BAB II KAJIAN TEORIeprints.ung.ac.id/2335/5/2013-1-87201-231409010-bab2... · 2014-02-06 ·...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORIeprints.ung.ac.id/2335/5/2013-1-87201-231409010-bab2... · 2014-02-06 ·...
6
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Konsep Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial merupakan proses wajar dan akan berlangsung terus
menerus, namun tidak semua perubahan sosial mengarah ke perubahan yang positif,
pasti akan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat. Membicarakan
perubahan sosial, tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan perubahan budaya.
Perubahan sosial (social change) dan perubahan kebudayaan (cultural change) dapat
dipisahkan untuk keperluan teori, akan tetapi di dalam kehidupan nyata, keduanya
tidak terpisahkan. Kebudayaan dihasilkan oleh masyarakat, dan tidak ada masyarakat
yang tidak berkebudayaan. Budaya ada karena adanya masyarakat. Perbedaan
pengertian antara perubahan sosial dan perubahan budaya terletak pada pengertian
masyarakat dan budaya yang diberikan. Tetapi pada umumnya, perubahan-perubahan
budaya menekankan pada nilai, sedangkan perubahan sosial pada sistem
pelembagaan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat (Usman Pelly dkk,
1994 :189).
Teori evolusioner menganggap bahwa perubahan sosial melalui tahapan-
tahapan tertentu yang semua masyarakat akan melalui ataupun mengikutinya.
Perubahan terus berjalan terus, sampai suatu saat keujung perubahan, yang
7
merupakan batasan akhir perubahan sosial (Harston dalam M. Zaini Hasan dkk, 1996
: 231).
Berikut ini adalah beberapa pendapat para ahli tentang perbubahan sosial
yaitu :
Menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 1982 : 263)
mengatakan perubahan sosial adalah suatu perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang
mempengaruhi sistem sosialnya, temasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan
pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto (1982 : 261) merumuskan perubahan sosial adalah “segala
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatau masyarakat, yang
memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan
pola-pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat”.
Kingsley Davis (dalam Soerjono Soekanto, 1982 : 262) mengartikan
perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur
dan fungsi masyarakat. Misalnya timbulnya pengorganisasian buruh dalam
masyarakat kapitalis telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam
hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya menyebabkan
perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik. Di sisi lain,
Kingsley Davis (dalam M. Zaini Hasan dkk, 1996 : 85) mengatakan bahwa
perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur
masyarakat. Lebih lanjut lagi Kingleys Davis (dalam Soerjono Soekanto,
2002 : 308) mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari
perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua
bagiannya yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan
8
seterusnya bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan
organisasi sosial.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis mengambil suatu kesimpulan
bahwa terdapat pengertian yang sama tentang perubahan sosial yaitu perubahan-
perubahan yang terjadi pada suatu truktur dan lembaga-lembaga kemasyarakatan di
dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat.
Menurut Maclver (dalam Soerjono Soekanto, 1982 : 263) mengatakan
perubahan sosial adalah “sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial
(social relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium)
hubungan sosial”.
Menurut Herbert Spencer (dalam M. Zaini Hasan dkk, 1996 : 231)
mengatakan bahwa “perubahan sosial mengantar kehidupan manusia ke arah yang
lebih kompleks”.
Sedangkan Auguste Comte (dalam M. Zaini Hasan dkk, 1996 : 232) seorang
ahli sosiologi prancis yang sering pula disebut sebagai pendiri sosiologi,
berpendapat bahwa perubahan sosial dapat diciri dari perkembangan
masyarakat melalui 3 tahap. Tahap-tahap yang dimaksud 1) tahap teologis
(theological stage) yaitu tahap yang didasarkan atas nilai-nilai agamis, 2)
tahap metafisik (methaphisical stage) merupakan tahap peralihan dari tahap
percaya atas adikodrati tergeser oleh nilai-nilai budaya, dan 3) tahap positif
atau ilmiah (positive of scientific stage) suatu tahap dimana masyarakat
9
berkeyakinan akan adanya prinsip-prinsip ilmiah dalam perubahan
masyarakat.
Menurut J.L. Gillin dan J.P. Gillin (dalam Soerjono Soekanto, 1982 : 263)
mengatakan “perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup
yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan
materil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat”.
Secara singkat Samuael Koenig (dalam Soerjono Soekanto, 1982 : 263)
mengatakan bahwa “perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang
terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern
maupun sebab-sebab eksten”.
Dari beberapa penjelasan para ahli di atas penulis mengambil sebuah
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah suatu perubahan-
perubahan yang terjadi dalam pola-pola kehidupan sosial yang menyangkut struktur
masyarakat, hubungan-hubungan dalam masyarakat, kendisi geografis, kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya bahkan perubahan-perubahan dalam
bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial yang merujuk ke arah yang lebih
kompleks yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab ekstrn.
Sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari, acap kali tidak mudah untuk
menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan
karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak
10
mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam suatu masyarakat. Dengan
demikian, walaupun secara teoritis dan analitis pemisahan antara pengertian-
pengertian tersebut dapat dirumuskan, dalam kehidupan nyata garis pemisah tersebut
sukar dapat dipertahankan. Hal yang jelas adalah perubahan-perubahan sosial dan
kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu keduanya bersangkut-paut
dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu
masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Pada dewasa ini proses-proses pada perubahan sosial dapat diketahui dari
adanya ciri-ciri tertentu, yaitu sebagai barikut :
a. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap
masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara
cepat.
b. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakat tertentu, akan diikuti
dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya. Karena
lembaga sosial tadi sifatnya interdependen, maka sulit sekali untuk
mengisolasi perubahan pada lembaga-lembaga sosial tertentu saja.
c. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi
yang bersifat sementara karena berada di dalam penyesuaian diri.
Disorganisasi akan diikuti oleh suatu organisasi yang mencakup pemantapan
kaidah-kaidah dan nilai-nilai lain yang baru.
11
d. Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang
spiritual saja, karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan timbal balik
yang sangat kuat.
Peruahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk,
yaitu sebagai berikut :
1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama dan rentetan-rentetan
perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat dinamakan evolusi. Pada
evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana ataupun kehendak
tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha-usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, kondisi-kondisi
baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-
perubahan tersebut tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa-peristiwa di dalam
sejarah masyarakat yang bersangkutan.
Sementara itu perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung dengan
cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat
(yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan revolusi. Unsur-unsur
pokok revolusi adalah adanya perubahan yang cepat, dan perubahan tersebut
mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat. Di dalam
revolusi perubahan-perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu atau
12
tanpa rencana. Ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi,
sebenarnya bersifat relatif karena revolusi dapat memakan waktu yang lama.
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang
tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan model
pakaian misalnya tak akan membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat secara
keseluruhan karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan, dan kepadatan penduduk di Pulau Jawa telah melahirkan
berbagai perubahan-perubahan yang besar (Soerjono Soekanto, 1982 : 269-277).
Untuk memahami perubahan yang terjadi dalam masyarakat penting
dikemukakan penyebab dari perubahan-perubahan tersebut. Secara umum penyebab
dari perubahan sosial budaya dibedakan atas dua golongan besar, yaitu :
1. Perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri
a. Perkembangan ilmu pengetahuan
Pengetahuan yang makin luas menghasilkan teknologi canggih yang
kemudian mengubah kehidupan manusia. Jika pada zaman dahulu manusia mencari
makan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan makanan, maka saat ini
menanamnya. Jika dahulu manusia bertempat tinggal di gua-gua, di rumah-rumah
dengan dinding alang-alang, maka saat ini manusia tinggal di rumah-rumah yang
13
lebih sehat dengan bermacam-macam model rumah. Jika dahulu alat angkut manusia
sangat sederhana, maka saat ini manusia telah menggunakan alat-alat transportasi
mesin yang canggih.
Penemuan-penemuan baru akibat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut,
baik berupa teknologi maupun berupa gagasan-gagasan yang menyebar ke
masyarakat, dikenal, diakui, dan selanjutnya diterima menimbulkan perubahan sosial.
b. Jumlah penduduk
Masalah kependudukan yang menimbulkan perubahan sosial budaya pada
umumnya adalah pertambahan penduduk akibat terjadinya urbanisasi, dan sebaliknya
berkurangnya jumlah penduduk pada daerah-daerah yang ditinggalkan oleh orang-
orang yang berubanisasi tersebut. Urbanisasi penduduk ke kota-kota besar atau
tempat-tempat lain yang menjanjikan harapan menimbulkan ketidakseimbangan
antara luas daerah beserta sumber-sumber kehidupannya dengan jumlah penduduk
yang ada. Akibatnya persaingan memenuhi kebutuhan hidup makin tinggi,
pengangguran bertambah, dan keamanan serta ketertiban menjadi rawan. Keadaan
seperti ini menimbulkan perubahan-perubahan baru seperti kehidupan sosial
kelompok berubah menjadi corak kehidupan yang lebih individual, munculnya
pekerjaan-pekerjaan baru seperti pencuci mobil dipinggir jalan, penyemer sepatu,
perantara calo-calo, dan lain-lainnya. Daerah-daerah yang ditinggalkan mengalami
14
kelambanan dalam pembangunan, antara lain karena tenaga-tenaga potensial yang
ada berubanisasi ke kota-kota (Brain drain).
c. Pertentangan dan pemberontakan
Pertentangan (konflik) dalam nilai dan norma-norma, politik, etnis dan agama
dapat menimbulkan perubahan sosial-budaya yang luas.
Pertentangan individu terhadap nilai-nilai dan norma-norma, serta adat-
istiadat yang telah berjalan lama akan menimbulkan perubahan bila individu-individu
tersebut beralih dari nilai, norma, dan adat kebiasaan yang telah diikuti selama ini.
2. Perubahan yang berasal dari luar masyarakat,
a. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Adanya interaksi langsung (tetap muka) antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya akan menyebabkan saling pengaruh. Di samping itu, pengaruh
dapat berlangsung pula melalui komunikasi satu arah, yakni komunikasi masyarakat
dengan media-media massa.
Interaksi budaya tidak menjamin timbulnya pengaruh satu budaya terhadap
budaya lainnya. Suatu masyarakat dapat saja menolak, atau menyeleksinya terlebih
dahulu baru kemudian menyerap unsur-unsur budaya yang sesuai.
15
b. Peperangan
Peperangan yang terjadi antara satu masyarakat dengan masyarakat lain
menimbulkan berbagai dampak seperti halnya dampak yang ditimbulkan oleh adanya
pemberontakan dan pertentangan-pertentangan. Akan tetapi dampak negatif yang
ditimbulkan oleh peperangan lebih dasyat karena peralatan perang biasanya lebih
canggih pula.
Di samping kedua faktor besar di atas, perubahan sosial budaya dapat terjadi
karena penyebab alam, misalnya terjadinya kebanjiran, angin topan yang memaksa
penduduk pindah ke pemukiman baru, yang tidak jarang berbeda situasi dan
kondisinya dari pemukiman yang lama sehingga memaksa penduduk pula untuk
menyesuaikan dirinya dengan keadaan alam, sosial dan budaya setempat (Usman
Pelly dkk, 1994 : 191-194).
Faktor yang menyebabkan perubahan sosial budaya dapat dibedakan atas dua
faktor, yakni yang bersumber dari masyarakat itu sendiri dan yang bersumber dari
lingkungan. Bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru,
konflik masyarakat, pemberontakan atau revolusi, merupakan faktor-faktor
lingkungan yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya adalah lingkungan
alam fisik, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain (Usman Pelly dkk,
1994 : 39).
Faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan adalah sebagai
berikut :
16
a. Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan :
1. Kontak dengan kebudayaan lain
2. Sistem pendidikan yang maju
3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk
maju.
4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang
5. Sistem lapisan masyarakat yang terbuka
6. Penduduk yang heterogen
7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
8. Orientasi ke muka
9. Nilai meningkatkan taraf hidup
b. Faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan :
1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain
2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat
3. Sikap masyarakat yang tradisionalistik
4. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau
vested interest
5. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada intergrasi kebudayaan
6. Prasangka terhadap hal-hal yang baru/asing
7. Hambatan ideologis
8. Kebiasaan
17
9. Nilai pasrah (Soerjono Soekanto, 1982 : 287).
2.2. Konsep Kebudayaan dan Perubahan Budaya
2.2.1. Konsep Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) buddhayah yang
merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan
diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya
kebudayaan berasal dari kata latin colera. Artinya mengelolah atau mengerjakan,
yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut, yaitu colera kemudian
culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia mengolah dan mengubah
alam.
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama
secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Selain itu, kebudayaan adalah suatu
sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat
tersebut (Paul B. Horton dkk, 1999 : 58).
Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang definisi kebudayaan adalah
sebagai berikut :
Menurut E.B. Tylor (dalam Antonius Atosokhi dkk, 2003 : 33)
mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan lain
18
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan
mencakup semua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai
anggota masyrakat.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Usman Pelly dkk, 1994 : 22) menulis kata
“kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak
“buddhi” yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat
diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.
Senada dengan Bekker (dalam Usman Pelly dkk, 1994 : 22) menduga bahwa
asal kata kebudayaaan berasal dari kata “Abhyudaya”, dari bahasa Sansekerta,
dan mengartikan secara singkat kebudayaan sebagai penciptaan, penerbitan
dan pengolaan nilai-nilai insani. Tercakup di dalamnya usaha menbudayakan
bahan alam mentah serta hasilnya. Di dalam bahan alam, alam diri dan alam
lingkungannya baik fisik maupun sosial, nilai-nilai diidentifikasikan dan
dikembangkan sehinggah sempurna. Membudayakan alam memanusiakan
manusia, menyempurnakan hubungan keinsanian merupakan kesatuan tak
terpisahkan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, terdapat kesamaan arti tentang
kebudayaan, sehingga penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa kata kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”, yaitu budi atau akal. Dengan demikian
kebudayaan adalah sesuatu yang telah dihasilkan oleh masyarakat, yang menyangkut
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
19
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2002 : 180)
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardji (dalam Soerjono
Soekanto, 1982 : 151) merumuskan “kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan
cipta masyarakat”. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh
manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat
diabadikan untuk keperluan masyarakat.
Menurut Kingsley Davis (dalam Soerjono Soekanto, 1982 : 266) mengatakan
“kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul
karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti panyampaian buah fikiran secara
simbolis dan bukan karena warisan yang berdasarkan keturunan”.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis mengambil suatu kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat yang mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul
karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti panyampaian buah fikiran secara
simbolis dan bukan karena warisan yang berdasarkan keturunan.
Menurut R. Linton (dalam Harsojo, 1999 : 92) mendefinisikan kebudayaan
adalah “konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur
pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu”.
20
Menurut C. Kluckhohn dan W.H Kelly (dalam Harsojo, 1999 : 92-93)
merumuskan kebudayaan adalah “pola hidup yang tercipta dalam sejarah, yang
eksplisit, implisit, rasional, irasional, dan nonrasional, yang terdapat pada setiap
waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia”.
Dari beberapa penjelasan tentang kebudayaan di atas, penulis mengambil
suatu kesimpulan bahwa bagi ilmu sosial, arti kebudayaan sangat luas, meliputi
seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang
harus didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat.
a. Unsur-unsur Kebudayaan.
Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi ke dalam suatu jumlah unsur
yang tidak terbatas jumlahnya. Unsur kebudayaan dari yang terkecil sampai kepada
yang merupakan gabungan yang terbesar, bersama-sama merupakan struktur
kebudayaan.
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar
maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat
sebagai kesatuan. Kluckhohn, dan juga ahli-ahli lain berpendapat bahwa ada tujuh
unsur yang dapat dijumpai dalam kebudayaan manapun di dunia, yaitu :
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (Pakaian, perumahan, alat-alat
rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi dan sebagainya)
21
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (Pertanian, peternakan,
sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya)
3. Sistem kemasyarakatan (Sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem
hukum, dan sistem perkawinan)
4. Bahasa (lisan maupun tertulis)
5. Kesenian (Seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya)
6. Sistem pengetahuan
7. Religi (Sistem kepercayaan).
Menurut Hoebel (dalam Paul B. Horton dkk, 1999 : 72) mengatakak bahwa
“unsur adalah suatu kesatun corak perilaku yang dipelajari dan dianggap tak dapat
diperkecil lagi, atau produk nyata yang dihasilkan oleh perilaku tersebut”.
Hal-hal di atas sebagai universal culture, karena merupakan unsur-unsur yang
sama dari kebudayaan, yang dapat ditemukan pada setiap kebudayaan mana pun juga.
Hal ini dapat dibedakan dengan sub-culture, yaitu kebudayaan khusus, yang
membedakan masyarakat yang satu dengan yang lain. Misalnya, kebudayaan Sunda,
kebudayaan Batak, kebudayaan Dayak dan lain sebagainya. Selain itu, ada juga
disebut counter culture, yaitu suatu kebudayaan yang berlawanan dengan kebudayaan
induk, seperti : kenakalan remaja, pencurian dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya
(Antonius Atosokhi dkk, 2003 : 38).
22
2.2.2. Konsep Perubahan Budaya
Perubahan budaya adalah suatu keadaan dalam masyarakat yang terjadi
karena pada suatu masyarakat sudah tidak adanya lagi unsur-unsur kesesuaian dalam
kebudayaan yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi
fungsinya bagi kehidupan. Semua terjadi karena adanya salah satu atau beberapa
unsur budaya yang tidak berfungsi lagi, sehingga menimbulkan gangguan
keseimbangan di dalam masyarakat. Hal-hal yang akan berubah dalam kebudayaan
yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat bahkan perubahan dalam
bentuk dan aturan-aturan organisasi sosial. Perubahan ini akan berjalan terus-menerus
tergantung dari dinamika masyarakatnya.
Perubahan budaya pada masyarakat biasanya ada yang disebabkan oleh
masyarakat itu sendiri, ataupun berasal dari masyarakat pendatang. Biasanya
penyebab perubahan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri terjadi akibat adanya
kelahiran, juga hal-hal baru serta media yang mereka lihat biasanya akan
menimbulkan pengaruh positif maupun negatif bagi masyarakat itu sendiri. Begitu
juga sebaliknya, dengan penyebap perubahan budaya yang diakibatkan dengan
datangnya masyarakat dari luar yang biasanya terjadi karena adanya bencana alam,
transmigrasi maupun lainnya. Mereka biasanya hanya mampu meninggalkan tempat
tinggalnya yang sebelumnya, tetapi sulit bagi mereka meninggalkan budaya yang
sudah ada dan menggantikannya dengan budaya yang baru. Salah satu contoh
perubahan yang dilakukan masyarakat atau penduduk yang datang dari desa ke kota
23
atau sebaliknya. Masyarakat di desa biasanya hanya meniru atau mengikuti budaya
yang dilakukan masyarakat dari kota tanpa memikirkan sisi positif dan negatifnya,
mereka hanya berfikir bahwa budaya kota itu lebih maju dan harus mereka jadikan
contoh, akibatnya mereka terkadang terjebak akan hal-hal negatif baru yang mereka
tidak ketahui sebelumnya. Begitu pula sebaliknya, penduduk kota yang merasa lebih
modern dan pintar akan teknologi biasanya cenderung pamer dengan budaya yang
mereka biasa lakukan tanpa berfikir dampak negatif dan positif bagi masyarakat desa.
Akibatnya tidak sedikit dari masyarakat desa justru meniru hal-hal buruk saja, tapi
banyak juga hal-hal baik yang mereka contoh. Hal inilah yang terkadang dapat
menimbulkan konflik dan perubahan kebudayaan pada masyarakat luas karena
adanya perbedaan pandangan kebudayaan. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan
zaman dan majunya IPTEK perbedaan pandangan tentang kebudayaan tersebut mulai
hilang dan surut. Hal ini disebabkan karena mereka ingin budaya yang mereka miliki
dapat disatukan dengan budaya-budaya dari kota dan dapat memperkaya budaya yang
ada pada masyarakat, seperti :
1. Gotong Royong
Gotong royong atau saling bantu-membantu merupakan salah satu bentuk
solidaritas khas masyarakat agraris tradisional. Masyarakat ini terkait satu sama lain
berdasarkan relasi sosial yang disebut dengan kepercayaan. Dalam pelaksanaanya
biasanya masyarakat menjalin sebuah kerja sama demi tujuan bersama. Dilihat secara
aspek sosiologis yang ditimbulkan oleh pola ini menjadikan masyarakat yang saling
24
hidup berinteraksi mempunyai jiwa persatuan dan kesatuan yang berlandaskan
dengan kebersamaan. Hal inilah yang menjadikan seluruh elemen masyarakat kuat
dalam konsolidasi diseluruh elemen masyarakat.
Gotong royong menjadikan kehidupan berkelompok manusia Indonesia lebih
berdaya dan sejahtera. Dengan gotong royong berbagai permasalahan kehidupan
bersama bisa terpecahkan secara mudah dan murah, demikian halnya dengan kegiatan
pembangunan masyarakat. Implementasi nilai gotong rotong dalam kehidupan
masyarakat terkandung makna kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kepedulian, dan
mengacu kepada kepentingan bersama.
Budaya gotong royong adalah cerminan perilaku yang menjadi ciri khas
bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Bilamana dilakukan kajian di seluruh wilayah
Indonesia, maka akan ditemukan praktek gotong royong tersebut dengan
berbagaimacam istilah dan bentuknya, baik sebagai nilai maupun sebagai perilaku.
Gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar
kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan pada masa-masa sibuk dalam aktivitas
yang memerlukan tenaga banyak, misalnya dalam rangka bercocok tanam. Untuk
keperluan itu, dengan adat sopan santun yang sudah tetap, seorang petani meminta
beberapa orang lain sedesanya, misalnya untuk membantu dalam mempersiapkan
sawahnya untuk masa penanaman yang baru. Petani tuan rumah hanya harus
menyediakan makan siang tiap hari untuk temannya yang datang membantu selama
25
pekerjaan berlangsung. Kompensasi lain tidak ada, tetapi yang minta bantuan tadi,
tiap saat bersedia apabila mereka memerlukan bantuannya.
Berikut beberapa pengertian gotong royong menurut para ahli yaitu :
Menurut Sakjoyo dan Pujiwati Sakjoyo (dalam Selvi S. Padeo, 2012 : 88)
mengemukakan gotong royong merupakan adat istiadat tolong menolong
antara warga dalam berbagai macam lapangan aktivitas sosial, baik
berdasarkan hubungan tetangga kekerabatan yang berdasarkan efisien yang
sifatnya praktis dan ada pula aktifitas kerja sama yang lain.
Menurut Koenjaraningrat (dalam Selvi S. Padeo, 2012 : 87) mengemukakan
gotong royong merupakan suatu konsep yang erat sangkut pautnya dengan
kehidupan masyarakat sebagai petani pada masyarakat agraris. Gotong royong
merupakan suatu sistem pengarahan tenaga tambahan dari luar keluarga untuk
mengisi kekurangan dalam rangka aktifitas produksi bercocok tanam.
Dari beberapa penjelasan para ahli di atas penulis mengambil suatu
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gotong royong adalah merupakan adat
istiadat tolong menolong dan bentuk kerja sama antara warga dalam berbagai macam
lapangan aktivitas sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
2. Konsep Masyarakat
Masyarakat adalah merupakan wadah untuk membentuk kepribadian diri
setiap warga kelompok manusia atau suku yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Selain itu, Masyarakat adalah kelompok manusia yang tinggal menetap dalam suatu
wilayah yang tidak terlalu jelas batas-batasnya, berinteraksi menurut kesamaan pola
26
tertentu, diikat oleh suatu harapan dan kepentingan yang sama, yang keberadaannya
berlangsung kontinyu, dengan suatu rasa identitas yang sama.
Dalam bahasa ingris masyarakat disebut society, yang berasal dari kata latin,
socius, yang berarti : teman atau kawan. Kata “masyarakat” berasal dari bahasa Arab,
syirk sama-sama menunjuk pada apa yang kita maksud dengan kata masyarakat,
yakni sekelompok orang yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu
proses pergaulan, yang berlangsung secara berkesinambungan. Pergaulan ini terjadi
karena adanya nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur serta harapan dan
keinginan yang merupakan kebutuhan bersama. Hal-hal yang disebut terakhir inilah
merupakan tali pengikat bagi sekelompok orang yang disebut masyarakat (Antonius
Atosokhi Gea dkk, 2003 : 30-31).
Berikut beberapa pendapat dari para ahli mengenai konsep masyarakat adalah
sebagai berikut :
Menurut Bouman (dalam M. Zaini Hasan dkk, 1996 : 12) mengatakan bahwa
“masyarakat adalah pergaulan hidup yang akrab antara manusia, dipersatukan dengan
cara tertentu oleh hasrat-hasrat kemasyarakatan mereka”.
Menurut Horton (dalam M. Zaini Hasan dkk, 1996 : 12-13) mengatakan
masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif mandiri, yang hidup
bersama-sama dalam waktu relatif lama mendiami kawasan tertentu, memiliki
kebudayaan relatif lama, serta melakukan aktivitas yang cukup lama pada
kelompok tersebut. Lebih lanjut Horton (dalam M. Zaini Hasan dkk, 1996 :
247) mengatakan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang hidup
27
dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki pembagian kerja yang berfungsi
khusus dan saling tergantung (interdependent), dan memiliki sistem sosial
budaya yang mengatur kegiatan para anggota, yang memiliki kesadaran akan
kesatuan dan perasaan memiliki, serta mampuh untuk bertindak dengan cara
yang teratur.
Menurut Linton (dalam Usman Pelly dkk, 1994 : 28) mengemukakan bahwa
“masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama dan bekerjasama,
sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai salah satu kesatuan
sosial dengan batasan-batasan tertentu”.
Menurut Maclver (dalam Harsojo, 1999 : 127) mengatakan masyarakat adalah
“satu sistem dari cara kerja dan prosedur, dari otoritas dan saling bantu-membantu
yang meliputi kelompok-kelompok dan pembagian sosial lain, sistem dan
pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan”.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas penulis mengambil suatu kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup
bersama-sama untuk mendiami wilayah tertentu dan saling bergaul serta mempunyai
kebudayaan, dan memiliki pembagian kerja, dalam waktu relatif lama, saling
tergantung (interdependent), memiliki sistem sosial budaya yang mengatur kegiatan
para anggota, serta memiliki kesadaran akan kesatuan dan perasaan memiliki,
mampuh untuk bertindak dengan cara yang teratur, dan bekerja sama dalam
melakukan aktivitas yang cukup lama pada kelompok tersebut.
28
Menurut M. J. Herskovitz (dalam Usman Pelly dkk, 1994 : 28) mengatakan
bahwa “masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan yang mengikuti
satu cara hidup tertentu”. Kemudian J.L. Gillin dan J.P. Gillin (dalam Abu Ahmadi,
1986 : 56) mengatakan bahwa “masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar
dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama”.
Menurut Banks, Clegg dan Stewart (dalam M. Zaini Hasan dkk, 1996 : 79)
mengatakan bahwa “masyarakat adalah suatu kelompok hidup manusia disuatu
wilayah tertentu, yang telah berlangsung dari generasi ke generasi, dan sedikit banyak
independen (self sufficient) terhadap kelompok hidup lainnya”.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Usman Pelly dkk, 1994 : 29)
mengemukakan masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang
terikat oleh rasa identitas bersama. Lebih lanjut Koentjaraningrat (2002 : 144)
mendefinisikan masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling
“bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”.
Menurut Kingsley Davis (dalam Soerjono Soekanto, 1982 : 266) mengatakan
masyarakat adalah “sistem hubungan dalam arti hubungan antara organisasi-
organisasi, dan bukan hubungan antar sel-sel”.
Dari beberapa penjelasan para ahli di atas, penulis mengambil sebuah
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah sekelompok manusia
yang telah cukup lama hidup dalam suatu wilayah tertentu dan saling bekerja sama,
memiliki pembagian kerja sehingga mereka dapat berorganisasi serta mempunyai
29
kebiasaan-kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
2.2.3. Faktor-faktor Perubahan Budaya
Perubahan budaya suatu bangsa dari masa ke masa disebabkan karena budaya
hidup, tumbuh, berkembang, dan kerena itu selalu berubah. Gerak perubahan ini
tampak lambat pada bangsa-bangsa sederhana dan cepat pada bangsa-bangsa modern.
Perubahan-perubahan ini desebabkan, di samping keadaan alam dan perbedaan ras,
maka di samping itu pula karena adanya hubungan-hubungan yang baru. Mungkin
pada suatu saat ada penemuan yang besar pengaruhnya bagi pertumbuhan
kebudayaan.
Tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Setiap individu dan setiap generasi
melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kepribadian mereka dan sesuai dengan
tuntutan zamannya. Terkadang diperlukan benyak penyesuaian, dan banyak tradisi
masa lampau ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan tuntutan zaman baru. Generasi
baru tidak hanya mewarisi suatu edisi kebudayaan baru, melainkan suatu versi
kebudayaan yang direvisi.
Kebudayaan pun mengalami perubahan. Perubahan tersebut disebebkan oleh
beberapa faktor. Pertama, Perubahan yang disebabkan dalam lingkungan alam,
misalnya perubahan iklim, kekuranagan bahan makanana atau bahan bakar, atau
30
berkurangnya jumlah penduduk. Semua ini memaksa orang untuk beradaptasi.
Mereka tidak dapat mempertahankan cara hidup lama, tetapi harus manyesuaikan
situasi dan tantangan baru.
Kedua, perubahan yang disebabkan oleh adanya kontak dengan suatu
kelompok masyarakat yang memilki norma-norma, nilai-nilai, dan teknologi yang
berbeda. Kontak budaya bisa terjadi secara damai, bisa juga tidak, bisa dengan
sukarela, bisa juga dengan terpaksa.
Ketiga, perubahan yang terjadi karena discovery (penemuan) dan invention
(penciptaan bentuk baru). Discovery adalah suatu bentuk penemuan baru yang berupa
persepsi mengenai hakikat suatu gejala atau hakikat hubungan antar dua gejala atau
lebih. Discovery biasanya membuka pengetahuan baru tentang sesuatu yang pada
dasarnya sudah ada. Misalnya, penemuan penemuan bahwa bukan matahari yang
berputar mengelilingi bumi, melainkan bumilah yang mengelilingi matahari
membawa perubahan besar dalam pemahaman manusia tentang alam semesta.
Invention adalah penciptaan bentuk baru dengan mengkombinasikan kembali
pengetahuan dan meteri-materi yang ada. Misalnya penciptaan mesin uap, pesawat
terbang.
Keempat, perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau suatu bangsa
mengadopsi beberapa elemen kebudayaan meterial yang telah dikembangkan oleh
bangsa lain di tempat lain. Pengadopsian elemen-elemen kebudayaan yang
bersangkutan dimungkinkan oleh yang disebut difusi, yakni proses persebaran unsur-
31
unsur kebudayaan dari masyarakat yang satu ke masayarakat yang lain. Pengadopsian
seperti ini membawa perubahan-perubahan budaya terhadap kehidupan masyarakat.
Kelima, perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara
hidupnya dengan mengadopsi suatu pengetahuan atau kepercayaan baru, atau karena
perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas. Perubahan ini
biasanya berkaitan dengan munculnya pemikiran ataupun konsep baru dalam bidang
filsafat, IPTEK dan agama (dalam Rafael Raga Maram, 2007 : 50-52).
Faktor-faktor yang mendorong dan mempengaruhi perubahan budaya meliputi
hal-hal sebagai berikut :
a. Perubahan lingkungan alam (musin, iklim)
b. Perubahan kependudukan (jumlah, penyebaran, dan kerapatan penduduk)
c. Perubahan struktur sosial (organisasi pemerintahan, politik, Negara, dan
hubungan internasional)
d. Perubahan nilai dan sikap (sikap mental penduduk, kedisiplinan, dan
kejujuran para pemimimpin).
Dalam hubungan antara kebudayaan-kebudayaan satu dengan yang lain, sudah
jelas kebudayaan yang datang dari luar bisa mengubah sifat atau corak kebudayaan
yang asli. Dalam keadaan semacam ini maka ada yang disebut dengan asimilasi,
akulturasi, adaptasi dan lain-lain.
32
Asimilasi yaitu suatu proses pencampuran kebudayaan dari kelompok-
kelompok manusia yang berbeda-beda kebudayaanya, saling bergaul secara insentif
sehingga menimbulkan budaya baru. Dengan kata lain, bercampur menjadi satu atau
meninggal sehingga terjelma suatu kebudayaan baru dari hasil pencampuran itu.
Contoh kebudayaan Hindu-Bali.
Akulturasi yaitu suatu proses dimana suatu kelompok manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari kebudayaan asing yang berbeda,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun mempengaruhi kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri.
Adaptasi yaitu bersedia menerima kebudayaan bangsa asing dengan tidak
mengerbankan kebudayaan sendiri (dalam Abu Ahmadi, 1986 : 94).
Selain itu, ada 2 faktor terjadinya perubahan budaya adalah :
1. Faktor Intern
a. Perubahan Demografis
Perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung terus bertambah
dan akan mengakibatkan terjadinya perubahan diberbagai sektor kehidupan, contoh di
bidang perekonomian : pertambahan penduduk akan mempengaruhi persedian
kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
33
b. Konflik Sosial
Konflik sosial dapat mempengaruhi terjadinya perubahan kebudayaan dalam
suatu masyarakat. Contoh konflik kepentingan antara kaum pendatang dengan
penduduk setempat di daerah transmigrasi, untuk mengatasinya pemerintah
mengikutsertakan penduduk setempat dalam program pembangunan bersama-sama
para transmigran.
c. Bencana Alam
Bencana alam yang menimpa masyarakat dapat mempengaruhi perubahan.
contoh bencana banjir, longsor, letusan gunung berapi masyarakat akan dievakuasi
dan dipindahkan ketempat yang baru, disanalah mereka harus beradaptasi dengan
kondisi lingkungan dan budaya setempat sehingga terjadi proses asimilasi maupun
akulturasi.
d. Perubahan Lingkungan Alam
Perubahan lingkungan ada beberapa faktor misalnya pendangkalan muara
sungai yang membentuk delta, rusaknya hutan karena erosi atau perubahan iklim
sehingga membentuk tegalan. Perubahan demikian dapat mengubah kebudayaan hal
ini disebabkan karena kebudayaan mempunyai daya adaptasi dengan lingkungan
setempat.
34
2. Faktor Ekstern
a. Perdagangan
Indonesia terletak pada jalur perdagangan Asia Timur dengan India, Timur
Tengah bahkan Eropa Barat. Itulah sebabnya Indonesia sebagai persinggahan
pedagang-pedagang besar selain berdagang mereka juga memperkenalkan budaya
mereka pada masyarakat setempat sehingga terjadilah perubahan budaya dengan
percampuran budaya yang ada.
b. Penyebaran Agama
Masuknya unsur-unsur Agama Hindu dari India atau Budaya Arab bersamaan
proses penyebaran Agama Hindu dan Islam ke Indonesia demikian pula masuknya
unsur-unsur budaya barat melalui proses penyebaran Agama Kristen dan
Kolonialisme.
c. Peperangan
Kedatangan bangsa barat ke Indonesia umumnya menimbulkan perlawanan
keras dalam bentuk peperangan, dalam suasana tersebut ikut masuk pula unsur-unsur
budaya bangsa asing ke Indonesia.
http://alukmalay.blogspot.com/2013/04/perubahan-kebudayaan-dan-faktor-
faktor.html