BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1 ... · 1319 KUHPerdata hanya disebutkan...
Transcript of BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1 ... · 1319 KUHPerdata hanya disebutkan...
-
14
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep dan Pengertian Perjanjian
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract of
law, sedangkan dalam bahasa Belanda adalah overeenscomstrecht. Pasal 1313
KUHPdt mengatakan “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Subekti17
memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan KRMT Tirtodingingrat18
mendefinisikan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan
pada kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. Sudikno
Mertokodumo menyimpulkan bahwa perjanjian terdiri dari19 :
a. Ada pihak-pihak
Sedikitnya dua orang atau lebih, pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat
manusia atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum seperti yang di tetapkan oleh Undang-undang.
17Subekti Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 1996, hal. 1 18 A. Qirom Meliala, Pokok-pokok Hukum Perikatan beserta perkembanganya, Liberty, Yogyakarta 1985, hal. 8 19 Sudikno Mertokoesumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta 1999, hal. 82
-
15
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak
Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukan merupakan
suatu perundingan. Dalam perundingan umumnya dibicarakan mengenai
syarat-syarat dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan.
c. Ada prestasi yang akan di laksanakan
Prestasi merupakan kewajiban yang harus di penuhi oleh pihak sesuai
dengan syarat – syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban untuk
membayar harga barang dan penjual berkewajiban untuk menyerahkan
barang.
d. Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan
Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan dalam Undang-undang yang
menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Dari syarat-syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.
Syarat-syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan
kewajiban pokok.
f. Ada tujuan yang hendak di capai
Tujuan yang hendak di capai dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu
sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan atas
kebebasan berkontrak akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan tidak di larang oleh Undang-undang.
-
16
2. Jenis Perjanjian
Jenis perjanjian dapat di lihat dari sumber hukumnya, namanya,
bentuknya, maupun aspek kewajibanya. Contoh nya adalah :
a. Perjanjian menurut sumber hukumnya
Merupakan penggolongan perjanjian yang di dasarkan pada tempat
perjanjian itu di temukan. Sudikno Mertoekusumo menggolongkan
perjanjian dari segi hukumnya. Ia membagi perjanjian menjadi 5
yaitu :
1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, contohnya
adalah perkawinan
2) Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, contohnya
pengalihan benda atau hak milik
3) Perjanjian obligator yang menimbulkan kewajiban
4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, disebut sebagai
bewijsovereenkomst
5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, disebut dengan
publieck rechtelijke overeenkomst
b. Perjanjian menurut namanya
Ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum dalam pasal
1319 KUHPerdata hanya disebutkan dua macam kontrak menurut
namanya, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjnjian
inominaat (tidak bernama). Yang termasuk dalam perjanjian
inominaat adalah tukar-menukar-menukar, sewa-menyewa,
persekutuan perdata dan lain sebagainya. Sedangkan perjanjian
-
17
innominaat seperti perjanjian yang tumbuh dan timbul dalam
masyarakat.
c. Perjanjian menurut bentuknya
Walaupun tidak di sebutkan secara jelas dalam KUHPerdata, tetapi
dapat di simpulkan bahwa menurut bentuknya dapat dibagi menjadi
dua yaitu tertulis dan tidak tertulis. Perjanjian secara lisan adalah
pejanjian yang dibut secara lisan atu kesepakatan kedua belah pihak
(pasal 1320 KUHPerdata) sedangkan perjanjian tertulis adalah
perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang di tuangkan dalam
bentuk tulisan.
d. Perjanjian berdasarkan sifatnya
Perjanjian ini dibagi menjadi empat yaitu pertama perjanjian
kebendaan perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang ditimbulkan
hak kebendaan. Sedangkan kedua perjanjian obligator adalah
perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban. Kemudian yang
ketiga adalah perjanjian yang bersifat pokok, merupakan perjanjian
yang utama yaitu perjanjian utang-piutang. Yang terakhir adalah
perjanjian yang bersifat accesoir adalah merupakan perjanjian
turunan atau perjanjian tambahan dari perjanjian pokok.20
e. Perjanjian timbal balik
Jenis perjanjian ini dapat dilihat dari hak dan kewajibanya.
Perjanjian ini dibagi menjadi dua macam yaitu yang pertama
20 Salim H.S . Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyususnan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta 2003, hal. 28
-
18
perjanjian timbal balik tidak sempurna, perjanjian ini hanya
menimbulkan kewajiban pokok bagi salah satu pihaknya, sedangkan
pihak lainya wajib melakukan sesuatu prestasi. Sedangkan jenis
perjanjian timbal balik yang kedua adalah perjanjian sepihak ini
merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajibanya
hanya pada satu pihak.21
3. Asas- Asas dalam Perjanjian
Menurut Peter Mahmud Marzuki22 aturan-aturan hukum yang
menguasai perjanjian sebenarnya merupakan dasar dari filosofis yang
terdapat pada asas hukum secara umum. Kaitanya dengan asas hukum
perjanjian terdapat empat macam asas yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebsan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham
individualism yang lahir pada zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaissance (dan
semakin ditumbuh kembangkan pada zaman Aufklarung melalui
antara lain ajaran-ajaran Hugo De Groot (1583-1645), Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778) . Perkembangan ini mencapai puncaknya
21 Ibid, hal. 29 22 Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak , majalah Yuridika vol 18 no.3 2003 hal. 214-222
-
19
setelah periode Revolusi Perancis.23 Menurut paham individualisme
setiap orang berhak untuk memperoleh apa yang di kehendaki
sementara itu dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan
dalam asas kebebasan berkontrak. Dalam pengaturan Buku II BW
yang merupakan sistem tertutup atau dengan kata lain bersifat
memaksa dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan
yang ada di dalam buku II BW ini. Berbeda dengan pengaturan buku
III BW yang merupakan sistem terbuka atau sebagai pengatur atau
pelengkap saja, karenanya buku II BW ini memberikan keleluasaan
kepada pihak-pihak untuk mengatur sendiri pola hukumnya. Sistem
terbuka ini dapat dilihat dari pasal 1338 (1) BW yang menjelaskan
bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Subekti24 menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah jalan
menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka “perjanjian”.
Bahwa pasal 1338 ayat (1) seolah-olah membuat satu pernyataan
bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan
mengikat kita sebagai mengikatnya undang-undang. Sutan Remy
Sjahdeini25 asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian
Indonesia meliputi ruang lingkup:
1) Kebebasan untuk membuat atau tidak suatu perjanjian.
23 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesi, Jakarta 1993, hal.75 24 Subekti, Aneka Perjanjian, Cet keenam, Alumni, Bandung 1995, hal.4-5 25 Sutan Remy Sjahdeini Op, Cit, hal 47.
-
20
2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa akan melakukan
pejanjian.
3) Kebebasan untuk memilih atau menentukan kausa dari
perjanjian yang akan dibuat.
4) Kebebasan untuk menentukan ojek perjanjian.
5) Kebebasan untuk menentukan bentuk dari perjanjian.
6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan-
ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.
Menurut penulis bahwa kebebasan berkontrak harus dilihat
secara keseluruhan, terlebih kepada keseimbangan posisi pihak-
pihaknya. Pendapat penulis ini juga diperkuat dengan pendapat
Konrad Zwieght dan Hein Kotz26 yang menyatakan bahwa
kebebasan berkontrak yang sebenarnya akan eksis jika pihakya
memiliki keseimbangan, secara ekonomi maupun sosial.
Demikian juga golongan ekonomi yang luas memiliki peluang
besar untuk mendominasi terhadap golongan ekonomi yang lemah.
Ada pula faktor yang membatasi atau mempengaruhi kebebasan
berkontrak, misalnya:27
1) Semakin berpengaruhnya ajaran itikad baik dimana ikatan baik
tidak hanya pada pelaksanaan perjanjian tetapi juga harus ada
pada saat dibuatnya suatu perjanjian.
26 A.G Guest, Konrad Z weight & Hein Kotz dalam Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI, Pascasarjana 2003 hal. 1-2 27 Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal.2
-
21
2) Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden atau undue influence)
Setiawan28 menyatakan bahwa pembatasan kebebasan
berkontrak dipengaruhi oleh:
1) Berkembangnya doktrin itikad baik
2) Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan
3) Makin banyaknya perjanjian baku
4) Berkembangnya hukum ekonomi
Sedangkan Purwahid Patrik29 menyatakan bahwa terjadinya
berbagai pembatasan perjanjian disebabkan oleh :
1) Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan
dagang, badan-badan hukum atau atau perseroan dan
golongan masyarakat lain
2) Terjadinya permasyarakatan keinginn adanya keseimbangan
antar-individu dan masyarakat yang tertuju kepada keadian
sosial
3) Timbulnya formalism perjanjian
4) Makin banyak peraturan dibidang hukum tata usaha Negara.
Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan30 pembatasan
kebebasan berkontarak akibat adanya :
28 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung 1992, hal. 179-180 29 Ridwan Khairandy, Loc, Cit. 30 Ibid. hal.3
-
22
1) Perkembangan masayarakat dibidang sosial ekonomi
2) Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi
kepentingan umum atau pihak yang lemah
3) Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan
adanya kesejahteaan sosial.
Sebagai asas yang universal, asas kebebasan berkontrak
diakui sebagai asas fundamental dalam hubungan kontraktual
para pihak. Dengan demikian yang harus dipahami bahwa asas
kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam pasal
1338 (1) BW tersebut harusnya dibaca dan dipahami dengan cara
berfikir dengan menempatkan posisi para pihak dalam keadaan
seimbang.
b. Asas Konsesualisme
Asas konsesualisme memiliki hubungan yang erat dengan asas
kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat
didalam pasal 1338 (1) BW. Subekti31 juga berpendapat bahwa asas
konssualisme terdapat dalam pasal 1320 jo 1338 BW. Jika terjadi
pelanggaran dalam ketentuan ini maka akan mengakibatkan
perjanjian itu menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai
undang-undang. Sedangkan Rutten32 menggaris bawahi bahwa
perjanjian itu sebenarnya pada umumnya dibuat bukan secara formal
31 Mariam Darus Badrulaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001 hal. 37 32 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan , Mandar Maju, Bandung 1994, hal.66
-
23
melainkan secara konsesual, dengan kata lain perjanjian itu selesai
karena persesuain kehendak atau consensus semata.
Dalam bahasa latin “Consensus” berarti sepakat, maka dari itu
pihak-pihak dalam sebuah perjanjian haruslah sepakat dengan apa
yang ingin mereka perjanjikan, dan degan adanya kata sepakat
tersebut maka timbulah suatu perjanjian, dengan kata lain perjanjian
lahir setelah adanya kata sepakat. Berlakunya asas ini bukan saja
memiliki daya kerja pada waktu perjanjian dilaksanakan, tetapi juga
sudah mulai bekerja pada waktu perjanjian itu dibuat artinya
perjanjian yang dibuat tanpa berdasarkan kesepakatan dapat segera
dimintakan pembatalan sehingga daya ikat perjanjian tersebut tidak
efektif.
Mengingat asas konsesualisme yang diakui oleh KUHPerdata
pada dasarnya termasuk sebagai syarat subjektif sehinggga daya
kerjanya tetap berlaku jika tidak dimintakan pembatalan, perlu ada
pembuktian yang menyatakan bahwa kesepakatan terjadi atas dasar
keterpaksaan. Keterpaksaan dapat terjadi akibat ketidakadilan bagi
salah satu pihak yang membuat perjanjian karena tidak sama
posisinya atau tidak mempunyai posisi tawar-menawar (bargaining
position) yang seimbang.
Biasanya kesepakatan terjadi dalam bentuk perjanjian baku yang
telah menjadi kewajaran dalam dunia bisnis. Didalam perjanjian
tersebut sangat kuat kemungkinan adanya kesepakatan sebagai suatu
kehendak yang bebas dimana salah satu pihak bebas menentukan
-
24
persyaratan, sedangkan kebebasan yang tersisa bagi pihak lain
hanya berupa pilihan antara menerima atau menolak (take it or leave
it) syarat-syarat perjanjian baku tersebut, padahal seharusnya
kesepakatan tidak dapat dipaksakan atau tidak dapat timbul yang
disebabkan ketiadaan pilihan bagi pihak lain selain harus
menerimanya.
Ridwan khairandy33 mengatakan bahwa asas konsensualisme
dan asas kebebasan berkontrak berada pada periode prakontrak,
sehingga lahir kontrak yang disepakati dengan adanya janji kemauan
yang timbul bagi para pihak untuk saling berprestasi dan ada
kemauan untuk saling mengikatkan diri. Menurut Konrad Zieght34
Konsensualisme merupakan bayangan dalam kebebasan
menyatakan kontrak, sehingga secara sendiri consensus merupakn
induk dalam pengikatan kontrak. Asas kekuatan mengikatnya
kontrak menjadi dasar penting bahwa didalam hukum kontrak
seseorang harus mematuhi janji.
Asas konsesualisme ini tercermin didalam pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.35
Konsensualisme juga merupakan bagian kesepakatan yang
disampikan dalam bentuk penerapan asas keseimbangan
(evenwhichstbeginsel) yang bermakna sebagai “keadaan pembagian
33 Ridwan Khairandy, Kekuatan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak, Universitas Indonesia, Jakarta 2011, hal. 37 34 Ibid 35 Ibid
-
25
beban di kedua sisi sehingga berada dalam keadaan seimbang”.
Makna konsensualisme dibatasi oleh kemampuan dan keyakinan
para pihak, serta mencapai keuntungan sesuai kesepakatan yang
dikehendaki secara proporsional. Hal demikian merupakan suatu
syarat kesepakatan yang seimbang.36
Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa teori yang
menentukan kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi, sehingga
saat itu pula perjanjian dianggap telah berlaku.37 Teori tersebut
diantaranya sebagai berikut.
1) Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance) yaitu
perjanjian terwujud pada saat para pihak bersama-sama
menemukan kesamaan antara kebutuhan para pihak yang
memberikan penawaran dan salah satu pihak lainnya menerima
penawaran. Adanya tawaran dan penerimaan merupakan
consensus yang sama diantara para pihak untuk memperoleh
kebutuhan yang diperjanjikan salah satu pihak. Ketika kedua
belah pihak menemukan konsensus dalam titik kesepakatan,
yang lainnya berupa karakteristik barang dan biaya, akan
menemukan konsensus atau kesepakatan.38
2) Teori Kehendak (wils theorie) yaitu kesepakatan dimulai ketika
para pihak mempertemukan kehendak masing-masing dan
kemudian dilanjutkan dengan komitmen untuk menjalankan
36 Ibid 37 Ibid 38 Dr. Agus Yudho Hernoko, Op. Cit., hal. 99
-
26
perjanjian sesuai dengan isi kehendaknya. Kehendak
dirumuskan secara tertulis dalam perjanjian, sehingga secara
konseptual perjanjian memberikan dasar untuk menciptakan
kehendak yang tertulis secara seimbang dan menjadikan
kehendak sebagai dasar hukum untuk melaksanakan kehendak
sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan.39
3) Teori Pernyataan (verklarings theorie) yaitu konsensus
dipertemukan pada saat adanya pernyataan yang disampaikan
kedua belah pihak. Pernyataan para pihak tersebut merupakan
dasar kemufakatan dalam pelaksanaan perjanjian. Ketika kedua
belah pihak menyatakan pernyataan atas kesepakatan dan
kepuasan dalam menemukan kehendaknya, maka keduanya
bersepakat. Ketiadaan pernyataan kehendak yang sama akan
mengurangi atau meniadakan kesepakatan itu sendiri.40
4) Teori Pengiriman (verzending theorie) yaitu konsensus
diwujudkan dalam adanya sikap untuk saling menyatakan
kehendak dalam suatu pernyataan yang sama melalui bentuk
pengiriman barang yang dinyatakan sama. Sebagai contoh,
ketika kehendak mengenai prinsip diwujudkan dengan tanda
tangan yang harus disampaikan secara tertulis dan dikirimkan
formulirnya, pengiriman tanda tangan adalah wujud kesepakatan
yang dikehendaki para pihak.41
39 Ibid 40 Ibid 41 Ibid
-
27
5) Teori Kotak Pos (mailbox theorie) yaitu kehendak disampaikan
secara sama dalam suatu sarana yang disepakati para pihak.
Ketika para pihak menyatakan kesepakatan diwujudkan dengan
saling mengirimkan dalam suatu sarana, sarana mempertemukan
kehendak adalah kesepakatan itu sendiri.42
6) Teori Pengetahuan (verneming theorie) yaitu kehendak
disepakati dengan memahami pengetahuan masing-masing para
pihak, sehingga sepakat telah terbentuk pada saat orang yang
menawarkan tersebut mengetahui bahwa penawarannya telah
disetujui oleh pihak lainnya, sehinggga yang menawarkan
seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima dan
diketahui pihak lainnya.43
7) Teori Penerimaan (ontvangs theorie) yaitu kesepakatan terjadi
pada saat kehendak yang dinyatakan itu diterima oleh pihak yang
menerima tawaran. Dengan kata lain, kata sepakat terbentuk
pada saat diterimannya jawaban oleh pihak yang kepadanya
telah ditawarkan perjanjian, karena sejak saat penerimaan
tersebut, semua pihak telah sepakat.44
8) Teori kepercayaan (vetrouwens theorie) yaitu kesepakatan
terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak (secara
objektif) diterima oleh pihak yang menawarkan. Dengan
42 Ibid., hal.107 43 Ibid. hal. 111. 44 Ibid. hal. 112.
-
28
demikian para pihak saling memahami dan mempercayai
kehendak yang akan diperjanjikan.45
9) Teori Ucapan (uitings theorie) yaitu kesepaktan kehendak
terjadi manakala pihak yang menerima penawaran telah
menyampaikan secara lisan menerima tawaran tersebut.46
10) Teori Dugaan yaitu teori yang bersifat subjektif di mana
kesepakatan dianggap sebagai saat terjadinya perjanjian adalah
pada saat pihak yang yang menerima tawaran telah mengirim
surat jawaban dan dia secara patut dapat menduga pihak lainnya
(pihak yang menawarkan) telah mengetaui isi surat itu.47
Perlu pula dicatat bahwa keseimbangan mempengaruhi
perjanjian yang sah. Artinya, perjanjian harus memenuhi syarat yang
ditentukan undang-undang, sehingga diakui oleh hukum (legalle
concluded contract)48 dalam hal demikian, kesepakatan merupakan
pemenuhan yang bersifat rasionalitas49 subjektif dan bergantung
pada kepentingan para pihak dalam kontrak.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda sebagaimana dimaksud didalam pasal
1338 KUHPerdata adalah semua perjanjian yang dibuat secara sah
45 Ibid. hal. 46 Ibid 47 Ibid 48 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1990, hal. 66 49 Rasional menurut Wikipedia merupakan sebuah aksi, keyakinan, atau keinginan yang rasional jika harus memilih. Rasionalitas merupakan konsep normative yang mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang dengan alasan seseorang untuk percaya, atau tindakan seseorang dengan alasan seseorang untuk bertindak.
-
29
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatknya, sehingga
adanya konsensus dari para pihak bersifat mengikat sebagaimana
layaknya undang-undang. Niewenhuis50 menyatakan bahwa
kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas
kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan
kemandirian kepada para pihak. Pada situasi tertentu daya
berlakunya di batasi oleh dua hal, yaitu:
1) Daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh itikad baik
sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) BW, bahwa
perjanjian itu harus dilaksanakan dengan baik.
2) Adanya overmacht atau force majeure (daya paksa) juga dapat
membatasi daya mengikatnya perjanjian terhadap para pihak
yang membuat perjanjian tersebut. Pada prinsipnya perjanjian
itu harus dipenuhi para pihak, jika tidak maka akan terjadi
wanprestasi dan bagi kreditur melekat hak mengajukan
gugatan, baik pemenuhan ganti rugi, maupun pembubaran
perjanjian. Namun jika ada overmacht dan force majeure, maka
gugatan kreditur akan dikesampingkan, karena tidak adanya
prestasi yang terjadi karena diluar kesadaran debitur.
Perjanjian-perjanjian yang lahir dari ketentuan buku III BW
pada umumnya merupakan perjanjian obligator, yang artinya
50 J.H Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Terjemahan Djasadin Saragih) Surabaya 1985, hal (selanjutnya disingkat J.H Niewenhuis III)
-
30
perjanjian itu pada dasarnya melahirkan kewajiban kepada pihak
yang membuatnya. Kekuatan mengikatnya perjanjian pada
prinsipnya mempunyai daya kerja (strekking) sebatas para pihak
yang membuatnya. Ini menunjukan bahwa hak yang lahir
merupakan hak perorangan yang bersifat relatif.51 Dapat disimak
dari ketentuan pasal 1317 BW yang menyatakan “lagi pula
diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkanya suatu janji guna
kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan
perjanjian, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau
suatu pemberian yang dilakukanya kepada seorang lain memuat
janji seperti itu.” Ketentuan lain yang menunjukan adanya perluasan
daya kerja (strekking) mengikatnya perjanjian, seperti terdapat
dalam pengaturan pasal 1318,1365, dan 1576 BW. Pasal tersebut
sebagai contoh menguatnya hak perorangan (personlijkrecht) yang
pada prinsipnya bersifat relatif (hanya mengikat para pihak) ternyata
dalam situasi tertentu menampakan sosok yang kuat. Kondisi in
disebut dengan verzakelijking atau menguatnya hak perorangan
serta menampakan ciri-ciri hak kebendaan.52
d. Asas Itikad Baik
Asas Itikad Baik disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) BW yang
berbunyi “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas
51 M. Isnaeni, Hopotek Pesawat Udara di Indonesiaa,Dharma Muda, Surabaya 1996 , hal. 32 (hak relative adalah suatu hak yang hanya dapat berlaku terhadap orang tertentu, atausuatu hak untuk menuntut sesuatu dari orang tertentu. 52 Soetojo Prawirohamdjojo dan Mareta Pohan, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya 1978, hal.16
-
31
beritikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur dan
debitur harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
pihak. Wirjono Prodjodikoro53 membagi itikad baik menjadi dua
macam, yaitu:
1) Itikad baik pada mulai berlakunnya suatu hubungan hukum.
Biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa
syarat-syarat yang diperlukan yang di butuhkan untuk hubungan
hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan
perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedangkan
untuk pihak yang beritikad tidak baik harus bertanggung jawab
dan menanggung resiko.
2) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban yang
bersangkutan dengan hubungan hukum tersebut. Titik berat
itikad baik disini lebih di fokuskan pada tindakan yang akan
dilaksanakan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai
pelaksana suatu hal.
Menurut Arthur S. Hartkamp54 ada dua model pengujian ada atau
tidaknya itikad baik dalam perjanjian, yaitu pengujian objektif
(objective test) yang dikaitkan dengan kepatutan yakni salah satu pihak
tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah bertindak
jujur padahal dia bertindak dengan tidak jujur. Kemudian pengujian
53 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata, Sumur, Bandung 1992, hal 56-62 54 Periksa Y.Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak dalam pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Program Pasca Sarjana Uiversitas Airlangga, Surabaya 2005, hal.39
-
32
secara subjektif (subjective test) pengujian ini dikaitkan dengan keadaan
ketidaktahuan.
4. Syarat-Syarat Perjanjian
Didalam pasal 1320 BW mengatakan bahwa suatu perjanjian sah
apabila memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a. Kesepakatan
Kesepakatan adalah dimana pihak-pihak pelaku perjanjian
menerima segala sesuatu yang timbul dari adanya perjanjian yang
mereka buat, baik itu hak dan kewajiban. Sedangkan J.H
Niewenhuis55 memberikan pengertian kesepakatan mengandung
pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak
masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan
pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan
pihak yang lain. Namun pernyataan menyetujui tidak selalu
diutarakan dengan tegas, melainkan dapat juga dinyatakan melalui
gerak-gerik tau hal lain yang mengungkapkan pernyataan
kehendak pihak-pihak.
Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak pihak-
pihak dibentuk oleh 2 unsur yaitu penawaran dan penerimaan.
Penawaran diartikan sebagai pernyataan kehendak yang
mengandung gagasan untuk membuat perjanjian.56 Sedangkan
penerimaan adalah pernyataan setuju atau tidak dari pihak lawan
55 J.H Niewenhuis-lll , Op. Cit , hal. 2 56 Setiawan, Op. Cit , hal. 50
-
33
yang membuat perjanjian.57 Kemudian dasar keterikatan
kontraktual ini berasal dari pernyataan kehendak, yang dibedakan
dalam dua unsur yaitu kehendak dan pernyataan.58 Untuk
menganalisis adanya dasar keterikatan kontraktual berlandaskan
pada kehendak atau pernyataan dapat dikaji dar perkembangan
tiga teori:
1) Teori Kehendak, menyatakan bahwa keterikatan kontraktual
baru ada hanya jika ada sejauh pernyataan berlandaskan pada
putusan kehendak yang sungguh-sungguh sesuai dengan itu.
Keberatan terhadap teori ini karena dalam lalu lintas hukum
sangat sulit untuk mengetahui apakah pernyataan yang dibuat
seseorang itu sesuai dengan kehendaknya. Sehingga selalu
menimbulkan pertanyaan apakah ada kepastian hukum
mengenai lahirnya keterikatan kontraktual.59
2) Teori Pernyataan, menyatakan bahwa seseorang itu terikat
dengan pernyataanya. Kelemahan dari teori ini apabila
terdapat pernyataan yang ternyata tidak sesuai dengan
kehendak.60
3) Teori Kepercayaan, merupakan teori jalan tengah yang
menjembatani kekurangan kedua teori sebelumnya. Teori ini
menyatakan yang menjadi landasan keterikatan kontraktual
57 Ibid. 58 Wirjono Projodikoro, Op. Cit , hal 38 59 J.H Niewenhuis III , Op. Cit , hal.8 60 Ibid.
-
34
adalah pernyataan yang selayaknya menimblkan kepercayaan
bahwa hal itu sesuai dengan putusan kehendak.61
b. Kecakapan
Kecakapan yang dimaksud dalam pasal 1320 BW adalah
kecakapan yang melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan
untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat
diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.62 Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar,
sebagai berikut:
1) Person (pribadi), diukur dari standard usia kedewsaan.
Kedewasaan biasanya diukur dari usia seseorang, walaupun
adanya perdebatan tentang batas usia minimum seseorang
dikatakan dewasa. dalam pasal 1330 BW jo 330 BW dikatakan
usia cakap seseorang adalah 21 tahun, namun pada sisi lain
usia kedewasaan seseorang juga mengacu pada usia 18 tahun
sebagaimana ditulis pasal 47 jo 50 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
2) Rechtpersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan.
Setelah dinyatakan mempunyai kewenangan hukum maka
diberikan kepada mereka kewenangan untuk melaksanakan
hak dan kewajiban. Menurut pasal 1329 BW “Setiap orang
61 Ibid. 62 Ibid, hal. 20
-
35
adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap”. Kemudian di dalam
pasal 1330 BW dinyatakan bahwa yang dimaksud tidak cakap
untuk membuat perjanjian adalah :
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang ditaruh di dalam pengampuan
c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Suatu Hal Tertentu
Yang dimaksud suatu hal tertentu atau objek tertentu adalah
prestasi yang menjadi pokok perjanjian tersebut. Untuk lebih
lanjut mengenai hal tertentu atau objek tertentu dapat dilihat dari
substansi pasal berikut :
1) Pasal 1332 BW mengatakan :
Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi pokok perjanjian.
2) Pasal 1333 BW mengatakan :
Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Jumlah
barang itu tidak perlu pasti, asal barang itu kemudian
jumlahnya dapat ditentukan atau dihitung.
-
36
3) Pasal 1334 BW mengatakan :
Barang yang baru aka nada pada waktu yang akan datang,
dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak
diperkenankan untukmelepaskan suatu warisan yang belum
terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal
mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang
yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi
pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan
pasal 169, 176, dan 178.
Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa
dalam perjanjian harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini
dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak
(prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak.
d. Kausa yang diperbolehkan
Terkait pengertian “kausa yang diperbolehkan” atau juga
dapat di terjemahkan “kausa yang halal” beberapa sarjana
memberikan pemikiran antara lain H.F.A Vollmar63 dan
Wirjono Prodjodikoro64 yang memberikan pengertian sebab
(kausa) sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian. Sedangkan
Subekti65 menyatakan bahwa sebab adalah isi perjanjian itu
63 H.F.A Vollmar , Hukum Benda Menurut KUHPerdata, Tarsito, Bandung 1990 , hal.160 64 Wirjono Prodjodikoro , Op. Cit. hal 35 65 Subekti , Op.Cit. hal. 20
-
37
sendiri, dengan demikian kausa merupakan prestasi dalam
kontra prestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak.
Pengertian kausa atau sebab sebagaimana dimaksud pasal
1320 BW syarat 4 harus dihubungkan dalam konteks pasal 1335
dan 1337 BW. Meskipun undang-undang tidak memberikan
penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan sebab atau
kausa, namun yang dimaksud adalam menujuk kepada hubungan
tujuan, yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup
perjanjian atau apa yang hendak dicapai para pihak saat
penutupan perjanjian.66 Didalam pasal 1335 BW ditegaskan
bahwa “suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat
dengan sebab palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.”
Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa
apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian tersebut
harus disertai itikad baik dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan
kesusilaan.
Selanjutnya dalam pasal 1337 BW ditegaskan bahwa “suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang olh undang-undang,
atau apabila bertentangan dengan desusilaan atau ketertiban
umum.” Berdasarkan dari kedua pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa perjanjian tidak mempunyai kekuatan
hukum apabila perjanjian tersebut :
66 J.H Niewenhuis-lll Op, Cit. hal 25
-
38
1) Tidak mempunyai kausa
2) Kausanya palsu
3) Kausanya bertentangan dengan undang-undang
4) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan
5) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum
5. Perkembangan Perjanjian Umum ke Perjanjian Baku
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu
contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda adalah
overeenscomstrecht. BW (pasal 1313 BW) memberikan pengertian
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Subekti67
memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan KRMT
Tirtodingingrat68 mendefinisikan bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum berdasarkan pada kata sepakat diantara dua orang atau
lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan
oleh undang-undang. Seperti yang telah diketahui diatas, perjanjian
mengenal 4 asas, yakni (1) asas kebebasan berkontrak, (2) asas
konsesualisme, (3) asas mengikatnya perjanjain, dan (4) asas itikad baik.
Dalam era globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat
saat ini, maka memicu tingginya frekuensi perjanjian yang terjadi dalam
67 Subekti, Op. Cit., hal. 1 68 A. Qirom Meliala, Op. Cit., hal. 8
-
39
sektor bisnis, hal demikianlah yang menjadi penyebab banyaknya
pelaku usaha membuat perjanjian baku dengan alasan kepraktisan,
menghemat biaya dan juga waktu. Perjanjian baku dibuat secara sepihak
oleh pelaku usaha, karena dibuat secara sepihak maka klausula atau isi
dari perjanjian tersebut ditentukan sepihak oleh pelaku usaha sehingga
dapat disebut klausula baku.
Klausula dapat mencakup tentang hak, kewajiban, sampai pada
berakhirnya perjanjian, ganti rugi, bahkan terkadang mengandung
klausula eksenorasi. I.P.M Ranuhandoko B.A memberikan pengertian
klausula eksenorasi adalah membebaskan seseorang atau badan usaha
dari suatu tuntutan atau tanggung jawab. Perjanjian yang
mencantukmkan klausula baku atau bisa di sebut perjanjian standar,
dapat diartikan sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausulanya
dibakukan oleh pembuatnya dan pihak yang lain tidak mempunyai
kesempatan memusyawarahkan isi perjanian tersebut atau meminta
perubahan.
Bentuk perjanjian standar dengan klausula baku umumnya terdiri
dari atas (1) perjanjian yang dituangkan dalam bentuk dokumen
perjanjian, (2) dalam bentuk persyaratan-persyaratan. Perjanjian baku
dalam bentuk persyaratan dapat berupa ketentuan yag tercantum dalam
kwitansi, tanda terima atau tanda penjualan, brosur, papan
pengumuman, atau secarik kertas tertentu yang disertakan dalam
-
40
kemasan atau wadah produk terkait.69 Dalam bentuk dokumen
perjanjian, perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh pelaku usaha. Disamping memuat
aturan yang umumnya tercantum dalam suatu perjanjian, dokumen
perjanjian memuat pula hal-hal yang sifatnya khusus berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian sampai pada akhirnya perjanjian. Dokumen
perjanjian dapat berupa formulir yang disertai dengan ketentuan atau
klausula perjanjian yang sedemikian rupa disusun oleh pelaku usaha
tanpa campur tangan lawan perjanjianya. Klausula tersebut biasanya
berisi tentang hak dan kewajiban para pihak, ganti rugi, jaminan, sanksi,
berakhirnya perjanian, dan lain sebagainya, yang dianggap oleh pelaku
usaha perlu di cantumkan.70
Perjanjian tersebut akan berlaku hanya apabila kreditur telah
menyetujuinya. Pilihan untuk setuju atau tidak setuju sepenuhnya
berada di pihak kreditur, dan tentunya pihak pelaku usaha atau debitur
tidak berhak untuk memaksa. Dengan demikian perjanjian baku adalah
perjanjin yang dibuat secara sepihak, tetapi mengandung ketentuan yang
bersifat umum. Oleh sebab itu kreditur hanya memiliki dua pilihan yaitu
menyetujui maka kreditur dipersilahkan untuk menandatangani
perjanjian tersebut (take it) atau menolaknya (leave it) , inilah sebabnya
69 Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, CV Triarga Utama, Jakarta 2002, hal. 95-96 70 Ibid.
-
41
perjanjian baku ini kemudian dikenal dengan penyebutan “take it or
leave it contract”.71
Meskipun demikian dimungkinkan terdapat unsur keterpaksaan,
karena biasanya kreditur sangat membutuhkan apa yang ditawarkan
oleh pihak pelaku usaha. Dalam hal ini kreditur tidak memiliki kekuatan
untuk mengatur isi perjanjian. Hal ini menyebabkan kreditur tetap
menyetujui perjanjian baku tersebut, walaupun sebenarnya isi dari
perjanjian tersebut tidak sesuai kehendak yang di inginkan kreditur. Ini
menimbulkan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut tidak memiliki
bargaining position yang seimbang.72
Dalam praktiknya “kerja” kebebasan berkontrak harus dibatasi agar
perjanjian yang dibuat berlandaskan asas tersebut tidak menjadi
perjanjian yang berat sebelah. Asas kebebasan berkontrak pada dasarnya
tidak bersifat bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan
dalam ketentuan KUHPerdata terhadap asas ini sehingga menjadikanya
tidak terbatas, antara lain pasal 1320 BW ayat (1), ayat (2), dan ayat (4),
pasal 1332, pasal 1337 dan pasal 1338 ayat(3).73
Ketentuan pasal 1320 ayat (1) memberikan petunjuk bahwa hukum
perjanjian dikuasa oleh “asas konsesualisme” yang mengandung
pengertian kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian
dibatasi oleh sepakat pihak lainya. Dengan kata lain, asas kebebasan
71 Shidarta, Op. Cit, hal. 120 72 Ridwan Khairandy Op. Cit, jal.1-2 73 Dr. RH. Wiwoho, Op, Cit, hal. 82
-
42
berkontrak dibatasi oleh asas konsesualisme. Pasal 1320 ayat (2) terlihat
adanya kebebasan orang membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapanya
membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-
undang tidak cakap membuat perjanjian, ia sama sekali tidak
mempunyai kebebasan membuat perjanjian.74
Tetapi sekalipun kebebasan berkontrak dibatasi, namun dalam
praktiknya kebebasan berkontrak masih sangat longgar, sehingga
menimbulkan ketidak adilan bagi para pihaknya. Kedudukan para
pihaknya pun tidak sama kuat atau mempunyai bargaining position
yang tidak sama.75
Agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan
berkontrak oleh pihak yang berkedudukan kuat, diperlukan campur
tangan undang-undang ataupun pengadilan.campur tangan pengadilan
dapat dijumpai pada alasan penyebab putusnya perjanjian, yang dikenal
dengan istilah penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigbeden).76 Campur tangan undang-undang dilakukan dengan
membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat kalausula baku. di
Indonesia hal ini terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Pengertian klausula baku diartikan dalam pasal 1
angka 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 yang menyatakan : ”klausula baku
adalah setiap aturan atau ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang
74 Ibid. 75 Sjahdeni, Op. Cit, hal. 45 76 Az. Nasution, Op. Cit, hal. 120
-
43
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara spihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjnjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen”
Pengaturan pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha diatur
dalam pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 yang menyatakansebagai
berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
-
44
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdi
obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini.
Ketentuan pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 merupakan batasan
yang diberikan undang-undang berkaitan dengan klausula baku yang
dibuat oleh pihak pelaku usaha agar sedapat mungkin klausula baku
tersebut tidak merugikan konsumen.
-
45
6. Teori Keseimbangan dan Teori Keadilan
Teori Keseimbangan beberapa sarjana memberikan pendapat
anatara lain Sutan Remy Sjahdeini, Mariam Darus Bdrulzaman, Sri Gambir
Melati Hatta, serta Ahmad Miru, secara umum memaknai keseimbangan
sebagai keseimbangan posisi para pihak dalam sebuah perjanjian. Jika
terjadi ketidak seimbangan posisi yang mengakibatkan adanya gangguan
terhadap isi dari perjanjian tersebut diperlukan adanya campurtangan
pihak-pihak tertentu (pemerintah).
Sedangkan istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang
berarti ‘tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,
sepatutnya, tidak sewenang-wenang’. Keadilan juga merupakan suatu
tuntutan bagi seseorang untuk memperlakukan sesamanya sesuai hak dan
kewajiban. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah kelayakan
dalam tindakan manusia sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstren
yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Keadilan yang merupakan tindakan
yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan terlalu sedikit, dalam
artian bahwa dalam memberikan sesuatuberdasarkan haknya. Sedangkan
Thomas Hubbes memberikan pendapat bahwa keadilan adalah sesuatu
perbutan yang adil apabila didasarkan pada perjanjian yang telah
disepakati.77
77 Richard Kraut, Aristotle on the Human Good, Pricenton University Press, 1989 hal.34
-
46
7. Keseimbangan dan Keadilan dalam Perjanjian
Keseimbangan dimaksudkan dalam kedudukan posisi para pihak yang
mengadakan perjanjian. Beranjak dari itu konsumen atau debitur perlu
diberdayakan dan di seimbangkan posisi tawarnya. Tujuan dari
keseimbangan ini adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak
seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajibanya. Terwujudnya
keseimbangan dapat juga dilihat dari proses negosiasi (pra perjanjian)
antara pihak-pihaknya. Negosiasi bertujuan unttuk menciptakan bentuk-
bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan
(kepentingan) melalui proses tawar-menawar.78 Jika para pihak menyetujui
antara hak dan kewajiban yang telah di negosiasikan makan akan di
tuangkan kedalam naskah perjanjian, sebaliknya jika pihak tidak
menyetujuinya makan perjanjian tersebut tidak dapat dilanjutkan. Namun
pada kenyataanya keseimbangan para pihak sulit terwujud karena posisi
tawar menawar para pihaknya cenderung tidak seimbang. Dimana pihak
satu memiliki posisi tawar yang lebih tinggisedangkan pihak lawan
memiliki posisi tawar yang rendah. Posisi tawar yang tidak seimbang ini
seringkali dimanfaatkan pihak kreditur untuk membuat klausula-klausula
yang menguntungkan dirinya. Sedangkan debitur yang memiliki posisi
tawar rendah mau tidak mau harus menyetujuinya. Dengan demikian posisi
keseimbangan para pihak sering kali diabaikan oleh pihak-pihak yang
membuat perjanjian.
78 Agus Yudho Hernoko, Op. Cit, hal.1
-
47
Keadilan dalam perjanjian dapat berarti meletakan kepercayaan kepada
individu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu perbuatan.
Plato membagi keadilan menjadi dua, yakni keadilan moral, yaitu keadilan
yang terjadi apabila mampu memberikan perlakuan yang seimbang antara
hak dan kewajibanya, kemudian keadilan procedural, yakin keadilan yang
terjadi apabila seseorang melaksanakan perbuatan sesuai dengan tata cara
yang diharapkan.
B. Hasil Penelitian
1. Latar Belakang Munculnya Perjanjian Baku
a. Awal mula munculnya perjanian baku
Perjanjian baku telah digunakan lebih dari delapan puluh
tahun lalu, pada saat terjadinya Revolusi industri awal abad ke-16.79
Munculnya pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan awalnya
memang tidak menimbulkan apa-apa, namun lama-kelamaan
standarisasi produksi dari perusahaan-perusahaan tersebut yang
membuat perubahan sehingga memaksa perusahaan tersebut
membakukan perjanjian-perjanianya, kemudian dari sinilah
perjanjian baku dikenal. Dalam membuat perjanjian juga
dibutuhkan kemampuan khusus dalam bidang hukum yang hanya
dimiliki oleh ahli hukum atau pengacara yang tentu saja
membutuhkan biaya yang mahal. Atas dasar itulah perusahaan
menggunakan perjanjian yang sama dan dibuat secara masal untuk
79 Purwahid Patrik, Perjanjian Baku dan Penyalahgunaan Keadaan Hukum Kontrak di Indonesia, ELIPS, Jakarta 1998, hal. 146.
-
48
mengurangi biaya yang dikeluarkan. Salim HS dan Erlies Septiana
Nurbani dalam buakunya mengatakan bahwa sejarah dari perjanjian
ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu ketika Mesir dan Negara
Dua Sungai, dibuat tulisan-tulisan pertama, dan hampir di saat yang
bersamaan syarat-syarat perjanjian muncul dan dibakukan pertama
kali. Sesudah itu banyak gejala peradaban yang melepaskan doktrin
dari model-model perjanjian yang diterapkan rohaniawan. Namun
sebaliknya penggunaan dari syarat-syarat baku ini akan bertambah,
kebutuhan akan syarat baku ini bertambah di Eropa Barat karena
timbulnya transaksi-transaksi perdagangan yang semakin menjamur
dan timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang semakin besar,
membuat pemakaian perjanjian-perjanjian ini penting.80
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perjanjian baku
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya
perjanjian baku, seperi yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa
dalam membuat perjanjian diperlukan kemampuan khusus dibidang
hukum seperti ahli hukum atau pengacara. Dengan demikian
membuat sebuah perjanjain memerlukan biaya yang mahal.
Kemudian faktor yang mempengaruhi selanjutnya adalah
dalam menentukun isi suatu perjanjian memerlukan negosiasi-
negosiasi antara para pihaknya, sehingga agar lebih efisien pelaku
80 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2014, hal.101
-
49
usaha membuat perjanjian tersebut secara masal agar lebih
mempersingkat waktu pembuatan perjanjian tersebut.
Plato mengatakan81 tumbuhnya perjanjian baku adalah
keadaan sosial dan ekonomi, perusahaan yang besar, perusahaan
semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah
mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk
kepentingan mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara
sepihak, pihak lawannya (waderpartiji) yang pada umumnya
mempunyai kedudukan (ekonomi) lemah, baik karena posisinya
maupun karena ketidaktahuannya hanya menerima apa yang
disodorkan itu. Hal-hal tersebut yang mempengaruhi munculnya
perjanjian baku
c. Perjanjian baku masa kini
Dalam era globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang
sangat pesat saat ini, mengakibatkan tingginya frekuensi transaksi
bisnis di Indonesia oleh karena itu untuk menjamin kepastian hukum
para pihak yang bertransaksi dibutuhkan perjanjian guna untuk
melindungi para pihak. Karena tingginya frekuensi perjanjian yang
terjadi di Indonesia tersebut makan banyak perusahaan-perusahaan
yang membuat perjanjian dengan perjanjian standar/baku, tidak
terkecuali perjanjian kredit Bank, dengan alasan lebih praktris,
mempersingkat waktu, dan juga biaya.
81Ibid. hal. 101-102.
-
50
Pihak pelaku usaha akan melakukan perjanjian dengan
lawan janjinya menggunakan perjanjian yang telah dipersiapkan
sebelumnya oleh pihak perusahaan. Perjanjian standar ini biasanya
berisi klausula-klausula yang telah di bakukan oleh pihak
perusahaan, oleh sebab itu disebut perjanjian baku. UUPK
memberikan pengertian bahwa: “Klausula Baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh debitur”.82
Bentuk perjanjian standar dengan klausula baku ini
umumnya terdiri dari, perjanjian yang dituangkan dalam bentuk
dokumen perjanjian, dan dalam bentuk persyaratan-persyaratan.
Perjanjian baku dalam bentuk persyaratan dapat berupa ketentuan
yang tercantum dalam kuitansi, tanda terima atau tanda penjualan,
brosur, papan pengumuman, atau secarik kertas tertentu yang
disertakan dalam kemasan atau wadah produk terkait.83 Dalam
bentuk dokumen perjanjian, perjanjian baku memuat aturan yang
umumnya memuat hal-hal yang sifatnya khusus berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian sampai pada akhirnya perjanjian. Dokumen
perjanjian dapat berupa formulir yang disertai dengan ketentuan
atau klausula perjanjian yang sedemikian rupa disusun oleh
82 Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 83 Az Nasution, Op. Cit., hal. 95
-
51
kreditur tanpa campur tangan lawan perjanjianya. Klausula tersebut
biasanya berisi tentang hak dan kewajiban para pihak, ganti rugi,
jaminan, sanksi, berakhirnya perjanian, dan lain sebagainya, yang
dianggap oleh kreditur perlu di cantumkan.84
d. Kelemahan perjanjian baku dan perlindungan para pihak
Selain memudahkan pelaku usaha karena lebih praktis dalam sisi
biaya dan waktu, perjanjian baku memiliki kelemahan yaitu
kurangnya kesempatan debitur bernegosiasi dalam menentukan isi
perjanjian tersebut, sehingga dalam perjanjian tersebut tidak ada
keseimbangan dan keadilan posisi para pihak. Debitur terpaksa
menyetujui isi dari perjanjian tersebut karena daya tawar yang tidak
seimbang. Perjanjian tersebut memuat kepentingan-kepentingan
yang menguntungkan pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Walaupun dalam pasal 1320 KUHPdt telah dikatakan bahwa sayarat
sah suatu perjanjian adalah sepakat, jika tidak terpenuhi unsur
tersebut maka perjanjian dapat dibatalkan. Walaupun debitur tidak
sepenuhnya sepakat dengan isi dari perjanjian tersebut, namun disisi
lain debitur merasakan kekhawatiran karena tidak terpenuhinya
kepentingnan dirinya, sehingga debitur tidak secara bebas
menyepakati isi dari perjanjian tersebut.
Dalam dunia perbankan seluruh kegiatanya dilaksanakan atas
dasar kepercayaan dari warga masyarakat. Oleh sebab itu bank harus
84 Ibid.
-
52
tetap menjaga kepercayaan warga masyarakat tersebut, dan
pemerintah harus berusaha untuk melindungi masyarakat dari
tindakan atau oknum yang tidak bertanggung jawab yang mungkin
akan merusak kepercayaan masyarakat tersebut. Debitur sebagai
konsumen wajib mendapatkan perlindungan hukum terkait tentang
hak dan kewajibanya dalam perjanian baku yang telah dibuat pihak
bank.
Dalam pasal 29 ayat 3 Undang-Undang No. 10 tahun 1998
tentang Perbankan menyebutkan bahwa “dalam memberikan kredit
atau pembiayaan dalam prinsip syariah, dan melakukan kegiatan
usaha lainya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan
dananya kepada bank” kemudian dilanjutkan dengan ayat 4 yang
mengatakan “untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan
informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui
bank” dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa untuk meminimalisir
masalah atau gugatan ke pengadilan yang akan timbul dikemudian
hari maka bank tidak boleh melakukan hal-hal yang akan merugikan
nasabahnya.
Dalam pasal 18 Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Kosumen menyebutkan apabila dalam perjanjian
memuat tunduknya konsumen pada peraturan baru yang dibuat
secara sepihak oleh pelaku usaha maka perjanjian tersebut batal
-
53
demi hukum. Larangan-larangan dalam pembuatan klausula baku
tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
keadaan pihak yang kuat. Namun, dalam pasal ini terdapat
kelemahan karena dapat dipastikan pihak bank tidak akan mematuhi
ketentuan dalam pasal 18 tesebut khususnya huruf g, kalaupun
mematuhinya maka dalam konsidi tertentu bank akan bangkrut.
Oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan dari pemerintah
untuk menjamin pihak bank tidak dirugikan jika mematuhi pasal
tersebut.
2. Keseimbangan dan Keadilan dalam Perjanjian Baku di Bank
Mandiri
a. Pentingnya asas keseimbangan dalam perjanjian
Asas keseimbangan dalam membuat perjanjian sangat penting
agar terjadi persamaan hak dan kewajiban diantara para pihak yang
membuat perjanjian tersebut. Dalam kamus KBBI, kata
“keseimbangan berarti keadaan seimbang (seimbang-sama berat,
setimbang, sebanding, setimpal); dalam ilmu fisika diartikan sebagai
keadaan yang terjadi bila semua gaya dan kecenderungan yang ada
pada setiap benda atau sistem persis dinetralkan atau dilawan oleh
gaya atau kecenderungan yang sama besar, tetapi mempunyai arah
yang berlawanan.85 Harlien Budiono berpendapat bahwa tujuan
keseimbangan adalah untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum
85 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 75
-
54
dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam KUHPdt.
Dengan mendasarkan pada pemikiran dan latar belakang
individualisme pada satu pihak dan pihak lain pada cara pikir bangsa
Indonesia.86 Mariam Darus Badrulzaman, Sri Gambir Melati Hatta,
setra Ahmadi Miru secara umum memberikan pengertian bahwa
asas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi antara pihak yang
berjanji, maka pemahaman akan daya kerja dari asas keseimbangan
yang menekankan keseimbangan posisi para pihak dalam perjanjian
terasa dominan kaitannya dengan perjanjian konsumen.87 Penulis
juga memberikan pengertian tentang asas keseimbangan dengan
didukung pendapat para ahli sebelumnya. Penulis berpendapat
bahwa asas keseimbagan sangat penting dalam sebuah perjanjian
untuk memastikan kedudukan para pihak dalam perjanjian tersebut
seimbang sehingga tercipta keadilan bagi para pihak yang berjanji
antara hak dan kewajibanya, sehingga tidak akan timbul
kesewenangan dari salah satu pihak karena adanya posisi lemah dan
kuatnya pihak-pihak dalam perjanjian.
Perjanjian itu sendiri memiliki beberapa aspek penting yang
dimunculkan sebagai faktor penguji adanya keseimbangan atau
tidak, aspek tersebut antaralain88 :
1) Perbuatan para pihak,
86 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2010, hal. 29. 87 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h.79 88 Herlin Budiono, Op, Cit., hal. 334
-
55
Perbuatan para pihak dalam hal ini kreditur dan yang melakukan
perbuatan hukum,
2) Isi perjanjian yang disepakati para pihak
Isi perjanjian merupakan objek dari perjanjian itu sendiri yang
berupa prestasi yang harus dilaksanakan apa yang dikehendaki
dalam perjanjian tersebut. Dan isi dari perjanjian tidak bertentangan
dengan Undang-Undang.
3) Pelaksanaan perjanjian
Dalam pelaksanaan perjanjian hendaknya dilakukan berdasarkan
itikad baik, dimana kedua pihak harus melaksanakan prestasi
masing-masing.
Perjanjian dapat dikatakan seimbang jika memenuhi beberapa aspek
yang telah disebutkan diatas. Sehingga dalam pemenuhan hak dan
kewajiban masing-masing pihak berada pada posisi sama rata dan tidak
ada pihak yang kuat maupun pihak yang lemah. Fase dalam perjanjian
dibagi menjadi 3, yakni pra perjanjian, pelaksanaan perjanjian,
selesainya perjanjian. Sehingga dalam 3 fase tersebut juga dapat dilihat
ada atau tidaknya keseimbangan dalam perjanjian tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terabaikanya asas
keseimbangan dalam perjanjian kredit perbangkan
1) Yang pertama adalah perkembangan dunia bisnis yang sangat pesat,
yang kemudian mendorong para pelaku usaha (bank) untuk
membuat perjanjian yang telah dipersiapakn sebelumnya, karena
alasan kepraktisan dan lain sebagainya. Perjanjian semacam ini
-
56
adalahh perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank tanpa
campur tangan debitur. Sehingga menimbulkan ketidak seimbangan
posisi pihaak-pihaknya.
2) Kemungkinan digunakanya asas kebebasan berkontrak, karena isi
dari asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang dapat melakukan
perjanian dengan siapapun dan macam perjanjian apapun asalkan
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum. Dan dalam pasal 1338 KUHPdt juga
menyebutkan “semua perjanajian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membautnya”. Namun
dengan demikian asas kebebasan berkontrak harusnya tidak
mengenyampingkan asas keseimbangan, karena yang dimaksudkan
di dalam asas kebebasan berkontrak adalah tetap adanya batasan-
batasan yang membatasi dan tidak dapat diartikan sebagai bebas
mutlak.
3) Daya tarik yang sangat kuat dari pihak bank, perjanjian memang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Pihak bank yang
memiliki kekuatan ekonomi yang kuat, kemudian menjadi alasan
seseorang untuk melakukan perjanjian dengan bank karena daya
tawarnya sangat kuat, dan karena terdesak satu dengan lain hal mau
tidak mau debitur sebagai pihak yang lemah menyetujui perjanjian
yang diberikan oleh bank tanpa mengindahkan asas keseimbanga.
Sehingga dengan demikian debitur tidak punya pilihan selain
menyetujui perjanjian yang menguntungkan pihak lainya.
-
57
Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan terabaikanya asas
keseimbangan dalam perjanjian kredit bank sehingga dalam perjanjian
kredit bank sulit sekali dijumapi adanya keseimbangan antar pihaknya.
Kemudian ada faktor lain juga untuk membuktikan ada atau tidakanya
keseimbangan para pihak dalam perjanjian kredit bank, seperti isi dari
perjanjian kredit tersebut, ini sangat penting karena isi dari perjanjian
tersebut merupakan subjek dari perjanjian. Debitur sebagai nasabah
berhak mendapatkan pinjaman dari pihak bank, namun juga debitur
berkewajiban untuk membayar secara bertahap pinjaman tersebut sesuai
dengan perjanjian yang telah dibuat oleh bank. Walaupun perjanjian
tersebut telah dibakukan oleh pihak bank, bukan berarti pihak bank
dapat melakukan hal yang semena-mena terhadap nasabahnya dengan
memberatkan posisi debitur mengingat debitur tidak ikut andil dalam
membuat perjanjian tersebut.
Seperti dicontohkan sebelumnya, perjanjian kredit memuat pasal
“Bank dapat mengakhiri jangka waktu kredit sebelum berakhirnya
jangka waktu sesuai dalam perjanjian ini dan menyatakan seluruh
jumlah utang menjadi jatuh tempo dan debitur wajib membayar seluruh
hutangnya secara seketika dan sekaligus lunas apabila debitur
diberhentikan/ PHK atau mengundurkan diri dari perusahaan/ instansi
dimana debitur bekerja” dari isi perjanjian tersebut dapat dilihat tidak
adanya asas keseimbangan. Mengigat pentingya asas keseimbangan
maka dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit ini tidak seimbangan,
-
58
karena tujuan dari asas keseimbangan ini adalah untuk
menyeimbangkan posisi antara hak dan kewajiban pihak-pihak yang
berjanji.
Adanya asas keseimbangan sering kali diabaikan sehingga membuat
ketidak setaraan kedudukan antar pihaknya, oleh sebab itu asas
keseimbangan ini perlu diperjuangkan untuk mencapai keadilan bagi
pihak-pihaknya. Tujuan awal dibuatnya perjanjian adalah untuk
mencapai kepentingan-kepentingan pihaknya. Asas keseimbangan juga
berfungsi untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan tersebut.
Pengabaian asas keseimbangan dalam perjanjian ini sebenarnya tidak
diinginkan oleh pihak debitur, namun mengingat tingginya daya tawar
kreditur yang menyebabkan debitur mau tidak mau untuk menerima
perjanjian tersebut. Karena perjanjian tersebut berbentuk perjanjian
baku, yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh kreditur, dengan alasan
lebih efisien dan lain sebagainya, namun seharusnya pihak bank juga
mempertimbangkan keseimbangan kedudukan dari debitur dengan
mencantumkan kalusula-klausula yang tidak memberatkan debitur.
Pentingnya asas keseimbagan dalam perjanjian juga dapat
mempengaruhi berjalanya perjanjian tersebut. Jika terdapat
keseimbangan dalam perjanjian antara hak dan kewajiban masing-
masing pihak, maka akan kecil pula resiko yang akan terjadi. Seperti
tidak terpenuhinya prestasi debitur kepada kreditur, jika adanya
keseimbangan antar pihak maka kerugian-kerugian yang akan timbul
karena wanprestasi debitur akan terminimalisir. Kemugkinan kecil pula
-
59
dengan adanya upaya-upaya tuntutan hukum yang timbul karena
wanprestasi tersebut. Jika pihak bank dalam menentukan klausula-
klausula tersebut mengindahkan asas keseimbangan, maka
kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat diminimalisir dan menjadi
keuntungan-keuntungan bagi para pihak.
b. Karakteristik perjanjian kredit di bank Mandiri
Dalam perjanjian tentunya memiliki karakteristiknya masing-masing,
termasuk perjanjian kredit bank mandiri berikut ini karakteristik
perjanjian kredit bank mandiri :
1) Jenis perjanjian
Jenis perjanjian disini dimaksudkan untuk mengetahun jenis
pinjaman kredit debitur, salah satu contohnya adalah “perjanjian
kredit pinjaman mikro”. Biasanya jenis perjanjian tersebut berada
pada halaman paling depan perjanjian tersebut dengan diikuti jadwal
angsuran pinjaman.
2) Pihak-pihak
Sesuai dengan pengertian perjanjian, setiap perjanjian
melibatkan antara 2 orang atau lebih. Dalam perjnajian kredit ini
menyebutkan beberapa pihak yang dapat disebut sebagai kreditur
dan debitur.
3) Jumlah kredit
-
60
Dalam perjanjian tentu ada kepentingan yang menjadi objek dari
perjanjian itu, dalam hal ini adalah uang. Dalam perjanjian kredit
harus di sebutkan dengan jelas berapa besaran nominal yang akan
depinjamkan kepada debitur.
4) Tujuan
Dalam melakukan suatu perjanjian, tentu saja ada tujuan yang
ingin di capai para pihaknya, tidak terkecuali perjanjian kredit ini.
Contoh dalam perjanjian kredit ini misalnya modal kerja, atau
banyak juga yang lainya, sesuai dengan tujuan masing-masing
pihak.
5) Sifat
Perjanjian kredit juga memiliki sifat, salahsatunya yakni bersifat
non revolving yakni kredit tak berulang, atau kredit yang telah satu
transaksi selesai tidak dapat digunakan untuk transaksi berikutnya.89
6) Jangka waktu
Setiap perjanjian memiliki jatuh tempo pelunasan yang di
tunjukan dengan adanya kurun waktu seberti bulan maupun tahun.
Salah satu contohnya 36 bulan sejak tanggal pencairan kredit
tersebut.
7) Angsuran
Angsuran atau cicilan biasanya dilakukan bertahap, tahapan ini
biasanya telah disetujui para pihak yang melakukan perjanjian
dengan nominal yang sudah diperhitungkan dengan jatuh temponya
89 KBBI non revolving credits
-
61
pelunasan pinjaman kredit tersebut. Sebagai contohnaya
pembayaran/cicilan dapat dilakukan pada saat jatuh tempo cicilan,
namun jika melebihi jatuh tempo maka debitur akan dikenai denda
sesuai yang diperjanjikan.
8) Kejadian Kelalaian
Kelalaian adalah tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian tersebut oleh debitur. Kelalaian tersebut diikuti dengan
sanksi-sanksi yang telah ditetapkan dan disetujui sebelumnya oleh
para pihak.
9) Pencairan Kredit
Berisi tentang tata cara pencairan uang perpindahan ke rekening
debitur. Seperti contohnaya perjanjian kredit dilakukan sekaligus
dengan cara dipindahkan kerekening tabungan atas nama debitur
dengan nomer rekeningnya.
10) Pembayaran Kembali
Debitur berkewajiban membayar untuk melunasi hutangnya
beserta bunga ataupun denda yang timbul sesuai dengan perjanjian
tersebut. Sebagai contoh debitur mengikatkan diri untuk melunasi
kredit yang diterimanya berikut dengan bunga, denda maupun
kewajiban-kewajiban lainya.
11) Pembukuan dan Pembuktian
Pembukuan adalah pencatatan-pencatatan yang dilakukan sesuai
dengan sistem akutansi yang berlaku pada bank tesebut. Debitur
-
62
akan menerima baik pembukuan dan catatan Bank ssebagai bukti
yang sah tentang jumlah hutang.
12) Agungan dan Asuransi
Agungan adalah barang yang dijadikan jaminan oleh debitur.
Agungan tersebut dicantumkan dalam perjanjian ini dan
menyatakan bahwa agungan tersebut adalah benar milik debitur.
Debitur juga wajib mengasuransikan agungan tersebut dengan
ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peranjian tersebut.
13) Kesanggupan Debitur
Kesanggupan debitur berisi tentang janji-janji debitur kepada
kreditur. Seperti debitur berjanji kepada pihak bank dan
menyanggupi untuk melakukan suatu hal seperti mengijinkan bank
untuk mengalihkan hak-haknya berdasarkan perjanjian kredit ini
kepada pihak lain.
14) Kuasa-Kuasa
Berisi memberikan kuasa-kuasa sesuai dalam perjanjian tersebut
dari debitur kepada kreditur. Kuasa-kuasa ini diberikan kepada bank
dari debitur jika dianggap perlu oleh bank salah satunya untuk
memblokir rekening tabungan dan atau rekening-rekening lainya
atas nama debitur yang ada pada bank.
15) Ketentuan dan Kedudukan Hukum
Berisi tentang pengakhiran perjanjian tersebut debitur
mengesampingkan semua peraturan perundang-undangan yang
-
63
mensyaratkan adanya suatu putusan pengadilan untuk mengakhiri
perjanjian tersebut.
c. Penggunaan klausula baku dalam perjanjian kredit bank Mandiri
Dalam prakteknya selama ini bank selalu menggunakan perjanjian
yang telah mereka persiapkan terlebih dahulu. Ketika bank telah
mengambil keputusan menyetujui permohonan kredit,kemudian bank
memberikan blangko atau formulir perjanjian yang sebelumnya telah
dibuat kepada nasabahnya. Maksud dari penyerahan perjanjian tersebut
adalah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk menyetujui atau
tidak menyetujui perjanjian tersebut.
Kebanyakan nasabah menyetujui apa yang ada dalam pejanjian
tersebut, karena terdesak satu hal dan lainya maka jarang sekali ditemui
nasabah yang menolak perjanjian tersebut, karena sama saja dengan
menyulitkan diri mereka sendiri, sehingga nasabah cenderung terpaksa
untuk menyetujui perjanjian tersebut. Ada dua jenis paksaan, yakni
secara fisik dan secara psikis. Dalam perjanjian baku kredit ini
kebanyakan dengan paksaan psikis bukan dengan fisik. Karena jika
nasabah tidak menyetujui perjanjian tersebut maka timbul kekhawatiran
tersendiri yang dirasakan nasabah karena kepentinganya tidak
terpenuhi. Dengan demikian debitur tidak secara bebas menyepakati
perjanjian baku tersebut. Kata sepakat merupakan salah satu syarat
sahnya perjanjian yang tercantum pada pasal 1320 KUHPdt, apabila
tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap
-
64
tidak sah dan dapat dibatalkan. Namun jarang sekali ditemui pembatalan
perjanjian baku ini di dalam pengadilan. Walaupun dapat dikatakan
perjanjian ini cacat hukum tetapi karena perjanjian ini tidak dibatalkan
makan perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat pihak-pihaknya.
Dalam perjanjian kredit bank Mandiri pasal 8 yang memuat
kesanggupan debitur, terlihat angka 2 yang berbunyi “mengizinkan
bank untuk mengalihkan hak-haknya berdasarkan perjanjian kredit ini
kepada pihak lain” kemudian dalam pasal 10 yang berbunyi :
(1) untuk pengakhiran peranjian kredit, debitur dengan ini
mengesampingkan semua peraturan perundang-undangan yang
mensyaratkan asanya suatu putusan pengadilan untuk
pengakhiran suatu perjanjian dan untuk pengakhiran perjanjian
kredit ini oleh bank, bank tidak dapat diwajibkan atau dituntut
intuk membayar ganti rugi dalam jumlah berapapunjuga kepada
debitur
(2) bank dapat mengakhiri jangka waktu kredit sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditentukan dalam ketentuan pasal 1 ayat 7
diatas dan menyatakan seluruh jumlah terhutang menjadi jatuh
tempo dan debitur wajib untuk membayarkan seluruh jumlah
terhutang secara seketika dan sekaligus lunas atas tagihan
pertama bank, apabila debitur diberhentikan/PHK atau
mengundurkan diri dari perusahanna/instansi dimana debitur
bekerja atau debitur mutasi kerja yang mengakibatkan pindah
lokasi kantor
-
65
Dalam membuat perjanjiaan yang menggunakan klausula baku yang
diperbolehkan adalah yang tidak mengandung 8 unsur yang terdapat
pada pasal 18 ayat 1 UUPK yaitu :
a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdi
obyek jual beli jasa;
g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
-
66
h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran
Dalam perjanjian kredit tersebut diatas dapat dilihat dari UUPK
pasal 18 pada huruf g, bahwa perjanjian tersebut merupakan peraturan
baru yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank, oleh sebab itu
penggunaan klausula baku tersebut dilarang oleh undang-undang.
Adanya klausula-klausula tersebut dapat melemahkan posisi debitur
sehingga dapat menimbulkan kerugian kepada debitur. Pelanggaran
terhadap pasal 18 ayat (1) tersebut mengakibatkan perjanjian tersebut
batal demi hukum. Dalam hal penyalahgunaan keadaan, kekuatan
dalam perjanjian ini dapat tidak mengikat dengan cara pembatalan
kalusula yang merugikan debitur dengan mengajukan permohonan
pembatalan kepada hakim.
d. Tidak adanya Keseimbangan dan Keadilan antara hak dan kewajiban
dalam perjanjian kredit bank Mandiri
Dalam terminologi hukum, hak dan kewajiban adalah sesuatu yang
seharusnya diterima atau dilaksanakan atas apa yang telah diperjanjikan.
Dalam perjanjian kredit telah dituanagkan hak-hak da kewajiban-
kewajiban untuk pihak-pihaknya. Pemenuhan hak dan kewajiban para
pihak dalam hukum perjanjian dijamin oleh undang-undang.
-
67
Dalam perjanjian kedit bank Mandiri debitur berhak atas pencairan
kredit secara sekaligus yang dipindahkan kedalam rekening atas nama
debitur (pasal 4), kemudian debitur mempunyai kewajiban-
kewajibanyang harus dilaksanakan, antara lain debitur wajib :
1. Membayar tagihan sesuai dengan jangka waktu yang ada dalam
perjanjian tersebut serta denda jika terjadi keterlambatan (pasal
1)
2. Membayar sejumlah bunga (pasal 1)
3. Debitur wajib menutup asuransi jiwa kredit dengan nilai
pertanggungan minimal sebesar baki debet/sisa pokok kredit
(pasal 2)
4. Menyerahkan agungan dan mengasuransikan agungan tersebut
(pasal 7)
Kemudian hak-hak yang dimiliki kreditur antara lain adalah :
1. Mendapat/menagih cicilan pelunasan dari debitur sesuai dengan
jangka waktu dalam perjanjian tersebut serta denda juga terjadi
keterlambatan (pasal 1)
2. Berhak mendapat bunga dari debitur (pasal1)
3. Kreditur berhak membuat surat peringatan atau tegura jika
debitur lalai dalam melaksanakan kewajibanya (pasal 3)
4. Mendapat agungan jika debitur tidak dapat melunasi hutangnya
(pasal 7)
Sedangkan kreditur berkewajiban untuk :
-
68
1. Memberikan pinjaman uang yang dicairkan secara sekaligus ke
rekening debitur (pasal 4)
2. Membuat pembukuan sesuai dengan sistem akutansi bank (pasal
6)
Dapat disimpulkan dari uraian hak dan kewajiban antara debitur dan
kreditur diatas bahwa antar hak dan kewajiban tidak seimbang. Karena
dalam pelaksanaan isi perjanjian tersebut penumpukan hak terjadi
kepada kreditur sedangnkan penumpukan kewajiban terjadi kebada
debitur, hak yang dimiliki kreditur tidak seimbang dengan kewajibanya,
kreditur lebih dominan karena posisinya yang kuat. Sedangkan debitur
memiliki banyak kewajiban pemenuhan prestasi yang harus
dilaksanakan.
Asas keseimbangan bertujuan untuk menyelaraskan antara hak dan
kewajiban para pihaknya agar berkedudukan sama atau seimbang
sehingga adil untuk para pihak yang berjanji. Dalam perjanjian kredit
bank mandiri dijumpai juga beberapa kalusula yang dianggap tidak
mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak
seperti yang disebutkan dalam pasal 8 khususnya ayat 2 tentang
kesanggupan debitur yang mengatakan “mengijinkan bank untuk
mengalihkan hak-haknya berdasarkan perjanjian ini kepada pihak lain”
artinya bahwa selama debitur masih terikat perjanjian dengan bank,
maka bank dapat mengalihkan hak-hak yang dimiliki debitur kepada
pihak lain kapanpun kreditur inginkan. Jelas dalam pasal ini tidak
-
69
seimbang karena selama debitur dapat melaksanakan kewajibanya
sebagai debitur, maka debitur berhak pula atas hak-hak yang timbul
dalam perjanjian ini.
Selanjutnya ketidak adilan dalam perjanjian kredit ini dapat dilihat
juga dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 tentang aneka ketentuan dan
kedudukan hukum. Bunyi dari klausula tersebut adalah “untuk
pengakhiran perjanjian kredit, debitur dengan ini mengesampingkan
semua peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan adanya suatu
putusan pengadilan untuk pengakhiran perjanjian kredit ini oleh bank,
bank tidak dapat diwajibkan atau dituntut untuk membayar ganti rugi
dalam jumlah berapapun juga kepada debitur” kemudian ayat
selanjutnya “bank dapat mengakhiri jangka waktu kredit sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam ketentuan pasal 1 ayat
7 diatas dan menyatakan seluruh jumlah terhutang menjadi jatuh tempo
dan debitur wajib untuk membayarkan seluruh jumlah terhutang secara
seketika dan sekaligus lunas atas tagihan pertama bank, apabila debitur
diberhentikan/PHK atau mengundurkan diri dari perusahanna/instansi
dimana debitur bekerja atau debitur mutasi kerja yang mengakibatkan
pindah lokasi kantor” dapat disimpulkan bahwa bank tidak
menempatkan posisinya dengan debitur secara adill, bank juga hanya
melindungi kepentingan-kepentinganya saja. Istilah
“diberhentikan/PHK” merupakan suatu keputusan diluar kuasa debitur
yang barang kali debitur tidak menginginkan hal tersebut. Sehingga
-
70
sangat tidak adil manakala bank harus menjatuh tempokan hutang
debitur secara sekaligus saat itu juga.
Atas dasar ketidak seimbangan dan keadilan dalam perjanjian
tersebut sehingga debitur membuat gugatan ke pengadilan UUPK
memberikan perlindungan hukum bagi debitur dalam pasal 62 ayat (1)
menyebutkan bahwa “pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 dipidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banya Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar
rupiah). Demikian juga dalam Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.07/2013 pasal 22 ayat 1 menyebutkan “dalam hal
pelaku usaha jasa keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian
baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”. Apabila perjanjian baku melanggar ketentuan pasal 18
UUPK maka berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun ini
tidak berarti batalnya perjanjian tersebut secara keseluruhan, hakim
dapat meminta bank untuk menyeseuaikan isi perjanjian tersebut sesuai
dengan ketentuan UUPK pasal 18. Kemudian pengaturan lainya yang
harus diperhatikan dalam pencantuman klausula baku adalah POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 pasal 21 menyebutkan “pelaku usaha jasa
keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran
dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen”.
Dari apa yang telah di uraikan diatas jika bank ingin terhindar dari
resiko hukum, seharusnya memberikan penjelasan-penjelassan yang
-
71
mendalam terhadap klausula-klausula yang ada kepada debitur,
sehingga debitur paham dan bukan hanya diberikan saja untuk kemudian
ditandatangani. Karena jika suatu perjanjian tersebut bertentangan
dengan UUPK dan POJK maka perjanjian tersebut berakibat batal demi
hukum.