahli bahan dan amputee transtibial. Ergonomi partisi-
patori dimulai proses perencanaan, perancangan dan pengendalian dari sejumlah
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 42
aktivitas yang melibatkan pengguna, teknisi atau pembuat dengan pengetahuan
dalam proses untuk mencapai tujuan (Wilson et al., 2005; Hignett et al., 2005).
Ergonomi partisipasi adalah semua komponen yang terlibat dalam pemecahan
masalah agar terlaksananya satu gagasan dengan dilibatkan seawal mungkin untuk
mencapai hasil secara maksimal (Manuaba, 2006b).
B. Kajian Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG)
Penerapan TTG adalah teknologi yang digunakan dan diterapkan pada ampu-
tee agar dapat dimanfaatkan melalui teknologi yang sederhana tetapi moderen, tidak
perlu perawatan berlebih, terkait budaya lokal, memanfaatkan sumber daya, dapat
mengatasi permasalahan, mempunyai fungsional dan kosmetik yang baik dan men-
capai berdayaguna tinggi (Munaf et al., 2008). Manuaba (2005c, 2006c), penerapan
TTG dapat dilaksanakan dengan terpenuhinya unsur tujuh kriteria sebagai berikut :
1. Teknis
Pergelangan kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut yang ergonomis bertujuan
meningkatkan efisiensi berjalan dan kulitas hidup. Kaki prosthetik ini dirancang
menggunakan proses permesinan manual pada tingkat presisi (±0,01) mm dengan
bahan atau komponen yang digunakan handal dan mudah diperoleh dipasaran,
kualitas terjamin juga perawatannya yang murah, mudah dan aman dipakai.
2. Ekonomi
Pergelangan kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut yang ergonomis dibuat
dengan biaya rendah dan terjangkau atau low cost. Proses pembuatannya tidak
mahal, umur pakai dapat mencapai 5 tahun dan memberikan kemanfaatan bagi
amputee transtibial dalam berjalan secara maksimal.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 43
3. Ergonomis/kesehatan
Pergelangan kaki prosthetik yang ergonomis menggunakan socket PTB-SC yang
nyaman, SACH foot yang mudah diarahkan dan shank foot mampu menumpu
berat tubuh. Sikap berjalan yang fisiologis dengan pemanfaatan otot-otot kaki
yang minimal dan menjadikan amputee menjadi lebih merasa nyaman dan sehat.
4. Sosial budaya
Rancangan pergelangan kaki prosthetik mempertimbangkan sikap berjalan, ke-
biasaan sehari-hari, norma, tata nilai, keinginan, kepercayaan diri dan penerimaan
pada masyarakat disekitarnya. Semua unsur ini diselaraskan terhadap kemampu-
an, kebolehan dan keterbatasan amputee transtibial secara fisik maupun mental
yang dapat diterima dan tidak menimbulkan resistensi sosial pada masyarakat.
5. Hemat energi
Penggunaan komponen spherical plain bearing berdiameter inner 10 mm dan
outer 19 mm yang diterapkan pada rancangan pergelangan kaki prosthetik dan
tidak memakai daya listrik. Telapak kaki (foot) mampu melakukan gerakan multi
axis yang alamiah dengan sistem pegas (inward dan outward) menghasilkan
energi store-return. Meminimalkan tenaga otot dengan mengaktiviasi otot-otot
kaki dan pinggul sewaktu berjalan. Sistem pegas yang diterapkan disesuaikan
berat badan pengguna untuk menjaga agar tetap nyaman dan stabil dipakai.
6. Ramah lingkungan
Bahan yang dipakai dalam pembuatan kaki prosthetik endoskeletal bawah lutut
memakai bahan yang dapat di daur ulang dan tidak menimbulkan polutan atau
pencemaran dan limbahnya tidak berdampak negatif pada lingkungan sekitarnya.
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 44
7. Trend
Teknologi dan desain pergelangan kaki dirancang secara ergonomis untuk kaki
prosthetik endoskeletal bawah lutut seperti umumnya kaki bionic yang sesuai di
era jaman moderen.
2.8 Lingkungan Dalam Ruangan
Pertimbangan ergonomi adalah manusia dalam perancangannya, prosedur
kerja dan lingkungan kerja (Sanders dan McCormick, 1992; Kroemer, 2008). Metode
pendekatannya dengan mempelajari hubungan manusia, pekerjaan dan fasilitas pen-
dukungnya untuk mencegah kelelahan yang terjadi akibat sikap berjalan yang keliru.
2.8.1 Mikroklimat dalam ruangan
Mikroklimat dalam ruangan terdiri dari suhu udara, panas radiasi, kelemba-
ban dan gerakan udara (Grandjean, 2000; Kroemer, 2008). Pada musim panas suhu
ideal 22oC - 24oC dengan kecepatan udara 0,15 m/det - 0,4 m/det dan kelembaban
40% - 60% sepanjang tahun. Batas toleransi suhu tinggi 35oC - 40oC; perbedaan suhu
permukaan ≤ 4oC; kelembaban udara 40% - 50% dan kecepatan udara 0,2 m/det.
2.8.2 Intensitas penerangan dalam ruangan
Pencahayaan yang baik dan sesuai kebutuhan pekerjaan merupakan salah satu
faktor penting untuk meningkatkan kenyamanan beraktivitas. Suma’mur (2011),
penerangan ditentukan oleh (a) panas penerangan terhadap lingkungan; (b) pembagi-
an luminensi penglihatan; (c) pencegahan kesilauan di dalam ruang; (d) arah sinar;
dan (e) warna dinding ruangan. Rentang penerangan untuk pekerjaan setengah teliti
170 lux – 350 lux dan pekerjaan teliti dengan ≥ 350 lux (Manuaba, 2005b; 2005c).
-
UNIVERSITAS UDAYANA | 45
2.8.3 Kecepatan angin dalam ruangan
Gerakan udara di ruangan memberi pengaruh kepada suhu. Agar gerakan
udara tidak menimbulkan yang tidak diinginkan, dianjurkan gerakan udara di dalam
ruangan pada kondisi tertentu tidak lebih dari 0,2 m/detik (Manuaba, 2005c).
2.9 Analisis Umur Ekonomis Produk
Analisis ekonomi pada ergonomi terhadap aktivitas dengan penghematan
biaya bahan baku, biaya produksi dan menentukan umur ekonomis. Hery (2009),
menjelaskan bahwa umur ekonomis adalah jangka waktu atau periode dari umur fisik
suatu produk yang masih memberikan keuntungan dan dimanfaatkan sebagai aktiva
tetap (masa manfaat) dan juga berarti sebagai jumlah unit produksi (output) atau
jumlah jam operasional (jasa) yang diharapkan dari aktiva.
Umur ekonomis aktiva dapat dinyatakan baik berdasarkan faktor estimasi
waktu maupun faktor estimasi penggunaan. Faktor waktu dapat berubah periode
bulanan atau tahunan. Sedangkan faktor pemakaian berupa jumlah jam operasional
atau jumlah unit produksi (output) yang dihasilkan dari aktiva tetap. Berdasarkan
waktu yang dilampaui atau tingkat pemakaian inilah alokasi terhadap nilai perolehan
aktiva dilakukan dengan suatu tarif alokasi yang telah ditentukan.
Sugiono et al. (2009), menjelaskan estimasi umur ekonomis memerlukan per-
timbangan manajemen yang berdasarkan pengalaman terhadap jenis aktiva. Cara
penentuan estimasi umur ekonomis sifatnya sama dengan menentukan estimasi nilai
residu berdasarkan pertimbangan subyektif. Nilai sisa sifatnya adalah subyektif, di
mana sangat tergantung pada kebijakan manajemen mengenai penghentian aktiva
tetap, dan juga tergantung pada kondisi pasar serta faktor lainnya.