BAB II GEREJA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 2.1 Pengertian …€¦ · GEREJA DAN PEMBERDAYAAN...
Transcript of BAB II GEREJA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 2.1 Pengertian …€¦ · GEREJA DAN PEMBERDAYAAN...
9
BAB II
GEREJA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
2.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Istilah pemberdayaan masyarakat sering kali terdengar dalam berbagai wacana
tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam kepustakaaan terlihat bahwa
konsep pemberdayaan (empowerment) pada mulanya ditekankan kepada proses memberikan
atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada individu,
organisasi atau masyarakat agar menjadi lebih bergairah.1 Secara lebih luas pemberdayaan
sering disamakan dengan pengalihan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk
mencari nafkah.
Sedangkan pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya merupakan upaya untuk
memberikan keberdayaan kepada masyarakat yang merangkum nilai-nilai sosial.2
Selanjutnya memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat terbawah yang tidak mampu untuk melepaskan dari perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan adalah proses menghidupkan kembali
tatanan nilai, budaya, dan kearifan lokal dalam membangun jati dirinya sebagai individu dan
masyarakat.3 Dalam spektrum yang lebih luas memberdayakan masyarakat mengandung
makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar
menawar masyarakat lapis bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan disegala bidang.
1 Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
56. 2 Bnd, Aprillia Theresia dkk, Pembangunan Berbasis Masyarakat: Acuan Bagi Praktisi, Akademisi,
dan Pemerhati Pembangunan Masyarakat (Bandung: Alfabeta, 2014), 91. 3 O.M. Anwas, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global (Bandung: Alfabeta, 2014), 50.
10
Disamping itu mengandung arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.
Meskipun begitu, menurut Anwas, pemberdayaan tidak sekedar memberikan
kewenangan atau kekuasaan kepada pihak yang lemah saja. Dalam pemberdayaan terkandung
makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau masyarakat
sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup mandiri. Mengutip
Person, pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan
dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain
yang menjadi perhatiannya.4
Masyarakat yang perlu diberdayakan adalah kaum buruh, petani, nelayan, orang
miskin, dan lain sebagainya baik yang berada di desa maupun di kota. Mereka memiliki
potensi atau daya yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk
mengembangkan daya itu dengan mendorong, dan membangkitkan kesadaran mereka akan
posisi yang dimilikinya. Pemberdayaan tersebut meliputi pula penguatan pranata-pranatanya
dan pembaharuan lembaga-lembaga sosial serta pengintegrasiannya ke dalam kegiatan-
kegiatan pembangunan. Demikian pula harus diikuti dengan pananaman nilai-nilai budaya
modern seperti kerja keras hemat, keterbukaan dan tanggungjawab.
Masih menurut Anwas, pemberdayaan juga menekankan pada proses dan bukan
semata-mata hasil (output) dari proses tersebut. Oleh karena itu ukuran keberhasilan
pemberdayaan adalah seberapa besar partisipasi atau keberdayaan yang dilakukan oleh
individu atau masyarakat. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam proses tersebut, berarti
semakin berhasil kegiatan pemberdayaan.5 Maka indikator pemberdayaan seperti yang juga
4 O.M. Anwas, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global..., 49 5 O.M. Anwas, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global..., 51
11
dikutip Anwas menurut Suharto,6 paling tidak memiliki empat hal, yaitu: merupakan kegiatan
yang terencana dan kolektif, memperbaiki kehidupan masyarakat, prioritas bagi kelompok
lemah atau kurang beruntung, dan dilakukan melalui program peningkatan kapasitas.
Jadi pemberdayaan merupakan proses untuk meningkatkan kapasitas komunitas,
termasuk potensi individu, organisasi, dan lingkungan yang dilakukan dalam bentuk
pembimbingan kearah pemecahan masalah dan bukan dalam bentuk pemberian solusi siap
pakai. Komunitas digugah kesadarannya terhadap masalah yang sedang mereka hadapi dan
dampaknya bila masalah tersebut tidak segera diatasi, serta potensi yang mereka miliki atau
fasilitasi yang bisa dimanfaatkan, dimotivasi untuk bersedia berupaya mengatasi masalah
tersebut, dibantu mengidentifikasi potensi atau sumber daya yang ada pada diri mereka dan
lingkungannya, dan dibimbing kearah penemuan solusi yang tepat, serta diberi pendampingan
dalam proses penuntasan masalah.
2.2 Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan definisi diatas maka pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai
strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan mereka yang lemah secara materi dan
non materi. Ia lahir sebagi antitesa teradap model pembangunan yang kurang memihak pada
masyarakat yang selanjutnya mengarah pada dua hal. Pertama, melepaskan belenggu
kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam
struktur ekonomi dan kekuasaan. Sehingga tujuan pemberdayaan masyarakat adalah upaya
untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak
mampu untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan ketidakberdayaan.
6 Suharto Edi, Pekerja Sosial Industri, Corporate Social Responsibility (CSR) dan Community
Development (ComDeu), (Makalah, 2006), 10.
12
Menurut Mike Applegarth dan Keith Posner tujuan pemberdayaan adalah untuk
memungkinkan organisasi membuka potensi-potensi tersembunyi di dalam dunia tenaga
kerja. Artinya setiap tenaga kerja memiliki hak yang sama dalam berkarya dan meraih apa
yang mereka inginkan.7
Mengacu pada konsep pemberdayaan di atas, maka tujuan pemberdayaan meliputi
tiga hal sebagai berikut:
a. Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya membebaskan diri dari
kebodohan dan kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan dan kekerasan.
b. Membantu masyarakat untuk bisa hidup berorganisasi secara bersama-sama agar
dapat memanfaatkan peluang pembangunan melalui berbagai program
pembangunan yang dirumuskan secara bersama-sama.
c. Secara bersama mengidentifikasi kebutuhan dan mendayagunakan prasarana
sosial dalam memecahkan masalah sosial.
2.3 Modal Sosial (Social Capital) dan Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan yang menyentuh pembangunan fisik maupun mental masyarakat dapat
mencapai sasaran jika mempertimbangkan realitas masyarakat lokal, memahami bagaimana
mereka berpikir dan bertindak sebagai individu dan masyarakat.
Gagalnya suatu pembangunan disebabkan karena mengabaikan unsur-unsur lokal
seperti, nilai-nilai sosial dan peranan lembaga sosial. Artinya upaya pembangunan harus bisa
mengintegrasikan kepentingan masyarakat, karena kegagalan melakukan integrasi melalui
pembangunan dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.8 Sebab unsur-unsur itu
akan mendorong proses pembangunan apabila dilihat secara baik. Unsur-unsur itu oleh para
ahli dikenal sebagai modal sosial (Sosial Capital).
7 Aprillia Theresia dkk, Pembangunan Berbasis Masyarakat …. 150-151. 8 Aprillia Theresia dkk, Pembangunan Berbasis Masyarakat..., 55
13
Menurut Robert Putnam, modal sosial mengacu pada fitur organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan
memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Modal sosial adalah produktif, yang memungkinkan
pencapaian tujuan.9 Sementara menurut Nan Lin, modal sosial berfokus pada sumber daya
yang tertanam dalam satu jaringan sosial dan bagaimana sumber daya tersebut dapat
menguntungkan setiap individu. Yang dimaksud sumber ialah barang berharga di masyarakat.
Sumber daya tersedia dalam bentuk, jenis kelamin, ras, kasta, agama, pendidikan, otoritas
pekerjaan. Ketika sumber daya diinvestasikan maka mereka akan menjadi modal sosial.10
Menurut Robert Putnam, bentuk modal sosial adalah kepercayaan yang disebut
Alberth Hirschman sebagai “sumber moral” yaitu sumber pasokan yang selalu meningkat
ketika digunakan dan menjadi habis jika tidak digunakan. Bentuk-bentuk lain modal sosial
adalah jaringan dan norma-norma sosial pada setiap individu yang berfungsi sebagai atribut
penggerak struktur dan karena itulah juga memberi manfaat kepada orang lain.11
Jadi modal sosal adalah investasi bagi terselenggaranya pembangunan masyarakat.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat Papua, modal sosial bisa dalam bentuk lembaga
gereja, pemerintah daerah, lembaga adat, pemahaman keagaman, kearifan lokal. Modal sosial
inilah yang akan difungsikan bagi terselenggaranya pembangunan disegala bidang.
2.4 Model dan Proses Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat mengandung visi politis yaitu memperjuangkan
kepentingan masyarakat. Perjuangan kearah itu memerlukan model dan proses, dengan
maksud agar penyelenggaraan pemberdayaan dapat dilakukan secara baik. Maka model
pemberdayaan yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan model yang ditawarkan oleh
9 Robert D. Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Mdern Italy (Pricenton, New Jerse:
Princenton University Press, 1993), 167 10 Nan Lin, Social Capital: A Theory of Social Structure and Action (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 11-13 11 Robert Putnam, Making Democracy Work: …., 170.
14
Daniel S. Schipani yaitu model dialetika.12 Model tersebut memperlihatkan refleksi kritis
terhadap setiap struktur masyarakat sumber ketidakadilan dan moralitas masyarakat sebagai
pendukung pembangunan. Dialektis berarti bagaimana sistem berpikir (teori) harus menjadi
praksis. Pemikiran harus menjadi inti pendorong perubahan sosial, maka yang diubah tidak
hanya sistem melainkan juga moralitas masyarakat. Dengan demikian pemberdayaan bukan
hanya belangsung ditataran bagaimana mengubah sistem tetapi pemberdayaan juga mengenai
perubahan perilaku hidup moral-etis tiap individu.
Model dialektis semacam diatas, merupakan gerakan moral-etis yang dimulai dari
cara berpikir dan perilaku setiap orang, lalu bergerak ke perubahan sosial yang lebih besar.
Model dialektis mengandaikan “kerja kolektif” untuk bisa mengubah sistem atau struktur
yang tidak adil.
Model dialektis Danel S. Schipani, berlangsung dalam tiga proses yaitu, Observasi
(Seeking), menilai/mempertimbangkan (judging), bertindak (acting).13
1. Observasi adalah operasi dalam konteks dunia nyata, dengan fokus khusus pada
kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat
harus dimulai dengan penilaian sosial dan budaya yang cermat terhadap situasi.
Selanjutna, analisis tersebut harus berusaha untuk memahami realitas terutama dari
perspektif dan kerinduan orang-orang yang mengalami persoalan. Tujuannya adalah
untuk menemukan dan memahami karakter dan juga penyebab ketidakadilan serta
memahami sepenuh dan sejelas mungkin sifat dan dinamika kondisi yang menghasilakan,
mempertahankan, dan menumbuhkan ketidakadilan.
12 Daniel S. Schipani dalam Jack L. Seymour, Editor, Mapping Christian Education: Approaches to
Congregational learning (Nashville: Abingdon Press, 1997), 34 13 Daniel S. Schipani dalam Jack L. Seymour, Editor, Mapping Christian Education: Approaches to
Congregational learning …, 33-34.
15
2. Penilaian sebagai bentuk interpretatif dari tahap pertama bertujuan untuk menetapkan
orientasi pemberdayaan. Menilai secara interpretatif ini menolong menemukan antara
situasi yang dialami dengan struktur sosial, serta personal dan komunal.
3. Bertindak, pada gilirannya, terdiri dari eksplorasi, implementasi, dan mengevaluasi
pendekatan operasional yang konsisten berdasarkan harapan masyarakat lokal. Dalam
maksud proses yang terakhir, pemberdayaan masyarakat harus meliputi tindakan dan
akuntabilitas atau keterbukaan untuk membuka ruang dialog dan saling mengoreksi.
Masyarakat berhak menetapkan fokus tindakan dan menetapkan sendiri indikator
keberhasilan pembangunan.
2.5 Peran Gereja Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Gereja hidup, berkembang dan melaksanakan tugas panggilannya ditengah-tengah
masyarakat. Itu berarti bahwa gereja merupakan suatu pranata sosial yang melakukan
kegiatan pelayanan, yang mempunyai dampak terhadap suatu sistim sosial tertentu. Bagi J.D.
Engel, Pelayanan gereja sangat berarti bagi kehidupan masyarakat pada umumnya, jika gereja
melakukan fungsinya sebagaimana mestinya.14 Fungsi internal gereja adalah bertanggung
jawab terhadap pertumbuhan iman/kerohanian dan kehidupan sosial jemaat dalam gereja,
sedangkan fungsi eksternal gereja adalah bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial
masyarakat secara umum untuk menghadirkan damai sejahtera Allah.
Gereja sebagai suatu pranata sosial di tengah-tengah masyarakat dalam fungsi
eksternalnya maka gereja lebih tepat berperan sebagai media pembangunan pemberdayaan
masyarakat. Peranan gereja menurut Harun Hadiwijono, adanya gereja pertama-tama bukan
demi kepentingan gereja itu sendiri, melainkan demi kepentingan Kristus yang memiliki
gereja itu sebagi tubuhNya. Oleh karena gereja tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri,
14 J.D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga, Tisara Grafika 2007) 1.
16
tetapi pada kerajaan Allah, maka Allah tidak mengambil gereja dari dunia ini melainkan
memeliharanya di dalam dunia, agar supaya gereja jangan jatuh ke tangan penguasa dunia
ini.15 Menurut Kramer gereja dituntut supaya melayani Allah dengan menyerahkan hidupnya
bagi tugas panggilannya, karena Allah menghendaki supaya semua orang selamat. Hanya
kedalam dunialah gereja ditempatkan dan berada, oleh karena itu gereja tidak dapat
melarikan diri dari dunia, atau hidup secara ekslusif atau hidup hanya untuk diri sendiri. Jadi
dapat dikatakan bahwa gereja pertama-tama berada di dunia ini bukan untuk dirinya sendiri,
tetapi justru untuk dunia ini.16
Menurut Peter Drucker yang diikuti Weinata Seirin, pentingnya peranan “lembaga
sektor ketiga” (third sector institution) dalam masyarakat, yang dapat berfungsi
menjembatani kesenjangan hidup dalam masyarakat, misalnya LSM-LSM yang
diselenggarakan oleh badan keagamaan, termasuk gereja dan kelompok peduli dalam
masyarakat yang bergerak secara sukarela dengan komitmen tinggi.17
Gereja merupakan “hasil” dari kelompok manusia yang terorganisir, yang merupakan
suatu pelengkap dalam perkembangan sosial terhadap mereka yang bertumbuh dan
berkembang dalam gereja tersebut. Dalam hal ini, gereja memberi kesempatan kepada
masyarakatnya untuk mempelajari dan melakukan peran sosial tertentu yang kemudian peran
itu dikaitkan dengan peran dalam sistem kerja itu sendiri.18
Lembaga Gereja seharusnya menjadi salah satu pilar pemberdayaan masyarakat yang
dapat melakukan dialog demi membangun wacana civil society.19 Pemberdayaan merupakan
upaya dalam memberikan kekuasaan atau kewenangan untuk bertindak (to give power or
authority to act) dimaksudkan agar tanggung jawab yang di berikan kepada manusia itu
15 Harun Hadiwijono, Inilah Sahabatku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 145 16 H. Kramer, Theologi Kaum Awam (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 145 17 Weinata Seirin. Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran (Jakarta: Gunung
Mulia 2002), 17 18 J.D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial…, 3. 19 Weinata Seirin. Visi Gereja Memasuki Milenium Baru …., 36.
17
mencakup hal bagaimana supaya kuasa yang diberikan Allah itu tidak disalah gunakan untuk
memiskinkan orang lain, tetapi untuk melayani dan memberikan keadilan.20 Penegakan
keadilan merupakan bagian integral dari karya pewartaan gereja. John Titaley
mengemukakan bahwa, dalam konteks Indonesia ada dua tugas panggilan gereja sebagai
mitra kerja Allah di dunia ini. Yakni, pertama, tugas untuk memperhatikan mereka yang
tertindas, mereka yang kalah dan tertinggal dalam sistem yang manusia sendiri ciptakan; dan
tugas kedua adalah gereja menjadi kritis terhadap sistem kemasyarakatan yang berlaku.21
Gereja menekankan bahwa umat makin sadar akan keterkaitan antara fungsi sosial
dan masa depannya. Hanya dalam kesetiaan gereja medampingi dan mengarahkan warga dan
masyarakatnya, gereja mempunyai makna dan masa depan. Dewasa ini pemahaman dan
praktik pekabaran injil telah banyak bergeser kearah kesaksian sebagai pelayanan sosial-
kemanusiaan bukan lagi ditekankan pada soal keselamatan jiwa secara pribadi saja,
melainkan pelayanan yang utuh atas seluruh segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan
duniawi bersama kehidupan seluruh ciptaan. Kemajuan gereja bukanlah pada perkembangan
organisasi dengan jumlah anggota yang besar serta gedung-gedung yang megah, melainkan
pada komitmen dan pelayanan yang di jalankan.
Sejarah zaman gereja VOC dan Indische Kerk di Indonesia meninggalkan sedikitnya
dua pelajaran penting bagi umat Kristen masa kini. Pertama, gereja tidak boleh terikat atau
bergantung pada penguasa, sebab dalam ikatan itu gereja tidak berdaya dan kehilangan
kebebasannya. Dampaknya adalah kuasa dinamis injil dikekang. Kedua, gereja yang tidak
menjawab masalah-masalah masyarakatnya tidak dapat berkembang, dan hanya menjadi
lembaga ritual yang eksistensinya bersifat marjinal.
20 Agustin Adelbert Sitompul dkk, Gereja dan Kontekstualisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998),
234-235 21 John A Titaley, Dinamika Nasionalisme Indonesia: Panggilan Gereja Dalam Konteks
HeterogenitasMasyarakat Indonesia, (Salatiga, Yayasan Bina Darma), 274.
18
Kegiatan sosial pembangunan ekonomi Gereja merupakan pelayanan bagi
kesejahteraan sosial ekonomi umat dan masyarakat yang sangat penting dalam ragka
pegembangan manusia seutuhnya, rohani maupun jasmani.22Adapun prioritas usaha-usaha
sosial ekonomi harus didasarkan pada beberapa norma. Diantaranya yang penting adalah
sebagai berikut.
1. Karya sosial ekonomi sekaligus merupakan human investmen pembinaan dan
penyadaran.
2. Karya sosial ekonomi harus luas pengaruhnya, mengarah pada penciptaan struktur
yang lebih adil.
3. Usaha-usaha pada hakikatnya ditujukan pada pengembangan manusia seutuhnya.
4. Usaha-usaha itu harus melayani kebutuhan nyata masyarakat setempat.
Dimensi sosial ekonomi seharusnya merupakan dimensi yang layak diperhatikan oleh
seluruh karya pelayanan gereja baik yang intern maupun ekstern. Dimensi sosial ekonomi
adalah dimensi yang menyangkut kehidupan sehari-hari, sekaligus dimensi kehidupan
konkret masyarakat. Dengan demikian gejolak masyarakat juga menjadi gejolak Gereja dan
keprihatinan masyarakat setempat menjadi keprihatinan gereja. Lewat pelayananya kepada
masyarakat, gereja harus berani menggarap dan mendidik bagian unsur terdalam dari
manusia-manusianya: nilai-nilai hidup, pola berpikir, motivasi-motivasi dasar serta
kecenderungan-kecenderungan lain yang bisa menjadi faktor pendorong kearah kemajuan
seperti, kegiatan-kegiatan inovatif masyarakat, keterampilan teknik yang lebih maju,
semangat wiraswasta, keuletan dalam bidang usaha, keberanian mengambil resiko,
kemampuan melihat jauh ke depan serta hal-hal positif lain yang besifat mendorong ke arah
pengembagan masyarakat khususnya menyangkut dimensi sosial ekonomi merupakan hasil
22 Eduard R. Dopo (Editor). Keprihatinan Sosial Gereja, Sebuah Antologi (Yogyakarta: Kanisius,
1992), 22-23
19
penggarapan unsur-unsur terdalam dari manusianya.23 Dengan demikian Gereja dapat
mewujudkan Misi kerajaan Allah di dalam dunia.
Misi kerajaan Allah, merupakan misi yang membawa keutuhan kepada kebutuhan
yang utuh dari pribadi manusia. Karena itu, misi kerajaan Allah yang dijalankan oleh Gereja
adalah misi yang mentransformasi semua aspek kehidupan manusia. Ditegaskan oleh Van
Engen, bahwa: “Misi Allah mengandung transformasi yang radikal dari semua aspek
kehidupan dan keberadaan. Melalui bukti yang sama, partisipasi di dalam misi Allah
termasuk semua aspek dari kehidupan umat Allah, instrument-instrumen manusia”.24 Jadi
transformasi, tidak hanya dialami oleh dunia yang menjadi obyek misi, tetapi juga dialami
oleh gereja, yang menjadi agen misi kerajaan Allah di dunia.
Totalitas kerajaan Allah merupakan mandat Yesus kepada gerejanya. Mandat itu
adalah mandat penginjilan dan sekaligus juga mandat pelayanan sosial. Stott mengemukakan
bahwa penginjilan dan pelayanan sosial merupakan suatu bagian dari penginjilan, dimana
keduanya saling memiliki dan saling bergantungan satu dengan yang lain.25 Namun prioritas
utama bukanlah pelayanan sosial, melainkan penginjilan. Sekalipun demikian, gereja tidak
boleh mengabaikan pelayanan sosial. Gereja harus merangkul keduanya dalam pelayanannya
di segala waktu.
Misi gereja dalam mendatangkan suatu dampak yang bersifat menyeluruh di dunia,
sehingga “peginjilan” tidaklah dilihat sebagai satu-satunya tugas gereja, sekalipun penginjilan
merupakan tugas utama dan pertama gereja. Gereja dipanggil untuk mengaktualisasikan
kerajaan Allah dalam seluruh aspek kehidupan manusia di dunia. Pemberitaan injil kerajaan
Allah ini akan mempengaruhi dunia dalam semua dimensi kehidupan yang bersentuhan
dengan manusia.
23 Eduard R. Dopo (Editor). Keprihatinan Sosial Gereja, Sebuah Antologi …, 77-80 24 Stevri Charles Van Engen dalam I. Lumintang, Theolgia & Misiolgia Reformed (Jawa Timur:
Departemen Literatur PPII, 2006), 66 25 John R. W. Stott, Christian Mision in the Modern World (London: Intervarsity Press, 1975), 26-27
20
Gereja tidak hanya dipanggil untuk mendemonstrasikan misinya di dalam dunia
politik dan pemerintah, gereja juga dipanggil untuk mendemontrasikan kebenaran dan
kedamaian dari kerajaan Allah dalam dunia sosial di atas dunia ini.26 jadi gereja tidak hanya
menjadi agen penginjilan, tetapi juga agen kemanusiaan. Sebagai agen kemanusiaan, gereja
dipanggil untuk mengerjakan tanggung jawab sosialnya, yaitu berkenaan dengan keterlibatan
dalam mengatasi persoalan kemanusiaan dalam terang Firman Tuhan.
2.6 Kesimpulan
Jelaslah bahwa pemberdayaan merupakan proses politis yang berlangsung dalam
lokus masyarakat. Masyarakat tidak dilihat secara pasif, melainkan dilibatkan langsung dalam
proyek pembangunan. Masyarakat tidak dijadikan obyek pembangunan melainkan sebagai
penggerak pembangunan itu sendiri. Pembangunan mempertimbangkan dengan sungguh-
sungguh karakteristik lokal masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dijalankan dalam perspektif pendidikan. Artinya
perubahan paradigma berpikir atau penyadaran merupakan bagian terpenting untuk
melibatkan semua komponen sosial masyarakat dalam pembangunan. Dengan begitu maka
model pemberdayaan dijalankan secara induktif dan dialektis. Masyarakat secara kritis
melihat kebutuhannya sendiri yang didukung oleh modal sosial yang ada.
Dalam kaitan itu, gereja berperan sebagai fasilitator, memastikan semua elemen
masyarakat dapat bergerak untuk mencapai tujuan. Gereja tidak bertindak sebagai ahli
pembangunan. Melainkan bersama masyarakat melihat, mempertimbangkan, dan bertindak
bersama. Eksistensi gereja terlihat ketika gereja berpihak terhadap semua golongan
masyarakat. Gereja tidak dalam kapasitas menghakimi kelompok masyarakat tertentu sebagai
sumber ketidakadilan. Kompentensi gereja akan terlihat apabila gereja mampu
26 Stevri Charles Van Engen dalam I. Lumintang, Theologia & Misiologia Reformed …, 431.
21
mengidentifikasi struktur sosial penyebab ketidakadilan dan mampu merubahnya dengan
tindakan nyata.
Gereja dikatakan hidup apabila melihat tanda-tanda zaman, Melihat perubahan
masyarakat, dan menjawab semua konsekuensi yang timbul daripadanya. Sebagai modal
sosial gereja mengarahkan dirinya ikut berkompetisi memperjuangkan kepentingan bersama.
Perjuangan bukanlah sebuah terminologi untuk meniadakan. Melainkan sebuah proses politis
terus menerus sampai pada tujuan.